Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Konsep pencegahan penyakit melalui vaksinasi sudah lama berkembang, sejak 1000
SM sudah dimulai di Cina dan India. Istilah vaksinasi diambil dari kata Vacca dari
bahasa latin yang berarti sapi, yang merupakan bentuk bentuk penghargaan untuk Edwar
Jenner yang telah berhasil membuktikan bahwa seseorang yang terserang /terpapar cowpox
memiliki imunitas terhadap pada tahun 1796. Perkembangan vaksinasi sendiri dibagi dalam
tiga masa yakni, era pra-Jenner, era Jenner dan era pasca-Jenner1,2,3,4.
Imunisasi merupakan salah satu bentuk pencegahan penyakit yang efektif, mudah,
serta murah untuk menghindari terjangkitnya penyakit infeksi, mulai dari anak, orang dewasa
hingga orangtua. Imunisasi menjadi salah satu bentuk intervensi kesehatan yang paling
sukses dan efektif. Melalui imunisasi seseorang diharapkan memiliki kekebalan terhadap
suatu penyakit infeksi tertentu, sementara tujuan akhir dari pemberian imunisasi missal
adalah eradikasi suatu penyakit1,2,3,4.
Di Indonesia pada tahun 1990 pemberian imunisasi dasar pada anak sudah mencapai
90% melalui program Universal Child Immunization. Tahun 2011-2020 telah dicanangkan
oleh WHO dan UNICEF bersama komunitas internasional lainnya telah sebagai Decades
of vaccines (DOV). Perkembangan imunisasi anak tersebut belum diikuti oleh
perkembangan imunisasi pada orang dewasa. Imunisasi pada orang dewasa dapat mencegah
kematian sepuluh kali lipat dibandingkan pada anak, hal ini sesuai dengan yang disampaikan
oleh American Society of Internal Medicine dalam pertemuannya di Atlanta. Kurang
berkembangnya imunisasi pada orang dewasa ini disebabkan oleh karena adanya keraguan
dari masyarakat maupun petugas pelayanan kesehatan terhadap keamanan vaksinasi, ganti
rugi yang tidak memadai, akses yang sulit, fasilitas yang kurang memadai dan vaksin yang
tidak tersedia.5.
Indikasi pemberian imunisasi pada orang dewasa didasarkan pada riwayat paparan,
resiko penularan (baik bersifat individual maupun besrifat komunitas seperti petugas
kesehatan), usia lanjut, imunokompromais, serta adanya rencana bepergian seperti ibadah
atau wisata6.
Imunisasi dewasa dianjurkan bagi mereka yang berusia diatas 12 tahun dan ingin
mendapat kekebalan. Pada usia lanjut juga dianjurkan untuk diiumunisasi karena pada usia
diatas 60 tahun akan terjadi penurunan sistim imun nonspesifik, seperti penurunan produksi
airmata, mekanisme batuk tidak efektif, gangguan pengaturan suhu, serta perubahan fungsi
sel sistem imun, baik selular maupun humoral1,2,3,6.
Imunitas atau kekebalan dapat terjadi secara alami setelah infeksi oleh kuman tertentu
maupun penyaluran antibodi pada bayi lewat plasenta. Imunitas buatan dapat berupa imunitas
buatan aktif dan imunitas buatan pasif. Imunitas aktif didapat dengan cara memaparkan suatu
antigen dari suatu mikroorganisme dan akan bertahan lebih lama karena adanya memori
imunologi, imunitas bautan pasif diperoleh dengan sengaja memasukkan antibodi, antitoksin
Terdapat dua kelompok besar respon imun yang merupakan respon tubuh untuk
mengeliminasi antigen, 8:
1. Respon imun nonspesik (nonadaftip, innate) yang ditujukan tidak hanya pada 1
antigen , berupa komponen selular ( magropag, neutrofil, sel natural killer dan
komponen humoral (sitokin, interferon)).
2. Respon imun spesifik (adaptif, acquired) yang ditujukan spesifik hanya pada
komponen 1 antigen. Terdapat dua komponen, yaitu komponen seluler (limposit
T) dan komponen humoral (limposit B yang memproduksi antibodi). Respon imun
spesifik akan terpicu bila respon imun nonspesifik belum mampu mengatasi invasi
antigen.
Respon sel T terhadap invasi antigen (termasuk antigen vaksin) hanya dapat dimulai
bila antigen tersebut sudah diproses dan dipresentasikan oleh antigen presenting cell (APC).
Hal itu timbul karena sel T hanya dapat mengenali antigen yang terikat pada protein major
histocompability complex (MHC)7.
Terdapat 2 kelas MHC, yang masing-masing dapat dikenali oleh 1dari 2 subtipe sel T.
