You are on page 1of 13

BAB I

LATAR BELAKANG

Peritonitis didefinisikan sebagai suatu proses peradangan/inflamasi yang


terjadi pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum merupakan selaput tipis-
jernih dan merupakan membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh
manusia. Berdasarkan struktur anatomi, peritoneum terdiri atas dua bagian utama,
yaitu peritoneum parietal, dan peritoneum visceral, yang berfungsi menutupi
sebagian besar dari organorgan abdomen-pelvis, dan membentuk perbatasan halus
yang memungkinkan organ saling bergeseran tanpa menimbulkan cedera akibat
adanya gaya gesek.
Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk
akut-kronis, lokalisata-generalisata/difus. Keadaan seperti ini biasanya terjadi
akibat penyebaran infeksi yang berasal dari abdomen (apendisitis, salpingitis),
perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen.
Secara fisiologis peritoneum memiliki sifat resisten terhadap infeksi bakteri
inokulasi. Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan
resistensi, dan adanya benda asing, merupakan faktor-faktor yang memudahkan
terjadinya peritonitis. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang
hidup dalam kolon, yang mencakup Escherecia coli dan Bacteroides, sedangkan
Stafilokokus dan Streptokokus seringkali masuk dari luar.
Berdasarkan data epidemiologi disebutkan bahwa peritonitis merupakan
salah satu penyebab kematian tersering pada penderita bedah dengan mortalitas
sebesar 10-40%. Bahkan beberapa peneliti mendapatkan angka kamatian dari kasus
peritonitis mencapai 60% atau lebih dari 60%. Selanjutnya penegakan diagnosis
secara cepat dan tepat melalui pemeriksaan radiologi merupakan salah satu cara
yang dapat dilakukan dalam penentuan tindakan selanjutnya untuk mengurangi
angka kematian (mortalitas) pada pasien dengan kasus peritonitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi


Peritoneum merupakan membran serosa tipis yang melapisi dinding cavitas
abdominis dan cavitas pelvis serta meliputi visera abdomen dan pelvis. Secara
anatomi, peritoneum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu peritoneum parietal dan
peritoneum visceral. Peritoneum parietal melapisi dinding cavitas abdominis dan
cavitas pelvis, sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-organ di dalamnya.
Rongga potensial yang terdapat di antara peritoneum parietal dan peritoneum
visceral dinamakan cavitas/cavum peritonealis. Normalnya terdapat 50 mL cairan
bebas dalam cavum peritonealis, yang memelihara permukaan peritoneum tetap
licin. Pada laki-laki cavitas peritonealis merupakan ruang tertutup, sedangkan pada
perempuan terdapat hubungan pada dunia luar melalui tuba uterina, uterus, dan
vagina.

Gambar 1. Anatomi Peritoneum (Potongan Transversal)


(Clinically Oriented Anatomy, Moore, K.L., et. al, 2010)
Gambar 2. Anatomi Peritoneum (Potongan Sagital)
(Clinically Oriented Anatomy, Moore, K.L., et. al, 2010)

Struktur di dalam abdomen diklasifikasikan sebagai struktur intraperitoneal,


dan retroperitoneal/infraperitoneal tergantung apakah mereka ditutupi dengan
peritoneum visceral atau tidak. Struktur yang terletak pada intraperitoneal
umumnya bergerak, sementara yang terletak retroperitoneal relatif tetap dilokasi
mereka. Sebuah organ dikatakan intraperitoneal ketika hampir seluruh organ
tersebut diliputi oleh peritoneum visceral. Contoh organ-organ intraperitoneal
adalah seperti gaster, jejunum, ileum, dan lien. Sementara organ-organ
retroperitoneal terletak dibelakang peritoneum dan hanya sebagian diliputi oleh
peritoneum visceral, seperti: pankreas, ginjal, rectum, colon asendens, dan colon
desenden.5,7
Peritoneum parietal dipersarafi oleh saraf aferen somatik dan visceral yang
cukup sensitif terutama pada peritoneum parietal bagian anterior, sedangkan pada
bagian pelvis agak kurang sensitif. Peritoneum visceral disarafi oleh cabang aferen
sistem otonom yang kurang sensitif. Saraf ini terutama memberikan respon
terhadap tarikan dan distensi, tetapi kurang respon terhadap tekanan dan tidak dapat
menyalurkan rasa nyeri dan temperature.4 Fungsi utama peritoneum adalah
menjaga keutuhan atau integritas organ intraperitoneum. Menutupi sebagian besar
dari organ-organ abdomen dan pelvis, membentuk perbatasan yang halus yang
memungkinkan organ saling bergeseran tanpa ada penggesekan.4

2.2. Definisi
Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian
(lokalisata) atau seluruh (generalisata) selaput peritoneum parietale ataupun
viserale pada rongga abdomen. Peritonitis dapat bersifat lokal maupun generalisata,
infeksius ataupun steril (kimia dan mekanik). Rangsangan patologis pada
peritoneum yang disebabkan mikroba mengakibatkan peritonitis infeksi.
Rangsangan patologis yang di sebabkan jejas kimia atau mekanik mengakibatkan
peritonitis steril.
Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk
akut dan kronis, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan
pada abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan biasanya disebabkan oleh
infeksi pada peritoneum. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang
berasal dari organorgan di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi
dari organ lambung, colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga
menyebar dari organ lain yang menjalar melalui darah.

