Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
Skmarina Hanna Larose Simanjuntak (123307111)
Pembimbing :
dr. Brama Ihsan Sazli, Sp.PD
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi kekuatan dan
kesempatan kepada penulis, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan waktu yang di
harapkan walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana, dimana makalah ini membahas
tentang PENYAKIT DENGUE HEMORRAGIC FEVER (DHF) dan kiranya makalah
ini dapat meningkatkan pengetahuan kita khususnya tentang bagaimana dan apa bahaya dari
penyakit DHF.
Dengan adanya makalah ini, mudah-mudahan dapat membantu meningkatkan minat
baca dan belajar teman-teman. Selain itu penulis juga berharap semua dapat mengetahui dan
memahami tentang materi ini, karena akan meningkatkan mutu individu kita.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih sangat minim,
sehingg saran dari dosen pengajar serta kritikan dari semua pihak masih penulis harapkan
demi perbaikan laporan ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN....................................................................................................1
STATUS PASIEN................................................................................................................19
FOLLOW UP......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................32
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diastesis
hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hemotokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.2
2.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asama ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.2
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1,DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.2 Meskipun keempat
serotipe antigen tersebut mirip, tapi ada perbedaan yang cukup sehingga menimbulkan
proteksi silang untuk beberapa bulan setelah infeksi dari salah satu serotipe. Infeksi dengan
salah satu serotipe memberikan imunitas seumur hidup terhadap serotipe tersebut.3
Virus dengue terdiri atas 3 struktur protein gen yang menyusun nukleokapsid dari
protein inti virus, yaitu protein membran (M), protein kapsul (E) dan tujuh protein non-
struktural (NS) NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A dan NS5. Fungsi dari seluruh protein NS
belum diketahui, tetapi protein NS1 terbukti berinteraksi dengan sistem imun host, dan
menyebabkan respon T-sel. Pada infeksi virus dengue, jika diperoleh sejumlah protein NS1 di
darah, bisa digunakan sebagai penanda diagnostik infeksi.3
Aedes (Stegomyia) aegypti (Ae. Aegypti) dan Aedes (Stegomyia) albopictus (Ae.
Albopictus) adalah dua vektor yang paling penting dalam penularan virus dengue.4
2.3 Epidemiologi
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada
tahun 1953. Pada tahun 1958 terjadi epidemi peyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958
penyakit ini diaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain di Asia
2
Tenggara, diantaranya di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon (1965) yang
disebabkan virus dengue tipe 2, dan Calcutta (1963) dengan virus dengue tipe 2 dan
chikungunya berhasil diisolasi dari beberapa kasus.1
Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi
konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Epidemi pertama di luar pulau Jawa
dilaporkan pada tahun 1992 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi
tara dan Barat. Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia.
Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Sejak
tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968)
menjadi 8,14 (1973), 8,6 (1983), dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19
per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang.1
Di Indonesia, jumlah kasus DBD terus bertambah dari tahun 2000 hingga 2009,
dengan puncaknya pada tahun 2007 dan 2009. Jumlah dan penyebaran kasus DBD tahun
2000-2009 dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 2.1. Jumlah dan Persebaran Kasus DBD Tahun 2000-2009 di Indonesia
Jumlah % Jumlah %
Provinsi Kab/Kota
Tahun Kasus Provins Provinsi Kab/Kot Kab/Kota
Terjangkit Terjangkit
i Terjangkit a Terjangkit
2000 33.443 26 25 96 341 231 68
2001 45.904 30 30 100 353 265 75
2002 40.377 30 29 97 391 264 68
2003 52.500 30 29 97 440 266 60
2004 79.462 33 29 88 440 334 76
2005 95.279 33 32 97 440 326 74
2006 114.656 33 32 97 440 330 75
2007 158.115 33 32 97 465 361 78
137.46
2008 33 32 97 485 355 73
9
158.91
2009 33 32 97 497 382 77
2
Sumber: Kemenkes RI 2010
2.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.2
3
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection) dan hipotesis immune
enhancement.5
Healstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection
yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan
tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.2
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan ahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi
berbagai mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan
histamin yang mengakibatkan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi
melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran
plasma.2
4
virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc
reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.5
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue
(SSD) dan sindrom dengue diperluas.2
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi
dengue, yaitu: 6,7
1. Fase Demam
Pada awal perjalanan penyakit, penderita DBD bisa hadir seperti DD, tetapi mereka
juga mungkin memiliki hepatomegali tanpa ikterus (nanti di Tahap demam).
