You are on page 1of 15

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

ESBL (Extended-Spectrum Beta-Lactamase)

PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT (PKRS)

RSUD dr.SAIFUL ANWAR MALANG

2016
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Sasaran : Pasien dan keluarga di Ruang 21


RSUD dr. Saiful Anwar Malang
Materi : ESBL
Metode : Ceramah, tanya jawab
Media dan alat bantu : Power point, LCD, leaflet dan laptop
Waktu : Jumat, 16 Desember 2016 pukul 10.00 WIB
Tempat : di Ruang 21 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Penyuluhan
Moderator : Lutfi Charisma A.
Pemateri : Adimas M. S
Fasilitator dan observer : Priskila P. dan Sahrul Aini

LATAR BELAKANG
Dalam beberapa dekade terakhir infeksi yang diakibatkan oleh bakteri penghasil
Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) meningkat. Di Indonesia sendiri, terutama di
RSUP Dr. Kariadi Semarang, selama kurun waktu 2004-2005 didapatkan proporsi bakteri
penghasil ESBL sebesar 50,6% berdasarkan tes skrining awal. Infeksi oleh bakteri
memberikan akibat yang signifikan bagi pasien rawat inapdikarenakan pilihan terapi infeksi
untuk bakteri penghasil ESBL sangat terbatas dan infeksi oleh bakteri ini menyebabkan angka
mortalitas yang lebih tinggi pada pasien rawat inap.
ESBL merupakan enzim yang dapat menghidrolisis penicillin, cephalosporin generasi
I, II, III dan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem). ESBL berasal dari -
laktamase yang termutasi. Mutasi ini menyebabkan peningkatan aktivitas enzimatik -
lactamase sehingga enzim ini dapat menghidrolisis chepalosporin generasi III dan aztreonam.
Penggunaan antibiotika golongan cephalosporin generasi III secara luas untuk
pengobatan infeksi di rumah sakit disebutkan menjadi salah satu factor risiko infeksi oleh
bakteri penghasil ESBL. Selain resisten terhadap antibiotika golongan cephalosporin, bakteri
penghasil ESBL juga sering menunjukkan resistensi pada penggunaan fluoroquinolone.
Selain panggunaan antibiotika secara berlebihan, pasien dengan penyakit berat, LOS (Length
of Stay) yang lama dan dirawat dengan alat-alat medis yang sifatnya invasif (kateter urin,
kateter vena dan endotracheal tube) untuk waktu yang lama juga merupakan risiko tinggi untuk
terinfeksi oleh bakteri penghasil ESBL.
TUJUAN
1 Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan pasien dan keluarga di Ruang 21 RSUD
dr. Saiful Anwar Malang mampu mengerti mengenai ESBL.
2 Tujuan Khusus
Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan peserta mampu mengetahui:
a Pengertian ESBL
b Epidemiologi ESBL
c Mekanisme Resistensi pada Bakteri ESBL
d Faktor Risiko Infeksi Bakteri ESBL
e Cara menskoring ESBL
f Manajemen Infeksi Bakteri ESBL
KEGIATAN PENYULUHAN
TAHAP WAKTU KEGIATAN KEGIATAN METODE MEDIA
PENYULUH PESERTA
Pembukaan 5 menit Membuka dengan Mendengarkan, Penjelasan -
salam dan memperhatikan, (ceramah)
memperkenalkan dan menjawab Tanya jawab
diri pertanyaan
Menjelaskan
tujuan umum dan
khusus
Menentukan
kontrak waktu
dengan peserta
Menggali
pengetahuan
peserta tentang
materi yang akan
disampaikan
Penyajian 15 menit Menjelaskan Mendengarkan, Penjelasan Power
pengertian ESBL, memberikan (ceramah) Point
Epidemiologi pendapat Tanya
ESBL, Mekanisme Bertanya jika ada jawab
Resistensi pada yang tidak
Bakteri ESBL, dipahami tentang
Faktor Risiko materi yang
Infeksi Bakteri disampaikan
ESBL, Cara
menskoring ESBL,
Manajemen
Infeksi Bakteri
ESBL
Memberikan
kesempatan
peserta untuk
bertanya dan
menyampaikan
pendapatnya

