You are on page 1of 9

SINDROM METABOLIK

Definisi
Sindrom Metabolik / Metabolic Syndrome (MetS/ MetS) merupakan sekumpulan faktor
risiko diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler yang paling berbahaya yang ditandai
oleh keadaan hiperinsulinemia, obesitas, dislipidemia, hiperglikemia dan hipertensi. 1-16

Diagnosa
Sejumlah kelompok ahli telah berusaha membuat definisi SM/ MetS seperti :
a. World Health Organization (WHO ) 1999
b. The European Group for Study of Insuline Resistance (EGIR)
c. The National Cholesterol Education Program Thrid Adult Treatment Panel
(NCEP ATP III )
d. American College of Endocrinology (ACE)
e. International Diabetes Federation (IDF).
Dapat dilihat pada table 1, dengan masing-masing kriterianya.1-14
Tabel 1. Kriteria Diagnosis METS / MetS 1 - 12, 14- 18, 23, 24
Unsur METS WHO NCEP ATP III EGIR ACE IDF
Hipertensi Pengobatan Pengobatan Pengobatan HT TD 130 / Pengobatan HT
HT HT Sistolik 140 85 Sistolik 130
TD > 140/90 TD > Diastolik 90 Diastolik85
130/80
Dislipidemia TG 1,7 PlaMetSa TG PlaMetSa TG > 2.0 PlaMetSa TG level > 150
mmol/l (150 > mg/dl m/mol/L (180 mg/dl) TG > 150 mg/dl (1.7
mg/dl) HDL-C HDL-C <1.0 m/mol.L mg/dl (180 m/mol/L) atau
HDL-C L < 40 mg/dl (40 mg/dl) dan/atau mg/dl) terapi khusus
L<0.9 mmol/l P <50 mg/dl terapi dislipidemia HDL-C gangguan lipid
(35 mg/dl) L <40 HDL-C
P < 1.0 mg/dl L <40 mg/dL (0.9
mmol/l (<40 P <50 mmol/L)
mg/dl) mg/dl P <50 mg/dL (1.1
mmol/L), atau
terapi khusus
gangguan lipid
Obesitas IMT > 30 WC Waist girth Obesitas sentral
kg/m2 dan/atau L > 102 cm L > 94 cm (WC)
WHR P >88 cm P 80 cm Asia : L>90cm
L > 0.90 P>80 cm (nilai
P > 0.85 in P tergantung jenis
etnis)
Gangguan DM2 atau FBG > 110 FBG 6.1 mmo/L FBG 110- FBG 100
metaboliMetSe IGT mg/dl (110 mg/dL) 125 mg/dl mg/dl (5.6
glukosa 2 HPP 140- mmol/L), atau
200 mg/dl didiagnosis
DM2
Lain-lain Hiperinsulinemia
Mikroalbuminur (konsentrasi insulin
ia = kadar UAE puasa > kuartil atas
semalaman > 20 populasi non-diabetes)
g/min (30
mg/g Cr)
Kriteria DM2 atau IGT Minimal 3 Diabetes Tipe 2 atau Obesitas sentral
diagnosis dan 2 kriteria di kriteria IGT dan 2 kriteria + 2 kriteria diatas
atas diatas
Jika toleransi Jika toleransi glukosa
glukosa normal, normal, diperlukan 3
diperlukan 3 kriteria
kriteria