Manifestasi perdarahan yang terjadi dalam perjalanan awal DBD paling sering terdiri
dari manifestasi perdarahan ringan seperti di DD. Kurang umum seperti epistaksis,
perdarahan gusi, atau perdarahan gastrointestinal terjadi saat pasien masih demam
5
(perdarahan gastrointestinal dapat dimulai pada saat ini, tetapi umumnya tidak
menjadi jelas sampai melena ditemukan kemudian). Viremia dengue biasanya
tertinggi di pertama tiga sampai empat hari setelah onset demam tapi kemudian jatuh
dengan cepat ke tingkat tidak terdeteksi selama beberapa hari ke depan. Tingkat
viremia dan demam biasanya mengikuti satu sama lain erat, dan anti-dengue IgM
antibodi meningkatkan dan demam mereda. 6,7
6
diserap. Indikator menunjukkan bahwa pasien memasuki Tahap Convalescent
termasuk rasa baik yang dilaporkan oleh pasien, kembalinya nafsu makan,
menstabilkan tanda-tanda vital (melebar tekanan nadi, denyut nadi teraba kuat),
bradycardia, kadar hematokrit kembali normal, peningkatan output urin, dan
penampilan dari karakteristik pemulihan ruam Dengue (yaitu, konfluen kadang-
kadang gatal, ruam petekie dengan beberapa pulau-pulau bulat kecil kulit tidak
terpengaruh). Pada titik ini, perawatan harus dilakukan untuk mengenali tanda-tanda
yang menunjukkan bahwa volume intravaskular telah stabil (yaitu, bahwa kebocoran
plasma telah dihentikan) dan reabsorpsi telah dimulai. Memodifikasi tingkat dan
volume cairan intravena (dan sering kali menghentikan cairan infus sama sekali)
untuk menghindari kelebihan cairan sebagai cairan extravasated kembali ke
kompartemen intravaskular penting. 6,7
7
2.6 Diagnostik dan Pemeriksaan Penunjang
8
2.6.3 Sindrom Syok Dengue
Kriteria DBD seperti di atas dengan tanda-tanda syok termasuk:
Takikardi, ekstremitas dingin, penundaan pengisian kapiler, nadi lemah, letargi,
sebagai penanda adanya perfusi otak yang menurun
Tekanan nadi 20 mmHg dengan peningkatan tekanan diastolik, misalnya 100/80
mmHg
Hipotensi berdasarkan usia, dengan tekanan sistolik <80 mmHg untuk usia <5
tahun atau 80-90 untuk anak yang lebih besar dan dewasa. 4
Tabel 2.2 Klasifikasi WHO untuk Infeksi Dengue dan Derajat Keparahan Demam
Berdarah Dengue
Deraja
DD/DHF Gejala dan Tanda Laboratorium
t
DD Demam diikuti dengan 2 hal Leukopenia (5000 sel/mm3)
sbb: Trombositopenia (<150.000
sel/mm3)
Sakit kepala
Peningkatan hematokrit (5%-
Nyeri retro-orbital
Mialgia 10%)
Atralgia/nyeri tulang Tidak ada bukti kehilangan
Ruam plasma
Manifestasi perdarahan
Tidak ada bukti
kebocoran plasma
9
nadi yang tidak terukur
#
: DBD derajat III dan IV disebut juga SSD
Sumber: WHO, IPD
10
Pendekatan terhadap penatalaksanaan klinis demam dengue bisa sangat bervariasi
bergantung pada derajat keparahan dari penyakit. Pasien dengan demam tanpa tanda bahaya
atau komplikasi bisa ditangani dengan penatalaksanaan simptomatik. Pasien dengan tanda
bahaya harus diawasi ketat sepanjang perjalanan penyakitnya.4
Gambar 2.3 Skema Triase Pasien DD/DBD di Rumah Sakit (WHO, 2011)
2.7.1 Triase
Pada triase yang dilakukan adalah:
a. Riwayat lama demam dan tanda bahaya atau pasien resiko tinggi
Tanda kegawatan (warning signs) dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan
penyakit infeksi dengue, seperti berikut.
a. Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa
transisi ke fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
b. Muntah yg menetap, tidak mau minum
c. Nyeri perut hebat
d. Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
e. Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi
yang hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
f. Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
g. Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
h. Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam
b. Lakukan uji torniquet
11
c. Periksa vital signs, termasuk temperatur, tekanan darah, laju nadi, laju pernapasan
dan perfusi perifer dengan cara palapasi volume nadi, temperatur dan warna
ekstremitas, dan waktu pengisian kapiler. 4
Prinsip umum dalam pemberian terapi cairan IV pada pasien DBD adalah sebagai
berikut:
b.1 Cairan kristaloid isotonik harus diberikan sepanjang fase kritis kecuali pada anak<6
bulan dimana NaCl 0,45% bisa digunakan
b.2 Cairan koloid hiperonkotik (osmolaritas >300 mOsm/l) seperti dextran 40 atau
cairan starch bisa digunakan pada pasien dengan perdarahan masif, atau pasien yang
tidak respon terhadap volume minimum kristaloid.
12
b.3 Volume rumatan sekitar +5% dehidrasi harus diberikan untuk mempertahan volume
intravaskular dan sirkulasi.
b.4 Durasi pemberian cairan seharusnya tidak melebihi 24 hingga 48 jam pada pasien
dengan syok. Tetapi, pasien tanpa syok, durasi pemberian cairan bisa menjadi lebih
panjang tetapi tidak melebihi 60 sampai 72 jam.
b.5 Pada pasien obesitas, berat badan ideal harus digunakan sebagai panduan untuk
menghitung volume cairan.
b.6 Kecepatan cairan seharusnya disesuaikan dengan situasi klinis. Kecepatan infus
berbeda antara anak dengan dewasa.
b.7 Transfusi platelet tidak direkomendasikan untuk trombositopenia (tidak boleh
transfusi platelet profilaksis). Transfusi boleh dipertimbangkan pada dewasa dengan
hipertensi dan trombositopenia sangat berat (kurang dari 10.000 sel/mm3). 4
13
c. Penatalaksanaan pasien dengan tanda bahaya
Penting sekali untuk memastikan apakah tanda bahaya dikarenakan SSD atau sebab
lain seperti gastroenteritis akut, refleks vasovagal, hipoglikemia, dll. Adanya trombositopenia
adalah bukti dari kebocoran plama seperti peningkatan hematokrit dan efusi pleura
membedakan DBD/SSD dari sebab lain. Kadar glukosa darah dan tes laboratorium lain bisa
diindikasikan untuk menemukan penyebab tanda bahaya. 4
Pada umumnya, pemberian cairan (oral +IV) berkisar pada pemberian cairan
rumatan (untuk satu hari) + 5% defisit (oral dan IV secara total), diberikan selama 48 jam.
Laju penggantian IV disesuaikan dengan laju kehilangan plasma, disesuaikan dengan kondisi
klinis, tanda vital, urine output, dan kadar hematokrit. 4
SSD adalah syok hipovolemmik yang disebabkan oleh kebocoran plasma dan
ditandai dengan peningkatan resistensi sistem vaskular, bermanifestasi pada tekanan nadi
yang menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan peningkatan tekanan diastolik). Saat
terjadi hipotensi, harus dicurigai adanya perdarahan hebat, dan seringnya berupa perdarahan
gastrointestinal yang terselubung. 4
Harus diketahui bahwa resusitasi cairan pada SSD berbeda dengan tipe syok lain.
