You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Pengertian dan Sejarah Dapsone
Dapsone (Diamino-difenil-sulfon) adalah senyawa kimia yang digunakan
secara luas sebagai agen terapeutik untuk pengobatan infeksi bakteri pada manusia
dan hewan. Disetujui sebagai antibiotik oleh Food And Drug Administration (FDA)
sejak tahun 1963. Dapsone merupakan antibiotik efektif yang pada awalnya
digunakan untuk pengobatan kusta dan kemudian digunakan sebagai penekan
dermatitis herpetiformis. Baru-baru ini dapsone telah digunakan sebagai antibiotik
efektif untuk profilaksis terhadap Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), penyakit
oportunistik pada infeksi HIV (Villa, 2006).
Sintesis pertama untuk dapsone dilaporkan terjadi pada tahun 1938. Produk ini
diperoleh pada saat memanaskan 4,4'-dikloro-difenil-sulfon dengan 25% amonia
(Villa,2006).
Pada tahun 1950, pil dapsone ditemukan oleh Dr R.G. Cochrane di Carville,
menjadi pilihan untuk pengobatan kusta. Dapsone bekerja luar biasa pada awalnya,
tetapi sayangnya, Micobacterium leprae pada akhirnya mulai mengembangkan
perlawanan terhadap dapsone. Hingga saat ini dapsonee telah berhasil digunakan
untuk mengobati berbagai gangguan dermatologis.

B. Farmakologi Dapsone
Dapson merupakan obat antibiotik dan antiinflamasi yang dapat digunakan
untuk pengobatan berbagai penyakit, seperti lepra, dermatosis vesikobulosa,
vaskulitis, malaria, Pneumonitis carinii pneumonia. Dapson memiliki efek samping
yang jarang, namun mengancam nyawa, yaitu Dapsone Hypersensitivity Syndrome
DHS) atau Sindrom Sulfon (Kusumastanto dan Esti, 2015). Obat ini termasuk ke
dalam risiko kehamilan kategori C menurut US Food and Drugs Administration
(FDA).
Mekanisme kerja Dapson yaitu dengan menghambat kemotaksis netrofil pada
daerah peradangan. Dapson juga menghambat produksi parakrin (mediator inflamasi)
dan mengganggu respirasi. Selain itu, dapson diketahui menghambat migrasi dan
perlekatan netrofil pada imunoglobulin A yang terlokalisasi di kulit dan interleukin-1
yang distimulasi oleh netrofil yang melekat pada endotelium. Dapson juga
menghambat pelepasan IL-8, sebuah kemokin netrofil kuat keratinosit manusia yang
diinkubasi dengan antibiotik terhadap autoantigen pemfigoidbulosa 180-kd manusia
(Widyastuti dkk, 2014).
Dapson diabsorpsi dengan baik oleh usus halus dengan kadar puncak dalam
darah tercapai dalam 2-6 jam setelah pemberian dosis tunggal. Waktu paruhnya cukup
panjang (kurang lebih 30 jam) pada kondisi stabil disebabkan re-sirkulasi
enterohepatik. Dapson dan metabolitnya dapat diekskresi melalui air susu ibu (ASI)
dan dapat mengakibatkan anemia hemolitik pada bayi. Dapson dimetabolisme di hati.
Dua jalur metabolik utama melibatkan asetilasi dan N-hy-droxylation. Jalur metabolik
yang lebih signifikan secara klinis melibatkan hidroksilasi salah satu grup amino oleh
sitokrom 3A4 (l ebih ja rang 2C9) untuk membentuk dapson hidroksilamin, sebuah
oksidan kuat yang penting pada terjadinya methemoglobinemia dan hemolisis.
Dapson hidroksilamin kembali direduksi menjadi senyawa induk dapson oleh
sitokrom b5 pada eritrosit sebagai methemoglobin reduktase. Begitu juga dengan
sitokrom b5 dan sitokrom P2D pada hepatosit. Kadar enzim yang tereduksi dapat
dideteksi pada pasien yang mengalami methemoglobinemia simtomatik. Dapson dan
metabolitnya diekskresi oleh ginjal sehingga disarankan untuk memeriksa kadar
kreatinin sebelum memulai terapi dan menghindari penggunaan dapson pada pasien
dengan gangguan ginjal yang signifikan (Widyastuti dkk, 2014).

