You are on page 1of 20

MODUL 1

PROSES SOLUTION TREATMENT PADA STAINLES STEEL

1.1 Latar Belakang


Baja merupakan material yang sering digunakan dan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Baja terdiri dari berbagai macam unsur. Baja tersebut digunakan di berbagai macam kondisi
lingkungan, salah satunya lingkungan yang korosif. Untuk mengurangi degradasi material akibat
lingkungan korosif maka diciptakan baja tahan karat dengan unsur Cr yang tinggi. Dan secara
umum untuk baja tahan karat yang paling kuat terhadap lingkungan korosif adalah baja tahan
karat austenitik dan dengan strukturmikro austenit.

1.2 Tujuan Percobaan


Tujuan percobaan ini adalah mengetahui pengaruh proses solution treatment terhadap
strukturmikro dan sifat mekanik pada austenitic stainless steel

1.3 Sasaran Pembelajaran


1. Mahasiswa dapat menjelaskan diagram fasa austenitic stainless steel
2. Mahasiswa dapat menjelaskan metode solution treatment pada austenitic stainless steel
3. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan strukturmikro pada austenitic stainless steel yang
telah mengalami proses solution treatment dan annealing
4. Mahasiswa dapat membandingkan kekerasan pada material yang telah mengalami proses
solution treatment dan annealing

1.4 Prinsip Dasar Percobaan


1. Definisi baja tahan karat
Stainless steels adalah baja paduan dengan minimum 11% Cr; ini adalah angka yang sangat
penting yang dibutuhkan untuk membuat lapisan pasif dari kromium-oksida untuk mencegah
berkaratnya permukaan.

2. Mekanisme perlindungan korosi pada baja tahan karat


Daya tahan korosi SS disebabkan lapisan yang tidak terlihat (invisible layer) yang terjadi
akibat oksidasi SS dengan oksigen yang akhirnya membentuk lapisan pelindung anti korosi
(protective layer).

3. Klasifikasi baja tahan karat


Pengkodean baja tahan karat berbeda dengan baja paduan jenis lainnya. Pengkodean
menggunakan tiga angka, angka pertama menunjukkan grupnya, sedangkan angka kedua
dan ketiga menunjukkan modifikasi paduannya. Berikut merupakan beberapa contoh
pengkodean baja tahan karat:
Tabel 1 Kodifikasi Baja Tahan Karat
Series Groups
2xx Chromium-Nickel-Manganese; non-
hardenable; austenitic; non-magnetic
3xx Chromium-Nickel; non-hardenable,
austenitic, non-magnetic
4xx Chromium; hardenable, martensitic,
magnetic
5xx Chromium, non-hardenable, ferritic,
magnetic
6xx Chromium; low chromium, heat
resisting

4. Austenitic stainless
Austenitic stainless steel adalah jenis yang paling banyak dalam lingkup stainless steel.
Baja ini memiliki Cr dalam rentang 16% sampai dengan 26%; nikel dalam rentang 3.35%
sampai dengan 37%; paduan elemen lainya seperti karbon dengan rentang 0.03% sampai
dengan 0.25% dan Mo, Niobium, Ti, dan tantalum adalah tambahan yang bersifat special,
biasanya digunakan untuk meningkatkan sifat tertentu. Stainless steels bersifat tidak
magnetic dan dapat dikeraskan dengan cara cold working. Bagaimanapun mereka tidak
dapat dikeraskan dengan heat treatment. Mereka memiliki low temperatur ductility yang
bagus. Beberapa grade seperti 310 memiliki kualitas yang bagus untuk menengah sampai
temperatur tinggi. Austenitic stainless steel biasanya tahan terhadap shock resistant dan tidak
mudah untuk di machining. Ketahanan korosi dari baja ini sangat bagus dalam kebanyakan
macam lingkungan.

Gambar 2. Diagram Fasa Stainless Steel 18% Cr


dan 8% Ni
5. Solution treatment dan annealing
Solution treatment pada stainless steel berguna untuk menyamakan fasa menjadi austenite
dan juga mengembalikan butiran menjadi halus dan equiaxial. Pada solution treatment rentang
temperatur terbentuknya fasa 100% austenit. Holding time dilakukan untuk menghomogenkan
distribusi temperatur dalam baja dan memberikan waktu agar fasa homogen menjadi austenite.
Pertimbangan dalam pengaturan holding time adalah dimensi benda, kecepatan difusi termal
benda. Pendinginan cepat dilakukan untuk mencegah adanya karbida. Annealing berguna untuk
menghilangkan stress, menghaluskan butir, melunakkan, dan memperbaiki mechineability.