MHC kelas I diekspresikan oleh seluruh sel somatik, untuk mempresentasikan antigen pada
sel T sitotoksik (cytotoxic T lymphocytes, CTL) dengan petanda permukaan CD8 yang dapat
menyebabkan kematian sel terinfeksi atau patogen. Sedangkan MHC kelas II diekspresikan
oleh magropag dan beberapa sel lain untuk mempresentasikan antigen pada sel T helper (Th)
dengan petanda permukaan CD48.
Bersama dengan sinyal kostimulator, antigen yang terikat pada MHC kelas II akan
mengatifkan sel Th. Kemudian sel Th akan berdiffrensiasi menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1
akan memicu kerja CTL, berlawanan dengan sel Th2. Aktivasi sel Th juga menyebabkan
sekresi interleukin-2 (IL-2) dan ekspresi reseptor spesifik Il-2 pada permukaan sel Th. IL-2
bekerja autokrin dengan memicu sel T agar lebih aktif melakukan proliferai dan
Kontak antigen dan Th juga menstimulasi pengeluaran IL-1 oleh APC. Kerja IL-1
sebagai autokrin ini meningkatkan ekspresi MHC kelas II pada APC yang akan memperkuat
ikatan APC dan Th. Bersamaan dengan itu, IL-1 juga memicu sekresi IL-2 oleh Th. Dua
sitokin lain juga dihasilkan magrofag, yaitu tumor necrosis factor (TNF) dan IL-6 bekerja
secara sinergis dengan IL-1. Sel Th yang teraktivasi juga menyebabkan difrensiasi sel T
menjadi sel T memori yang berperan pada respon imun spesifik sekunder.
Terdapat perbedaan respon imun spesifik primer humoral ynag ditimbulkan oleh
antigen protein dan antigen polisakarida. Saat rangsangan oleh antigen protein, reseptor Ig
pada permukaan sel B akan mengenali dan berinteraksi dengan epitop dari antigen, baik
secara langsung ataupun dengan bantuan sitokin ( Il-2, Il-4, dan Il-6) yang dihasilkan sel Th .
Sel B yang tela teraktivasi akan berdifrensiasi menjadi sel plasma dan sel B memori yang
berperan pada respon imun spesifik sekunder. Sel plasma inilah yang menghasilkan antibodi
spesifik. Perangsangan oleh antigen polisakarida turut mencetuskan reaksi serupa. Akan
tetapi tidak terjadi reaksi imunitas humoral yang dibantu oleh sel T Pada pusat germinal
(germinal center). Perbedaan lainnya adalah plasma yang timbul akibat perangsangan oleh
Gambar 3, Respon imun spesifik primer humoral akibat rangsangan antigen protein7
Sebagai bentuk memori imunologik, respon imun spesifik primer memicu difrensiasi
sel limposit baik sel B maupun sel T menjadi sel B memori dan sel T memori. E, dua subtipe
sel tersebut berperan pentimg dalam respon imun spesifik sekunder.
Sebagai respon terhadap adanya infeksi primer, terjadi difrensiasi sel B menjadi sel
plasma dan sel memori pada germinal center jaringan limpoid. Kemudian sel plasma
bermigrasi kedalam sumsum tulang dan sel memori bersirkulasi ke seluruh tubuh. Ketika sel
memori beredar kembali ke jaringan limpoid yang mengandung antigen serupa, siklus
difrensiasi menjadi sel plasma berlangsung lebih cepat. Diproduksilah antibodi dengan
afinitas dan jumlah yang lebih tinggi7,8.
Berbeda dengan respon imun humoral primer yang awalnya menghasilkan IgM
dilanjutkan dengan IgG, respon imun humoral sekunder sejak awal menghasilkan IgG dalam
kadar lebih tinggi. Respon humoral ini dapat dinilai secara kuantitatif dengan mengukur
kadar antibodi spesifik dalam serum. Respon imun spesifik primer humoral akan menurun
seiring dengan proses metabolisme antibodi yang sudah terbentuk pascakontak dengan
antigen. Meskipun demikian, pemberian booster atau infeksi alamiah diharapkan dapat
meningkatkan simpanan/depo antigen pada germinal center, sebagai pemicu peningkatan
respon imun humoral berupa sel plasma dan sel B memori7,8.
1. Aktivasi oleh patogen yang sudah pernah dikenali oleh tubuh sebelumnya.
2. Aktivasi oleh patogen dengan satu atau lebih antigen yang sama dengan patogen
yang sudah pernah dikenali oleh tubuh sebelumnya. Hal tersebut dikenal sebgai
imunitas silang atau heterologus yang dapat menguntungkan karena eliminasi
patogen berlangsung lebih cepat atau merugikan seperti kasus imunopatologi.
