You are on page 1of 11

DINAMIKA EKSISTENSI MANUSIA : PRESPEKTIF ALIRAN

MUTAZILAH DAN ASYARIYAH

Nurul Maghfiroh El-Rashid

Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan


Tuhan di muka bumi. Menurut Nurcholis Madjid, manusia merupakan
makhluk ciptaan Allah yang mengagumkan dan penuh misteri. Dia tersusun
dari perpaduan dua unsur; yaitu segenggam tanah bumi, dan ruh Allah. Maka
siapa yang hanya mengenal aspek tanahnya dan melalaikan aspek tiupan ruh
Allah, maka dia tidak akan mengenal lebih jauh hakikat manusia.
Kesempurnaan penciptaan manusia merupakan suatu konsekuensi atas fungsi
dan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Pemahaman tentang manusia
sering menemukan jalan buntu sehingga pada akhirnya hakikat manusia tidak
benar-benar terungkap.

Agama melihat manusia sebagai makhluk penyembah yang mampu


menghidupkan Tuhan sebagai kekuatan dalam agama, penafsiran hakikat
manusia dengan prespektif agama menambah kesulitan manusia dalam
memahami hakikat dirinya. Hubungan antara Tuhan dan manusia menjadi
kajian yang sangat penting karena agama melihat manusia sebagai sosok
sentral yang mampu menguraikan hakikat agama dengan benar. Tuhan
dipahami sebagai otoritas1 tertinggi yang mempunyai kedaulatan penuh dalam
membuat dan menentukan aturan. Islam, Yahudi, Kristen, dan kemungkinan
agama-agama lain, hukum Tuhan telah digariskan oleh Tuhan. Hukum Tuhan

1 Sumber otoritas (kewenangan) adalah tradisi, wahyu (Tuhan), kualitas pribadi, peraturan
perundang-undangan, dan hal yang bersifat instrumental. Mahmud Arif, Pendidikan Islam
Transformatif, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 148.
ini memuat pesan-pesan moral atau hikmah. Dengan demikian, pesan-pesan
moral ini sama dalam semua agama.2 Otororitas atau kedaulatan Tuhan hanya
dapat diperoleh ketika umat manusia dilibatkan dalam kehidupan.
Pernyataan al-Quran bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah atau wakil
Tuhan di muka bumi (Q. S. al-Baqarah [2]: 30) sangat sesuai dengan
keharusan manusia dilibatkan dalam menerjemahkan kedaulatan Tuhan
tersebut. Pelibatan ini menunjukkan bahwa kedaulatan Tuhan dan kedaulatan
manusia tidak bertentangan karena kedaulatan manusia merupakan
perpanjangan dari kedaulatan Tuhan.3

Beberapa ayat di dalam al-Quran menunjukan bahwa manusia adalah


makhluk yang menentukan kehidupannya sendiri, baik kehidupan yang
bermanfaat maupun yang merugikan bagi dirinya. Adanya banyak aliran
dalam islam seperti Mutazilah dan Asyariyah turut serta mempengaruhi
pandangan terhadap bagaimana kehendak manusia dan kehendak Tuhan.
Meskipun sesungguhnya pandangan tersebut sangat dipengaruhi oleh ideologi
yang dianut setiap aliran. Meskipun sesungguhnya kebenaran menurut Tuhan
tidak ada yang tahu.

Kelahiran Mutazilah dan Asyariyah

Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, khalifah ketiga, pada 666 M


di Madinah dalam pertentangan yang terjadi dengan tentara yang datang dari
Mesir, selain membawa masalah politik, juga menimbulkan masalah teologi
dalam Islam. Kelompok Muawiyah bin Abi sufyan, Gubernur Damsyik
menganggap Ali bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman. Dalam
2 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil Alamin,
(Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), hlm. 370.

