You are on page 1of 12

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 451-462

ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org


Copyright 2013

IMPLEMENTASI REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION


AND FOREST DEGRADATION+ (REDD+) DI KABUPATEN KAPUAS,
KALIMANTAN TENGAH

Grace Gerda Renata1


NIM.0802045019

Abstract
REDD + is the provision of incentives to rainforest nations to protect their
forests in order to reduce greenhouse gas emissions, protection sustainable
management of forests and enhancement of carbon reserves. REDD has not
become part of a global deal on climate change, but is proposed to be included
in the new agreement that will replace the Kyoto Protocol. In the meantime,
REDD pilot schemes are being implemented and funding mechanisms being
drafted UN agencies, international financial institutions, private companies,
government and environmental organizations. REDD is needed to rehabilitate
the forests in Kapuas, Central Kalimantan that damaged and converted to
agriculture.

Keywords: REDD, Forests, Kapuas District

Pendahuluan
Pada Konferensi para Pihak (COP) ke 11 di Montreal pada tahun 2005, Papua
Nugini dan Costa Rica yang didukung negara-negara yang tergabung dalam
Coalition for Rainforest Nations (CfRN) mengungkapkan kekhawatiran mereka
atas wilayahnya apabila iklim tidak segera distabilkan, sehingga mengusulkan
perlunya mekanisme yang mengganti protocol Kyoto, yaitu sebuah mekanisme
insentif untuk pencegahan deforestasi yang dikenal dengan Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (REDD). REDD akan mengatasi
sumber gas rumah kaca (GRK) lebih besar dari seluruh emisi yang dihasilkan
sektor transportasi di dunia. Tanpa REDD, tujuan menstabilkan iklim 2C tidak
akan tercapai. REDD menjadi mekanisme kerjasama antar negara-negara industri
untuk mendukung negara-negara berkembang yang memilik hutan tropis seperti
Indonesia, baik dalam bentuk dana maupun teknologi. Konteks REDD kemudian
ditambah dengan + dimana REDD tidak hanya pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan saja tetapi memasukkan konservasi hutan,
pengelolaan hutan lestari atau peningkatan cadangan karbon, agar partisipasi

1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Mulawarman. Email: gheyzzz@yahoo.com
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2013: 451-462

untuk menerapkan REDD semakin luas serta untuk memberikan penghargaan


kepada negara-negara yang sudah berupaya melindungi hutannya.

Hutan Indonesia yang merupakan hutan tropis terbesar ketiga didunia yang juga
memiliki lahan gambut, menjadi harapan dunia untuk memegang peranan penting
dalam mengurangi emisi karbon. REDD secara resmi hadir di Indonesia ditandai
dengan penandatanganan Surat Kesepakatan (Letter of Intent atau LoI) pada 26
Mei 2010 dengan pemerintah Norwegia yang merespon komitmen Indonesia
untuk menurunkan gas emisi 26% pada 2020 saat menghadiri KTT Perubahan
Iklim di Kopenhagen. Dalam LoI ini juga provinsi Kalimantan Tengah terpilih
menjadi provinsi percontohan utama REDD di Indonesia.

Provinsi Kalimantan Tengah ditetapkan sebagai provinsi percontohan REDD


dengan harapan pengurangan emisi dari kerusakan lahan gambut dan kebakaran
hutan yang terjadi setiap tahunnya di provinsi ini akan menjadi penyumbang
terbesar penyerapan emisi karbon Indonesia. Tulisan berikut akan difokuskan
pada proses implementasi di salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah yaitu
Kabupaten Kapuas, serta hambatan yang terjadi selama program ini
diimplementasikan

Kerangka Teori dan Konseptual


Politik Hijau (Green Politic)
Politik hijau(Green politic) hadir dengan tujuan untuk mengedepankan prioritas
lingkungan dalam agenda politik. Selama ini negara-negara di dunia menganut
cara pandang antroposentrisme, yang mengesampingkan pentingnya menjaga
keseimbangan alam, dimana kepentingan manusia yaitu pembangunan ekonomi
lebih diutamakan sekalipun dengan cara mengeksploitasi alam secara berlebihan
sehingga mengakibatkan krisis ekologi yang dalam hal ini perubahan
iklim.Tentunya cara pandang ini ditolak biosentrisme dan ekosentrisme yang
menganggap bahwa kehidupan di alam semesta ini tidak hanya berkaitan dengan
kepentingan manusia. Maka untuk menyelamatkan lingkungan diperlukan
perubahan politik yang mendasar pada kesadaran mengenai kesatuan asasi dan
alamiah antara manusia, hewan, dan tumbuhan. Sehingga menurut Naess,
sebaiknya kita meninggalkan konsep dan paradigma pembangunan
berkelanjutan dengan berkelanjutan ekologis. Paradigma ini menuntut
dihentikannya kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang bertujuan utama
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan gaya hidup konsumtif
(Sonny Keraf, 2002:33).

