Professional Documents
Culture Documents
Oleh
04084821618243
Pembimbing
2016
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Tuhan karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Insufisiensi
Vena Kronik dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan. Demikianlah penulisan referat
ini, semoga bermanfaat
Penulis
2
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
Judul
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas
Sriwijaya stase di RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang 21 April 30 Juni 2016.
HALAMAN JUDUL.. i
KATA PENGATAR.. ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
DAFTAR ISI.. iv
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 PEMBAHASAN 2
2.1 Anatomi Vena Extremitas Bawah 2
Epidemiologi. 9
Patofisiologi.. 11
Manifestasi klinis.. 13
Diagnosis 17
Pemeriksaan penunjang. 17
Penatalaksanaan 18
Komplikasi 20
Pencegahan 20
Prognosis 21
BAB 3 KESIMPULAN
22
Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
24
4
BAB I
PENDAHULUAN
Chronic venous insufficiency (CVI) atau insufisiensi vena kronik adalah stadium
lanjut dari penyakit venosa yang dapat disebabkan oleh kejadian patologis yang
menyebabkan gangguan venous return atau aliran balik vena, yang dapat terjadi
pada vena-vena superfisialis ataupun profunda. Hal ini disebabkan disfungsi katup-
katup vena yang menyebabkan aliran darah vena terganggu, sehingga terjadi
refluks darah dalam vena. CVI terjadi pada vena ekstremitas bawah dengan
manifestasi nyeri pada tungkai bawah, bengkak, edema, perubahan kulit, dan
ulserasi. Gangguan ini biasanya berlangsung progresif selama beberapa tahun.1
Chronic venous insufficiency lebih banyak terjadi pada negara-negara barat atau negara
industry, yang kemungkinan besar disebabkan oleh gaya hidup dan aktivitas
penduduknya. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, prevalensinya juga akan
meningkat seiring dengan pertambahan usia dengan prevalensi: Pria muda sebanyak
10% berbanding wanita muda sebanyak 30%, Pria berusia lebih dari 50 tahun sebanyak
20% berbanding wanita berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 50%. 2
5
Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus, keadaan
ini sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen. Komplikasi berupa
terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat untuk dihindari.
Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10 %), dan
terjadi gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari. Thromboembolism
berpotensi terjadi pada pembedahan varises vena, tetapi belum ada bukti yang
menujukkan risiko ini meningkat bila dilakukan pembedahan.
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem superfisialis terdiri dari vena safena magna dan vena safena parva.
Keduanya memiliki arti klinis yang sangat penting karena memiliki
predisposisi terjadinya varises yang membutuhkan pembedahan. 3
V. Safena magna keluar dari ujung medial jaringan v.dorsalis pedis. Vena ini berjalan di
sebelah anterior maleolus medialis, sepanjang aspek anteromedial betis (bersama
dengan nervus safenus), pindah ke posterior selebar tangan di belakang patela pada
lutut dan kemudian berjalan ke depan dan menaiki bagian anteromedial paha.
Pembuluh ini menembus fasia kribriformis dan mengalir ke v.femoralis pada hiatus
safenus. Bagian terminal v.safena magna biasanya mendapat percabangan superfisialis
dari genitalia eksterna dan dinding bawah abdomen. Dalam pembedahan, hal ini bisa
membantu
6
membedakan v.safena dari femoralis karena satu-satunya vena yang mengalir ke
v.femoralis adalah v.safena. Cabang-cabang femoralis anteromedial dan posterolateral
(lateral aksesorius), dari aspek medial dan lateral paha, kadang-kadang juga mengalir
ke v.safena magna di bawah hiatus safenus. 3
V. safena parva keluar dari ujung lateral jaringan v.dorsalis pedis. Vena ini
melewati bagian belakang maleolus lateralis dan di atas bagian belakang
betis kemudian menembus fasia profunda pada berbagai posisi untuk
mengalir ke v.poplitea. 3
Vena-vena profunda pada betis adalah v.komitans dari arteri tibialis anterior dan
posterior yang melanjutkan sebagai v.poplitea dan v.femoralis. Vena profunda ini
membentuk jaringan luas dalam kompartemen posterior betis pleksus soleal dimana
darah dibantu mengalir ke atas melawan gaya gravitasi oleh otot saat olahraga
7
2.2. Deep Vein Thrombosis
Trombosis vena juga dapat muncul di pembuluh darah vena lainnya, seperti
lengan dan dapat menyebar hingga ke paru-paru. DVT yang menyerang
paru-paru ini dapat menyumbat separuh atau seluruh bagian dari arteri paru
dan menyebabkan timbulnya komplikasi berbahaya bernama emboli paru
(pulmonary embolism/PE) dan venous thromboembolism (VTE).