3 Bernad Lewis, dkk., Islam Liberalisme Demokrasi, ( Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 28.
permasalahan ini penyelesaiannya menggunakan jalan tahkim (arbitrase)
yang biasa dipakai pada zaman jahiliyah. Jalan damai ini oleh segolongan
tentara Ali tidak disetujui karena kelihatannya mereka telah dekat
memperoleh kemenangan dalam peperangan. Tidak puas dengan keadaan
ini, mereka tinggalkan barisan Ali dan membentuk kekuatan sendiri yang
kemudian dikenal dengan nama kaum Khawarij. Nama Khawarij berasal dari
kata kharaja, yaitu keluar, yang dalam kasus ini berarti keluar dari barisan Ali
bin Abi Thalib, khalifah ke 4.4

Pada mulanya Mu'tazilah lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham


teologi yang dikemukakan oleh golongan Khawarij dan golongan
Murjiah. Nama Mu'tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari
kata Itazala, yang berarti mengasingkan diri, menurut suatu teori, nama itu
diberikan atas dasar ucapan Hasan Al-Basri, setelah melihat Washil
memisahkan diri. Hasan Al- Basri diriwayatkan memberi komentar sebagai
berikut : Itazala anna (ia mengasingkan diri dari kami). Orang-orang yang
mengasingkan diri disebut Mu'tazilah. Mengasingkan diri bisa berarti
mengasingkan diri dari majelis kuliah Hasan Al-Basri, atau mengasingkan
diri dari pendapat Murjiah dan pendapat Khawarij. Menurut teori lain nama
Mu'tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Basri, tetapi dari kata Itazala
yang dipakai terhadap orang- orang yang mengasingkan diri dari pertikaian
politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Kata Itazala dan Mu'tazilah menurut penulis sejarah al-Thabari
3
dan Abu al-Fuda Memang sudah dipakai pada zaman itu. Golongan yang
tidak mau turut campur dengan pertikaan politik, mengasingkan diri dan

4 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Cet. 6, Mizan


(AnggotaIKAPI) Bandung, 2000, hlm.126.
memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Di antara orang-
orang demikian terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu Husein, Abdullah dan
al-Hasan bin Muhammad bin al-Hanafi. Orang-orang Mu'tazilah sendiri
meskipun mereka menyebut diri Ahl al-Tauhid wa ahl al-Adl, tidak menolak
nama Mu'tazilah itu. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu'tazilah dapat
ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu.

Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir


pada dasawarsa kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini,
bersama pengikut Maturudiyah dan Salafiyah, mangaku termasuk
golongan ahlus sunnah wal jamaah.5 Pendiri teologi Asy'ariyah ini adalah
Imam Asy'ari (Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari. Abu Hasan al-
Asy'ari, nama lengkapnya adalah Abul Hasan bin Ismail bin Ishaq bin
Salim bin Abdillah bin Musa bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy'ari. Ia
adalah seorang ulama yang dikenal sebagai salah seorang perantara dalam
sengketa antara Ali dan Muawiyah. Abul Hasan al-Asy'ari lahir di Basrah
pada 260 H/873 M dan meninggal di Bagdad pada 324 H/935 M.

Dalam suasana Mutazilah yang sedang keruh, al-Asy'ari


dibesarkan dan di didik sampai mencapai usia lanjut. Ia telah membela
aliran Mutazilah sebaik-baiknya, tetapi kemudian aliran ini
ditinggalkannya bahkan dianggapnya sebagai lawan.6 Al-Asy'ari semula
dikenal sebagai tokoh Mutazilah, dia adalah murid dari al-Jubai, seorang
yang cerdas yang dapat dibanggakan serta pandai berdebat, sehingga al-
Jubai sering menyuruh al- Asy'ari untuk menggantikannya bila terjadi

5 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,


Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 131.