Kebanyakan kasus SSD akan respon terhadap pemberian cairan 10 ml/kg pada anak-anak
atau 300-500 ml selama 1 jam pada dewasa dengan cara bolus, jika diperlukan. Sebelum
penurunan laju kecepatan IV, kondisi klinis, tanda-tanda vital, urine output, dan kadar
hematokrit harus dicek untuk memastikan perbaikan klinis. 4
14
Gambar 2.4 Skema Penatalaksanaan Pasien Syok: DBD Derajat III (WHO, 2011)
Resusitasi cairan inisial pada DBD derajat IV lebih besar agar pengembalian tekanan
darah bisa lebih cepat dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sesegera mungkin
untuk ABC dan organ-organ yang terlibat. Sepuluh ml/kg bolus cairan harus diberikan
secepat mungkin, biasanya dalam 10-15 menit. Ketika tekanan darah kembali, cairan
intravena lebih lanjut disesuaikan dengan derajat 3. Jika syok tidak tertangani setelah
pemberian 10 ml/kg, ulangi pemberian bolus 10 ml/kg dan hasil laboratorium harus
sudah diperoleh dan dikoreksi sesegera mungkin. Transfusi darah urgensi harus
dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah menilai kadar Ht pre resusitasi) dan
diikuti dengan pengawasan ketat, contohnya katerisasi, pemasangan CVC atau infus arteri. 4
Harus dicatat bahwa pengembalian tekanan darah sangat penting terhadap
keberlangsungan pasien dan jika hal ini tidak dapat dicapai dengan segera, maka prognosis
bisa sangat buruk. Obat inotropik bisa digunakan untuk menjaga tekanan darah, jika
penggantian volume telah dipertimbangkan cukup, misalnya dinilai dari tingginya CVP, atau
pasien kardiomegali atau memiliki riwaya kontraktilitas jantung yang buruk. 4
15
Jika tekanan darah dikembalikan setelah resusitasi cairan dengan atau tanpa transfusi
darah, dan perburukan organ terjadi, pasien harus dirawat dengan baik dengan pengobatan
suportif yang spesial. Jika akses intravena tidak bisa dilakukan dengan cepat, coba dengan
pemberian cairan elektrolit oral jika pasien sadar atau dengan rute intraoseous jika pasien
tidak sadar. Akses intraoseous bisa menyelamatkan jiwa dan harus dilakukan setelah 2-5
menit atau setelah dua kali gagal akses vena perifer atau setelah gagal rute oral. 4
Jika sebab perdarahan telah diketahui, coba untuk hentikan perdarahan jika
memungkinkan. Epistaksis hebat, contohnya bisa ditangani dengan tampon hidung. Transfusi
darah cepat penting untuk menyelamatkan jiwa dan seharusnya tidak ditunda sampai kadar Ht
turun menjadi kadar yang rendah. Jika kehilangan darah bisa dihitung, harus segera
digantikan. Namun, jika tidak bisa dihitung, alikuot dari 10 ml/kg whole blood atau 5 ml/kg
packed red cell harus ditransfusikan dan responnya dievaluasi. Pasien mungkin
membutuhkan satu atau lebih alikuot. Pada perdarahan gastrointestinal, H-2 antagonis dan
PPI bisa digunakan, tapi tidak ada bukti yang menunjukkan efikasinya. Tidak ada bukti yang
mendukung penggunaan komponen darah seperti konsentrat platelet, fresh frozen plasma atau
cryoprecipitate. Penggunaanya bisa menyebabkan pemberian cairan berlebihan. Rekombinan
faktor 7 bisa berguna pada pasien tanpa gagal organ, tetapi harganya sangat mahal dan
biasanya tidak tersedia. 4
Pasien obesitas memiliki cadangan respirasi yang kurang dan perawatan harus
menghindari infus cairan intravena yang berlebihan. BBI harus digunakan untuk menghitung
resusitasi cairan dan koloid harus dipertimbangkan pada tahap awal terapi cairan. Setelah
stabil, furosemide bisa diberikan untuk memicu diuresis. 4
Anak juga memiliki cadangan respirasi yang lebih sedikit dan lebih mudah
mengalami gangguan hati dan ketidakseimbangan elektrolit. Anak-anak mengalami durasi
kebocoran plasma lebih pendek dan biasanya cepat untuk merespon resusitasi cairan. Karena
itu, anak-anak harus dievaluasi lebih sering asupan cairan oral dan urine output nya. 4
Insulin intravena biasanya diperlukan untuk mengontrol kadar gula darah pasien
dengue dengan DM. Cairan kristaloid tanpa gula sebaiknya digunakan. 4
