You are on page 1of 29

Policy Paper

Implementasi BBG Berbasis Perda 2/2005 Propinsi DKI Jakarta,


Mencari Solusi Melalui Insentif Ekonomi

Disusun oleh :

Pelaksana Program :
John Livingstone Wuisan
Sekretaris Jenderal DPP Mitra Emisi Bersih

Program Advokasi
Pemanfaatan BBG Sektor Transportasi Di Propinsi DKI Jakarta
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2/2005
Tentang Pengendalian Pencemaran Udara

Pelaksanaan Program Advokasi Didukung Oleh :


Clean Air Project (CAP) Swisscontact

MITRA EMISI BERSIH


September 2006
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

RINGKASAN EKSEKUTIF

Dokumen Policy Paper berjudul IMPLEMENTASI BAHAN BAKAR GAS BERBASIS


PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
ini disusun sebagai salah satu program dan kontribusi Mitra Emisi Bersih sebagai
institusi nasional multistakeholder yang peduli pada peningkatan kualitas udara,
dimana pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi berpotensi
menurunkan tingkat pencemaran udara, khususnya di daerah urban dalam
mewujudkan cita-cita udara bersih bagi semua orang.

Pemanfaatan gas sebagai bahan bakar untuk sektor transportasi di Indonesia


telah dimulai sejak tahun 1986. Selang 20 tahun terakhir ini, penggunaan gas ini
terombang-ambing oleh ketidakjelasan arah yang meliputi keterbatasan sumber-
sumber daya, baik persoalan ketersediaan gas, pipanisasi, biaya dan investasi,
sosialisasi, dan lain sebagainya yang juga terkombinasi dengan inkonsistensi atau
ketidakstabilan kebijakan Pemerintah.

Kewajiban penggunaan gas untuk kendaraan angkutan umum dan kendaraan


operasional Pemerintah Daerah di wilayah Propinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 Peraturan Daerah 2 Tahun 2005 Propinsi DKI Jakarta merupakan
sebuah terobosan dan perkembangan yang cukup menggembirakan. Artinya bahwa
telah ada sebuah kebijakan publik di tingkat Peraturan Daerah yang secara spesifik
mengatur yang harus dilihat sebagai peluang daya dorong bagi percepatan
implementasi gasifikasi kendaraan, sebagaimana telah menjadi harapan banyak
orang setelah melewati masa pasang surut selama 20 tahun. Di tingkat teknis
implementasi, sebuah Draft Peraturan Gubernur tentang kewajiban penggunaan gas
ini telah disusun pada awal sampai pertengahan tahun 2006 (informasi terakhir
sedang dalam proses verbal di Kantor Gubernur DKI Jakarta). Dalam perjalanan
penyusunan Draft Peraturan Gubernur ini, menurut catatan yang ada, persoalan
insentif ekonomi masih menjadi bahan/substansi yang harus dipertajam lebih jauh.
Hal inilah yang kemudian mendorong Mitra Emisi Bersih untuk mengambil bagian
untuk secara khusus menyusun bahan advokasi, yang kemudian berbentuk sebuah
Policy Paper, dimana pada awalnya diarahkan bagi pemilik kendaraan semata-mata,
kemudian berkembang membahas hal-hal yang lebih luas terkait insentif ekonomi.
Cakupan insentif ekonomi dalam dokumen ini secara spesifik menguraikan 5 (lima)
aspek utama, yaitu Terminologi Masa Transisi, Skala Prioritas Target Jenis
Angkutan/Kendaraan, Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis
Angkutan/Kendaraan, Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif,
dan Para Pelaku lapangan sebagai Penerima Insentif.

Berbagai rumusan yang ada dalam dokumen ini diharapkan dapat menjadi
bahan masukan bagi pihak-pihak terkait, baik Pemerintah, unsur Swasta, maupun
masyarakat luas untuk dapat mengambil peran masing-masing dalam
mengimplementasikan program atau gerakan gasifikasi kendaraan menuju pada
udara yang lebih bersih.

Halaman-1
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

DAFTAR ISI

Halaman

Ringkasan Eksekutif ........................................ 1

Daftar Isi .............................. 2

Daftar Tabel .............................. 3

Bab I PENDAHULUAN .............................. 4

Bab II DATA HISTORIS DAN SITUASI TERKINI ........................ 6

Bab III GAMBARAN UMUM PROBLEMATIKA ........................ 13


III.A. Masalah Yang Dihadapi Pemakai / Calon Pemakai (hal. 13)
III.B. Masalah Yang Dihadapi Sistem Penunjang Kendaraan (hal. 14)
III.C. Masalah Yang Dihadapi Produsen (Pertamina) (hal. 15)
III.D. Faktor Keselamatan Pemakaian Gas (hal. 16)

Bab IV SKEMA EKONOMI, TINJAUAN SITUASI DAN REKOMENDASI ..... 17


IV.1. Terminologi Masa Transisi (hal. 17)
IV.2. Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan (hal. 19)
IV.3. Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis
Angkutan/Kendaraan (hal. 20)
IV.4. Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola
Insentif (hal. 21)
IV.5. Para Pelaku lapangan sebagai Penerima Insentif (hal. 22)

Lampiran Daftar Referensi ........................... 28

Halaman-2
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

DAFTAR GRAFIK DAN TABEL

A. Daftar Grafik

Grafik 1 : Perkiraan Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA


Metro Jaya, Th. 1990-2015 (hal. 4)
Grafik 2 : Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya,
Th. 2005 (hal. 5)
Grafik 3 : Perkembangan Harga Bahan Bakar Gas Per LSP Di Indonesia,
Th. 1986-2006 (hal. 7)
Grafik 4 : Perkembangan Kendaraan Bahan Bakar Gas Di DKI Jakarta, Th.
1987-2004 (hal. 7)

B. Daftar Tabel

Tabel 1 : Perkembangan Penggunaan Bahan Bakar Gas Di Beberapa


Negara (hal. 6)
Tabel 2 : Besaran Penjualan Bahan Bakar Gas Sektor Transportasi (CNG
dan LPG) Di Indonesia, Th. 1997-2001 (hal. 8)
Tabel 3 : Besaran Penjualan Gas Bumi Di Indonesia Menurut Sektor, Th.
1999-2003 (hal. 8)
Tabel 4 : Daftar Regulasi terkait Penggunaan Gas untuk Sektor
Transportasi Di Indonesia (hal. 9-10)

Halaman-3
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Bab I
PENDAHULUAN

Pertumbuhan kendaraan bermotor yang dikaitkan dengan dampak yang


ditimbulkan terhadap kualitas udara di Indonesia sudah menjadi perhatian dalam
beberapa tahun belakangan. Dalam beberapa hal, persepsi masyarakat tentang
dampak emisi kendaraan terhadap lingkungan hidup, serta apa yang harus dilakukan
dalam mengatasi persoalan tersebut, juga muncul dari pengetahuan terhadap apa
yang telah dilakukan di negara-negara lain. Upaya untuk mengendalikan emisi
kendaraan bermotor memang sudah berlangsung sejak 30 tahun lalu di beberapa
negara, namun kualitas udara di wilayah perkotaan masih merupakan masalah besar
di banyak negara di dunia.

Tingkat ekonomi yang bertumbuh sebagai bagian dari hasil Pembangunan


Nasional merupakan total hitungan dari berbagai aspek aktivitas, di antaranya
adalah kegiatan industri dan transportasi. Kedua aspek ini jugalah yang sangat
signifikan kontribusinya pada penurunan kualitas udara ambien dan atmosfir.
Penurunan ambien ini terjadi karena emisi yang berasal dari sektor industri,
transportasi, domestik ataupun kebakaran hutan, yang telah melampaui daya
dukung lingkungan sehingga tidak dapat dinetralkan secara alamiah. Dalam konteks
ini, intervensi perubahan sikap dan gaya hidup, teknologi, dan kebijakan menjadi
alternatif utama untuk menjaga udara tetap layak untuk dihirup.