3. Aktivasi oleh sitokin dalam kadar yang tinggi di darah, yang terinduksi oleh
patogen lain yang sama sekali berbeda dengan patogen yang sudah pernah
dikenali oleh tubuh sebelumnya.
Untuk mencapai efektivitas yang baik pada pemberian imunisasi diperlukan cara
pemberian imunisasi yang tepat. Tata cara pemberian yang tepat dapat berupa tempat
penyuntikan, cara pemberian, dan dosis vaksin yang akan diberikan. Beberapa hal yang harus
diperhatikan mulai dari persiapan dan penyuntikan vaksin10,11.
Persiapan pasien
Persiapan pasien dapat dinilai dengan HALO yakni: health atau kondisi kesehatan
pasien tersebut apakah pasien sedang menderita sakit kronis, hamil atau riwayat penyakit
seksual atau penurunan imun, Age: umur, apakah pasien masih dewasa muda tau diatas
Persiapan Vaksin
Persiapan vaksin dapat dimulai dari pemeriksaan vaksin dapat diperiksa secara visual
mulai tanggal kadaluarsa dan juga apakah ada perubahan warna dari vaksin tersebut.
Pengenceran vaksin dilakukan sesuaidengan petunjuk yang diberikan oleh produsen vaksin
tersebut seperti jenis pelarut, jumlah pelarut dab berapa lama vaksin yang sudah diencerkan
dapat dipakai lagi. Vaksin yang sudah diencerkan dan dimasukkan kedalam alat suntik harus
diberikan label sehingga tidak mengalami kesulitan dalam memgidentifikasi vaksin
tersebut10.
Teknik Penyuntikan
Pada orang dewasa, penyuntikan dilakukan pada lengan pasien bagian atas.
Penyuntikan dilakukan secara intramuscular dan subkutan. Vaksin yang mengandung adjuvan
harus disuntikkan secara intramuscular untuk menghindari iritasi local, indurasi, perubahan
warna kulit, inflamasi serta pembentukan granuloma6,11,12,13.
Imunisasi dewasa dianjurkan bagi mereka yang berusia diatas 12 tahun dan ingin
mendapat kekebalan.Ada beberapa lasan mengapa orang dewasa memerlukan imunisasi,
yakni: pemberian imunisasi pada waktu anak-anak tidak memberikan jaminan kekebalan
yang tetap untuk seumur hidup, dan imunisasi telah terbukti memiliki peran yang
samapentingnya dengan diet dan olehraga dalam menjaga kesehatan12.
Jenis vaksin
Indikasi dari penggunaan vaksin didasarkan pada didapatkannya riwayat pajanan, resiko
penularan, usia lanjut, imunokompromais13.
Jadwal pemberian: diberikan pada orang dewasa dengan riwayat vaksinasi yang tidak
mendapatkan vaksinasi primer sejumlah tiga dosis. Dua dosis pertama vaksinasi
diberikan dengan jarak 4 minggu, dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis
kedua. Tdap digunakan pada salah satu dosis dari vaksinasi primer tersebut, dua dosis
yang lain menggunakan Td. Setelah vaksinasi primer , dosis penguat diberikan setiap
10 tahun sekali. Cara pemebrian dengan Intramuskular (IM) daerah deltoid dengan
dosis 0,5mL.
Jenis Vaksin: toksoid, sediaan : Tdwp (pediacel), Tdap (tripacel
, infanrix,
infanrix-Hib)
10
3. Influenza 3,17
Influenza merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang disebabkan virus influenza.
virus tersebut sering menyebabkan kejadian luar biasa seperti kasus flu burung (avian
Influenza) H5N1, dan Flu babi (swine Flu) H1N1.
Indikasi : orang yang berusia diatas 50tahun, orang yang berusia 6 bulan-50tahun
yang dirawat lama dipasilitas kesehatan, orang yang bekerja atau tinggal dengan
orang yang berisiko selama lebih dari 6 bulan, wanita hamil yang memiliki masalah
kesehatan, wanita hamil yang akan memasuki musim influenza, semua petugas
11
5. Hepatitis A7,19
Virus Hepatitis A merupakan Enterovirus RNA tipe 72 yang termasuk dalam
kelompok virus picorna. Pencegahan infeksi dalam bentuk imunisasi dapat diberikan
dalam bentuk iumisasi pasif dan aktif. Indikasi: Food handlers, orang yang bepergian
selain ke AS, Eropa, Australia, New Zealand, Canada dan Jepang, orang dengan
penyakit hati kronik termasuk hepatitis C dan Hepatitis B, kelainan pembekuan darah,
peneliti hepatitis A. Kontraindikasi: reaksi alergiKewaspadaan: wanita hamil, pasien
dengan penyakit akut sedang atau berat.Jawdal pemberian: diberikan dalam dua dosis
12
7. Meningokokus7,19
Meningitis meningokok disebabkan oleh neisseria meningitis, jenis vaksin untuk
meningitis meningokok ada dua yakni : Plain polysaccharide vaccines dan
Conjugated vaccines.