Adapun beberapa paradigma kebijakan menurut Sonny Keraf yang berlandaskan


pada Green Politic adalah:
1. Perubahan cara pandang dan pola perilaku masyarakat di sektor regional
maupun nasional suatu negara
2. Perubahan paradigma kebijakan pembangunan yang selama ini hanya
mementingkan kepentingan manusia menjadi lebih berpihak kepada lingkungan
hidup.

452
Implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Grace Gerda R)

3. Beralih ke industri yang lebih bersih dan sehat, dimana didalamnya termasuk
program 3R (Recycling, Reuse, Reduce).
4. Pengaturan tata kelola lingkungan hidup yang baik dan terarah
5. Melakukan aksi nyata secara nasional dan menyeluruh.
Dalam etika lingkungan, negara-negara maju dihimbau untuk menghentikan
kecenderungan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan membantu negara
berkembang untuk menciptakan suatu kualitas kehidupan yang layak bagi
penduduknya. Termasuk didalamnya, komitmen dan upaya politik untuk
memulihkan kehancuran ekologis yang terjadi selama ini karena cara pandang
antroposentrisme.

Ada empat pilar utama yang menjadi landasan konsepsional dari teori Green
Politic dalam menetapkan kriteria kebijakan yang bersifat Green basic oleh suatu
negara antara lain :
a. Pembangunan berwawasan lingkungan hidup.
b. Berbasis keadilan ekonomi & sosial terhadap masyarakat.
c. Berasaskan pada Grass Root Democracy.
d. Melakukan perdamaian tanpa kekerasan.
Apabila keempat pilar diatas dapat dilakukan oleh suatu negara dalam
menjalankan kebijakan pembangunannya, maka secara tidak langsung telah
menaati aturan pembangunan berwawasan lingkungan dan telah turut serta dalam
kegiatan pemeliharaan lingkungan hidup. Berkaitan dengan hal ini rezim
lingkungan hidup global melahirkan sebuah mekanisme yaitu mekanisme REDD
yang menjembatani negara-negara maju dan negara-negara berkembang sebagai
upaya bersama untuk memperbaiki krisis ekologi yang terjadi.

Implementasi Program
Implementasi program atau kebijakan merupakan salah satu tahap yang penting
dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan
agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Grindle menyatakan, implementasi
merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat
program tertentu. Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan
sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan
telah disalurkan untuk mencapai sasaran (rudisalam.files.wordpress.com, diakses
10 Agustus 2012).

Membahas tentang implementasi program, penting untuk mengetahui model atau


teknik yang digunakan agar implementasi tersebut bisa berjalan, salah satunya
adalah model top-down yang dikemukakan Donald Van Meter dan Carl Van
Horn (dalam Nugroho, 2006:127-128). Model ini merupakan pola yang
dikerjakan pemerintah untuk rakyat, disini partisipasi lebih berbentuk mobilisasi.
Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan dimulai dari kebijakan
publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variable yang
mempengaruhinya adalah:
1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
2. Karakteristik dari agen pelaksana/implementor

453
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2013: 451-462

3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik


4. Kecenderungan (dispotiton) dari pelaksana/implementor

Lewis A.Gunn mengajukan 10 kondisi yang menjadi kerangka dalam


implementasi program (dalam Parsons, 2001:467-468):
1. Situasi diluar agen implementasi tidak menimbulkan pembatasan yang
melumpuhkan
2. Waktu yang cukup dan sumber daya yang memadai harus tersedia untuk
program
3. Tidak ada batasan dalam seumber daya secara keseluruhan, dan juga setiap
tahap dalam proses implementasi membutuhkan kombinasi sumber-sumberdaya
yang tersedia
4. Kebijakan yang diimplementasikan didasarkan pada teori sebab-akibat yang
valid
5. Hubungan antara sebab dan akibat adalah bersifat langsung dan hanya sedikit,
jika ada, hubungan yang mengganggu
6. Agen implementasi tidak selalu bergantung kepada agen lain agar bisa sukses
7. Ada pemahaman penuh dan kesepakatan mengenai tujuan yang hendak
diraihdan kondisi ini harus ada di seluruh proses implementasi
8. Dalam rangka mencapai tujuan yang telah disepakati, adalah mungkin untuk
menspesifikasikan, secara rinci dan komplet, tugas-tugas yang harus dilakukan
oleh partisipan
9. Ada komunikasi dan koordinasi sempurna antar beragam elemen atau agen
yang terlibat dalam program
10. Pihak yang berkuasa dan menuntut ketaatan yang sempurna

Implementasi program dengan model ini, menurut Pressman dan Wildavsky


menjadikan seseorang melakukan apa yang diperintahkan, dan mengontrol urutan
tahapan dalam sebuah sistem; dan implementasi adalah soal pengembangan
sebuah program control yang meminimalkan konflik dan deviasi dari tujuan yang
telah ditetapkan.