Dari berbagai aktivitas yang berkontribusi pada tingginya polusi udara di


wilayah perkotaan, sektor transportasi darat yang merupakan kombinasi dari
kendaraan angkutan orang dan barang, mempengaruhi sedikitnya 70%1 dari total
sumber yang ada. Sisi lain, istilah ini lebih tepat dipakai daripada menggunakan
terminologi : sisi negatif, dari pertumbuhan populasi kendaraan sama artinya dengan
peningkatan jumlah unit kendaraan yang memuntahkan polutan-polutan ke udara
setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik. Perkiraan populasi
kendaraan bermotor dalam wilayah hukum Kepolisian Daerah Metro Jaya dapat
digambarkan melalui Grafik2 di bawah ini.

Grafik 1.
Perkiraan Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya, Th. 1990-2015
1
Studi JICA dan SARPEDAL, 1996.
2
Draft atas revisi pertama (Juli 2002) Asian Development Bank, RETA: 5937 Reducing Vehicles Emissions,
Integrated Vehicles Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta, hal. 14

Halaman-4
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Data resmi yang Sepeda Motor,

dikeluarkan instansi3 5,343,211 Unit, 24%

terkait mencatat Sub-Total Total (Termasuk


populasi kendaraan Non Sepeda Motor, Sepeda Motor),
4,004,640 Unit, 9,347,851 Unit,
bermotor di DKI 18% 41%

Jakarta pada tahun


2005 sebagaimana
Grafik berikut ini, Bus,
Total Populasi
yang menggambarkan 787,230 Unit,
3% Mobil Beban, Di Indonesia,
Populasi Kendaraan
besaran prosentase 1,187,621 Unit,
Mobil Penumpang,
2,029,789 Unit,
19.61%
Di Propinsi DKI Jakarta
5%
populasi DKI Jakarta 9% Tahun 2005

terhadap populasi
nasional. Grafik 2.
Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya, Th. 2005

Pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi adalah salah satu
solusi bagi upaya penurunan polusi udara.

Terobosan hukum yang dilakukan melalui Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta
Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang mewajibkan
penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan umum dan kendaraan operasional
Pemerintah Daerah di wilayah DKI Jakarta merupakan harapan baru bagi percepatan
implementasi BBG Sektor Transportasi yang telah dicanangkan selama 20 tahun
terakhir.

Kepedulian dan partipasi pemilik kendaraan yang diwajibkan menggunakan bahan


bakar gas sesuai Perda 2/2005 tersebut harus dirangsang sedemikian rupa dengan
berbagai pola atau skema ekonomi sehingga tersedia fasilitas bagi mereka
mendukung Program dimaksud. Kesuksesan penerapan bahan bakar gas untuk
angkutan umum, dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah ini, dapat menjadi
acuan utama dan pelajaran berharga bagi program masa datang untuk penerapan
bahan bakar gas bagi kendaraan pribadi.

Draft Dokumen Kebijakan ini mengangkat alasan-alasan dalam mengajukan


rekomendasi kebijakan dan strategi. Bahan yang disiapkan oleh Mitra Emisi Bersih ini
berisi usulan kebijakan pengurangan emisi kendaraan bermotor berbasis Peraturan
Daerah DKI Jakarta Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, secara
khusus penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan dengan pendekatan
ketersediaan insentif ekonomi bagi pemilik kendaraan.

3
Direktorat Lalu Lintas, POLRI, 2006 (InfoLantas).
Halaman-5
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Bab II
DATA HISTORIS DAN SITUASI TERKINI

Sejarah pemakaian bahan bakar gas untuk kendaraan bermotor telah


berlangsung cukup lama. Sebagai contoh, di Italia telah digunakan sejak tahun 1920-
an. Selain di Italia, telah digunakan di beberapa negara lain. Data jumlah kendaraan
berbahan bakar gas di beberapa negara lain berikut jumlah SPBG dan rationya di
beberapa negara menurut data4 European Natural Gas Vehicle Association dan
International Association for Natural Gas Vehicle (IANGV) adalah sebagai berikut :

Nama Jumlah Jumlah Ratio


Negara Kendaraan BBG SPBG

Argentina 668.480 923 724


Italia 370.000 355 1.042
Federasi Rusia 30.000 202 149
Canada 20.505 222 92
USA 102.430 1.250 82
Brazil 80.000 131 611
Venezuela 33.586 150 224
Mesir 24.115 45 536
Selandia Baru 12.000 100 120
China 36.000 70 514
Jepang 8.053 138 58
Jerman 10.000 146 68
Pakistan 200.000 200 1.000
Malaysia 3.700 18 206
Indonesia 3.000 12 250

Tabel 1.
Perkembangan Penggunaan Bahan Bakar Gas di Beberapa Negara

Meskipun sejarah penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan bermotor sudah
berlangsung cukup lama, tetapi pertumbuhan jumlah kendaraan yang berbahan-
bakar gas tidak secepat pertumbuhan jumlah kendaraan yang berbahan bakar
minyak. Sampai saat ini5 jumlah kendaraan yang berbahan bakar gas di dunia
diperkirakan baru mencapai 1,7 juta unit. Jumlah tersebut sangat kecil
dibandingkan jumlah kendaraan berbahan bakar bensin dan solar yang diperkirakan
mencapai 99% dari total populasi kendaraan di dunia.

Di Indonesia, bahan bakar gas ditetapkan oleh pemerintah untuk digunakan


pada sektor transportasi pada bulan Juni 1986, dalam rangka mendukung program
diversifikasi energi serta program lingkungan hidup yang dikenal sebagai Program
Langit Biru. Pada bulan April 1989, gas sebagai bahan bakar kendaraan mulai
dipasarkan secara komersial di Jakarta dengan harga Rp. 190 per Isp (liter setara
premium). Harga ini kemudian naik mencapai Rp. 450 per Isp pada tahun 1998 yang
bertahan hingga November 2004. Secara garis besar, perkembangan harga bahan
bakar gas per lsp sampai saat ini digambarkan pada Grafik6 3.
4
Laporan Akhir, KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral,
2003, hal. 14, telah diolah kembali.
5
Ibid.
6
Diolah MEB dari berbagai sumber.
Halaman-6
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Perkembangan Harga BBG Per LSP Di Indonesia


Tahun 1986 s/d 2006

3,500
3,000
3,000
Rp. Per LSP
2,562
2,500
2,000 1,550
1,500
700
1,000 190 450
500
0
April 1986 1998 Agustus November Februari Agustus
2003 2004 2006 2006

Waktu

Grafik 3.
Perkembangan Harga Bahan Bakar Gas Per LSP Di Indonesia, Th. 1986-2006

Perkembangan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi di DKI


Jakarta tidak terlepas dari posisi DKI Jakarta sebagai lokasi pilot project nasional.
Pemanfaatan gas untuk transportasi dimulai dengan pelaksanaan konversi 300 taksi
di tahun 1987. Jumlah ini meningkat perlahan menjadi 4.500 kendaraan dalam
waktu 10 tahun kemudian ditambah dengan sekitar 40 bus besar. Puncaknya pada
tahun 2000, pada saat jumlah kendaraan pengguna gas mencapai angka 6.600 unit.
Setelah itu, jumlahnya turun drastis, dan hanya tersisa 2.500 di tahun 2002,
bahkan menjadi hanya 534 unit pada tahun 2004. Sementara itu, berkaitan dengan
permasalahan teknis yang dialami PPD dalam mengoperasikan bus berbahan bakar
gas, jumlah bus dimaksud pada tahun 2002 hanya tersisa 5 unit, dan habis sama
sekali di tahun 2004. Grafik7 di bawah ini menggambarkan kondisi tersebut.

Jumlah Kendaraan yang Menggunakan BBG


7000
6633

6000

4881 4944
5000
4660
4503

4000 3889

3000
3000
2565 2500

2000
2000
1479
1017
1000
500 551 534
300 300 40 40 40 25 18 5
0 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 199 8 199 9 2000 2 001 20 02 20 04

Grafik 4.
Perkembangan Kendaraan Bahan Bakar Gas Di DKI Jakarta, Th. 1987-2004

Di tahun 1998 di Jakarta diperkirakan kendaraan berbahan bakar gas meliputi


3.000 unit taksi dan 110 unit bus milik Perum PPD DKI. Di samping taksi dan bus kota
tersebut, juga telah dioperasikan sekitar 40 unit mikrolet berbahan bakar gas.