Darah manusia terdiri dari protein bernama faktor pembeku dan sel-sel yang bernama
trombosit. Kedua komponen ini bekerja dengan cara membentuk gumpalan padat guna
mencegah terjadinya pendarahan saat pembuluh darah Anda terluka. Kombinasi dari
lambatnya alliran darah pada pembuluh darah, aktivasi pembekuan
8
darah, dan jejas pada pembuluh darah, menjadikan terbentuknya trombus
(gumpalan darah) yang dapat menyumbat aliran darah sehingga memicu DVT.
Terdapat banyak faktor risiko yang dapat menjadi penyebab DVT, salah satunya
adalah adanya penderita penyakit ini di dalam riwayat keluarga. Penderita VTE
serta penderita yang mempunyai penyakit lain, seperti gagal jantung dan kanker,
juga memiliki risiko terkena DVT kembali. Usia dan berat badan juga dapat
berdampak kepada seseorang untuk mengidap DVT atau tidak. Begitu pula
seseorang yang kondisi tubuhnya sedang tidak aktif dapat memicu DVT.
Tubuh yang tidak bergerak dalam jangka waktu yang cukup lama menyebabkan
darah cenderung berkumpul pada tungkai bawah, seperti pada betis dan paha.
Kondisi ini biasa dialami oleh seseorang setelah melalui prosedur operasi yang
berlangsung lebih dari 90 menit atau berlangsung 60 menit untuk operasi yang
dilakukan pada area perut, pinggul, dan tungkai. Begitu pula bisa diakibatkan oleh
perawatan yang mengharuskan pasien tetap berbaring di tempat tidur. Melakukan
perjalanan panjang dapat membuat tubuh berada dalam keadaan tidak aktif untuk
waktu lama juga. Keadaan ini dapat menyebabkan melambatnya aliran darah
hingga meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan darah. Pada kasus pasien
rawat inap yang membutuhkan prosedur operasi panjang, rumah sakit umumnya
akan memberikan informasi mengenai risiko dan tindak pencegahan DVT diawal.
9
Faktor risiko lainnya adalah kehamilan, pil kontrasepsi, dan terapi sulih hormon
atauhormone replacement therapy (HRT) pada terapi hormon estrogen. Kondisi
ini memungkinkan darah menggumpal lebih mudah. Pada faktor kehamilan,
penggumpalan darah dapat membantu mencegah pasien kehilangan banyak
darah selama proses persalinan, namun turut meningkatkan risiko DVT.
DVT dapat menyerang area tungkai dan lengan. Pada sebagian kondisi, DVT
dapat menunjukkan gejalanya di daerah yang terjangkit sehingga pasien dapat
merasakan sakit, pembengkakan, sekaligus nyeri pada area tersebut. Warna
kulit yang kemerahan serta rasa hangat dapat terasa, seperti di area belakang
lutut disertai rasa sakit yang makin menjadi-jadi ketika Anda menekuk kaki
mendekati lutut. Gejala yang muncul juga dapat terlihat dari pembuluh darah di
sekitar area yang terjangkit tampak lebih besar dari biasanya.
Salah satu komplikasi akibat DVT yang tidak segera memperoleh perawatan adalah
kemunculan sebuah kondisi yang bernama emboli paru. Kondisi ini memiliki gejala,
seperti sakit dada, sesak napas yang muncul secara bertahap atau tiba-tiba, serta
mendadak pingsan. Baik salah satu maupun keduanya, gejala DVT dan emboli paru
sebaiknya segera ditangani agar tidak memperburuk kondisi pasien. DVT juga
berkemungkinan tidak menunjukkan gejala sehingga perlu diwaspadai dan diselidiki
tanda-tanda yang muncul pada seseorang yang memiliki risiko terkena penyakit ini.
