Professional Documents
Culture Documents
4. Austenitic stainless
Austenitic stainless steel adalah jenis yang paling banyak dalam lingkup stainless steel.
Baja ini memiliki Cr dalam rentang 16% sampai dengan 26%; nikel dalam rentang 3.35%
sampai dengan 37%; paduan elemen lainya seperti karbon dengan rentang 0.03% sampai
dengan 0.25% dan Mo, Niobium, Ti, dan tantalum adalah tambahan yang bersifat special,
biasanya digunakan untuk meningkatkan sifat tertentu. Stainless steels bersifat tidak
magnetic dan dapat dikeraskan dengan cara cold working. Bagaimanapun mereka tidak
dapat dikeraskan dengan heat treatment. Mereka memiliki low temperatur ductility yang
bagus. Beberapa grade seperti 310 memiliki kualitas yang bagus untuk menengah sampai
temperatur tinggi. Austenitic stainless steel biasanya tahan terhadap shock resistant dan tidak
mudah untuk di machining. Ketahanan korosi dari baja ini sangat bagus dalam kebanyakan
macam lingkungan.
1.5.2 Quench
1. Melakukan preparasi spesimen dengan ukuran diameter 1 inchi dan tebal 1 inchi
2. Menyalakan furnace dan menunggu temperatur furnace sampai 800oC
3. Memasukkan spesimen ke dalam furnace dan melakukan holding selama 45 menit
4. Mengeluarkan spesimen dan mendinginan spesimen dengan cepat menggunakan media oli
5. Menganalisis strukturmikro
6. Melakukan uji kekerasan
7. Membandingkan kekerasan dari material yang di anneal dan quench
1.5.3 Anneal
1. Melakukan preparasi spesimen dengan ukuran diameter 1 inchi dan tebal 1 inchi
2. Menyalakan furnace dan menunggu temperatur furnace sampai 800oC
3. Memasukkan spesimen ke dalam furnace dan melakukan holding selama 45 menit
4. Mendinginan spesimen dengan lambat didalam furnace
5. Menganalisis strukturmikro
6. Melakukan uji kekerasan
7. Membandingkan kekerasan dari material yang di anneal dan quench
MODUL 2
PROSES PENGERASAN BESI TUANG KELABU
2) Metode Dinamik
Pengujian kekerasan menggunakan metode Dinamik (kekerasan pantul) dilakukan
dengan cara menghitung energi impak yang dihasilkan oleh indentor yang dijatuhkan pada
permukaan spesimen. Alat yang digunakan untuk pengujian ini adalah Shore Scleroscope.
LowCarbon Steels;
Memiliki kandungan karbon kurang dari 0.25 wt% C. Bersifat relatif lunak dan lemah, tetapi
memiliki keuletan dan ketangguhan yang cukup baik. Selain itu, baja jenis ini memiliki
mampu mesin dan las yang baik dengan biaya produksi yang murah dibanding baja jenis
lain. Baja ini memiliki yield strength sebesar 275 Mpa (40000 psi), tensile strength antara
415 dan 550 Mpa (60000 dan 80000 psi), dan keuletan 25%EL. Baja ini umumnya
diaplikasikan pada componen bodi mobil, pipa, struktur jembatan, dll.
MediumCarbon Steels,
Memiliki kandungan karbon diantara 0.25 dan 0.60 wt% C. memiliki sifat hardenability
yang kurang baik, dan hanya dapat dilakukan pengerasan pada kedalaman yang rendah
dengan laju quenching yang sangat cepat. Baja ini umumnya diaplikasikan pada velg, gears,
crankshaft, bagian mesin lainnya yang memerlukan kombinasi kekuatan dan keuletan yang
baik.
HighCarbon Steels,
Umumnya memiliki kandungan karbon diantara 0 60 dan 1 4. wt%C. Memiliki kekerasan
dan kekuatan tinggi, namun keuletan yang rendah. Banyak digunakan pada peralatan yang
membutuhkan tingkat kekuatan dan kekerasan yang tinggi seperti cutting tools, dies
forming, hacksaw blades, razor, spring, dan pisau.
Gambar 6. Diagram Fasa Fe-Fe3C
Adapun fasa yang terbentuk pada baja karbon antara lain
Alfa Ferrit; atau disebut juga besi alfa, memiliki struktur kristal BCC pada temperatur
kamar.