Penutup 10 menit Memberikan Mendengarkan Penjelasan Power


kesempatan pada menjawab (ceramah) Point
peserta untuk pertanyaan yang Tanya
bertanya tentang diberikan jawab
materi yang penyuluh
disampaikan
Memberikan
pertanyaan
sebagai acuan
evaluasi
Membuat
kesimpulan
tentang kegiatan
penyuluhan yang
sudah dilakukan
Mengakhiri
penyuluhan
dengan
mengucapkan
salam
LAMPIRAN MATERI

1. Definisi Bakteri Extended Spectrum Lactamase (ESBL)


Beberapa dekade terakhir, penggunaan intensif sefalosporin spektrum luas (sefalosporin
generasi ketiga, seperti seftriakson dan sefotaksim) telah mengakibatkan munculnya strain
bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim extended spektrum
laktamase (ESBL).
ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir seluruh
antibiotik laktamtermasuk penisilin, sefalosporin dan monobaktam.
Enzim laktamase yang pertama ditemukan dinamakan TEM-1. TEM ditandai dengan
adanya asam amino serine pada bagian aktifnya. Adanya mutasi satu asam amino pada TEM-1
mengakibatkan terbentuk enzim baru disebut TEM-2 namun tidak mengubah kemampuan
hidrolisisnya terhadap antibiotik laktam. Setiap adanya mutasi akan menghasilkan suatu
enzim baru dengan kemampuan hidrolisis cincin betalaktam yang berbeda.
TEM-1 dan TEM-2 menghidrolisis penicillin dan sefalosporin spektrum sempit, seperti
sefalotin atau sefazolin. Namun, tidak efektif terhadap sefalosporin generasi yang lebih tinggi
dengan rantai samping oxyimino, seperti sefotaksim, ceftazidim, seftriakson, atau sefepim.
Akibatnya, sefalosporin generasi ketiga mendapat tempat yang luas dalam penggunaan klinis
pada awal 1980an. TEM-3 dilaporkan pertama kali tahun 1989. TEM-3 inilah bakteri penghasil
enzim laktamase pertaa yang masuk kedalam golongan bakteri ESBL dari variant TEM.
Sejak saat itu telah terdapat lebih dari 200 mutasi pada TEM. TEM paling banyak dihasilkan
oleh E.coli.
Adanya mutasi serine menjadi glisine pada posisi 238 enzim laktamase
mengakibatkan terbentuknya enzim yang disebut SHV-1. ESBL ditemukan pertama kali tahun
1983 dan merupakan turunan dari SHV ini. SHV umumnya dijumpai pada Klebsiella spp. Sama
halnya dengan TEM, perubahan satu asam amino mengakibatkan terbentuknya enzim baru.
Sampai saat ini dikenal 140 turunan SHV.
Selain kedua enzim diatas dijumpai juga CTM-X yang lebih dominan resisten terhadap
cefotaxime. Banyak kejadian outbreak ESBL diakibatkan turunan CTM-X. Sampai saat ini
terdapat 130 turunan CTM-X. CTM-X merupakan ESBL yang paling sering dijumpai saat ini.
Antibiotik laktamase inhibitor asam clavulanat kurang efektif terhadap ESBL CTM-X ini.
Adapun enzim laktamase yang lain dikenal dengan OXA laktamae. OXA beta
laktamase dapat menghidrolisis oksasilin dan kurang efektif terhadap asam clavulanat. ESBL
OXA banyak dijumpai pada Pseudomonas aeroginosa. Enzim beta laktamase yang lain, seperti
PER, VEB, dan GES telah dilaporkan tetapi sangat jarang dan terutama ditemukan pada
P.aeruginosadan hanya didapati pada daerah geografis tertentu. Enzim ESBL lainnya, yang
juga cukup jarang, dan ditemukan di Enterobacteriaceae antara lain BES, SFO, dan TLA.
Bakteri yang dapat menghasilkan enzim ESBL umumnya bakteri gram negatif, seperti
Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, Eschericia coli, Acinetobacter, Burkhlorderia,
Citobacter, Enterobacter, Morganella, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, danSeratia spp.

