Professional Documents
Culture Documents
Tugas Mandiri
Stase Peminatan IGD
Disusun Oleh :
APRI NUR WULANDARI
08/267882/KU/12756
B. Etiologi
Epidural hematom terjadi karena laserasi pembuluh darah yang ada di antara tengkorak
dan durameter akibat benturan yang menyebabkan fraktur tengkorak seperti kecelakaan
kendaraan, atau tertimpa sesuatu. Sumber perdarahan biasanya dari laserasi cabang arteri
meningen, sinus duramatis, dan diploe (Japardi, 2004).
C. Patofisiologi
Fraktur tengkorak karena benturan mengakibatkan laserasi (rusak) atau robeknya arteri
meningeal tangah, arteri ini berada diantara durameter dan tengkorak daerah inferior menuju
bagian tipis tulang temporal. Rusaknya pembuluh darah ini mengakibatkan darah memenuhi
ruangan epidural yang menyebabkan hematom epidural. Apabila perdarahan ini terus
berlangsung menimbulkan desakan durameter yang akan menjauhkan duramater dari tulang
tengkorak, hal ini akan memperluas hematom. Perluasan hematom ini akan menekan lobus
2
temporal ke dalam dan kebawah. Tekanan ini menyebabkan isi otak mengalami herniasi.
Adanya herniasi ini akan mengakibatkan penekanan saraf yang ada dibawahnya seperti
penekanan pada medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Pada bagian juga
terdapat nervus okulomotor, yang mana penekanan pada saraf ini menyebabkan dilatasi pupil
dan ptosis. Perluasan atau membesarnya hematom akan mengakibatkan seluruh isi otak
terdorong ke arah yang berlawanan yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
intracranial (TIK) sehingga terjadi penekanan saraf-saraf yang ada di otak.
D. ANATOMI OTAK
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya, tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali terkena
cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera
kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat
langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya dari tim medis
untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan
kematian.
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat dapat di gerakkan
dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antar kulit dan galea
terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mngandung pembuluh-pembuluih
besar. Bila robek pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan
darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat
ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat
emmbawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan
betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak. Pada
orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan intracranial.
Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang di pisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar di sebit tabula eksterna, dan dinding bagian dalam di sebut tabula interna. Struktur
demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan
. tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea anterior, media, dan posterior.
Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan tekopyaknya salah satu dari artery-artery ini,
perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat manimbulkan
akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah dura mater,
arachnoid, dan pia mater.
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua lapisan:
- Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh periosteum yang membungkus
dalam calvaria
3
- Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang berlanjut
terus di foramen mgnum dengan dura mater spinalis yang membungkus medulla spinalis
2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang laba-laba
3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak pembuluh darah.
E. Manifestasi klinis
Penurunan kesadaran sampai koma
Keluarnya darah yang bercampur CSS/cairan serebrospinal dari hidung (rinorea) dan telinga
(othorea)
Nyeri kepala yang berat
Susah bicara
Dilatasi pupil dan ptosis
Mual
Hemiparesis
Pernafasan dalam dan cepat kemudian dangkal irregular
Battle sign
Peningkatan suhu
Lucid interval (mula-mula tidak sadar lalu sadar dan kemudian tidak sadar)
G. PENATALAKSANAAN
1. Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
2. Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal atau
gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan intracranial dan
meningkakan drainase vena.
4
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan dexametason
(dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-
3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi
hal ini masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk
memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk
mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka panjang dapat
dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan
suatu buffer yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior
dari natrium bikarbonat. Dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat
dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek
protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan adalah
diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/
kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.
3. Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving.
Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya
keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life saving adalah jika
lesi desak ruang bervolume :
25 cc = desak ruang supra tentorial
10 cc = desak ruang infratentorial
5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis
yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis
yang progresif.
H. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada :
Lokasinya (infratentorial lebih jelek )
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
5
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan
otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan
pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.
Clinical Pathway
6
OPERASI BURR-HOLE
Definisi
Operasi burr hole (burr hole surgery) adalah bentuk operasi di mana lubang dibor ke dalam
tengkorak, yang mengekspos dura mater (lapisan terluar dari membran yang mengelilingi otak dan
7
sumsum tulang belakang) dalam rangka untuk mengobati masalah kesehatan; digunakan untuk
mengobati epidural/ subdural hematoma dan untuk mendapatkan akses bagi prosedur bedah lainnya
seperti pemantauan tekanan intrakranial, dll. Burr hole dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
perdarahan ekstrakranial, sebelum tindakan definitif kraniotomi dilakukan.
8
Dua infus line.
Periksa AGD, elektrolit dan darah rutin serta cross match
Pasang kateter
Antibiotik profilaksis sebelum operasi dimulai.
ETT yang adekuat.
Lindungi kedua mata dari cairan dan tekanan.
Teknik Operasi
1. Burr hole explorasi
Tentukan areanya : disisi pupil yang dilatasi, kontra lateral hemiparese.
Burr hole I : di temporal walaupun frakturya di lokasi yang berbeda. Bila positif lanjutkan
dengan craniotomy. Bila negatif lakukan langkah burr hole selanjutnya.