Austenit; atau disebut juga besi gamma, berada pada temperatur 912 oC (1674oF) dan
memiliki struktur kristal FCC
Delta Ferrit; yang merupakan fasa akhir sebelum memasuki fasa cair pada temperatur
1538oC (2800oF) dan memiliki struktur kristal BCC
Sementit (Fe3C); yang terbentuk pada kadar karbon maksimal 6,7 wt% C berupa besi
karbida (iron carbide).
(a) (b)
Gambar 7. Struktur mikro (a) fasa Ferrit, dan (b) fasa Austenit
1.4.3. Baja AISI 1045
Baja AISI 1045 diberi nama menurut standar american iron and steel institude (AISI)
dimana angka 1xxx menyatakan baja karbon, angka 10xx menyatakan karbon steel sedangkan
angka 45 menyatakan kadar karbon persentase (0,45 %). Penulisan atau penggolongan baja
AISI 1045 ini menurut standar yang lain adalah sama dengan DIN C 45, JIS S 45 C, dan UNS
G 10450. Menurut struktur mikronya, baja AISI 1045 termasuk baja hypoeutectoid
(kandungan karbon < 0,8 % C). Sehingga dengan meningkatnya kandungan karbon maka
kekuatan tarik dan kekerasan semakin menjadi naik sedangkan kemampuan regang, keuletan,
ketangguhan dan kemampuan lasnya menurun. Kekuatannya akan banyak berkurang bila
bekerja pada temperatur yang agak tinggi. Pada temperatur yang rendah ketangguhannya
menurun secara dratis. Baja jenis ini banyak dicari dan banyak diaplikasikan pada berbagai
macam peralatan dan komponen mesin karena harganya yang cukup murah dan mudah
didapatkan di pasaran. Beberapa contoh pengaplikasian baja AISI 1045 antara lain pada poros,
roda gigi dan rantai.
Kandungan unsur pada AISI 1045 menurut standard ASTM A 827-85 adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Unsur pada baja AISI 1045
Unsur % Sifat mekanis lainnya
AISI C Si Mn Cr Mo
Pada baja dengan kadar karbon yang tinggi, kenaikan kekerasan akan semakin
menurun, bahkan kekerasan setelah proses pengerasan pun menurun. Hal ini dapat terjadi
karena dengan kadar karbon yang makin tinggi di dalam fasa austenit akan menyebabkan
austenit sisa makin banyak, sehingga dapat mengurangi kenaikan kekerasan. Untuk
mencapai kekerasan yang lebih tinggi, austenit sisa ini harus dihilangkan dengan
memberikan perlakuan sub zero treatment (pendinginan sampai di bawah 0o C) setelah
proses quenching. Begitu juga hal nya dengan faktor kedua yaitu grain size austenite,
Proses pengerasan (hardening) pada dasarnya dilakukan dengan memanaskan baja hingga
mencapai temperatur austenit, kemudian menahan pada temperatur tersebut beberapa saat,
dan mendinginkan dengan cepat menggunakan media pendingin tertentu. Melalui perlakuan
tersebut, diharapkan dapat terbentuk fasa martensit di dalam baja. Banyaknya martensit yang
terbentuk tergantung pada seberapa banyak fasa austenit yang terbentuk pada saat pemanasan
di temperatur austenisasi baja tersebut, dan seberapa cepat serta seberapa jauh laju pendinginan
kritis yang dapat dicapai. Sedangkan kekerasan martensit tergantung pada kadar karbon yang
ada di dalam fasa austenit pada saat dipanaskan. Karena itu kekerasan yang terbentuk
setelah proses pengerasan sangat tergantung pada beberapa hal utama yaitu temperatur
austenitisasi dan waktu tahan austenitisasi.
Faktor kedua yang mempengaruhi hardenabiliti adalah ukuran grain size austenite.
Pengaruh ukuran butir austenit terhadap hardenabiliti diantaranya adalah:
Semakin banyak batas butir austenit semakin mudah fasa pearlit untuk terbentuk
dibandingkan fasa martensit .
