You are on page 1of 31

SEMINAR JURNAL EMERGENCY

PENGENDALIAN INFEKSI PADA PASIEN YANG DIDUGA DENGAN

PENYAKIT YANG SANGAT MENULAR DI DEPARTEMEN GAWAT

DARURAT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Emergency

Di IGD RS dr. Soepraoen Malang

Disusun Oleh:

Kelompok 7

Profesi Ners PSIK UB 2016

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan kesehatan merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam
sebuah individu atau kelompok dalam sebuah organisasi, bertujuan untuk
memelihara atau menjaga kesehatan dan meningkatkan kesehatan, mencegah
dan juga menyembuhkan penyakit, serta mengembalikan kesehatan sebuah
individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Depkes RI (2009)
mengungkapkan pendapatnya seputar pengertian pelayanan kesehatan, yaitu
setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam
suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah
dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan,
keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Pelayanan kesehatan diberikan
mulai dari layanan kesehatan primer sampai lanjutan dalan hal ini rumah sakit.
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan
Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan
lebih lanjut. Para petugas kesehatan bertugas di unit gawat darurat 24 jam
sehari. Semua pasien yang masuk ke rumah sakit melewati UGD dilihat dalam
hal kegawatdaruratan pasien yang akan dilayani sesuai urutan prioritas gawat
daruratnya.
Sebagai tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat yang bekerja di
unit gawat darurat sangat beresiko tinggi tertularnya penyakit. Tenaga
kesehatan di unit gawat darurat merupakan lini terdepan yang 24 jam
berinteraksi dengan pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan (Elvia,
2013). Penularan penyakit dapat melalui udara, cairan tubuh seperti muntah, air
seni bahkan lewat peralatan medis yang digunakan.

1
Infeksi nosokomial atau yang kini dikenal dengan Healthcare Associated
Infections (HAIs) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat
penting. Infeksi nosokomial berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan
dan kematian, peningkatan lama perawatan, peningkatan biaya kesehatan
akibat lamanya perawatan, diagnosis dan pengobatan. Selain itu, tingginya
kejadian infeksi nosokomial menimbulkan citra buruk sebuah rumah sakit dan
penurunan jumlah konsumen. Dampak buruk infeksi nosokomial tidak hanya itu,
tetapi juga membawa dampak hukum, dimana terjadi tuntutan pengadilan yang
membawa kerugian material dan immaterial.
Journal of Hospital Infection 2008 melaporkan, lebih dari 1,4 juta pasien
di seluruh dunia, baik di negara berkembang dan negara maju, menderita
penyakit yang disebabkan infeksi terkait perawatan di rumah sakit. Secara
umum di seluruh dunia, 5-10 persen pasien mengalami infeksi nosokomial,
dengan prevalensi rata-rata 20 hingga 30 persen pada pasien yang masuk ke
bangsal ICU.
Di perkirakan pada tahun 2010 telah terjadi penularan Hepatitis B (39%),
Hepatitis C (40%), dan HIV (5%) pada tenaga kesehatan diseluruh dunia.
Sejumlah studi menunjukkan 17,6 % perawat yang mendapatkan infeksi di
Rumah Sakit, di Maroko 50% di dapat dibagian ruang gawat darurat.
International Council of Nurse (2005) melaporkan bahwa sekitar 19-35% semua
kematian pegawai kesehatan pemerintah di Afrika disebabkan oleh HIV/AIDS.
Secara global, lebih dari 35 juta petugas kesehatan menghadapi risiko perkutan
akibat terkena benda tajam yang terkontaminasi. Tingginya prevalensi penyakit
seperti HIV/AIDS, Hepatitis tipe B dan TB Paru serta penyakit menular lainnya
berarti meningkat pula risiko tenaga kesehatan yang dapat tertular penyakit-
penyakit infeksi, khususnya bila kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh
tidak dilaksanakan terhadap semua pasien.
Karena itulah pengendalian infeksi di rumah sakit sangat krusial,
mengingat dampak dari infeksi terkait perawatan di rumah sakit berimplikasi
pada perpanjangan masa rawat inap, kelumpuhan jangka panjang,
meningkatnya resistensi mikroorganisme terhadap antimikroba, beban finansial
tambahan yang cukup besar bagi pasien dan keluarganya, serta meningkatnya
jumlah kematian.

2
Berdasarkan hal tersebut, kami tertarik untuk membahas lebih lanjut
terkait manajemen pengendalian infeksi pada pasien yang diduga dengan
penyakit yang sangat menular di departemen gawat darurat.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pembahasan isi dari jurnal tentang pengendalian infeksi pada
pasien yang diduga dengan penyakit yang sangat menular di departemen
gawat darurat?
1.2.2 Bagaimana manfaat pengendalian infeksi pada pasien yang diduga
dengan penyakit yang sangat menular di departemen gawat darurat?
1.2.3 Bagaimana aplikasi pengendalian infeksi pada pasien yang diduga dengan
penyakit yang sangat menular di departemen gawat darurat di Indonesia?
1.2.4 Bagaimana aplikasi pengendalian infeksi pada pasien yang diduga dengan
penyakit yang sangat menular di departemen gawat darurat di IGD RST
dr. Soepraoen Malang?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui manajemen pengendalian infeksi pada pasien yang diduga
dengan penyakit yang sangat menular di departemen gawat darurat.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui isi dari jurnal tentang pengendalian infeksi pada pasien
yang diduga dengan penyakit yang sangat menular di departemen
gawat darurat
2. Mengetahui manfaat pengendalian infeksi pada pasien yang diduga
dengan penyakit yang sangat menular di departemen gawat darurat
3. Mengetahui aplikasi pengendalian infeksi pada pasien yang diduga
dengan penyakit yang sangat menular di departemen gawat darurat di
Indonesia
4. Mengetahui aplikasi pengendalian infeksi pada pasien yang diduga
dengan penyakit yang sangat menular di departemen gawat darurat di
IGD RST dr. Soepraoen Malang

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Akademis

3
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan tentang pengendalian infeksi pada pasien yang diduga
dengan penyakit yang sangat menular di departemen gawat darurat.

1.4.2 Bagi Praktisi


Penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu praktisi dalam
menerapkan terapi pengendalian infeksi pada pasien yang diduga
dengan penyakit yang sangat menular di departemen gawat darurat.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Pengendalian Infeksi

Menurut Utama 2006, Infeksi adalah adanya suatu organisme pada


jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun
sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit
dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah
selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk
rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam
menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien
masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam
pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun
luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula
memang sudah ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita
sebut dengan self infection atau auto infection, sementara infeksi
eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari
rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya.

2.1.1 Rantai Infeksi


Menurut Perry Potter, 2005 proses terjadinya infeksi seperti rantai yang
saling terkait antar berbagai faktor yang mempengaruhi, Proses tersebut
melibatkan beberapa unsur diantaranya:
1. Reservoir
Merupakan habitat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme
dapat berupa manusia, binatang, tumbuhan, maupun tanah.
2. Jalan Masuk
Merupakan jalan masuknya mikroorganisme ketempat penampungan
dari berbagai kuman, seperti saluran pencernaan, pernapasan,
pencernaan, kulit dan lain-lain.

