You are on page 1of 43

Naskah

Akademik
Perubahan atas Peraturan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor P16/IV-
SET/2014 tentang Pedoman
Pemeliharaan (dan Peragaan)
Lumba-lumba (Mamalia Akuatik)

Draft Pertama disiapkan oleh:


Adriani Sunuddin
Staf Pengajar, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Forum Peduli Lumba-lumba Indonesia

Jakarta, Mei 2016

1
KATA PENGANTAR
Sebagai negara hukum, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memiliki
acuan yang dijadikan landasan dalam mengatur perekonomian dan pemanfaatan
sumberdaya alam di negeri ini. Sebagai wujud rasa syukur dan pengejawantahan
bangsa yang menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, maka kita wajib meyakini bahwa ruang dan seluruh obyek
sumberdaya alam yang ada merupakan berkah Tuhan serta perlu disyukuri,
dilindungi, dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan.
Dalam konteks tersebut di atas, Indonesia merupakan negara yang
memiliki kekayaan jenis mamalia akuatik tinggi, yaitu satwa liar yang hidup di
habitat perairan, baik yang tersebar di perairan laut maupun di perairan dalam
pulau-pulau (inland waters). Kekayaan jenis mamalia akuatik yang kita miliki
tidak terbatas hanya lumba-lumba (Famili Delphinidae), sedangkan pemanfaatan
jenis mamalia akuatik lain, yaitu duyung (Dugong dugon), juga telah berlangsung
lama namun pengaturan mengenai pemeliharaan dan peragaannya masih perlu
diperbaiki agar lebih memperhatikan asas keberlanjutan satwa yang telah hidup
di bumi sejak jutaan tahun silam, serta mendukung terwujudnya pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan Pancalisa dan UUD 1945.
Dokumen Naskah Akademik mengenai perubahan atas Peraturan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan,
Nomor P16/IV-SET/2014 tentang Pedoman Pemeliharaan Lumba-lumba ini
memuat hal-hal pokok yang terkait dengan upaya pemanfaatan jenis satwa
mamalia akuatik secara berkelanjutan, khususnya peragaan lumba-lumba di luar
habitat aslinya. Dalam upaya perubahan aturan tersebut, dokumen ini disusun
sebagai landasan ilmiah dan acuan yang konseptual sehingga dapat dihasilkan
PerDirJen yang bermanfaat mengatur pemanfaatan sumber daya mamalia
akuatik secara berkelanjutan di negeri yang kaya keanekaragaman hayati ini.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Tachrir Fatoni dan
jajarannya di Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem-
KLHK atas perkenannya memfasilitasi sejumlah pertemuan yang mengarah pada
upaya perbaikan peraturan yang mengampu kepentingan konservasi lumba-
lumba dan mamalia akuatik secara umum; serta kepada rekan-rekan dan kolega
yang telah berkontribusi membantu penyusunan Naskah Akademik ini (Danielle
Kreb YK RASI, Femke den Haas dan Benvika JAAN, Dwi Suprapti dan Casandra
Tania WWF Indonesia, Arief Aziz - change.org, Liza Mustika dan Februanty
Poernomo CETASI, Sekar Mira P2O-LIPI, Nimal Fernando Safari Bali Garden,
serta Adi Kurniawan Harahap, Juraij, dan Muta Ali Khalifa).

Bogor, Mei 2016


Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1


I.1. Latar Belakang 1

I.2. Maksud dan Tujuan 2

I.3. Metodologi 3

I.4. Struktur Penulisan 3

BAB II. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS DALAM


PEMANFAATAN MAMALIA AKUATIK.................................................................. 5
II.1. Landasan Filosofis 5

II.2. Landasan Sosiologis 6

II.3. Landasan Yuridis 10

BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL MENGENAI PEMELIHARAAN DAN


PERAGAAN MAMALIA AKUATIK......................................................................... 12
III.1. Permasalahan dalam Praktek Pemeliharaan dan Peragaan Mamalia
Akuatik 13

III.2. Rumusan Kebijaksanaan dalam Pemeliharaan dan Peragaan Mamalia


Akuatik 17

BAB IV. ANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI


MUATAN...................................................................................................................... 22
IV.1. Sasaran yang Ingin Diwujudkan 22

IV.2. Arah dan Jangkauan Pengaturan 22

IV.3. Ruang Lingkup Materi Muatan 23

BAB V. PENUTUP .................................................................................................................... 25


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 27
LAMPIRAN................................................................................................................................... 29

ii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. L ATAR B ELAKANG


Seluruh wilayah, baik daratan maupun perairan, yang menjadi yurisdiksi
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kawasan yang di dalamnya
tersimpan kekayaan sumberdaya alam melimpah dan pada saat bersamaan
terancam akibat kerusakan habitat (Myers 1988), sehinga mekanisme konservasi
yang diterapkan untuk menjamin pemanfaatan berkelanjutan maupun
kelestarian spesies penting untuk dirumuskan dengan mengedepankan prinsip
kehati-hatian. Salah satu atau beberapa jenis satwa yang menjadi target
konservasi sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 dan 8
Tahun 1999 adalah mamalia akuatik, seperti lumba-lumba, pesut, paus, dan
dugong; yang mengatur tentang Pengawetan dan Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa. Sejatinya, peraturan tersebut adalah pengejawantahan sejumlah
elemen dasar konservasi yang ditujukan untuk pengelolaan keanekaragaman
hayati serta terdiri atas use it, study it, dan save it (Wilson 1992), .

Upaya melestarikan (save it) yang menjadi salah satu elemen kerja
konservasi, menjadi penting karena modal dasar pembangunan negara kita
adalah sumberdaya alam, khususnya sumberdaya alam hayati. Lumba-lumba
dan sejumlah spesies mamalia akuatik lain, seperti duyung (Dugong dugon)
merupakan beberapa bukti sejarah evolusi bumi yang telah berlangsung jutaan
tahun, sehingga planet yang kita tinggali bisa memenuhi sejumlah kebutuhan
hidup penduduk dunia yang kini jumlahnya mencapai 7.3 milyar jiwa (UN 2015).
Sebagai negara yang berdaulat dan berdasarkan pada Pancasila, maka kita wajib
mensyukuri nikmat berupa melimpahnya sumberdaya alam dan tingginya
keanekaragaman hayati yang dimiliki dengan memanfaatkan sebaik-baiknya
untuk kemakmuran bangsa berdasarkan asas keberlanjutan. Berbeda dengan
keragaman sumberdaya tanaman pangan ataupun melimpahnya populasi lebah
di sistem terestrial yang fungsi dan manfaatnya secara nyata dipahami oleh
manusia, maka keberadaan satwa mamalia akuatik di perairan laut maupun
sungai masih belum dimengerti sepenuhnya, sehingga hak hidup biota tersebut
sering teraniaya saat pemanfaatan jenisnya dikembangkan melalui pemeliharaan
di habitat buatan dan peragaan satwa.

1
Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang masih
mempraktekkan peragaan lumba-lumba melalui sirkus keliling, sedangkan
mekanisme pemanfaatan yang demikian tidak mengedepankan aspek
berkelanjutan bahkan mencederai sifat perlindungan yang secara resmi telah
ditetapkan oleh Undang-Undang maupun peraturan internasional 1, yang telah
diratifikasi oleh negara kita. Pengejawantahan lebih lanjut lagi dari ratifikasi
peraturan internasional tersebut diterjemahkan melalui Undang-Undang Nomor
5/1990 berikut turunannya yaitu PP Nomor 7 dan 8 Tahun 1999. Di dalamnya,
terdapat daftar nama jenis-jenis satwa mamalia akuatik seperti lumba-lumba
(dan dugong) tergolong sebagai satwa langka dan dilindungi oleh pemerintah,
sehingga upaya pemanfaatan melalui peragaan telah diupayakan terakomodasi
secara yuridis melalui Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor P.16/IV-SET/2014.

Namun demikian, masih terdapat sejumlah kekurangan dalam peraturan


yang telah ada dan dipandang kritis untuk diakomodasi serta penting bagi upaya
pemanfaatan berkelanjutan satwa liar akuatik yang bernilai ekonomi dan ekologi
tinggi tersebut. Dari sejumlah uraian yang telah disampaikan di atas, perlu
dilakukan kajian mendalam dan komprehensif terhadap persoalan-persoalan
yang melekat dalam konteks pemanfaatan dan peragaan lumba-lumba, baik dari
aspek yuridis, sosiologis, maupus filosofis. Hasil kajian yang dirumuskan dalam
dokumen Naskah Akademik ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dan merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya merevisi dan menerbitkan
Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai Pemeliharaan dan
Peragaan Mamalia Akuatik.

I.2. M AKSUD DAN T UJUAN


Maksud disusunnya naskah akademik ini adalah sebagai dokumen
pelengkap yang dibutuhkan dalam upaya memperbaiki Peraturan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan
Nomor P16/IV-SET/2014 tentang Pedoman Pemeliharaan Lumba-lumba.

Tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah:


1
www.eurasianet.org, 15 Desember 2015, Kyrgyzstans Madding Online Crowd Targets
Dolphinarium, http://www.eurasianet.org/node/76551: artikel tersebut menuliskan bahwa,
selain Indonesia, sirkus keliling lumba-lumba dipraktekkan di negara-negara pecahan Uni Soviet
(Belarusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Rusia) yang mayoritas tidak memliki perairan laut dan
miskin akan keanekaragaman hayati.

2
(1) Merumuskan landasan ilmiah Perubahan atas Peraturan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor P16/IV-
SET/2014 tentang Pedoman Peragaan Lumba-lumba
(2) Merumuskan arah dan cakupan ruang lingkup materi bagi penyusunan
Peraturan Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistem tentang Pemeliharaan dan Peragaan
Mamalia Akuatik.

I.3. M ETODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah
kajian empiris dan studi pustaka yang komprehensif. Selain melakukan observasi
mendalam terhadap sejumlah fasilitas pemeliharaan dan kondisi individual satwa
lumba-lumba (dan dugong) yang ada dan tercatat di Indonesia, praktek peragaan
satwa yang bersifat menetap dan berpindah, telaah peraturan perundang-
undangan, hasil penelitian, maupun referensi lain yang dapat diperoleh penulis.

I.4. S TRUKTUR P ENULISAN


Penulisan Naskah Akademik ini disajikan dalam 5 (lima) bab, yaitu:

BAB I. Pendahuluan
Menjelaskan tentang pendahuluan Naskah Akademik, yang berisi
tentang pendahuluan yang mencakup Latar Belakang, Maksud dan
Tujuan, Metodologi, dan Struktur Penulisan Naskah Akademik.

BAB II. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis dalam Pemanfaatan Jenis
Mamalia Akuatik
Berisi tentang landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang terkait
dengan pemanfaatan jenis mamalia akuatik serta peragaan dan
pemeliharaaan lumba-lumba dan dugong di habitat buatan atau
lingkungan ex situ.

BAB III. Kerangka konseptual mengenai Pemeliharaan dan Peragaan


Mamalia Akuatik
Kajian ini berisi tentang hasil studi literatur dan kajian teoritis yang
terkait substansi pemeliharaan mamalia akuatik dan peragaan
mamalia akuatik, khususnya lumba-lumba. Sejumlah aspek biologi
dasar dan ekologi lingkungan yang terkait dengan kebutuhan dasar

3
lumba-lumba untuk bertahan hidup (survival) dan terkait
kesejahteraan hewan (kesrawan) digunakan untuk mengembangkan
sub-bab ini, termasuk isu keterkinian dalam pemeliharaan dan
peragaan mamalia akuatik yang berlangsung di belahan dunia lain.