1.5 Metodologi Percobaan


1.5.1 Alat dan bahan
1. Amplas grade 80-2000
2. Kikir
3. Furnace
4. Larutan carpenter
5. Oli
6. Sarung tangan tahan panas
7. Sarung tangan lateks
8. Masker
9. Larutan etsa
10. Mikroskop Optik

1.5.2 Quench
1. Melakukan preparasi spesimen dengan ukuran diameter 1 inchi dan tebal 1 inchi
2. Menyalakan furnace dan menunggu temperatur furnace sampai 800oC
3. Memasukkan spesimen ke dalam furnace dan melakukan holding selama 45 menit
4. Mengeluarkan spesimen dan mendinginan spesimen dengan cepat menggunakan media oli
5. Menganalisis strukturmikro
6. Melakukan uji kekerasan
7. Membandingkan kekerasan dari material yang di anneal dan quench
1.5.3 Anneal
1. Melakukan preparasi spesimen dengan ukuran diameter 1 inchi dan tebal 1 inchi
2. Menyalakan furnace dan menunggu temperatur furnace sampai 800oC
3. Memasukkan spesimen ke dalam furnace dan melakukan holding selama 45 menit
4. Mendinginan spesimen dengan lambat didalam furnace
5. Menganalisis strukturmikro
6. Melakukan uji kekerasan
7. Membandingkan kekerasan dari material yang di anneal dan quench

MODUL 2
PROSES PENGERASAN BESI TUANG KELABU

1.1 Latar Belakang


Secara teknis bahan paduan besi karbon terdiri dari dua kelompok besar. Kelompok
pertama adalah kelompok baja dengan kandungan karbon hingga sekitar 2%. Sedangkan besi
dengan kandungan karbon lebih dari 2% disebut besi tuang. Beberapa jenis besi tuang yang
sering dijumpai adalah besi tuang putih(white cast iron), besi tuang mampu tempa (malleable
cast iron), besi tuang kelabu (gray cast iron), besi tuang nodular. Sifat kekerasan yang tinggi
membuat besi tuang banyak digunakan di dunia industri. Tetapi belakangan ini banyak
industri yang berusaha merekayasa kekerasan dari besi tuang tersebut untuk mendapatkan
sifat mekanik yang lebih baik. Maka dari itu diperlukan metode rekayasa kekerasan dari baja
tuang dengan cara memberi perlakuan panas (heat treatment).

1.2 Tujuan Percobaan


Tujuan percobaan ini adalah mengetahui metode pengerasan besi tuang kelabu / gray cast iron
/ ferro casting (fc).

1.3 Sasaran Pembelajaran


1. Mahasiswa dapat menjelaskan diagram fasa Fe-Fe3C dan Fe-Grafit
2. Mahasiswa dapat menjelaskan metode pengerasan pada besi tuang kelabu fc25
3. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan strukturmikro pada besi tuang kelabu fc25 sebelum
dan sesudah proses pengerasan
4. Mahasiswa dapat membandingkan kekerasan besi tuang kelabu fc25 sebelum dan sesudah
proses pengerasan.

1.4 Prinsip Dasar Percobaan


1. Klasifikasi dan penamaan besi tuang
Besi tuang biasanya di klasifikasikan menurut struktur metalografinya. Dalam hal ini
karbon dalam besi tuang sangat menentukan. Karbon dalam besi tuang dapat berupa
instentisial yaitu sementit karbida besi atau berupa grafit karbon bebas. Pengelompokan dapat
dimulai berdasarkan kondisi karbonnya. Bila seluruh karbon berupa sementit maka ia adalah
besi tuang putih, selanjutnya dikelompokkan berupa bentuk fisik grafitnya,. Terjadinya
struktur yang berbeda-beda ini di pengaruhi oleh beberapa faktor terutama kadar karbon,
kadar paduan grafitisizer(silicon), kadar paduan pembentuk grafit spheroid(Mg) laju
pendinginan selama proses solidifikasi dan proses perlakuan panas. Biasanya besi tuang
dikelompokkan menjadi:
a. Besi tuang putih, dimana Seluruh karbon berupa sementit.
b. Besi tuang mampu tempa, dimana karbonnya berupa grafit karbon, dengan matrik berupa
perlitik dan ferritik.
c. Besi tuang kelabu, dimana karbonnya berupa grafit berbentuk flake dengan matrik ferlitik
dan perlitik. Berdasarkan JIS, besi tuang kelabu memiliki kode FC (Ferro Cast)
d. Besi tuang modular, dimana karbonnya berupa nodular graphite dengan matrik feritik dan
perlitik. Berdasarkan JIS, besi tuang nodular memiliki kode FCD (Ferro Cast Ductile)
ASTM dan JIS tidak mengklasifikasi besi cor berdasarkan komposisi, melainkan kuat tarik.
Contoh FC 20, menyatakan kekuatan tarik benda minimum 200 N/mm2 (MPa)

