You are on page 1of 16

RESUSITASI PASIEN LUKA BAKAR

Pendahuluan
Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia yang bersifat asam
atau basa kuat, listrik, petir, radiasi dan akibat suhu yang sangat rendah (frost bite).
Permasalahan pada luka bakar sangat kompleks sehingga dalam penanganannya
membutuhkan penangan multidisipliner dan atau interdisipliner. Dalam perjalanan penyakitnya
dibedakan atas 3 fase yaitu fase awal, (akut,syok), fase setelah syok berakhir, dan fase lanjut.
Penanganan pasien luka bakar sama halnya dengan penanganan pada pasien pasien lain
yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi penderita serta mencegah kerusakan dan komplikasi
yang lebih berat.

Definisi
Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia yang bersifat asam
atau basa kuat, listrik, petir, radiasi dan akibat suhu yang sangat rendah (frost bite). 1 sehingga
dapat menyebabkan kematian, atau akibat lain yang berkaitan dengan problem fungsi maupun
estetik.2

Gambar 1
Pasien yang mengalami luka bakar pada daerah perut
Dikutip dari kepustakaan no.3

4
Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan alat proteksi
terhadap organ-organ yang terdapat di bawahnya dan membatasinya dari lingkungan hidup
manusia di sekitarnya.

1
Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% dari berat badan manusia dan
mempunyai tebal yang bervariasi antara - 3 mm.
Kulit sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks,
ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh.
Secara histopatologik lapisan kulit tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan
epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan subkutis
(hipodermis)
Lapisan epidermis sendiri terdiri dari 5 lapisan (stratum) berturut-turut dari atas ke bawah
: stratum corneum, stratum lucidium,stratum granulosum, stratum spinosum (spongiosum =
princkle cell layer), stratum basale (germinativum).
Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada
epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan-lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-
elemen seluler dan folikel rambut dibagi menjadi 2 bagian yaitu stratum Papilaris dan stratum
Retikularis
Lapisan sub kutis adalah kelanjutan dermis terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel
lemak di dalamnya. Lapisan sel-sel lemak disebut Panikulus Adiposa, berfungsi sebagai
cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan pembuluh
getah bening.

Gambar 2
Anatomi kulit. Dikutip dari kepustakaan no . 4

Faal Kulit 4
Kulit merupakan suatu organ dan mempunyai fungsi tersendiri. Fungsi utama kulit yaitu
sebagai proteksi, absorbsi, eksresi, persepsi, pengatur suhu tubuh, (thermoregulator), membentuk
pigmen membentuk vitamin D, dan keratinisasi. Dari sekian banyak fungsi yang dimiliki oleh

2
kulit, maka dengan muda dapat dimengerti bahwa kerusakan pada kulit akibat luka bakar akan
mengakibatkan berbagai kelainan yang akan lebih banyak dijelaskan dalam referat ini.

Patofisiologi Luka Bakar


Dengan terjadinya luka bakar, maka akan terjadi kehilangan kulit yang memiliki fungsi
sebagai barier sehingga luka sangat muda terinfeksi, terjadi penguapan cairan tubuh yang
berlebihan yang disertai pengeluaran protein dan energi yang akhirnya terjadi gangguan
2
metabolisme.
Luka bakar pertama kali menyebabkan syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh
kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di
dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan
edema dan menimbulkan bulla dengan membawa serta elektrolit. Hal ini menyebabkan
berkurangnya volume cairan intravaskuler. 1,6
Telah disebutkan diatas bahwa luka bakar mempunyai 3 fase dimana masing masing fase
memiliki proses perjalanan penyakit yang masing-masing berbeda.
Fase awal berupa cedera inhalasi (gangguan saluran pernapasan), gangguan mekanisme
bernapas, gangguan sirkulasi (keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia). Cedera inhalasi
menjelaskan perubahan mukosa saluran napas akibat adanya paparan berupa iritan dan
menimbulkan manifestasi klinik dengan gejala distress pernapasan. Reaksi yang timbul berupa
inflamasi akut dengan edema dan hipersekresi mukosa saluran napas. Edema mukosa masif di
saluran napas bagian atas menyebabkan obstruksi lumen sehingga menyebabkan sumbatan total
saluran napas. Mekanisme obstruksi yang lain disebabkan oleh percampuran epitel mukosa
yang nekrosis dengan sekret kental yang mengadung banyak fibrin. 1