3. Inang (host)

5
Merupakan tempat berkembangnya suatu mikroorganisme yang dapat
didukung oleh ketahanan kuman.
4. Jalan Keluar
Merupakan tempat keluarnya mikroorganisme dari reservoir, seperti
sistem pernapasan, sistem pencernaan, alat kelamin dan lain-lain.
5. Jalur Penyebaran
Merupakan jalur yang dapat menyebarkan berbagai kuman
mikroorganisme ke berbagai tempat, seperti air, makanan, udara dan
lain-lain.

2.2 Cara Penularan Mikroorganisme


Proses penyebaran mikroorganisme kedalam tubuh, baik pada manusia maupun
hewan dapat melalui berbagai cara di antaranya :

1. Kontak Tubuh
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui proses penyebaran secara
langsung maupun tidak langsung. Penyebaran secara langsung melalui
sentuhan dengan kulit, sedangkan secara tidak langsung dapat melalui
benda yang terkontaminasi kuman.
2. Makanan dan Minuman
Terjadinya penyebaran dapat melalui makanan dan minuman yang telah
terkontaminasi, seperti pada penyakit tifus abdominalis penyakit infeksi
cacing, dan lain-lain.
3. Serangga
Contoh proses penyebaran kuman melalui serangga adalah penyebaran
penyakit malaria oleh plasmodium pada nyamuk aedes dan beberapa
penyakit saluran pencernaan yang dapat ditularkan melalui lalat.
4. Udara
Proses penyebaran kuman melalui udara dapat dijumpai pada
penyebaran penyakit sistem pernapasan (penyebaran kuman
tuberkolosis) atau sejenisnya.

2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Infeksi


Faktor-faktor yang mempengaruhi proses infeksi adalah:
1. Sumber Penyakit
Sumber penyakit dapat mempengaruhi apakah infeksi berjalan dengan
cepat atau lambat.

6
2. Kuman Penyebab
Kuman penyebab dapat menentukan jumah mikroorganisme,
kemampuan mikroorganisme masuk kedalam tubuh dan virulensinya.
3. Cara Membebaskan Sumber Dari Kuman
Cara membebaskan kuman dapat menentukan apakah proses infeksi
cepat teratasi atau diperlambat, seperti tingkat keasaman (pH), suhu,
penyinaran (cahaya) dan lain-lain.
4. Cara Penularan
Cara penularan seperti kontak langsung melalui makanan atau udara
dapat menyebabkan penyebaran kuman kedalam tubuh.
5. Cara Masuknya Kuman
Proses penyebaran kuman berbeda tergantung dari sifatnya. Kuman
dapat masuk melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, kulit dan
lain-lain.
6. Daya Tahan Tubuh
Daya tahan tubh yang baik dapat memperlambat proses infeksi atau
mempercepat proses penyembuhan. Demikian pula sebaliknya, daya
tahan tubuh yang buruk dapat memperburuk proses infeksi.
Selain faktor- faktor diatas, terdapat faktor lain seperti status gizi atau
nutrisi, tingkat stress pada tubuh, faktor usia, dan kebiasaan yang tidak sehat.

2.4 Infeksi Nosokomial


Kata nosokomial berasal dari kata dalam bahasa yunani Nosokomien
yang artinya rumah sakit atau tempat perawatan.Kata itu sendiri berasal dari
Norus artinya penyakit, komeion berarti merawat.Nosokomial diartikan segala
sesuatu yang berasal atau berhubungan dengan rumah sakit atau tempat
perawatan.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi dirumah sakit atau
dalam sistem pelayanan kesehatan yang berasal dari proses penyebaran di
sumber pelayanan kesehatan, baik melalui pasien, petugas kesehatan,
pengunjung, maupun sumber lainnya.
Penyebab Infeksi Nosokomial akan menjadi kuman yang berada di
lingkungan Rumah Sakit atau oleh kuman yang sudah dibawa oleh pasien
sendiri, yaitu kuman Endogen. Dari batasan ini dapat disimpulkaan bahwa

7
kejadian Infeksi Nosokomial adalah Infeksi yang secara potensial dapat dicegah
atau sebaliknya dapat juga merupakan infeksi yang tidak dapat dicegah.
Infeksi yang terjadi dirumah sakit atau dalam sistem pelayanan
kesehatan yang berasal dari proses penyebaran disumber pelayanan
kesehatan, baik melalui :
Pasien ke pasien
Pasien merupakan unsur pertama yang dapat menyebarkan infeksi
kepada pasien lainnya, petugas kesehatan, pengunjung, atau benda dan
alat kesehatan yang lainnya.
Petugas kesehatan ke pasien atau pengunjung
Petugas kesehatan dapat menyebarkan infeksi melalui kontak langsung
yang dapat menularkan berbagai kuman ke tempat lain.
Pengunjung ke pasien
Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam
lingkungan rumah sakit, atau sebaliknya yang dapat dari dalam rumah
sakit keluar rumah sakit.
Sumber Lainnya
Yang dimaksud disini adalah lingkungan rumah sakit yang meliputi
lingkungan umum atau kondisi kebersihan rumah sakit atau alat yang ada
dirumah sakit yang dibawa oleh pengunjung atau petugas kesehatan
kepada pasien dan sebaliknya.
Pada umumnya infeksi Nosokomial yang mendapat perhatian hanyalah
infeksi yang terjadi pada penderita yang sedang dirawat dirumah sakit.Infeksi
yang tidak diketahui masa inkubasinya yang timbul pada penderita yang dirawat
inap, harus dianggap sebagai infeksi nosokomial sampai dapat dibuktikan
secara klinis ataupun epidemiologis bahwa infeksi dapat dibuktikan secara klinis
ataupun epidiomiologis bahwa infeksi tersebut berasal dari masyarakat.
Infeksi nosokomial dapat secara eksogen atau endogen. Infeksi
eksogen didapat dari mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang bukan
merupakan flora normal, contohnya adalah organisme salmonella dan
clostridium tetani. Infeksi endogen dapat terjadi bila sebagian flora normal klien
berubah dan terjadi pertumbuhan yang berlebihan.Contohnya adalah infeksi
yang disebabkan enterokokus, ragi, dan steptokokus. Bila organisme dalam
jumlah cukup yang normalnya ditemukan dalam salah satu rongga atau lapisan
tubuh dipindahkan kebagian tubuh lain, terjadi infeksi endogen. Misalnya