16
Wanita hamil dengan dengue sebaiknya diawasi secara intens. Diperlukan perawatan
bersama antara obstetrik, penyakit dalam dan pediatrik. Jumlah dan kecepatan cairan IV sama
dengan wanita tidak hamil, menggunakan berat sebelum hamil sebagai pengukuran. 4
Pasien dengan hipertensi bisa saja sedang menjalani terapi anti-hipertensi yang
menutupi respon kardiovaskular dalam syok. Nilai harian tekanan darah pasien harus
dipertimbangkan. 4
Terapi antikoagulan harus dihentikan sementara selama fase kritis. 4
Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: pasien-pasien ini memiliki resiko
hemolisis akan membutuhkan transfusi darah. Hati-hati dalam pemberian cairan dan
alkalinisasi, yang akan menyebabkan cairan berlebih dan hipokalemia. 4
Penyakit jantung iskemik dan penyakit jantung kongenital: terapi cairan harus lebih
hati-hati karena mengalami penurunan kemampuan jantung. Pada pasien dengan terapi
steroid, terapi steroid bisa dilanjutkan, tetapi rute pemberian diubah. 4
Fase penyembuhan bisa diketahui dari perkembangan parameter klinis, selera makan
dan keadaan umum secara keseluruhan. Status hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik
dan tanda vital harus diobservasi. Pengembalian Ht ke nilai normal atau lebih rendah dan
dieresis biasanya diamati. Maka cairan intravena sebaiknya dihentikan. 4
Pada pasien dengan efusi masif dan ascites, kondisi hipervolemia bisa terjadi dan
terapi diuretik dibutuhkan untuk mencegah edema paru. Hipokalemia bisa terjadi karena stres
dan diuresis dan harus dikoreksi dengan buah-buahan kaya kalium atau suplemen. Bradikardi
biasanya umum terjadi dan membutuhkan perawatan intens karena adanya komplikasi yang
mungkin tapi jarang seperti heart block atau ventricular premature contraction (VPC). Ruam
konvalesens ditemukan pada 20-30% pasien. 4
17
2.7.4 Kriteria pasien pulang
a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
b. Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal
akut.
c. Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading
pemberian cairan pada masa perembesan plasma.
d. Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan
hebat (DIC, kegagalan organ multipel).
e. Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok
berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai.4,6
18
19
STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama : Restueli Waruwu
Umur : 20 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Tanggal MRS : 14 Januari 2017
Alamat : Jln. Baru Bakal Tualang Timur
ANAMNESA
Autoanamnesa / Alloanamnesa
Keluhan Utama : Demam
Telaah :
Os dibawa ke IGD RS Royal Prima dengan keluhan demam dan kejang. Pada
hari Sabtu pagi, demam dialami os dari malam sebelumnya, sudah dibawa ke IGD RS
Royal Prima, tetapi tidak dirawat inap, hanya mendapat obat Paracetamol tablet 500
mg dan Antasida syrup. Os juga sudah meminum Bodrex 1 tablet, tetapi demam tidak
kunjung turun. Os kemudian di bawa kembali ke IGD RS Royal Prima karena demam
diikuti oleh kejang. Kejang berlangsung selama beberapa menit, riwayat penyakit
epilepsi disangkal, kaku kuduk (-). Selain itu, os juga mengeluhkan nyeri sendi
seluruh tubuh, badan terasa lemas, keringat dingin, pusing dan sakit kepala, dirasakan
oleh os dimulai dari timbulnya demam, yaitu 1 hari sebelumnya. Sesak napas (-),
batuk pilek (-), BAB (+) dengan konsistensi keras diikuti oleh cair, berwarna kuning,
darah (-). BAK (+) berwarna kuning, darah (-). Gusi berdarah (-), epistaksis (+)
dengan volume sangat sedikit, batuk darah (+). Batuk darah berupa percikan, dialami
oleh Os sebanyak 3x sebelum dibawa ke RS. Selera makan (+), minum kurang. Os
mengatakan tinggal di sebuah kos, tidak ada teman kos yang mengalami hal yang
serupa, tetapi os mengaku bahwa lingkungan kos kurang bersih. Os memiliki riwayat
KDS sewatu usia 6 bulan, dialami sebanyak 1 x, dibawa oleh orangtua os ke RS, dan
tidak pernah terjadi lagi.