10
Pemindaian Ultrasound tipe Doppler akan digunakan pada tes pemeriksaan
untuk menemukan letak gumpalan darah berada pada pembuluh dan
seberapa cepat laju aliran darah. Dengan mengetahui kedua faktor ini, letak
dan penyebab penggumpalan dapat segera dideteksi.
Tes venogram dapat juga dilakukan jika kedua tes di atas belum bisa membantu
dokter dalam menentukan atau memperkuat diagnosis DVT. Tes ini menggunakan
bantuan pewarna dan X-ray untuk mengetahui letak penggumpalan darah. Dalam
venogram, pewarna akan disuntikkan ke pembuluh darah kaki. Pewarna ini
kemudian mengalir ke pembuluh darah lain di area pasien merasakan gejala DVT.
Jika penggumpalan terjadi di area betis, maka hasil X-ray akan menunjukkan area
kosong pada betis. Hal ini dikarenakan pewarna tidak dapat mengalir melewati
pembuluh darah betis yang memiliki gumpalan.
11
Pemberian heparin dapat dilakukan dengan cara menyuntikannya langsung
pada pembuluh vena ataupun lapisan jaringan di bawah kulit, dapat pula
melalui cairan infus. Dosis heparin juga dapat berbeda-beda pada tiap
pasien dan pemberiannya harus dimonitor agar pasien menerima dosis yang
tepat, menjadikan kemungkinan pasien harus berada di rumah sakit hingga
10 hari. Seperti halnya pengobatan lain pada umumnya, penggunaan
heparin juga dapat menimbulkan efek samping tertentu, seperti ruam,
pendarahan, dan kelemahan tulang pada pemakaian jangka panjang.
Alternatif pengobatan lain dapat juga diberikan jika penggunaan obat antikoagulan tidak
memberikan hasil yang sesuai bagi pasien. Inferior vena cava filters (IVC) ditempatkan
pada pembuluh darah untuk menyaring gumpalan darah dan menghentikannya mengalir
menuju jantung dan paru-paru. IVC dapat dipasang secara permanen atau dilepaskan
setelah penggumpalan darah berkurang. Keduanya
12
dilakukan dengan menggunakan prosedur operasi dengan bius lokal. IVC juga
dapat digunakan pada pasien penderita emboli paru dan pada kondisi cedera parah.
Beberapa komplikasi DVT yang tidak segera ditangani selain penyakit emboli paru
yang telah disebutkan sebelumnya adalah sindrom paska trombosis. Kondisi ini
menyebabkan sumbatan pada salah satu pembuluh darah di paru.
DVT dapat dicegah dengan memulai pola hidup sehat, seperti olahraga ringan
agar tubuh tetap bergerak dan sirkulasi darah tetap terjaga, pola diet sehat,
mengurangi berat badan bagi penderita obesitas, serta jangan merokok.
2.3.1. Definisi
Chronic venous insufficiency adalah kondisi dimana pembuluh darah tidak dapat
memompa oksigen dengan cukup (poor blood) kembali ke jantung yang
13
ditandai dengan nyeri dan pembengkakan pada tungkai. CVI paling sering
disebabkan oleh perubahan primer pada dinding vena serta katup-katupnya (valve
incompetence) dan perubahan sekunder disebabkan oleh thrombus sebelumnya
dan kemudian mengakibatkan reflux, obstruksi atau keduanya. Kelainan kongenital
jarang menyebebkan CVI. Varises tungkai adalah yang paling banyak ditemukan.
2.3.2. Epidemiologi
Chronic venous insufficiency lebih banyak terjadi pada negara-negara barat atau negara
industry, yang kemungkinan besar disebabkan oleh gaya hidup dan aktivitas
penduduknya. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, prevalensinya juga akan
meningkat seiring dengan pertambahan usia dengan prevalensi: Pria muda sebanyak
10% berbanding wanita muda sebanyak 30%, Pria berusia lebih dari 50 tahun sebanyak
20% berbanding wanita berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 50%.2
Etiologi dari insufisiensi vena kronis dapat dibagi 3 yaitu, kongenital, primer
dan sekunder.
