You are on page 1of 11

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS DALAM KEHAMILAN

PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau
kronik remisi dan eksaserbasi. SLE merupakan prototipe dari penyakit autoimun sistemik
dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri. Karakteristik primer peyakit ini
berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan
hampir semua organ, namun paling sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa,
jantung dan ginjal.
Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000 pasien telah
didiagnosa sebagai SLE. Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu antara14,6/100.000-
50,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-1,6/100.000 per tahun. Insiden SLE bervariasi di
seluruh dunia. Eropa Utara telah melaporkan adanya SLE sebesar 40/100.000.

ETIOLOGI
Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun diperkirakan berkaitan
erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun, kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-
obatan
Autoimun :
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks dimana sistem imun
pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai
antigen asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi
stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk
menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka
disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL
10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi
oleh sel B.
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi spesifik
yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-doule
stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting pada proses autoimun dan anti-
Sm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE. Dengan antigen yang spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada
SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal.
Sehingga menyebabkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan substansi yang
menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan keluhan pada organ yang
bersangkutan.
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi ini
menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel. Antifosfolipid meningkatkan
resiko menggumpalnya darah, dan mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta
rendahnya jumlah hitung darah.
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi antikardiolipin
(ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri sendiri-sendiri ataupun
kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal, namun mereka juga dihubungkan
dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena
berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua
kehamilan. Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan
autoimun lainnya.

Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit.
Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita SLE. Saudara kembar
identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan non-
identik 2-9%. Jika seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk
menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir
menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan
dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR 2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q , C1r ,
C1s , C4 dan C2) telah terbukti.

2
Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur apoptosis, suatu
proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa kelainan
gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan
ginjal.

Faktor lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun pada seseorang
dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan
kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan.
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah virus.
Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-Barr, cytomegalovirus
dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus
SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan
menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal.
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu tejadinya SLE.
Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di bawah kulit dan sistem
imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing dan memberikan respon autoimun.
Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan tertentu dan
mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini adalah radang
pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-
obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil
laoratoium.
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkan
flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin berhubungan langsung dengan
hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormon androgen yang rendah, dan
beberapa pria yang menderita SLE memiliki level androgen yang abnormal. Penelitian lain
menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun. 1

GEJALA KLINIK
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset penyakit dapat
spontan atau didahului oleh faktor presipitasi. Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala

3
umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan
menurun, dan iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai
menggigil. Banyak wanita SLE menderita flare pada fase postovulasi dari siklus menstruasi, dan
mengalami resolusi ketika telah terjadi haid.
Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia (53-95%) dan biasanya mengawali
gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi yang bersamaan dengan
poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya tanpa deformitas, bukan kontraktur
atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin
juga terdapat nyeri otot dan miositis. Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP) dan
metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut.

Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi (55-90%). Pada bagian tubuh yang
terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan ulserasi serta
perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau vagina. Pada beberapa orang
dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat
kuku jari. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat
urtikaria yang tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa
bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.

Ginjal
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan komplek imun
yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas terjadinya kelainan ginjal.
Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis
dan matriks ekstraseluler. Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola

4
kristalin di daerah mesangeal, subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin
yang paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak IgG, IgA, IgM,
C3, C4 dan C1q pada glomerulus yang sama (pola full house).

Sistem saraf
Gangguan neurologik mengenai 25% penderita SLE. Disfungsi mental ringan
merupakan gejala yang paling umum, namun dapat pula mengenai setiap daerah otak, saraf
spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic
brain syndrome, dan sakit kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf
dan mielin. Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan
dan konsentrasi ringan.

Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia
miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks). Keadaan tersebut dapat menimbulkan nyeri
dan arithmia.

Paru
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis lupus baru
dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti infeksi, virus jamur,
tuberkulosis. Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam. Hemoptisis menandakan terjadinya
pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan
tersebut.

Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk nausea, kehilangan
berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare. Radang traktus intestinal jarang terjadi yaitu
sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut, muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi
usus. Retensi cairan dan pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal.

5
Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke retina,
sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya perdarahan retina. Gejala yang
paing umum adalah cotton-wool-like spots pada retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan
sementara yang terjadi secara tiba-tiba. Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital,
perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.