Gambar 4 Diagram Fasa Fe-Grafit dan Fe-Fe3C

2. Besi tuang kelabu


Besi tuang mengalami pemanasan biasanya jauh di bawah daerah temperatur kritis,
temperatur transformasi perlit menjadi austenit, yaitu sekitar 510-565 0C dengan pemanasan
selama 1 jam pada temperatur tersebut akan menghilangkan 75-85% dari tegangan yang
diinginkan.
Annealing pada temperatur 710-800oC akan meningkatkan machinability. Pada
temperatur ini sementit yang akan berdekomposisi menjadi grafit dan ferrit. Besi tuang harus
berada pada temperatur ini dalam waktu yang cukup panjang sehingga dapat terjadfi
grafitisasi yang sempurna.
Normalising dilakukan untuk memperbaiki sifat mekanik atau untuk mengembalikan
sifatnya semula, yang berubah akhibat proses laku panas sebelumnya. Normalizing dilakukan
dengan memanaskan besi tuang di atas temperatur tranformasi, ditahan kurang lebih 1 jam/inc
tebak benda, lalu didinginkan dengan udara diam.

3. Proses pengerasan gray cast iron


Besi tuang dipanaskan pada suhu 860 900 C kemudian di quenching dengan oli atau
dengan udara untuk bentuk yang komplex , setelah itu dilakukan annealing pada suhu 200-
300 C untuk memperbaiki sifat mekanisnya. Struktur akhir berupa martensit dan graphite.

1.5 Metodologi Percobaan


1.5.1 Alat dan Bahan
1. Besi tuang kelabu fc25
2. Furnace
3. Media pendingin (oli)
4. Gergaji dan kikir
5. Amplas grade 80-2000
6. Seperangkat mesin uji kekerasan ( Universal Hardness Tester)
7. Mikroskop optik

1.5.2 Langkah Kerja


1. Menyiapkan benda uji:
(a) Melakukan pemotongan besi tuang kelabu fc25 dengan gergaji;
(b) Meratakan permukaan dengan kikir;
(c) Memberi tanda pada spesimen
2. Menyiapkan pengujian alat uji kekerasan dan melakukan uji kekerasan awal
3. Menyiapkan furnace
4. Melakukan proses pemanasan pada furnace dengan temperatur 850 oC selama 30 menit
5. Melakukan proses pendinginan dengan media oli
6. Membersihkan spesimen dengan kertas amplas hingga bersih
7. Menyiapkan pengujian alat uji kekerasan dan melakukan uji kekerasan akhir serta
membandingkan hasil kekerasan awal dan akhir.
8. Merapikan peralatan dan ruang kerja
MODUL 3
UJI HARDENABILITY
1.1. Latar Belakang
Hardenability adalah ukuran kemampuan suatu material untuk membentuk fasa martensit,
yang sangat berkaitan dengan diagram transformasi. Sifat hardenability suatu material juga
bergantung pada dua faktor utama, yaitu komposisi kimia pada austenit dan ukuran butir dari
fasa austenit. Sifat hardenability dapat diukur melalui beberapa metode pengujian, diantaranya
metode Jominy dan metode Grossman. Melalui metode Jominy, akan didapatkan suatu kurva
yang merepresentasikan antara nilai kekerasan dengan jarak quenching dari pusat quench.
Sedangkan melalui metode Grossman, akan didapatkan gambaran terhadap dalamnya
pengerasan (depth of hardening) yang diperoleh melalui perlakuan quench hardening, biasanya
dinyatakan dalam jarak suatu titik di bawah permukaannya.
Praktikum kali ini menggunakan baja AISI 1045 dan AISI 4340 yang akan dilakukan
proses laku panas hardenability dengan menggunakan metode pengujian Jominy. Tujuan
dilakukan pengujian ini adalah untuk mengetahui sifat mampu keras atau hardenability suatu
material, dengan mampu membentuk 50% struktur martensit setelah diberikan perlakuan.
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dilaksanakannya praktikum ini adalah untuk mengetahui sifat mampu keras atau
hardenability dari baja AISI 1045 dan baja AISI 4340 menggunakan metode pengujian Jominy.