Penyebab insufisiensi vena kronis yang kongenital adalah pada kelainan dimana
katup yang seharusnya terbentuk di suatu segmen ternyata tidak terbentuk sama
sekali (aplasia, avalvulia), atau pembentukannya tidak sempurna (displasia),
berbagai malformasi vena, dan kelainan lainnya yang baru diketahui setelah
penderitanya berumur.
Penyebab insufisiensi vena kronis yang primer adalah kelemahan intrinsik dari
dinding katup, yaitu terjadi lembaran atau daun katup yang terlalu panjang
(elongasi) atau daun katup menyebabkan dinding vena menjadi terlalu lentur tanpa
sebab-sebab yang diketahui. Keadaan daun katup yang panjang melambai (floppy,
rebundant) sehingga penutupan tidak sempurna (daun-daun katup tidak dapat
terkatup sempurna) yang mengakibatkan terjadinya katup tidak dapat menahan
aliran balik, sehingga aliran retrograd atau refluks. Keadaan tersebut dapat diatasi
14
hanya dengan melakukan perbaikan katup (valve repair) dengan operasi untuk
mengembalikan katup menjadi berfungsi baik kembali.
Faktor risiko terkait CVI meliputi usia (di atas 30 tahun), jenis kelamin, riwayat
varises dalam keluarga, obesitas, kehamilan, menopause, flebitis, dan riwayat
cedera tungkai. Terdapat juga faktor lingkungan atau perilaku terkait dengan CVI,
seperti berdiri dan duduk ter- lalu lama.2,4 Gangguan vena menahun tidak mungkin
disebabkan karena menyilangkan tungkai atau pergelangan kaki, meskipun hal ini
dapat memperburuk kondisi varises yang telah ada.5
2.3.4 Patofisiologi
Vena mempunyai daun katup untuk mencegah darah mengalir mundur (retrograde
atau refluks aliran). Pompa vena otot tungkai mengembalikan darah ke jantung
(mekanisme pompa otot betis) melawan efek gravitasi. Jika pembuluh darah
menjadi varises, katup vena tidak berfungsi lagi (inkompetensi katup).2,6
15
Patologi vena terjadi jika tekanan vena meningkat dan kembalinya darah terganggu
melalui beberapa mekanisme. Hal ini dapat terjadi akibat inkompetensi katup vena
dalam aksial atau superfisial, atau kombinasi keduanya. Faktor ini dapat
dieksaserbasi oleh disfungsi pompa otot pada ekstremitas bawah; mekanisme ini
dapat menyebabkan hipertensi vena khususnya saat berdiri atau berjalan.
Hipertensi vena yang berlanjut dapat menyebabkan perubahan pada kulit
hiperpigmentasi, fibrosis jaringan subkutan, dan akhirnya dapat terjadi ulkus.2
Kegagalan katup vena dalam dapat menyebabkan volume darah dipompa ke luar
ekstremitas, dan diisi kembali oleh aliran darah arteri dan aliran vena retrograde
patologis. Tekanan vena segera setelah ambulasi dapat sedikit meningkat atau normal,
tetapi vena terisi kembali dengan cepat disertai terjadi peningkatan tekanan vena tanpa
kontraksi otot. Disfungsi atau inkompetensi katup system vena superfisial juga
menyebabkan aliran retrograde darah dan peningkatan tekanan hidrostatik. 2
16
Disfungsi pompa otot tampaknya merupakan mekanisme utama terjadi
inkompetensi vena superfisial dan komplikasinya, seperti ulkus vena. 2
Varises dibedakan dari vena retikuler (vena biru) dan telangiektasia (spider
veins) yang juga melibatkan insufisiensi katup, dari ukuran dan lokasi
pembuluh darah yang terkena.7
Varises
Ulkus kaki
17
Kelainan Fisik
Tanda-tanda fisik yang paling sering ditemukan pada insufisiensi vena adalah pitting
edema atau pembengkakan pada kaki yang jika ditekan oleh jari akan membekas
seperti bentuk jari yang menekan dan lama kembalinya, terutama pergelangan kaki;
edema system limfatik; perubahan warna kulit., hiperpigmentasi, dermatitis venosa,
selulitis kronis, atrophie blanche, serta ulserasi.