Gambar 9. Penentuan diameter kritis cara membuat kurva distribusi kekerasan penampang
2. Pengujian hardenabiliti Jominy
Gambar 10. Pengujian hardenabiliti Jominy, (A) Bentuk dan ukuran spesimen (B) Bentuk alat
pengujian Jominy (Jominy Apparatus)
Pengujian ini disebut juga end quench hardenability test karena pada pengujian ini
digunakan spesimen berbentuk batang silindrik berdiameter 1" (25 mm) panjang 4" (100 mm)
(Gambar 6.A), yang akan didinginkan pada salah satu ujungnya. Untuk tes ini digunakan alat
(Jominy Apparatus, Gambar 6.B) dengan lubang tempat dudukan kepala spesimen pada
puncaknya. Sebuah nozzle berdiameter " (12,5 mm)
tepat berada di bawah ujung spesimen yang menggantung tsb, untuk menyemprotkan air
pendingin dengan tinggi pancaran bebas 2 " (65 mm). Bila spesimen sudah berada pada
kedudukannya maka sumbu spesimen akan tepat segaris dengan sumbu nozzle, dan jarak antara
ujung spesimen dengan nozzle tepat " (12,5 mm). Antara spesimen dengan nozzle dipasang
plat penghalang yang dapat dibuka dengan cepat sesaat setelah spesimen diletakkan pada lubang
dudukannya.
Spesimen dipanaskan pada temperatur austenitisasinya dengan waktu tahan biasanya 20 -
30 menit, lalu diambil dan dipindahkan dengan cepat ke lubang dudukan pada alat Jominy dan
segera pula air pendingin disemprotkan dan mengenai ujungnya. Setelah dingin spesimen
dibersihkan dan dua sisi silinder yang saling berseberangan diratakan lalu diukur kekerasannya
sepanjang sisi tersebut (setiap jarak 1/16", titik Jominy). Kemudian hasil pengukuran kekerasan
tsb diplot pada grafik kekerasan - jarak dari ujung quench (Jominy distance), didapatkan kurva
hardenabiliti (kurva Jominy). Contoh cara memplot kurva Jominy dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 11. Contoh cara memperoleh kurva Jominy dari plotting hasil pengukuran kekerasan
spesimen Jominy.
Tabel III. Hubungan antara laju pendinginan dengan titik pengukuran kekerasan spesimen
jominy
DISTANCE FROM COOLING RATE, DISTANCE FROM COOLING RATE,
o o o
QUENCHED END, F/s, at 1300 F QUENCHED END, F/s, at 1300 oF
IN IN
1/16 490 11/16 19.5
1/8 305 16.3
3/16 195 13/16 14.0
1/4 125 7/8 12.4
5/16 77 15/16 11.0
3/8 56 1 10.0
7/16 42 1 7.0
1/2 33 1 5.1
9/16 26 1 4.0
5/8 21.4 2 3.5
Setiap titik pada suatu spesimen Jominy mengalami pendinginan dengan laju tertentu,
yang besarnya dapat dianggap sama untuk titik pada posisi yang sama pada spesimen Jominy
yang lain (diasumsikan bahwa bajanya mempunyai koefisien perambatan panas sama). Besarnya
laju pendinginan pada titik-titik pengukuran kekerasan spesimen Jominy (titik Jominy) diberikan
dapat dilihat pada Tabel III.
Karena baja dengan komposisi kimia yang sama yang mengalami laju pendinginan sama
akan mempunyai strukturmikro sama sehingga sifat mekaniknya sama dan kekerasannya akan
sama, maka dengan menghitung laju pendinginan di suatu titik pada benda kerja dapat
diramalkan kekerasan pada titik itu, yaitu dengan melihat kekerasan pada spesimen Jominy yang
mengalami laju pendinginan yang sama. Dari sini akan dapat dibuat perkiraan distribusi
kekerasan pada suatu penampang benda kerja yang dikeraskan.
Hardenability suatu baja banyak tergantung pada komposisi kimianya, sedang komposisi
kimia baja dari suatu standard merupakan range dengan batas maksimum dan minimum untuk
setiap unsur. Sehingga baja dengan standar yang sama dapat menunjukkan hardenabiliti yang
sangat berbeda.
3. Peralatan
1) Alat uji jominy
2) Muffle furnace
3) Mesin Hardness test
4) Penggaris
5) Sarung tangan tahan panas
6) Kertas Amplas
4. Prosedur Pengujian
1) Melakukan preparasi spesimen sesuai dengan ketentuan standard ASTM A255.
2) Melakukan preparasi alat pengujian jominy sesuai dengan ketentuan standard ASTM A255.
3) Menyalakan furnace dan menunggu hingga furnace tersebut mencapai temperatur 800oC
4) Memasukkan spesimen ke dalam furnace
5) Mendiamkan spesimen di dalam furnace selama 30 menit
6) Mengeluarkan spesimen dari furnace dan memasukannya ke lubang / holder pada alat
pengujian jominy, dan segera menyemprotkan air pendingin hingga mengenai bagian bawah
ujung spesimen
7) Melakukan pengujian kekerasan