7
Dokumen Rencana Strategis PEMANFAATAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI DI PROPINSI DKI
JAKARTA, BPLHD DKI Jakarta, 2004
Halaman-7
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Sampai dengan tahun 2003 telah dibangun 28 unit SPBG, terdiri dari 21 unit milik
Pertamina dan 7 unit milik swasta. Dari 21 unit SPBG milik Pertamina, yang
beroperasi saat ini hanya 11 unit, sementara dari 7 unit SPBG milik swasta,
beroperasi 6 unit. Total kapasitas dari 28 unit SPBG tersebut sebesar 403.020 Isp per
hari dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai 18% dari total kapasitas. Selain
CNG, sejak tahun 1995 LPG juga telah dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk
kendaraan bermotor di Indonesia. Hingga saat ini telah dibangun 18 unit SPB LPG
(SPBE) oleh pihak swasta dimana yang beroperasi hanya 8 unit di Jabotabek.

Seiring dengan perkembangan situasi, di tahun 2003 Gubernur DKI Jakarta


mengeluarkan Instruksi8 untuk melakukan pemeriksaan peralatan konversi bahan
bakar gas di wilayah DKI Jakarta. Laporan Program Aksi yang diterbitkan pada
pertengahan 2004 ini menyebutkan bahwa tersisa 534 unit kendaraan yang masih
menggunakan bahan bakar gas dimana 58,24% dari angka tersebut dinilai memiliki
instalasi peralatan konversi yang tak laik jalan. Di samping itu, dari 14 SPBG dan 12
SPBE yang telah ada di Jakarta, ditemukan hanya 7 SPBG9 yang masih beroperasi.

Perkembangan penggunaan bahan bakar gas untuk transportasi dapat pula dibaca
melalui indikator besaran penjualan10 CNG dan LPG untuk transportasi selang tahun
1997 sampai 2001, sebagai berikut :

Tahun BBG (LSP) LPG (LSP)


1997 20.233.637 1.148.210
1998 27.501.348 2.335.454
1999 28.839.000 1.033.989
2000 27.184.000 1.068.226
2001 21.766.805 1.506.394
Tabel 2.
Besaran Penjualan Bahan Bakar Gas Sektor Transportasi (CNG dan LPG)
di Indonesia, Th. 1997-2001

Lebih jauh, besaran pemanfaatan Gas Bumi menurut sektor peruntukkannya dapat
digambarkan pada Tabel11 berikut ini.

Penjualan Gas Bumi Menurut Sektor (juta m3)


Industri &
Tahun Rumah Tangga Transportasi Jumlah
Komersialisasi
1999 12 1.612 23,1 1.647
2000 13 1.908 21,8 1.942
2001 14 2.117 17,5 2.148
2002 15 2.440 15,6 2.471
2003 16 2.682 15,6 2.714
Tabel 3.
Besaran Penjualan Gas Bumi Menurut Sektor di Indonesia, Th. 1999-2003

8
Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi
Bahan Bakar Gas Di Wilayah Propinsi DKI Jakarta.
9
Terdiri dari SPBG di Jl. Tendean-Mampang, Jl. Raya Pasar Minggu, Jl. Raya Pluit, Jl. Pemuda, Jl. Tebet Timur,
Jl. Boulevard Kelapa Gading, dan Jl. Sumenep.
10
Laporan Akhir, KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral,
2003, Bab III.
11
Sumber : Ditjen MIGAS, Departemen ESDM, dikutip dari Buku Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2005,
hal. 165.
Halaman-8
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Data yang ada menunjukkan penurunan yang cukup tajam dimana besaran penjualan
gas alam untuk transportasi mencapai angka 23,1 juta m3 di tahun 1999 (saat
jumlah kendaraan berbahan bakar gas mencapai angka 5.000 unit) dan turun
menjadi hanya 15,6 juta m3 pada tahun 2003.

MENCERMATI PENGGUNAAN BBG DI PROPINSI DKI JAKARTA

Bersamaan dengan pencabutan subsidi atas bahan bakar minyak (BBM) yang
dilakukan selang akhir tahun 2005 dan awal 2006, serta dikombinasikan dengan
tingginya harga minyak internasional telah mendorong Pemerintah untuk kembali
menseriusi Bahan Bakar Gas untuk sektor transportasi. Di tanggal 20 Mei 2006,
Presiden RI melakukan Pencanangan Kembali bahan bakar gas ini di sebuah SPBG
yang khusus diperuntukkan untuk pengisian Bus TransJakarta di Jl. Perintis
Kemerdekaan, Jakarta Timur yang sekaligus meresmikan sebuah unit SPBG baru yang
berbasiskan investasi swasta.

Terobosan Regulasi

Terkait dengan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi, Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan,
sebagaimana Tabel berikut ini.

No. No. Substansi


Substansi Pokok Nama Regulasi
Urut Urut Yang Diatur/Diwajibkan
Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor Semua perusahaan taksi
28 Tahun 1990 tentang Penggunaan Bahan harus memiliki sedikitnya
Bakar Gas dan Elpiji untuk Angkutan 20% dari total armada
Umum dan Taksi. menggunakan BBG/Elpiji.
A.1. Ditindaklanjuti dgn Pengumuman Dinas
Perhubungan DKI Jakarta Nomor
1648/18.11.3219 tertanggal 26 Februari
1990 tentang Kewajiban Penggunaan
BBG/Elpiji untuk Taksi.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor Bea Masuk sebesar 5%.
A.2. 1249/KMK.01/1989 ttg Penentuan Tarif
Bea Masuk dari Peralatan Konversi.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
64/1993 tentang Persyaratan Teknik
A.3.
KENDARAAN untuk Penggunaan BBG pada Kendaraan
A. & Bermotor.
PERALATAN KONVERSI Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230
Tahun 2003 tentang Program Aksi
A.4. Pemeriksaan Peralatan Konversi Bahan
Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI
Jakarta.
Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan
Darat Nomor SK.852/AJ.302/DRJD/2004
A.5. tentang Aspek Keselamatan Dan Laik
Jalan Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk
Transportasi.
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Kewajiban menggunakan
Nomor 2/2005 tentang Pengendalian bahan bakar gas bagi
A.6. Pencemaran Udara (PPU), Pasal 20. Angkutan Umum &
Kendaraan Operasional
Pemda di DKI Jakarta.

Halaman-9
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor Pembangunan SPBU baru


2508/-1.824.132/1993 tertanggal 3 Agt diharap juga membangun
B.1. 1993 tentang Kesediaan untuk Dispender untuk BBG.
Membangun/Memasang Dispenser BBG di
SPBU.
Surat Gubernur DKI Jakarta Nomor 2605/- Perintah Gubernur agar
1.824.133/1994 tertanggal 16 Agt 1994. tiap pembangunan SPBU
B.2. harus memprioritaskan
fasilitas dispenser untuk
BAHAN BAKAR GAS
BBG.
&
B. Keputusan Menteri Keuangan Nomor Bea Masuk diturunkan
FASILITAS PENGISIAN
801/KMK.00/1992 tertanggal 23 Juli 1992 menjadi 0% dari angka
BAHAN BAKAR GAS B.3.
ttg Penentuan Tarif Bea Masuk Kompresor sebelumnya 5%.
BBG dan Elpiji.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Minyak
dan Gas Nomor 10K/DJM/1993 tentang
B.4.
Spesifikasi BBG untuk Kendaraan
Bermotor.
Surat Keputusan Direktur Pertamina
B.5. Nomor 10K/DJM/1993 tentang Spesifikasi
BBG untuk Kendaraan Bermotor.
Tabel 4.
Daftar Regulasi terkait Penggunaan Gas untuk Sektor Transportasi di Indonesia

Kehadiran Perda 2/2005 Propinsi DKI Jakarta yang mewajibkan penggunaan bahan
bakar gas bagi Angkutan Umum & Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah di
wilayah DKI Jakarta adalah regulasi terbaru sekaligus sebuah terobosan bagi
percepatan implementasi bahan bakar gas sektor transportasi, setelah selang 20
tahun digulirkan tidak berkembang sebagaimana diharapkan.