2.3. Klasifikasi
Peritonitis dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber dan terjadinya
kontaminasi mikrobial, menjadi: (1) peritonitis primer, (2) peritonitis sekunder, dan
(3) peritonitis tersier.
(1) Peritonitis Primer
Peritonitis primer sering disebabkan oleh persebaran kuman secara
hematogen, biasanya diakibatkan kondisi immunocompromized (AIDS,
Kanker, Kelainan Imunologis yang lain). Ditemukan pada penderita serosis
hepatis yang disertai asites, sindrom nefrotik, metastasis keganasan, dan
pasien dengan peritoneal dialisis. Kejadian peritonitis primer kurang dari 5%
kasus bedah.
(2) Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder sering disebabkan oleh proses patologis yang
berkaitan dengan organ dalam (visceral). Peritonitis sekunder merupakan
jenis peritonitis yang paling umum, lebih dari 90% kasus bedah. Contoh
peritonitis sekunder adalah peritonitis yang disebabkan oleh perforasi organ
dalam dan trauma. Perforasi lambung karena penggunaan ibuprofen dan
NSAID yang lain termasuk dalam perforasi sekunder.
(3) Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier adalah peritonitis yang tidak secara langsung
berkaitan dengan proses patologis organ dalam. Kejadian peritonitis tersier
kurang dari 1% kasus bedah. Contoh peritonitis tersier adalah pasien
peritonitis primer atau sekunder post-operative yang sudah dirawat beberapa
hari dan tidak menunjukkan tanda-tanda resolusi klinis (proses pengurangan
gejala dan penyembuhan). Biasanya pada peritonitis tersier, terapi antibiotik
dan operasi sudah tidak memberikan respon. Angka resistensi antibiotik
sangat tinggi pada peritonitis tersier.

2.4. Etiologi
(1) Peritonitis Primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung
dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah
spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-
kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang
menjadi peritonitis bakterial.
(2) Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon
(paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta
strangulasi usus halus (Brian,2011).
(3) Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman,
dan akibat tindakan operasi sebelumnya.

2.5. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi
dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi
usus (Fauci et al, 2008).
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamasi, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).
Organ-organ di dalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et
al, 2008).
Peritoneal Insult

Edema, eksudasi, Ileus, bowel fluid


deposisi fibrin distention

Stimulasi Volume ECF Atelectasis


adrenal V/Q imbalance

Vasokonstriksi ADH Urine Cardiac Supply O2


perifer Aldosteron output output jaringan

Hipovolemik Asidosis
syok metabolik

Kematian

Gambar 3. Patofisiologi Peritonitis

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus
sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan
dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya
pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau
ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
kuman Salmonela typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan
air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi
masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum
terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada
penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala,
batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan
keadaan umum yang merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang
mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat
seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah
epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau
enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase
peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum
berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria (Fauci et al,
2008).
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga
menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general (Fauci et al, 2008).
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak
terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak
baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum
(Fauci et al, 2008).

2.6. Diagnosis
(1) Pemeriksaan Klinis
a. Anamnesis
Dari anamnesis, dapat di temukan beberapa gejala sebagai berikut:
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada
penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian
abdomen. 1,9
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai
gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan
peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan
adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran
dari peritonitis.9
Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa
seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul.
Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38oC sampai 40oC.9

b. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic
dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal
sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal.
Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang
menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini
harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan
dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan
yang lebih buruk.7,9
Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen
tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa
pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat
tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan
eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.9
Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal
sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan
ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltik yang terdengar tanpa
stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada
tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah
perforasi dari usus yang mengalami strangulasi.9
Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi
intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum
yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini
merupakan tanda awal dari peritonitis. 9
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga,
udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma,
sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang.9
Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah
yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang
dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan
palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua
pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding
abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan
orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari
otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri
tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan
menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara
involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup
gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari
peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada
apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada
pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah
tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal.9
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada
peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.7,9

(2) Pemeriksaan Radiologi


Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi.
a. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.
Ditambah dengan foto thoraks duduk atau setengah duduk.10 Interpretasi dari
gambaran radiologi yaitu berdasarkan cairan dan kadar gas pada usus dan pola
mukosanya. Tanda utamanya yaitu:
a. Retensi dari gas dan fluid level di usus kecil dan usus besar.
b. Tanda-tanda inhibisi, penurunan pergerakan usus.
c. Perubahan pola mukosa, edema usus.
d. Perkaburan dari flank stripe, retroperitoneal fat
e. Pertanda retiuklasi pada lemak subkutan
f. Terbatasnya pergerakan diafragma
g. Perubahan sekunder pada paru dan pleura.11

Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu
atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah:
a. Posisi supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line
menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
b. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan
sabit (semilunair shadow).
c. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut yang paling
tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis
dengan dinding abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma.7,8

(3) Pemeriksaan Lain


Pemeriksaan penunjang lain misalnya pemeriksaan darah, urin, dan feses.
Beberapa uji laboratorium tertentu dilakukan, antara lain nilai hemoglobin dan
hematokrit, untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi. Hitung
leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan. Hitung trombosit dan
faktor koagulasi, selain diperlukan untuk persiapan bedah, juga dapat membantu
menegakkan demam berdarah yang memberikan gejala mirip gawat abdomen.3

2.7. Prognosis
Prognosis penyakit ini baik pada peritonitis lokal dan ringan sedangkan
prognosisnya buruk (mematikan) pada peritonitis generalisata yang disebabkan
oleh organisme virulen.

BAB III
PENUTUP

You might also like