2. Epidemiologi Infeksi Bakteri ESBL


Sejak ditemukannya bakteri ESBL tahun 1983, bakteri ini telah mengalami banyak
mutasi dan tersebar diberbagai daerah. Infeksi dapat terjadi baik di masyarakat (Community)
maupun di dapat dirumah sakit (hospital). Perbedaan kedua sumber infeksi ini seperti tertera
pada tabel berikut;
Tabel Perbedaan onset infeksi ESBL

Dikutip dari : Rishi et al, Critical Care Research and Practice, 2012
Secara global kejadian prevalensi ESBL bervariasi diberbagai daerah. Dari hasil
Tigecycline Evaluation and Surveillance Trial (TEST) tahun 2001 menunjukkan angka kejadian
tertinggi ESBL K.pneumoniae di Amerika Latin diikuti Asia, Eropa dan Amerika Utara yaitu 44%,
22,4%, 13,3% dan yang terakhir 7,5%.
Di Amerika berdasarkan National Nasocomial Infectius Surveilance System tahun 2004
diperoleh bahwa ESBL K.pneumonia meningkat 43% tahun 2003 dibandingkan dengan tahun
1998-2002, sedangkan ESBL E.coli tidak mengalami perubahan dan angka kejadian di ICU
lebih tinggi dibandingkan non-ICU. Dari hasil penelitian Meropenem Yearly Susceptibility Test
Information Collection (MYSTIC) tahun 2008 melibatkan 12 negara, diperoleh kejadia ESBL
E.coli 1,5% sedangkan ESBL K.pneumonia 2,4-4,4% sedangakan total kejadian ESBL secara
keseluruhan 5,6%.
Di Eropa, banyak Negara di Eropa yang mengalami outbreak ESBL. Isolat pertama
ESBL dijumpai di Jerman, namun Outbreak pertama terjadi di Francis, dimana dari 50 pasien
yang terkena ESBL di ICU, menyebarkan ke hampir seluruh ruang rawat lainnya. Kejadian di
Eropa bervariasi mulai dari 3% di Swedia sampai 34% di Portugal.
Amerika Selatan merupakan daerah tertinggi infeksi ESBL dengan predominan jenis
CTX-M dengan range kejadian 45-51% untuk ESBL K.pneumonia dan 8,5%-18% ESBL E.coli.
Di Asia, Cina merupakan daerah pertama yang dijumpai ESBL dengan angka kejadian
ESBL E.Coli 13-15%. Hasil penelitian Paterson et al memperoleh kejadian ESBL di Thailand,
Taiwan, Philipina dan Indonesia berkisar 12-24%. Laporan kesehatan Malaysia menyatakan
prevalensi ESBL E.coli di Malaysia dan singapura 5,6% dan Indoneisa 23% sedangkan ESBL
K.pneumoniaedi Malaysia dan singapura 38% dan Indoneisa 33,3%.
Hasil penelitian di Medan diperoleh kejadian ESBL E.coli 18,7% dari 282 sampel urin
yang diperiksa. Dari data di bagian Mikrobiologi RS H Adam Malik medan dijumpai kejadian
infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012 kejadian ESBL 16,9% (12% ESBL
K.pneumonia dan 4,9% ESBL E.coli) meningkat menjadi 19,51% (12,24% ESBL K.pneumonia
dan 7,17% ESBL E.coli) pada tahum 2013. Disamping itu, dari data tahun 2013 diketahui
bahwa 67,81% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBK K.pneumonia dan 61,83%
isolat E.colimerupakan ESBL E.coli.

3. Mekanisme Resistensi pada Bakteri ESBL


Bakteri yang menghasilkan enzim untuk mengatasi kerja dari antibiotik betalaktam
disebut dengan enzim Lactamase. Enzim Lactamase dapat merusak cincin laktam dari
penisilin dengan hidrolisis, dan tanpa cincin laktam, penisilin menjadi tidak efektif melawan
bakteri Enzim Lactamase disekresikan ke rongga peri plasma oleh bakteri gram negatif dan
ke cairan ektra seluler pada bakteri gram positif. Variant enzim Lactamase cukup banyak,
mulai dari TEM, SHV, CTM-X dan lainnya semua bakteri penghasil enzim ini disebut bakteri
ESBL. Sehingga bakteri tetap dapat membentuk dinding sel bahkan ketika diberikan antibiotik
betalaktam.
Enzim ESBL mempunyai kemampuan yang bervariasi terhadap berbagai substrat
-laktam. Enzim-enzim ini juga sensitif terhadap inhibitor-inibitor betalaktamase, seperti
klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Enzim ESBL ini umumnya ditemukan pada bakteri
gram negatif, terutama Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, dan Eschericia coli. Tetapi
dapat juga ditemukan pada Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella,
Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp.