Gambar 3
Luka bakar pada daerah wajah memperbesar kecurigaan
terjadinya trauma inhalasi.
Dikutip dari kepustakaan no . 3
Inflamasi pada saluran napas bagian bawah berhubungan dengan peranan sitokin dan
radikal bebas. Inflamasi yang terjadi menyebabkan lokalisasi netrofil dan leukosit PMN. Fibrin

3
yang menumpuk pada mukosa alveoli membentuk membran hialin yang mengakibatkan
gangguan difusi dan perfusi oksigen sehingga menyebabkan ARDS. 1
Terjadinya gangguan mekanisme bernapas berhubungan dengan adanya eskar yang
melingkar di permukaan rongga toraks yang menyebabkan gangguan ekspansi rongga thoraks
pada saat inspirasi.1
Perubahan yang lain juga berupa perubahan bentuk sel-sel endotel kapiler (epitel tunika
intima) akibat perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik di ruang intravaskuler. Terjadi ekspansi
cairan intravaskuler, plasma (protein) elektrolit ke ruang intersisiel. Terjadi penimbunan cairan di
jaringan intersisiel sehingga keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu dan juga
menyebabkan gangguan perfusi metabolisme seluler (syok jaringan). 1,7

Gambar 4
Patofisiologi edema akibat perubahan permeabilitas kapiler.
Bentuk endotel (En) membulat dengan pembesaran darak antar
sel (Js). Cairan intravascular mengalami ekstravasasi (tanda
panah) menyebabkan perubahan keseimbangan tekanan
hidrostatik dan onkotik cairan intravascular dengan cairan
interstitial. Dikutip dari kepustakaan no.1

Vasokonstriksi perifer luas akan meyebabkan berbagai gangguan berupa Systemic


Inflamatory Respone Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS).
Gangguan ini terjadi didahului oleh terjadinya nekrosis sehingga terjadi pelepasan toksin (burn
toxin, suatu lipid protein kompleks). Organ yang terlibat dalam hal ini adalah hepar, saluran
cerna bagian atas (gaster,duodenum), ginjal, dan otot. 1,2
SIRS ditandai dengan gejala berupa ditemukannya dua atau lebih gejala berikut ; Suhu
lebih dari 380C atau kurang dari 360C, takikardi, takipnu, dan jumlah leukosit lebih dari 12.000
sel per mm2 atau kurang dari 4.000 sel per mm3 atau > 10 bentuk immatur 1
Gejala kegagalan sirkulasi yang terjadi di otak berupa disorientasi, gelisah, dan
penurunan kesadaran. Sedangkan akibat konstriksi pembuluh perifer menyebabkan penurunan
suhu core dan permukaan, urine dan gangguan sistem pencernanan. Gejala kompensasi yang
dapat diamati adalah pernapasan yang cepat dan dangkal, palpitasi dan takikardi. 1
Cedera panas menyebabkan kerusakan pada jaringan dapat dibedakan atas:

4
1. Zona koagulasi : daerah yang langsung mengalami kontak dengan sumber panas,
berlokasi pada daerah sentral luka bakar yang mengalami nekrosis karena lamanya terpajan. Sel-
sel di daerah ini mengalami kontak yang paling dekat dengan sumber panas.
2. Zona statis: daerah dimana terjadi "no flow phenomena" oleh karena adanya perubahan
atau kerusakan endotel, trombosit dan leukosit di pembuluh kapiler yang menyebabkan gangguan
sirkulasi mikro dan perfusi ke sel atau jaringan. Daerah ini dapat selamat pada kondisi yang
ideal, tetapi sering nekrosis dalam 24-48 jam setelah kejadian.
3. Zona hiperemi : daerah yang mengalami vasodilatasi, gangguan permeabilitas kapiler,
edema dan distribusi sel radang akut. Daerah ini umumnya tidak beresiko tinggi untuk terjadi
nekrosis.1,2,3,7
Klasifikasi Luka Bakar (1.2,7)
Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan :
1. Luka bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superfisial). tampak kulit kering, hiperemis
berupa eritema, tidak dijumpai bulla, terasa nyeri. Penyembuhan terjadi secara spontan
dalam 5-10 hari.
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai
proses eksudasi. Dijumpai bulla, terasa nyeri, dasar luka berwarna merah atau pucat,
sering terletak lebih tinggi di atas kulit normal.
Derajat II dangkal (superficial) ; Mengenai bagian superfisial dermis. Organ-organ kulit
seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh, penyembuhan
terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari.
Deraiat II dalam (deep) ; mengenai hampir seluruh bagian dermis. Organ-organ kulit
seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea, sebagian masih utuh.
Penyembuhan biasanya dalam waktu lebih dari satu bulan.
3. Luka bakar derajat III
Meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam. Organ-organ kulit seperti
folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan. Tidak dijumpai
bulla, kulit yang terbakar barwarna abu-abu dan pucat. Karena kering, letaknya lebih
rendah dibandingkan dengan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan
dermis yang dikenal sebagai eskar. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi.
Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka,
tepi luka, maupun apendiks kulit.

5
Luas Luka Bakar (1,2,6)
Luasnya luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada orang
dewasa digunakan rule of nine dari Wallace, yaitu kepala dan leher, dada, punggung & perut,
pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri,
tungkai dan kaki kanan serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9% sisanya 1% pada daerah
genitalia. Sedangkan pada bayi digunakan rumus 10 dan pada anak digunakan rumus 10-15-20.
Untuk anak kepala dan leher 15% badan depan dan belakang masing-masing 20 %, ekstremitas
atas kanan dan kiri masing-masing 10%, ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15 %.
telapak tangan penderita dianggap 1 %.

Gambar 5
Diagram Rule of nine dari Wallace
Dikutip dari kepustakaan no.2

6
Resusitasi (1,5,7)
Sebelum menangani resusitasi pada luka bakar, maka perlu untuk diketahui mengenai
anatomi cairan tubuh. Secara garis besar cairan tubuh terbagi atas 3 yaitu cairan intraseluler
(40%), cairan ektraseluler (20%), dan cairan transeluler (2%). Cairan ektraseluler terbagi atas
cairan interstisial 15% dan intravaskuler 5 %. Cairan yang digunakan untuk resusitasi dikenal ada
3 kelompok besar yaitu larutan Hipertonik (Gelofusin, Dextran, dll), Isotonik (RL, NaCL
0,9%) dan Hipotonik. (Dex 5%, DAD, dll)
.
Cairan Ekstraseluler
Cairan intraseluler
Interstisial Intravaskuler
Dextrose 5%
RL
40% 15% 5%
NaCl 0,9%
Koloid
Protein plasma
Darah

Gambar 6
Anatomi cairan tubuh
Dikutip dari kepustakaan no 5

Resusitasi cairan bertujuan mengupayakan sirkulasi yang dapat menjamin kelangsungan


perfusi, sehingga oksigenasi jaringan terpelihara. Dengan demikian, dapat mencegah kerusakan
yang lebih lanjut
Secara umum, masalah yang sering timbul berkenaan dengan resusitasi cairan ini
terutama menyangkut beberapa hal, antara lain menentukan jenis cairan yang diberikan dan
menentukan jumlah kebutuhan cairan.
Ada dua jenis cairan yang umum digunakan dalam prosedur resusitasi, yaitu koloid dan
kristaloid.
Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan di kompartemen intersisiel secara masif
dan bermakna, sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan
kristaloid.