KOMPLIKASI PADA KEHAMILAN


Semua kehamilan dengan lupus diperlakukan sebagai resiko tinggi. Sekitar 75%
kehamilan mencapai masa kelahiran, walaupun 25% diantaranya prematur, 25% sisanya
mengalami keguguran. Resiko keguguran lebih tinggi pada wanita dengan antibodi
antifosfolipid, penyakit ginjal aktif atau hipertensi, atau kombinasi lainnya. Selama kehamilan
antibodi antifosfolipid dapat melintasi plasenta dan menyebabkan trombositopenia pada janin,
namun biasanya bayi tetap dapat lahir dengan aman. Risiko bayi dengan lupus neonatus yang
lain, sekitar 3% kehamilan SLE, dan biasanya membaik dalam 6 bulan. Jarang terjadi kelainan
jantung, namun hal ini dapat diobati.
Pada suatu penelitian sekitar 6-15% wanita mengalami flare selama kehamilan. Sebagian
besar terjadi pada trimester pertama dan kedua, dan dua bulan setelah persalinan. Wanita yang
telah mengalami remisi selama 6 bulan beresiko rendah untuk mengalami flare. Terdapat
peningkatan resiko perdarahan setelah persalinan, yang diakibatkan baik oleh obat anti-SLE
maupun oleh SLE itu sendiri. Preeklampsia terjadi pada 20% wanita hamil dengan SLE.
Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi SLE. Tinjauan pustaka terhadap aktivitas
penyakit dan mortalitas morbiditas wanita hamil dengan SLE menyimpulkan bahwa terdapat
eksaserbasi aktivitas penyakit pada 50% kehamilan, yang terjadi selama kehamilan atau
pospartum.
Pasien dengan lupus nefritis yang ingin hamil, haruslah dipertimbangkan. Disamping
keadaan janin, perlu pula dipertimbangkan terjadinya eksaserbasi dengan (mungkin permanen)
gejala ikutan berupa kerusakan organ (yang mungkin akan mempengaruhi keselamatan
maternal). Penelitian terbaru menyebutkan bahwa wanita hamil dengan lupus nefritis
berhubungan dengan meningkatnya kematian maternal dan nefritis eksaserbasi pospartum.

6
Hipertensi, proteinuria, dan insufisiensi ginjal yang baru terjadi pada wanita hamil
dengan lupus dapat menggambarkan terjadinya lupus nefritis aktif atau pembentukan
preeklampsia. Membedakan antara permulaan SLE dan preeklampsia adalah sulit. Penelitian
Buyon dkk menemukan bahwa kadar C4 lebih rendah pada kehamilan dengan preeklampsia
dibandingkan kehamilan normal, dan pada ibu dengan SLE mempunyai kadar C 3 dan C4 yang
lebih rendah secara nyata dibandingkan kehamilan normal. Menurunnya kadar C3 dan C4 pada
kehamilan dengan SLE menggambarkan terjadinya flare penyakit tersebut. Satu pasien dengan
SLE yang mengalami preeklampsia tidak memiliki perubahan pada kadar komplemennya.
Penemuan ini menyebutkan bahwa pengujian terhadap kadar komplemen mungkin berguna
untuk membedakan kejadian preeklampsia dengan flare penyakit pada pasien SLE. Insiden
preeklampsia meningkat pada pasien SLE.
Terdapat hubungan yang jelas antara lupus antikoagulan dengan antibodi antikardiolipin
dengan vaskulopathy desidua, infark plasenta, pertumbuhan janin terhambat, preeklampsia dini,
dan kematian janin berulang. Pada wanita tersebut, seperti halnya penderita lupus, juga memiliki
insiden tinggi terhadap trombosis arteri dan vena, serta hipertensi paru. (Khamashta dkk, 1997;
Silver dkk, 1994)
Penelitian secara histologi dan imunofluoresens terhadap 10 plasenta SLE oleh
Ambrousky menemukan adanya nekrosis desidua vaskulopathy pada 5 dari 10 plasenta yang
diteliti. Hanly dkk, meneliti 11 pasien SLE, dan menemukan bahwa plasenta tersebut lebih kecil
dan lebih ringan dibandingkan plasenta normal dan dengan ibu diabetes. Kurangnya berat
plasenta berhubungan dengan SLE aktif, lupus antikoagulan, trombositopenia dan
hipokomplemenemia, tapi tidak berhubungan dengan berkurangnya berat lahir. Infark plasenta,
seperti yang ditemukan pada pasien dengan sindrom antibodi fosfolipid, sangat jelas
berhubungan dengan pertumbuhan janin mungkin menyebabkan kematian janin, tapi
prematuritas dan bayi kecil masa kehamilan (KMK) secara umum sering terjadi pada ibu SLE.
Menurut Chamley (1997), trombosit dapat dirusak langsung oleh antibodi antifosfolipid,
atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan 2-glikoprotein I, yang menyebabkan
trombosit mudah beragregasi. Menurut Rand dkk (1997a, 1997b, 1998) fosfolipid pada sel
endotel atau membran sinsitiotrofoblas mungkin dirusak secara langsung oleh antibodi
antifosfolipid atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan 2-glikoprotein I atau annexin
V. Hal ini mencegah sel membran untuk melindungi sinsitiotrofoblas dan endotel sehingga