BAB IV. Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan
Berisi tentang gambaran umum naskah perubahan atas Peraturan
Direktur Jenderal yang diajukan.

BAB V. Penutup
Berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi yang dirumuskan dari
seluruh bab yang ada dalam naskah akademik.

Daftar Pustaka
Berisi senarai referensi yang dirujuk dan menjadi bahan penyusunan
naskah akademik.

LAMPIRAN:

Rancangan Perubahan atas PerDirJen PHKA No. P.16/IV-SET/2014

4
BAB II
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
DALAM PEMANFAATAN MAMALIA AKUATIK

Negara Indonesia memiliki sejumlah perangkat aturan yang mengikat


dalam kehidupan sehari-harinya sebagai bangsa dan warga negara, yang terdiri
atas Landasan Filosofis, Landasan Sosiologis, dan Landasan Yuridis. Landasan
Filosofis yang dijabarkan di ini merupakan cara pandang yang mengikat seluruh
warga negara, berikut juga penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara selama kegiatan tersebut berlangsung dalam yurisdiksi kawasan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Landasan Sosiologis terkait dengan hubungan antar manusia, baik antar
individu, kelompok masyarakat, maupun struktur sosial yang berlaku di
masyarakat.

II.1. L ANDASAN F ILOSOFIS


Pancasila, sebagai landasan filosofis, sangat berperan dalam membentuk
manusia Indonesia seutuhnya, terutama terkait fungsinya sebagai penuntun dan
perencanaan pembangunan nasional yang di kawasan negara berkembang
bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam hayati, seperti lumba-lumba dan
dugong. Secara jangka panjang, pembangunan tersebut bertujuan untuk
membangun manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Hal ini dapat dicerminkan melalui terjalinnya keselarasan
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dengan masyarakat, dengan
lingkungan hidup dan kekayaan alam yang ada di lingkungannya, serta
keselarasan hubungan antar bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di
dunia yang saat ini dan di masa depan akan semakin terbuka dengan semakin
majunya teknologi, globalisasi dan dijelangnya era perdagangan bebas.

Keselarasan , keseimbangan dan keserasian antara manusia, baik sebagai


pelaku pemanfaatan mamalia akuatik, maupun sebagai peneliti, pegiat
penyelamatan satwa liar, atau sebagai anggota masyarakat umum, mutlak
diperlukan ketika kita, sebagai bangsa dan manusia yang beradab berniat dan
berikhtiar untuk memanfaatkan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat
suatu komponen sumberdaya hayati; sekaligus memerhatikan keberlanjutan
pemanfaatan tersebut. Manakala pemanfaatan mamalia akuatik, melalui

5
peragaan satwa lumba-lumba dan dugong, ingin terus dilakukan dan
dikembangkan secara arif dan berkelanjutan, maka pemanfaatan tesebut
diwajibkan memberikan kontribusi pengembangan pengetahuan dan kajian
ilmiah mendasar yang dapat terukur dan terevaluasi secara berkala. Justifikasi
ilmiah dapat berlaku manakala ada sumbangsih nyata dalam pemahaman
kaidah-kaidah biologi hewan tersebut maupun luaran yang nyata bagi
pemeliharaan jiwa luhur manusia dalam hidup berdampingan dengan alam,
dan BUKAN merusak peradaban hingga mengubah manusia menjadi makhluk
yang biadab karena lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan hiburan atau
ekonomi semata.

II.2. L ANDASAN S OSIOLOGIS


Landasan sosiologis dalam pemanfaatan mamalia akuatik, khususnya
lumba-lumba yang merupakan sumber plasma nutfah bernilai ekologis tinggi,
perlu dikaitkan dengan kerangka Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya,
yang pada masa kini sejalan dengan upaya Revolusi Mental yang digagas oleh
pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui 9 Nawa Cita. Agenda nawa cita
yang ke- dikaitkan dengan beberapa agenda prioritas bangsa yaitu (1)
pemenuhan kebutuhan pemerintah untuk membangun tata kelola yang bersih,
efektif, demokratis, dan terpercaya, serta; (2) memperkuat restorasi sosial
melalui pendidikan dan dialog antar pihak-pihak yang berkepentingan. Integrasi
sosial diperlukan dalam upaya pemanfaatan satwa liar dilindungi, khususnya
mamalia akuatik, melalui melibatkan sejumlah unsur-unsur yang berbeda dalam
masyarakat, terutama perwakilan akademisi (peneliti, pendidik, dokter hewan)
dan pemerhati lingkungan (LSM) yang memiliki kompetensi khusus, selain pihak
pengguna yang resmi terdaftar dan memiliki izin (Lembaga Konservasi) dan
aparat pemerintah.

Terkait dengan agenda yang pertama (1) membangun tata kelola yang
bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, maka pemeliharaan satwa liar
dilindungi, termasuk mamalia akuatik seperti lumba-lumba dan dugong, hanya
diperbolehkan untuk Lembaga Konservasi (LK) yang memiliki izin resmi dan
terdaftar di pemerintah. Hingga saat ini, ada 3 LK yang terdaftar dan memiliki
kewenangaan untuk memelihara satwa liar mamalia akuatik yang dilindungi,
namun sampai padat September 2015 tercatat ada sejumlah fasilitas
pemeliharaan lumba-lumba yang tersebar di seluruh Indonesia dan legalitas
kewenangan tersebut sangat dipertanyakan, kecuali tiga lembaga/fasilitas yang

6
bertanda bintang (*) sebagaimana disajikan dalam Kotak 1. Terkait dengan
agenda tata kelola pemeliharaan dan peragaan satwa liar dilindungi yang khusus,
seperti lumba-lumba, maka upaya menjamin pengelolaan dan pemanfaatan
berkelanjutan memerlukan kolaborasi antar pihak-pihak yang berkompeten di
dalam masyarakat, selain pemerintah dan lembaga konservasi tersebut.

Kotak 1: Fasilitas kolam pemeliharaan/peragaan mamalia akuatik yang ada


di Indonesia (data per 30 September 2015) tersaji berikut ini:

Nama/lokasi pemeliharaan Jumlah


No. Jenis mamalia akuatik
mamalia akuatik individu
Wake Bali Dolphins, Keramas Bottlenose dolphins
1 4
Beach, Gianyar, Provinsi Bali (Tursiops spp.)
Melka Exelcior Dolphin Resort
Bottlenose dolphins
2 Hotel, Lovina Beach, Buleleng, 5
(Tursiops spp.)
Provinsi Bali
Dolphin Lodge Serangan, Bottlenose dolphins
3 10
Denpasar, Provinsi Bali (Tursiops spp.)
Batang Dolphins Center, Pantai
Bottlenose dolphins
4 Singandu, Batang, Provinsi Jawa >4
(Tursiops spp.)
Tengah
Bottlenose dolphins
PT. Wersut Seguni Indonesia,
(Tursiops spp.), dan
5 Sikucing, Kendal, Provinsi Jawa 26
Spinner dolphins (Stenella
Tengah*
longirostris)
Ocean Dream Samudera, Bottlenose dolphins
6 Taman Impian Jaya Ancol, 28 + 2 (Tursiops spp.), dan
Provinsi DKI Jakarta* Duyung (Dugong dugon)
PT. Piayu Samudra Loka (PSL),
Bottlenose dolphins
7 Pulau Mencaras, Provinsi Riau 2
(Tursiops spp.)
Kepulauan
Taman Safari Indonesia,
-tak ada
8 Cisarua-Bogor, -tak ada data-
data-
Provinsi Jawa Barat*
Taman Safari Indonesia II,
9 Prigen-Pasuruan, Provinsi Jawa <4 -tak ada data-
Timur
Dalam pembangunan:
10 Funtasy Island, Batam, Pulau - -
Manis, Provinsi Riau Kepulauan
*= fasilitas pemeliharaan/peragaan telah memiliki izin resmi dari pemerintah
sebagai lembaga konservasi yang berwenang memelihara mamalia akuatik

7
Dalam perkembangan upaya pemanfaatan mamalia akuatik melalui
pemeliharaan ex situ dan peragaan lumba-lumba, maka edukasi merupakan
salah satu justifikasi utama yang dikemukaan oleh pihak pengelola fasilitas
peragaan untuk mempertahankan konsep pemanfaatan satwa liar dilindungi
tersebut. Namun demikian, sulit bagi kita untuk mempertahankan justifikasi
tersebut karena proses pembelajaran melalui peragaan lumba-lumba yang
seharusnya menjadi esensi program edukasi bersifat personal dan subyektif.
Sejatinya, pembelajaran membutuhkan proses dan produk luaran pembelajaran
tersebut terlalu dangkal jika hanya dinilai melalui lembar kuesioner sederhana
yang dijawab oleh penonton setelah menikmati pertunjukan atau atraksi yang
diperagakan oleh lumba-lumba tersebut.

Sirkus lumba-lumba telah marak dipertunjukkan di sejumlah kota besar di


Pulau Jawa oleh LK yang berizin resmi, dan mulai merambah ke pulau-pulau
utama lain di Indonesia, juga menjadi pertimbangan utama dalam kerangka
landasan sosiologis. Hal ini terkait dengan praktek pemeliharaan dan peragaan
yang bersifat berpindah-pindah dan menafikan kaidah etika dan kesejahteraan
satwa, yang telah diamanahkan PerDirJen PHKA No. P.16/IV-SET/2014 dan
PerMenhut No. P.52/Menhut-II/2006. Sulit bagi kita untuk bisa mempelajari
lumba-lumba dan jenis-jenis mamalia akuatik lainnya, karena perbedaan habitat
dan kemampuan jelajah manusia yang terbatas di laut, sedangkan pengamatan
terhadap satwa liar tersebut di habitat aslinya juga tidak mudah dilakukan.
Justifikasi penangkapan mamalia akuatik untuk dipelihara dalam lingkungan
terkontrol dan peragaan untuk edukasi sudah tidak bisa dipertahankan pada
masa kini, yang telah lebih maju, terbuka, dan terdera aliran informasi yang
bergerak cepat. Hal yang sama juga berlaku untuk pemenuhan kebutuhan
hiburan manusia melalui peragaan atraksi dan sirkus lumba-lumba. Perubahan
tersebut tentu saja terkait dengan telah lebih terbukanya wawasan manusia dan
peningkatan peradaban yang dilaluinya seiring peningkatan pemahaman dan
tingkat pendidikan masyarakat. Lien (1999) menguraikan hasil kajiannya terkait
persepsi masyarat di British Columbia, Kanada, yang merupakan kawasan pesisir
dan pulau-pulau yang memiliki sejarah pemanfaatan mamalia akuatik, dan
mendapati bahwa dalam kurun waktu setahun opini pengunjung fasilitas
akuarium berubah dari mendukung peragaan hingga secara tegas menuntut
adanya pengaturan terstandardisasi mengenai praktek pemeliharaannya karena
meyakini bahwa harapan hidup seluruh satwa (paus dan lumba-lumba) yang
dipelihara berkurang karena secara psikis mengalami stress.