C. Retrosintesis
Retrosintesis adalah proses pembelahan molekul target sintesis menuju ke
material start yang tersedia melalui serangkaian pemutusan ikatan (diskoneksi) dan
perubahan gugus fungsi atau interkonversi gugus fungsional (IGF).
Retrosintesis merupakan teknik pemecahan masalah untuk mengubah struktur
dari molekul target sintesis menjadi bahan-bahan yang lebih sederhana melalui jalur
yang berakhir pada suatu material start yang sesuai dan mudah didapatkan untuk
keperluan sintesis.
Dengan cara ini, struktur molekul yang akan disintesis ditentukan terlebih
dahulu yang dikenal sebagai molekul target (MT). Selanjutnya MT
dipecah/dipotong/diputus dengan seri diskoneksi.
Diskoneksi merupakan operasi balik suatu reaksi melalui suatu pembelahan
yang dibayangkan dari suatu ikatan agar memutus molekul ke dalam material start
yang mungkin. Diskoneksi seringkali tidak mudah dilaksanakan, tetapi ikatan yang
diputuskan haruslah berhubungan dengan reaksi-reaksi yang dipercaya serta
metodenya dapat dikerjakan di laboratorium. Dari hasil diskoneksi, akan didapatkan
bahan awal (Starting Material) atau sinton yang tersedia atau disediakan melalui suatu
reaksi Interkonversi Gugus Fungsi (IGF).
D. Pedoman Pendekatan Diskoneksi
Pedoman yang sangat penting untuk menciptakan suatu sintesis dengan
pendekatan diskoneksi adalah sebagai berikut :
1 Analisis :
a Mengenal gugus fungsional dan molekul target (MT)
b Melakukan diskoneksi dengan metode yang berhubungan dengan reaksi-reaksi
yang mungkin.
c Memastikan bahwa reagen pereaksi hasil pemutusan (sinton) tersedia sebagai
starting Material.
2 Sintesis
b. Membuat rencana berdasarkan analisis Starting Material dan kondisi sintesis.
c. Bila tidak berhasil dalam sintesis dilakukan pengkajian ulang analisis.
Dengan demikian hal yang mutlak harus dipahami agar sukses dalam
melakukan sintesis dengan pendekatan diskoneksi adalah memahami reaksi-reaksi
senyawa organik maupun jenis-jenisnya serta mekanismenya. Ada kalanya pada
waktu melakukan analisis terhadap bahan awal (Starting Material) hasil diskoneksi
harus diperoleh dari suatu hasil sintetik yang dikenal dengan IGF tadi, karena reaksi
senyawa organik tidak lain dan tidak bukan adalah transformasi gugus fungsional.
E. Pelarut

Sebagian besar reaksi kimia secara luas dilakukan di dalam larutan. Larutan
terdiri dari pelarut (solvent) dan zat terlarut (solute). Pelarut (solvent) pada umumnya
adalah zat yang berada pada larutan dalam jumlah yang besar, sedangkan zat lainnya
dianggap sebagai zat terlarut (solute).

Pelarut memenuhi beberapa fungsi dalam reaksi kimia, dimana pelarut


melarutkan reaktan dan reagen agar keduanya bercampur, sehingga hal ini akan
memudahkan penggabungan antara reaktan dan reagen yang seharusnya terjadi agar
dapat merubah reaktan menjadi produk. Pelarut juga bertindak sebagai kontrol suhu,
salah satunya untuk meningkatkan energi dari tubrukan partikel sehingga partikel-
partikel tersebut dapat bereaksi lebih cepat, atau untuk menyerap panas yang
dihasilkan selama reaksi eksotermik.