Dibandingkan dengan sebuah Keputusan Gubernur12 yang hanya mewajibkan 20% dari
total armada taksi harus menggunakan bahan bakar gas, serta sebuah Instruksi
Gubernur13 tentang Program Aksi Pemeriksaan, maka posisi Peraturan Daerah
memiliki kekuatan hukum dan konsekuensi kebijakan yang lebih optimal. Sebuah
terobosan hukum yang tentu saja membutuhkan persiapan baik di tingkat regulasi
lanjutan, teknis dan aplikasi lapangan. Keberanian untuk mewajibkan semua
angkutan umum serta kendaraan operasional Pemerintah Daerah harus diimbangi
dengan keseriusan dan konsistensi.

Salah satu hal yang menjadi indikator dari berjalannya Peraturan Daerah ini dapat
dilihat pada operasi Bus TransJakarta. Dari total 146 Unit Busway yang dioperasikan
di 3 koridor, terdapat 56 unit14 kendaraan bus yang menggunakan bahan bakar gas,
yaitu yang melayani rute Koridor Pulo Gadung Harmoni sebanyak 26 bus dan
Koridor Kali Deres Harmoni sebanyak 30 bus. 90 bus sisanya yaitu yang melayani
Koridor Blok M Kota masih menggunakan bahan bakar solar.

Fenomena baru muncul berbasis Peraturan Daerah ini yaitu pada angkutan jenis
Bajaj. Dalam kategori Angkutan Umum berdasarkan UU15 dan Peraturan Daerah16

12
Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 28 Tahun 1990 tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas dan Elpiji untuk
Angkutan Umum dan Taksi.
13
Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi
Bahan Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta.
14
Artikel Kompas, edisi 20 Mei 2006, hal. 26.
15
Undang-Undang Nomor 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Halaman-10
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

terkait memang Bajaj yang berbasis roda tiga dan kebanyakan bermesin dua-tak,
tidak disebutkan. Fakta lapanganlah yang memberi predikat kepada kendaraan jenis
ini sebagai angkutan yang umum dipakai sehari-hari oleh masyarakat dengan
imbalan nominal uang tertentu, sehingga dari sisi ini dapat disebut angkutan umum.

Bajaj telah menjadi salah satu moda angkutan di Jakarta sejak tahun 1975. Sampai
dengan tahun 1980, impor Bajaj telah mencapai angka 13.335 unit. Dalam catatan17
Dinas Perhubungan DKI Jakarta, populasi Bajaj saat ini di DKI Jakarta adalah
sebanyak 14.600 unit, belum termasuk 6.000 unit bajaj ilegal hasil kreativitas
karoseri atau bengkel jalanan. Terkait dengan upaya mendukung Program Langit
Biru18 dan implementasi Perda 2/2005 maka Pemerintah DKI Jakarta telah melaunch
Program Bajaj berbahan bakar gas yang secara simbolis telah dilakukan Gubernur
Sutiyoso pada tanggal 9 Agustus 2006 di Jakarta dengan 7 unit dari total rencana
awal 250 unit bajaj. Menurut informasi19 yang ada, Gubernur Sutiyoso juga telah
menerbitkan ijin pengoperasian bagi 5.000 unit bajaj dimana dalam setiap bulan
terhitung November 2006 akan diproduksi 500 unit. Menariknya lagi, selain
menggunakan bahan bakar gas yang sudah jelas berkategori ramah lingkungan,
mesin yang digunakan berbasis mesin empat-langkah sehingga emisi yang dihasilkan
akan lebih baik.

Implikasi Ekonomi

Keberanian Pemerintah Daerah DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah ini


sesungguhnya memiliki implikasi lanjutan yang berbasis ekonomi, dengan catatan
bahwa sebuah langkah kecil akan diikuti oleh langkah berikutnya secara konsisten,
sebagai berikut :

1. Apabila semua kendaraan penumpang umum (bis kota, mirobis, taksi dan
mikrolet) yang berjumlah mendekati 100.000 unit dan kendaraan operasional
Pemerintah Daerah di wilayah DKI Jakarta mengganti bahan bakarnya (bensin dan
solar) dengan bahan bakar gas, maka potensi kebutuhan gas akan meningkat
signifikan.

2. Kebutuhan tersebut akan menumbuhkan minat pengusaha SPBG untuk melakukan


investasi. Dalam konteks awal, Program Revitalisasi20 17 SPBG di wilayah DKI
Jakarta sebagaimana menjadi komitmen Pertamina menjadi program utama.
Dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan dan kebutuhan bahan bakar gas
maka secara otomatis akan menumbuhkan jumlah SPBG seiring dengan naiknya
tingkat kebutuhan tersebut.

16
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 12/2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api,
Sungai dan Danau serta Penyeberangan di Propinsi DKI Jakarta.
17
Dikumpulkan MEB dari berbagai sumber artikel media cetak seperti Kompas, Seputar Indonesia, Berita Kota
dan Media Indonesia selang Agustus 2006, Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Djauhari Peranginangin, populasi
Bajaj di DKI Jakarta sebanyak 15.300 unit.
18
UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor MenLH-35/1996 tertanggal 26 April 1996 tentang Program Langit Biru.
19
Artikel pada Harian Berita Kota, edisi 10 Agustus 2006, hal. 11.
20
Telah menjadi Program Pemerintah di bawah koordinasi Menko Perekonomian untuk akhir Tahun 2006 dimana
anggaran diturunkan Pemerintah melalui Ditjen MIGAS Dep. ESDM, kerjasama implementasi dengan
Pertamina.
Halaman-11
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

3. Jumlah kendaraan yang akan beralih ke bahan bakar gas adalah jumlah unit yang
membutuhkan alat konversi (converter kit) dan jasa pemasangan.

4. Jumlah kendaraan berbahan bakar gas yang signifikan akan memicu tumbuhnya
bengkel-bengkel untuk jenis kendaraan tersebut yang berarti peluang bisnis baru.

5. Pada tingkat harga saat ini dimana premium Rp. 4.500,-/liter dan harga bahan
bakar gas (CNG) pada level Rp. 2.562 per lsp, dimana perhitungan sementara
sebuah unit kendaraan (angkutan umum) membutuhkan rata-rata 30 liter per
hari maka ada selisih harga Rp. 2.000 per liter bahan bakar atau Rp. 60.000
per hari. Margin ini adalah keuntungan bagi Pemilik Kendaraan dan juga Sopir
Angkutan.

6. Dengan biaya modifikasi kendaraan bensin menjadi kendaraan gas saat ini
sebesar Rp. 10.000.000,- sampai Rp. 12.500.000,- dan asumsi masa pakai
peralatan konversi 5 (lima) tahun, waktu balik modal yang diharapkan pemilik
kendaraan adalah 2 (dua) tahun maka jenis kendaraan yang secara ekonomis
berpotensi memanfaatkan gas adalah kendaraan jenis bensin yang mempunyai
jarak tempuh harian sektar 115 km. Kendaraan bensin yang mempunyai jarak
tempuh rata-rata sekitar 300 km/hari, seperti armada taksi di DKI, sangat
berpotensi memanfaatkan gas. Investasi untuk modifikasi akan kembali dalam
waktu sekitar 8 (delapan) bulan atau maksimal 18 (delapan belas) bulan.

7. Karena biaya modifikasi kendaraan diesel menjadi kendaraan gas masih relatif
tinggi (di tahun 2003, Rp. 25.000.000,- untuk kendaraan 200 HP), kendaraan
jenis diesel belum berpotensi memanfaatkan gas. Kendaraan jenis ini, terutama
yang berukuran besar (200 HP) dan mempunyai jarak tempuh rata-rata 250
km/hari, akan berpotensi memanfaatkan gas.

Halaman-12
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Bab III
GAMBARAN UMUM PROBLEMATIKA

Secara garis besar, berbagai kendala pengembangan pemanfaatan gas untuk


sektor transportasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Penyebaran SPBG terbatas karena keterbatasan jaringan distribusi pipa
gas.
2. Investasi peralatan kompresor dirasa mahal.
3. Biaya operasi SPBG tinggi terutama biaya untuk listrik.
4. Partisipasi swasta dalam investasi SPBG kurang.
5. Conversion Kit masih diimpor, dengan nilai tukar yang terjadi akhir-akhir
ini tidak menarik bagi konsumen.