8
penularan dari enterokokus, normalnya ditemukan dalam feses, dari tangan
kekulit sering mengakibatkan infeksi luka.Jumlah mikroorganisme yang
diperlukan untuk menyebabkan infeksi nosokomial bergantung pada virulensi
organisme, kerentanan hospes dan daerah yang diinfeksi.
Seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit merupakan individu yang
rentan terhadap penularan penyakit. Hal ini karena daya tahan tubuh pasien
yang relatif menurun. Infeksi nasokomial dapat disebabkan oleh kelalaian
tenaga medis atau penularan dari pasien lain. Pasien yang dengan penyakit
infeksi menular dapat menularkan penyakitnya selama dirawat di rumah sakit.
Pemularan dapat melalui udara, cairan tubuh, makanan dan sebagainya Jumlah
tenaga pelayanan kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, jenis dan
jumlah prosedur invasif terapi resiko yang diterima dan lama perawatan juga
dapat mempengaruhi resiko terinfeksi. Terjadinya infeksi nosokomial adalah
karena beberapa faktor-faktor, antara lain:
1. Agen penyakit
Macam-macam agen penyakit dapat berupa kuman, virus, jamur, parasit
atau rickettsia.Dan macam-macam agen penyakit ini ditentukan pula oleh
patogenitasnya, virulensinya, daya invasifnya dan dosis infeksinya.
2. Reservoir/sumber
Semua kuman ada reseviornya/sumbernya seperti virus, reseviornya adalah
manusia, kuman positif gram manusia, tetapi kuman negatif dapat manusia
dapat juga alam seperti Pseudomonas. Apabila reseviornya manusia, maka
dapat berasal dari traktus respiratorius, traktus digestivus, traktus
urogenitalis, kulit (variola) atau darah (hepatitis B).Kuman itu akan ada
diudara pada debu seperti Salmonella, pada droplet seperti Mycrobacterium
atau pada kulit yang lepas.
3. Lingkungan
Keadaan udara sangat mempengaruhi seperti kelembapan udara, suhu dan
pergerakan udara atau tekanan udara.
4. Penularan
Penularan adalah perjalanan kuman patogen dari sumber ke hospes. Ada 4
jalan yang dapat ditempuh:
a. Kontak langsung (perawat)
b. Alat (endoskop)
c. Udara
d. Vektor (lalat)

9
5. Hospes
Tergantung port d'entree (tempat masuknya penyakit)
a. Melalui kulit seperti Leptospira atau Staphylococcus.
b. Melalui traktus digestivus seperti Eschericha coli, Shigella,
Salmonela.
c. Melalui traktus respiratoris bagian atas partikel =5. Apakah
melalui traktus respiratorius bagian bawah partikel =5.
d. Melalui traktus urinarius seperti Klebsiel la pneumoniae.

2.5 Sterilisasi Dan Desinfeksi


Sterilisasi
Sterilisasi merupakan upaya pembunuhan atau pengahncuran semua
bentuk kehidupan mikroba yang dilakukan dirumah sakit melalui proses fisik
maupun kimiawi. Strelisisasi juga dapat dikatakan sebagai tindakan untuk
membunuh kuman pathogen atau apatogen beserta spora yang terdapat pada
alat perawatan atau kedokteran dengan cara merembus, menggunakan panas
tinggi, atau bahan kimia. Sterilisasai adalah tahap awal yang penting dari proses
pengujian mikrobiologi. Ada 5 metode umum sterilisasi yaitu :
a. Sterilisasi uap (panas lembap)
b. Sterilisasi panas kering
c. Sterilisasi dengan penyaringan
d. Sterilisasi gas
e. Sterilisasi dengan radiasi
A. Sterilisasi Uap
Sterilisasi uap dilakukan dengan autoklaf menggunakan uap air dalam
tekanan sebagai pensterilnya. Bila ada kelembapan (uap air) bakteri akan
terkoagulasi dan dirusak pada temperature yang lebih rendah dibandingkan bila
tidak ada kelembapan. Mekanisme penghancuran bakteri oleh uap air panas
adalah karena terjadinya denaturasi dan koagulasi beberapa protein esensial
dari organism tersebut .
Prinsip cara kerja autoklaf
Seperti yang telah dijelaskan sebagian pada bab pengenalan alat,
autoklaf adalah alat untuk mensterilkan berbagai macam alat & bahan yang
menggunakan tekanan 15 psi (2 atm) dan suhu 121 0 C. Untuk cara kerja
penggunaan autoklaf telah disampaikan di depan. Suhu dan tekanan tinggi yang
diberikan kepada alat dan media yang disterilisasi memberikan kekuatan yang

10
lebih besar untuk membunuh sel dibanding dengan udara panas. Biasanya
untuk mesterilkan media digunakan suhu 121o C dan tekanan 15 lb/in2 (SI =
103,4 Kpa) selama 15 menit. Alasan digunakan suhu 121o C atau 249,8o F
adalah karena air mendidih pada suhu tersebut jika digunakan tekanan 15 psi.
Untuk tekanan 0 psi pada ketinggian di permukaan laut (sea level) air mendidih
pada suhu 100o C, sedangkan untuk autoklaf yang diletakkan di ketinggian
sama, menggunakan tekanan 15 psi maka air akan memdididh pada suhu
121o C. Ingat kejadian ini hanya berlaku untuk sea level, jika dilaboratorium
terletak pada ketinggian tertentu, maka pengaturan tekanan perlu disetting
ulang. Misalnya autoklaf diletakkan pada ketinggian 2700 kaki dpl, maka
tekanan dinaikkan menjadi 20 psi supaya tercapai suhu 121 o C untuk
mendidihkan air. Semua bentuk kehidupan akan mati jika dididihkan pada suhu
121o C dan tekanan 15 psi selama 15 menit.
Pada saat sumber panas dinyalakan, air dalam autoklaf lama kelamaan
akan mendidih dan uap air yang terbentuk mendesak udara yang mengisi
autoklaf. Setelah semua udara dalam autoklaf diganti dengan uap air, katup
uap/udara ditutup sehingga tekanan udara dalam autoklaf naik. Pada saat
tercapai tekanan dan suhu yang sesuai, maka proses sterilisasi dimulai
dantimer mulai menghitung waktu mundur. Setelah proses sterilisasi selesai,
sumber panas dimatikan dan tekanan dibiarkan turun perlahan hingga mencapai
0 psi. Autoklaf tidak boleh dibuka sebelum tekanan mencapai 0 psi.
Untuk mendeteksi bahwa autoklaf bekerja dengan sempurna dapat
digunakan mikroba pengguji yang bersifat termofilik dan memiliki endospore
yaitu Bacillus stearothermophillus, lazimnya mikroba ini tersedia secara
komersial dalam bentuk spore strip. Kertas spore strip ini dimasukkan dalam
autoklaf dan disterilkan. Setelah proses sterilisai lalu ditumbuhkan pada media.
Jika media tetap bening maka menunjukkan autoklaf telah bekerja dengan baik.
B. Sterilisasi Panas Kering
Sterilisasi panas kering biasanya dilakukan dengan menggunakan oven
pensteril karena panas kering kurang efektif untuk membunuh mikroba
dibandingkan dengan uap air panas maka metode ini memerlukan temperature
yang lebih tinggi dan waktu yang lebih panjang.Sterilisasi panas kering biasanya
ditetapkan pada temperature 160-1700C dengan waktu 1-2 jam.

