You are on page 1of 6

Manifestasi Klinis

Beberapa tanda dan gejala secara umum (Triana, Ani, dkk, 2015) adalah sebagai berikut :
a. Biasanya rupture uteri didahului oleh gejala-gejala rupture membakat, yaitu his yang kuat
dan terus menerus, rasa nyeri yang hebat di perut bagian bawah nyeri waktu ditekan,
gelisah atau seperti ketakutan, nadi dan pernafasan cepat, cincin van bandl meninggi.

b. Setelah terjadi ruptutr uteri dijumpai gejala-gejala syok, perdarahan (bisa keluar melalui
vagina ataupun kedalam rongga perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernafasan cepat dan
dangkal, tekanan darah turun. Pada palpasi sering bagian-bagian janin dapat diraba
langsung di bawah dinding perut, ada nyeri tekan, dan di perut bagian bawah teraba
uteeus kira-kira sebesar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggi.

c. Jika kajadian rupture uteri telah lama terjadi, akan timbul gejala-gejala meteorismus dan
defence muscular sehingga sulit untuk dapat meraba bagian janin.

Sumber :

Triana, Ani, dkk. 2015. Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal edisi 1. Yogyakarta :
Deepublish

Pemeriksaan

Tes Laboratorium

1. Laparoscopy : untuk menyikapi adanya endometriosis atau kelainan bentuk panggul /


pelvis.

2. Pemeriksaan laboratorium.

a. hapusan darah : HB dan hematokrit untuk mengetahui batas darah HB dan nilai
hematikrit untuk menjelaskan banyaknya kehilangan darah. HB < 7 g/dl atau
hematokrit < 20% dinyatakan anemia berat.

b. SDM : untuk mengidentifikasikan tipe anemia.

c. Urinalisis : hematuria menunjukan adanya perlukaan kandung kemih.


3. Tes prenatal : untuk memastikan polihidramnion dan janin besar.

4. Faal Koagulasi

Pemeriksaan hemostatis pada klien untuk mengetahui factor penghentian darah,


setiap individu memiliki waktu yang berbeda (Bleeding time).

5. Active Partial Thromboplastin time (APTT) dan PPT

Uji laboratorium untuk menilai aktivitas factor koagulasi jalur intrinsic dan jalur
bersama, yaitu factor XII (faktor Hagemen), pre-kalikrein, kininogen, faktor XI (plasma
tromboplastin antecendent, PTA), faktor IX (factor Christmas), faktor VIII
(antihemophilic factor, AHF), faktor X (faktor Stuart), faktor V (proakselerin), faktor II
(protrombin) dan faktor I(fibrinogen). Tes ini untuk monitoring terapi heparin atau
adanya circulating anticoagulant. APTT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi
instrinsik dan bersama jika kadarnya <> 7 detik dari nilai normal, maka hasil
pemeriksaan itu dianggap abnormal.Nilai normal uji APTT adalah 20 35 detik, namun
hasil ini bisa bervariasi untuk tiap laboratorium tergantung pada peralatan dan reagen
yang digunakan.

Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :

a. Pembekuan sampel darah,

b. Sampel darah hemolisis atau berbusa akibat dikocok-kocok,

c. Pengambilan sampel darah pada intravena-lines (mis. pada infus heparin).

6. Bleeding Time
Bleeding time adalah tes kasar hemostasis (penghentian perdarahan). Hal ini
menunjukkan seberapa baik trombosit berinteraksi dengan dinding pembuluh darah untuk
membentuk bekuan darah. Tes ini membantu mengidentifikasi orang yang memiliki
disfungsi trombosit. Ini adalah kemampuan darah untuk membeku setelah luka atau
trauma. Biasanya, trombosit berinteraksi dengan dinding pembuluh darah menyebabkan
gumpalan darah. Ada banyak faktor dalam mekanisme pembekuan, dan hal tersebut
diprakarsai oleh trombosit. Uji waktu perdarahan atau bleeding time biasanya digunakan
pada pasien yang memiliki riwayat perdarahan berkepanjangan setelah terluka, atau yang
memiliki riwayat keturunan gangguan perdarahan. Selain itu, Uji waktu perdarahan
kadang-kadang dilakukan sebagai tes pra operasi untuk menentukan respon perdarahan
yang mungkin terjadi selama dan setelah operasi. Namun, pasien yang tidak memiliki
riwayat masalah perdarahan, atau yang tidak memakai obat anti-inflamasi, uji waktu
perdarahan biasanya tidak diperlukan.