6 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Cet. 8, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta,


2003, hlm. 127. Lihat juga A. Hanafi, Tologi Islam Ilmu Kalam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1974, hlm. 54.
suatu perdebatan. Dia menjadi pengikut aliran Mutazilah sampai
berumur 40 tahun. Pada 300 H, yaitu ketika beliau mencapai umur 40
tahun, dia menyatakan keluar dari Mutazilah dan membentuk aliran
teologi sendiri yang kemudian dikenal dengan nama Asy'ariyah. Sebabnya
Imam al-Asy'ari keluar dari Mutazilah tidak begitu jelas.7 Al-Asy'ari,
sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mutazilah, akhirnya
meninggalkan ajaran Mutazilah. Sebab yang biasa disebut, yang berasal
dari al-Subki dan ibn Asyakir ialah bahwa pada suatu malam al-Asy'ari
bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan padanya
bahwa madzhab ahli haditslah yang benar, dan madzhab Mutazilah salah.

Pandangan Mutazilah dan Asyariyah tentang Eksistensi Manusia

Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan


bebas. Oleh karena itu, Mu'tazilah menganut faham qodariyah atau free
will. menurut Al-Juba'i dan Abd Aljabbra. Manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang membuat baik dan
buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas
kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istita'ah) untuk mewujudkan
kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi
manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana
dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari
manusia sendiri? Mu'tazilah dengan tegas mengatakan bahwa daya juga
berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat
terciptanya perbuatan. jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan
manusia. Aliran Mu'tazilah mengecam keras faham yang mengatakan

7 Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, al-Nahdah, Kairo, 1965, hlm. 65.


bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam
satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?

Dengan faham ini, aliran mu'tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta


alam, sedangkan manusia berpihak sebagai pihak yang berkreasi untuk
mengubah bentuknya. Meski berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan
manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu'tazilah tidak
mengingkari azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan
diperbuat manusia, pendapat inilah yang membedakannya dari penganut
qodariah murni. Untuk membela fahamnya, aliran Mu'tazilah
mengungkapkan ayat berikut:

"Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya"(QS.As-


Sajdah:7).

Yang dimaksud dengan ahsana pada ayat di atas, adalah semua perbuatan
Tuhan adalah baik. Dengan demikian, perbuatan manusia bukanlah
perbuatan Tuhan, karena perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat. Dalil
ini di kemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat
balasan atas perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan
Tuhan, balasan dari Tuhan tidak ada artinya. Disamping argumentasi
naqliah di atas, aliran Mu'tazilah mengemukakan argumentasi berikut ini.
Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri
tidak mempunyai perbuatan, bat Allah taklif syar'i. Hal ini karena syariat
adalah ungkapan perintah dan larangan yang
merupakan tahap pemenuhan tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan,
dan pilihan. Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya.
Runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-
wa'dwaal-wa'id (janji dan ancaman). Hal ini karena perbuatan itu menjadi
tidak dapat di sandarkan kepadanya secara mutlak sehingga bersekuensi
pujian atau celaan. Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan
pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah
tujuan pengutusan itu adalah dakwa dan dakwa harus di barengi kebebasan
pilihan?

Konsekuensi lain dari faham di atas, Mu'tazilah berpendapat bahwa


manusia terlibat dalam penentuan ajal karena ajal itu ada dua macam,
pertama, adalah al-ajal ath-thabi'i. ajal inilah yang di pandang mu'tazilah
sebagai kekuaaan mutlak Tuhan untuk menentukannya. Adapun jenis yang
kedua adalah ajal yang dibikin manusia untuk sendiri misalnya membunuh
seseorang, atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal
yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.

Dalam faham Asy'ari manusia di tempatkan pada posisi yang lemah.


Ia di ibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya.
Oleh karana itu, aliran ini lebih dekat dengan paham jabariah dari
pada dengan faham Mu'tazilah untuk menjeleskan dasar pijakannya,
Asy'ari, pendiri aliran asy'ariyah, memakai teori al-kasb (acquisition,
perolehan). Teori Al-Kasb Asy'ari dapat di jelaskan sebagai berikut:

Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang di ciptakan,


sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memproleh kasab untuk
melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia
kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersifat pasif dalm perbuatan-
perbuatannya.