Pada umumnya pelarut yang baik mempunyai kriteria sebagai berikut :

1. Pelarut harus tidak reaktif (inert) terhadap kondisi reaksi.

2. Pelarut harus dapat melarutkan reaktan dan reagen.


3. Pelarut harus memiliki titik didih yang tepat.

4. Pelarut harus mudah dihilangkan pada saat akhir dari reaksi.

Kriteria kedua adalah dengan menggunakan prinsip like dissolves like, dimana
reaktan yang nonpolar akan larut dalam pelarut nonpolar sedangkan reaktan yang
polar akan larut pada pelarut polar. Dalam hal ini juga terdapat tiga ukuran yang dapat
menunjukkan kepolaran dari suatu pelarut yaitu :

a. momen dipol

b. konstanta dielektrik

c. kelarutannya dengan air

Molekul dari pelarut dengan momen dipol yang besar dan konsanta dielektrik
yang tinggi termasuk polar. Sedangkan molekul dari pelarut yang memilki momen
dipol yang kecil dan konstanta dielektrik rendah diklasifikasikan sebagai nonpolar.
Sedangkan secara operasional, pelarut yang larut dengan air termasuk polar,
sedangkan pelarut yang tidak larut dalam air termasuk nonpolar. Nilai momen dipol
dan panjang dipol beberapa senyawa yang umum ditunjukkan pada Tabel di bawah.

Berdasarkan kepolaran pelarut, maka para ahli kimia mengklasifikasikan pelarut ke


dalam tiga kategori yaitu :

a. Pelarut Protik Polar

Protik menunjukkan atom hidrogen yang menyerang atom elektronegatif yang


dalam hal ini adalah oksigen. Dengan kata lain pelarut protik polar adalah senyawa
yang memiliki rumus umum ROH. Contoh dari pelarut protik polar ini adalah air
H2O, metanol CH3OH, dan asam asetat (CH3COOH).

b. Pelarut Aprotik Dipolar

Aprotik menunjukkan molekul yang tidak mengandung ikatan O-H. Pelarut


dalam kategori ini, semuanya memiliki ikatan yang memilki ikata dipol besar.
Biasanya ikatannya merupakan ikatan ganda antara karbon dengan oksigen atau
nitorgen. Contoh dari pelarut yang termasuk kategori ini adalah aseton [(CH 3)2C=O]
dan etil asetat (CH3CO2CH2CH3).

c. Pelarut Nonpolar

Pelarut nonpolar merupakan senyawa yang memilki konstanta dielektrik yang


rendah dan tidak larut dalam air. Contoh pelarut dari kategori ini adalah benzena
(C6H6), karbon tetraklorida (CCl4) dan dietil eter (CH3CH2OCH2CH3).

Pelarut organik merupakan pelarut yang umumnya mengandung atom karbon


dalam molekulnya. Dalam pelarut organik, zat terlarut didasarkan pada kemampuan
koordinasi dan konstanta dielektriknya. Pelarut organik dapat bersifat polar dan non-
polar bergantung pada gugus kepolaran yang dimilikinya. Pada proses kelarutan
dalam pelarut organik, biasanya reaksi yang terjadi berjalan lambat sehingga perlu
energi yang didapat dengan cara pemanasan untuk mengoptimumkan kondisi
kelarutan (Pudjaatmaka, 2002). Larutan yang dihasilkan bukan merupakan konduktor
elektrik. Contoh pelarut organik adalah alkohol, eter, ester, etil asetat, keton.
BAB II