Normal KIV KIT KIS

7
Gastroenteritis KIV KIT KIS

Hemoragik KIV KIT KIS

SIRS, Luka Bakar KIV KIT KIS

Keterangan :
KIV = kompartemen intravaskuler (5% extravaskuler)
KIT = kompartemen intertisiel (15 % extravaskuler)
KIS = kompartemen intraseluler (40%)

Berdasarkan kondisi volume cairan pada kedua kompartemen dengan berbagai kondisi
klinik sebagaimana digambarkan pada diagram di atas dapat ditentukan jenis cairan yang
diperlukan untuk resusitasi.
Kristaloid merupakan cairan isotonik yang aman dan efektif digunakan untuk
tujuan resusitasi kasus hipovolemia, karena cairan ini memiliki osmolaritas sesuai dengan
cairan tubuh dan tidak mempengaruhi efek osmotik cairan, dan cenderung meninggalkan
kompartemen intravaskular (mengisi kompartemen intersisiel).
Berdasarkan hal tersebut, maka partisi cairan dan kadar elektrolitnya serupa
dengan cairan tubuh 75% cairan ektravaskuler dan 25% cairan intravaskuler. Sehingga
secara prinsipil, cairan. kristaloid digunakan untuk melakukan resusitasi cairan pada
kompartemen ekstravaskuler.
Cairan koloid adalah larutan dengan berat molekul tinggi, sehingga mempengaruhi efek
osmotiknya. Karena sifat semipermeabilitas kapiler, maka koloid cenderung untuk tetap berada di
dalam kompartemen intravaskuler; oleh karenanya hanya sejumlah kecil koloid diperlukan dalam
memelihara volume cairan di kompartemen intravaskuler. Sehingga, secara prinsipil, cairan
koloid ditujukan untuk melakukan resusitasi cairan pada kompartemen intravaskuler.
Nacl 0.9% adalah satu-satunya jenis cairan isotonik yang dapat diberikan bersama-sama
dengan darah. Prosedur resusitasi menggunakan cairan ini menyebabkan kondisi hipernatremia
dan asidosis metabolik hiperkloremik. Ringer's Lactate (RL) merupakan cairan isotonik yang
lebih bersifat fisiologik karena mengandung komposisi elektrolit. Laktat yang dikandungnya
bersifat basa, sehingga tidak akan menyebabkan asidosis ; dikonversi secara cepat ke bentuk
bikarbonat di hepar (kecuali pada kasus-kasus dengan disfungsi hepatik).
Berdasarkan defisit volume kompartemen tersebut di atas, maka diperoleh patokan umum
untuk melakukan resusitasi cairan pada beberapa kondisi klinik seperti diare, proses hemoragik,

