You are on page 1of 23

Case Report Session

GENERAL ANESTESI PADA FRAKTUR HUMERUS DEXTRA


TERBUKA

OLEH

Nabila Arifah 1310311111

PRESEPTOR
dr. Nasman Puar, Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan
umumnya dikarenakan rudapaksa. Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut pandang dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas pada tulang. Penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti degenerative dan osteoporosis
dapat berpengaruh terhadap terjadinya fraktur.
Anastesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesdaran
yang bersifat reversible. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: hipnotik, analgesia,
dan relaksasi otot.
Dalam melakukan tatalaksana penanganan fraktur diperlukan tindakan anestesi.
Teknik anestesi yang sering dipilih adalah general anestesi. Pemilihan zat jenis anestesi
selama operasi sangat penting untuk melihat dampak selama operasi dan setelah operasi.
1.2 Batasan Masalah
Case report session ini membahas tentang evaluasi pre, intra dan post operatif dalam
teknik general anestesi yang digunakan.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan case report session ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca mengenai general anestesi.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan case report session ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang
merujuk kepada berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GENERAL ANASTESI

Anastesi (pembiusan) berasa dari bahasa yunani. An- tidak, tanpa dan

aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum bermakna suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anastesi umum

(general anastesi) disebut juga dengan nama narkose umum (NU). Anastesi umum

adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesdaran yang bersifat

reversible. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: hipnotik, analgesia,


dan relaksasi otot. Metode anestesi general dilihat dari cara pemberian obat:

Parenteral
Anestesi general yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun

intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk

induksi anestesi.
Perektal
Anestesi general yang diberikan perektal kebanyakan dipakai pada anak,

terutama untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.


Perinhalasi
Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan menggunakan gas ataucairan

anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika

melalui udara pernapasan.


Teknik pemberian anestesi general:
Napas spontan dengan face mask
Napas spontan dengan pipa endotrakea
Dengan pipa endotrakea dan napas kendali

1. Cara kerja obat anastesi


Apabila obat anastesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara

inspirasi masuk kedalam saluran pernapasan, didalam alveoli paru akan


berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula yang

disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke

dalam sirkulasi darah.


Setelah masuk kedalam sirkulasi darah obat tersebut akan meyebar

ke dalam jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh

darah seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih banyak

dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit seperti tulang

atau jaringan lemak.


Tergantung obatnya, didalam jaringan ssebagian akan mengalami

metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau jaringan lain. Ekskresi

bisa melalui ginjal, hepar, kulit, atau paru-paru. Ekskresi bisa dalam

bentuk asli atau hasil metabolismnya. N2O diekskresikan dalam bentuk

asli lewat paru.


Faktor yang mempengaruhi anastesi antara lain
a. Faktor respirasi (untuk obat inhalasi)
Sesudah obat anastesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan

mencapai tekanan parsial tertentu, makin tinggi konsentrasi zat

yang dihirup tekanan parsialnya makin tinggi. Perbedaan tekanan

parsial zat anastesi dalam alveoli dan dalam darah menyebabkan

terjadinya difusi. Bila tekanan dalam alveoli lebih tinggi maka

difusi terjadi dari alveoli kedalam sirkulasi dan sebaliknya difusi

terjadi dari sirkulasi kedalam alveoli bila tekanan aveoli lebih

rendah (keadaan ini terjadi bila pemberian obat anastesi

dihentikan). Makin tinggi perbedaan tekanan parsial makin cepat

terjadinya difusi.
Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang

antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada edem paru dan

fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveolar meningkat misalnya


pada nafas dalam maka obat inhalasi berdifusi lebih banyak dan

sebaliknya, pada keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada

depresi respirasi atau obstruksi respirasi

b. Faktor sirkulasi

Aliran darah paru menentukkan pengangkutan gas anastesi

dari paru kejaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh


darah paru makin sedikit obat yang dapat diangkut demikian juga

pada keadaan cardiac output yang menurun.


Blood gas partition coefisien adalah risiko konsentrasi zat

anastesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan

keseimbangan. Bila kelarutan zat anastesi dalam darah tinggi maka

obat yang berdifusi cepat larut dalam darah, sebaliknya obat yang

kelarutannya lebih rendah, maka cepat terjadi kesimbangan antara

alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur

waktu induksi dan mudah bangun waktu anastesi diakhiri.

c. Faktor jaringan
Yang menentukan antara lain :
Perbedaan tekanan parsial obat anastesi didalam sirkulasi darah
dan di dalam jaringan
Kecepatan metabolisme obat
Aliran darah dalam jaringan
Tissue/Blood patition coefisien

d. Faktor obat anastesi


Tiap-tiap zat anastesi mempunyai potensi yang berbeda.