20
Riwayat Penyakit Keluarga :-
Habitualis :-
PEMERIKSAAN FISIK
TANDA VITAL
Kesadaran : CM GCS : 15
TD : 110/90 RR : 22 x/menit
HR : 100 x/menit T : 40 0C
Berat Badan : 60 TB : 170 cm
Status Gizi : Normoweight BBI : 63 kg
STATUS GENERALIS
1. Kepala : Normocephalic
21
- Belakang
Inspeksi : Simetris fusiformis, petechiae (+)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : SP: Vesikuler (+/+) di seluruh lapangan paru
ST : -
9. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Normal, Desah (-)
10. Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, ascites (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+), normal
Palpasi : Soepel
Nyeri tekan (+) di epigastrium
Perkusi : Timpani
12. Ekstremitas
Superior : Oedem (-/-) , Akral dingin (+/+), Rumple leed test (+),
petechieae (+/+)
Inferior : Oedem (-/-) , Akral dingin (+/+), petechiae (+/+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Lengkap / hari
2. IgG dan IgM anti dengue
3. Tubex
4. IgG dan IgM chikungunya
22
DIAGNOSIS BANDING
1. Dengue Hemorrhagic Fever
2. Demam Tifoid
3. Chikungunya
IMMUNOSEROLOGI INFECTION
No Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Metode
.
1 Ig M Salmonella Positive Skala 6 - <=2 : -
Thypii Negative,
3:
Boderline
(diperluka
n test
serial), 4 -
5:
Positive
Lemah, 6 -
10
23
:Positive
Kuat
TERAPI :
1. Bed rest
2. Diet makanan lunak
24
Follow Up
Tanggal S O A P
17 Januari Demam (-), BAB (+) KU : CM DHF 1. Bed rest
2017 N, BAK (+) N, TD : 110/90 2. Diet makanan lunak
Lemas (-), Akral mmHg 3. IVFD RL 20 gtt/i.
hangat, basah, batuk HR : 80x/mnt 4. Paracetamol 500 mg tab
darah (+), berupa RR : 22x/mnt (K/P)
percikan, epistaksis T : 36,2 5. Inj. Ranitidin 50 mg/12
(+). Nyeri jam
epigastrium (+),
petechiae (+) di
tangan, kaki dan
punggung.
25
punggung.
26
2 Leukosit 4390 /mm3 5.000 - 11.000
3 Laju Endap Darah 3 mm/jam 0 - 20 .
4 Trombosit 17000 /mm3 150000 - 450000 -
5 Hematocrit 46.2 % 30.5 - 45.0 -
6 Eritrosit 5.53 10^6/mm3 4.50 - 6.50 -
7 MCV 83.4 fL 75.0 - 95.0 -
8 MCH 28 pg 27.0 - 31.0 .
9 MCHC 33.6 g/dl 33.0 - 37.0 .
10 RDW 13.1 % 11.50 - 14.50 .
11 PDW 62.1 fL 12.0 - 55.0 .
12 MPV 10.7 fL 6.50 - 9.50 .
13 PCT 0.02 % 0.100 - 0.500 .
14 Hitung Eosinofil 4.2 % 1-3 .
Jenis Basofil 1.7 % 0-1 .
Lekosit Monosit 6.1 % 2-8 .
Neutrofil 15.4 % 50 - 70 .
Limfosit 39.7 % 20-40 .
LUC 32.9 % 0-4
27
Lekosit Monosit 6 % 2-8 .
Neutrofil 17.6 % 50 - 70 .
Limfosit 46.7 % 20-40 .