7
membran basal terbuka. Telah diketahui bahwa kerusakan trombosit mengikuti terbukanya
membran basal endotel dan sinsitiotrofoblas sehingga terjadi pembentukan trombus. Terdapat
mekanisme lain yang diajukan oleh Piero dkk (1999) yang melaporkan bahwa antibodi
antifosfolipid menurunkan produksi vasodilator prostaglandin E2 oleh desidua. Telah
digambarkan pula terjadinya penurunan aktivitas fibrinolitik akibat penghambatan prekalikrein
oleh lupus antikoagulan (Sanfelippo dan Dryna, 1981). Terdapat pula laporan lain mengenai
penurunan aktivitas protein C atau S disertai sedikit peningkatan aktivitas prothrombin
(Ogunyemi dkk, 2001; Zangari dkk, 1997). Amengual dkk (1998) memberikan bukti bahwa
trombosis dengan sindrom antifosfolopid disebabkan oleh aktivasi jalur faktor jaringan.

DIAGNOSIS
Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11 manifestasi berikut
(kriteria dari the American Rheumatism Association) :
Eritema fasial (butterfly rash)
Lesi diskoid
Fotosensitivitas
Oral ulcers
Arthritis
Serositis (pleuritis or perikarditis)
Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts)
Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)
Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL) atau limfopenia pada 2
atau lebih pemeriksaan, trombositopenia)
Gangguan Immunologi (preparat sel LE positif, jumlah anti-DNA atau anti-Sm
abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)
Abnormal ANA titer

PENATALAKSANAAN / REHABILITASI
Hingga kini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun, pengobatan yang
tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi, mengatasi fase akut dan
dengan demikian dapat memperpanjang remisi dan survival rate.

8
Penatalaksanaan SLE sesuai dengan gejala yang ditimbulkannya. Penatalaksanan utama
adalah menciptakan suatu lingkungan yang dapat memberikan istirahat pada jiwa dan raga,
perlindungan dari sinar matahari (bahkan yang melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi
pencegahan infeksi, menghindari semua alergen dan faktor-faktor yang dapat memperberat
penyakit.

Karena kesuburan pasien SLE tidak terganggu dan waktu konsepsi sangat berhubungan
dengan aktivitas penyakit, maka kontrasepsi merupakan bagian yang penting untuk penanganan
pasien SLE. Tampaknya kondom dan diafragma merupakan alat kontrasepsi teraman, walaupun
kurang efektif. Penggunaan IUD sebaiknya dihindari karena pasien SLE mempunyai resiko
infeksi yang lebih besar.
Pada gagal ginjal terminal lupus nefritis dapat ditanggulangi dengan cukup baik oleh
dialisis dan transplantasi ginjal.
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapat
pengobatan dengan obat imunosupresif. Seperti disebutkan sebelumnya angka abortus, kelahiran
mati, partus prematurus, dan preeklampsia meningkat pada SLE dengan kehamilan. Terutama
apabila terjadi kelainan ginjal dan hipertensi, maka prognosis menjadi sangat buruk. Abortus
buatan dapat dipertimbangkan. Jika pasien demikian dalam jalannya kehamilan menunjukkan
gejala-gejala azotemia, maka kehamilan harus diakhiri. Dan kehamilan tidak dianjurkan bagi
SLE dengan komplikasi ginjal.

Prenatal care
Penderita SLE dengan kehamilan sebaiknya harus kontrol kehamilannya setiap dua
minggu pada trimeester pertama dan kedua dan sekali seminggu pada trimester ketiga. Pada
setiap kunjungan harus selalu ditanyakan tentang tanda dan gejala aktifnya SLE. Darah dan urin
sebaiknya diperiksa juga.

Obat-obat antirematik dengan kehamilan


Meskipun belum ada penelitian acak yang membandingkan pemberian prednison pada
wanita hamil namun glukokortioid biasanya digunakan pada pengobatan SLE pada kehamilan.
Pada umumnya dosis yang digunakan kurang lebih sama dengan penderita yang tidak hamil.