Untuk mengukur potensi obat anastesi inhalasi dikenal adanya

MAC (minimal alveolar concentration). MAC adalah konsentrasi

obat anastesi inhalasi minimal apada 1 atm yang dapat mencegah

gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra maksimal


pada 50% pasien atau dapat diartikan sebagai konsentrasi obat

inhalasi dalam alveoli yang dapat mencegah respon terhadap insisi

pembedahan pada 50% individu. Makin rendah MAC makin tinggi

potensi obat anastesi tersebut.

2. Stadium Anastesi
Kedalaman anastesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi

anastesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita,

tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anastesi dinilai

berdasar tanda klinik yang didapat. Guedel membagai kedalaman anastesi

menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerkan bola mata, tanda

pada pupil, tonus otot.


a. Stadium 1
Disebut juga stadium analgesia atau stadium disorientasi. Dimulai

sejak diberikan anastesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini

operasi kecil bisa dilakukan.


b. Stadium 2
Disebut juga stadium derilium atau stadium eksitasi. Dimulai dari

hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita

bisa meronta-ronta, pernafasan ireguler, pupil melebar, reflex cahaya

positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot

meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah,

kadang-kadang kencing atau defekasi.


Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflex menelan dan kelopak

mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini

membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan

ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat,

persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat.


c. Stadium 3
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai
paralisis otot nafas. Dibagi menjadi 4 plana :
Plana I :
Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.

Ditandainya dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan

abdominal, gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, reflex cahaya

(+), lakrimasi meningkat, reflex faring, muntah menghilang, tonus otot

menurun.
Plana II :
Dari berhentinya gerkana bola mata sampai permulaan paralisa otot

intrakostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun

dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal,

bola mata berhenti, pupil mulai melebar, dan reflex cahaya menurun,

reflex korneamenghilang dan tonus otot makin menurun.


Plana III :
Dari permulaan paralisis otot intercostal. Ditandai dengan

pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal karena terjadi

paralisis otot intercostal, pupil makin melebar dan reflex cahaya

menjadi hilang, lakrimasi negative, reflex laring dan peritoneal

menghilang, tonus otot makin menurun


Plana IV :
Dari paralisa semua otot intercostal sampai paralisis diafragma.

Ditandai dengan paralisis otot intrakostal, pernafasan lambat, iregelur

dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis diafragma.

Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar,

reflex cahaya negative, reflex spincter ani negative.


d. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut

stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya

semua reflex, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti


dengan circulatory failure.

3. Cara memberikan
anastesi
a. Induksi
Pemberian anastesi dimulai dengan Merupakan tindakan untuk

membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga

memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung lama

operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup

dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman

anastesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus

dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan,

setelah tindakan selesai pemberian obat anastesi dihentikan dan fungsi

tubuh penderita dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery.


Persiapan induksi STATICS :
S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-Scope

T= Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)

A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring

(nasofaring) yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien

tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan napas

T =Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau

tercabut

I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea

mudah dimasukkan

C =Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia

S = Suction. Penyedot lendir dan ludah


1) Induksi Intravena

Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati, perlahan-

lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan

dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi,

pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan

selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang

kooperatif.

Jenis Induksi intravena:

- Tiopental (pentotal, tiopenton) (amp 500 mg atau 1000 mg)

sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai

kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk

intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan

dihabiskan dalam 30-60 detik.


Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan

menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,

anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran

darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda

dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah

bersifat anti-analgesi.

- Propofol (diprivan, recofol)

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu

bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan

intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik

sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.


Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan
dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak
dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
- Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,

hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat

menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi

buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi

midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan

dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias

diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.


Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10

mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml

= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).


- Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular,

sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan

kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil

dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1

mg/kg/menit.

2) Induksi intramuskular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan

secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5

menit pasien tidur.

3) Induksi inhalasi
- N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen

monoksida). Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi,


tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus

disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya


kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri

menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan

sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik

lain seperti halotan.


- Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan

anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan

analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.


Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya

tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,

depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks

baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan

menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula

darah.