8
Sebagai negara yang terdiri atas ribuan pulau yang dihubungkan oleh
bentang perairan luas serta dihuni oleh jutaan penduduk dari latar belakang
agama, kebudayaan dan sosial-ekonomi yang berbeda-beda, maka upaya
pemanfaatan satwa liar, termasuk lumba-lumba dan mamalia akuatik lainnya,
berpotensi menjadi wahana dan media memperkuat restorasi sosial melalui
pendidikan dan dialog antar pihak-pihak yang berkepentingan. Landasan
sosiologis yang sebaiknya diperkuat dalam konteks pemeliharaan dan peragaan
mamalia akuatik melalui program pendidikan yang dikembangkan secara
terstruktur, program penelitian dasar yang dibutuhkan untuk pengelolaan
sumberdaya mamalia akuatik di habitat aslinya terkait sejumlah ancaman
keberlanjutan spesies maupun kerusakan atau gangguan terhadap habitat
(misalnya: kajian bioakustik lumba-lumba terhadap ancaman kebisingan laut).
Informasi dasar tersebut selanjutnya perlu dielaborasi lebih lanjut penerapannya
bagi program konservasi di alam liar, selain dievaluasi berdasarkan sejumlah
target capaian yang terukur dan disepakati bersama antar pihak-pihak yang
berkepentingan secara berimbang.

Tak dipungkiri bahwa, pemanfaatan dan peragaan satwa liar, termasuk


lumba-lumba, juga berkontribusi menggerakkan ekonomi masyarakat dan
perekonomian nasional. Namun penyelenggaraannya perlu berlandaskan
demokrasi ekonomi, sehingga prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan. Manakala pihak LK dan pemerintah mengedepankan akuntabilitas
lembaganya, maka evaluasi dan upaya perbaikan yang terukur dan terarah dari
pemanfaatan lumba-lumba dan mamalia akuatik lainnya dapat dilakukan secara
bersama-sama oleh pihak-pihak yang berkepentingan serta mengakomodasi
proses yang transparan dan terintegrasi.

Upaya sosial memanfaatkan juga harus diimbangi dengan program kolektif


bersama untuk menyukseskan penangkaran mamalia akuatik, dengan harapan
kegiatan peragaan dan pemeliharaan ex situ bisa diperoleh melalui inbreeding,
dan tidak lagi mengandalkan satwa liar yang diperoleh dari alam. Evaluasi dan
monitoring individual atas seluruh satwa yang dipelihara mutlak diperlukan
melalui program penandaan yang memanfaatkan sidik genetika maupun tilik kaji
morfometrik, agar tidak terjadi penyalahgunaan ataupun penyelundupan satwa.
Pemerintah berperan strategis menumbuhkan dan menggerakkan peran serta
masyarakat melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna,
sehingga restorasi sosial bangsa diperkuat melalui peningkatan kesadaran dan
partisipasi masyarakat dalam konservasi sumberdaya alam hayati.

9
II.3. L ANDASAN Y URIDIS
Dalam menakar pemanfaatan mamalia akuatik, termasuk di dalamnya
adalah peragaan lumba-lumba (dan dugong) yang telah dipraktekkan dalam
kurun waktu 30 tahun terakhir di negara Indonesia, maka kita perlu menelusuri
keselarasan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebagai landasan
yuridis yang sahih. Sebagai negara hukum, maka upaya perubahan atas
PerDirJen PHKA Nomor P.16/IV-SET/2014 perlu dilakukan dengan memerhatikan
landasan yuridis, yaitu pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
perubahan atas pedoman peragaan lumba-lumba dilakukan untuk mengatasi
sejumlah permasalahan pemanfaatan sumber daya alam hayati, khususnya
lumba-lumba dan jenis mamalia akuatik lain, yang ada di Indonesia.

Negara Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat dan mengikat
seluruh komponen bangsa dan negara terkait pengelolaan dan pemanfaatan
mamalia akuatik, yang merupakan bagian dari kekayaan alam hayati. Arahan
yang terkait dengan mekanisme pengelolaannya juga telah dijabarkan dalam
amandemen UUD 1945. Dengan demikian, penguasaan seluruh spesies lumba-
lumba dan sejumlah jenis mamalia akuatik lain sebagai sumber daya alam hayati
terletak pada negara, yang secara tegas dimaktubkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999. Negara memang menguasai kekayaan sumber
daya alam hayati tersebut, namun pengejawantahan utamanya adalah dalam
bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan
pengaruh agar pemanfaatan teknis yang dilakukan oleh pihak yang diberikan
otorisasi (misalnya: LK) tetap berpegang pada azas kepentingan masyarakat
banyak, dan ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

PerDirJen PHKA Nomor P.16/IV-SET/2014 mengenai Pedoman Peragaan


Lumba-lumba ternyata merupakan perubahan atas pedoman sebelumnya yang
ditetapkan melalui PerDirJen PHKA Nomor P.1/IV-SET/2014. Menafikan telaah
PerDirJen PHKA Nomor P.1/IV-SET/2014 yang telah ditetapkan tidak berlaku
berdasarkan Pasal 52 PerDirJen PHKA Nomor P.16/IV-SET/2014, maka kita perlu
mendasari sejumlah uraian yang telah disampaikan pada Landasan Filosofis dan
Sosiologis, serta memerhatikan sejumlah peraturan perundang-undangan yang
belum diselaraskan pengaturan teknisnya. Daftar peraturan perundang-
undangan yang memiliki hirarki yuridis lebih tinggi dan ketentuan teknisnya
belum terampu di dalam PerDirJen PHKA Nomor P.16/IV-SET/2014 disampaikan
berikut ini:

10
(1) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB
mengenai Keanekaragaman Hayati;
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar;
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan;
(4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1978 tentang
Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Species
(CITES) of Wild Fauna and Flora;
(5) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 tentang
(6) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/2003 tentang Penandaan
Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar;
(7) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha
Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Spesimen Tumbuhan dan
Satwa Liar;
(8) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2012; P.01/Menhut-
II/2007, dan; P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi;
(9) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/Menhut-II/2013 tentang Tata
Cara Memperoleh Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar untuk Lembaga
Konservasi;
(10)Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 dan
P.69/Menhut-II/2013 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar
(11)Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.52/Menhut-II/2006 dan
P.39/Menhut-II/2012 tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
Dilindungi

11
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL MENGENAI PEMELIHARAAN
DAN PERAGAAN MAMALIA AKUATIK

Mamalia akuatik merupakan kelompok satwa liar yang memiliki sejarah


evolusi kompleks dan terdiri ratusan spesies yang tergabung dalam 3 kelompok
ordo yang berbeda, yaitu Carnivora (singa laut, beruang kutub, berang-berang
laut, dan lain-lain), Cetartiodactyla (paus, porpoise, dan lumba-lumba) dan
Sirenia (dugong)2. Dari ketiganya, dua kelompok terakhir merupakan jenis yang
seluruh hidupnya dilangsungkan di habitat perairan, baik perairan laut, tawar,
maupun kombinasi antar keduanya, serta yang menjadi obyek utama kajian
naskah akademik ini yaitu lumba-lumba dan dugong. Sebagai kawasan yang
menjadi perlintasan dan menghubungkan massa air dari dua samudera berbeda
(Gordon et al. 2003) , maka Indonesia termasuk bagian dari wilayah perairan
yang kaya akan keragaman jenis mamalia akuatik, termasuk jenis-jenis yang
tergolong kritis terancam kepunahan dan endemik (Rudolph & Smeenk 2009),
seperti pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) dan lumba-lumba bungkuk (Sousa
chinensis) serta porpoise tak bersirip (Neophocaena phocaenoides).

Pemeliharaan mamalia akuatik di luar habitat aslinya oleh manusia


merupakan praktek yang diduga telah bermula sejak beberapa ratus tahun
sebelum masehi untuk kebutuhan riset peneliti Yunani, namun literatur kuat
yang diperoleh terkait pemeliharaan yang cukup modern dan intensif berawal
pada tahun 1860-an di Inggris yaitu di Londons Westminster Aquarium dan
Zoological Garden, Regents Park, dan di Amerika (Aquarial Gardens, New York).
Di dalam fasilitas tersebut dipelihara lumba-lumba hidung botol, paus putih, dan
porpoise yang tertangkap dari perairan sungai atau perairan dekat pantai. Sejak
saat itu, praktek penangkapan mamalia laut, khususnya lumba-lumba dan paus
berukuran sedang berlanjut hingga awal abad ke-20 (Corkeron 2009).
Perkembangan fasilitas pemeliharaan tersebut mencapai puncaknya sampai
pada tahun 1970-an, sedangkan jumlah spesies cetacean yang hingga saat ini
masih dipelihara dalam fasilitas pemeliharaan sedikitnya ada 21 spesies
(Couquiaud 2005) dan tidak termasuk kelompok mamalia akuatik dari Ordo
Carnivora (seperti singa laut, anjing laut, beruang kutub, berang-berang laut, dan
sejenisnya).

2
Committee on Taxonomy. 2016. List of marine mammal species and subspecies. Society for
Marine Mammalogy, www.marinemammalscience.org, consulted on May 2, 2016.

12
Sebagai negara berkembang yang kaya akan keanekaragaman hayati, maka
tidak heran bila kita berupaya untuk mendongkrak ketimpangan ekonomi dan
meletakkan landasan bagi pengentasan kemiskinan melalui pembangunan yang
memanfaatkan sumberdaya alam hayati, baik tumbuhan, satwa maupun
ekosistem. Namun, tidak sepantasnya kemajuan yang diperoleh dari
pembangunan tersebut berdampak pada rusak atau bahkan hilangnya
keanekaragaman hayati yang dipandang sangat berharga tidak hanya oleh
bangsa Indonesia, melainkan juga oleh dunia pada umumnya. Dengan demikian,
kerangka konseptual terkait pemeliharaan dan peragaan mamalia akuatik,
khususnya lumba-lumba, yang akan dijabarkan dalam sub-bab naskah akademik
ini tidak hanya dikaitkan dengan aspek keterkinian yang berlangsung di lingkup
global maupun dari sudut pandang keilmuan, melainkan juga dari aspek
kebijaksanaan. Banyak masukan dan kecaman yang dapat dijadikan dasar untuk
menuntaskan dengan lugas permasalahan lingkungan dan isu kesejahteraan
satwa terkait pemeliharaan lumba-lumba, namun secara cermat kita perlu
meninjaunya pula dengan aspek kebijaksanaan yang cocok dengan
pembangunan di negara berkembang.

Dalam kesempatan ini, kami merumuskan kerangka konseptual


berdasarkan dua hal utama yang diharapkan dapat ditindaklanjuti secara
berbarengan. Pertama: mengenali hakikat masalah pemeliharaan lumba-lumba
yang telah berlangsung selama puluhan tahun di Indonesia, dan yang Kedua:
merumuskan kebijaksanaan dalam upaya pemeliharaan dan peragaan satwa
mamalia akuatik di kawasan yang menjadi pusat keanekaragaman hayati dunia.

III.1. P ERMASALAHAN DALAM P RAKTEK P EMELIHARAAN DAN


P ERAGAAN M AMALIA A KUATIK
Permasalahan utama yang berlangsung dalam praktek peragaan lumba-
lumba adalah sirkus lumba-lumba 3 , yang salah satu atraksinya melibatkan
aktivitas yang membahayakan kehidupan satwa tersebut walaupun ia tergolong
satwa yang yang piawai melompat di atas permukaan air (Gambar 1). Manakala
kegiatan tersebut dikatakan berkontribusi untuk memperkenalkan satwa
dilindungi dan keunikan mamalia akuatik, maka fungsi pembelajaran yang
diberikan kepada para pengunjung melalui observasi langsung satwa dari dekat
cenderung bias karena tingkah laku yang ditunjukkan oleh satwa yang telah
berevolusi selama jutaan tahun di permukaan bumi ini sangat berbeda dengan

3 http://keepo.me/hot-news-channel/perlakuan-terhadap-lumba-lumba-sirkus-ini-akan-membuatmu-nggak-tega-menonton-pertunjukkannya-lagi

13
perilaku alami yang ditunjukkan di habitat aslinya. Pemanfaatan satwa yang
hanya difokuskan pada upaya menghibur sesaat atau dipertahankan demi
mempertahankan fungsi ekonomi pengelola LK semata, hanya akan menggerus
nilai-nilai moral dan etika manusia, selain juga menggelembungkan sifat tamak
dan kecenderungan orientasi jangka pendek dibandingkan pemenuhan
kebutuhan jangka panjang.