1.3. Sasaran Pembelajaran


Setelah mendapatkan dasar teori dan telah melaksanakan praktikum ini, diharapkan praktikan
mampu:
1. Membandingkan hardenability pada baja AISI 1045 dan AISI 4340 berdasarkan pengujian
Jominy.
2. Menjelaskan dan membandingkan nilai kekerasan baja berdasarkan hasil pengujian
hardness dengan hasil penghitungan secara teori setelah diberikan perlakuan panas melalui
pengujian jominy.
3. Menjelaskan pengaruh unsur paduan terhadap sifat mampu keras atau hardenability.

1.4. Prinsip Dasar Praktikum


1.4.1. Kekerasan (definsi, satuan ukut, alat yang digunakan)
Kekerasan adalah ketahanan suatu material terhadap deformasi pada daerah lokal dan
permukaan material, dan khusus untuk logam deformasi yang dimaksud adalah deformasi plastis.
Sedangkan pengertian dari kekuatan adalah ketahanan material terhadap deformasi plastis secara
global. Kekuatan suatu material berbanding lurus dengan kekerasannya, sehingga semakin keras
suatu material, semakin kuat pula material itu.
Pengujian kekerasan dibagi menjadi 3 jenis bedasarkan sifat pengujiannya. Antara lain sebagai
berikut;
1) Metode Goresan
Pengujian kekerasan dengan metode gores dilakukan dengan cara mengukur kemampuan
suatu material dengan menggoreskan material uji kepada spesimen. Skal uji yang digunakan
adalah skala Mohs, yang terdiri dari 10 nilai material standard yang sesuai dalam menggores
material dari nilai 1 yang paling lunak hingga nilau 10 yang paling keras. Skalanya adalah
sebagai berikut:
Talk/Gips
Gypsum
Calcite
Fluorite
Apatite
Orthoclase
Quartz
Topas
Corundum
Diamond

2) Metode Dinamik
Pengujian kekerasan menggunakan metode Dinamik (kekerasan pantul) dilakukan
dengan cara menghitung energi impak yang dihasilkan oleh indentor yang dijatuhkan pada
permukaan spesimen. Alat yang digunakan untuk pengujian ini adalah Shore Scleroscope.

Gambar 5. Shore Scleroscope


Indentor berbentuk bola dijatuhkan pada permukaan material, kemudian diamati
ketinggian pantulan yang terjadi. Perbedaan ketinggian antara posisi jatuh dan posisi
pantulan menunjukkan besarnya energi yang diserap material.
3) Metode Indentasi
Pengujian kekerasan menggunakan metode indentasi (metode penekanan) dilakukan
dengan cara mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya tekan yang diberikan oleh
indentor dengan memerhatikan besar beban yang diberikan dan besar indentasinya.
Pengujian kekerasan menggunakan metode indentasi ini terdiri atas beberapa cara, antara
lain uji kekerasan Rockwell (HR/RHN), Vickers (HV/VHN), Brinell (HB/BHN) dan Micro
Hardness (Knoop Hardness).
1.4.2. Klasifikasi dan penamaan Baja karbon
Baja karbon adalah material logam yang terbentuk dari unsur utama Fe dan unsur kedua
yang berpengaruh pada sifatsifatnya yaitu karbon, sedangkan unsur yang lain berpengaruh
menurut persentasenya. Baja Karbon diklasifikasikan berdasarkan kadar karbon yang ada di
dalamnya. Banyaknya kadar karbon dalam baja juga akan memengaruhi sifat fisik dan sifat
mekanik baja, antara lain:

LowCarbon Steels;
Memiliki kandungan karbon kurang dari 0.25 wt% C. Bersifat relatif lunak dan lemah, tetapi
memiliki keuletan dan ketangguhan yang cukup baik. Selain itu, baja jenis ini memiliki
mampu mesin dan las yang baik dengan biaya produksi yang murah dibanding baja jenis
lain. Baja ini memiliki yield strength sebesar 275 Mpa (40000 psi), tensile strength antara
415 dan 550 Mpa (60000 dan 80000 psi), dan keuletan 25%EL. Baja ini umumnya
diaplikasikan pada componen bodi mobil, pipa, struktur jembatan, dll.
MediumCarbon Steels,
Memiliki kandungan karbon diantara 0.25 dan 0.60 wt% C. memiliki sifat hardenability
yang kurang baik, dan hanya dapat dilakukan pengerasan pada kedalaman yang rendah
dengan laju quenching yang sangat cepat. Baja ini umumnya diaplikasikan pada velg, gears,
crankshaft, bagian mesin lainnya yang memerlukan kombinasi kekuatan dan keuletan yang
baik.
HighCarbon Steels,
Umumnya memiliki kandungan karbon diantara 0 60 dan 1 4. wt%C. Memiliki kekerasan
dan kekuatan tinggi, namun keuletan yang rendah. Banyak digunakan pada peralatan yang
membutuhkan tingkat kekuatan dan kekerasan yang tinggi seperti cutting tools, dies
forming, hacksaw blades, razor, spring, dan pisau.
Gambar 6. Diagram Fasa Fe-Fe3C
Adapun fasa yang terbentuk pada baja karbon antara lain

Alfa Ferrit; atau disebut juga besi alfa, memiliki struktur kristal BCC pada temperatur
kamar.
Austenit; atau disebut juga besi gamma, berada pada temperatur 912 oC (1674oF) dan
memiliki struktur kristal FCC
Delta Ferrit; yang merupakan fasa akhir sebelum memasuki fasa cair pada temperatur
1538oC (2800oF) dan memiliki struktur kristal BCC
Sementit (Fe3C); yang terbentuk pada kadar karbon maksimal 6,7 wt% C berupa besi
karbida (iron carbide).
(a) (b)
Gambar 7. Struktur mikro (a) fasa Ferrit, dan (b) fasa Austenit
1.4.3. Baja AISI 1045
Baja AISI 1045 diberi nama menurut standar american iron and steel institude (AISI)
dimana angka 1xxx menyatakan baja karbon, angka 10xx menyatakan karbon steel sedangkan
angka 45 menyatakan kadar karbon persentase (0,45 %). Penulisan atau penggolongan baja
AISI 1045 ini menurut standar yang lain adalah sama dengan DIN C 45, JIS S 45 C, dan UNS
G 10450. Menurut struktur mikronya, baja AISI 1045 termasuk baja hypoeutectoid
(kandungan karbon < 0,8 % C). Sehingga dengan meningkatnya kandungan karbon maka
kekuatan tarik dan kekerasan semakin menjadi naik sedangkan kemampuan regang, keuletan,
ketangguhan dan kemampuan lasnya menurun. Kekuatannya akan banyak berkurang bila
bekerja pada temperatur yang agak tinggi. Pada temperatur yang rendah ketangguhannya
menurun secara dratis. Baja jenis ini banyak dicari dan banyak diaplikasikan pada berbagai
macam peralatan dan komponen mesin karena harganya yang cukup murah dan mudah
didapatkan di pasaran. Beberapa contoh pengaplikasian baja AISI 1045 antara lain pada poros,
roda gigi dan rantai.
Kandungan unsur pada AISI 1045 menurut standard ASTM A 827-85 adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Unsur pada baja AISI 1045
Unsur % Sifat mekanis lainnya

