You are on page 1of 9

Tatalaksana TB Pada Anak

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid
(H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid
merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin,
mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin,
yang digunakan jika terjadi MDR.
Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat
efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang
diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam
seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan
kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak
dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS
dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid
dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat
daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari
pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat
menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak
membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis
perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan
frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang
menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak
terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian
obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi

1
karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin
dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2
jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari. Jika
diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15
mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan
isoniazid.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata,
menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang
biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik.
Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko
hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid
menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan
trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan
dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin,
teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya
tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai
digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan
dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan
diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-
30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 g/ml
dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat
baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih

2
sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa
yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout
akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang
terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran
cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam
bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan
makanan.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan
dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat
ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol
adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum
puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan
500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian
oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP,
demikian juga pada keadaan meningitis.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol
tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna
merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat
diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai
penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis
15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler
pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman
intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi
penggunaannya penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan
MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 g/ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak
dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada

3
jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat
ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak
menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII
yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga
berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat
menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita
hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita
tuli berat.

Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek Samping


(mg/kgBB/hari) (mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

*Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu
bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut
kosong (satu jam sebelum makan.

Gambar 17. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya

Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama)
dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada
fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau
lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan
ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa
, OAT diberikan pada anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal
ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi

4
jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar
kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase
intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan
hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier,
meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal
empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau
streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan.
Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan
dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering
off selama 2-4 minggu.

2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan

Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid

Etambutol
Streptomisin
Prednison

Gambar 18. Paduan Obat Antituberkulosis


Evaluasi hasil pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan
setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit
dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED.
Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya
kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan
berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain.
Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.

5
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara
rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier,
efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks
perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi
pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap
darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya
tinggi.
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak
terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih
lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis,
mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana
kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan
paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan
dosis OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta,
serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis,
pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak
perlu dilakukan secara rutin.
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi
persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan
mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih
dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang
tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6 bulan.
Evaluasi efek samping pengobatan
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup
sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping
yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak
melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari
dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-
Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase
(SGPT) hingga 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan
gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT

6
dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan
muntah.
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang
terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan
perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase
yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa
penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan 5 kali tanpa gejala, atau 3 kali batas
normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau
penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat pentingnya rifampisin dalam
paduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan
keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan
dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.
Apabila peningkatan enzim transaminase 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas
normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim
transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali
apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara
memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan
harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas
dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung
secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.
Putus obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama 2 minggu.
Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien
datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah
terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.
Multi Drug Resistance (MDR) TB
Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap
dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin.
Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan
pengobatan. Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap
OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT
yaitu pemakaian obat tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk
pencampuran obat yang tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan
menelan obat.

7
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat
tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi
diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan
MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai
MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB
tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian
yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse
(DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja.

Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis Lini Pertama


Obat Dosis Harian Dosis Efek Samping
(mg/kgBB/hari) Max
(mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim
hati, cairan tubuh berwarna orange
Pirazinamid 15-30 2000 kemerahan

Etambutol 15-20 1250 Toksisitas hepar, artralgia,


gastrointestinal

Neuritis optik, ketajaman mata


Streptomisin 15-40 1000 berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal

Ototoksik, nefrotoksik
* Bila INH dikombinasi dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabitias rifampisin

8
Tabel 4. Dosis OAT Kombinasi pada TB anak
Berat Badan 2 Bulan 4 Bulan
(kg) RHZ (75/50/150 mg) RH (75/50 mg)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Catatan:
Bila BB 33 kg dosis disesuaikan dengan Tabel 2 (perhatikan dosis maksimal)
Bila BB <5 kg sebaiknya dirujuk ke RS
Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah)

DAFTAR PUSTAKA

1. Tuberculosis: http://www.emedicine.com/ped/topic2321.htm
2. Kementrian kesehatan Republik Indonesia : Petunjuk Teknis Manajemen Dan
Tatalaksana TB pada Anak, Indonesia : Kemenkes RI, 2016

You might also like