Professional Documents
Culture Documents
A. KASUS
Seorang pasien anak laki-laki TH (10 tahun) dibawa ke
Rumah Sakit oleh orang tuanya dengan keluhan perut
membuncit sejak 2 hari sebelum masuk RS dan terasa nyeri.
Saat dilakukan pemeriksaan awal, pasien diduga menderita GNA
karena adanya edema dan hipertensi. Setelah dilakukan
pemeriksaan laboratorium pada darah dan urine, pasien
didiagnosis Sindrom Nefrotik.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Defenisi
Sindrom Nefrotik ditandai dengan proteinuria masif ( 40
mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2
mg/mg), hipoproteinemia, hipoalbuminemia (2,5 gr/dL), edema,
dan hiperlipidemia (Behrman, 2000). Sindrom Nefrotik adalah
status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas
membran glomerulus terhadap protein yang mengakibatkan
kehilangan urinarius yang masif (Whaley & Wong, 2003).
Whaley and Wong (2003) membagi tipe-tipe Sindrom
Nefrotik :
1. Sindroma Nefrotik lesi minimal (MCNS : Minimal Change
Nefrotik Sindroma)
Merupakan kondisi yang tersering yang menyebabkan
sindroma nefrotik pada anak usia sekolah.
2. Sindroma Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler kolagen,
seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura
anafilaktoid, glomerulonefritis, infeksi sistem endokarditis,
bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
3. Sindroma Nefirotik Kongenital
1
Faktor herediter sindroma nefrotik disebabkan oleh gen
resesif autosomal. Bayi yang terkena sindroma nefrotik,
usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema
dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua
pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-tahun
pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialisis.
1.2 Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik ini belum diketahui, namun
akhir-akhir ini dianggap sebagai penyakit autoimun, yaitu reaksi
antigen-antibodi. Dimana 80% anak dengan sindrom nefrotik
yang dilakukan biopsi ginjal menunjukkan hanya sedikit
keabnormalannya, sementara sisanya 20 % biopsi ginjal
menunjukkan keabnormalan seperti glomerulonefritis.
Patogenesis mungkin karena gangguan metabolisme, biokimia
dan fisiokimia yang menyebabkan permeabilitas membran
glomerulus meningkat terhadap protein (Whalley and Wong,
2003). Sedangkan menurut Behrman (2000), kebanyakan (90%)
anak yang menderita nefrotik mempunyai beberapa bentuk
sindroma nefrotik idiopatik, penyakit lesi minimal ditemukan
pada sekitar 85%. Sindroma nefrotik sebagian besar diperantarai
oleh beberapa bentuk glomerulonefritis (infeksi pada
glomerulus).
2
segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi
oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab
terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain itu,
mutasi pada protein podosit (podocin, -actinin 4) dan MYH9
(gen podosit) dikaitkan dengan focal segmental
glomerulosclerosis (FSGS).
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan
mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari
aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk
nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.
1) Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom
nefrotik. Apabila ekskresi protein 40 mg/jam/m2 luas
permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini
digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien
bukan sindrom nefrotik.
2) Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung
dengan proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu
manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi
hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14
g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan
jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi
pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus
proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi.
Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan
manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan
dan peningkatan katabolisme albumin.
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor
yang penting pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun
demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab
3
pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat
meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat
mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan
hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga
diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan
hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit
bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada
korelasi yang cukup antara penurunan laju sintesis albumin di
hepar dan peningkatan katabolisme albumin.
Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat
meningkat hingga 300%, sedangkan penelitian pada penderita
sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia menunjukan bahwa
laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan
normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini
mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar
tidak adekuat.
Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan
regulator mayor sintesis protein. Bukti eksperimental pada tikus
yang secara genetik menunjukkan adanya defisiensi dalam
sirkulasi albumin, menunjukkan dua kali peningkatan laju
transkripsi gen albumin hepar dibandingkan dengan tikus
normal. Meskipun demikian, peningkatan sintesis albumin di
hepar pada tikus tersebut tidak adekuat untuk mengompensasi
derajat hipoalbuminemia, yang mengindikasikan adanya
gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada pasien
sindrom nefrotik, penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk
meningkatkan laju sintesis albumin di hati sejauh
mengembalikan konsentrasi plasma albumin. Ada juga bukti
pada subjek yang normal bahwa albumin interstisial hepar
mengatur sintesis albumin. Oleh karena pada sindrom nefrotik
pool albumin interstisial hepar tidak habis, respon sintesis
4
albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi tidak
mencapai level yang adekuat.
Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin.
Sintesis mRNA albumin hepar dan albumin tidak meningkat pada
tikus ketika diberikan diet rendah protein, tetapi sebaliknya,
meningkat pada tikus yang diberikan diet tinggi protein.
Meskipun begitu, level albumin serum tidak mengalami
perubahan karena hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan
konsumsi protein menyebabkan peningkatan albuminuria.
Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada
hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik masih merupakan hal
yang kontroversial. Dalam penelitian terdahulu dikemukakan
bahwa kapasitas transportasi albumin tubulus ginjal telah
mengalami saturasi pada level albumin terfiltrasi yang fisiologis
dan dengan peningkatan protein yang terfiltrasi yang hanya
diekskresikan dalam urin, bukan diserap dan dikatabolisme.
Penelitian pada perfusi tubulus proksimal yang diisolasi pada
kelinci membuktikan sebuah sistem transportasi ganda untuk
uptake albumin. Sebuah sistem kapasitas rendah yang telah
mengalami saturasi pada muatan protein yang berlebih, tetapi
masih dalam level fisiologis, terdapat pula sebuah sistem
kapasitas tinggi dengan afinitas yang rendah, memungkinkan
tingkat penyerapan tubular untuk albumin meningkat karena
beban yang disaring naik. Dengan demikian, peningkatan tingkat
fraksi katabolik dapat terjadi pada sindrom nefrotik. Hipotesis ini
didukung oleh adanya korelasi positif di antara katabolisme fraksi
albumin dan albuminuria pada tikus dengan puromycin
aminonucleoside PAN yang diinduksi hingga nefrosis.
Namun, karena simpanan total albumin tubuh menurun
dalam jumlah banyak pada sindrom nefrotik, laju katabolik
absolut mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini
berpengaruh pada status nutrisi, sebagaimana dibuktikan oleh
5
fakta bahwa katabolisme albumin absolut berkurang pada tikus
nefrotik dengan diet protein rendah, tetapi tidak pada asupan
diet protein normal.
Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik merupakan akibat dari perubahan multipel pada
homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi dengan
baik oleh adanya sintesis albumin hepar dan penurunan
katabolisme albumin tubulus ginjal.
3) Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang
timbulnya edema pada sindrom nefrotik. Underfilled theory
merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini
berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya
tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan
merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar
sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari
albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid
plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan
transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke
ruang interstisial kemudian timbul edema.
Kelainan glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminemia
6
Tekanan onkotik koloid plasma
Volume plasma
Retensi Na renal sekunder
Edema
Gambar 1. Teori underfilled
Kelainan glomerulus
Retensi Na renal primer Albuminuria
Hipoalbuminemia
Volume plasma
Edema
Gambar 2. Teori overfilled
4) Hiperlipidemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan
lipoprotein serum meningkat pada sindrom nefrotik. Hal ini dapat
dijelaskan karena adanya kondisi hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
7
lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena
terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem
enzim utama yang mengambil lemak dari plasma
8
c) Relaps jarang. : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 x per tahun
pengamatan
d) Relaps sering. (frequent relaps): relaps 2 x dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau 4 x dalam periode 1
tahun
e) Dependen steroid. : relaps 2 x berurutan pada saat dosis
steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah
pengobatan dihentikan
f) Resisten steroid. : tidak terjadi remisi pada pengobatan
prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4
minggu.
g) Sensitif steroid. : remisi terjadi pada pemberian prednison
dosis penuh selama 4 minggu
9
ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis
(OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan
bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai
komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah
baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan
dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah.
Dietetik
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan
menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan
menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup
diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat.
Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3
mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu
perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter),
biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat
( 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1
g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
10
interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-
2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat
diberikan plasma 20 mL/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan
selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang. Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema
tampak pada Gambar 3
Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan
kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama
lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.11
Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat
dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV
(inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison
11
selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN
sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela.
A. Terapi Insial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik
tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC
adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2
mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan
berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison
dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau
1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid
dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai
resisten steroid (Gambar 4).
12
Gambar 4. Pengobatan inisial kortikosteroid
B. Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 5,
yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu.
Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ++
tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih
dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila
terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian
proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps.
Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai edema,
maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan
13
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat
mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di
gigi, radang telinga tengah, atau kecacingan.
14
levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau
langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal,
selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah
mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia
yang reversibel.