RANCANGAN SINTESIS DAN MEKANISME SINTESIS

A. Struktut Senyawa

B. Analisis

Dapsone memiliki nama lain berupa 4-4'-diamino-difenil-sulfon dimna


terdapat gugus amino fenol yangg dihubungkan dengan sulfone. Berdasarkan struktur
obat kedua benzene mengikat gugus yang sama yaitu gugus amino dan gugus sulfone.
Gugus SO2 merupakan gugus deactivator karena terhibridisasi sp2, sedangkan gugus
NH2 merupakan gugus activator kuat yang mengarahkan ke ortho atau para.
Berdasarkan gambar gugus SO2 tidak sesuai dengan kaidah tersebut sehingga
dilakukan IGF (Interkonversi Gugus Fungsi) sehingga menjadi SH. Diskoneksi
pertama dilakukan pada ikatan antara benzene dengan SH sehingga didapat dua
senyawa yaitu 4-mercaptaaniline (gambar 2) dan 4-chloroaminobenzene.
Senyawa 4-mercaptaaniline merupakan senyawa yang sudah ada dan mudah
diperoleh. Akan tetapi senyawa ini juga dapat disintesis dari senyawa 4-
cloroaminobenzene, 4-cloronitrobenzene, aminobenzene, nitrobenzene dan benzene.
Senyawa 4-mercaptaaniline didiskoneksi pada ikatan antara gugus SH dengan cincin
benzene sehingga didapat sinton dan reagen yang dapat berupa 4-cloroaminobenzene.
Selanjutnya senyawa 4-cloroaminobenzene dapat juga diperoleh dari 4-
cloronitrobenzene dengan jalur perubahan gugus fungsi dengan IGF pada gugus
amino menjadi gugus nitro. Senyawa aminobenzene dapat diperoleh dari pemutusan
ikatan antara gugus chloro dengan cincin benzene pada 4-cloroaminobenzene.
Senyawa aminobenzene dapat dibuat dari senyawa benzene dengan jalur nitrasi dan
dilankutkan dengan reaksi reduksi.
Senyawa 4-chloroaminobenzene dapat juga diperoleh dari senyawa benzene
dan 4-chloronitrobenzene. Senyawa benzene jika dilakukan reaksi nitrasi dengan
reagen dan pelarut yang sesuai akan menghasilkan nitrobenzene yang selanjutnya
dapat dioksidasi sehingga menjadi aminobenzene dan senyawa ini jika disubtitusi
dengan senyawa HCl menjadi senyawa 4-chloroaminobenzene atau sebaliknya
senyawa nitrobenzene disubtitusi dengan HCl selanjutnya di rekassikan oksidasi.