Metode Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analisis yang memaparkan proses
implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dan hambatan-
hambatan yang terjadi selama program ini diimplementasikan. Data yang
disajikan merupakan data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka, yakni
dengan mengumpulkan data dari buku-buku, surat kabar, jurnal dan internet yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti

Implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah


REDD merupakan pengadaan insentif bagi negara berhutan tropis untuk
melindungi hutan agar bisa mengurangi emisi gas rumah kaca, perlindungan
pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan peningkatan jumlah cadangan karbon.
Strategi-strategi REDD bertujuan untuk membuat hutan lebih bernilai dari pada
ketika hutan tersebut ditebang. Sebagai upaya memperbaiki krisis lingkungan

454
Implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Grace Gerda R)

yang terjadi di Kalimantan Tengah akibat eksploitasi secara berlebihan demi


kepentingan ekonomi, Pemerintah Indonesia menetapkan Provinsi Kalimantan
Tengah sebagai provinsi percontohan dari Kerjasama Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Norwegia dalam hal Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) Nota Kesepahaman antara Ketua
Satgas REDD+ dan Gubernur Kalimantan Tengah yang ditandatangani pada 16
September 2011 menjadi landasan kerjasama kegiatan REDD+ yang dilakukan
secara bersama di provinsi ini.

Untuk Kabupaten Kapuas, Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Australia


melaksanakan kegiatan Demonstration Activities (DA) sebagai proyek uji coba
perubahan iklim kerjasama Pemerintah Indonesia dan Australia. Proyek yang
bernama Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) tersebut
berkontribusi mendukung usaha perjanjian internasional United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tentang usaha
pengurangan emisi rumah kaca melalui REDD. Salah satu program kerjasama
IAFCP adalah pengembangan proyek demonstrasi REDD yang diberi nama
Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP). KFCP akan melindungi
70.000 hektar hutan gambut, membanjiri kembali 200.000 hektar lahan gambut
kering, dan menanam 100 juta pohon. Proyek ini diimplementasikan di kubah
gambut dari 120.000 hektar eks-PLG di kabupaten ini. Lokasi KFCP sebagian
besar terletak di kecamatan Mantangai yang terdiri dari dua area yang berbeda
yaitu : Blok A (50.000 ha), sebagian besar digunduli dan dikeringkan oleh
jaringan 300 km dari kanal, dan Blok E (70.000 ha), hutan yang meskipun
mengalami kerusakan parah karena penebangan dan pengeringan, baik oleh kanal
resmi tradisional (Handil) dan Kanal Neraka besar yang membentang 15 km
(www.ausaid.gov.au, diakses 24 November 2012).

Dikarenakan pelaksanaan implementasi REDD+ di kabupaten ini bekerjasama


dengan 2 negara yakni KFCP Australia (yang dibantu oleh Borneo Orangutan
Survival Mawas Program (BOSMawas), Care, Wetsland International Indonesia
Program (WI-IP), Universitas Palangkaraya) dan Norwegia yang dilaksanakan
oleh Sekretariat Bersama REDD+ Kalimantan Tengah yang dibentuk sebagai
bagian dari pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional; maka implementasi REDD+
di kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dilaksanakan dalam komponen-
komponen kegiatan yang berbeda sesuai dengan proyek masing-masing. Berikut
pelaksanaannya:

1. Penanggulan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat (Community Based Forest


Fire Management, CBFFM).
Berdasarkan asas Grass Root Democracy dalam teori Green Politics, Program
Penanggulangan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat (CBFFM) merupakan
kegiatan yang dikembangkan agar dapat melibatkan warga desa untuk terlibat
secara aktif dalam menanggulangi bahaya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
setiap tahun di Kalimantan Tengah. Rangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan
adalah sebagai berikut:

455
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2013: 451-462

1. Diskusi penjajakan kebutuhan pelatihan (Training Need Assesment) untuk


penyusunan modul Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis
Masyarakat di Propinsi Kalimantan Tengah, selama 2 hari, tanggal 2526 Mei
2012 di TC REDD+ Palangka Raya; dan dilanjutkan dengan kunjungan lapangan
ke daerah kebakaran gambut, pada tanggal 27 Mei 2012.
2. Penyusunan kurikulum dan sylabus modul pelatihan penanganan hutan dan
lahan berbasis masyarakat pada tanggal 28-31 Mei 2012 di Palangka Raya.
Kegiatan penyusunan kurikulum dan sylabus ini didampingi secara langsung oleh
tim Pusdiklat Departemen Kehutanan Bogor.
3. Penyusunan Modul Training of Trainer (TOT) CBFFM pada tanggal 216 Juni
2012 oleh 9 team sesuai kebutuhan pelatihan. Selanjutnya, dilaksanakan
Lokakarya Finalisasi Modul TOT CBFFM pada tanggal 1819 Juni 2012 di
Bogor Jawa Barat.
4. Pelaksanaan Training of Trainer (TOT) dilaksanakan Palangka Raya untuk
utusan pemerintah daerah dari 5 Kabupaten/Kota salah satunya adalah kabupaten
Kapuas, pada tanggal 26 Juli 2012.

Kegiatan-kegiatan diatas ditujukan pada para pelaksana kegiatan CBFFM guna


menyamakan pikiran dan penyampaian tujuan-tujuan dilaksanakannya komponen
kegiatan ini sebelum para pelaksana terjun ke lokasi dimana masyarakat berada.
Pada tanggal 1118 Juli 2012 dilaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan
penanganan kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat di Desa Panarung,
Desa Tambak Bajai dan Desa Katunjung, Kabupaten Kapuas, dimana setiap desa
mengirimkan 10 orang. Selanjutnya pada tanggal 8 - 11 Oktober 2012
dilaksanakan kegiatan Distribusi Alat Pemadam Kebakaran berbasis masyarakat.
Peralatan yang dibagikan bernilai Rp. 53.315.625,- per-desa, yang terdiri atas alat-
alat pendukung pemadaman kebakaran, seperti mesin pompa air dan alat
pendukung penyiraman air, GPS, helm pengaman, peralatan P3K, tabung oksigen
medical, pompa punggung, dan alat-alat pendukung lainnya. Seluruh peralatan
diserahkan kepada TSA desa/kelurahan yang diwakili oleh Kepala Desa atau
Lurah. Setelah serah terima, peralatan sudah langsung digunakan untuk
pemadaman api di lapangan, yaitu di Desa Tambak Bajai.

2. Kegiatan Khusus di Daerah Eks-PLG.


Untuk komponen ini Sekber REDD+ Kalteng telah bekerjasama dengan lembaga-
lembaga yang terkait demi kemajuan dalam kegiatan ini. Kegiatan yang telah
dilaksanakan adalah :
1. Pemberian hibah pada tanggal 27 Juli 2012 dan 21 November 2012.
2. Upaya penciptaan dan pengembangan lapangan pekerjaan alternatif, seperti
budidaya jamur tiram, anyaman rotan, memelihara ikan dalam keramba.
3. Pelatihan keuangan dan administrasi, serta Pelatihan Terintegrasi Transparansi
Publik dan MRV.

3. Inisiatif pengembangan kegiatan Desa Hijau (Green Village).


Dalam Green Politics, perubahan cara pandang dan pola perilaku masyarakat
diperlukan untuk memayungi berbagai kegiatan, dalam hal ini yang telah

456
Implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Grace Gerda R)

dilaksanakan atau dikoordinir oleh Sekber REDD+, yaitu dalam rangka menopang
keberlanjutan program serta mendorong kesadaran masyarakat untuk
mengembangkan kegiatan-kegiatan pro lingkungan hidup di masing-masing desa
pada masa mendatang. Sesuai tujuan tersebut, maka target desa untuk pelaksanaan
kegiatan ini adalah pada desa-desa yang telah melaksanakan kegiatan CBFFM dan
eks-PLG. Kegiatan yang telah dilaksanakan yaitu lokakarya persiapan review
RPJM dan RKP Desa di Kuala Kapuas dihadiri oleh 11 Desa dari 3 kecamatan.
Selanjutnya me-review RPJM dan RKP Desa yang mana perhatian khusus pada
program hijau dibahas selama proses tersebut. Indikator yang digunakan untuk
menilai kesesuaian usulan kegiatan dengan program hijau berbasis REDD+ adalah
: memberikan kontribusi untuk mengurangi alih fungsi hutan (deforestasi) dan
penurunan daya dukung hutan (degradasi), berdampak pada peningkatan stok
karbon dan konservasi, dan mempromosikan pengelolaan hutan lestari.

4. Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan Rawa Gambut


Sejumlah besar pekerjaan persiapan dilaksanakan dalam tahap implementasi awal,
berdasarkan dengan kerangka dalam implementasi program Lewis A.Gun yaitu
yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang kuat tentang berbagai
masalah proyek. Termasuk studi tentang sosio-ekonomi profil desa setempat,
pilihan mata pencaharian alternatif, isu-isu yang berkaitan dengan masyarakat
sekitar penutupan kanal, kepemilikan lahan di kawasan Eks-PLG, spesies pohon
hutan gambut dan peran api di masyarakat setempat. Studi ini telah diselesaikan
secara tepat waktu, dalam banyak kasus oleh para ahli sudah akrab dengan daerah,
memberikan dasar konseptual yang kuat untuk diikuti dalam pelaksanaannya.

Beberapa kemajuan telah dibuat sehubungan dengan kanal kecil tradisional


(Handil) dijadwalkan untuk dilaksanakan dalam pekerjaan desain Blok E. Lebih
dari 100 kanal kecil di timur laut Blok E selesai pada akhir 2010, dan enam
diblokir sebagai kegiatan demonstrasi pada tahun 2011. Selanjutnya, percobaan
penanaman untuk menguji spesies hutan gambut yang terpilih di 2 bidang tanah
seluas 25 hektar telah dilakukan setelah sebelumnya mengidentifikasi spesies
tanaman yang cocok, pembentukan pembibitan, dan penyampaian pelatihan lokal
dalam teknik menanam. Pada 2011, ketujuh desa dalam proyek ini terlibat untuk
menyebarkan dan menanam. Pada Februari 2012, AusAID melaporkan bahwa
50.000 pohon telah ditanam

Mengenai keterlibatan masyarakat berasaskan Grass Root Democracy dalam


Teori Green Politics , sampai saat ini petugas lapangan di proyek desa-desa telah
membaur dengan masyarakat untuk menjelaskan dan memperoleh dukungan
untuk konsep REDD ("sosialisasi REDD"), untuk menciptakan kesadaran akan
bahaya api, untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari proyek ini, dan untuk
meningkatkan mata pencaharian lokal. Kegiatan ini cukup sukses dalam
meningkatkan pendapatan dari produksi karet lokal. Tentunya hal ini telah
mencakup berbasis keadilan ekonomi dan sosial terhadap masyarakat.

457
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2013: 451-462

Sebagian besar dari Komponen 1 difokuskan pada pencegahan kebakaran, yang


merupakan risiko terbesar bagi lahan gambut dan sejauh ini pencegahan
kebakaran merupakan pilihan mitigasi termurah. Strategi pencegahan kebakaran
ini meliputi membanjiri kembali lahan gambut dengan menutup kanal,
mengembalikan tutupan hutan, mengembangkan mata pencaharian alternatif
penduduk setempat, melakukan kegiatan pencegahan kebakaran di daerah-daerah
berisiko tinggi (yaitu dekat dengan aktivitas manusia) dan khususnya di sepanjang
kanal (karena kebakaran terkait erat dengan aktivitas manusia), dan menyediakan
pembayaran atas kinerja untuk pencapaian dalam pengurangan kebakaran. Di
desa-desa proyek Katunjung dan Mantangai, KFCP telah mendukung
pembentukan Unit Manajemen Kebakaran setempat, dan mengadakan workshop
mengenai kesadaran masyarakat akan kebakaran hutan.

5. Pembentukan Estimasi Emisi Rumah Kaca dan Program Pemantauan


Komponen ini dimulai dengan cukup baik, dengan penyelesaian 2 laporan pada 2
Februari 2010 yaitu Methodology for Estimation for GHGEmissions from
Tropical Peat Lands in Indonesia dan a Reviewof the Science Underpinning a
Methodology for GHG Accounting in Tropical Peat Lands. Selain itu pertemuan
kedua Kelompok Kerja Teknis GRK sudah dilaksanakan. Di lain sisi, kajian
metodologi pengukuran dan penetapan baseline sedang berlangsung.

Terkait sistem pemantauan lahan gambut, beberapa kemajuan dalam penginderaan


jauh untuk menentukan perubahan tutupan hutan telah dilakukan, dan pemantauan
udara untuk mengukur perubahan kedalaman gambut dan permukaan air sedang
berlangsung. Untuk emisi karbon pada tanah, KFCP bergantung pada
penyelesaian protokol INCAS untuk penilaian biomassa tanah hutan rawa
gambut.