Gambar 1. Salah satu atraksi satwa yang diperagakan dalam sirkus lumba-lumba

Tidak jelasnya arahan dan tujuan pemeliharaan lumba-lumba tersebut dari


sisi ilmiah dan edukasi oleh pengelola LJ, sedangkan jumlah individu yang
dipelihara di 3 institusi LK yang resmi terdaftar di pemerintah belum
terdokumentasi dengan jelas melalui sistem yang dapat dievaluasi secara
berkala. Hal ini berpotensi menekan populasi lumba-lumba di alam melalui
penangkapan dan perdagangan ilegal demi menjaga keberadaan individu yang
dipelihara LK tersebut. Di sisi lain, informasi dasar mengenai populasi dan
biogeografi lumba-lumba di Indonesia yang sedikitnya terdiri atas 13 spesies

14
(Dermawan et al. 2015) masih sangat minim. Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan tidak bisa mengatur lumba-lumba dan lautan yang menjadi
habitat alaminya, namun berperan mengatur manusia yang memanfaatkan
lingkungan hidup dan sumberdaya alam terkait, seperti mengatur bagaimana
pemeliharaan dan peragaan tersebut dilakukan agar mencerminkan kepribadian
bangsa Indonesia yang adil dan beradab.

Permasalahan lain yang mengemuka terkait sirkus lumba-lumba adalah


praktek peragaan yang bersifat berpindah-pindah (Gambar 2). Saat ini, Indonesia
merupakan satu dari lima negara di dunia yang masih mempraktekkan sirkus
lumba-lumba (The Telegraph, 2016); sedangkan empat negara lainnya
merupakan pecahan Uni Soviet yang tergolong negara miskin atau negara yang
tidak pernah memedulikan kearifan hidup berdampingan dengan lingkungan. Di
negara-negara lain praktek sedemikian rupa sudah tidak berlangsung, khususnya
di negara maju dan negara berkembang yang warga negaranya sudah lebih
mengedepankan keberlangsungan kualitas kehidupan manusia seiring dengan
kualitas lingkungan hidup.

Gambar 2. Proses penanganan dan pemindahan satwa yang tidak ditangani


dengan baik dalam sirkus lumba-lumba

Dalam perdebatan terkait penangkaran mamalia akuatik, khususnya


lumba-lumba dan paus, maka pihak pengelola akan mengedepankan alasan
bahwa satwa yang ditampilkan dalam fasilitas pemeliharaannya dapat

15
memberikan fungsi konservasi (penyelamatan) jenis dengan memeliharanya
dalam sistem tertutup yang terhindar langsung dari predator, fungsi
pembelajaran oleh para pengunjung dengan melihat langsung satwa dari dekat,
bahkan fungsi kesejahteraan bagi satwa karena mereka dapat terhindar dari
bahaya kelaparan bila hidup di alam liar. Di sisi lain, pihak yang
memperjuangkan kebebasan bagi satwa yang ditangkar tersebut (misalnya
kelompok pencinta satwa berikut sejumlah peneliti dan akademisi), akan
menegasikan opini pihak yang memelihara lumba-lumba dengan dalih bahwa
fungsi penyelamatan tersebut tidak berguna satwa yang dipelihara menunjukkan
gejala stress akibat lingkungan dan pola hidup yang tidak sesuai dengan aslinya.

Dalam prakteknya, pemeliharaan lumba-lumba dalam fasilitas


pemeliharaan dan sirkus lumba-lumba diawali dengan proses penangkapan
langsung di alam dapat menimbulkan trauma dan stress sehingga berpotensi
mencederai atau bahkan mematikan satwa lumba-lumba tersebut. Sejak praktek
pemeliharaan ex situ dilakukan di awal hingga kini, jumlah lumba-lumba yang
mati saat penangkapan atau saat dipelihara oleh Lembaga Konservasi (yang
ditunjuk oleh pemerintah) tidak pernah diumumkan secara terbuka ke publik.
Beberapa lembaga/fasilitas penangkaran menyatakan bahwa lumba-lumba yang
dipelihara merupakan satwa yang diselamatkan dari laut, namun setelah pulih
dari cedera dan selesai diselamatkan tidak ada catatan pelepasliaran kembali
satwa tersebut ke alam. Bahkan ada praktek pemindahaan satwa lumba-lumba
dari satu fasilitas/kolam pemeliharaan ke kolam pemeliharaan lain yang
merupakan Lembaga non-Konservasi (resort wisata atau restaurant), yang
berpotensi memperparah trauma yang diderita oleh satwa tersebut.

Ada sejumlah regulasi dan kebijakan yang telah diterbitkan oleh


pemerintah, khususnya yang terkait dengan pemeliharaan dan peragaan lumba-
lumba sebagai satwa liar dilindungi, kami menandaskan harapan terhadap
terbentuknya Tim Teknis Lapangan Independen, yang terdiri dari perwakilan
LSM, institusi pemerintah, dan praktisi dokter hewan/paramedis yang memiliki
kredibilitas dan integritas dalam hal konservasi dan kesejahteraan lumba-lumba
atau satwa liar akuatik. Tim ini sebaiknya ditugaskan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menelaah praktek pengelolaan dan
fasilitas pemeliharaan/peragaan lumba-lumba yang ada di Indonesia (Lampiran
3), khususnya dalam mengevaluasi standar perawatan satwa serta aspek-aspek
mendasar terkait etika dan kesejahteraan lumba-lumba, yang diikuti dengan
serta pemberian rekomendasi tertulis terkait kelayakan operasional fasilitas
tersebut.

16
III.2. R UMUSAN K EBIJAKSANAAN DALAM P EMELIHARAAN DAN
P ERAGAAN M AMALIA A KUATIK
Dalam kehidupan antara manusia dan alam, terdapat hubungan timbal-
balik yang membentuk dan menentukan kondisi dan kualitas lingkungan hidup.
Pertumbuhan manusia, termasuk kesejahteraan yang sejatinya tidak hanya
diukur berdasarkan penghasilan ekonomi, sangat dipengaruhi oleh sifat keadaan
ekosistem yang melingkupinya. Mengapa perlindungan mamalia akuatik penting
dilakukan di negara kita? Apakah pemanfaatan satwa liar yang eksotis tersebut
hanya terbatas untuk kaum ilmuwan atau wisatawan saja?

Jawaban yang sederhana terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas


adalah bahwa kita perlu menyisihkan sebagian kecil manfaat yang telah kita
peroleh dari satwa lumba-lumba dan dugong, baik manfaat langsung maupun
tidak langsung, agar proses pengambilan manfaat tersebut tetap dapat
memelihara keselarasan hubungan antara manusia dan alam, serta Tuhannya.
Dengan demikian, upaya merumuskan kebijaksanaan dalam pemeliharaan dan
peragaan mamalia akuatik menjadi ikhtiar bersama, antar pemerintah, pengelola
Lembaga Konservasi, dan masyarakat umum, dalam menapaki jalur
pembangunan yang membina manusia Indonesia seutuhnya.

Selain pertimbangan landasan yuridis yang telah disampaikan, terkait


dengan peraturan perundang-undangan dalam Sub-bab II.3, maka ada sejumlah
perkembangan pengaturan yang berlaku di negara ini dan mengacu pada
sejumlah ketetapan internasional seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang pengesahan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity). Manusia Indonesia
yang merupakan bagian dari masyarakat dunia perlu mengembangkan dirinya
dan menyelaraskan sejumlah pertimbangan yang terkait dengan konvensi
tersebut sebagai bahan rumusan kebijakan, yaitu:
keanekaragaman hayati di dunia khususnya di Indonesia, berperan
penting untuk berlanjutnya proses evolusi serta terpeliharanya
keseimbangan ekosistem dan sistem kehidupan biosfer
Lumba-lumba (Famili Delphinidae) merupkan kelompok hewan mamalia
yang telah berevolusi dalam jangka waktu sangat lama (sejak 55 juta tahun
yang lalu), begitu pula Dugong (Famili Sirenidae), serta keduanya telah
beradaptasi sempurna untuk bisa menjalani seluruh siklus hidupnya di
habitat akuatik secara utuh, khususnya di perairan laut.

17
keanekaragaman hayati yang meliputi ekosistem, jenis dan genetik yang
mencakup hewan, tumbuhan dan jasad renik (mikro-organism), perlu
dijamin keberadaan dan keberlanjutannya bagi kehidupan.
Seluruh spesies mamalia akuatik telah ditetapkan sebagai jenis yang
dilindungi pemerintah melalui PP No. 7 dan 8/1999, namun masih diberikan
ruang untuk memanfaatkannya selama implementasinya mengedepankan
prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan.
keanekaragaman hayati sedang mengalami pengurangan dan kehilangan
yang nyata karena kegiatan tertentu manusia yang dapat menimbulkan
terganggunya keseimbangan sistem kehidupan di bumi, yang pada
gilirannya akan mengganggu berlangsungnya kehidupan manusia.
Mengacu PP No. 7/1999, Bab IV, Pasal 8, telah disebutkan bahwa
Pengawetan dan pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya
(ex situ) dilakukan untuk menambah dan memulihkan populasi. Pada
kenyataannya, selama praktek sirkus lumba-lumba berlangsung di negeri ini
telah berlangsung turnover rate yang tinggi terhadap penangkapan lumba-
lumba dari alam liar dan tidak ada catatan pengembalian satwa yang
dipelihara ke alam liar. Tidak ada pula penandaan terhadap seluruh satwa
mamalia akuatik yang memicu penangkapan ilegal, demi mencukupi
kebutuhan peragaan yang berlangsung terjadwal dan terus-menerus
berpindah-pindah kota.
Masih dalam peraturan yang sama, pada Pasal 20 dan Pasal 22 termaktub
bahwa Pengelolaan di luar habitat aslinya hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah dan fungsi utama lembaga konservasi diarahkan pada
pengembangbiakan dan penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap
mempertahankan kemurnian jenisnya. Pada proses penunjukan Lembaga
Konservasi yang diberi kewenangan pemeliharaan secara ex situ, memang
telah dilakukan oleh pemerintah, namun proses tersebut tidak melibatkan
evaluasi terhadap praktek pemeliharaan yang telah berlangsung, sedangkan
tujuan utama lembaga konservasi adalah untuk menyelamatkan sumber
daya genetik dan populasi tumbuhan dan satwa. Hal tersebut bahkan telah
diabaikan dengan lebih diprioritaskannya praktek peragaan bertujuan
komersial oleh Lembaga Konservasi yang ditunjuk pemerintah tersebut.