Ulserasi yang tidak kunjung sembuh. Ini dapat disebabkan oleh insufisiensi
vena superficial ataupun profunda, insufisiensi arteri, gangguan rematologis,
kanker, atau penyebab lainnya yang lebih jarang.
Selain itu juga terlihat adanya distensi vena-vena kaki dan pergelangan kaki,
kadang di fossa poplitea juga. Pembesaran vena diatas pergelangan kaki
biasanya menandakan adanya proses patologis pada vena.
18
sifatnya yang statis, klasifikasi jenis ini sulit dipakai untuk menilai perubahan
yang terjadi sebagai respons terhadap terapi yang telah diberikan. 2
Clinical
Etiology
Anatomy
Pathophysiology
C0
Ec
As
Pr
no evidence of venous
Congenital
superficial veins
venous reflux
disease
C1
Ep
Ad
Po
telangiectasias/reticular
primary venous
deep veins
venous
veins
disease.
obstruction
C2
Es
Ap
Pn
varicose veins
secondary
perforating
not specified
venous disorder
veins
C3
En
An
19
edema associated with
not specified
not specified
vein disease
C 4a
Pigmentation or
eczema
C 4b
lipodermatosclerosis
C5
C6
active venous ulcer
Yang kedua adalah Venous Severity Scoring (VSS). System penilaian ini diambil dari
klasifikasi CEAP, tetapi dimodifikasi agar dapat dipakai untuk menilai perkembangan
penyakitnya. Ada tiga komponen system penilaian ini, yaitu:
Venous Disability Score (VDS). Sistem ini menilai apakah pasien mampu
untuk bekerja selama 8jan dengan atau tanpa alat penyokong eksternal,
dengan diberi nilai 0-3. Nilai totalnya mewakili tingkat disability yang
disebabkan oleh penyakit vena.
Venous Segmental Disease Score (VSDS). Sistem ini menggunakan klasifikasi
anatomic dan patofisiologik sistem CEAP untuk menghasilkan nilai yang berdasarkan
refluks atau obstruksi vena. Nilainya didapat dengan mengambil gambar vena
menggunakan phlebography atau duplex Doppler.
Variabel
Score
0
1 (ringan)
2(sedang)
3 (berat)
20
Nyeri
Tidak
Kadang- tidak
Setiap hari
Penggunaan
perlu analgesic
kadang
konstan
menggunakan
analgesic
analgesic
narkotika
nonnarkotik
Vena varicosa
Tidak
Sedikit-
Multiple
Luas
tersebar
Edema
Tidak
Sore hari
Sore hari- diatas
Pagi hari diatas
hanya
pergelangan kaki
pergelangan
pergelangan
kaki
kaki
Hiperpigmentasi
Tidak
Terbatas
Diffusa di1/3
Tersebar luas
distal kaki
Inflamasi dan
Tidak
Ringan
Sedang
Berat
selulitis
Indurasi
Tidak
Fokal
Kurang dari 1/3
Seluruh 1/3
distal kaki
distal kaki atau
lebih
Ulser aktif jml
0
1
2
>2
Durasi ulser aktif
Tidak
<3
3-12
>12 Tidak
bln
sembuh
Diameter ulser aktif
Tidak
<2
2-6
>6
cm
Menggunakan
Tidak
Kadang
Sering (most
Konstan
stocking
days)
Diagnosis
fisik dapat ditingkatkan dengan bantuan alat Doppler, sehingga pemeriksa dapat
mendengarkan aliran darah. Namun, pemeriksaan paling akurat dan rinci adalah dengan
venous duplex ultrasound yang dapat memberikan gambaran vena, sehingga adanya
hambatan akibat bekuan darah atau gangguan fungsi vena dapat dideteksi. 4
Pada awalnya pemeriksaan teknik pencitraan dilakukan hanya jika ada kecurigaan
klinis insufisiensi vena dalam, jika terjadi berulang, atau jika melibatkan
21
sapheno-popliteal junction. Namun, saat ini semua pasien dengan varises
harus diperiksa mengguna- kan duplex Doppler ultrasound. 8
Pemeriksaan penunjang
Jenis prosedur USG yang dilakukan untuk menilai pembuluh darah, aliran
darah serta struktur vena-vena kaki.