- Enfluran (etran, aliran)


Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran

lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih

kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.

Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.

- Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.

Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat

dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga

isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.


Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,

sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak

digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.


- Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),

bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.

Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang

jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi

anestesi.

- Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan

isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan

napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi

disamping halotan.

4) Induksi perektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau

midazolam.

b. Rumatan Anestesi (Maintainance)

Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai


obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara
intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat
inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat diperkecil.
Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anastesi umum sampai
tingkat kedalamannya mencapai trias anastesi, pada penderita yang
tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot,
maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
- Gerakan lengan atau kaki
- Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang memakai
pipa endotrakeal
- Adanya lakrimasi
- Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal,
broncospasme
- Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah cepat,
- tekanan darah meningkat, berkeringat
Keadaan ini dapat diatasi dengan mendalamkan anastesi. Pada

operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya

kurang maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja

dengan baik, untuk operasi yang membuka abdomen maka usus akan

bergerak dan menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan

otot juga sukar dilakukan.


Keadaan relaksasi bila terjadi pada anastesi yang dalam, sehingga

bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi

adalah dengan mendalamkan anastesi, yaitu dengan cara menambah

dosis obat, bila hanya menggunakan satu macam obat, keadaan

relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anastesi yang sedemikian

tinggi, sehingga menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan

demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita.

Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias

anastesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur

dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat,

relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini

disebut balance anastesi.

Pada balance anastesi karena menggunakan muscle relaxant, maka

otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami

kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat

bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), karena

itu balance anastesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali atau

control respiration.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,

fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur


dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi

pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid

dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12

mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh

otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi

dengan udara + O2 atau N2O + O2.

c. Pemulihan anastesi
Pada akhir operasi, maka anastesi diakhiri dengan menghentikan

pemberian obat anastesi, pada anastesi inhalasi bersamaan dengan

penghentian obat anastesi aliran oksigenasi dinaikkan, hal ini disebut

oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang

seblumnya ditempati oleh obat anastesi inhalasi di alveoli yang

berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian

tekanan parsial obat anastesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,

sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat

anastesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anastesi

inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan

tekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran


penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar

obat anastesi dalam darah.


Bagi penderita yang mendapat anastesi intravena, maka
kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anastesi

akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan.

Selanjutnya pada penderita yang dianastesi dengan respirasi spontan

tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu sadarnya

penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa

endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET)


ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranastesi dalam

dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada

keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi

spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya

tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intracranial. Ekstubasi pada

waktu penderita masih teranastesi dalam mempunyai resiko tidak

terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai

sadar.
Pada penderita yang mendapat balnce anastesi maka ekstubasi

dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat

pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxan maka dilakukan

reserve, yaitu memberikan obat anti kolin esterase.

Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi

terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan

penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat

dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang

Recovery room (RR).


Aldrete Score
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

2.2 Fraktur
2.2.1 Pengertian Fraktur
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat
berpengaruh terhadap kejadian fraktur. Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur
tulang berupa retakan, pengisutan ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen tulang
bergeser.
2.2.2 Etiologi Fraktur
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya
fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa patologis.
i. Peristiwa Trauma (kekerasan)
a) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya
kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan
patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat
terbuka, dengan garis patah melintang atau miring.
b) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan
tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih
dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan
kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian pula bila
jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan patah pada
pergelangan tangan dan tulang lengan bawah.
c) Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang
akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan
otot adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps
mendadak berkontraksi.
ii. Peristiwa Patologis
a) Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas berulang ulang
pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari
biasanya. Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat pengulangan
tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan beban secara tiba tiba pada
suatu daerah tulang maka akan terjadi retak tulang.
b) Kelemahan Tulang Fraktur
dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu tulang akibat
penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya osteoporosis, dan
tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka
akan terjadi fraktur
2.2.3 Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan
disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar Fraktur dapat dibagi menjadi
a) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.
b) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
Derajat I : luka < 1cm, Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka
remuk, Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan,
Kontaminasi minimal
Derajat II : Laserasi >1 cm, Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/
avulsi, Fraktur kominutif sedang, Kontaminasi sedang
Derajat III : Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur
terbuka derajat III terbagi atas:
i. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat
kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa
melihat besarnya ukuran luka.
ii. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
iii. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : GY
No MR : 974749
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
BB : 60 kg
TB : 165 cm
Alamat : Bukit putus luar punggasan utara linggo sari baganti, Pesisir Selatan