18
Kotak 2: Senarai rujukan yang perlu diketahui bersama tentang
pemeliharaan mamalia akuatik serta sejumlah panduan teknis
yang terkait disajikan berikut ini:
1. Gage L. 2009. Standards for rehabilitation facilities dalam Whaley JE (Ed)
Policies and best practices: Marine mammal stranding response,
rehabilitation, and release. NOAA-NMFS.
2. Couquiaud L. 2005.
4: Types and functions of pools and enclosures: 320-325 pp
5: Architectural design of pools and enclosures: 326-350 pp
6: Life support systems: 351-363 pp
7. Food and fish house: 364-370 pp
8. Husbandry: 371-381 pp
dalam Special Issue: Survey of Cetaceans in Captive Care. Aquatic
Mammals, Vol. 13, Issue 3.
3. [CCAC] Canadian Council on Animal Care. 2014. Recommendations for
the care and maintenance of marine mammals. Canadian Council on
Animal Care. iv+98 p.
4. Williamson C. 2006. Legislation on cetacean and captivity: an overview.
Whale and Dolphin Conservation Society. 49p.

Dalam Kotak 2, disajikan rujukan dan panduan yang perlu diakomodasi


dalam perubahan PerDirJen Nomor P16/IV-SET/2014 tentang Pedoman
Pemeliharaan Lumba-lumba. Praktek pemeliharaan mamalia akuatik di
Indonesia, khususnya lumba-lumba, yang berlangsung saat ini kontradiktif
dengan sedikitnya 5 aspek kesejahteraan satwa yang diakui secara internasional
dan selaras dengan upaya pemanfaatan berkelanjutan, yaitu:

(1) Bebas dari rasa lapar dan haus, dengan akses yang mudah mendapatkan
air segar dan diet untuk menjaga kesehatan dan tenaga. Semua lumba-
lumba dilatih dengan menggunakan metode reward pemberian makanan,
sedangkan makanan yang disediakan berupa ikan yang tidak segar dan
jenisnya monoton. Pakan tersebut hanya berupa satu atau dua jenis ikan
saja, yang telah mati, serta tingkat gizi dan kalorinya berbeda bila
dibandingkan dengan ikan hidup. Bagi mamalia dalam penangkaran hal ini
dapat menyebabkan kekurangan nutrisi.
(2) Bebas dari rasa tidak nyaman, dengan menyediakan lingkungan yang
sesuai termasuk penampungan dan area istirahat yang nyaman Lumba-
lumba disimpan dalam kolam yang sama dengan tempat mereka harus

19
tampil lima kali dalam sehari; hanya sedikit waktu untuk beristirahat. Air
kolam yang dangkal membuat mereka sulit untuk bergerak didalam kolam,
bepergian dari daerah ke daerah.
(3) Bebas dari rasa sakit, cedera dan penyakit, dengan pencegahan atau
diagnosis yang cepat dan pengobatan. Lumba-Lumba dalam kolam renang
selalu kesakitan; Lumba-Lumba yang disimpan di dalam kolam renang
dengan kadar klorin yang tinggi; bahan kimia ini menyakiti mata, kulit dan
organ internal dalam jangka panjang dan begitu juga dengan pantulan dari
sonar mereka pada dinding kolam.Tingginya tingkat kebisingan juga
melukai telinga mamalia laut ini.
(4) Bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alamiahnya, dengan
memberikan ruang yang cukup, fasilitas yang tepat dan kumpulan sejenis
hewan itu sendiri. Bermain dengan bola dan 'menari' dengan musik keras
tentu bukan perilaku alami. Ukuran kolam renang dan kedalaman juga
menghambat lumba-lumba untuk mengekspresikan perilaku alaminya.
Lumba-lumba tidak dapat menggunakan sonar di kolam renang yang juga
menghilangkan bagian terpenting dari perilaku alami mereka.
(5) Bebas dari rasa takut dan stress, dengan memastikan kondisi dan
perlakuan yang menghindari penderitaan mental. Lumba-lumba
penangkaran, terutama yang di sirkus keliling sangat menderita, ketakutan
dan stres. Penyebab stress mereka karena mereka dipelihara dan ini
memiliki efek negatif pada kesehatan mental dan fisik mereka.
penangkapan dan penanganan adalah pemicu stress, ini yang menarik bagi
mereka yang harus memanipulasi hewan di penangkaran atau di alam liar.
Kenyataannya, bahwa pertunjukan keliling hewan sudah sangat
mengkhawatirkan. Tentunya tingkat stress akan jauh lebih buruk ketika
hewan ini di disimpan di fasilitas permanen, juga penangkapan dan
pengangkutan dari lokasi satu ke lokasi lain. Acara ini bergerak dari kota ke
kota, menghabiskan rata-rata 30 hari di setiap lokasi.

Sebetulnya kelima aspek tersebut telah diarahkan pengaturannya melalui


PerDirJen PHKA Nomor P.9/IV-SET/2011 tentang Pedoman Etika dan
Kesejahteraan Satwa. Kerumitan dan keunikan satwa lumba-lumba dan dugong,
yang merupakan mamalia akuatik, serta begitu kompleksnya kebutuhan teknis
pemanfaatan lumba-lumba di luar habitat aslinya telah juga dicoba dituangkan
melalui PerDirJen PHKA Nomor P1/IV-SET/2014 tentang Pedoman Peragaan
Lumba-lumba, yang kemudian diganti dengan PerDirJen PHKA Nomor P16/IV-
SET/2014. Setelah 2 tahun penerapannya, serta dengan adanya wacana

20
pelimpahan kewenangan dan pengelolaan satwa liar dilindungi tersebut kepada
Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka upaya perubahan atas PerDirJen
tersebut perlu juga mempertimbangkan aspek pengaturan yuridis lain yang
terkait dan selama ini belum terampu di dalam peraturan yang ada. Terakhir,
diharapkan upaya perubahan dan perumusan aturan mengenai Pemeliharaan
dan Peragaan Mamalia Akuatik akan menjadi lompatan kebijakan yang
mengedepankan sifat luhur bangsa Indonesia, yang saling menghormati satu
sama lain dan bermusyawarah untuk mufakat demi pemanfaatan sumber daya
alam hayati yang berkelanjutan.

21
BAB IV
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN

IV.1. S ASARAN YANG I NGIN D IWUJUDKAN


Secara umum, sasaran yang ingin diwujudkan melalui revisi PerDirJen PHKA
Nomor P16/IV-SET/2014 tentang Pedoman Peragaan Lumba-lumba adalah untuk
menjaminnya pemanfaatan jenis mamalia akuatik yang merupakan spesies
dilindungi dan merupakan sumber kekayaan bangsa Indonesia secara arif dan
berkelanjutan. Penerapan mekanisme pemanfaatan berkelanjutan secara
pemeliharaan mamalia akuatik di habitat ex situ dan peragaan satwa ditempuh
melalui kepastian penyediaan seperangkat aspek survival (daya bertahan hidup)
dan kesrawan (kesejahteraan hewan) yang dibutuhkan oleh tiap individu jenis,
mengampu penyelenggaraan sistem pemeliharaan yang fungsi sidik lingkungan
(habitat buatan) dan catatan medis individual berlangsung rutin, transparan, dan
dapat dievaluasi secara berkala oleh pihak-pihak yang berwenang. Selain
mekanisme pemanfaatan, upaya pemeliharaan yang dilakukan oleh Lembaga
Konservasi yang ditunjuk juga memerhatikan dan mengedepankan aspek
rehabilitasi jenis, yang terdiri atas kegiatan penangkaran (pengembangbiakan)
dan pelepasliaran satwa ke habitat aslinya.

IV.2. A RAH DAN J ANGKAUAN P ENGATURAN


Arah penyusunan rancangan PerDirJen KSDAE-KLHK tentang Pedoman
Pemeliharaan dan Peragaan Mamalia Akuatik adalah untuk menggantikan
PerDirJen yang telah ada sebelumnya, yaitu Peraturan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Nomor
P16/IV-SET/2014 tentang Pedoman Pemeliharaan Lumba-lumba; yang
dianggap tidak sesuai dengan perkembangan pemanfaatan satwa dilindungi.

Jangkauan pengaturan dari PerDirJen KSDAE-KLHK tentang Pedoman


Pemeliharaan dan Peragaan Mamalia Akuatik ditujukan kepada seluruh subyek
hukum yang terkait dengan pemeliharaan mamalia akuatik dan/atau
penyelenggaraan peragaan satwa yang terkait fungsi pendidikan, fungsi
rehabilitasi, fungsi penangkaran, dan terkait dengan kebutuhan masyarakat sipil.

22
IV.3. R UANG L INGKUP M ATERI M UATAN
Materi dan ruang lingkup rancangan Peraturan Direktur Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem tentang Pedoman Pemeliharaan
dan Peragaan Mamalia Akuatik terdiri dari beberapa bab, yaitu:

1. Ketentuan Umum
Bagian ini berisi tentang ketentuan terkait nomenklatur sejumlah istilah
kunci, maksud dan tujuan, serta ruang lingkup dalam PerDirJen. Secara
lebih spesifik, ruang lingkup dalam PerDirJen yang lama hanya meliputi (a)
sarana dan prasarana, (b) pakan, (c) perawatan kesehatan, (d) peragaan,
(e) pembinaan, evaluasi, dan pelaporan; sedangkan dalam rancangan
PerDirJen yang baru ditambahkan sejumlah ketentuan yang melingkupi (i)
Transportasi, (ii) pembukuan catatan pemeliharaan (record keeping), (iii)
Program pendidikan, (iv) Program rehabilitasi, (v) Program penangkaran,
(vi) Sanksi.

2. Sarana dan Prasarana


Bagian ini berisi tentang sejumlah kebutuhan fisik dan non-fisik yang
mengakomodasi pemeliharaan dan peragaan mamalia laut, termasuk di
dalamnya adalah kolam, naungan, perawatan air, perlindungan, ruang
sirkulasi udara, dan kebersihan kolam.

3. Ruang Lingkup
Naskah akademik ini menawarkan pendekatan siklus penuh (life cycle
approach) sebagai materi muatan dan ruang lingkup untuk mengatur
pemeliharaan dan peragaan mamalia akuatik. Pendekatan siklus penuh ini
mengharuskan dibentuknya suatu mekanisme yang komprehensif yang
mengatur seluruh aspek mamalia akuatik, baik jenis yang dilindungi
maupun yang tidak dilindungi. Dengan menggunakan siklus penuh ini,
pengaturan pemeliharaan dan peragaan mamalia akuatik tidak hanya
berkaitan dengan peragaan satwa untuk kebutuhan atraksi, melainkan
terkait erat dengan awal mula perolehan satwa yang dikoleksi, perizinan,
pemeliharaan satwa koleksi, hingga bagaimana proses administrasi bila
terjadi kematian atas satwa yang dipelihara tersebut.

Pendekatan siklus penuh ini mengidentifikasi lima (5) tahap dalam


pemeliharan dan peragaan mamalia akuatik, yaitu:

23
(1) Pengambilan atau penangkapan mamalia akuatik, meliputi bagaimana
tata usaha perolehan individu atau kelompok satwa dari habitat alam
liar atau habitat buatan lainnya.
(2) Proposal pemanfaatan jenis mamalia akuatik, khususnya untuk spesies
yang dilindungi oleh negara, untuk tujuan rehabilitasi, peragaan,
pendidikan, pengembangan teknologi, atau penangkaran satwa.
(3) Peredaran atau pemindahan mamalia akuatik.
(4) Pemeliharaan mamalia akuatik, termasuk serta tidak terbatas pada
pakan, perawatan kesehatan, peragaan, dan transportasi yang
dikaitkan dengan aspek etika dan kesejahteraan satwa.
(5) Pelepasliaran mamalia akuatik.
(6) Kematian mamalia akuatik.

4. Pembinaan, Evaluasi dan Pelaporan


Bagian ini berisi prosesi pembinaan, evaluasi, dan pelaporan, baik yang
bersifat teknis maupun administratif, terkait pemeliharaan dan peragaan
mamalia akuatik yang dilakukan secara berkala.