Venogram
Dilakukan dengan menggunakan x-ray dan intavena (IV) pewarna kontras. Ini untuk
memvisualisasikan pembuluh darah. Pewarna kontras menyebabkan pembuluh
darah muncul suram yang memudahkan untuk memvisualisasikan pembuluh darah
yang dievaluasi.
Adalah alat yang paling sensitive dan spesifik untuk mengevaluasi gangguan sistem
superficial dan profunda pada ekstremitas inferior dan pelvis. Dan juga dapat
mendeteksi penyebab nonvaskuler nyeri dan edema pada kaki.
Tes fisiologis
Mengukur fungsi vena, dapat dilakukan dengan mengukur Venous Refilling Time
(VRT) atau waktu yang dibutuhkan untuk betis agar dipenuhi dengan darah setelah
pompa otot betis telah mengosongkan pembuluh darah kaki semaksimal mungkin,
normalnya adalah paling tidak 2 menit; Maximum Venous Outflow (MVO) test. Ini
dipakai untuk mendeteksi adanya obstruksi outflow vena dari betis, apapun
penyebabnya. Hasilnya akan mencerminkan kecepatan darah dapat mengalir keluar
dari betis yang kongesti ketika tourniquet dip aha dilepas; Calf Muscle Pump
Ejection Fraction (MPEF) atau kemampuan pompa otot betis untuk mengeluarkan
darah dari betis. Pada pasien normal, dibutuhkan 10-20 kali dorsifleksi atau beridiri
dengan jari kaki untuk mengosongkan vena-vena betis.
Uji Trendelenberg
Ini dipakai untuk membedakan kongesti vena distal yang disebabkan oleh
refluks vena superficial dengan kegagalan sistem vena profunda.
2.3.9 Penatalaksanaan
Pengobatan insufisiensi vena kronis pada tungkai pada prinsipnya adalah usaha
memperlancar aliran darah vena tungkai, yaitu dengan cara melakukan elevasi
22
tungkai sesering mungkin, terutama setelah kegiatan berjalan-jalan, dimana elevasi
dilakukan dalam posisi duduk atau berbaring dengan membuat posisi kaki setinggi
dengan jantung. Dengan posisi tersebut aliran darah vena akan menjadi lancar dan
dilatasi vena tungkai yang berkelok-kelok menjadi tampak mengempis dan melengkuk,
pada posisi tersebut secara subjektif penderita akan merasa keluhannya berkurang
dengan cepat. Beberapa penetalaksanaan lain yang dapat dilakukan
yaitu:9,10,11
Kaus kaki kompresi membantu memperbaiki gejala dan keadaan hemodinamik dengan
varises vena dan mengilangkan edema. Kaus kaki dengan tekanan 20-30 mmHg (grade
II) memberikan hasil yang maksimal. Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien
yang menggunakan kaus kaki kompresi selama 1 tahun setelah menderita DVT
mencegah terjadi ulkus pada kaki. Kekurangan penggunaan kaos kaki adalah harga
yang relative mahal, kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik yang kurang baik.
23
membantu menyembuhkan ulkus kaki. Terapi antikoagulan dapat
direkomendasikan untuk orang-orang yang memiliki masalah belulang
dengan pembuluh darah di kaki.
Sclerotherapy, digunakan pada pasien dengan usia lanjut, Caranya dengan
menginjeksi bahan kimia kedalam pembuluh darah sehingga tidak berfungsi
lagi. Darah kemudian kembali ke jantung melalui vena lain dan tubuh
menyerap pembuluh darah yang terluka.