Untuk memperjelas kondisi permasalahan yang dihadapi, penjabaran dilakukan


berdasarkan pada Pihak Yang Terlibat secara langsung, sebagai berikut :

A. Masalah Yang Dihadapi Pemakai / Calon Pemakai :

A.1. Terbatasnya Informasi / Sosialisasi


Informasi/sosialisasi tentang keselamatan dan keekonomian pemakai BBG,
bagaimana mendapatkan Conversion Kit, serta dimana-mana tempat
penjualan gas (SPBG) masih terbatas. Hasil survey menunjukkan bahwa
hanya sebagian kecil masyarakat yang telah mendapatkan informasi
tentang bahan bakar gas.

A.2. Kesulitan mendapatkan SPBG


Jumlah SPBG di DKI Jakarta yang pernah mencapai angka 17 unit, saat ini
praktis hanya berfungsi sebanyak-banyaknya 7 SPBG.

A.3. Harga Conversion Kit yang relatif mahal


Harga Conversion Kit saat ini berkisar antara Rp. 10 juta sampai Rp. 12,5
juta termasuk pemasangannya. Bagi golongan kelas menengah yang
tertarik pada penghematan yang diperoleh dari pemakaian gas akan
menganggap investasi tersebut terlalu tinggi, sedangkan bagi yang mampu
penghematan yang diperoleh dengan menggunakan gas tidak begitu
menarik.

A.4. Belum tersebarnya Bengkel dan Toko Suku Cadang


Pemilik kendaraan gas masih sulit mendapatkan bengkel-bengkel dan toko-
toko suku cadang untuk menunjang operasi kendaraannya apabila
mengalami kerusakan.

A.5. Meningkatnya frekwensi pengisian bahan bakar


Tabung premium bisa berisi 30 50 liter, sedangkan tabung gas sebesar 40
liter dapat memuat CNG setara dengan 17 liter premium. Berarti
frekwensi pengisian bahan bakar akan naik 2 sampai 3 kali dibanding jika
menggunakan premium.

Halaman-13
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

A.6. Menurunnya daya akselerasi kendaraan


Penggunaan gas akan menurunkan daya akselerasi, hal yang dirasakan
mengganggu bagi pengemudi taksi yang memerlukan akselerasi tinggi di
sela-sela kemacetan lalu lintas kota walaupun asumsi ini tidak perlu
dipikirkan terkait dengan situasi kemacetan yang memang tidak
terhindarkan di Jakarta.

B. Masalah Yang Dihadapi Sistem Penunjang Kendaraan :

Dalam hal ini yang termasuk sistem penunjang kendaraan adalah SPBG, Bengkel
Kendaraan, dan Toko Suku Cadang Peralatan, konsep ini membahas mengenai
SPBG yang berkaitan langsung dengan konsumen. Hambatan pihak
pengusaha/pengelola SPBG dalam melayani konsumen antara lain adalah :

B.1. Biaya Investasi pembangunan SPBG yang sangat mahal


Komponen biaya investasi yang besar adalah harga tanah dan sistem
pemipaan pada lokasi yang jauh dari jalur distribusi pipa gas, di samping
harga kompresor saat ini berkisar mencapai Rp. 4 Rp. 5 Milyar, perijinan
untuk membangun SPBG (CNG) juga mahal dan lama.

B.2. Langkanya teknisi yang terlatih


Operator SPBG yang mampu menangani kerusakan minor pada alat-alat
SPBG masih sedikit.

B.3. Langkanya Suku Cadang SPBG


Sampai dengan tahun 2004, kesulitan terbesar adalah perawatan
kompresor, suku cadang untuk kompresor tidak tersedia di pasaran dalam
negeri dan harus diimpor, sementara sistem penyetokan suku cadang tidak
diijinkan oleh Departemen Perdagangan. Apabila SPBG mengalami
kerusakan memerlukan 23 bulan untuk beroperasi kembali.

C. Masalah Yang Dihadapi Produsen (Pertamina) :

Setelah sekian lama (+/- 14 sampai 20 tahun) gas diperkenalkan sebagai usaha
Pemerintah untuk mengurangi kenaikan pemakaian bbm sektor transportasi,
pemakaian gas tidak menunjukkan kemajuan yang berarti sehingga produsen
(Pertamina) mengalami kerugian, yang disebabkan antara lain :

C.1. Harga ekonomis bahan bakar gas


Kendala utama pengembangan usaha gas adalah harga jual yang lebih
rendah dari harga ekonomisnya di sekitar tahun 2003-2004. Harga
ekonomis pengadaan gas sampai di SPBG (konsumen) adalah sebesar US$
24,6 per barel setara premium (bsp) atau sekitar Rp. 1.550,- per lsp pada
Kurs 1 US$ = Rp. 10.000,- Selang Agustus 2003 sampai November 2004,
harga jual gas pada konsumen tercatat sebesar Rp. 450,- per lsp atau
setara US$ 7,16 per bsp. Dengan demikian terdapat selisih harga dan biaya
gas yang cukup signifikan yaitu Rp. 1.550 dikurangi Rp. 450 = Rp. 1.100 per
lsp atau US$ 17,44 per bsp, dimana selisih harga tersebut sementara
ditanggung oleh Pertamina.

Halaman-14
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Terhadap persoalan ini, titik temu telah diperoleh dengan kenaikan harga
per 1 lsp sebesar Rp. 3.000 terhitung tanggal 1 Februari 2006.
Bahkan, dalam upaya melakukan percepatan bagi implementasi massal,
Pertamina setuju untuk menerima turunnya harga mencapai Rp. 2.562 per
lsp sejak 1 Agustus 2006 yang sekaligus dapat dibaca sebagai keseriusan
dan komitmen Pertamina21 dan Pemerintah terhadap program gasifikasi
kendaraan ini.

C.2. Tingginya Biaya Operasi SPBG


Biaya terbesar dalam mengoperasikan SPBG adalah biaya listrik, terutama
untuk menjalankan kompresor. Sampai tahun 2003, tarip listrik yang
diberlakukan untuk SPBG dikategorikan sebagai Tarip Bisnis Besar
(B2/B3) yaitu Rp. 130,- s/d Rp. 160,- per lsp atau 73% dari total biaya
operasional pengelolaan SPBG. Sebagai contoh : kerugian per bulan akibat
adanya kenaikan tarip listrik yang dilakukan secara bertahap oleh PT. PLN
yang dialami oleh pengelola SPBG Pertamina di Jakarta sebagai berikut :
- Jl. Pemuda, kerugian mencapai Rp. 4.598.305,-
- Jl. Sumenep, kerugian mencapai Rp. 4.196.596,-
- Jl. Warung Buncit, kerugian mencapai Rp. 4.105.442,-
Sejumlah kasus di akhir tahun 2003, beberapa Pengelola SPBG di Jakarta
yang keberatan untuk melanjutkan pengelolaannya, karena mengalami
kerugian akibat tingginya biaya operasional khusunya dengan kenaikan
Tarip Dasar Listrik (TDL). Akibat adanya kenaikan Kurs US$ maka harga
spare parts material untuk perbaikan kompresor SPBG dan biaya
perawatan cukup tinggi yaitu mencapai Rp. 178,- per lsp atau 40% dari
harga gas di tingkat Rp. 450,- per lsp.

D. Faktor Keselamatan Pemakaian Gas

Sisi standarisasi keselamatan pengguna bahan bakar gas sangat terkait dengan
penggunaan tabung. Meskipun telah diatur sepenuhnya dalam keputusan Menteri
Perhubungan No. KM 64/1993, namun belum jelas instansi mana yang berhak
mengadakan pengetesan atau mensertifikasi peralatan kendaraan berbahan
bakar gas.

Berbagai peristiwa ledakan pada kendaraan berbahan bakar gas, menurut


catatan22 yang ada, sedikitnya 17 kali ledakan telah terjadi selang 10 tahun
terakhir, membuat masyarakat merasa enggan untuk mendukung Program ini.
Hal ini diperparah dengan tidak cukupnya penjelasan yang diberikan Pemerintah
atau instansi terkait sehingga banyak opini dan asumsi berkembang di
masyarakat yang pada akhirnya dapat membangun resistensi publik.