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada
pengobatan SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau
klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis
2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal (Gambar 6), maupun
secara intravena atau puls (Gambar 7). CPA puls diberikan
dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250
ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls
diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah
mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL,
hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat
15
dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit
>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Keterangan:
Relaps sering: prednison dosis enuh (FD) setiap hari sampai
remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan
predison intermitten atau aternating (AD) 40 mg/m2/ LPB/
hari dan siklosfosfamid 2-3 mg/kgBB/hari, PO, dosis tunggal
selama 8 minggu
16
Gambar 7. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid
Keterangan:
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan
siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB
diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan
dan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2
LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan
(lama tapering off 2 bulan).
atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan
siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama
12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2
LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan
(lama tappering off 2 bulan)
4. Siklosporin (CyA)
17
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan
steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin
dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari (100- 150 mg/m2 LPB). Dosis
tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah
berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau
dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan
mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat
dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya
akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian
penjelasan SN resisten steroid.
18
Gambar 8. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen
steroid
Keterangan:
19
selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6
bulan).
1. Siklofosfamid (CPA)
2. Siklosporin (CyA)
20
2. Kadar kreatinin darah berkala
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun
21
Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan
melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat
dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama
pemberian siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).
3. Metilprednisolon puls
Keterangan:
Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum
prednison oral 60 mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau
klorambusil (0,18-0,22 mg/kgbb/hari) selama 8-12 minggu dapat
diberikan bila proteinuria masif masih didapatkan setelah
pemberian metilprednisolon selama 10 minggu.
22
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan
pada SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil.
Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak
dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum
direkomendasi di Indonesia.
23
BAB II. ANALISIS FARMAKOTERAPI-DRP
A. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : An. TH
Alamat : Koto Tangah, Padang Panjang
Umur : 10 tahun
Ruangan : Anak / III.A
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Kawin/ Tidak : Tidak
Pembayaran/Status : BPJS
Mulai perawatan : 30 Januari 2017
Diagnosis Awal : Suspect GNA, DD/Sindrom Nefrotik
B. RIWAYAT PENYAKIT
1. Keluhan Utama
Perut membuncit sejak 2 hari yang lalu dan terasa
nyeri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Bengkak pada kelopak mata sebelum masuk RS 2 hari
yang lalu.
Perut membuncit sejak 2 hari yang lalu dan terasa
nyeri
BAB (+)
BAK (+) berbusa, kuning agak keruh
Frekuensi BAB kurang, sebelum sembab BAB 1 x sehari,
tetapi sekarang BAB jarang
24
Pasien pernah dirawat di RS saat umur 6,5 tahun dengan
diagnosa vomitus nausea
C.Data Penunjang
1. Data Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah : 160/80 mmHg
Berat badan : 29 kg
Nadi : -
Pernafasan : -
Mata : Edema
Abdomen : Membuncit
Mikroskopis
Nilai Hasil (Januari- Februari)
Pemerik
Norma
saan 30 2 6 7 8
l
Leukosit <5 2-4 2-4 2-4 1-3
Eritrosit <5 >2
4-6 - 2-4
0
Epitel - + + + + +
Protein - +3 +2 - +2 +3
Makroskopis
Pemerik Nilai Hasil (Januari- Februari)
saan Norma
30 2 6 7
Urin l
Warna Kuning
Kuning Kunin Kunin
agak
jernih g g
keruh
BJ 1,015 1,010 1,015 1,015
pH 6,5 6 7 7,5
25
Data Laboratorium (Darah) 31 Januai 2017
D. Diagnosis
Sindrom nefrotik
26
E. Data Organ Vital
27
Membuncit +
EL. Edema EM. EN. EO. EP. EQ. ER. ES. ET. EU. EV. EW. EX. EY.
pada kelopak + + - - - - -
mata
EZ. Nyeri FA. FB. FC. FD. FE. FF. FG. FH. FI. FJ. FK. FL. FM.
Perut + + - - - - - - - - - - -
FN. Sesak FO. FP. FQ. FR. FS. FT. FU. FV. FW. FX. FY. FZ. GA.
Nafas - - - - - - - - - - - - -
GB. Kaku pada GC. GD. GE. GF. GG. GH. GI. GJ. GK. GL. GM. GN. GO.
jari tangan - - - - - - - - - - - - +
GP.
H. Terapi Farmakologis
1. Saat di Bangsal
GS. Tanggal (Oktober-November)
GQ. GV. HD. HE. HF. HG. HH.
GR. Nama Obat GW. GX. GY. GZ. HA. HB. HC.