11
Sterilisasi panas kering umumnya digunakan untuk senyawa-senyawa
yang tidak efektif untuk disterilkan dengan uap air panas, karena sifatnya yang
tidak dapat ditembus atau tidak tahan dengan uap air.Senyawa-senyawa
tersebut meliputi minyak lemak, gliserin (berbagai jenis minyak), dan serbuk
yang tidak stabil dengan uap air.Metode ini juga efektif untuk mensterilkan alat-
alat gelas dan bedah.
Karena suhunya sterilisasi yang tinggi sterilisasi panas kering tidak dapat
digunakan untuk alat-alat gelas yang membutuhkan keakuratan (contoh:alat
ukur) dan penutup karet atau plastik.
C. Sterilisasi dengan penyaringan
Sterilisasi dengan penyaringan dilakukan untuk mensterilisasi cairan
yang mudah rusak jika terkena panas atu mudah menguap (volatile). Cairan
yang disterilisasi dilewatkan ke suatu saringan (ditekan dengan gaya
sentrifugasi atau pompa vakum) yang berpori dengan diameter yang cukup kecil
untuk menyaring bakteri. Virus tidak akan tersaring dengan metode ini.

D. Sterilisasi gas
Sterilisasi gas digunakan dalam pemaparan gas atau uap untuk
membunuh mikroorganisme dan sporanya. Meskipun gas dengan cepat
berpenetrasi ke dalam pori dan serbuk padat. Sterilisasi adalah fenomena
permukaan dan mikroorganisme yang terkristal akan dibunuh. Sterilisasi gas
biasanya digunakan untuk bahan yang tidak bisa difiltrasi, tidak tahan panas
dan tidak tahan radiasi atau cahaya.
E. Sterilisasi dengan radiasi
Radiasi sinar gama atau partikel elektron dapat digunakan untuk
mensterilkan jaringan yang telah diawetkan maupun jaringan segar. Untuk
jaringan yang dikeringkan secara liofilisasi, sterilisasi radiasi dilakukan pada
temperatur kamar (proses dingin) dan tidak mengubah struktur jaringan, tidak
meninggalkan residu dan sangat efektif untuk membunuh mikroba dan virus
sampai batas tertentu.Sterilisasi jaringan beku dilakukan pada suhu
-40o Celsius.Teknologi ini sangat aman untuk diaplikasikan pada jaringan
biologi.

12
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada sterilisasi, di antaranya:
1. Sterilisator (alat untuk mensteril) harus siap pakai, bersih dan
masih berfungsi.
2. Peralatan yang akan disterilisasi harus dibungkus dan diberi label
yang jelas dengan menyebutkan jenis peralatan, jumlah, tanggal
pelaksanaan steril.
3. Penataan alat harus berprinsip semua bagian dapat steril.
4. Tidak boleh menambah peralatan dalam sterilisator sebelum waktu
mensteril selesai.
5. Memindahkan alat steril ke dalam tempatnya dengan korentang
steril.
6. Saat mendinginkan alat steril tidak boleh membuka
pembungkusnya, bila terbuka harus dilakukan sterilisasi ulang.
E. Desinfeksi
Desinfeksi adalah proses pembuangan semua mikroorganisme patogen
pada objek yang tidak hidup dengan pengecualian pada endospora bakteri.
Desinfeksi juga dikatakan suatu tindakan yang dilakukan untuk membunuh
kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan membunuh spora yang
terdapat pada alat perawatan ataupun kedokteran. Desinfeksi dilakukan dengan
menggunakan bahan desinfektan melalui cara mencuci, mengoles, merendam
dan menjcmur dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi, dan mengondisikan
alat dalam keadaan siap pakai.
Kemampuan desinfeksi ditentukan oleh waktu sebelum pembersihan
objek, kandungan rat organik, tipe dan tingkat kontaminasi mikroba, konsentrasi
dan waktu pemaparan, kealamian objek, suhu, dan derajat keasaman (pH).
Disinfektan yang tidak berbahaya bagi permukaan tubuh dapat
digunakan dan bahan ini dinamakan antiseptik.Antiseptik adalah zat yang dapat
menghambat atau menghancurkan mikroorganisme pada jaringan hidup,
sedang desinfeksi digunakan pada benda mati.Desinfektan dapat pula
digunakan sebagai antiseptik atau sebaliknya tergantung dari toksisitasnya.
Desinfektan akan membantu mencegah infeksi terhadap pasien yang
berasal dari peralatan maupun dari staf medis yang ada di RS dan juga
membantu mencegah tertularnya tenaga medis oleh penyakit pasien.
Disinfektan dapat membunuh mikroorganisme patogen pada benda mati.
Kriteria desinfeksi yang ideal:

13
1. Bekerja dengan cepat untuk menginaktivasi mikroorganisme pada
suhu kamar
2. Aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh bahan organik, pH, temperatur
dan kelembaban
3. Tidak toksik pada hewan dan manusia
4. Tidak bersifat korosif
5. Tidak berwarna dan meninggalkan noda
6. Tidak berbau/ baunya disenangi
7. Bersifat biodegradable/ mudah diurai
8. Larutan stabil
9. Mudah digunakan dan ekonomis
10. Aktivitas berspektrum luas
Tujuan dari sterilisasi dan desinfeksi adalah:
Mencegah terjadinya infeksi
Mencegah makanan menjadi rusak
Mencegah kontaminasi mikroorganisme dalam industry
Mencegah kontaminasi terhadap bahan- bahan yg dipakai dalam
melakukan biakan murni.
Hasil proses desinfeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor:
Beban organik (beban biologis) yang dijumpai pada benda.
Tipe dan tingkat kontaminasi mikroba.
Pembersihan/dekontaminasi benda sbelumnya.
Konsentrasi desinfektan dan waktu pajanan.
Struktur fisik benda.
Suhu dan PH dari proses desinfeksi
Terdapat 3 tingkat desinfeksi:
Desinfeksi tingkat tinggi
Membunuh semua organisme dengan perkecualian spora bakteri.
Desinfeksi tingkat sedang
Membunuh bakteri kebanyakan jamur kecuali spora bakteri.
Desinfeksi tingkat rendah
Membunuh kebanyakan bakteri beberapa virus dan beberapa jamur
tetapi tidak dapat membunuh mikroorganisme yang resisten seperti basil
tuberkel dan spora bakteri.