Sebuah survey23 pendapat masyarakat menunjukkan bahwa sedikitnya 75%


anggota masyarakat ibukota mengaku masih trauma dengan penggunaan bahan
bakar gas untuk kendaraan.

21
Artikel pada harian Kompas, edisi 8 Juli 2006, hal. 18.
22
Hasil investigasi pribadi Steve Sugita, seorang korban hidup ledakan kendaraan berbahan bakar gas pada
Januari 1999, diangkat menjadi data dan referensi utama pada Metro Realitas dengan tajuk Plus Minus BBG,
Metro TV, edisi Januari 2006.
23
Artikel harian IndoPos, edisi 25 Juli 2006, hal. 17.
Halaman-15
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Berbagai permasalahan seputar penggunaan bahan bakar gas untuk sektor


transportasi ini memang saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipilah-pilah
secara parsial.

Berbagai kajian yang komprehensif telah dilakukan, baik di tingkat nasional misalnya
melalui sebuah Tim Gas Nasional yang menyelesaikan hasilnya24 pada tahun 2003,
maupun di tingkat Propinsi DKI Jakarta melalui sebuah Kelompok Kerja yang
dikoordinasikan melalui BPLHD Propinsi DKI Jakarta dengan melibatkan unsur
stakeholder dari Pemerintah Pusat dan DKI Jakarta, LSM, jaringan dan dukungan
partner internasional serta sektor swasta yang telah merumuskan berbagai
dokumen25 kerja. Diaturnya kewajiban penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan
umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah di dalam Pasal 20 Peraturan
Daerah 2/2005 adalah salah satu hasil utama proses percepatan implementasi
gasifikasi kendaraan.

Mengacu pada konteks tersebut maka Mitra Emisi Bersih berpendapat bahwa pintu
masuk bagi percepatan penggunaan gas untuk sektor transportasi dapat diawali
dengan cakupan yang diatur melalui Perda dimaksud yaitu angkutan umum dan
kendaraan operasional Pemerintah Daerah. Dengan tidak mengesampingkan berbagai
problem makro dari penggunaan BBG, misalnya masalah ketersediaan gas, jaringan
pipanisasi, dan lain-lain, pendekatan dapat dilakukan dengan secara langsung fokus
pada upaya memfasilitasi kedua kelompok target dimaksud, khususnya dalam
pengadaan Alat Konversi dan aspek-aspek yang terkait secara langsung.

Untuk target Kendaraan Operasional, persoalan fasilitas dapat dikatakan tidak


bermasalah karena pada prinsipnya unit-unit kendaraan dimaksud dimiliki oleh
Pemerintah Daerah. Intervensi langsung dapat dilakukan oleh Gubernur/Walikota
atau Pimpinan Instansi dengan memanfaatkan kebijakan dan anggaran dinas.

Untuk target Angkutan Umum, persoalan fasilitas atau insentif ekonomi adalah salah
satu hal utama. Beberapa masukan telah menjadi substansi utama yang dibahas oleh
Kelompok Kerja Penyusun Draft Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta tentang
Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional
Pemerintah Daerah yang merupakan salah satu Petunjuk Teknis Operasional bagi
Perda 2/2005.

24
KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral, 2003.
25
Laporan Pelaksanaan Instruksi Gubernur Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksanaan
Peralatan Konversi Bahan Bakar Gas Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah Propinsi DKI Jakarta (BPLHD, 2004),
Dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) Pemanfaatan Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Di Propinsi DKI
Jakarta (BPLHD, 2004), Dokumen Action Plan Pemanfaatan Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Di Propinsi DKI
Jakarta (BPLHD, 2005), Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2/2005 dan Draft Final Peraturan
Gubernur Propinsi DKI Jakarta tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan
Operasional Pemerintah Daerah (BPLHD, 2006).
Halaman-16
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Bab IV
SKEMA EKONOMI, TINJAUAN SITUASI DAN REKOMENDASI

Insentif ekonomi bagi pemilik kendaraan yang dikategorikan angkutan umum


adalah substansi yang telah diangkat oleh berbagai dokumen terkait penggunaan
bahan bakar gas untuk transportasi. Persoalan insentif ini juga telah coba diterobosi
oleh Departemen Perhubungan dengan rencana pengalokasian anggaran pengadaan
conversion kit. Untuk tahap awal26 telah dialokasikan anggaran Rp. 40 milyar untuk
pengadaan 3.900-4.000 unit konverter. Di tingkat Menteri Koordinator, pernyataan
sejenis27 juga disampaikan Menko Perekonomian Budiono bahwa penggunaan bahan
bakar gas untuk transportasi akan dicarikan solusi yang bisa berbentuk subsidi tidak
penuh sampai dengan berbagai instrumen insentif. Menteri Perhubungan
menginformasikan bahwa skema28 yang akan diterapkan dalam distribusi 4.000
konverter kit tersebut akan disubsidi Pemerintah sebesar 25%.

Mitra Emisi Bersih berpendapat pada kondisi sekarang, dalam konteks menstimulasi
percepatan penggunaan bahan bakar gas berbasis Perda 2/2005 DKI Jakarta maka
skema atau pola insentif harus mencakup beberapa aspek yang saling terkait satu
sama lain yaitu :
1. Terminologi Masa Transisi,
2. Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan,
3. Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis Angkutan/Kendaraan,
4. Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif, dan
5. Para Pelaku lapangan sebagai Penerima Insentif.

Tinjauan (sekaligus rekomendasi) Skema Ekonomi akan dijabarkan berdasarkan 5


(lima) kelompok dimaksud, sebagai berikut :

1. Terminologi Masa Transisi

Subyek : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Produsen Kendaraan


Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Spesifikasi Teknis
Variabel : Komitmen, Konsekuen, Konsistensi dan Kejelasan.

Deskripsi :

1.1. Pemanfaatan bahan bakar gas yang sedang dilakukan tidak boleh dipisahkan
dari kebijakan teknis produsen kendaraan bermotor. Apabila telah tercapai
suatu kondisi permintaan akan kendaraan berbahan bakar gas maka hal ini
akan dilihat sebagai peluang bisnis bagi pihak produsen yang akan
memproduksi kendaraan berbahan bakar gas.

26
Pernyataan Anton Tampubolon, Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Dep. Perhubungan, sebagaimana
dikutip dari artikel di harian Kompas, edisi 25 April 2006, hal. 18.
27
Artikel di harian Kompas, edisi 3 Juni 2006, hal. 3.
28
Informasi yang diperoleh dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Rapat Terbatas Stakeholder tentang isu
terkait Program Advokasi BBG pada tanggal 24 Agustus 2006, terkonfirmasi melalui berita media pada Liputan
6 Malam SCTV tanggal 29 Agustus 2006.
Halaman-17
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Artinya bahwa persoalan skema untuk memfasilitasi pengadaan konverter


kit tidak lagi menjadi persoalan pada saat kondisi tersebut terjadi.

1.2. Persoalan skema ekonomi dengan segala aspek yang terkait - bagi
kendaraan berbahan bakar non-gas harus terimplementasi simultan dengan
proses pertumbuhan demand (kebutuhan) akan produksi kendaraan baru
yang langsung berspesifikasi berbahan bakar gas bensin dari produsen.
Proses inilah yang dikategorikan sebagai masa transisi29 yang harusnya
dibatasi pada kurun waktu 5 (lima) tahun. Hal ini dikaitkan dengan masa
pakai kendaraan angkutan umum yang dibatasi masa penggunaannya 7
tahun atau apabila diperpanjang mencapai 10-12 tahun.