3.2 Evaluasi pre anastesi


a. Anamnesis
Keluhan utama : luka terbuka pada lengan kanan atas pasca kecelakaan lalu lintas sejak
5 jam yang lalu.
Riwayat penyakit sekarang :
Pada pukul 17.00 pasien sedang mengendarai sepeda motor dan tiba-tiba terjatuh
saat akan berbelok di daerah simpang logan aia tajih. Mekanisme trauma tidak jelas
Pada lengan kanan atas sisi depan, 6cm dari puncak bahu terdapat luka terbuka
pinggir tidak rata, dasar jarigan bawah kulit berukuran 7,5 x 5,5 cm
Ditemukan juga luka lecet pada lengan kiri dan kanan
Lengan kanan atas yang luka disertai rasa nyeri
Riwayat penyakit dahulu : -
Anamnesis Penyulit Anastesi :
Asma (-) Penyakit hati (-)
Diabetes (-) Penyakit ginjal (-)
Alergi (-) Kejang (-)
Angina pectoris (-) Batuk/pilek (-)
Stroke (-) Demam(-)
Hipertensi (-) Kelainan kardiovaskular (-)
Riwayat obat yang sedang / telah digunakan :
Anti hipertensi (-)
Anti rematik (-)
Anti diabetic (-)
Obat penyakit jantung (-)
Obat anti nyeri (-)
Riwayat operasi sebelumnya : -
Riwayat anastesi sebelumnya : -
b. Pemeriksaan fisik
KU KES TD Nd Nf T
Berat CMC 110/70 84 24 36C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Jalan nafas : bebas
Paru : irama teratur, bising (-)
Abdomen : mual (-), muntah (-), bising usus (+)
Genitalia : kateter (+)
Ekstremitas : Ta ki = akral hangat, perfusi baik, udem (-), fraktur (-)
Ta ka = akral hangat, perfusi baik, udem (+), fraktur (+)
Neurologis : deficit neurologis (-), hemiparesis (-)
c. Laboratorium
Hemoglobin : 12,8
Leukosit : 24.560
Trombosit : 336.000
Hematokrit : 34%
PT : 11,7
APTT : 35,5
Kesimpulan : ASA II E dengan leukositosis
3.3 Laporan intraoperative
Diagnose preoperatif : fraktur humerus dextra terbuka 1/3 proximal grade IIIa
Jenis pembedahan : debridement + explore + u slab
Jenis anastesi : general anastesia
Monitoring : EKG Lead, SpO2, Kateter urine, NIBP
Infus : ringer laktat 500 cc di tangan kiri
Posisi : terlentang
Premedikasi : Fentanyl (150mcg), fortanest (2mg),
Relaksasi : Tracurium (2,5mg)
Induksi : Propofol (80mg)
Maintenance : sevofluran + N20 + O2
Tatalaksana jalan napas : ETT no 7,5 jenis cuff, fiksasi 20 cm
Intubasi : sesudah tidur
Monitoring
Waktu NIBP Nadi SpO2
10.45 145/70 84 96
11.00 110/72 80 98
11.15 130/75 82 100
11.30 94/59 105 100
11.45 117/68 79 99
12.00 120/70 78 99
12.15 142/90 83 98
12.30 145/95 90 99
12.45 130/70 105 100
13.00 135/70 100 100
13.15 127/67 103 100
13.30 130/70 100 100
13.45 130/60 95 100

Jumlah cairan yang masuk : RL II


BB : 60 kg
Puasa : 8 jam
Maintenance : (10x4) + (10x2) + (40x1) = 100 cc/jam
Pengganti puasa : 100 cc x 8 jam = 800 cc
Stress operasi : 8cc/kgBB/jam = 480 cc
EBV : 65 x BB = 65x60 = 3900 cc
ABV : EBV x 20% = 3900 x 20% = 780 cc
Pemberian cairan
Jam pertama = maintenance + 50% pengganti puasa + stress operasi
= 100 cc + 400 cc + 480 cc
= 980 cc
Jumlah cairan : RL II kolf
Perdarahan : 250cc