Operasi, pembedahan dapat digunakan untuk mengobati chronic venous
insufficiency meliputi :
Ligasi
Vena yang rusak diikat sehingga darah tidak melewati vena tersebut. Jika
vena atau katup rusak berat, pembuluh darah akan diangkat (vein stripping).
Surgical repair
Vena atau katup diperbaiki dengan operasi, melalui sayatan terbuka atau
dengan penggunaan kateter.
Vein Transplant
Mengganti pembuluh darah yang rusak dengan pembuluh darah sehat dari
bagian tubuh yang lain.
Komplikasi
Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus,
keadaan ini sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen. Komplikasi
berupa terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat untuk dihindari.
Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10 %), dan
terjadi gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari. Thromboembolism
berpotensi terjadi pada pembedahan varises vena, tetapi belum ada bukti yang
menujukkan risiko ini meningkat bila dilakukan pembedahan.
2.3.11 Pencegahan
24
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya CVI yaitu:
2.3.12 Prognosis
Prognosis kesembuhan ulkus dan inflamasi cukup bagus tanpa adanya penyakit
penyerta yang mengganggu kesembuhan. Mayoritas pasien tanpa komplikasi
memberikan respon yang baik terhadap pengobatan rawat jalan seperti yang
disebutkan dalam bagian pengobatan. Perubahan permanen meliputi
hemosiderosis dan fibrosis yang terjadi sebelum inisiasi terapi. Kehilangan
fungsikatup bersifat ireversibel. Tidak adanya support kutaneus berkelanjutan
dalam jangka panjang dalam bentuk penutup inelastis atau stocking elastis,
dapat memperbu ruk cedera pada kulit dan jaringan lunak.
25
BAB III
KESIMPULAN
CVI adalah suatu kelainan pada pembuluh darah vena tahap lanjut yang dapat
mengakibatkan aliran darah dari seluruh tubuh tidak dapat kembali menuju ke jantung
oleh karena disfungsi katup Vena. Pembuluh darah vena dipengaruhi oleh: tekanan
hidrostatik, hemodinamik, katup vena dan pompa otot. Tanda-tanda CVI: pigmentasi,
lipodermatosklerotik, edema, dan dermatitis.Gejala CVI: nyeri, bengkak, betis terasa
tertekan, kaki terasa berat saat aktivitas dan membaik saat diistirahatkan. Ultrasonografi
vaskuler merupakan pemeriksaan yang tepat untuk mendiagnosa CVI Dengan spektrum
doppler dan color pada pemeriksaan duplex sonografi femoralis dapat diketahui derajat
severitas pada CVI. Hasil pemeriksaan pada pasien CVI dengan menggunakan
pemeriksaan dupleks sonografi femoralis adalah:
26
SARAN
27
Daftar Pustaka
Chronic venous insufficiency [Internet]. 2012 [cited 2014 June 6]. Available
from:http://www.summitmedicalgroup.com/library/adult_health/aha_venous_insuffic
iency/
Faiz, Omar and David Moffat, Anatomy at a Glance, diterjemahkan oleh dr.
Annisa Rahmalia, (Jakarta: Erlangga, 2004)
Chronic venous insufficiency [Internet]. 2012 [cited 2014 June 6]. Available
from: http://vasculardisease.org/chronic-venous-insufficiency-cvi/
Understanding varicose veins - the basics [Internet]. 2014 [cited 2014 June
6]. http://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/understanding-
varicose-veins- basics.
Varicose vein [Internet]. 2010 [cited 2014 June 6]. Available from:
http://www.webcitation.org/5r1PRrJul. X
Weiss RA, Weiss MA. Doppler ultrasound findings in reticular veins of the
thigh subdermic lateral venous system and implications for sclerotherapy. J
Dermatol Surg Oncol. 1993;19(10):947-51.
Jusi dan Djang, 2010. Dasar-dasar ilmu bedah vaskuler. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI. Hal : 85, 204-255
28
11. Karakata, Sumiardi dan Bachsinar B, 1996. Bedah Minor. Jakarta: Hipokrates.
Hal : 158-
161
29