8
SIRS (sepsis, trauma, pankreatitis, pasca bedah), dan luka bakar. Namun yang akan lebih dibahas
disini adalah mengenai luka bakar.
Pada SIRS (sepsis, trauma, pankreatitis dan pasca bedah), akibat adanya kebocoran
kapilar dan hilangnya cairan pada rongga ketiga terjadi penurunan efektif volume di
kompartemen cairan intravaskuler disertai edema (peningkatan volume di kompartemen
intersisiel). Karena kurang dari 20% cairan kristaloid (yang diberikan melalui infus)
dipertahankan di kompartemen intravaskular, maka pemberian cairan kristaloid harus dibatasi
(karena akan meningkatkan volume di kompartemen intersisiel, edema bertambah). Cairan koloid
seperti Hydroxyethyl Starch (HES) dilaporkan bermanfaat pada kondisi-kondisi SIRS ini.
Penatalaksanaan resusitasi cairan pada luka bakar dilakukan berdasarkan manifestasi
klinik dari suatu trauma. Metode dan kebutuhan cairan akan berbeda pada setiap kondisi; pada
kondisi syok tentunya berbeda dengan kondisi dimana tidak dijumpai syok. Secara umum dalam
melakukan resusitasi pada luka bakar ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai
keberhasilan terapi, yaitu permasalahan yang terjadi pada pasien seperti syok, cedera inhalasi,
derajat dan luas luka bakar, berat badan pasien, metode pemberian cairan; jumlah cairan, jenis
cairan dan pemantauan yang dilakukan, informasi mengenai fungsi organ-organ penting (ginjal,
paru, jantung, hepar dan saluran cerna) dan penggunaan obat-obatan yang rasional.
Metode resusitasi dan regimen terapi cairan yang dikenal selama ini merupakan cara atau
usaha untuk memperoleh pengetahuan atau gambaran mengenai jumlah kebutuhan cairan dengan
hitungan yang tegas; namun bukan suatu patokan yang memiliki nilai mutlak karena pemberian
cairan sebenarnya berdasarkan kebutuhan sirkulasi yang dinamik dari waktu ke waktu dan harus
dipantau melalui parameter-parameter tertentu. Dikenal dua regimen yang dianut beberapa tahun
terakhir, yaitu regimen (formula) Evans-Brooke dan regimen (formula) Baxter/ Parkland.
Formula Evans-Brooke
Evans dan Brooke memberikan larutan fisiologik, koloid dan glukosa dalam resusitasi.
Ketiga jenis cairan ini diberikan dalam waktu dua puluh empat jam pertama. Dasar pemikirannya
adalah, bahwa pada luka bakar, dijumpai inefiktifitas hemoglobin dalam menyelenggarakan
proses oksigenasi. Disamping itu terjadi kehilangan energi yang mempengaruhi proses
penyembuhan. Untuk itu diperlukan darah yang efektif dan asupan energi dalam bentuk glukosa.
Jumlah cairan diberikan dengan memperhitungkan luas permukaan luka bakar dan berat
badan pasien (dalam kilogram). Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan dalam
delapan jam pertama, sisanya diberikan dalam enam belas jam sisa. Jumlah cairan yang
dibutuhkan pada hari pertama adalah sebagaimana tercantum dalam tabel dibawah ini

9
Formula Evans Forrnula Brooke
1ml/kgBB/ %LB koloid (darah) 0.5ml/kgBB/%LB koloid (darah)
lml/kgBB / %LB larutan saline (elektrolit) 1.5ml/kgBB/%LB larutan saline (elektrolit)
2000ml glukosa 2000ml glukosa
Pemantauan : Pemantauan :
Diuresis (>50 ml/jam) Diuresis (30-50 ml/jam)
Pada hari kedua, diberikan separuh jumlah kebutuhan koloid (darah) dan larutan saline
ditambah 2000 m1 glukosa; pemberian merata dalam 24 jam.

Formula Baxter/Parkland
Parkland berpendapat, bahwa syok yang terjadi pada kasus luka bakar adalah jenis
hipovolemia, yang hanya membutuhkan penggantian cairan (yaitu kristaloid). Penurunan
efektifitas hemoglobin yang terjadi disebabkan perlekatan eritrosit, trombosit, lekosit dan
komponen sel lainnya pada dinding pembuluh darah (endotel). Sementara dijumpai gangguan
permeabilitas kapilar dan terjadi kebocoran plasma, pemberian koloid ini sudah barang tentu
tidak akan efektif bahkan menyebabkan penarikan cairan ke jaringan interstisiel; menyebabkan
akumulasi cairan yang akan sangat sulit ditarik kembali ke rongga intravaskular. Hal tersebut
akan menambah beban jaringan dan 'menyuburkan' reaksi inflamasi di jaringan; serta menambah
beban organ seperti jantung, paru dan ginjal.
Berdasarkan alasan tersebut, maka Parkland hanya memberikan larutan Ringer's Lactate
(RL) yang diperkaya dengan elektrolit. Sedangkan koloid/plasma, bila diperlukan, diberikan
setelah sirkulasi mengalami pemulihan (>24-36jam).
Menurut Baxter dan Parkland, pada kondisi syok hipovolemia yang dibutuhkan adalah
mengganti cairan; dalam hal ini cairan vang diperlukan adalah larutan fisiologik (mengandung
elektrolit). Oleh karenanya mereka hanya mengandalkan larutan (RL) untuk resusitasi. Dan
ternyata pemberian cairan RL ini sudah mencukupi, bahkan mengurangi kebutuhan akan
transfusi.
Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan dalam delapan jam pertama,
sisanya diberikan dalam enam belas jam kemudian. Jumlah cairan yang diperlukan pada hari
pertama adalah sesuai dengan perhitungan Baxter (4 ml/kgBB), sehingga kebutuhan cairan
resusitasi menurut Parkland adalah: 4ml / kgBB / %LB Ringer's lactate dengan pemantauan
jumlah diuresis antara 0,5-l ml/kgBB/jam. Pada hari kedua, jumlah cairan diberikan secara
merata dalam dua puluh empat jam.
10.200 ml