Keterangan :
World Health Organization (WHO ) - 1999
The European Group for Study of Insuline Resistance (EGIR)
The National Cholesterol Education Program Thrid Adult Treatment Panel (NCEP ATP III )
American College of Endocrinology (ACE)
International Diabetes Federation (IDF).
Etiologi
A. Obesitas
Obesitas disebabkan oleh ketidak seimbangan kalori yang masuk dibanding yang keluar.
Penilaian derajat obesitas secara umum berdasarkan IMT ( Indeks Massa Tubuh). Terdapat
hubungan yang erat antara IMT dengan lemak tubuh. Postur tubuh ideal dinilai dari pengukuran
antropometri untuk menilai apakah komponen tubuh tersebut sesuai dengan standard normal atau
ideal. Pengukuran antropometri yang paling sering digunakan adalah rasio antara Berat Badan (
Kg) dan Tinggi Badan ( meter ) kuadrat.
Jaringan adiposa terutama jaringan lemak sentral sekarang diketahui bukan hanya sebagai
tempat penyimpanan lemak, tatapi juga berfungsi sebagai organ endokrin. Sel lemak (adiposit)
telah dibuktikan mengsekresikan berbagai macam protein ke dalam sirkulasi. Protein-protein ini
secara kolektif disebut adipositokin yang sering disebut adipokin yaitu leptin, Tumor Nekrosis
Faktor (TNF) , plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), adipsin, resistin dan adiponektin.
Pada individu obes terjadi penumpukan jaringan adiposa maka akan terjadi peningkatan
produksi adipokin, diantaranya adalah TNF- dan PAI-1. Sehingga diduga bahwa adipokin
tersebut menekan produksi adiponektin pada individu obes.
Kelainan metabolisme yang ditimbulkan oleh penumpukan jaringan lemak terutama
disebabkan oleh peningkatan proses lipolisis serta kadar asam lemak bebas dalam plasma. Pada
penderita diabetes tipe 2, kerja insulin dalam menghambat lipolisis mengalami penurunan akibat
adanya resistensi jaringan lemak terhadap insulin, sehingga kadar FFA meningkat. Sebaliknya,
pada individu obes yang tidak menderita diabetes, yang berperanan dalam meningkatakan kadar
FFA bukanlah resistensi jaringan lemak terhadap insulin, melainkan banyaknya timbunan lemak
yang dimilikinya. Peningkatan kadar FFA juga dapat menghambat kerja insulin di otot.
Randle pada tahun 1963 mengemukakan bahwa asam lemak berkompetisi dengan
glukosa dalam hal metabolisme penyiapan sumber energi.Kelley dkk, melaporkan bahwa
bilamana dibandingkan antara subyek dengan pemberian infus lemak, maka kelompok subyek
yang diberi infus lemak terjadi resistensi ambilan glukosa (glucose uptake) oleh otot, sebagai
akibat dari peningkatan glikolisis & penurunan pembentukan glikogen,keadaan ini menyerupai
diabetes tipe-2. Pada penelitian ini menggambarkan adanya penggunaan lemak yg tidak efisien
pada individu obes. Pada atlet yang terlatih, komposisi triglisedrid otot akan meningkat,
kapasitas oksidatif lemak juga meningkat, keadaan sebaliknya terjadi pada subyek yg obes.
Figure 1. Pathogenesis of obesity-initiated metabolic syndrome