6. Demonstrasi Mekanisme Pembayaran REDD Yang Praktis dan Efektif


Sebuah mekanisme pembayaran untuk membiayai penanaman pohon didirikan
pada tahun 2011. Mekanisme pembayaran diberikan oleh Bupati pada Juni 2011
untuk pekerjaan pembibitan tanaman yang didirikan di semua proyek desa pada
tahun 2011, dan penanaman 1.000 hektar. Pembayaran awal ini sebesar Rp
635juta (A$ 72.000) untuk tenaga kerja desa, diikuti oleh pembayaran kedua
sebesar Rp 785 juta (A$ 89.000) pada bulan September 2011
(http://www.antaranews.com, diakses 16 September 2011).

Dokumen Desain Proyek mengatakan bahwa trust fund dibuat untuk mendukung
pengeluaran selama beberapa tahun di luar penyelesaian kegiatan proyek lainnya.
Dana tersebut dikelola oleh Bank Dunia, didirikan dengan suntikan modal sekitar
A$ 8juta dari KFCP. Sedangkan rancangan TOR untuk mekanisme pembayaran
dan tata kelola kelompok kerja sedang disiapkan. Selain itu model pengusahaan
REDD yang dikaitkan dengan pengembangan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)
sedang dalam proses.

458
Implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Grace Gerda R)

7. Pengembangan Manajemen REDD / Kapasitas teknis dan Kesiapan di Tingkat


Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan Tingkat Desa
Dalam Kerangka Implementasi Program, untuk mencapai tujuan yang telah
disepakati, adalah mungkin untuk mespesifikasikan tugas-tugas yang yang harus
dilakukan oleh partisipan. Oleh karena itu, pemetaan peran diantisipasi dari
berbagai instansi pemerintah daerah dalam KFCP dan REDD yang dilaksanakan
dalam fase "Implementasi Awal". Kegiatan yang telah dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Koordinator KFCP dan posisi-posisi kunci lainnya telah tersedia.
2. Pengaturan kerja dengan Pemerintah Kabupaten Kapuas telah dibuat.
3. Model KPH sedang dalam proses.
4. GIS dan data base telah tersusun.
5. Strategi komunikasi sedang dalam pengembangan.

8. Kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Kabupaten Kapuas


Kawasan KPHL Kabupaten Kapuas yang diusulkan Bupati Kapuas berada di Blok
E (105.669 hektar) dan blok A (67.472 hektar). Di kawasan ini dimulai pilot
project REDD-KFCP bersama Pemkab Kapuas yaitu pencanangan model KPHL
desa untuk hutan desa dan hutan tanaman rakyat. Usulan Pembentukan KPH
Model di Kabupaten Kapuas telah diusulkan kepada Menteri Kehutanan (surat
Bupati Kapuas No. 522.22/ 1854/Disbunhut.2010) pada tanggal 9 Desember 2010
dengan kriteria area yang menjadi lokasi KPHL adalah sebagai berikut:
a. Areal yang clear and clean dari kepentingan perijinan lainnya
b. Mempunyai potensi yang dapat dikembangkan minim konflik penggunan lahan
aksesibilitas memadai
c. Telah ada kegiatan pembangunan kehutanan oleh NGO/LSM yang dapat
disinergikan dengan KPH
d. Telah ada kegiatan Demonstrasi REDD oleh KFCP
e. Dukungan pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait.
Berdasarkan Keputusan Menhut Nomor SK.247/Menhut-II/2011 tanggal 02 Mei
2011, KPHL Model Kapuas di Kabupaten Kapuas adalah hutan lindung seluas
seluas 105.372 ha. Karena KPHL Model Kapuas seluruh wilayahnya adalah
hutan lindung maka ijin pemanfaatan yang diperbolehkan di Hutan lindung adalah
Hutan Kemasyarakatan, Jasa Lingkungan dan Hutan Desa. Untuk saat ini, belum
ada ijin pemanfaatan yang sudah terbit SK Definitifnya maupun yang sedang
dalam proses permohonan ijin (dephut, 2013).

Hambatan Dalam Proses Implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas,


Kalimantan Tengah
Proyek ini diimplementasikan dengan model top-down dan sebisa mungkin
menyentuh aspek-aspek green politic.
Penulis melihat bahwa kehadiran REDD+ di Kabupaten ini mengubah nasib
hutan dikawasan ini dari paradigma pembangunan ekonomi yang ditandai dengan
peruntukan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Moratorium kehutanan sedang
dijalankan dan KPHL Kabupaten Kapuas telah ditetapkan. Selain itu, pandangan
masyarakat diubah agar lebih ramah lingkungan dengan tidak menjadikan api

459
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2013: 451-462

sebagai alat membersihkan hutan dan menciptakan sumber pendapatan baru yang
tidak menekan hutan. Di lain hal, dalam setiap tahap implementasi proyek, tim
telah berusaha untuk menyampaikan maksud dan tujuan program ini kepada
masyakat maupun agen yang yang terlibat dalam program ini dan telah
menspesifikasikan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh partisipan. Kebijakan
telah diimplentasikan pada teori sebab-akibat yang valid, dimulai dari penutupan
kanal sampai mekanisme pembayaran.