10
5.100 ml 5.100 ml

0 8 16 24
Resusitasi metode Baxter / Parkland. Separuh jumlah cairan yang diperlukan diberikan
dalam 8 jam pertama, sisanya dibagi dalam 16 jam berikutnya.

Beberapa bentuk formula resusitasi lain yang ditemukan sebagaimana telihat pada tabel

Formula Cairan 24 jam pertama Kristaloid Pada 24 Koloid Pada 24 jam


jam kedua kedua

Parkland RL 4 ml / kg / %LB 20-60% estimate Pemantauan output


plasma volume urine 30 ml/jam

Evans (Yowler, Larutan saline 1 ml / kg / 50% volume cairan 50% volume cairan 24
2000) %LB, 2000 ml D5W*, 24 jam pertama + jam pertama
dan koloid 1 ml/ kg / 2000 ml D5W
%LB

Slater (Yowler, RL 2 L/24 jam + fresh


2000) frozen plasma 75
ml/kg/24 jam

Brooke (Yowler, RL 1.5 ml / kg / %LB, 50% volume cairan 50% volume cairan 24
2000) koloid 0.5 ml / kg/ %LB, 24 jam pertama + jam pertama
dan 2000 ml D5W 2000 ml D5W

Modified Brooke RL 2 ml / kg / %LB

MetroHealth RL + 50 mEq sodium lar. Saline, pantau 1 U fresh frozen


(Cleveland) bicarbonate per liter, 4 output urine plasma untuk tiap liter
ml / kg / %LB dari lar. saline yg
digunakan + D5W
dibutuhkan untuk
hipoglikemia.

Monafo 250 mEq/L saline pantau 1/3 lar. Saline, pantau


hypertonic output urine 30 ml/jam, output urine
Demling dextran 40 dalam lar.
saline 2 ml/kg/jam untuk
8 jam, RL pantau output
urine 30 ml/jam, dan
fresh frozen plasma 0.5
ml/jam untuk 18 jam

11
dimulai 8 jam setelah
terbakar.
*D5W adalah dextrose 5% dalam air

Resusitasi cairan pada syok (1)


Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada kondisi syok resusitasi cairan tidak
berpedoman pada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada.
Syok merupakan suatu kondisi klinik dimana terjadi gangguan sirkulasi, yang
menyebabkan gangguan perfusi dan oksigenasi sel/jaringan. Jumlah cairan yang hilang pada
kondisi syok diperkirakan lebih dari 25% volume cairan tubuh; bila seorang dengan berat badan
70 kg jumlah cairan tubuhnya adalah 4.900 ml (70% dari berat badan, dibulatkan menjadi 5.000
ml) mengalami kehilangan 25% volume tersebut (kurang lebih 1.250ml), maka timbul
manifestasi syok.
Gangguan perfusi ini menyebabkan sel atau jaringan mengalami hipoksia dan mungkin
berakhir dengan nekrosis; bila hipoksia ini dibiarkan melebihi batas waktu maksimal ketahanan
sel/jaringan (warm-ischaemic time). Waktu ini memang berbeda untuk setiap sel/jaringan.
Diketahui bahwa sel-sel glia hanya dapat bertahan dalam kondisi hipoksik selama 4 (empat)
menit; selanjutnya akan terjadi degenerasi selular yang berakhir dengan nekrosis sel. Ginjal dapat
bertahan selama 8 (delapan) jam dalam kondisi hipoksik melebihi waktu tersebut akan terjadi
degenerasi selular yang berakibat ATN dan berlanjut menjadi ARF. Masing-masing jaringan
tubuh memiliki spesifikasi tertentu dalam hal ischaemic time ini
Dengan demikian penatalaksanaan syok yang berorientasi pada paradigma ini
memerlukan tindakan resusitasi dalam waktu singkat, memperkecil kemungkinan kerusakan
jaringan sehubungan dengan iscahemic time yang dijelaskan di atas.
Sampai saat ini diyakini jenis cairan yang dapat digunakan untuk melakukan resusitasi
dengan baik adalah kristaloid (RL). Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan
beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya).