No 3 7 8 9 10 11
31 1 2 3 4 5 6
0
HI. HJ. Amoxicillin (3 x HK. HL. HM. HN. HO. HP. HQ. HR. HS. HT. HU. HV. HW.
1 250 mg) Of
HX. HY. Bromheksin Syr IA. IB. IC. IH. II. IJ. IK. IL.
HZ. ID. IE. IF. IG.
2 3 x cth 1 Of
IM. IN. Furosemid (1 x IO. IP. IQ. IR. IS. IT. IU. IV. IW. IX. IY. IZ. JA.
3 20 mg) Of
JB. JC. Captopril (3 x JD. JE. JF. JG. JH. JI. JJ. JK. JL. JM. JN. JO. JP.
4 6,25 mg) O
28
f
JQ. JR. KCl (3 x 1 JS. JT. JU. JV. JW. JX. JY. JZ. KA. KB. KC. KD. KE.
5 bungkus @500 mg) Of
KF. KG. Prednison (3 x 3 KK. KL. KM. KN. KO. KP. KQ. KR. KS. KT.
KH. KI. KJ.
6 Tab @5 mg)
KU. KV. Calcium Laktat 1 KZ. LA. LB. LC. LD. LI.
KW. KX. KY. LE. LF. LG. LH.
7 x 250 mg
LJ.
LK.
LL.
LM.
LN.
LO.
LQ.
LR. M LS. Jeni LT. LU. Do LV. B LW. Indikas LX. Tep LY. Komentar dan Alasan
ulai s Obat Rut sis erhenti i Obat at atau
e Tidak
29
Tepat
30
mencapai (100/80) sehingga
terapi Captopril dihentikan
sementara karena ditakutkan
terjadi hipotensi
NE. Furosemid merupakan
NA. 3 x NC. Mengat diuretik tidak hemat Kalium,
MZ. 500 mg NB. 6/ asi ES ND. Tepa penggunaannya akan
MY. KCl
Oral (Pulveres 2-17 Furosemid t menyebabkan Hipokalemia,
) (Hipokalemia) sehingga diatasi dengan
pemberian KCl
NM. Furosemida adalah suatu
derivat asam antranilat yang
efektif sebagai diuretik.
Mekanisme kerjanya adalah
menghambat penyerapan
NK. Menuru
NF. 3 NG. Furo NH. NI. 1x NJ. 6/ NL. Tepa kembali natrium oleh sel tubuli
nkan Tekanan
1/1-17 semid Oral 20 mg 2-17 t ginjal.
darah
NN. Furosemida efektif
sebagai penurun tekanan darah
dan juga mengeluarkan
kelebihan cairan pada tubuh
(udem berkurang)
NO. 2 NP. Pred NQ. NR. 3x NS. NT. Meneka NU. Tepa NV. Merupakan First line
/2-17 nison Oral 5 mg n sistem imun t therapy pada Sindrom Nefrotik
(imunosupres dan pada saat prednison
31
diberikan TD pasien sudah
an)
normal
OD. Pada saat pasien masuk
NX. Bro
NW. 3 NY. NZ. 3 x OA. 1/ OB. Mengen OC. Tepa pasien mengalami batuk
mheksin
0/1-17 Oral cth 1 2-17 cerkan dahak t berdahak sehingga pemberian
HCl Syr
obat ini tepat
OL. Pasien mengalami
kekakuan pada jari tangan. Hal
ini disebabkan oleh efek
samping Predisone yang
OE. 1 OF. Calci OG. OH. 1 x OK. Tepa
OI. OJ. mengganggu metabolisme
1/2-17 um Laktat Oral 250 mg t
kalsium dengan menurunkan
absorbsi Kalsium, sehingga
pemberian Ca Laktat pada
pasien ini tepat
OM.
ON.
OP.
OR. JENIS OT. PERMASAL
N
PERMASALA OS. ANALISA MASALAH AHAN TERKAIT OU. KOMENTAR /REKOMENDASI
O
HAN DENGAN OBAT
OQ.
32
OV. OX. Korelasi 1. Adakah ada obat tanpa PX. Ada - Sindrom Nefrotik tidak disebabkan
OW. antara terapi indikasi medis? permasalahan oleh bakteri tetapi karena autoimun
1 obat-dengan OZ. PY. jadi tidak diperlukan terapi antibiotik.
penyakit PA. PZ. - Pemberian AB pada pasien ini karena
OY. PB. QA. awalnya pasien di diagnosis GNA
PC. QB. (disebabkan oleh bakteri), untuk
PD. QC. mencegah kondisi pasien semakin
PE. QD. memburuk sehingga perlu diberi
PF. QE. terapi AB.