Indikasi: calon jemaah haji, individu dengan gangguan sistem imun, pasien asplenia
anatomic dan fungsional, individu yang akan bepergian ke daerah yang terdapat
eoidemi meningikokus, pelajar yang tinggal diasrama, tentara, ahli mikrobiologi yang
serig terekspos dengan bakteri meningokous.
13
9. Demam Tifoid7,19
Demam Tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, penularannya sebagian
besar melalui makan dan minuman yang terkontaminasi.
Indikasi: pekerja jasa boga, wistawan yang berkunjung kedaerah endemik
Kontraindikasi: injeksi ( demam >38.50C), oral ( peradangan saluran cerna )
Kewaspadaan: individu yang mendapat terapi antimalaria, antibiotic dan vaksin kolera
oral. Diberikan secara intramuscular atau subkutan dengan dosis 0.5mL
Jenis vaksin: Virus dilemahkan dan virus mati , Sediaan: Typherix, Typhim Vi
14
12. Rabies7,19
Penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan saraf tepid an pusat akibat
masuknya virus rabieskedalam tubuh melalui gigitan hewan penular rabies. Di udara
terbuka virus dapat mati jika dicuci dengan zat pelarut lemak, misalnya sabun,
detergen dan eter. Sediaan vaksin rabies diIndonesia adalah Purified Vero Rabies
Vaccine (PVRV).
Indikasi: petugas yang bekerja dengan hewan, pekerja laboratorium, peneliti gua,
wisatawan yang bepergian ke daerah endemis, individu yang tergigit, tercakar atau
15
16
17
18
19
20
Individu sehat yang mendapat vaksin akan menginduksi respon humoral dan seluler,
sehingga tercapai respon imun yang mampu untuk memproteksi diri dari penyakit. Untuk
mencapai respon tersebut kadang vaksin harus diberikan dalam beberapa dosis dan juga
adanya pemberian booster atau ulangan. Fenomena responder dan nonresponder ini
dicetuskan oleh Chiaramonte at al, yang terjadi akibat tidak terbentuknya respon imun
humoral. fenomena responder dan nonresponder ini difokuskan pada vaksin hepatitis B .
setelah pemberian vaksin hepatitis B sebanyak 3 dosis akan tercapai titer antibody >10IU,
tetapi pada beberapa orang , sekitar 10% pada orang dewasa dan 5% pada anak-anak hal
tersebut tidak tercapai8.
21
Tindakan pemberian imunisasi tidak terlepas dari suatu reaksi yang bias saja terjadi
setelah pemeberian vaksinasi berupa reaksi lokal maupun sistemik dapat terjadi. Seiring
dengan cakupan imunisasi yang makin tinggi maka penggunaan imunisasi juga makin tinggi
dan angka kejadian KIPI juga meningkat. Secara definsi KIPI adalah sebagai reaksi simpang
yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi atau adverse events following
immunization (AEFI) adalah kejadian medis yang berhubungan dengan imunisasi baik
berupa efek samping maupun efek vaksin, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis,
atau kesalahn program, koinsidensi, reaksi suntikan atau hubungan kausal yang tidak dapat
ditentukan. Pelaksana dari imunisasi tersebut harus mengetahui berapa besar dan hal apa saja
insidean dan bentuk kejadian yang tidak diharapkan dari suatu imunisasi. Sebelum
melakukan tindakan imunisasi harus dilakukan pemberian informasi mengenai resiko dan
keuntungan imunisasi yang akan diberikan, dan dilakukan pencatatan di kartu imunisasi28.
KIPI yang terjadi dalam menghadapinya perlu diketahui apakah kejadian tersebut
berhubungan dengan vaksin ayang diberikan ataukah secara kebetulan. Efek tidak langsung
dari vaksin dapat disebabkan kesalahn teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi vaksin,
kesalahn prosedur, kesalahan teknik imunisasi atau kebetulan.
Klasifikasi KIPI
1. Klasifikasi lapangan menurut WHO western Pacific (1999) untuk petugas kesehatan
lapangan. Klasifikasi ini meliputi kesalahan program, reaksi suntikan, reaksi vaksin,
koinsidensi, dan sebab tidak diketahui.
2. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP KIPI.
a. Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated)
b. Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal (unlikely)
c. Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (probable)
d. Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)
22
Herd Imunity
Kesimpulan
23
24
25
26