LUC 24 % 0-4
Pasien PBJ
28
BAB 3
DISKUSI KASUS
Teori Kasus
Gejala Klinis: Keluhan os:
Pada awal perjalanan penyakit, penderita DBD bisa Demam (+), epistaksis (+), bintik
hadir seperti DD, tetapi mereka juga mungkin merah di puggung dan ekstremitas
memiliki hepatomegali tanpa ikterus (nanti di Tahap superior-inferior. Batuk darah (+),
demam). Manifestasi perdarahan yang terjadi seperti perdarahan gastrointestinal (-)
epistaksis, perdarahan gusi, atau perdarahan
gastrointestinal terjadi saat pasien masih demam.
Fase kritis:
Ketika demam mereda, pasien memasuki masa risiko
tertinggi untuk timbul manifestasi kebocoran plasma
dan perdarahan. Dilihat bukti perdarahan dan
kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan perut Hasil Pemeriksaan DL:
Bukti kebocoran plasma termasuk peningkatan Peningkatan Ht 20% dari
mendadak dalam hematokrit (kenaikan 20% dari baseline (+), ascites dan efusi
baseline), adanya asites, efusi pleura baru pada sisi pleura (-)
dada , atau albumin serum rendah atau protein untuk
usia dan jenis kelamin.
Diagnosis Diagnosis
1. Gejala Klinis DBD 1. Gejala klinis
Memiliki gejala sebagai berikut : Memiliki gejala berikut:
Onset demam yang akut berlangsung dua sampai tujuh Onset demam 2 hari (+)
hari Manifestasi perdarahan:
Manifestasi perdarahan. batuk darah, epistaksis,
Hitung trombosit 100.000 sel/mm3
Adanya bukti kebocoran plasma yang objektif petechiae (+)
Trombosit 100.000 sel/mm3
disebabkan oleh permeabilitas vaskular yang
(+)
meningkat, yang ditunjukkan dengan: Pada hari ke III : 52.000
Peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi 20%
sel/mm3
dari nilai dasar atau penurunan dari nilai normal, Bukti kebocoran plasma
atau bukti kebocoran plasma seperti efusi pleura,
objektif: Ht 20% (+)
ascites atau hipoproteinemia/albuminemia
29
dilakukan
Penatalaksanaan Penatalaksanaan
1. Triase 1. Triase
a. Riwayat lama demam dan tanda bahaya atau a. Riwayat lama demam > 3
pasien resiko tinggi hari (-), tanda bahaya:
Tanda kegawatan (warning signs) dapat a. Nyeri perut (+)
b. Epistaksis (+)
terjadi pada setiap fase pada perjalanan
c. Giddiness (+)
penyakit infeksi dengue, seperti berikut. d. Tangan-kaki dingin dan
a. Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat
lembab (+)
sebelum atau selama masa transisi ke fase b. Uji torniquet dilakukan, hasil
bebas demam / sejalan dengan proses (+)
c. Vital signs:
penyakit
TD = 120/70
i. Muntah yg menetap, tidak mau minum
RR = 22 x/menit
j. Nyeri perut hebat
HR = 100 x/menit
k. Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah
T = 100C
laku mendadak
l. Perdarahan: epistaksis, buang air besar
hitam, hematemesis, menstruasi yang hebat,
warna urin gelap
(hemoglobinuria)/hematuria
m. Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
n. Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
o. Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam
b. Lakukan uji torniquet
c. Periksa vital signs, termasuk temperatur, tekanan
darah, laju nadi, laju pernapasan dan perfusi BBI os = 60 kg
perifer dengan cara palapasi volume nadi, Maka, kebutuhan rumatan = 1500
temperatur dan warna ekstremitas, dan waktu + (40 x 20) = 2300 ml/24 jam
pengisian kapiler. Defisit 5% = 50 x BBI = 50 x 60
2. Penatalaksanaan pasien DBD Derajat I, II
= 3000 ml
Pada umumnya, pemeberian cairan (oral +IV)
Maka jumlah cairan yang
berkisar pada pemberian cairan rumatan (untuk satu
diberikan adalah 5300 ml dalam
hari) + 5% defisit (oral dan IV secara total), diberikan
48 jam. Kecepatan tetesan = 36
selama 48 jam. Laju penggantian IV disesuaikan
tetes/menit.
dengan laju kehilangan plasma, disesuaikan dengan
kondisi klinis, tanda vital, urine output, dan kadar
Pada os yang dilakukan:
hematokrit.