2.6 Pencegahan Infeksi


Prinsip Pencegahan infeksi
1. Beberapa definisi dalam pencegahan infeksi, antara lain adalah:
a) Antiseptik

14
Antiseptik adalah usaha mencegah infeksi dengan cara membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit atau jaringan tubuh
lainnya.
b) Aseptik
Aseptik adalah semua usaha yang dilakukan dalam mencegah masuknya
mikroorganisme ke dalam tubuh yang mungkin akan menyebabkan infeksi.
Tujuannya adalah mengurangi atau menghilangkan jumlah mikroorganisme,
baik pada permukaan benda hidup maupun benda mati agar alat-alat
kesehatan dapat digunakan dengan aman.
c) Dekontaminasi
Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa
petugas kesehatan dapat menangani secara aman benda-benda (peralatan
medis, sarung tangan, meja pemeriksaan) yang terkontaminasi darah dan
cairan tubuh. Cara memastikannya adalah segera melakukan
dekontaminasi terhadap benda - benda tersebut setelah
terpapar/terkontaminasi darah atau cairan tubuh
d) Desinfeksi
Tindakan yang tindakan menghilangkan sebagian besar mikroorganisme
penyebab penyakit dari benda mati.
e) Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT)
Suatu proses yang menghilangkan mikroorganisme kecuali beberapa
endospora bakteri pada benda mati dengan merebus, mengukus, atau
penggunaan desinfektan kimia.
f) Mencuci dan membilas
Suatu proses yang secara fisik menghilangkan semua debu, kotoran,
darah, dan bagian tubuh lain yang tampak pada objek mati dan membuang
sejumlah besar mikro organisme untuk mengurangi resiko bagi mereka
yang menyentuh kulit atau menangani benda tersebut (proses ini terdiri dari
pencucian dengan sabun atau deterjen dan air, pembilasan dengan air
bersih dan pengeringan secara seksama).
g) Sterilisasi
Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan semua
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), termasuk endospora bakteri
pada benda-benda mati atau instrument.
2. Prinsip-prinsip pencegahan infeksi yang efektif berdasarkan:

15
Setiap orang (ibu, bayi baru lahir, penolong persalinan) harus dianggap dapat
menularkan penyakit karena infeksi yang terjadi bersifat asimptomatik (tanpa
gejala).
Setiap orang harus dianggap beresiko terkena infeksi.
Permukaan tempat pemeriksaan, peralatan dan benda-benda lain yang akan
dan telah bersentuhan dengan kulit tak utuh, selaput mukosa, atau darah
harus dianggap terkontaminasi sehingga setelah selesai digunakan harus
dilakukan proses pencegahan infeksi secara benar.
Jika tidak diketahui apakah permukaan, peralatan atau benda lainnya telah
diproses dengan benar, harus dianggap telah terkontaminasi.
Resiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total tetapi dapat dikurangi
hingga sekecil mungkin dengan menerapkan tindakan-tindakan pencegahan
infeksi yang benar dan konsisten.
3. Tindakan-tindakan pencegahan infeksi meliputi :
Pencucian tangan.
Penggunaan sarung tangan.
Penggunaan cairan antiseptic untuk membersihkan luka pada kulit.
Pemrosesan alat bekas pakai (dekontaminasi, cuci dan bilas, desinfeksi
tingkat tinggi atau sterilisasi).
Pembuangan sampah.

2.7 Pencegahan Infeksi di Unit Gawat Darurat


2.8.1 Unit Gawat Darurat
Unit Gawat Darurat (UGD) adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus
dapat memberikan pelayanan darurat kepada masyarakat yang menderita penyakit
akut dan mengalami kecelakaan, sesuai dengan standar. Menurut Azrul (1997) yang
dimaksud gawat darurat adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang dibutuhkan
oleh penderita dalam waktu segera untuk menyelamatkan kehidupannya (life
saving).
Tenaga kesehatan yang berada di dalam area instalasi gawat darurat sangat
rentan dan memiliki resiko tinggi untuk terekspose pada penularan penyakit akibat
infeksi virus atau bakteri. Pencegahan infeksi tetap menjadi tantangan utama dalam
perawatan darurat. Pasien yang sakit akut dan terluka yang mencari pertolongan
dan pengobatan di gawat darurat tidak hanya memiliki potensi untuk menyebarkan
penyakit menular kepada petugas kesehatan dan pasien lainnya, tetapi rentan

16
terhadap memperoleh infeksi baru yang terkait dengan perawatan yang mereka
terima.

2.8.2 Infeksi yang Sering Terjadi di Unit Gawat Darurat


- Central Line-Associated Blood Stream Infection
kateter vena sentral (CVC) diaplikasikan untuk banyak indikasi yang muncul
di UGD termasuk resusitasi cairan pada pasien trauma, terapi yang cepat
pada pasien sepsis, dan ketika akses pembuluh darah perifer tidak
memungkinkan.
- Catheter-Associated Urinary Tract Infection (CAUTI)
kateter urin yang umum digunakan dalam IGD untuk mengatasi retensi kemih
akut, obstruksi kandung kemih, atau hematuria terkait dengan pembekuan
serta untuk memantau produksi urine pada pasien sakit kritis. Apabila dipakai
dalam jangka waktu yang lama, kateter dapat menjadi dijajah dengan bakteri
yang menyebabkan infeksi terkait kateter saluran kemih (CAUTI) dan sepsis.
- Pneumonia karena Ventilator Mekanik
Intubasi endotrakeal darurat sering diperlukan pada pasien IGD dengan
kegagalan pernafasan, baik dari gangguan ventilasi atau oksigenasi, atau
untuk melindungi jalan napas pasien dalam peanggulangan trauma atau
penyakit kritis lainnya. Didefinisikan sebagai pneumonia yang diperoleh di
rumah sakit setelah lebih dari 48 jam dari ventilasi mekanis yang tidak hadir
pada saat intubasi, ventilator-associated pneumonia (VAP) membawa
variabel morbiditas dan mortalitas yang signifikan.

2.8.3 Pencegahan dan Pengontrolan Infeksi di Unit Gawat Darurat


Cuci tangan
Sementara kulit manusia normal dihuni oleh bakteri flora normal (misalnya,
Staphylococcus koagulase-negatif), flora transient dapat mencemari kulit
petugas kesehatan melalui kontak langsung dengan pasien atau kontak
dengan lingkungan terdekat pasien. Flora transient dapat mencakup
Staphylococcus aureus, Enterococcus, basil Gram-negatif, dan C. difficile, ,
serta sejumlah virus pernapasan dan pencernaan. Bila dilakukan secara
teratur dan benar, mencuci tangan dapat membunuh flora transient, sehingga
mengganggu transmisi mikroorganisme ini.