Karbon 0,42 0,50 Tensile strength

Mangan 0,60 0,90 Yield strength

Fosfor Maksimum 0,035 Elongation

Sulfur Maksimum 0,040 Reduction in area

Silicon 0,15 0,40 Hardness

1.4.4. Baja AISI 4340


Baja AISI 4340 merupakan baja konstruksi yang sering digunakan untuk bahan baut,
sekrup, roda gigi, batang piston untuk mesin, roda pendaratan, dan komponen landing gear.
Menurut standard AISI (American Iron and Steel Institute), baja ini memiliki komposisi kimia
(0,35-0,45)% C, (0,15-1,35)% Si, (0,5-0,7)% Mn, 0,035% P, 0,035% S, (1,4-1,7)% Ni, (0,9-
1,4)% Cr, dan (0,2-0,3)% Mo sehingga baja ini termasuk baja paduan rendah, dan
memungkinkan untuk dikeraskan melalui perlakuan panas.
Sesuai dengan komposisi kimianya, Baja jenis ini umumnya dikeraskan melalui proses
pemanasan hingga mencapai temperatur austenit, kemudian dilakukan quenching menggunakan
media pendingin oli. Setelah dilakukan proses quenching, baja ini akan menjadi semakin keras
dan kuat, sehingga akan rentan mengalami kegetasan. Oleh karena itu, baja ini perlu dilakukan
proses tempering guna mengurangi sifat getasnya.
1.4.5. Hardenability
Hardenabiliti adalah sifat suatu baja yang menunjukkan kemampuan baja tersebut untuk
dapat dikeraskan dengan membentuk martensit. Hardenabiliti menggambarkan mudah tidaknya
suatu baja dikeraskan, tidak mengindikasikan seberapa tinggi kekerasan yang dicapai setelah
pengerasan. Kekerasan tertinggi akan tercapai bila struktur seluruhnya menjadi martensit.
Kekerasan martensit tergantung pada kadar karbon dalam martensit, dan kadar karbon dalam
martensit ini tergantung pada kadar karbon yang larut dalam austenit. Karbon yang ada dalam
baja belum tentu seluruhnya berpengaruh terhadap kekerasan martensit, karbon yang tetap
berupa senyawa/karbida pada saat temperatur austenitisasi tidak akan ikut dalam reaksi
pembentukan martensit, jadi tidak akan menambah kekerasan. Hubungan antara kekerasan baja
(setelah pengerasan) dengan kadar karbon dan jumlah martensit digambarkan pada Gambar 3
Kekerasan yang tercapai setelah pengerasan hendaknya tidak dibaurkan dengan konsep
hardenabiliti (sifat mampu keras).
Gambar 8. Hubungan antara kekerasan, kadar karbon dan jumlah martensit.

Hardenabiliti yang menggambarkan mudah tidaknya suatu baja dikeraskan dapat


ditunjukkan dengan:
Tebalnya bagian yang mengalami pengerasan (depth of hardening)
Ukuran benda yang dapat mengalami pengerasan sampai ke inti
Dapat mengalami pengerasan dengan pendinginan yang lambat
Suatu titik dari suatu benda dikatakan mengalami pengerasan bila pada titik tersebut diperoleh
martensit (atau martensit dan bainit) tidak kurang dari jumlah tertentu (biasanya dipakai 50 %)
atau kekerasannya tidak kurang dari angka tertentu (tergantung komposisi bajanya). Jadi depth of
hardening (tebalnya pengerasan) dinyatakan dengan jarak suatu titik di bawah permukaan
dimana strukturnya terdiri dari 50 % martensit. Suatu baja dikatakan mempunyai hardenabiliti
tinggi bila baja itu memperlihatkan tebal pengerasan (depth of hardening) yang besar atau dapat
mengeras pada seluruh penampang dari suatu benda.
Komposisi kimia di dalam baja sangat memengaruhi kekerasan baja tersebut. Kekerasan
maksimum yang dapat dicapai setelah proses pengerasan banyak tergantung pada kadar
karbon. Semakin tinggi kadar karbonnya, maka semakin tinggi pula kekerasan maksimum
yang dapat dicapai. Kekerasan maksimum akan terjadi bila dapat diperoleh struktur yang
seluruhnya martensit. Struktur sebelum dikeraskan dapat berupa perlit, dimana kekerasan
baja masih rendah. Pada baja dengan kadar karbon sangat rendah, kekerasan maksimum
yang dapat dicapai setelah pengerasan relatif tidak tinggi dan kenaikan kekerasan setelah
pengerasan tidak banyak, karenanya pengerasan biasanya dilakukan terhadap baja dengan
kadar karbon yang memadai, tidak kurang dari 0,30% C (untuk baja karbon), dalam hal
ini menggunakan baja AISI 1045 dan AISI 4340 yang akan ditampilkan kadar karbonnya
dalam tabel berikut :
Tabel II. Komposisi kimia baja AISI 1045 dan 4340
(Bohler, Special Steel)

Chemical Composition (Average,%)