C. Sintesis
Pada proses sintesis 4-4'-diamino-difenil-sulfon menggunakan bahan baku
yang tersedia dan murah yaitu 4-mercaptoaniline dan 4-chloronitrobenzene ini
melewati 3 tahap yaitu reaksi kondensasi, reaksi oksidasi, dan reaksi reduksi. Proses
sintesis dalam pembuatan produk akhir sesuai dengan skema berikut:
1. Kondensasi 4-mercaptoaniline dan 4-chloronitrobenzene menghasilkan 4-(4'-
nitrophenylsulfanyl)-phenylamine
2. Oksidasi dari hasil reaksi proses kondensasi yaitu 4-(4'-nitrophenylsulfanyl)-
phenylamine menghasilkan 4-amino-4'-nitro-diphenyl-sulfone
3. Reduksi 4-amino-4-nitro- diphenyl-sulfone (hasil oksidasi) menghasilkan 4,4'-
diamino-diphenyl-sulfone.
Pada reaksi oksidasi dan reduksi dapat dilakukan proteksi dan deproteksi
gugus amino antara sebelum dan sesudah reaksi, terutama pada reaksi oksidasi.
1. Tahap pertama (Kondensasi)
Langkah ini dapat dilakukan dalam kondisi yang sangat berbeda karena
reaktivitas reagennya cukup relevan dan substratnya reaktif terhadap oksigen.
Oleh karena itu, reaksi harus dilakukan dalam kondisi transfer fase pada pelarut
organik, air dan inert.
Reaksi dilakukan dengan menambahkan 4-mercapto aniline (menyatu atau
sebagai larutan dalam pelarut organik) dalam campuran 4-chloronitrobenzene (1,0
- 1,3 eq, sering digunakan 1,05), pelarut organik dan 15% alkali (1,05 - 1,15 eq,
sering digunakan 1,10) dalam air dengan adanya katalis perpindahan fasa seperti
tetrabutil amonium hidrogensulfat (5% M) pada suhu sekitar 60 0C untuk refluks.
Untuk mengendalikan panas reaksi, substrat lebih baik ditambahkan sekitar dua
jam pada suhu 450C. Untuk refluks campuran reaksi lebih sering digunakan pada
80-850C. Setelah proses pemisahan fase dan pencucian fase organik dengan
larutan asam encer, produk dapat langsung dikristalisasi dari pelarut organik yang
digunakan.
Pelarut organik yang dapat digunakan untuk reaksi ini dapat berupa pelarut
organik dari golongan yang dibentuk oleh toluena, metil ferf-butileter (MTBE),
xilena, chlorobenzene, dimetilformamida (DMF), dimetil-sulfoksida (DMSO),
atau campuran pelarut organik dengan salah satu golongan toluene. Toluena lebih
disering digunakan pada tahap ini. Basa anorganik yang berbeda seperti natrium
hidroksida, natrium atau kalium karbonat, kalium hidroksida juga cocok tanpa
mempengaruhi hasil reaksi. Penggunaan pelarut pada langkah ini terbukti sangat
nyaman karena berjalan dalam kondisi ringan, mudah dilakukan dalam proses
industri dan memberikan produk dengan hasil dan kualitas tinggi.
Jika reaksinya terkontaminasi oleh produk yang timbul dari dimerisasi
oksidatif kelompok tiol, produk sampingan ini dapat dikeluarkan melalui ekstraksi
dalam kondisi asam dengan H2SO4 yang diencerkan tanpa mempengaruhi hasil
produk. Produk yang secara langsung dikristalisasi dari pelarut organik diperoleh
dengan hasil yang sangat tinggi (91 95%) dengan kemurnian > 99% ditentukan
menggunakan HPLC.
2. Tahap kedua (Oksidasi)
Tahap oksidasi dapat dilakukan secara langsung, tanpa perlindungan, pada
4-(4- nitrophenylsulfanyl)-phenylamine di bawah kondisi asam dengan
lingkungan yang bersih dan oksida ringan seperti hidrogen peroksida (H 2O2)
dalam kombinasi dengan natrium tungstat (Na2WO4) sebagai katalis. Namun agar
diperoleh hasil yang baik seperti kemurnian produk akhir, proses perlindungan
gugus amino dari intermediate pada langkah sebelumnya sering atau harus
dilakukan. Seluruh urutan (proteksi-oksidasi-deproteksi) sering dilakukan tanpa
isolasi zat antara.
Perlindungan dilakukan dengan menambahkan anhidrida asetat atau
kelompok pelindung yang sesuai untuk kelompok amino pada substrat dengan
asam asetat pada suhu antara 250C - 800C tetapi lebih disukai suhu sekitar 500-
6O0C. Reaksi berlangsung sekitar 30 menit dari akhir penambahan. Pemilihan
bahan untuk perlindungan gugus amino dilakukan oleh orang yang ahli dalam
bidang ini (lihat Green TW, Kelompok Pelindung dalam Edisi Sintesis Organik
3rd, Wiley Interscience).
Pada akhirnya campuran ditambahkan dengan Na2WO4 (0,1-3%, lebih
disukai 1% molar) yang sebelumnya dilarutkan dalam jumlah air yang sesuai,
biasanya 4-5 kali dari perbandingan bobot lebih sering digunakan 4 kali dari
perbandingan berat. Kemudian larutan hidrogen peroksida 35% komersial dan
stabil 1,0-1,3 eq (biasa digunakan 1,05 eq). Kedua zat ini perlahan ditambahkan
pada suhu dari 50 sampai 850C dalam waktu sekitar 1 - 5 jam. Temperatur yng
sering digunakan sekitar 800- 850C.
Pada akhir reaksi (2 - 3 jam) produk dapat diisolasi dengan penambahan
air, didinginkan hingga suhu kamar dan penyaringan untuk menghasilkan turunan
asetil yang dapat dihidrolisis secara terpisah. Lebih mudahnya, pelarut dapat
disuling atau dipisahkan dan residu ditambahkan dengan 21% HCI dalam air
(sampai 8 liter / kg substrat). Campuran dipanaskan sampai refluks sementara
bagian pelarut disuling dari konsentrat campuran sampai sekitar 3-5 volume
berkenaan dengan substrat. Pada akhirnya reaksi dapat diencerkan dengan air dan
produk diisolasi dengan filtrasi pada suhu kamar.
Hasil produk akhir dapat diambil dengan penambahan campuran toluena
dan aseton pada 500C, dan didinginkan. Setelah pendinginan produk bersih dapat
diambil dengan penyaringan.
3. Tahap ketiga (Reduksi)
Tahap akhir dapat dilakukan dengan mudah dengan menggunakan katalis
Pd/C 0,5%, atau Pt/C sebagai katalis dalam campuran metanol dan air (secara
khusus antara 0 dan 2 eq, lebih disukai antara 1 sampai 2), asam (seperti asam
metansulfonat) pada suhu 50-600C. Asam alternatif untuk pengganti metansulfonat
dapat digunakan HCI, asam p-Toluenesulfonat, HBr, asam trifluoroasetat, dan
asam sulfat. Dengan HCI dan p-Toluenesulfonat sebagai pilihan setelah asam
metansulfonat. Jumlah asam dapat bervariasi antara 0 sampai 2 ek (sering
digunakan antara 1 sampai 2). Hidrogenasi dilakukan dalam 1 sampai 4 jam.
Biasanya lebih cepat dari pada deskripsi konvensional dan kuantitatif dan
dilanjutkan dengan tekanan sedang (1-4 bar). Setelah proses berakhir, produk
dapat diendapkan setelah distilasi pelarut dan netralisasi dengan amonium
hidroksida. Pemurnian akhir dari pelarut organik menghasilkan produk dengan
kemurnian tinggi sehingga produk yang dihasilkan sesuai untuk aplikasi farmasi.
Pelarut untuk tahap ini dapat berupa metanol, etanol, isopropanol, etilen glikol,
etil asetat, metil tert-butil eter. Pelarut yang sering digunakan yaitu Metanol,
isopropanol, MTBE dengan pelarut alkohol dan campurannya dengan air.
BAB III
HASIL DAN DISKUSI