17
gel berbasis alkohol dan produk berbusa lebih unggul daripada biasa dan
sabun antimikroba dalam mengurangi jumlah bakteri, dan oleh karena itu
dianjurkan untuk kebersihan tangan yang paling rutin. Bahan tersebut juga
dikenal lebih efektif dalam mengurangi waktu mencuci tangan daripada
menggunakan sabun dan air, yang dapat meningkatkan kepatuhan petugas
kesehatan dalam mencuci tangan.
Ringkasan teknik:
Cuci tangan (40-60 detik): basahi tangan dan gunakan sabun, gosok
seluruh permukaan, bilas kemudian keringkan dengan handuk sekali
pakai, sekaligus untuk mematikan keran.
Penggosokan tangan (20-30 detik): gunakan produk dalam jumlah cukup
untuk seluruh bagian tangan, gosok tangan hingga kering.
Ringkasan indikasi:
Sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien dan di antara
pasien, baik menggunakan maupun tidak menggunakan sarung tangan.
Segera setelah sarung tangan dilepas.
Sebelum memegang peralatan.
Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekret, ekskresi, kulit terluka,
dan benda-benda terkontaminasi, walaupun menggunakan sarung
tangan.
Selama merawat pasien, saat bergerak dari sisi terkontaminasi ke sisi
bersih dari pasien.
Setelah kontak dengan benda-benda di samping pasien.
APD
Pelindung wajah dan mata direkomendasikan untuk prosedur dan
pemeriksaan di mana memungkinkan percikan darah atau cairan tubuh
lainnya. Pelindung mata harus terdiri dari pelindung wajah, kacamata, atau
kacamata dengan pelindung sisi. Perlindungan standar juga mencakup
kebersihan tangan dan pernapasan serta penanganan yang aman dari
peralatan yang mungkin terkontaminasi dan permukaan lingkungan. Alat
pelindung diri yang lazim digunakan, antara lain terdiri dari sarung tangan,
pelindung wajah, dan gaun pelindung.

18
1. Sarung tangan
Gunakan bila akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekret,
ekskresi, membran mukosa, kulit yang tidak utuh.
Ganti setiap kali selesai satu tindakan ke tindakan berikutnya
pada pasien yang sama setelah kontak dengan bahan-bahan
yang berpotensi infeksius.
Lepaskan setelah penggunaan, sebelum menyentuh benda dan
permukaan yang tidak terkontaminasi, dan sebelum pindah ke
pasien lain. Lakukan tindakan membersihkan tangan segera
setelah melepaskan sarung tangan.
2. Pelindung wajah (mata, hidung, dan mulut)
Gunakan 1) masker bedah dan pelindung mata (pelindung mata,
kaca mata pelindung) atau 2) pelindung wajah untuk melindungi
membran mukosa mata, hidung, dan mulut selama tindakan yang
umumnya dapat menyebabkan terjadinya percikan darah, cairan
tubuh, sekret, dan ekskresi.
3. Gaun Pelindung
Gunakan untuk memproteksi kulit dan mencegah kotornya
pakaian selama tindakan yang umumnya bisa menimbulkan
percikan darah, cairan tubuh, sekret, dan ekskresi.
Lepaskan gaun pelindung yang kotor sesegera mungkin dan
bersihkan tangan.
Vaksinasi Petugas Kesehatan
Imunisasi merupakan strategi penting untuk melindungi petugas kesehatan
IGD terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin termasuk hepatitis
B, campak, gondok, rubella, pertusis, varicella, dan influenza.
Ruang Isolasi IGD
Isolasi adalah segala usaha pencegahan penularan/ penyebaran kuman
pathogen dari sumber infeksi (petugas, pasien, pengunjung) ke orang lain.
Ruang Isolasi adalah ruangan yang disediakan bagi pasien penderita
penyakit menular, ruang isolasi digunakan apabila di Rumah Sakit tertentu
terdapat pasien yang penderita penyakit menular seperti penyakit yang
mengandung Virus HIV, Hepatitis B, TB Paru, dan bibit penyakit lainnya yang

19
ditularkan melalui darah atau udara. Sesuai dengan rekomendasi WHO dan
CDC tentang kewaspadaan isolasi untuk pasien dengan penyakit infeksi
airborne yang berbahaya seperti H5N1, kewaspadaan yang perlu dilakukan
meliputi:

1. Kewaspadaan Standar
Perhatikan kebersihan tangan dengan mencuci tangan sebelumdan
sesudah kontak dengan pasien maupun alat-alat yangterkontaminasi
sekret pernapasan
2. Kewaspadaan Kontak
Gunakan sarung tangan dan gaun pelindung selama kontak
dengan pasien
Gunakan peralatan terpisah untuk setiap pasien,
sepertistetoskop, termometer, tensimeter, dan lain-lain
3. Perlindungan Mata
Gunakan kacamata pelindung atau pelindung muka, apabilaberada
pada jarak 1 (satu) meter dari pasien.
4. Kewaspadaan Airbone
Tempatkan pasien di ruang isolasi airborne,Gunakan masker N95 bila
memasuki ruang isolasi.
Dengan adanya ruang isolasi maka dapat mencegah atau mengurangi
terjadinya penularan baik langsung maupun tidak langsung dari pasien yang
menderita penyakit menular kepada orang lain.
Syarat pasien yang masuk ruang isolasi, antara lain:
Setiap pasien dengan penyakit Infeksi menular dan dianggap
berbahaya
Pasien yang rentan infeksi seperti pasien luka bakar, pasien dengan
penurunan sistem imun dikarenakan pengobatan atau penyakitnya,
dirawat di ruang (terpisah) isolasi rumah sakit.
Berdasarkan Emergency Departement Design Guidelines dari Australasian
College For Emergency Medicine tahun 2014, standar ruang isolasi IGD
meliputi:
Ukuran
Setiap Departemen Darurat idealnya memiliki minimal satu ruang
isolasi

20
Setiap kamar harus dari ukuran yang mirip dengan bilik pengobatan
akut untuk memungkinkan untuk pengobatan dan resusitasi pasien
sakit kritis terisolasi jika diperlukan
Serambi harus ukuran yang memungkinkan untuk tempat pasokan
APD, linen dan persediaan dan untuk pembuangan limbah di dalam
ruangan
Kebutuhan fungsional
Ruang isolasi pernapasan untuk pasien yang membutuhkan isolasi
harus memiliki ventilasi negatif, kamar mandi / toilet sendiri yang
sesuai dengan standar
Sistem penanganan udara yang dirancang untuk isolasi infeksi udara
harus dihubungkan ke listrik cadangan darurat dalam kasus
kegagalan daya
Sebuah sistem komunikasi harus disediakan sehingga staf dan pasien
dapat berkomunikasi dengan orang-orang di luar ruangan tanpa harus
meninggalkan ruangan
Hubungan spasial
Posisi kamar ini harus berdekatan dengan daerah triase mana pasien
menerima untuk memungkinkan isolasi segera pasien sangat
berpotensi menular tanpa perlu pasien akan melalui dan berpotensi
mencemari atau menginfeksi pasien lain di IGD
Pertimbangan lain
Kamar tekanan negatif tidak cocok untuk pasien berpotensi
immunocompromised - pasien ini memerlukan ruang isolasi standar.
Ruang isolasi juga dapat digunakan untuk mengobati pasien dengan kondisi
yang memerlukan pemisahan dari pasien lain misal pasien yang
membutuhkan privasi untuk kondisi klinis, atau yang merupakan sumber dari
bahaya visual atau pendengaran orang lain