AISI C Si Mn Cr Mo

4340 0,43 0,30 0,70 1,10 0,20

1045 0,48 0,30 0,70 - -

Pada baja dengan kadar karbon yang tinggi, kenaikan kekerasan akan semakin
menurun, bahkan kekerasan setelah proses pengerasan pun menurun. Hal ini dapat terjadi
karena dengan kadar karbon yang makin tinggi di dalam fasa austenit akan menyebabkan
austenit sisa makin banyak, sehingga dapat mengurangi kenaikan kekerasan. Untuk
mencapai kekerasan yang lebih tinggi, austenit sisa ini harus dihilangkan dengan
memberikan perlakuan sub zero treatment (pendinginan sampai di bawah 0o C) setelah
proses quenching. Begitu juga hal nya dengan faktor kedua yaitu grain size austenite,
Proses pengerasan (hardening) pada dasarnya dilakukan dengan memanaskan baja hingga
mencapai temperatur austenit, kemudian menahan pada temperatur tersebut beberapa saat,
dan mendinginkan dengan cepat menggunakan media pendingin tertentu. Melalui perlakuan
tersebut, diharapkan dapat terbentuk fasa martensit di dalam baja. Banyaknya martensit yang
terbentuk tergantung pada seberapa banyak fasa austenit yang terbentuk pada saat pemanasan
di temperatur austenisasi baja tersebut, dan seberapa cepat serta seberapa jauh laju pendinginan
kritis yang dapat dicapai. Sedangkan kekerasan martensit tergantung pada kadar karbon yang
ada di dalam fasa austenit pada saat dipanaskan. Karena itu kekerasan yang terbentuk
setelah proses pengerasan sangat tergantung pada beberapa hal utama yaitu temperatur
austenitisasi dan waktu tahan austenitisasi.
Faktor kedua yang mempengaruhi hardenabiliti adalah ukuran grain size austenite.
Pengaruh ukuran butir austenit terhadap hardenabiliti diantaranya adalah:

Semakin banyak batas butir austenit semakin mudah fasa pearlit untuk terbentuk
dibandingkan fasa martensit .

Lebih kecil ukuran butir austenit, semakin rendah hardenability bahan


Semakin banyak batas butir austenit semakin mudah untuk pearlit untuk terbentuk
dibandingkan martensit

Lebih kecil ukuran butir austenit, semakin rendah hardenability bahan

Semakin besar ukuran butir austenit, semakin besar hardenability

1.4.6. Proses pengujian hardenability


Hardenabiliti pada dasarnya tergantung pada diagram transformasi, karena itu ia akan
tergantung pada dua faktor utama yaitu komposisi kimia (kadar karbon dan unsur paduan)
austenit dan ukuran butir (grain size) austenit. Untuk mengukur hardenabiliti suatu baja ada dua
cara yaitu dengan Grossman dan dengan cara Jominy.
1. Pengujian Hardenabiliti Grossman
Untuk pengujian hardenabiliti dengan cara Grossman ini baja yang akan diuji dibuat
menjadi sejumlah spesimen berbentuk batang silindrik dari berbagai diameter. Lalu semuanya
dikeraskan dengan pendinginan celup pada suatu media pendingin tertentu. Dengan metalografi
dicari suatu batang yang pada intinya terdapat tepat 50 % martensit. Diameter batang ini
dinamakan diameter kritis Do (critical diameter) dari baja itu (untuk diameter kritis ini ada yang
menggunakan notasi Do, Dc atau Dcrit).
Di depan sudah ditunjukkan bahwa ada korelasi antara kadar karbon, strukturmikro (banyaknya
martensit) dan kekerasan, jadi baja dengan kadar karbon tertentu, dengan strukturmikro tertentu
(misalnya 50 % martensit) akan mempunyai kekerasan tertentu, maka sebenarnya diameter kritis
juga dapat dicari dengan mencari batang Grossman yang mana yang intinya memeiliki kekerasan
tertentu tsb. (Gambar 5.).