Dapsone (4-4'-diamino-difenil-sulfon) dapat disintesis dari beberapa senyawa


seperti benzene, 4-chloronitrobenzene, 4-mercaptaaniline, dan senyawa lainnya yang
sesuai. Pembuatan atau sintesis dapson secara umum melewati 3 tahap yaitu tahap
reaksi kondensasi, tahap reaksi oksidasi, dan tahap reaksi reduksi. Atau dapat juga
melewati reaksi kondensasi, nitrasi, dan reduksi. Pembuatan dapsone juga melihat
dari segi ketersediaan bahan awal baik banyak tidaknya dialam ataupun mahal
tidaknya harga bahan tersebut dalam proses pembuatan. Selain itu juga melihat dari
hasil kemurnian sintesis yang didapat.
Meskipun secara umum pembuatan Dapson biasa dilakukan dalam 3 tahap
akan tetapi untuk setiap pembuatan dengan berbagai macam senyawa reagen yang
berbeda membutuhkan pelarut dan reagen yang sesuai sehingga didapat senyawa
dapsone (4-4'-diamino-difenil-sulfon). Pemilihan pemilihan reagen ini berdasarkan
dari sifat-sifat senyawa yang digunakan. Misalkan pada pembuatan senyawa dapsone
(4-4'-diamino-difenil-sulfon) dari senyawa benzene reagen yang digunakan adalah H-
2SO4 pada reaksi kondensasi, HNO3/H2SO4 pada reaksi nitrasi, dan senyawa Sn/HCl
pada reaksi reduksi. Sedangkan pada pembutan senyawa dapsone (4-4'-diamino-
difenil-sulfon) dengan senyawa 4-mercaptoaniline dan 4-chloronitrobenzene pelarut
dan reagen yang digunkan yaitu pada reaksi kondensasi (toluene, NaOH, dan
tetrabutil ammonium hidrogensulfat), pada reaksi oksidasi (H 2O2 dan Na2WO4), dan
reaksi reduksi (asam metasulfonat dengan katalis Pd/C atau Pt/C).
Daftar Pustaka

Kusumastano, V. Adiningtyas dan Esti, P. Kartika., 2015, Sindrom Dapson pada Pasien
Morbus Hansen, RS Kusta dr.Sitanala, Tangerang.
Pudjaatmaka, A. Hadyana., 2002, Kamus Kimia, Balai Pustaka, Jakarta.
Sitorus, Marham, 2008, Kimia Organik Fisik, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Villa, Marco., 2006, Process for Synthesis 4-4-diamino-diphenyl-sulfone, Lundbeck
Pharmaceutical Italy.
Widyastuti, Sri., dkk, 2014, Terapi Dapson pada Pasien Dermatitis Herpetiformis,
RSUP Sanglah Denpasar, Bali. Vol.41 No.4 Tahun 2014; 165-169
Willis, C.L., 2004, Sintesis Organik, Penerjemah : Marcellino Rudyanto, Airlangga
University Press, Surabaya.

You might also like