21
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan Isi Jurnal


a. Metode Penelitian
a) Setting dan partisipan
Peneliti bekerja sama dengan partisipan di 15 negara di benua Eropa
yang bekerja di ruang isolasi untuk pasien-pasien HID (Highly Infectious
Diseases). Kriteria inklusi partisipan yaitu partisipan yang bekerja di
ruang isolasi dan berkaitan dengan penyakit infeksi, intensive care,
pengendalian infeksi, pengobatan penyakit pulmonal, para pekerja di
bidang kesehatan, epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Dalam
rangka melakukan survey fasilitas isolasi yang dilakukan oleh national
health authorities sebagai upaya manajemen HID, peneliti
mengidentifikasi 48 fasilitas isolasi pada ruang emergency (ED) dan atau
ruang rawat inap (MAD) di 14 negara.
b) Pengumpulan data
Data dikumpulkan dengan kunjungan langsung, menggunakan checklist
yang sudah dispesifikasikan terdiri dari 16 isu utama dan 148 pertanyaan
spesifik.
c) Outcomes dan analisa data
Standar Lembar Evaluasi dibuat oleh peneliti untuk mengkaji status tiap
fasilitas yang disurvei. Terdapat 3 topik dalam lembar evaluasi yaitu:
ketersediaan dan keadekuatan ruang isolasi, prosedur pengendalian
infeksi dan strategi pengenalan awal terhadap pasien HID. Klasifikasi
pada tiap topik adalah sebagai berikut:
1) Ketersediaan dan keadekuatan ruang isolasi
1. Adequate : memiliki minimal 1 ruang isolasi yang
dilengkapi dengan minimal 1 fitur logistic atau teknikal yang
tercantum pada Tabel.1
2. Partially adequate : memiliki minimal 1 ruang isolasi tanpa
dilengkapi dengan fitur logistic atau teknikal yang tercantum
pada Tabel.1

22
3. Inadequate : tidak memiliki ruang isolasi

2) Prosedur pengendalian infeksi


1. Adequate : memiliki semua fitur dan prosedur
yang tercantum pada Tabel.2
2. Partially adequate : adanya minimal 3 fitur dan prosedur
yang tercantum pada Tabel.2
3. Inadequate : adanya 2 fitur dan prosedur yang
tercantum pada Tabel.2

23
3) Strategi pengenalan awal pasien HID
1. Adequate : terdapat staff triage terlatih atau
prosedur lain tersedia 24 jam
2. Partially adequate : terdapat staff triage terlatih atau
prosedur lain tidak secara terus-menerus di tempat
3. Inadequate : tidak terdapat staff triage terlatih atau
prosedur lain

b. Hasil Penelitian
Berikut ini diagram yang menampilkan hasil survey penelitian:

Hasil penelitian menyebutkan sebesar 44% fasilitas yang memiliki 1 ruang


rapid isolasi dan sebagai tempat mengevaluasi pasien suspected HID yang
dilengkapi dengan minimal 1 fitur logistic atau teknikal, 39% fasilitas yang
memiliki ruang isolasi tanpa dilengkapi fitur logistic atau teknikal dan sebesar
17% fasilitas tidak memiliki ruang isolasi. Sedangkan untuk prosedur
pengendalian infeksi, sebesar 20% fasilitas melakukan semua prosedur
pengendalian infeksi, 63% fasilitas melakukan minimal 3 prosedur
pengendalian infeksi dan sebesar 17% fasilitas hampir tidak melakukan
pengendalian infeksi. Yang terakhir adalah tentang strategi pengenalan awal
pasien yang datang di ruang emergency dengan suspected HID, yaitu

24
sebesar 51% fasilitas memiliki staff terlatih di ruang triage emergency selama
24 jam, sebesar 7% memiliki staff terlatih yang tidak menetap di ruang triage
emergency dan sebesar 42% tidak memiliki staff terlatih di ruang triage
emergency.

c. Intrepretasi Hasil Penelitian


Pada sebagian besar EDs dan MADs yang disurvei, hampir sebagian
besar telah memiliki minimal satu ruang isolasi dan evaluasi pasien suspected
HID, tetapi tidak memiliki fitur logistic dan teknikal yang adekuat. Dibuktikan
dengan hanya 6 ruangan yang dilengkapi dengan semua fitur dan 9 ruangan
dengan standar teknikal minimal untuk isolasi berdasarkan standar modern yaitu
negative pressure, anteroom dan HEPA filtration of exhausting air. Sedangkan di
32 tempat, tidak ada ruangan isolasi di ruang emergency.
Berdasarkan guideline internasional, terdapat beberapa fitur yang
penting harus ada untuk keamanaan dan efektifitas isolasi yaitu:
1. Negative pressure
Untuk mengisolasi pasien terkonfirmasi atau suspect penyakit yang
menular lewat udara (seperti TB), atau pasien yang memiliki
kemungkinan menular lewat udara (seperti SARS, influenza virus dan
cacar).
2. Anteroom
Untuk menyediakan lingkungan yang terkontrol dari infeksi saat
menggunakan dan melepas APD serta prosedur lain dapat dilakukan
dengan aman.
3. HEPA filtration for exhausting air
Untuk melindungi lingkungan dan orang-orang yang berada di sekitar
ruangan.
Sedangkan untuk pengendalian infeksi telah dilakukan oleh sebagian
besar EDs dan MADs. Sebagian besar EDs dan MADs memiliki ruang tunggu
yang memadai. Tentunya untuk mengurangi penyebaran penyakit infeksi harus
diadakan jarak yang cukup antara pasien satu dengan yang lain terutama pada
pasien dengan batuk dan bersin. Selain itu sebesar 14,6% EDs dan MADs yang
disurvei telah fokus pada pengenalan awal infeksi, isolasi, dan pengendalian

25
infeksi dengan cara penyiagaan dan pemberitahuan tentang adanya pasien
dengan HID. Bagaimanapun juga peran tes diagnostik dan penanganan bisa
dilakukan oleh EDs dan MAD dengan cara tes segera pasien dengan demam,
seperti malaria, atau pasien yang baru saja mengunjungi daerah endemic.
Semua fitur-fitur yang ada tidak akan berguna apabila tidak ada staff yang
terlatih dan ber-skill. Berdasarkan dara EDs dan MADs yang disurvei, terdapat
41,5% EDs dan MADs yang mempunyai staff terlatih di triage.

d. Hal-hal yang diperlukan untuk Pengendalian Infeksi


Hal-hal yang diperlukan untuk pengendalian infeksi antara lain:
1. Standar precautions minimal harus dilakukan untuk memanajemen
infeksi di ruang emergency khususnya. Standar precaution antara lain
respiratory hygiene dan etika batuk, serta transmission-based
precautions.
2. Prosedur triage tidak hanya mengkaji keparahan/urgency penyakit tetapi
juga kemungkinan risiko penyebaran penyakit berdasarkan tanda dan
gejala pasien HID.
Pengkajian sederhana yang bisa dilakukan antara lain:
Riwayat berpergian
Riwayat pekerjaan
Riwayat pasien kontak dengan orang sakit
Riwayat tempat tinggal
Pasien-pasien ini harus dipisahkan atau dijauhkan segera dari tempat
umum pada ruang emergency. Sekali pasien teridentifikasi suspected
HID, prosedur pengendalian infeksi harus segera dilakukan. Prosedur
tersebut meliputi pengisolasian, penggunaan APD, dan disinfeksi, serta
intervensi terapeutik lain.
3. Ketersediaan ruang isolasi yang dilengkapi dengan logistic dan teknikal
yang lengkap juga diperlukan, yaitu ruangan memiliki akses terpisah
langsung dari luar atau dilengkapi dengan anteroom. Idealnya, ruangan
seharusnya memiliki negative pressure, HEPA filtration of exhausting air,