Gambar 2.1. Mekanisme resistensi terhadap betalaktam.


Dikutip dari: John Wiley & sons, Inc, Bacterial Drug Resistance, 2004.

4. Faktor Risiko Infeksi Bakteri ESBL


Banyak peneliti mencoba mencari faktor resiko terhadap kejadian ESBL sehingga dapat
menduga adanya infeksi ESBL pada seseorang. Penelitian oleh Rishi et la, memperoleh faktor
resiko kejadian ESBL yaitu adanya infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan antibiotik
sebelumnya, diabetes mellitus, penggunaan kateter ataupun alat lain di saluran kemih, jenis
kelamin wanita dan usia lebih dari 65 tahun.
Ikeda et al mencoba mencari faktor resiko berupa pemeriksaa labolatorium dasar seperti
hemoglobin, leukosit, CRP dan lainnya diperoleh bahwa albumin dan limfosit yang rendahlah
berhubungan dengan kejadian ESBL pada pasien dengan infeksi. Selain hal diatas ada
beberapa faktor resiko lain seperti; usia tua, lamanya rawatan, lamanya sakit, lama rawatan
ICU, adanya tindakan invasif, penggunaan ventilator, penggunaan kateter urin, penggunaan
nagogastric tube, hemodialisis, status nutrisi yang buruk, penggunaan antibiotik sebelumnya,
penggunaan thermometer ataupun gel ultrasonografi yang terkontaminasi pasien lain ataupun
tangan pekerja kesehatan.
Beberapa Faktor- faktor risiko untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL dapat
dilihat tertera pada tabel berikut;
Tabel 2.2. Faktor resiko infeksi ESBL

Dikutip dari : Rupp ME et al. Drugs, 2003


5. Italian Score
Tumbarello et al memperkenalkan suatu scoring systemuntuk menilai adanya infeksi
ESBL yang dikenal dengan Italian score. Score ini terdiri dari beberapa faktor resiko yang
menyebabkan terjadinya ESBL. Dengan adanya scoring ini diharapkan dapat memprediksi
kejadian Infeksi ESBL sehingga dapat langsung diberikan penanganan yang tepat yaitu
dengan antibiotik terhadap bakteri ESBL tersebut.
Tabel 2.3 Italian Score
Kriteria penilaian Skor
Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon dalam 3 bulan terakhir 2
Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 3
Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 3
Charlson Comorbidity Score 4 2
Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 2
Usia 70 tahun 2
Dikutip dari : Tumbarello M et al, Antimicroba Agents Chemother 2011
Jika cutoff score digunakan 4, maka sensitivitas 90% dan NPV 95%, tetapi
menyebabkan spesifisitas yang rendah yaitu 62% dan PPV 44%.
Penggunaan antibiotik empirik untuk ESBL membutuhkan spesifisitas dan PPV yang
tinggi. Dan dengan cutoff sama dengan atau lebih dari 8, memiliki spesifisitas 96% dan PPV
80% dalam memprediksi adanya infeksi ESBL.

6. Manajemen Infeksi Bakteri ESBL


Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya
kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Infeksi ESBL umumnya
resisten terhadap antibiotik -lactam termasuk sefalosforin, aztreonam dan penisilin. Selain itu
resistensi terhadap antibiotik lain juga terjadi seperti trimetroprim-sulfametoxazole,
aminogikosida khususnya gentamisin.
Pilihan antibiotik idealnya adalah berdasarkan hasil kultur, tetapi seperti yang disebutkan
sebelumnya hasil kultur memerlukan waktu dan tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya.
Pada hasil kultur umumnya diperoleh beberapa jenis antibiotik yang sensitif terhadap bakteri
ESBL dan untuk membantu memilih antibiotik diantara beberapa antibiotik yang sensitif untuk
ESBL seperti tabel berikut;
Tabel 2.4 Rekomendasi pengobatan