Tata laksana
Penangangan rupture uteri memerlukan tindakan spesialistis dan hanya mungkin dilakukan di
rumah sakit dengan fasilitas transfuse darah. Terapi untuk gangguan ini meliputi hal-hal berikut
a. Histerektomi
Histerektomi adalah operasi pengangkatan kandungan (rahim dan uterus) pada
seorang wanita, sehingga setelah menjalani operasi ini dia tidak bisa lagi hamil dan
mempunyai anak. Histerektomi dapat dilakukan melalui irisan pada bagian perut atau
melalui vagina. Pilihan ini bergantung pada jenis histerektomi yang akan dilakukan,
jenis penyakit yang mendasari, dan berbagai pertimbangan lainnya.Ada beberapa jenis
histerektomi yang perlu kita ketahui.
Berikut ini adalah penjelasannya :
1) Histerektomi parsial (subtotal). Pada histerektomi jenis ini, rahim diangkat, tetapi
mulut rahim (serviks) tetap dibiarkan. Oleh karena itu,penderita masih dapat terkena
kanker mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear (pemeriksaan leher
rahim) secara rutin.
2) Histerektomi total. Pada histerektomi ini, rahim dan mulut rahim diangkat secara
keseluruhannya, umumnya rupture uteri meluas sampai bagian bawah uteri sering ke
bagian dalam serviks
3) Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral. Histerektomi ini mengangkat uterus,
mulut rahim, kedua tuba fallopii, dan kedua ovarium.
4) Histerektomi radikal. Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan, dan
kelenjar limfe disekitar kandungan. Operasi ini biasanya dilakukan pada beberapa
jenis kanker tertentu untuk bisa menyelamatkan nyawa penderita.

(Gambar Histerektomi)