Argumen yang diajarkan oleh Al-Asyari untuk membela keyakinannya


adalah firman Allah:

"Tuhan menciptakan kamu apa yang kamu perbuat". (Q.S. Ash-Shaffat


[37]:96)
Wama ta'malun pada ayat Q.S. Ash-Shaffat [37]:96 di artikan al-asy'ari
dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa yang kamu perbuat. Dengan
demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatanmu dengan kata lain, dalam faham asy'ari, yang
mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan
sendiri. Pada prinsipnya aliran asy'ariyah berpendapat bahwa perbuatan
manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek
untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan
menciptakan pula pada diri manusia, daya untuk melahirkan perbuatan
tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb
(perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai
pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini
berimplikasi bahwa perbuatan manusia di barengi oleh daya kehendaknya,
dan bukan atas daya kehendaknya.

Pandangan Mutazilah dan Asyariyah tentang Kehendak Tuhan

Aliran Mutazilah

Sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, aliran Mutazilah

berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang

dikatakan baik. Namun tidak berarti Tuhan tidak mampu melakukan

perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Tuhan

mengetahui dari perbuatan buruk itu. Dasar pemikiran tentang konsep

keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan

bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, kewajiban-kewajiban itu dapat

disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia,
dalam istilah Arab berbuat baik dan terbaik bagi manusai disebut ash-

shalahwa al-aslah. Term ini dalam golongan teologi Islam dikenal dengan

term Mutazilah dan yang dimaksud adalah kewajiban Tuhan berbuat baik

bahkan yang terbaik bagi manusia, hal ini memang merupakan suatu

keyakinan yang penting bagi aliran Mutazilah, menurut aliran Mutazilah

kewajiban-kewajiban Allah adalah :


a. Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia.
b. Kewajiban mengirimkan Rosul.
c. Kewajiban menepati janji (al-waad) dan ancaman (al-wadi).

Aliran Asyariah

Aliran Asyariah mempunyai paham bahwa kewajiban Tuhan berbuat

baik dan terbaik bagi manusia hal ini sama seperti apa yang dikatakan oleh

aliran Mutazilah hal ini ditegaskan oleh Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa

Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dan

demikian aliran Asyariah tidak menerima paham Tuhan mempunyai

kewajiban. Tuhan dapat berbuat dengan sekehendak hati-Nya terhadap

makhluk-Nya. Sebagaimana yang dikatan Al-Ghazali bahwa perbuatan-

perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (jaiz) dan tidak satupun darinya memiliki

sifat wajib. Aliran Asyariah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai

kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang telah disebutkan

dalam Al-Quran dan Hadits, dengan kata lain yang diancam akan mendapat

hukuman bukanlah semua orang, tetapi sebagian orang yang menelan harta
anak yatim piatu dan dengan interprestasi demikianlah Al-Asyari mengatasi

persoalan wajibnya Tuhan berbuat baik dengan manusia.

Referensi

Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS.

Hasbi, A. Kahar Muzakari. 1994. Ilmu Kalam II. Bandung: CV. Maju Raya.

Hanafi, MA.1947. Theology Islam. Yogyakarta. Bulan Bintang

Hitti, Philip K. 2008. The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs;
From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Hodgson, Marshall G. S. 2002. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam
Peradaban Dunia (The Venture of Islam: Conscience and History in a
World Civilization). Penerj.: Mulyadhi Kartanegara Jakarta: Paramadina.

Lewis, Bernad, dkk. 2002. Islam Liberalisme Demokrasi. Jakarta: Paramadina.

Misrawi, Zuhairi. 2010. Al-Quran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan
Lil Alamin. Jakarta: Pustaka Oasis.

Muzani, Syaiful (Ed.). 1995. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution. Bandung: Mizan.

Nawawi, Rifat Syauqi. 2002. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah
Akidah dan Ibadah. Jakarta: Paramadina.

Shihab, M. Quraish. 2003. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan. 2010. Tafsir al-
Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Hamka. 1984. Tafsir Al-Azhar. Jakarta. Pustaka Panjimas

You might also like