5. Sanksi
Bagian ini mengatur tentang jenis, tata cara pengenaan sanksi, baik yang
bersifat administratif maupun pidana, hingga penghapusan izin
pemeliharaan dan peragaan mamalia akuatik.

6. Ketentuan Peralihan dan Penutup


Mendasari pada sejumlah pengaturan yang telah ditetapkan dalam payung
hukum utama tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, maupun peraturan turunannya yang memliki hirarki yuridis
lebih tinggi dari pada Peraturan Direktur Jenderal ini, namun belum
terampu dan berpotensi menjadi .

24
BAB V
PENUTUP

1. Perbaikan atas PerDirJen PHKA Nomor P16/IV-SET/2014 tentang Pedoman


Peragaan Lumba-lumba perlu segera dilakukan, selain karena telah terjadi
sejumlah pelanggaran ketentuan peragaan, ketidaksesuaian dengan
perkembangan yang terjadi di lingkungan masyarakat, adanya
penyalahgunaan dan peredaran satwa dilindungi yang harus diatasi, serta
adanya kebutuhan pengaturan terkait kewenangan dan koordinasi antar
lembaga yang berkompeten memastikan pemanfaatan satwa berlangsung
dalam koridor keberlanjutan.
2. Mamalia akuatik yang telah diperagakan di Indonesia tak hanya terdiri dari
lumba-lumba (Ordo: Cetartiodactyla, Sub-Ordo: Odontoceti, Famili:
Delphinidae), melainkan juga dugong (Ordo Sirenia, Famili: Dugongidae);
yang seluruhnya merupakan jenis satwa liar yang dilindungi oleh
pemerintah dengan sejarah hidup panjang dan kompleks sejak 50 juta
tahun yang lalu. Pemanfaatan jenis sumberdaya alam hayati tersebut
harus dikendalikan dalam suatu sistem yang melibatkan para pihak dan
penyelenggaraan yang terstruktur untuk mengakomodasi proses
pemantauan, evaluasi, dan penegakan aturan yang berlaku.
3. Penyusunan revisi PerDirJen tentang Pedoman Pemeliharaan dan Peragaan
Mamalia Akuatik didasarkan atas pertimbangan filosofis bahwa
pemanfaatan mamalia akuatik harus memberikan sumbangsih nyata bagi
pemeliharaan jiwa luhur bangsa Indonesia dalam hidup berdampingan
dengan alam di negeri yang kaya akan keanekaragaman hayati ini.
Pertimbangan sosiologisnya dikaitkan dengan beberapa agenda prioritas
bangsa yaitu pemenuhan kebutuhan pemerintah untuk membangun tata
kelola yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, serta; memperkuat
restorasi sosial melalui pendidikan dan dialog antar pihak-pihak yang
berkepentingan. Adapun pertimbangan yuridisnya terkait dengan
ketidaksesuaian peraturan yang ada dan berlaku dengan perkembangan
praktek peragaan yang ada saat ini.
4. Penyusunan naskah akademik dan rancangan Peraturan Direktur Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem tentang Pedoman
Pemeliharaan dan Peragaan Mamalia Akuatik diarahkan untuk

25
menggantikan PerDirJen PHKA Nomor P16/IV-SET/2014 tentang Pedoman
Peragaan Lumba-lumba
5. Ruang lingkup yang digunakan dalam naskah akademik ini mengedepankan
pendekatan siklus penuh (life cycle approach), sehingga pemerintah perlu
membentuk suatu mekanisme yang komprehensif dalam pengaturan
seluruh aspek teknis pemeliharaan mamalia akuatik di luar habitat
alaminya, baik untuk jenis yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi.
Dengan menggunakan siklus penuh ini, pengaturan pemeliharaan dan
peragaan mamalia akuatik tidak hanya berkaitan dengan peragaan satwa
untuk kebutuhan atraksi, melainkan terkait erat dengan awal mula
perolehan satwa yang dikoleksi, perizinan, pemeliharaan satwa koleksi,
hingga bagaimana proses administrasi bila terjadi kematian atas satwa
yang dipelihara tersebut.

26
DAFTAR PUSTAKA

[CCAC] Canadian Council on Animal Care. 2014. CCAC guidelines on: the care and
use of marine mammals. Canadian Council on Animal Care. iv+73 p.

Williamson C. 2006. Legislation on cetacean and captivity: an overview. Whale


and Dolphin Conservation Society. Tersedia dari: http://www.car-spaw-
rac.org/IMG/pdf/OVERVIEW_CAPTIVITY_MARINE_MAMMALS_WCR.pdf

Corkeron P. 2009. Captivity dalam Perrin WF, B Wrsig, JGM Thewissen (Eds)
Encyclopedia of Marine Mammals, 2nd edition. Academic Press: 183-188

Couquiaud L. 2005. Special Issue: Survey of Cetaceans in Captive Care. Aquatic


Mammals, Vol. 13, Issue 3: 277-392. doi: 10.1578/AM.31.3.2005.279

Dermawan A, B Kahn, Y Mau, I Sangadji (Eds). 2015. Rencana Aksi Nasional


Konservasi Cetacea Indonesia Periode ke-1: 2016-2020. Direktorat
Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut. Ditjen Pengelolaan Ruang
Laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Gordon AL, RD Susanto, K Vranes. 2003. Cool Indonesian throughflow as a


consequence of restricted surface layer flow. Nature 425: 824-828.
doi:10.1038/nature02038

Lien J. 1999. A review of live-capture and captivity of marine mammals in


Canada. The Department of Fisheries and Oceans, Ottawa. v+167 p.

Lundin L. 2010. The Welfare of bottlenose dolphins and killer whales in captivity.
Student Report No. 330. Swedish University of Agricultural Science.
Tersedia di: http://stud.epsilon.slu.se/1578/1/lundin_l_100707.pdf

Myers N, RA Mittermeier, CG Mittermeier, GAB da Fonseca, J Kent. 2000.


Biodiversity hotspots for conservation priorities. Nature 403: 853-858.
doi:10.1038/35002501

Rudolph P & C Smeenk. 2009. Indo-West Pacific Marine Mammals dalam Perrin
WF, B Wrsig, JGM Thewissen (Eds) Encyclopedia of Marine Mammals, 2nd
edition. Academic Press: 608-616.

Smith TD, J Bannister, E Hines, R Reeves, L Rochas-Bracho, P Shaughnessy, J Rice.


2016. Chapter 37: Marine Mammals dalam the Group of Experts of the
Regular Process. The First Global Integrated Marine Assessment: World

27
Ocean Assessment I. United Nations. Tersedia dari:
http://www.un.org/depts/los/global_reporting/WOA.../Chapter_37.pdf

The Telegraph. 2016. Dolphin circus provokes animal welfare debate in central
Asia. [daring internet]. Telegraph News, 21 Januari 2016, 7:34AM GMT.
[dikutip 12 Mei 2016]. Tersedia dari: http://www.telegraph.co.uk/news/
worldnews/asia/kyrgyzstan/12111750/Dolphin-circus-provokes-animal-
welfare-debate-in-central-Asia.html

[UN] United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population


Division. 2015. World Population Prospects: The 2015 Revision, Key
Findings, and Advance Tables. UN Working Paper No. ESA/P/WP. 241

Williamson C. 2006. Legislation on cetacean and captivity: an overview. Whale


and Dolphin Conservation Society. Tersedia dari: http://www.car-spaw-
rac.org/IMG/pdf/OVERVIEW_CAPTIVITY_MARINE_MAMMALS_WCR.pdf

Wilson EO. 1992. The Strategy for Biodiversity Conservation. In WRI-IUCN-UNEP.


Global Biodiversity Strategy: guidelines for action to save, study, and use
earths biotic wealth sustainably and equitably. pp: 19-36

28
LAMPIRAN

29
Lampiran 1: Rancangan Perubahan atas PerDirJen PHKA No. P.16/IV-SET/2014

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL


KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM
NOMOR : P. /IV-SET/2016

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN


HUTAN DAN KONSERVASI ALAM NOMOR P. 16/IV-SET/2014 TENTANG
PEDOMAN PEMELIHARAAN DAN PERAGAAN MAMALIA AKUATIK

DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM


DAN EKOSISTEM,

Menimbang: a. bahwa berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan


dan Konservasi Alam Nomor P. 16/IV-Set/2014 telah ditetapkan
Pedoman Peragaan Lumba-Lumba;
b. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P. 18/MenLHK-II/2015 telah ditetapkan Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang
merubah organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam mejadi Direktorat Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem;
c. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, beserta
turunannya yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.52/Menhut-
II/2006 dan perubahannya Nomor P.40/Menhut-II/2012 tentang
Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi telah
diamanatkan sejumlah muatan dan arahan yang perlu penjabaran
teknis secara lebih terperinci dan saksama berdasarkan kaidah
keberlangsungan potensi, daya dukung, etika dan kesejahteraan satwa;
d. bahwa dengan perubahan Organisasi dan Tata Kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf b, Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam, perlu dilakukan penyesuaian;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Direktur
Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem tentang
Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor P. 16/IV-Set/2014 tentang Pedoman
Peragaan Lumba-Lumba.

30
Mengingat: a. Pasal 33 ayat (3), (4), dan (5) Undang Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
c. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United
Nations Convention on Biological Diversity;
d. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya
Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable
Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention
on Biological Diversity
f. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa;
g. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumber Daya Ikan;
[i. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1978
tentang Pengesahan Convention on International Trade in
Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora; berikut
turunannya (KepMenhut No. 104/Kpts-II/2003, dan yang terkait
PNBP dari pemanfaatan spesies dilindungi manakala dikaitkan
dengan upaya monitoring dan evaluasi program secara lintas
kelembagaan)]
j. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/2003 tentang
Penandaan Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar;
k. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata
Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Spesimen
Tumbuhan dan Satwa Liar;
l. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2012;
P.01/Menhut-II/2007, dan; P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga
Konservasi;
m. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/Menhut-II/2013 tentang
Tata Cara Memperoleh Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar untuk
Lembaga Konservasi;
n. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 dan
P.69/Menhut-II/2013 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar;

31
o. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.52/Menhut-II/2006 dan
P.39/Menhut-II/2012 tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Liar Dilindungi ;
p. Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Nomor P.9/IV-Set/2011 tentang Pedoman Etika dan
Kesejahteraan Satwa;
q. Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Nomor P.16/IV-Set/2014 tentang Pedoman Peragaan Lumba-
Lumba.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER


DAYA ALAM DAN EKOSISTEM TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN
DAN KONSERVASI ALAM NOMOR P. 16/IV-SET/2014 TENTANG
PEDOMAN PEMELIHARAAN DAN PERAGAAN MAMALIA
AKUATIK.