Dikutip Dari : Rishi et al, Critical Care Research and Practice, 2012
Berikut ini dipaparkan kemampuan beberapa golongan antibiotik terhadap infeksi bakteri
ESBL;
a. Karbapenem
Karbapenem merupakan antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam
golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Pemilihan
antara imipenem dan meropenem sukar dilakukan karena memiliki profil yang hampir sama.
Pada meningitis meropenem merupakan pilihannya. Ertapenem pada beberapa penelitian lebih
baik dari pada meropenem dan imipenem dan penggunaannya hanya sekali sehari.Doripenem
merupakan golongan karbapenem terbaru yang lebih poten dan dapat digunakan untuk infeksi
pseudomas aurigenosa. Penelitian yang membandingkan kombinasi karbapenem dengan
antibitik golongan lain dibandingkan karbapenem tunggal diperoleh hasil yang tidak berbeda.
Penelitian oleh Paterson, penggunaan karbapenem sebagai terapi inisial untuk ESBL selama 5
hari memiliki angka mortalitas yang lebih rendah.
Dari penelitian oleh Muharrmi et al, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem)
100% sensitif terhadap ESBL. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni et al,
Aminzadeh et al, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL. Chien Lye et al meneliti pada 47
pasien ESBL dengan sumber infeksinya saluran kemih, hepatobilier dan vascular acses yang
diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien. Penelitian Auer et al,
ertapenem 100% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. Adapun dosis standart
pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem 500 mg 4 kali sehari
intravena, ertapenem 1 gr setiap 24 jam intravena. Resistensi terhadap karbapenem mulai
muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New Delhi Metalo Beta
Lactamase(NDM) sehingga penggunaanya haruslah rasional.
b. -lactam/-lactamase inhibitor
-lactamase inhibitor merupakan antibiotik yang ideal untuk ESBL karena memiliki
kemampuan menghambat enzim laktamase, namun banyaknya mutasi yang terjadi pada
enzim laktamase mengakibatkan berkurangnya efektivitas antibiotik lactamase inhibitor
ini. Oleh karena itu, antibiotik -lactam/-lactamase inhibitor dapat digunakan untuk ESBL
yang tidak berat. Amoxicillin/Clavuanat efektif untuk infeksi saluran kemih komunitas akibat
ESBL. Tazobaktam lebih efektif terhadap ESBL CTX-M dibandingkan Lactam lainnya dan
sulbactam lebih baik terhadap SHV dan TEM, namun pada labolatorium sederhana
pemeriksaan fenotif ini sulit dilakukan. Penelitian Rodriquez-Bano et al, penggunaan
amoxicillin/clavulanat selama 5-7 hari pada infeksi saluran kemih tanpa komplikasi memiliki
angka kesembuhan 84%. Adapun dosis standart pada dewasa amoxicillin-clavulanat 625
mg/1,2 mg /8 jam baik oral maupun intravena.
Piperasilin-tazobactam memiliki kerentanan yang bervariasi terhadap ESBL. Penelitian
Muharrmi et al memperoleh 64,4% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 43,6% terhadap
ESBLK.pneumonia. Di Amerika Serikat dari hasil MYSTIC Study diperoleh 72,5% sensitif
ESBL E.coli dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli
dan 42,1% terhadap ESBL K.pneumonia. Kemampuan eradikasinya meningkat dengan
mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin.
Piperasilintazobactam dikombinasikan dengan amikasin 98,1% sensitif terhadap ESBL E.coli
dan 93,1 % terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Piperasilin-tazobactam
dengan gentamisin 73,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 61,4% terhadap ESBL
K.pneumonia. Penelitian Aminzadeh et al, Piperasilin-tazobactam 100% sensitif terhadap ESBL.
Adapun dosis standart pada dewasa 4,5 gr setiap 8jam intravena.
c. Aminoglikosida.
Aminoglikosida yang sering digunakan untuk indeksi bakteri ESBL adalah gentamisin
dan amikasin. Gentamisin memiliki kerja bakterisidal yang cepat, namun penggunaan sebagai
monoterapi ESBL dihindari. Gentamisin memiliki kerentanan yang bervariasi. Penelitian
Muharrmi et al memperoleh 38,3% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 37,6% terhadap ESBL
K.pneumonia. Penelitian Kulkarni et al, gentamisin 19,4% sensitif terhadap ESBL. Penelitian
Aminzadeh et al, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL. Adapun dosis standart pada
dewasa 5 mg/KgBB perhari intravena.