1.3. Dari total populasi kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta30 di tahun 2005
sebanyak 86.801 unit, 67,7% di antaranya dibuat sebelum atau pada tahun
1993, artinya telah memasuki usia sedikitnya 12 tahun. Secara spesifik, data
kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta berdasarkan analisa tahun
pembuatan adalah sebagai berikut :

a. Sebanyak 74% dari total populasi bus besar, dioperasikan oleh 17


perusahaan, dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki
usia pakai sedikitnya 12 tahun.

b. Sebanyak 96% dari total populasi bus sedang, dioperasikan oleh 5


perusahaan, dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki
usia pakai sedikitnya 12 tahun.

c. Sebanyak 72% dari total populasi bus kecil (mikrolet dan AWK/KWK
dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai
sedikitnya 12 tahun.

d. Sebanyak 93% dari total populasi kajen IV (bajaj, kancil, toyoko, dan
APB/bemo) telah dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah
memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun. Bahkan khusus untuk bajaj dan
toyoko, 100% kendaraannya tercatat telah beroperasi sedikitnya 15
tahun yang lalu.

e. Dan, sebanyak 61% dari total populasi angkutan lain-lain (taksi, mobil
barang, bus pariwisata, dan bus AKAP) yang dibuat sebelum atau pada
tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun.

1.4. Dalam konteks usia pakai dimaksud maka kondisi ini merupakan sebuah
peluang bagi produsen kendaraan untuk memproduksi kendaraan
berbahan bakar gas sehingga peremajaan yang akan dilakukan tidak lagi
menggunakan kendaraan non-gas. Tentu saja, hal ini membutuhkan
kebijakan yang konsisten dari Pemerintah.

29
Disarikan berdasarkan pemaparan Bp. Helmukti Latif pada Workshop : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA
2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI SKEMA EKONOMI, dilaksanakan oleh Mitra Emisi
Bersih pada tanggal 31 Agustus 2006 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
30
Diolah dari Buku Laporan Kegiatan Tahunan DINAS PERHUBUNGAN Propinsi DKI Jakarta Selang Januari s/d
Desember 2005
Halaman-18
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

2. Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan

Subyek : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah)


Instrumen : Kebijakan (Policy)
Variabel : Komitmen, Konsekuen, Konsistensi dan Kejelasan.

Deskripsi :

2.1. Program Pemerintah yang menyangkut kepentingan publik jangka panjang


membutuhkan persiapan dan pengkondisian yang cukup. Perda 2/2005
khususnya tentang kewajiban penggunaan BBG untuk transportasi (angkutan
umum dan kendaraan operasional Pemda) adalah sebuah langkah maju yang
diharapkan akan terjaga konsistensinya sehingga pihak-pihak terkait bisa
secara aman, adanya jaminan kepastian, terutama menyangkut hitung-
hitungan investasi.

Dari kelompok angkutan umum sebagaimana Pasal 20 Perda PPU, harus


ditetapkan skala prioritas yang didasarkan pada ketersediaan sumber daya,
misalnya persoalan keterbatasan SPBG.

a. Kelompok angkutan umum darat terdiri dari bis besar, bus sedang (metro
mini, kopaja, dan sejenisnya), bus kecil (mikrolet dan APK/KWK), kajen
IV (bajaj, kancil, toyoko dan APB/bemo), dan angkutan lain-lain (taksi,
mobil barang, bus pariwisata, dan bus AKAP). Dari 5 sub-kelompok
tersebut, bus besar, bus sedang, dan bus kecil beroperasi berdasarkan
trayek/rute tetap atau point-to-point system, sedangkan jenis kajen IV
(kecuali bemo) dan jenis lain-lain adalah sub-kelompok yang beroperasi
tanpa rute atau trayek tetap.

b. Dalam konteks keterbatasan SPBG, pendekatan point-to-point system


dapat dipandang sebagai solusi awal dimana sub-kelompok berbasis
sistem ini (di tahun 2005) adalah mencapai angka 26% dari total populasi
kendaraan angkutan umum di Jakarta yang terdiri atas 4.438 unit bus
besar, 4.937 unit bus sedang 12.984 unit mikrolet. Berdasarkan kondisi
sekarang, 40% bus TransJakarta (dikelompokkan sebagai bus besar) dan
sejumlah kecil mikrolet telah menggunakan bahan bakar gas. Apabila
kedua jenis angkutan ini yang dianggap paling reliable maka Pemerintah
harus menetapkannya sebagai urutan teratas Skala Prioritas sehingga
kebijakan ini dapat ditindaklanjuti pihak-pihak terkait secara jelas,
tegas dan terukur.

Salah satu fenomena terkini di DKI Jakarta adalah kebijakan Bajaj berbahan
bakar gas. Kebijakan ini tentu saja harus diintegrasikan dengan kebijakan
lainnya sehingga tidak tumpang tindih dan memberi kesan ketidakjelasan
atau inkonsitensi Pemerintah.

a. Bajaj tidak dikategorikan angkutan umum, baik dalam UU No. 14/1992


tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maupun turunan hukumnya di
tingkat Perda DKI Jakarta No. 12/2003.

Halaman-19
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

b. Apabila tidak dikategorikan angkutan umum maka kewajiban penggunaan


gas sesuai Perda 2/2005 tidak meliputi jenis angkutan Bajaj.

3. Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis Angkutan/Kendaraan

Subyek : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Produsen BBG/Kendaraan


Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Spesifikasi Teknis
Variabel : Konsekuen, Konsistensi, Kejelasan dan Ketersediaan Material.

Deskripsi :

3.1. Jenis bahan bakar gas meliputi CNG (Compressed Natural Gas) dan LPG
(Liquid Petroleum Gas / Elpiji) dimana Pertamina sebagai produsen awal
dan terbesar saat ini - sedang mengembangkan LGV31 (Liquid Gas for
Vehicle) atau LPG yang khusus dirancang untuk kendaraan bermotor.

3.2. LGV berbahan dasar LPG yang disesuaikan secara khusus untuk kendaraan
dengan komposisi 59% propan dan 41% butana dengan nilai oktan yang
tinggi. Adapun sejumlah perbedaan spesifik antara CNG dan LGV dapat
diuraikan, sebagai berikut :

a. Untuk ukuran tabung yang relatif sama seperti yang sekarang


dipergunakan menampung 15-17 LSP CNG, dapat memuat 40 LSP LGV.

b. Waktu pengisian tabung dimaksud butir a adalah 5 menit untuk 17 LSP


CNG, dan untuk LGV hanya membutuhkan waktu 2 menit untuk 40 LSP
LGV.

c. Investasi SPBG (untuk CNG) saat ini membutuhkan dana sebesar Rp. 6
milyar sementara untuk SPBE (untuk LGV) hanya sebesar Rp. 500 juta
dimana biaya pengoperasiannya sendiri, untuk SPBE mencapai angka 90%
lebih murah dibanding dengan SPBG.

d. Luas lahan yang dibutuhkan untuk sebuah SPBE adalah sebesar 30% dari
areal yang diperlukan untuk sebuah SPBG.

e. Margin keuntungan SPBE adalah setara dengan 7% dari harga jual LGV
dengan harga ekonomis saat ini Rp. 3.800 per LSP. Bila dibandingkan
dengan CNG yang sekarang dijual dengan harga Rp. 2.562 maka harga
LGV lebih mahal. Namun apabila memperhatikan faktor-faktor
sebagaimana disebutkan pada butir a sampai d, maka harga ini masih
dikategorikan kompetitif.

3.3. Dalam pandangan Pertamina, penggunaan CNG akan lebih cocok untuk unit-
unit kendaraan yang berkapasitas tangki besar, atau juga sedang, sehingga
tidak perlu kehilangan waktu dalam melakukan pengisian berulang-ulang,

31
Informasi dari wakil Pertamina dalam Acara Workshop : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA /2005 PROPINSI
DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI SKEMA EKONOMI, dilaksanakan oleh Mitra Emisi Bersih pada tanggal
31 Agustus 2006 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
Halaman-20
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

misalnya yang sekarang berlaku untuk unit-unit Busway TransJakarta.


Sedangkan untuk unit-unit kendaraan kecil sebaiknya menggunakan LGV
dengan pertimbangan kapasitas isi tangki yang lebih banyak.

3.4. Dengan asumsi-asumsi butir 3.3 di atas, mengacu pada data tahun 2005, ada
9.375 unit kendaraan bus besar dan bus sedang yang beroperasi di Jakarta
dimana hanya tercatat 56 unit yang saat ini menggunakan CNG yaitu Busway
TransJakarta. Selanjutnya, (data yang sama) ada 77.426 unit bus kecil,
kajen IV dan angkutan jenis lain yang dapat diarahkan untuk menggunakan
LGV.