Efek histerektomi
Perbedaan jenis pengangkatan uterus akan menimbulkan beberapa efek pada klien yang
mengalami histerektomi. Berdasarkan jenis histerektomi, beberapa efek yang dapat
terjadi pada klien adalah sebagai berikut:
1. Efek fisik fisiologis
Perubahan fisik yang dapat terjadi pada klien adalah tidak adanya menstruasi dan
terjadinya perubahan sensasi saat berhubungan seksual karena serviks ikut terangkat.
Pada histerektomi total ovarium tetap memproduksi hormon estrogen dan
progesteron sehingga klien tidak mengalami gejala klimakterium. Pada bulan
pertama pasca histerektomi terjadi perubahan ketidakseimbangan hormon ovarium
(Baziad, 2001)
Hormon estrogen dan progesteron bisa mengalami peningkatan dan penurunan
yang diakibatkan oleh histerektomi. Hormon estrogeyang mengalami penurunan
menyebabkan klien dapat mengalami gejala premenopause seperti rasa kedinginan,
keringat banyak, berdebar-debar, sakit kepala, nyeri otot, mudah lelah, susah tidur
dan lain-lain. Gejala perubahan keseimbangan hormonal ovarium tidak akan
berlangsung lama karena tubuh akan melakukan adaptasi sehingga dicapai
keseimbangan hormon sesuai kebutuhan tubuh.
Tindakan histerektomi subtotal tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap
perubahan fisik karena klien tetap memiliki sebagian organ rahim. Klien tetap
mengalami menstruasi namun terjadi perubahan dalam jumlah pengeluaran darah
menstruasi menjadi lebih sedikit dan waktu menstruasi yang lebih pendek (Baziad,
2001)
2. Efek psikologis
Perubahan yang terjadi secara psikologis akibat tindakan histerektomi total dan
subtotal adalah klien akan mengalami disintegrasi kewanitaan yang bermanifestasi
dalam depresi karena kehilangan uterus dan bisa menjadi sumber pertengahan dalam
keluarga. Masalah ini terjadi terutama bagi wanita muda yang belum menikah dan
pasangan yang belum mempunyai anak. Tidak datangnya haid dan hilangnya
kemampuan untuk menjadi hamil dirasakan tidak wajar oleh wanita muda. Klien
mengalami masalah kehilangan atau berduka karena kemungkinan untuk hamil tetap
menjadi sulit karena tempat bernidasi dan tumbuhnya janin menjadi lebih sempit
(baziat, 2001)
b. Histerorafi
Histerorafi adalah tindakan operatif dengan mengeksidir luka dan dijahit
dengan sebaik-baiknya. Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia kecuali bila luka
robekan masih bersih dan rapi pasiennya belum punya anak hidup.
c. Pengobatan anti syok
Harus di lakukan sebelum melakukan operasi dengan cara
a) Pemasangan infuse untuk mengganti cairan dan pendarahan Memberikan
profilaksis antibiotika atau antipiretik sehingga infeksi dapat dikurangi
b) Berikan oksigen
c) Jangan melakukan manipulasi dengan melakukan pemeriksaan dalam
untik menghindari pendarahan baru

Sumber :
Triana Ani, Ika Putri Damayanti, dkk. 2015.Buku Ajar Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal
dan Neonatal. Deepublish: Yogyakarta
Achadiat, Chrisdiono.2003.Obsteri & Ginekologi. EGC : Jakarta
Syafrudin , Hamidah .2007.Kebidanan Komunitas. EGC : Jakarta
Baziad. A . 2001. Menopause and hormone replacement Therapy. Medical Journal Indonesia
Afiyah Khairiyatul .R.2010.Kualitas hidup perempuan yang mengalami histerektomi serta
faktor- faktor yang mempengaruhinya.diakses melalui http://lib.ui.ac.id/file?
file=digital/20282870-R.%20Khairiyatul%20Afiyah.pdf, pukul 10.00 tanggal mei
2017
Prognosis
Rupture uteri merupakan hal yang membahayakan untuk ibu dan janin oleh karena itu
tindakan pencegahan sangat penting dilakukan . Setiap ibu bersalin yang mengalami distosia,
kelainan letak janin atau pernah mengalami tindakan operatig pada uterus seperti seksio sesaria,
miomektomi harus diawasi dengan cermat. Bergantung pada apakah ruptur uteri pada uterus
yang masih utuh atau pada bekas seksio sesarea atau suatu dehisens. Bila terjadi pada bekas
seksio sesarea atau pada dehisens perdarahan yang terjadi minimal sehingga tidak sampai
menimbulkan kematian maternal dan kematian perinatal. Faktor lain yang mempengaruhi adalah
kecepatan pasien menerima tindakan bantuan yang tepat dan cekatan.
Ruptur uteri spontan dalam persalinan pada rahim yang tadinya masih utuh
mengakibatkan robekan yang luas dengan pinggir luka yang tidak rata dan bisa meluas ke lateral
dan mengenai cabang-cabang arteri uterine atau ke dalam ligamentum latum atau meluas ke atas
atau ke vagina disertai perdarahan yang banyak dengan mortalitas maternal yang tinggi dan
kematian yang jauh lebih tinggi.

Sumber : Triana Ani, Ika Putri Damayanti, dkk. 2015.Buku Ajar Kebidanan Kegawatdaruratan
Maternal dan Neonatal. Deepublish. Yogyakarta

You might also like