Namun, dalam pelaksanaan suatu proyek/program akan ditemui banyak


hambatan-hambatan sebagai bagian dari suatu proses. Dan berdasarkan 10 kondisi
yang dikemukakan Lewis A.Gunn yang menjadi kerangka dalam implementasi
program, maka dapat dilihat proses implementasi REDD+ di kabupaten Kapuas
dan saat ini beberapa kendala yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan proyek
ini adalah:
a. Waktu dan sumber daya sebenarnya sudah cukup memadai, tetapi dilain hal,
masyarakat tidak tersedia karena kebutuhan mereka untuk melanjutkan kegiatan
mata pencaharian normal terlebih setelah penutupan kanal, hal inilah menjadi
kendala.
b. Setiap tahap dalam proses implementasi telah mengombinasi sumber daya yang
tersedia, namun sampai bulan September 2011 kegiatan terkait REL tidak
mengalami kemajuan. Meskipun pada bulan Desember 2010 dana tambahan telah
dialokasikan untuk KFCP dan IAFCP. Sampai saat ini belum diketahui penyebab
yang pasti mengenai berjalan lambatnya pekerjaan pada komponen ini.
d. Komunikasi dan koordinasi antar beragam elemen telah cukup baik, namun
selama setahun pertama proyek ini, kemajuan dalam membangun kapasitas
kelembagaan lokal berlangsung lambat, dikarenakan ketidaksiapan pejabat
kabupaten dan provinsi untuk mengadakan pertemuan kelompok kerja yang
dibutuhkan, dan kekhawatiran di tingkat provinsi mengenai sedikitnya manfaat
yang diperoleh bertambah ke provinsi dari KFCP tersebut.
e. Mengenai ketaatan yang sempurna dalam program ini masih kurang. KFCP
melaporkan bahwa setelah Bupati Kapuas berkunjung ke Australia, antusiasme
diantara pemerintah kabupaten meningkat. Akan tetapi sampai September 2011,
tidak ada kapasitas REDD yang dibentuk di tingkat kabupaten di luar
pembentukan kelompok kerja KFCP. Para pejabat mengatakan bahwa mereka
tidak memiliki personil lagi, maupun kemampuan teknis untuk melakukan
kegiatan yang berkaitan dengan REDD. Di tingkat provinsi, kesadaran kerja
KFCP rendah, meskipun proyek berbasis di ibukota provinsi, Palangkaraya. Para
pejabat menyadari bahwa proyek itu berlangsung di Kabupaten Kapuas, tetapi
tidak mengetahui adanya kontribusi proyek telah dibuat terhadap peningkatan
kapasitas REDD di tingkat provinsi.
f. Terkait dengan keterlibatan penduduk setempat dalam pelaksanaan proyek ini.
Meskipun penduduk desa banyak terlibat dalam proses implementasi proyek ini,
namun proyek ini telah dianggap mengesampingkan hak-hak tanah adat dan gagal
berkonsultasi dengan masyarat adat oleh penduduk Dayak setempat dan LSM
lingkungan. Pada Juni 2011, masyarakat adat setempat menandatangani
pernyataan kedua oposisi dan dukungan untuk KFCP tersebut. Dalam beberapa

460
Implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Grace Gerda R)

kasus, orang yang sama yang menandatangani kedua surat. Permasalan ini telah
diselesaikan dengan perdamaian tanpa kekerasan sesuai pilar Green Politics.

Tantangannya cukup besar, dikarenakan masyarakat lokal masih menganggap api


sebagai alat untuk "membersihkan" tanah dalam persiapan untuk perkebunan karet
atau hortikultura. Oleh karena itu telah dilakukan kegiatan-kegiatan untuk
merubah cara pandang dan perilaku masyarakat agar lebih berwawasan
lingkungan. Dari desa Katunjung dilaporkan bahwa masyarakat menganggap api
sangat merusak dan menyebabkan masalah kesehatan, tetapi penduduk desa yang
lainnya mengatakan bahwa hanya insentif keuangan akan melindungi hutan. Ini
menunjukkan bahwa hanya pengaturan pendanaan jangka panjang, kompensasi
kepada penduduk desa, dan sumber pendapatan alternatif akan memecahkan
masalah, terutama jika akses mata pencaharian berkurang dikarenakan penutupan
kanal.

Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah terdiri dari 3 kegiatan utama yaitu : Penanggulangan
Kebakaran Hutan berbasis Masyarakat (Community Based Forest Fire
Management-CBFFM), Kegiatan khusus di daerah eks-Pengembangan Lahan
Gambut (eks-PLG); dan Inisiatif pengembangan kegiatan Desa Hijau (Green
Village), Ketiga kegiatan utama ini dikoordinasikan atau dilaksanakan oleh
Sekber REDD+.

Kegiatan demonstrasi (Demonstration Activities) di Kabupaten Kapuas diberi


nama Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) yang diimplementasikan
di 120.000 hektar eks-PLG di kabupaten ini. Implementasi kegiatan percontohan
ini dibagi dalam 4 komponen yaitu : Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan
rawa gambut, meliputi penanaman pohon, kesadaran akan api, penutupan kanal;
Pembentukan estimasi emisi rumah kaca dan program pemantauan meliputi
penginderaan jauh untuk memantauan lahan gambut; Demonstrasi mekanisme
pembayaran REDD yang praktis dan efektif; Pengembangan manajemen REDD /
kapasitas teknis dan kesiapan di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, dan
tingkat desa meliputi pengaturan koordinasi KFCP dengan Pemerintah Kabupaten
Kapuas.

Meskipun banyak kegiatan yang telah dilakukan dalam komponen-komponen


seperti yang telah dipaparkan, dan dapat dikatakan bahwa sampai tahun 2012,
implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas tidak seperti yang diharapkan.
Dalam persiapan, jauh lebih mudah untuk mengontrol dan mengarahkan daripada
pelaksanaannya, dan sebagai proyek dari persiapan ke modus pelaksanaan,
kemajuan proyek ini cukup lambat.

Beberapa saran yang mungkin bisa dilakukan untuk memperkecil kemungkinan


gagalnya implementasi REDD+ di Kabupaten Kapuas, antara lain:
Pelaksana/implementor seharusnya lebih berkomitmen dan tidak selalu

461
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2013: 451-462

bergantung kepada staf yang lain agar target tercapai; Kesadaran kerja harus
ditingkatkan dikalangan Pemerintah setempat untuk selalu memantau dan
merekrut tim yang memiliki kemampuan teknis yang berkaitan dengan REDD.

Seharusnya Pemerintah setempat dan Tim KFCP melakukan review kegiatan-


kegiatan proyek secara rutin, dan menyediakan data-data kegiatan tersebut secara
terperinci di media internet. Adanya transparansi pada khalayak umum untuk
mengetahui proses implementasi proyek ini berguna untuk mengesampingkan
pandangan negatif sehingga mendukung keberhasilan program ini dengan saran
yang memungkinkan program ini mencapai target keberhasilan.

Daftar Pustaka
Buku
Baldo-Soriano, Eleonor, et.al. 2010. Apa itu REDD? Sebuah Panduan untuk
Masyarakat Adat. Jakarta: Rumah AMAN.
Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.
Nugroho , Riant. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang.
Jakarta: PT.Elex Media Komputindo
Olbrei, E and Howes, S. 2012. A Very Real and Practical Contribution? Lessons from
the Kalimantan Forests and Climate Partnership. Development Policy Centre
Discussion Paper #16, Crawford School of Public Policy, The Australian
National University, Canberra
Parsons, Wayne. 2001. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Dalam Analisis
Kebijakan. Jakarta: Kencana.
Subarsono, AG.2005. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori Dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryatmojo, Hatma.2012. Adaptasi Masyarakat di Kawasan Ekosistem Lahan
Gambut Dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim.Yogyakarta:Insist.
Topatimasang, Roem, et.al. 2012. Lahan Gambut dan Perubahan Iklim:Distorsi Sains,
Politik,dan Kebijakan.Yogyakarta:Insist.

Laporan-laporan:
Departemen Kehutanan.2008. IFCA Consolidation Report: REDD in Indonesia.
Jakarta
Sekretariat Bersama REDD+ Kalimantan Tengah. 2012. Laporan Akhir Tahun 2012.

Media Elektronik:
ARTIKULASI KONSEP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model
dan Kriteria Pengukurannya, diakses dari rudisalam.files.wordpress.com
pada tanggal 10 Agustus 2012.
Australian Embassy, Australian Ambassador and Minister for Forestry visit
Central Kalimantan, diakses dari :
http://www.indonesia.embassy.gov.au/jakt/MR11_067.html
Booklet REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+ Sebuah Pengantar diakses
dari http://www.redd-indonesia.org pada tanggal 26 September 2012.

462

You might also like