Bagby, S. P. J Am Soc Nephrol 2004;15:2775-2 791

Gambar 1. Patofisologi Obesitas sebagai penyebab Sindroma Metabolik


Copy right 2004 American Society of Nephrology

Adiponektin merupakan adipositokin yang banyak menarik perhatian karena memiliki


efek antidiabetik dan antiaterogenik. Studi menunjukkan bahwa konsentrasi adiponektin
menurun pada kondisi obesitas DMT2 dan hipertensi sehingga diduga konsentrasi adiponektin
yang rendah (hipoadiponektinemia) terkait dengan patofisiologi terjadinya hipertensi.
Kondisi obesitas dapat meningkatkan risiko hipertensi melalui beberapa mekanisme
yaitu: terjadi peningkatan volume darah, stroke volum dan kardiak output sehingga terjadi
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer yang dapat menimbulkan kondisi hipertensi. Hal
ini dikaitkan dengan disfungsi endotel, resistensi insulin, perubahan sistem syaraf simpatik, dan
pelepasan mediator proinflamasi (TNF dan inteleukin 6) sehingga terjadi peningkatan
resistensi pembuluh darah peifer. Obesitas dapat meimbulkan resistensi insulin yang selanjutnya
mengganggu produksi endothelial Nitric Oxide Synthase sehingga menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah.
Peran adiponektin dalam hipertensi melalui beberapa mekanisme yaitu adiponektin
menurunkan inflamasi melalui regulasi negatif terhadap TNF- dan C-Reactive Protein (CRP)
serta menurunkan ekspresi molekul adhesi, pembentukan sel busa dan proliferasi sel otot polos.
Obesitas diketahui sebagai kondisi low grade inflamation yang dapat meningkatkan tekanan
darah. Adiponektin dapat menekan inflamasi sehingga mencegah naiknya tekanan darah.
Adiponektin dapat memperbaiki kondisi resistensi insulin melalui aktivasi AMP- Kinase
sehingga terjadi peningkatan oksidasi asam lemak serta penurunan produksi glukosa endogen
oleh hati sehingga akan menurunkan akumulasi Free Fatty Acid, yang selanjutnya akan
menghambat pembentukan radikal bebas yang dapat merusak Nitric Oxide (NO) yang bekerja
menjaga intigrasi endothel dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.