10.200 ml

2.350 ml
3.750 ml 5.100 ml

0 2 8 16 24

12
Resusitasi pada syok menggunakan cairan kristaloid. Tiga kali defisit cairan yang
menyebabkan syok diberikan dalam 2 jam pertama. Sisa jumlah cairan yang diperhitungkan
menurut metode Baxter/ Parkland diberikan berdasarkan kebutuhan sampai dengan 24 jam.
Jumlah cairan yang diberikan
Baxter memberikan pedomannya untuk menggunakan RL, tanpa risiko kelebihan cairan
(overload) atau terjadinya imbalans elektrolit ; 4 ml/kg berat badan. Namun ternyata dengan
dosis ini, pada anak-anak dan orang tua kelebihan cairan tetap terjadi, sehingga Artz
menganjurkan pemberian sejumlah 2 ml/kg berat badan untuk anak-anak dan 3 ml/kg berat badan
untuk orang tua. 1,2,6
Kebutuhan cairan meningkat dengan adanya cedera inhalasi, karena proses inflamasi
eksudatif pada mukosa saluran nafas dan parenkim paru yang menyebabkan kehilangan cairan
semakin bertambah . Untuk mengatasi syok, jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali jumlah
cairan yang diperkirakan hilang. Maka, pada seorang dengan berat badan 70 kg (volume cairan
tubuh 4.900m1, dibulatkan menjadi 5.000 m1) dengan syok (defisit 1.250 ml), jumlah cairan
yang dibutuhkan untuk resusitasi adalah 3.750 m1 ; diberikan dalam waktu kurang dari 8
(delapan) jam (terbaik dalam 1-2 jam). Selanjutnya, setelah syok teratasi, maka pemberian cairan
mengacu kepada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada. 1
Secara umum, patokan klinik yang dipakai untuk melakukan pemantauan antara lain:
Perbaikan kesadaran (perfusi ke serebral), frekuensi pernafasan dan diuresis (produksi urin per
jam), kadar hemoglobin dan hematokrit, Central Venous Pressure (CVP), dan Pulmonary Artery
Wedge Pressure (PWAP) yang merupakan parameter yang paling akurat dalam menggambarkan
informasi volume cairan intravaskular; berhubungan langsung dengan tekanan pada arteri
pulmonal. Nilai normal <18 mmHg. 1,7
Pemantauan diuresis pada resusitasi
Jumlah urin Keterangan
Syok 0.5 - 1 ml/kgBB/jam Perfusi inadekuat
Hari pertama-kedua 1 - 2 ml/kgBB/jam Sirkulasi stabil
Hari ketiga-keempat 3 - 4 ml/kgBB/jam Fase diuresis
Plasma 1
Sebagian klinikus berpendapat bahwa mendekati 24jam pasca trauma tubuh telah dapat
menanggulangi kebocoran, oleh karenanya cairan apapun yang diberikan akan tetap berada di
rongga intravaskular. Dalam waktu 24-36 jam pasca trauma, plasma expander dapat diberikan.
Namun, sebelum 24 jam, pemberian koloid dianggap tidak efektif karena masih dijumpai
kebocoran kapilar.