Gambar 9. Penentuan diameter kritis cara membuat kurva distribusi kekerasan penampang
2. Pengujian hardenabiliti Jominy
Gambar 10. Pengujian hardenabiliti Jominy, (A) Bentuk dan ukuran spesimen (B) Bentuk alat
pengujian Jominy (Jominy Apparatus)
Pengujian ini disebut juga end quench hardenability test karena pada pengujian ini
digunakan spesimen berbentuk batang silindrik berdiameter 1" (25 mm) panjang 4" (100 mm)
(Gambar 6.A), yang akan didinginkan pada salah satu ujungnya. Untuk tes ini digunakan alat
(Jominy Apparatus, Gambar 6.B) dengan lubang tempat dudukan kepala spesimen pada
puncaknya. Sebuah nozzle berdiameter " (12,5 mm)
tepat berada di bawah ujung spesimen yang menggantung tsb, untuk menyemprotkan air
pendingin dengan tinggi pancaran bebas 2 " (65 mm). Bila spesimen sudah berada pada
kedudukannya maka sumbu spesimen akan tepat segaris dengan sumbu nozzle, dan jarak antara
ujung spesimen dengan nozzle tepat " (12,5 mm). Antara spesimen dengan nozzle dipasang
plat penghalang yang dapat dibuka dengan cepat sesaat setelah spesimen diletakkan pada lubang
dudukannya.
Spesimen dipanaskan pada temperatur austenitisasinya dengan waktu tahan biasanya 20 -
30 menit, lalu diambil dan dipindahkan dengan cepat ke lubang dudukan pada alat Jominy dan
segera pula air pendingin disemprotkan dan mengenai ujungnya. Setelah dingin spesimen
dibersihkan dan dua sisi silinder yang saling berseberangan diratakan lalu diukur kekerasannya
sepanjang sisi tersebut (setiap jarak 1/16", titik Jominy). Kemudian hasil pengukuran kekerasan
tsb diplot pada grafik kekerasan - jarak dari ujung quench (Jominy distance), didapatkan kurva
hardenabiliti (kurva Jominy). Contoh cara memplot kurva Jominy dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 11. Contoh cara memperoleh kurva Jominy dari plotting hasil pengukuran kekerasan
spesimen Jominy.
Tabel III. Hubungan antara laju pendinginan dengan titik pengukuran kekerasan spesimen
jominy
DISTANCE FROM COOLING RATE, DISTANCE FROM COOLING RATE,
o o o
QUENCHED END, F/s, at 1300 F QUENCHED END, F/s, at 1300 oF
IN IN
1/16 490 11/16 19.5
1/8 305 16.3
3/16 195 13/16 14.0
1/4 125 7/8 12.4
5/16 77 15/16 11.0
3/8 56 1 10.0
7/16 42 1 7.0
1/2 33 1 5.1
9/16 26 1 4.0
5/8 21.4 2 3.5

Setiap titik pada suatu spesimen Jominy mengalami pendinginan dengan laju tertentu,
yang besarnya dapat dianggap sama untuk titik pada posisi yang sama pada spesimen Jominy
yang lain (diasumsikan bahwa bajanya mempunyai koefisien perambatan panas sama). Besarnya
laju pendinginan pada titik-titik pengukuran kekerasan spesimen Jominy (titik Jominy) diberikan
dapat dilihat pada Tabel III.
Karena baja dengan komposisi kimia yang sama yang mengalami laju pendinginan sama
akan mempunyai strukturmikro sama sehingga sifat mekaniknya sama dan kekerasannya akan
sama, maka dengan menghitung laju pendinginan di suatu titik pada benda kerja dapat
diramalkan kekerasan pada titik itu, yaitu dengan melihat kekerasan pada spesimen Jominy yang
mengalami laju pendinginan yang sama. Dari sini akan dapat dibuat perkiraan distribusi
kekerasan pada suatu penampang benda kerja yang dikeraskan.
Hardenability suatu baja banyak tergantung pada komposisi kimianya, sedang komposisi
kimia baja dari suatu standard merupakan range dengan batas maksimum dan minimum untuk
setiap unsur. Sehingga baja dengan standar yang sama dapat menunjukkan hardenabiliti yang
sangat berbeda.

1.5. Metodologi Percobaan


1. Standard Pengujian
Standard pengujian dan spesimen pada praktikum ini menggunakan ASTM A255 dan
standard pengujian kekerasan Rockwell C menggunakan ASTM E18.
Gambar 12. Standard Spesimen Pengujian Jominy

Gambar 13. Standard Pengujian Kekerasan (Hardness Test)


2. Material
Material yang digunakan pada praktikum ini adalah baja karbon rendah AISI 1045 dan baja
paduan AISI 4340 tanpa diberikan perlakuan panas.

3. Peralatan
1) Alat uji jominy
2) Muffle furnace
3) Mesin Hardness test
4) Penggaris
5) Sarung tangan tahan panas
6) Kertas Amplas
4. Prosedur Pengujian
1) Melakukan preparasi spesimen sesuai dengan ketentuan standard ASTM A255.

Gambar 14. Spesimen Jominy Test bedasarkan ASTM A255

2) Melakukan preparasi alat pengujian jominy sesuai dengan ketentuan standard ASTM A255.

Gambar 15. Alat Jominy Test

3) Menyalakan furnace dan menunggu hingga furnace tersebut mencapai temperatur 800oC
4) Memasukkan spesimen ke dalam furnace
5) Mendiamkan spesimen di dalam furnace selama 30 menit
6) Mengeluarkan spesimen dari furnace dan memasukannya ke lubang / holder pada alat
pengujian jominy, dan segera menyemprotkan air pendingin hingga mengenai bagian bawah
ujung spesimen
7) Melakukan pengujian kekerasan

You might also like