Sindroma Metabolik

Faktor Lingkungan : Akumulasi Lamak tubuh


Nutrisi >>>
Latihan fisik
Faktor Genetik

Adiponektin
Hypoadiponektin

Resistensi Insulin

Hipertensi : Dislipidemia
TD Triacylglycerol
DM Tipe 2
HDL-c

Aterosklerosis

B. Resistensi Insulin
Reaven adalah orang pertama yang mengajukan teori bahwa resistensi insulin merupakan
salah satu faktor patogenetik yang mendukung terjadinya gangguan toleransi glukosa/diabetes
tipe 2. Resistensi insulin memiliki korelasi dengan lemak viseral yang diukur melalui lingkar
pinggang atau rasio pinggang dengan panggul.
Bukti adanya peran resistensi insulin dalam perkembangan SM/MetS didukung oleh studi
Burneck yang mengamati prevalensi resistensi insulin pada 4800 subyek berusia 40 79 tahun
menggunakan metoda Hemeostatis Model AssesMetSent (HOMA). Dalam studi ini, derajat
resistensi insulin memiliki hubungan dengan jumlah kelainan metabolik, dan saat beberapa
kelainan dikelompokkan bersama, resistensi insulin hampir selalu muncul.
Dalam keadaan normal, insulin plasma menghambat pelepasan FFA dari adiposit,
merangsang pembentukan glikogen otot, serta mengatur metabolisme glukosa dan lipid di hati.
Bila jaringan adiposa, otot dan hati mengalami resistensi terhadap insulin, kadar FFA dalam
darah akan meningkat, pembentukan glikogen di otot menurun dan pembentukan glukosa dan
lipoprotein di hati meningkat. Pada keadaan normal, apabila didapatkan resistensi insulin, maka
tubuh akan merespon dengan meningkatkan produksi/ fungsi insulin untuk mengembalikan kadar
glukosa pada keadaan normal. Kalau proses kompensasi ini menurun, maka kapasitas
menyeimbangkan tersebut berkurang, sehingga tubuh tidak dapat mengembalikan keseimbangan
dan terjadilah hiperglikemia.
Resistensi insulin dapat timbul sendiri tanpa disertai obesitas atau penumpukan lemak
sentral. Hal ini dibuktikan oleh penelitian EGIR tentang sensitivitas insulin pada 1200 individu
non diabetik. Analisa hasil penelitian membuktikan bahwa sensitivitas insulin penduduk eropa
secara umum merupakan suatu variabel yang berbanding terbalik dengan penumpukan lemak ,
kadar insulin plasma puasa, kadar lipid serum serta tekanan darah.
C. Inflamasi
Sebuah pemahaman baru bahwa jaringan lemak pada indivdu-individu yang obes
memilik kaitan dengan produksi berkelanjutan dari mediator-mediator yang menurunkan kerja
insulin pada otot-otot skeletal. Selain itu jaringan lemak yang berlebihan juga berkaitan dengan
penurunan produksi adiponektin.
Adiponektin ialah protein khusus jaringan lemak yang telah terbukti memperbaiki
sensitivitas insulin dan menunjukan efek anti arterogenik Adiponektin memicu aktivasi enzym
Nitrat Oxidase sintesa dilapisan endothel pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan risiko
terjadinya penyakit kardiovaskuler.
Resistensi insulin merupakan respon terhadap asupan kalori yang tidak stabil, peradangan
kronis juga diduga merupakan suatu respon terhadap infeksi. Inflamasi mempunyai peranan
penting pada proses aterogenesis, inflamasi juga dihubungkan dengan DM dan resisten insulin.
Proses aterosklerosis dimulai dengan migrasi limfosit T ke intima vaskuler. Sel ini mensekresi
sitokin dan khemokin yang menyebabkan menarik monosit dan sel otot polos ke sub endothel.
Monosit berubah menjadi makrofag dan memfagositosis oks-LDL, terjadi sel busa yang
nantinya berubah menjadi fatty streak. Setelah pembentukan fatty streak sel otot polos
bermigrasi dari tunika media bermigrasi ke subendothel, mengadakan proliferasi dan
memproduksi matriks ekstra seluler yang terdiri dari kolagen dan elastin yang akan menjadi
kapsula fibrosa. Plak arterosklerosis terbentuk dari inti lipid yang diproteksi kapsula fibrosa.
Makrofag juga memproduksi sejumlah zat proarterogenik dan membebaskan proinflamasi
sitokin dan MMP. Pembebasan sitokin TNF- dan interleukin-1 dengan growth faktor, MMP
dan prokoagulan akan merangsang ekspresi plak, memudahkan terjadinya ruptur dan
pembentukan trombus.
D. Asam Lemak Bebas ( FFA )
Resistensi insulin dapat menyebabkan gangguan profil lipid, sehingga dapat
meningkatkan risiko timbulnya penyakit kardiovaskuler. Insulin tidak hanya mengatur lipolisis
dan kadar FFA dalam darah , tetapi juga mengatur metabolisme VLDL, HDL, dan LDL.
Resistensi insulin akan meningkatkan tranfortasi FFA dan glukosa ke hati sehingga pembentukan
VLDL juga meningkat. Selain itu resistensi insulin juga menyebabkan penekanan apo B 100,
sehingga VLDL tidak dihancurkan, melainkan terus menerus disekresi .
Pada individu yang normal, peningkatan kadar insulin plasma dapat menghambat sekresi
VLDL, sedangkan pada subyek yang resitensi insulin, hal ini tidak terjadi. Insulin juga