26
pintu dan jendela yang tersegel, dan area dalam ruang isolasi yang
mudah didekontaminasi.
4. Minimal terdapat satu staf yang familiar dengan penggunaan APD, cara
pemakaian dan pelepasan, prosedur isolasi dan disinfeksi serta
penyiagaan risiko infeksi. Staf triage yang bertugas harus terlatih dalam
mengenali pasien suspected HID.

3.2 Aplikasi di Indonesia


Identifikasi dan isolasi pasien yang potensial infeksius dapat tertunda di
IGD, karena beban kerja yang berat, kurangnya pelatihan khusus dan
ketrampilan, atau ketidaktersedianya prosedur atau tempat isolasi yang cukup.
Berdasarkan penelitian Fatih (2014) di salah satu rumah sakit di Bandung,
perawat emergency mempunyai pengetahuan yang cukup baik terhadap
standard precautions yang harus ada atau dilakukan untuk mencegah infeksi.
Status marital dan jam kerja selama seminggu mempengaruhi pengetahuan
perawat terhadap pencegahan infeksi. Fatih juga menemukan jika pengalaman
kerja dan sikap terhadap pencegahan infeksi memiliki hubungan negatif,
sedangkan tipe rumah sakit dan jam kerja selama seminggu mempengaruhi
sikap pencegahan infeksi. Namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan
antara pengetahuan dan sikap terhadap penyebaran infeksi. Hal itu didukung
oleh data dari Punia et al jika Indonesia masuk ke dalam negara yang
mempunyai resiko tinggi terhadap NSI (Needle Stick Injury) setelah Ethiopia
Barat Daya, Indianapolis, Negara-negara sub-Sahara, dan Ethiopia Tenggara.
Di IGD Rumah Sakit Dr.Soepraoen sendiri sudah terdapat ruang
isolasi untuk pasien infeksius, namun penggunaannya belum maksimal.
Sebagai contoh pasien-pasien dengan diagnosa Tuberkulosis, Sirosis hepatis,
Hepatitis, ditempatkan di ruang critical bersama dengan pasien noninfeksius.
Perawat di ruang IGD Rumah Sakit Dr.Soepraoen sudah melakukan standard
precautions dengan benar pada pasien-pasien yang telah positif terdiagnosa
penyakit infeksius. Namun, APD standar masih belum diterapkan sepenuhnya
pada pasien yang tidak terdiagnosa penyakit infeksius. Deteksi dini pada triage
sudah dilakukan dengan cukup baik, dimana setiap pasien yang datang akan
selalu dilakukan pengkajian, meskipun petugas tidak selalu ada di triage selama

27
24 jam. Peralatan yang ada di IGD Rumah Sakit Dr.Soepraoen sudah
mendukung untuk dilakukannya perawatan Emergency secara maksimal, hanya
saja terdapat beberapa yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Secara umum, perawat di ruang IGD Rumah Sakit Dr.Soepraoen
percaya dan mengetahui pentingnya standard precautions untuk mencegah
infeksi bagi pasien maupun tenaga kesehatan, namun tindakan dan sikap untuk
melaksanakan standard precautions dengan benar belum dilaksanakan secara
optimal. Oleh karena itu, penting bagi institusi kesehatan untuk melakukan
pengawasan, memonitor tindadakan kontrol infeksi dan menyediakan
pendidikan yang berlanjut untuk perawat emergensi. Selanjutnya, perlu
dipertimbangkan karakteristik dari setiap perawat untuk mengembangkan
rencana pendidikan.

28
BAB IV
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Infeksi nosokomial atau yang kini dikenal dengan Healthcare Associated
Infections (HAIs) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat
penting. Infeksi nosokomial berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan
dan kematian, peningkatan lama perawatan, peningkatan biaya kesehatan
akibat lamanya perawatan, diagnosis dan pengobatan. Selain itu, tingginya
kejadian infeksi nosokomial menimbulkan citra buruk sebuah rumah sakit dan
penurunan jumlah konsumen. Dampak buruk infeksi nosokomial tidak hanya itu,
tetapi juga membawa dampak hukum, dimana terjadi tuntutan pengadilan yang
membawa kerugian material dan immaterial.
Dalam jurnal ini untuk mengendalikan infeksi telah ditersedia beberapa
fitur yang penting harus ada untuk keamanaan dan efektifitas isolasi yaitu:
Negative pressure, Anteroom dan HEPA filtration for exhausting air.
Sedangkan untuk pengendalian infeksi telah dilakukan oleh sebagian
besar EDs dan MADs. Sebagian besar EDs dan MADs memiliki ruang tunggu
yang memadai. Tentunya untuk mengurangi penyebaran penyakit infeksi harus
diadakan jarak yang cukup antara pasien satu dengan yang lain terutama pada
pasien dengan batuk dan bersin. Selain itu sebesar 14,6% EDs dan MADs yang
disurvei telah fokus pada pengenalan awal infeksi, isolasi, dan pengendalian
infeksi dengan cara penyiagaan dan pemberitahuan tentang adanya pasien
dengan HID.
1.2 Saran
Pengendalian infeksi di rumah sakit sangat krusial, mengingat dampak
dari infeksi terkait perawatan di rumah sakit berimplikasi pada perpanjangan
masa rawat inap, kelumpuhan jangka panjang, meningkatnya resistensi
mikroorganisme terhadap antimikroba, beban finansial tambahan yang cukup
besar bagi pasien dan keluarganya, serta meningkatnya jumlah kematian.
Dengan adanya jurnal ini, diharapkan jurnal ini dapat menjadi referensi bagi
tenaga kesehatan di IGD RS. Dr. Soepraoen Malang.

29
DAFTAR PUSTAKA

Fatih, H. 2015. Knowledge, Attitude and Behavior Related To Healthcare-Associated


Infections of Nurses Working in Emergency Department In Indonesia.
Electronic Theses and Disertattion Services. http://etds.lib.ncku.edu.tw .
Diakses tanggal 12 Maret 2017.
Punia, S., Nair, S., Shetty, R.S. 2014. Health Care Workers and Standard
Precautions and Determinants of Compliance in the Emergency and
Trauma Triage of a Tertiary Care Hospital in South India. International
Scholarly Research Notices. Vol(2014) : 1-5.

iii

You might also like