Amikasin memiliki kerentanan yang bervasriasi. Penelitian Muharrmi et al memperoleh
kerentanan 94% terhadap ESBL (95,2% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 90,1% terhadap
ESBL K.pneumonia). Penelitian Kulkarni et al, amikasin 70,4% sensitif terhadap
ESBL.Penelitian Aminzadeh et al, amikasin 81,1% sensitif terhadap ESBL. Adapun dosis
standart pada dewasa 15 mg/KgBB perhari terbagi dalam dua dosis intravena.
d. Kuinolon
Bakteri ESBL yang sensitif terhadap kuinolon dapat menggunakannya. Namun
belakangan semakin banyak dilaporkan adanya resistensi terhadap kuinolon pada bakteri ESBL
dengan penyebab yang belum sepenuhnya dipahami. Resistensi ini diduga akibat hilangnya
porin bakteri untuk masuknya kuionolon dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel. Ciprofloksasin
memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Dari penelitian Muharrmi et al, diperoleh
hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL ( 24,9% E.Coli dan 39% K.Pneumonia). MYSTIC Studydi
Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8% terhadap ESBL
K.pneumonia, sedangkan di Eropa 20,2% sensitive ESBL E.coli dan 57,5% ESBL
K.pneumonia. Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya dengan
obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Siprofloksasin dikombinasikan dengan
amikasin memiliki 96,7% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 91,1% terhadap ESBL
K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Siprofloksasin dengan gentamisin memiliki 41,2% sensitif
ESBL E.Coli dan 51,5% ESBL K.Pneumonia. Penelitian Kulkarni et al, siprofloksasin 30,2%
sensitif terhadap ESBL.
e. Sefalosporin
Secara umum sepalosporin tidak direkomendasikan sebagai pengobatan ESBL.
Antibiotik golongan ini yang masi mungkin digunakan adalah cefepime, tetapi data klinis tidak
mendukung hal ini dengan angka kegagalan lebih tinggi dibandingkan dengan karbapenem.
Penggunaan sefalosporin generasi 3 untuk infeksi ESBL memberikan hasil yang buruk
walaupun hasil kultur masih sensitif, sehingga tidak direkomendasikan digunakan sebagai
pilihan pertama. Penelitian Kulkarni et al, cepefime hanya 17,2% sensitif terhadap ESBL.
f. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih yang tidak komplikasi.
Penelitian Kulkarni et al, Nitrofurantoin 75% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh et
al, Nitrofurantoin 71,3% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Auer et al, Nitrofurantoin 94%
sensitive terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. Adapun dosis standart pada dewasa 50
mg setiap 6 jam oral.
g. Fosfomisin
Fosfomisin merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat UDP N
Acetylglucosamine yang merupakan enzim pada proses pembentukan dinding bakteri. Falagas
et al melakukan suatu sistematik review dengan total sampel 4448 infeksi ESBL ditemukan
bahwa fosfomisin sensitive pada 90% kasus. Penelitian Rodriquez-Bano et al, penggunaan
fosfomisin pada indeksi saluran kemih bagian bawah memiliki angka kesembuhan 94,2%.
h. Tigecycline
Tigecycline merupakan turunan dari minocycline, dan ini merupakan obat pertama
golongannya. Penelitian obat ini terhadap ESBL belum banyak, namun pada penelitian
pendahuluannya memberikan hasil yang memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA
Winarto. Prevalensi Kuman ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase) dari Material Darah di
RSUP Dr. Kariadi Tahun 2004-2005. Semarang: Media Medika Indonesia. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. 2009;260 67.
Arnita. The 8,th Jakarta Antimcrobial Update 2007 http://www.majalah-farmacia.com
Emily P. Hyle, Adam D. Lipworth, Theoklis E. Zaotis, Nachamkin. Irvin, Neil O. Fishman, Warren
B. Bilker, et al. Risk Factor for Increasing Multidrug Resistance among Extended-
Spectrum -Lactamase-producing Escherichia coliand KlebsiellaSpecies. Chicago
Journal http://www.journals.uchicago.edu
David L. Paterson, Robert A. Bonomo. Extended-Spectrum -lactamases:a Clinical Update.
American Society For Microbiology [serial online]. 2005. http://cmr.asm.org
Loh. Li-Cher, Hanim. Nor Izran bt Abdul Samad, Masayuni. Rosdara bt Mohd I Sani, et all.
Hospital Outcomes Of Adult Respiratory Tract Infection With Extended-Spectrum B-
Lactamase (ESBL) producing Klebsiella pneumoniae. Malaysian journal of medical
sciences.

You might also like