PG. QF. - AB pada pasien ini dilanjutkan sampai
PH. QG. hari ke-8 karena ditakutkan terjadinya
PI. QH. resistensi AB. Namun, sebenarnya
PJ. QI. pemakaian AB disini sudah tidak
PK. QJ. rasional karena AB bisa langsung
PL. QK. dihentikan pada hari pertama saat
PM. QL. diagnosa pasien sudah ditetapkan
PN. QM. - Penggunaan Antibotik profilaksis
PO. QN. untuk mencegah infeksi pada SN yang
PP. QO. terjadi pada anak-anak masih
PQ. QP. kontroversi. Penggunaan Antibiotik
PR. QQ. direkomendasikan jika pasien beresiko
PS. QR. tinggi (usia dibawah 2 tahun) dengan
PT. QS. SN resisten steroid dan SN relaps
PU. QT. yang sebelumnya terinfeksi
33
2. Adakah kondisi klinis QU. Pneumococcus (Rasheed Gbadegesin
yang QV. Tidak ada and William E. Smoyer, 2008)
PV. tidak diterapi? permasalahan RA.
Apakah kondisi tersebut QW. RB. Semua keluhan dan gejala klinis
membutuhkan terapi QX. pasien diberi terapi yang sesuai
obat ? QY. RC.
PW. QZ. Tidak ada RD.
3. Kontra Indikasi permasalahan RE.
RF. Terapi yang diberikan sesaui
dengan kondisi pasien (tidak ada alergi/
kondisi khusus)
RG.
RH. RI. Pemiliha RJ. Bagaimana pemilihan RM. Tidak ada RN. Pemilihan obat sudah tepat untuk
2 n obat yang obat? permasalahan pasien, tetapi tetap harus di monitoring
sesuai RK. keadaan pasien.
RL.
RO. RP. Dosis 1. Kelebihan (Over dose) RV. Tidak ada SG. Perhitungan dosis:
3 Obat RQ. permasalahan. 1. Amoxicillin (DL: 25 mg/kg BB,
RR. RW. Urinary Tract Infections)
RS. RX. SH. Berat anak 22,5 kg
RT. RY. SI.
RU. RZ. SJ. Dosis Amoxicillin (1 hari)
2. Kekurangan (under dose) SA. Tidak ada SK. = 22,5 kg x (25 mg)
permasalahan. SL. = 562,5 mg
34
SB. SM.
SC. SN. Dosis pada resep (1 hari)
SD. SO. = 750 mg Dosis Amoxicillin sudah
SE. mencapai dosis lazim
SF. SP.
SQ.
SR.
SS.
2. Furosemide (DM: 6 mg/kg, untuk
udem pada anak-anak) (PO)
ST.
SU. Berat anak 22,5 kg
SV.
SW. Dosis Furosemide
SX. = 22,5 kg x 6 mg
SY. = 135 mg
SZ.
TA. Dosis pada resep (1 hari)
TB. = 20 mg Dosis tidak melebihi DM
TC.
3. Captopril (DM: 6 mg/kg, untuk
hipertensi pada anak2)
TD.
TE. Berat anak 22,5 kg
35
TF.
TG. Dosis Captopril
TH. = 22,5 kg x 6 mg
TI. = 135 mg
TJ.
TK. Dosis pada resep (1 hari)
TL. = 18,75 mg Dosis tidak melebihi
DM
TM.
4. Prednison (DM = 100 mg) (FI III)
TN.
10
TO. x 100 mg=50 mg ( sehari pakai )
20
TP.
TQ. Untuk 1 x pakai = 16,6 mg
TR.
TS. Dosis 1x pakai
TT. 3x 5 mg = 15 mg Tidak
melebihi DM
TU.
TV. Dosis sehari pakai
TW. 3 x 15 m = 45 mg Tidak
melebihi DM
TX.
36
TY. ATAU
TZ.
UA. Dosis Penuh (Full Dose)
Prednisone (2 mg/kg BB/ hari) 4
minggu
UB.
UC.BB = 22,5 kg
UD. = 2 mg x 22,5 kg
UE. = 45 mg
UF.
UG.
UH.
UI. Dosis yang diterima pasien
UJ. = 3x3 tablet 15 mg = 45 mg
UK.
UL. Dosis tidak melebihi dosis lazim
UM.