3.4 Monitoring postoperative


Aldrette Score
o Kesadaran : 2 ( sadar, orientasi baik)
o Tekanan darah : 2 ( TD berubah <20%)
o Aktivitas : 1 ( 2 ekstremitas bergerak)
o Warna kulit/SpO2 : 2 ( merah muda, tanpa O2, SaO2 > 92%)
o Pernapasan : 2 ( napas dalam, batuk)
o Total :9
Pengelolaan nyeri : Injeksi Paracetamol 1gr/8 jam + drip tramadol 1 ampul/8
jam
Penanganan mual/muntah : Injeksi Ondansetron 4 mg/8 jam
Infus : Asering 20 tpm
Monitoring hemodinamik, rawat TC
BAB IV
DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki usia 18 tahun datang diantar keluarga dengan
ambulans ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 3 April 2017 pukul 04.15 WIB
dengan keadaan sadar dan keadaan umum sakit berat dengan diagnosa fraktur humerus dextra
terbuka 1/3 proximal grade IIIa. Menurut penjelasan pasien, pada pukul 17.00 tanggal 2 April
2017, pasien sedang mengendarai sepeda motor dan tiba-tiba terjatuh saat akan berbelok di
daerah simpang logan aia tajih. Mekanisme trauma tidak jelas. Diagnose ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta dibantu dengan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis, pasien tidak mempunyai riwayat penyakit penyulit anastesi. Hasil
laboratorium darah pasien didapatkan peningkatan leukosit. Pasien tergolong ASA II E.
berdasarkan status pasien serta pertimbangan anestesi seperti lokasi operasi dan sttus fisik,
maka teknik anestesi yang dipilih adalah general anestesi dengan kombinasi teknik inhalasi
dan intravena.
Pada pasien ini diberikan premedikasi Fortanest 2mg sebelum operasi untuk memberikan
efek sedasi sehingga pasien tertidur. Selain itu diberikan analgetik berupa fentanyl 150 mcg.
Penggunaan fentanyl pada pasien ini bertujuan untuk mencegah terjadinya nyeri pada pasien.
Selanjutnya dilakukan induksi anestesi sehingga dimungkinkan dilakukannya tindakan
pembedahan. Pada kasus ini, obat induksi yang diberikan adalah propofol 80 mg. Propofol
bekerja cepat dalam menginduksi dan kesadaran pasien cepat pulih tanpa sekuele karena
mekanisme kerja propofol ini diduga menghasilkan efek sedative hipnotik melalui interaksi
GABA (gamma-amino butyric acid) yang merupakan neurotransmitter inhibitori utama pada
SSP. Propofol memiliki efek vasodilator sehingga dapat menurunkan tekanan darah.
Untuk relaksasi otot diberikan relaksan berupa trakurium 2,5mg. Setelah terjadi relaksasi
otot, dilakukan intubasi ETT no 7,5 cuff (+) dengan maintenance Sevoflurane + N2O + O2.
Pemilihan anestesi inhalasi dengan Sevoflurane + N20 + O2 pada pasien ini dikarenakan N2O
memiliki sifat analgesic yang kuat tetapi bersifat anestesi lemah sehingga dikombinasikan
dengan sevoflurane. Sevoflurane merupakan halogenasi eter dengan induksi dan pulih lebih
cepat disbanding halogenasi eter lain. Selain itu efek terhadap kardiovaskular cukup stabil.
Sedangkan O2 ditambahkan untuk mencegah terjadinya hipoksia jika N2O dihentikan.
Untuk mengatasi nyeri paska bedah diberikan Injeksi Paracetamol 1gr/8 jam + drip
tramadol 1 ampul/8 jam dalam RL. Setelah operasi selesai dilakukan penilaian apakah pasien
sudah dapat dipindahkan ke ruang rawat ataukah masih perlu diobservasi di ruang pemulihan
(RR) atau di ICU. Penilaian pasien dilakukan dengan menggunakan skor Aldrette dan
didapatkan skor 9. Pasien diperbolehkan untuk dipindahkan ke ruang rawat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Muhardi M., dkk., 1989. Anestesiologi. Jakarta: FKUI


2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesia. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine. Diakses dari:
http://emedicine.medcape.com
4. Soenarjo, dkk. Anestesiologi. Semarang: Ikatan Dokter Anestesi dan Reanimasi
Cabang Jawa Tengah ; 2010
5. Dorland,Newman 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29, Jakarta:EGC,1765.
6. Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-256.
7. Helmi Z. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika. 2011.p.411-
55
8. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Trauma, Fraktur Terbuka, Edisi ke-3. Jakarta:
PT Yarsif Watampone. 2008; 317-478.

You might also like