9
Meskipun telah ditemukan meningkatnya kejadian celah palatum pada binatang percobaan, tetapi
efek teratogeniknya pada manusia sangat rendah. Demikian juga efek supresi pada ginjal
neonatus sangatlah rendah. Salah satu alasan yang menyebabkan pemberian prednison cukup
aman adalah didapatkannya 11--oldehidrogenase pada plasenta. Enzim ini akan mengubah
prednison menjadi 11- ketoform yang tidak aktif, dan hanya 10 % yang aktif dan dapat
mencapai janin. Efek glukokortikoid pada ibu diantaranya adalah penambahan berat badan,
striae, acne, hirsutism, supresi imun, osteonekrosis, dan ulkus saluran pencernaan. Kemudian
pemberian glukokortikoid pada kehamilan juga dapat menyebabkan intoleransi glukosa. Dengan
demikian pasien yang diberikan glukokortikoid harus dilakukan skrining untuk mencegah
diabetes gestasional. Glukokotikoid juga menyebabkan retensi air dan natruim yang mungkin
menyebabkan hipertensi yang secara tidak langsung dapat menyebabkan pertumbuhan janin
terganggu. Penelitian terbaru mengatakan pemberian glukokortikoid hanya diberikan bila
diperlukan untuk mengatasi gejala-gejala yang ditimbulkan oleh SLE.
Pemberian beberapa obat imunosupresi yang lain seperti azathiopirine, methotrexate dan
cyclophospamide sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan dengan SLE, dikarenakan efek
teratogeniknya pada manusia. Kecuali pada keadaan tertentu pada SLE yang sangat berat
misalkan pada Progressive proliferative glomerulonefritis
Pemberian obat anti malaria pada Kehamilan dengan SLE seperte kloroquin dan
hydroxychloroquin dapat menimbulkan kelainan kongenital yang cukup berat, dikarenakan
ototoksisitasnya. Akan tetapi banyak bayi yang dilahirkan dari ibu-ibu yang minum obat anti
malaria ternyata normal.
NSAID adalah analgesik yang biasa diberikan pada penderita kehamilan dengan SLE
tetapi, malangnya obat ini dapat menyebabkan kelainan yang cukup serius. Yaitu dapat
menyebabkan kelainan faktor pembekuan darah pada fetoneonatal. Pemberian aspirin dua
minggu sebelum partus dapat menyebabkan perdarahan intrakranial pada bayi-bayi prematur.
Indometasin dilaporkan berhubungan dengan kontriksi pada duktus arteriosus. Yang mana bisa
menyebabkan trombosis arteri pulmonalis, hipertrofi pembuluh-pembuluh darah pulmo,
gangguan oksigenasi dan gagal jantung. NSAID juga berhubungan dengan menurunnya produksi
uruin dan oligohidramnion dan insufisiensi ginjal. Asetaminophen dan codein bisa dipakai
sebagai analgesi pada wanita hamil dengan SLE.

10
Penanganan obstetrik.
Tujuan utama dari kunjungan antenatal pada kehamilan dengan SLE terutama setelah
umur kehamilan > 20 minggu adalah deteksi hipertensi dan proteinuria. Karena risiko terjadinya
insufisiensi uteroplasenter . Dilakukan pemeriksaan USG setiap 4 6 minggu mulai usia
kehamilan 18 -20 minggu. Dilakukan NST mulai umur kehamilan 32 minggu setiap minggu dan
pengukuran cairan amnion. Juga ibunya disuruh menghitung gerakan janin setiap hari. USG dan
pemeriksaan kesejahteraan janin harus dilakukan lebih sering bila didapatkan SLE yang aktif,
hipertensi, proteinurin, gangguan pertumbuhan janin, dan bila didapatkan sindroma
antifosfolipid.
SLE dapat eksaserbasi pada persalinan dan mungkin membutuhkan pemberian steroid
sesegera mungkin. Sebaiknya pemberian glukokortikoid dosis tinggi yaitu hidrokortison 110
mg/IV tiap 8 jam diberikan pada waktu persalinan dan seksio sesarea pada semua pasien yang
mendapatkan pemberian steroid yang menahun.Hal ini untuk menghinadarkan terjadinya
insufisiensi adreanal yang berat. Diberikan hidrokortison secara intravena 100 mg tiap 8 jam.
Kemudian penanganan neonatus yang adekuat diperlukan setelah persalinan berkaitan dengan
neonatal heart block dan manifestasi SLE lainnya.
Disarankan agar ibu yang dirawat dengan SLE untuk menyusui bayinya jika
memungkinkan karena keuntungan bagi ibu dan janin jauh lebih besar dari kerugiannya. Jika
janin lahir dengan berat badan rendah (BBRL) dan ibu mendapatkan terapi kortikosteroid dalam
dosis yang besar, secara teoritis jumlah kortikosteroid per kgBB yang mungkin diterima janin
melalui ASI patut dikhawatirkan, namun jumlah prednisolon yang disekresikan melalui ASI
sangat kecil sehingga kami rasa kekhawatiran tersebut hanya bersifat teoritis.

RINGKASAN
SLE adalah suatu penyakit yang kronis, rekuren, dan dapat menyebabkan kegagalan
multi organ yang cukup menyulitkan untuk mendiagnosa penyakit ini secara tepat, sehingga
diperlukan kombinasi dari manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis yang
akurat sangatlah penting karena dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas baik pada ibu
maupun pada bayi.

11

You might also like