Bab I
Ketentuan Umum
Mengubah ketentuan Pasal-pasal dari Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Nomor P. 16/IV-Set/2014 tentang Pedoman Peragaan Lumba-
Lumba, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
Pengertian
1. Mamalia akuatik adalah satwa liar mamalia dan sumberdaya ikan yang seluruh atau
sebagian dari siklus hidupnya berada di lingkungan perairan, baik laut maupun air
tawar, yang keberadaannya dilindungi, baik hidup maupun mati, berupa spesimen
yang utuh maupun bagian-bagiannya, menurut peraturan perundang-undangan.
2. Penangkapan mamalia akuatik yang dilindungi adalah kegiatan memperoleh
spesimen dalam keadaan hidup, diberikan penandaan, dan diprioritaskan untuk
program rehabilitasi dan perawatan sementara oleh lembaga konservasi sebelum
dikembalikan ke habitat aslinya. Pengoleksian bagian-bagian mamalia akuatik
dalam keadaan mati untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pengembangan
teknologi dapat dilakukan dengan menggunakan Surat Angkut Tumbuhan dan
Satwa-Dalam Negeri.
3. Penangkapan mamalia akuatik dari alam yang bertujuan untuk pemeliharaan dan
peragaan di Lembaga Konservasi dapat dipertimbangkan untuk fungsi
penyelamatan spesies terancam punah dan penangkaran yang penyelenggaraannya
bekerja sama dengan mitra kerja berkeahlian khusus melalui kerjasama dengan
Direktorat Jenderal, Direktur Teknis, atau Unit Pelaksana Teknis.
4. Peragaan mamalia akuatik yang dilindungi adalah kegiatan memamerkan atau
mempertontonkan spesimen satwa liar yang dilindungi, baik dengan aktraksi

32
maupun tidak, di dalam areal pengelolaan lembaga konservasi yang berada di
dalam negeri serta telah memiliki izin peragaan dari Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Pemindahan spesimen mamalia akuatik ke dan/atau dari dalam
areal pengelolaan lembaga konservasi dapat dilakukan dengan menggunakan Surat
Izin Angkut yang diterbitkan pemerintah.
5. Lembaga konservasi yang diberi kewenangan memelihara dan memeragakan
mamalia akuatik adalah lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah
yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya
(ex-situ) yang dalam peruntukannya difokuskan pada fungsi penyelamatan dan
rehabilitasi, serta memiliki sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, serta
program dan kegiatan selaras dengan peruntukan tersebut.
6. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui perkembangbiakan dan
pembesaran tumbuhan dan/atau satwa liar dengan tetap mempertahankan
kemurnian jenisnya.
7. Penandaan adalah pemberian tanda yang bersifat fisik pada bagian tertentu dari
spesimen tumbuhan dan/atau satwa atau bagian-bagiannya, serta hasil daripadanya.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas di bidang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
9. Direktur Teknis adalah Direktur yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di
bidang konservasi keanekaragaman hayati.
10. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disebut UPT adalah Balai Besar
Konservasi Sumberdaya

Pasal 2
Maksud dan Tujuan
1. Maksud penyusunan peraturan ini adalah sebagai pedoman dalam pelaksanaan dan
evaluasi pemeliharaan dan peragaan mamalia akuatik.
2. Penyusunan peraturan ini bertujuan agar peragaan mamalia akuatik, terutama satwa
liar yang dilindungi di Indonesia, dilakukan secara baik dan benar, sesuai dengan
etika dan kesejahteraan satwa.

Pasal 3
Ruang Lingkup
Ruang lingkup peraturan ini meliputi:
a) sarana dan prasarana
b) pakan
c) perawatan kesehatan fisik dan perilaku sosial
d) peragaan dan interaksi dengan manusia
e) penanganan dan perpindahan
f) catatan pemeliharaan individu dan dokumentasinya (record keeping)
g) program pendidikan
h) program rehabilitasi
i) program penangkaran
j) sanksi
k) pembinaan, evaluasi dan pelaporan

33
Pasal 7
3) Apabila lebih dari dua ekor lumba-lumba berada di dalam kolam, volume air yang
perlu ditambahkan per setiap ekor tambahan ke volume air yang dibutuhkan minimal
untuk 2 ekor (ayat 2a) adalah: Volume = panjang ukuran lumba-lumba x 3,14 x
kedalaman minimal.
Pasal 8
1) Konstruksi kolam sebagaimana...menggunakan bahan permanen seperti semen
yang perlu dilapis dengan lapisan yang tidak menebus serta waterproof seperti fiber
(fibreglass reinforced polyester) dapat digunakan sebagai bahan pelapis dinding semen.
Hanya cat yang aman tanpa TBT (tributyltin) dan tanpa logam berat.

Pasal 9
(1) Sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, berasal dari air
laut.
Pasal 12
2d) setiap 2 hari melakukan tes koliform count dan hasil tes perlu disimpan untuk
inspeksi
3 ) komentar: tidak dianjurkan kapanpun untuk menguras air karena pemindahan lumba-
lumba ke kolam lain merupakan pengalaman sangat stress bagi lumba2. Jadi dinganti
dengan teknik filterisasi
4) komentar: dihapuskan karena di pasal 9 sudah tertulis bahwa akan digunakan air laut.

Pasal 18
3) komentar:Tidak perlu diambil organisme yang tidak membahayakan karena
memperkaya kolam yang kosong biar tambah alami (enrichment ) dan mengfilter air jadi
mungkin kalimat pasal bisa berbunyi; selain dibersihkan...seperti alga dan molusca
(apabila mengganggu atau membahayakan)

komentar:Pasal 19 sebaiknya berubah menjadi pasal 20 sehingga pasal 19 dapat ditulis


ketentuan terhadapopen sea pen:
a) Lokasi tepat untuk seapun perlu ada dilokasi yang dipengaruhi pasang surut dan
arus keluar supaya sampah dan kotoran
b) lumba-lumba tidak mengumpul. Lokasi harus menyediakan lingkunngan yang
tenang dan menghalang publik dapat mengakses lokasi dari laut.
c) Untuk menghitung ukuran seapen perlu dilakukan pada saat surut.
d) Lokasi seapen harus menyediakan air dangkal dan dalam.
Pasal 19
2) dalam hal ikan sebagaimana.....harus terlebih dahulu disimpan ditempat penyimpanan
ikan yang terbuat dari stainless dan di atas es atau di dalam lemari es.
4) diet harus terdiri dari campuran ikan berlemak tinggah (porsi tertinggi) dan rendah
serta invertebrata seperti dan minimal 5 jenis berbeda. Perlu dilakukam analisa energi
untuk menentukan jumlah pakan per jenis yang perlu diberikan.
Pasal 20
1) Ikan diusahakan untuk langsung diberikan dalam kondisi segar dan menghindari
proses bekukan

34
Pasal 21
1) Komentar: Jumlah pakan tergantung jenis: kalau porpoise perlu 13% dari berat
badan per hari dan lumba2 hidung botel perlu antara 3-6,5% dari berat badan dan
tergantung aktifitas .
Pasal 22
1) Pakan sebagaimana.......diberikan minimal 3 (tiga) kali dalam sehari. Pakan juga
selalu diberikan pada saat training dan/atau show diluar jadwal pemberian makan biasa.
2) komentar:Di tambah kalimat: Untuk mengurangi rasa bosan dan untuk
mempertahakan kemampuan lumba-lumba untuk berburu ikan diwajibkan untuk
melepaskan ikan kecil-kecil hidup dalam kolam lumba2. Akan tetapi jumlah makanan
yang diberikan sebagai pakan utama jumlahnya tetap dengan telah ditentukan di pasal
21.
3) komentar:Ditambah kalimat: Apabila ikan segar perlu disimpab dahulu tidak
disimpan untuk lebih 12 jam dalam . Ikan yang telah dicairkan dari kondisi beku harus
diberi untuk dimakan kurang dari waktu 24 jam.
4) Alat2 dan tempat penyimpanan ikan harus dibersihkan setelah setiap penggunaan.
Persiapan dan pengelolaan makanan harus dilakukan dengan cara yang minimalisir
kontaminasi oleh bakteri atau bahan kimia dan harus dikedepankan nilai lengkap nutrisi
dari makanan.
Pasal 23
3). Doktor hewan harus berpengalaman minimal tiga tahun sebagai assisten dalam
perawatan lumba-lumba sebelum diperbolehkan menjadi doktor hewan utama dalam
perawatan lumba-lumba. Doktor hewan tersebut harus bergabung dalam international
association for aquatic animal medicine dan lulus salah satu kursus khusus seperti:
Seavet, Aquavet atau Marvet. Juga setiap fasilitas harus mempunyai CRC Handbook of
Marine Mammal Medicine (2nd ed.), published in 2001 by Dierauf & Gulland (Eds.).

Pasal II
Pasal 24
2) Komentar: ketentuan ni dihapuskan saja karena tidak pada tempatnya untuk
dibahas dalam detil dalam pedoman karena merupakan tindakan doktor hewan yang ahli
untuk membuat keputusan seperti ini- detil seperti ini semestinya bukan datang dari
pedoman pemerintah
3) Komentar: ketentuan ini perlu dihapuskan karena sangat tidak sesuai! Tidak
mungkin pemerintah dapat ngedikte apa yang perlu dilakukan apabila lumba2 tidak may
makan. Ketentuan seperti ini tidak pernah terdapat di regulasi manapun. Setiap satwa
adalah individu dan tindakan atas satwa tersebut harus ditentukan oleh ahli di tempat dan
melakukan pemeriksaan terhadap satwa, tidak ada satu solusi untuk satwa yang tidak mau
makan untuk lebih 24 jam!
Pasal 25 dan Pasal 26
Komentar: terkait pasal 25&26: Lagi, ketentuan detil terhadap medikasi dan bagaimana
dan kapan itu perlu diberikan tidak patut ditulis dalam pedoman. Detil utama terhadap
kesehatan satwa yang pedoman dapat bahas adalah kualifikasi dari doktor hewan (lihat
perubahan di pasal 23). Selain itu dan ketentuan umum untuk berupaya satwa berada
dalam kondisi sehat termasuk kolam isolasi untuk satwa sakit atau yang dikarantina,

35
standar2 tidak dapat ditentu! Karena setiap kasus dan setiap satwa akan sangat berbeda!
Pasal 26 juga sangat tidak sesuai untuk pedoman sebagai regulasi
Pasal 25. Apabila terjadi kematian wajib dilakukan nekropsi oleh doktor hewan yang
berkualifikasi dalam hal nekropsi secepat mungkin dalam 24 jam. Laporan nekropsi
lengkap denagn hasil tes diagnostik wajib dibuat termasuk dugaan penyebab kematian.
Pemerintah dalam hal ini KKH perlu diberi tahu secepatnya tentang kematian satwa.
Pasal 27
2) Komentar: detil itu tidak perlu dibahas dalam pedoman karena sudah pasti bahwa
petugas kesehatan harus dalam kondisi sehat dan petugas kesehatan sudah pasti tahu itu!
Pasal 28
2,3,4) komentar: kata yang non-permanen mohon dihapuskan dari peragaan ini karena
dari pihak lSM bergerak di bidang pelestarian satwa dan akademisi tidak mendukung
kegiatan peragaan diluar lokasi Lembaga Konservasi! Sirkus keliling di kebanyakan
negara tidak diperbolehkan dan sebaiknya tidak diperbolehkan di Indonesia karena
merusak citra Indonesia sebagai negara yang peduli sama satwa yang dilindungi. sirkus
adalah fenomena yang sudah tidak sesuai jaman lagi, tidak manusiawi kejam dan
melanggar hak-hak kesejahteraan satwa. Lumba-lumba adalah satwa yang 100% akuatis
dan membawa mereka keliling dan berada di kolam peragaan yang amat kecil selama
sirkus berlangsung sangat menyiksa mereka. Ada berbagai artikel terkait ini yang dapat
membuktikan dan kami dapat berbagi artikel atas permintaan.
5) Komentar: pernyataan bahwa lumba2 akan diistrahatkan dikolam karantina atau kolam
isolasi paling sedikit 14 hari sangat problematis. Tidak ditentukan ukuran kolam di kolam
isolasi jadi sudah pasti lebih kecil daripada kolam utama. Dengan begitu membiarkan
lumba2 dalam kolam isolasi selama 14 hari sangat tidak wajar.
6) komentar: Pernyataan ini tidak didasarkan ilmiah apapun. Tidak ada penelitian terkait
berapa lama lumba2 harus diistrahatkan setelah transportasi.
7) komentar:Kecuali peragaan mempunyai manfaat langsung terhadap konservasi atau
edukasi, peragaan semestinya tidak diperbolehkan. Peragaan dalam sirkus dan pasti
sirkus keliling semestinya tidak diperbolehkan.