13
Pemberian plasma ini bertujuan mengatasi defisit cairan intravaskular dengan menarik
cairan dari ruang intersisiel (edema). Pemberiannya didasari kebutuhan seperti dapat dilihat pada
tabel
Kebutuhan Plasma (ml)
% LukaBakar
Pada BB 70 Kg
20 40 0 500
40 60 500 1700
60 80 1000 3000
> 80 1500 3500

Pemberian mannitol menjadi alternatif dari larutan hipertonik, bila dijumpai kadar
natrium dalam darah berada pada batas nilai normal. Lebih lanjut disebutkan, bahwa pemberian
mannitol 20% memperbaiki perfusi ke tubulus ginjal. Berdasarkan fakta ini, pemberiannya
dimungkinkan untuk dapat diberikan dalam 24 jam pertama.

Glukosa 5% 2.000 ml Lini Pertama


Plasma 500 ml Glukosa 5% 1.500 ml

Larutan Salin hipertonik 3% atau 6% 500-2.000 ml Lini Kedua

Glukosa 5% 1.500 ml

Tabel Pemberian cairan pada hari kedua memperhitungkan kebutuhan energi, meskipun
hanya mengandalkan glukosa 5%. Pada beberapa keadaan diperlukan jenis cairan khusus, seperti
plasma, larutan hipertonik atau mannitol 20%. Pemberiannya dikombinasi dengan glukosa;
dengan memperhitungkan kebutuhannya.

Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dapat berupa SIRS, MODS, sikatriks, dan kontraktur. 2,6
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu timbulnya
SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistim autoregulasi
serebral yang memberi dampak sistemik (ensefalopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal
menyebabkan iskemi ginjal (khususnya tubulus) berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN)
yang berakhir dengan gagal ginjal (acute renal failure, ARF). Gangguan sirkulasi perifer
menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan

14
produksi Nitric Oxyde (NO); NO ini diketahui berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan
sirkulasi ke kulit dan sistim integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena
penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
Kvetan dan Takala menjelaskan iskemia mukosa usus terjadi akibat vasokonstriksi
splangnikus (gangguan hemostasis) pada fase syok berperan sebagai penyebab stress ulcer. Teori
ini menunjang teori Harjodisastro akan temuannya mengenai iskemia mukosa serta memiliki
relevansi dengan peran katekolamin dan glukagon pada kondisi stres. 1

Prognosis
Semakin berat derajat suatu luka bakar, maka prognosisnya semakin berat. Dan prognosis
juga tergantung pada kecepatan dan ketepatan tindakan. 2

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Moenadja, Yefta, Luka Bakar : pengetahuan Klinis Praktris, edisi kedua (revisi) Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2003 hal 1-65.
2. Mansjoer, A, dkk, Bedah Plastik dalam Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga jilid 2, Media
Aeskulapius FK UI, Jakarta 2000 hl. 367-9
3. Picture of burn patiens availabel from : http://www.shrinershq.org/research/galveston/
kramer.html ==> George C. Kramer, Ph.D
4. Amiruddin, D (ed), Anatomi kulit dalam Ilmu penyakit Kulit, Bagian Ilmu penyakit Kulit dan
Kelamin FK UNHAS, Makassar 2000, hl 1-4
5. Anonim, Resusitasi cairan dan elektrolit, dalam Buku Pegangan BHD BHL bagi dokter
umum se Propensi Sul-sel, Ikatan Dokter Spesiali Anestesiologi cabang Sulsel,
Makassar 2000, hl 62-3
6. Sjamsuhidajat, R, de Jong, Wim (ed) Luka Bakar dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi revisi.
EGC, Jakarta 1997 hl. 81-90
7. Oliver, R.I Burns, Resusitation and Early Management, availabel from
http://www.emedicine.com/plastic/topic159.htm, accessed at February 25 2005.

16

You might also like