UN. (FI III, 1979; AHFS, 2011)
UO. UP. Interval UQ. Apakah interval UR. Ada UT. Antibiotik (Pasien tidak diberi
Pemberian pemberian obat sudah permasalahan konseling terkait penggunaan AB),
tepat US. Inteval pemberia Antibiotik Amoxicillin
setiap 8 jam (AHFS, 2011)
UU. UV. Car UW. Apakah obat UX. Tidak ada UZ. -
5 a/ Waktu yang diberikan sudah tepat permasalahan
37
pemberian (sebelum/ sesudah makan, UY.
bersama makanan)
VA. VB. Rut VC. Apakah rute obat VD. Tidak ada VE. -
6 e Pemberian yang diberikan sudah tepat permasalahan
Obat (iv, PO, pulveres, SL etc)
VF. VG. Lam VH. VI. Tidak ada VL. Contoh: Captopril sudah tepat
7 a Pemberian permasalahan. dihentikan pada tanggal 4/2-2017
VJ. karena Tekanan Darah pasien 100/70
VK. mmHg dan ditakutkan terjadi hipotensi
VM. VN. Inte 1. Obat VO. VP. -
8 raksi Obat 2. Makanan/minu
man
VQ. VR. ESO VS. VT. Tidak ada VU. -
9 /ADR/Alergi permasalahan.
VV. VW. Keti i. Resep VX. Tidak ada VY. Bromheksin
10 daksesuaian ii. Buku Ijeksi permasalahan. VZ. Pada RM tidak dituliskan
RM dengan pemberian bromheksin Syr padahal
pasien menerima obat Bromheksin Syr
pada hari ke-2 dan ke-3
WA. WB. Kes WC. WD. Tidak ada WE. -
11 alahan permasalahan.
Penulisan
Resep
WF. WG. Keg WH. WI. Tidak ada WJ. -
12 agalan permasalahan
38
mendapatkan
obat
WK. WL. Kep WM. WN. Tidak ada WO. -
13 atuhan permasalahan.
WP. WQ. Dup WR. WS. Tidak ada WT. -
14 likasi Terapi permasalahan.
WU.
WV.
WW.
WX.
WY.
WZ.
XB.
39
- Jangan hentikan prednison secara mendadak.
pada pertumbuhan dan
- Hindari penggunaan prednison dalam jangka lama
perkembangananak, keropos tulang.
- Perlu pemantauan Tekanan darah secara berkala
40
XS. BAB III. KESIMPULAN
XT.
XU.
b. KESIMPULAN
c. Pasien An. T didiagnosis sindrom nefrotik, dimana pasien
mengalami edema pada kelopak mata dan abdomen
membuncit.
d. Terapi yang digunakan pasien adalah Amoxcillin,
Prednison, Furosemid, KCl, Captopril, Bromheksin HCl
Syr, dan Ca laktat
e. Pemberian Antibiotik Amoxicillin tidak tepat indikasi
karena pasien didiagnosis Sindrom Nefrotik yang bukan
disebabkan karena adanya infeksi.
XV.
f. SARAN
a) Monitoring tanda vital pasien.
b) Monitoring kondisi pasien.
c) Monitoring penggunaan obat pasien.
d) Monitoring efek dari terapi obat pasien.
e) Monitoring volume urine pasien yang keluar
f) Lakukan pemeriksaan laboratorium terhadap urin secara
berkala
XW.
XX.
XY.
XZ.
YA.
YB.
YC.
YD.
YE.
YF.
41
YG.
YH.
YI.
YJ. DAFTAR PUSTAKA
YK.
YL. AHFS. 2011. AHFS Drug Information. Bethesda: American
Society of Health. System Pharmacists.
YM. Behrman, N. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.
YN. Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia III.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
YO. IDAI. 2002. Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idioapatik pada
Anak. Jakarta: Baan Penerbit IDAI.
YP. Pais, P., Avner, E., 2011, Nephrotic syndrome, dalam
Kliegman, R., Behrman, R., Jenson, H., Stanton, B., St.Geme
JW III , dan chor, N. (Editor), Nelson Textbook of Pediatrics:
Philadelphia, Saunders Elsevier
YQ. Rasheed Gbadegesin dan William E. Smoyer. 2008.
Nephrotic Syndrome dalam Comprehensive Pediatric
Nephrology, Edited by Denis F. Geary, MB. United Kingdom:
Elsevier Inc
YR. Whaley dan Wong. 2003. Pedoman Klinis Pediatri Edisi 4.
Jakarta: EGC
YS.
YT.
42