Pasal 29-41
Komentar:Semua dari pasal 29 hingga 41 tidak dapat diterima oleh LSM di bidang
konservasi satwa serta akademisi yang meneliti lumba2 dan semestinya langsung
dihapuskan dan tidak disetujui. Kami sarankan agar pasal yang terkait persiapan dan
transportasi di bahas di luar bab peragaan dan hanya difokuskan ke pengangkutan dalam
keperluan untuk rehabilitasi untuk lumba2 yang perlu perawatan lebih 24 jam serta re-
introduksi ke habitat aslinya saja. Semua transportasi yang akan makan waktu lebih
lama daripada 2 jam dianggap sebuah anacaman terhadapa kesehatan dan nyawa
lumba-lumba tersebut dan perlu dihindari.
Pasal 34
Komentar: Ini hanya mengulang apa yang telah dilakukan oleh sirkus keliling. Tidak ada
satu pernyataan yang didasarkan ilmiah. Ini hanya perkiraan dari operator sirkus keliling
yang dianggap tepat. Akan tetapi angka kematian dari lumba-lumba yang ditransportasi
membuktikan peraturan ini semua tidak cukup.
b) juga sirip samping harus bisa gerak bebas selama perjalanan supaya lumba-lumba
dapat penyesuaian posisinya,

36
Pasal 35
2) Komentar: pernyataan ini tidak didasarkan ilmiah. Tidak terbukti bahwa lumba2
5 tahun (yang masih remaja) lebih sesuai untuk kelilling daripada lumba2 dengan usia 30
tahun, kalau dikuatirkan bahwa ada umba2 yang kemungkingan terlalu tua untuk ikut
sirkus perlu diketahui bahwa lumba2 berusia 20 tahun kemungkingan besar juga sudah
terlalu tua sama halnya dengan lumba2 30 tahun. Kebanyakan lumba2 dalam kurungan
meninggal pada usia 20 tahun.
Pasal 38
h) maksimum waktu untuk transportasi lumba2 adalah 2 jam.

Pasal 40
Komentar: Lagi, ini tidak ada dasar ilmiah untuk pernyataan ini. A studi oleh Small and
DeMaster yang dipublikasi dalam jurnal ilmiah Marine Mammal Science pada tahun
1995, yang meneliti tentang aklimatisasi terhadap lingkungan baru setelah transpor
menghasilkan bahwa aklimatisasi akan memerlukan waktu 35-40 hari, bukan 2 hari!
Pasal 41
e) komentar: Cara sistem kering tidak dianjurkan lagi di negera lain, lumba2 harus
selalu dalam box yang di-isi setengah degan air. Jadi lebih baik pernyataan dihapuskan.
Pasal 42
a) komentar:Kalau kaidah etika dan kesejahteraan satwa betul2 didepankan tidak
akan ada sirkus keliling lagi!
Pasal 43
Komentar: Ada banyak publikasi akademik/ ilmiah terkait kesejahteraan satwa dan etika.
Jelas ini belum dikonsultasi pada saat pedoman peragaan dibuat pertama kali dan
sebaiknya akan dikonsultasi sekarang pada saat revisi
Pasal 44
1) komentar:Pernyataan ini tidak sesuai dalam pedoman pemerintah yang membuat
peraturan untuk kesejahteraan satwa karena pernyataan murni dari perspektif business
dan sebaiknya dihapuskan. Loncatan dalam kolam kecil dapat cedera lumba2.
2) komentar:Pernyataan ini sangat tidak sesuai: karena semua hal di atas no. 1 perlu
diluar perilaku alami lumba2 . tidak ada lumba2 liar yang melambaikan sirip ke orang,
bermain sama bola atau diberikan makanan oleh manusia
Pasal 45
1) Komentar: dalam pedoman pemerintah untuk standar kesejahteraan lumba2
semestinya tidak ada tempat untuk detil yang berorientasi business.
Pasal 46
2) komentar:Ini jumlah sangat tinggi: perlu dibatasin hingga maksimal 4 per hari.
Apabila lebih dari itu satwa akan merasa lelah dan tidak ada waktu untuk membangun
hubungan erat dengan pelatih, untuk pelatihan dan untuk istrahat.
Pasal 47
3) komentar:Di pernyataan 2 disebut 15 menit jadi seharusnya di sini juga disebut
15 menit.
Pasal 48
a) komentar:Standar yang diakui secara internasional untuk informasi edukasi
adalah bahwa itu didasarkan publikasi ilmiah yang terbaik!
b)

37
Pasal 50
1) Komentar: perlu dispesifikasi apa syarat kualifikasi yang harus dimiliki kepala
unit pelaksana teknis. Jadi kualifikasi perlu adanya keahlian untuk dapat menentukan
kesehatan dan kesejahteraan satwa

Pasal 41-51
Komentar: ditambah kata pemeliharaan depan setiap kata peragaan karena setiap fasilitas
yang memelihara lumba-lumba perlu buat laporan terkait kondisi medis lumba-lumba,
hasil tes kualitas air setiap 3 bulan sekali.
Pasal 52
Pembukuan (record keeping):
a) Tanda pengenal, gender dan sejarah (asal, tanggal dan usia waktu masuk LK, rekor
medis) dan kondisi terkini (informasi medis, makanan (jenis, perkiraan energi, kg per hari
yang dimakan), kegiatan dan perilaku) dari masing-masing indvidu perlu disimpan dalam
database digital yang dapat diakses oleh unit pelaksana teknis yang ditunjuk oleh dirjen
PHKA dan doktor hewan. Sama halnya dengan hasil tes kualitas air (dengan waktu
pelaksanaan yang sudah ditentukan dalam lampiran 1) yang perlu disimpan dalam
database digital.
Pasal 53
Program pendidikan
a) setiap LK harus mempunyai program pendidikan untuk mengedukasi anak2
maupun orang dewasa yang bisa mencakup on-site information boards, audio-visuel
material, school tour (gratis) dan program edukasi outreach didalam maupun diluar LK
untuk guru, anak sekolah atau kelompok masyarakat.
b) Semua edukasi harus berpacu kepada artikel yang terkini dan terbaik dalam sains
serta mengambarkan kondisi lumba-lumba di Indonesia serta upaya konservasi di alam.
Pasal 54
Rescue and Rehabilitation
a) Individu yang berasal dari penangkapan ilegal perlu disiapkan program untuk re-
introduksi kembali ke habitat aslinya.
b) LK yang memelihara lumba2 dan setuju ikut program rehabiltasi dan re-
introduksi perlu menyediakan satu kolam untuk perawatan khusus untuk lumba2 yang
terdampar dan perlu perawatan lebih lama daripada seminggu
c) Lumba2 tersebut akan dirawat ditempat khusus dan terpisah karena bisa menular
penyakit dari alam ke lumba2 yang ada di LK. Higiene untuk staf merawat lumba dari
alam perlu tinggi supaya lumba dari LK tidak tertular dan sebaliknya.
d) Lumba2 tersebut akandites untuk penyakit menular seperti Brucella dan
Morbillivirus dan harus sembuh dari penyakit sebelum dilepas kembali ke habitat asal.
e) lumba2 tersebut apabiladinyatakan sudah sehat oleh doktor hewan yang
berkualifikasi perlu dikembalikan ke habitat asal. Lumba2
f) Setiap lumba2 perlu diambil skin swab (diambil sel kulit lepas) dan melakukan
tes DNA sequencing. Hasil tes dari masing2 lumba-lumba wajib disimpan di setiap LK.
Selain itu tanda alami perlu difoto dan ditulis dalam laporan.
g) Apabila telah dinyatakan sehat akan dikembalikan ke habitat asal dan sebaiknya
di beri tag satelit untuk memantau keberadaannya.

38
Pasal 55
Program Enrichment
a) Setiap LK harus berupaya untuk memperkaya kehidupan lumba-lumba dalam
kolam untuk mengurangi rasa jenuh dan bosan yang mempengaruhi negatif kesehatan
dengan berbagai cara yang secara detil tergambar dalam artikel oleh Laurence Couquiaud
dalam jurnal Aquatic Mammals 2005, 31(3), 327-335. Enrichment dapat dilakukan
dengan cara:
1) memperalami kolam buatan sebaik mungkin dengan topografi yang berbeda dalam
kolam; 2) menyediakan ikan kecil atau crustacea hidup maupun tanaman lamun dalam
kolam yang bisa menjadi mainan lumba-lumba; terkadang sajikan ikan hidup untuk
makanan untuk stimulasi insting berburu mereka;
2) kolam meyediakan tempat dalam untuk lompat dan renang cepat sementara tempat
dangkal atau teluk kecil untuk beristrahat.

Pasal 56
Sanksi untuk fasilitas yang melanggar ketentuan di atas
a) komentar:Silakan teman2beri masukan tentang ini...saya kurang tahu tapi pikir
itu mungkin perlu dicantumkan dalam pedoman.

LAMPIRAN 1

a) Rekor dari pemeriksaan kualitas air wajib disimpan secara digital selama 3 tahun.
komentar: pH- bedasarkan ilmu yang terbaik (Couquiaud (2005)) batas minimum terlalu
rendah di sini. pH yang aman adalah antara 7.5-8.2.
komentar:salinitas: tingkat salinitas ini terlalu rendah. Ini air payau dan lumba-lumba
hidung botel biasanya tidak biasa berada di air payau untuk waktu lama. Salintas harus
berada di atas 25%.
komentar:Total chlorine:di bawah 0,5 ppm
komentar:Free Chlorine: below 0,2 ppm
komentar:Amonia: ini bukan satuan ukuran yang tepat semestinya mg/l air. Harus di
bawah 0.05 mg/l air.
komentar:Total coli form: ini harus dilakukan lebuh sering daripada sekali per bulan. Di
fasilitas yang bagus dilakukan setiap hari tapi yang pasti setiap minggu.

39
Lampiran 2: Acuan teknis kualitas air dalam kolam pemeliharaan

Frekuensi pemeriksaan dan batas ukuran kualitas air


Frekuensi
Variabel kualitas air Kisaran nilai
pengukuran
Suhu udara 2 kali sehari tidak perlu
Suhu perairan 2 kali sehari
Salinitas Harian 25-35
8.2; jika ditambahkan klorin maka
pH Harian
kisarannya; 7.5-7.6
Turbiditas Harian 0.5 NTU
Oksigen terlarut Mingguan 5.0-8.8 ppm DO
Bakteri koliform Mingguan 1000 MPN/100 ml
Total bakteri Mingguan see historical norm of location
Ammonia (NH3) Mingguan 0.05 mg/l of water
` 1 mg/l rapidly converted to
Nitrit (NO2) Mingguan
nitrate
Nitrat (NO3)
Free chlorine 2-3 x day 0.2 ppm
Total chlorine 1.5 ppm
Alkalinity Weekly 100-150 mg/l

Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di: Jakarta


pada tanggal:

DIREKTUR JENDERAL,
Dr. Ir. TACHRIR FATHONI, M.Sc
NIP. 19560929 198202 1 001

40

You might also like