Burr hole II : di frontal
Burr hole III : di parietal, bila negatif dilakukan disisi sebaiknya.
Ada yang menambahkan burr hole IV di fossa posterior
Incisi linier dan bila perlu dilanjutkan dengan question mark.
Bila duramater tampak tegang dan kebiruan tapi clothing belum ditemukan sebaiknya
dilakukan lebih dahulu burr hole bilateral baru dilakukan mengintip duramater karena sering
subdural tersebut hanya tipis Baja.
2. Epidural hematom :
lokasi : 50% ditemporal, 15%-20% di frontal dan sisanya di occipital, fossa posterior dan
parietal
bila ada mix lessi (hipodens clan hiperdens )curigai adanya gangguan pembekuan darah
teknik :
a. Incisi bentuk question mark atau tapal kuda
b. Burr hole I di daerah yang paling banyak clothing biasanya di lobus temporal, bila
perlu dilanjutkan dulu kraniektomi kecil dan evakuasi clothing untuk mengurangi
tekanan, lalu dilanjutkan kraniotomi untuk
mengevakuasi massa.
c. Bila duramater tegang kebiruan lakukan intip dura dengan incisi kecil
d. Kemudian duramater dijahit clan dilakukan gantung dura
Teknik
1. Cukur dan siapkan tengkorak di atas daerah temporal antara telinga dan batas eksternal orbit di
sisi yang dicurigai terjadinya kompresi.
2. Masukkan ke kulit kepala dengan anestesi lokal, dan membuat sayatan 3 cm melalui kulit dan
fasia temporal. Pisahkan otot temporalis dan insisi periosteum. Kontrol perdarahan dengan
9
retraktor atau kauter listrik. Epinefrin pada anestesi lokal juga akan membantu mengontrol
perdarahan superfisial.
1. Buat burr hole 2cm di atas dan di balik jalur orbital tulang frontal. Menggunakan bor, mulai
membuat lubang melalui lapisan luar dan dalam tengkorak. Gunakan sedikit tekanan saat
memotong lapisan dalam untuk menghindari jeblos tembus ke otak. Beralih ke burr hole kerucut
atau silindris untuk berhati-hati dalam memperbesar pembukaan.
2. Jika perlu, perbesar pembukaan lebih lanjut dengan ronguer:
Kontrol pendarahan dari cabang anterior dari arteri meningeal tengah menggunakan kauter atau
ligatur
10
Kontrol perdarahan vena dengan sepotong otot dihancurkan atau spons gelatin
pendarahan tulang Control dengan lilin tulang .
3. Cuci hematoma ekstradural dengan jarum suntik tangan. Jika hematoma ekstradural tidak
ditemukan , mencari hematoma subdural . Jika ada, mempertimbangkan membuka dura untuk
melepaskannya atau mengatur untuk perawatan di rumah sakit rujukan . Jika tidak ada hematoma
ditemukan , membuat lubang duri di sisi yang berlawanan untuk mengecualikan kontra kudeta
berdarah .
4. Tutup kulit kepala dalam dua lapisan . Jika ada kebocoran cairan dural , tidak menggunakan
saluran tetapi menutup luka ketat untuk mencegah drainase gigih dan infeksi sekunder
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada
hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8
minggu kemudian.
Setelah operasi pun kita harus tetap berhati-hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi
perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi
yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari
otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam hal ini
hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial CT-scan tomografi
pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai
apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
Komplikasi
Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim otak biasanya
berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca
operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat sisa hematom yang mungkin memperlukan
tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera
kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau abses
serebri dapat terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial.
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase, sebanyak 5,4-
19% mengalami komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis, seperti kejang, pneumonia,
empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi, seperti massa subdural,
hematom intraparenkim, atau tension pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.
11
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan 4 hari pasca
operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilaporkan sekitar 12-22%. Kejang pasca
operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien. Empiema subdural, abses otak dan meningitis telah
dilaporkan terjadi pada kurang dari 1% pasien setelah operasi drainase dari hematoma subdural kronis
(SDH). Pada pasien ini, timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap, usia pasien, dan
kondisi medis secara bersamaan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Anderson S. McCarty L. (1995). Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 3. Jakarta. : EGC
Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan
dan Masalah Kolaboratif. Ed.2. Jakarta : EGC
Doenges, M.E. (2000). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume II (terjemahan). PT
EGC. Jakarta.
Haryani, Ani. 2004. Diagnosis A Guide To Planing Care. Www. Us. Elseverhealth
Leksomono, Hafid, & Sajid. Cedera otak dan dasar-dasar pengelolaannya. Diperoleh tanggal 23
November 2011 dari http//:www.kalbefarina.com
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung
Mansyoer, A. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FK UI
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., Swanson, E. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC)
4th ed. Missouri: Mosby.
Ralph & Rosenberg. 2003. Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2005-2006. Philadelphia,
USA
Smeltzher & Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3. Jakarta: EGC
Soertidewi L. (2002). Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.