meningkatkan penghancuran VLDL dengan cara merangsang kerja Lipoprotein-Lipase ( LPL ),
tetapi pada subyek yang resisten, insulin tidak dapat merangsang kerja LPL sehingga VLDL
tidak dihancurkan. Akibatnya terjadi keadaan hipertrigliseridemia akibat peningkatan sekresi
VLDL dari hati serta gangguan penghancuran VLDL di jaringan perifer.
Komplikasi
MetS.memiliki beberapa akibat bagi kesehatan Penderita.
1. Penyakit Kardiovaskuler
Setiap komponen MetS merupakan faktor risiko bagi timbulnya penyakit kardiovaskuler.
Hasil penelitian Botnia tentang resistensi insulin pada 4000 subyek Finlandia dan swedia
menunjukan bahwa para penderita MetS berisiko dua kali lebih tinggi untuk penderita penyakit
jantung koroner dibandingkan dengan subyek normal.dikutip 17
Verona Diabetes Complications Study dalam penelitiannya dijumpai bahwa resistensi
insulin merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan angka kejadian penyakit
kardiovaskuler pada penderita diabetes tipe 2 antara MetS dengan mortalitas kardiovaskuler
adalah lebih tinggi pada penderita MetS dengan atau tanpa Diabetes. Pada penderita MetS
memiliki risiko relativ hampir mencapai 4 untuk mengalami kematian akibat PJK dan 3,5 untuk
mengalami kematian akibat penyakit kardiovaskuler.dikutip 17
Nurses Health Study menilai hubungan antara C-reaktif protein, Sindroma Metabolik
dan angka kejadian penyakit kardiovaskuler. Pada penelitian tersebut dipantau selama 8 tahun
untuk melihat kejadian infark miokard, stroke, revaskularisasi koroner, serta kematian akibat
penyakit kardiovaskuler. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa para penderita MetS kadar
C-reaktif protein dapat digunakan untuk memperkirakan kejadian penyakit kardiovaskuler di
masa datang.
2. Diabetes
Para penderita MetS non diabetik berisiko sangat tinggi untuk menderita diabetes. Risiko
untuk timbulnya diabetes meningkat bila terdapat gangguan metabolisme glukosa. Penelitian
Farmingham menemukan bahwa penderita MetS berisiko 5 kali lebih tinggi untuk menderita
diabetes dibandingkan dengan subyek normal.17
Para penderita diabetes tipe 2 mengalami gangguan kerja dan sekresi insulin. Pada
penderita MetS, biasanya resistensi insulin terjadi lebih dahulu, kemudian baru dilanjutkan
dengan hiperglikemia dan diabetes. Hasil penelitian menunjukan bahwa resistensi insulin sendiri
sangat meningkatkan risiko timbulnya diabetes tipe 2, meskipun sekresi normal.
3. Hipertensi
Pasien dengan hipertensi mempunyai respon glukosa plasma dan insulin yang tinggi
terhadap tes toleransi glukosa. Abnormalitas ini terjadi baik pada obes maupun non obes.
Respon tersebut diakibatkan adanya resistensi insulin pada pasien hipertensi.
Penelitian oleh Skarfos dkk yang dilakukan pada 2130 orang selama 10 tahun
menunjukan bahwa individu yang normotensi saat awal akan mengalami kenaikan tensi
(hipertensi) jika disertai keadaan obes, insulin plasma dan trigiserida yang tinggi. Prediksi
independen terhadap progresifitas kenaikan tensi adalah obesitas, konsentrasi insulin plasma
dikutip 34
puasa dengan toleransi glukosa oral yang tinggi serta riwayat hipertensi pada keluarga.
Konsentrasi plasma insulin dan ekskresi norepineprin urin menunjukan korelasi yang
bermakna dengan tekanan darah pada Normative Aging Study. Temuan ini menunjukan bahwa
hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi melalui sistem syaraf simpatis. Penelitian
Kern dkk (2005) pada 30 laki-laki sehat dan BMI normal setelah diberikan infus Insulin selama
6 jam didapatkan hasil peningkatan tekanan darah sistolik, amplitudo tekanan darah, denyut
jantung dan kadar katekolamin plasma yang tergantung dosis insulin ( insuline dose-dependent).
Hasil ini mendukung adanya efek insulin dalam menstimulasi sistem syaraf simpatis.
Obesitas, resistensi insulin dan hiperaktivitas syaraf simpatis mempunyai hubungan yang
sangat bermakna pada penelitian Tecumseh, hal ini menunjukan bahwa peningkatan aktivitas
saraf simpatis juga terdapat pada penderita Sindroma Metabolik. Hubungan ketiga itu sangat
jelas dimana aktivitas saraf simpatis akan menyebabkan resistensi insulin dan hiperinsulinemia
sendiri menyebabkan aktifitas saraf simpatis.
Dari study yang melibatkan 12.550 orang dewasa di Amerika selama 6 tahun
menunjukan bahwa individu dengan hipertensi 2,5 kali lebih sering mengalami diabetes tipe 2
dibanding normotensi. Sehinga dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa hipertensi essensial
terdapat suatu keadaan resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Dimana hal ini tidak terjadi pada
hipertensi sekunder.

You might also like