1. KU os baik, selera makan (+),
muntah (-), perdarahan:
30
epistaksis dan batuk darah (+)
3. Pengawasan pasien fase kritis 2. Perfusi perifer: akral hangat,
Yang harus diperhatikan adalah: basah, CRT < 2 detik
3. Vital sign dilakukan setiap hari
1. Kondisi umum, selera makan, muntah,
4. Hematokrit serial dilakukan
perdarahan dan tanda atau gejala lain
setiap 24 jam
2. Perfusi perifer bisa diperhatikan sesering
5. Urine output tidak dicatat,
mungkin
tetapi dari anamnesis diketahui
3. Tanda vital seperti temperatur, denyut nadi,
BAK (+), dengan warna
laju pernapasan dan tekanan darah harus dicek
kuning hingga cerah, darah (-).
setiap 2-4 jam pada pasien tanpa syok dan 1-2
jam pada pasien syok.
4. Hematokrit serial dilakukan setidaknya setiap
4-6 jam pada kasus yang stabil dan harus lebih
sering dilakukan pada pasien tidak stabil atau
pada pasien yang dicurigai mengalami
perdarahan.
5. Urine output harus dicatat setidaknya setiap 8-
12 jam pada kasus tanpa komplikasi dan setiap
jamnya pada pasien dengan syok
berat/berkepanjangan atau pasien dengan
Tanda-tanda fase pemulihan yang
pemberian cairan berlebih.
dialami os adalah:
4. Fase penyembuhan a. Nadi, tekanan darah dan laju
Tanda-tanda pasien DBD mengalami pernapasan stabil (+)
b. Suhu tubuh normal (+)
pemulihan adalah sebagai berikut:
c. Batuk darah dan epistaksis
a. Nadi, tekanan darah dan laju pernapasan stabil
berhenti (+)
b. Suhu tubuh normal
d. Nafsu makan membaik (+)
c. Tidak ada bukti perdarahan internal maupun
e. Tidak ada muntah dan nyeri
eksternal
perut (+)
d. Kembalinya nafsu makan
f. Urine output baik (+)
e. Tidak ada muntah, tidak ada nyeri perut
g. Ruam konvalesens (+), rasa
f. Urine output baik
g. Hematokrit stabil dan dalam batas normal gatal (-)
h. Ruam petekie konvalesens atau rasa gatal,
terutama di ekstremitas
Kriteria pulang os:
a. Tidak ada demam (+)
5. Kriteria pasien pulang b. Nafsu makan kembali (+)
a. Tidak ada demam setidaknya 24 jam setelah c. Perbaikan klinis (+)
d. Urine output baik (+)
penghentian antipiretik
31
b. Kembalinya nafsu makan e. Tidak ada fase syok
c. Perbaikan klinis terlihat f. Tidak ada efusi pleura
d. Urine output memuaskan g. Jumlah trombosit 91.000
e. Sedikitnya 2-3 hari setelah penyembuhan dari
sel/mm3
fase syok
f. Tidak ada sesak dari efusi pleura dan tidak ada
ascites
b. Jumlah trombosit lebih dari 50.000/mm3. Jika
tidak, pasien diminta untuk menghindari
aktivitas yang bisa menyebabkan trauma
setidaknya selama 1-2 minggu hingga trombosit
kembali normal. Pada kebanyakan kasus tanpa
komplikasi, jumlah trombosit kembali normal
dalam 3-5 hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela
Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kemenkes RI
2. A.W. Sudoyo ed. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Departemen Ilmu
Penykit Dalam FKUI.
3. Government of India. WHO official office of India. 2015. National Guidelines for
Clinical Management of Dengue Fever. New Delhi: Government of India
4. World Health Organization. Regional Office for South-East Asia. 2011. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.
Revised and expanded edition. India: WHO
5. Khie Chen, Herdiman Pohan, Robert Sinto. 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. Dalam: Medicinus. Scientific Journal of Pharmaceutical
Development and Medical Application. Jakarta: Dexa Medica
6. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance. Updated 2010
Sept 1. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
7. World Health Organization. 2009. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. New edition. Perancis: WHO
32