3.5. Dalam hal Pemerintah melihat bahwa kondisi butir 3.3 di atas adalah situasi
yang paling reliable maka instrumen kebijakan (dengan suatu daya paksa
tertentu) akan efektif untuk dikombinasikan dengan sejumlah insentif
ekonomi dalam program gasifikasi kendaraan angkutan umum.

3.6. Kebijakan dimaksud butir 3.7 dapat dipergunakan Pihak Swasta untuk
melakukan perhitungan nilai keekonomian dan investasi dalam koridor
kepastian kebijakan Pemerintah dimana kondisi ini diharapkan akan
menstimulasi pergerakan potensi publik dalam mendukung Program
Gasifikasi dimaksud.

Sebuah contoh sederhana adalah inisiasi awal moda angkutan Busway


TransJakarta dimana program ini diawali dengan intervensi kebijakan
Pemerintah DKI Jakarta dan dukungan DPRD, yang sekaligus menyertakan
dana operasional, sebagaimana yang terjadi pada Koridor I. Setelah
beberapa bulan pengoperasian Koridor I ini dianggap memiliki nilai ekonomi
maka pihak Swasta terstimulasi untuk mengambil peran dan pihak
Pemerintah Daerah DKI Jakarta lebih bertindak sebagai regulator dan
fasilitator, sebagaimana yang terjadi pada Koridor II dan III, serta
berikutnya untuk koridor-koridor selanjutnya.

3.7. Apa yang terjadi dengan cerita awal Busway TransJakarta dapat menjadi
pelajaran berharga bagi pengembangan dan percepatan pemanfaatan bahan
bakar gas, khususnya untuk kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta
berdasarkan Perda 2/2005.

4. Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif

Subyek : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Pihak Swasta


Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Pola Modal
Variabel : Konsistensi dan Peluang Bisnis.

Deskripsi :

4.1. Pemerintah dapat melakukannya melalui fasilitas kebijakan maupun insentif


tunai, serta memfasilitasi pihak Swasta dalam melakukan pendampingan
penyediaan insentif.

Halaman-21
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

4.2. Pihak Swasta, dengan menggunakan suatu kebijakan tertentu dari


Pemerintah ataupun berdasarkan jaminan kepastian akan konsistensi dan
kejelasan arah kebijakan Pemerintah.

5. Insentif bagi Pelaku/Pemain di Lapangan

Subyek : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Pihak Swasta


Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Pola Modal
Variabel : Konsistensi dan Pemberian Fasilitas.

Deskripsi :

5.1. Kelompok Pelaku/Pemain di lapangan dapat dikelompokkan sebagai Pemilik


Angkutan Umum, Pengusaha/Investasi SPBG, Sopir/Pengemudi Angkutan
Umum, dan Masyarakat Pengguna.

5.2. Bagi Pemilik Kendaraan Angkutan Umum, fasilitas atau insentif yang dapat
diberikan, antara lain :

a. Pembebasan bea masuk impor barang untuk konverter kit.


Akan berakibat pada turunnya harga kebutuhan pemilik angkutan.

b. Skema Subsidi berbasis Dana Bergulir, yang melibatkan Pemerintah


sebagai Sumber Dana Awal dan Penjamin, dan Pihak Ketiga sebagai Mitra
Pelaksana.
Pemerintah dapat menyediakan sejumlah dana tertentu, misalnya
katakanlah sebesar Rp. 105 milyar (dengan asumsi sederhana 1 (satu)
unit konverter kit senilai Rp. 10 juta untuk kendaraan kecil dan Rp. 15
juta untuk bus sedang dan besar, perbandingan antara bus besar dan
sedang dengan kendaraan kecil di Propinsi DKI Jakarta di tahun 2005
adalah 9.375 unit berbanding 77.426 atau lebih kurang 1:9 ; berarti
dana yang tersedia akan cukup untuk mengkonversi total 10.000 unit
kendaraan, terdiri atas 9.000 kendaraan kecil dan 1.000 bus besar dan
sedang) yang kemudian menyerahkannya kepada Pihak Ketiga (Pihak
Perbankan dan/atau Lembaga Pembiayaan) yang akan bertindak sebagai
Pengelola. Para pemilik kendaraan harus diberi akses sebesar-besarnya
kepada Pengelola Dana dimana selama masa cicilan, Tim Kecil Pengelola
akan stand-by, buka loket/counter di SPBG/E yang ditunjuk dimana
untuk Unit Kendaraan dalam masa cicilan, pada saat mengisi bahan
bakar akan dikenakan harga BBM. Lalu, selisih harga BBM dan BBG (CNG
atau LGV) akan langsung dipotong di loket/counter Pengelola Dana.
Untuk penggunaan CNG (mengacu pada asumsi pemanfaatan oleh bus
besar atau sedang, nilai konverter kit diasumsikan Rp. 15 juta), untuk
kendaraan yang awalnya menggunakan bensin, selisih harga adalah Rp.
4.500 dikurangi Rp. 2.562, sama dengan Rp. 1.938 per LSP, apabila
penggunaan/pemakaian rata-rata per hari diasumsikan 45 liter atau LSP
; berarti tiap unit kendaraan akan memiliki nilai margin Rp. 87.210 per
hari, maka akan berlaku hitungan sebagai berikut :

Halaman-22
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

-. Apabila potongan yang disepakati adalah 100% maka tiap hari cicilan
yang akan diserahkan kepada Lembaga Pengelola Dana adalah
sebesar Rp. 87.210 atau setara dengan Rp. 31.831.650 (apabila
beroperasi 365 hari) atau Rp. 26.163.000 (apabila beroperasi 300
hari) atau Rp. 15.261.750 (untuk kendaraan yang beroperasi 175
hari).
-. Apabila menggunakan asumsi tersebut maka sebuah unit kendaraan
bus besar atau sedang dapat menyelesaikan masa cicilan dalam
waktu 175 hari kerja dalam skema 100% setoran harian dari
margin/selisih harga per LSP.
-. Apabila skema cicilan yang disepakati adalah 50% maka angsuran
akan dapat diselesaikan dalam waktu 350 hari kerja.
Untuk penggunaan LGV (mengacu pada asumsi pemanfaatan oleh
kendaraan kecil, nilai konverter kit diasumsikan Rp. 10 juta), untuk
kendaraan yang awalnya menggunakan bensin, selisih harga adalah Rp.
4.500 dikurangi Rp. 3.800, sama dengan Rp. 700 per LSP, apabila
penggunaan/pemakaian rata-rata per hari diasumsikan 37,5 liter atau
LSP ; berarti tiap unit kendaraan akan memiliki nilai margin Rp. 26.250
per hari, maka akan berlaku hitungan sebagai berikut :
-. Apabila potongan yang disepakati adalah 100% maka tiap hari cicilan
yang akan diserahkan kepada Lembaga Pengelola Dana adalah
sebesar Rp. 26.250 atau setara dengan Rp. 9.581.250 (apabila
beroperasi 365 hari) atau Rp. 10.106.250 (apabila beroperasi 385
hari) atau Rp. 10.500.000 (untuk kendaraan yang beroperasi 400
hari).
-. Apabila menggunakan asumsi tersebut maka sebuah unit kendaraan
bus besar atau sedang dapat menyelesaikan masa cicilan dalam
waktu 175 hari kerja dalam skema 100% setoran harian dari
margin/selisih harga per LSP.
-. Apabila skema cicilan yang disepakati adalah 50% maka angsuran
akan dapat diselesaikan dalam waktu 765 hari kerja (total cicilan =
Rp. 10.040.625).
-. Apabila dibandingkan dengan penggunaan CNG maka pola margin
lebih kecil dinikmati oleh kendaraan berbasis LGV. Untuk itu,
intervensi subsidi terhadap harga LGV harus dilakukan baik oleh
subsidi Pemerintah maupun oleh mekanisme pasar dimana Pertamina
sebagai produsen harus menurunkan harga dalam konteks
penggunaan yang lebih besar berasal dari kalangan pengguna LGV,
yaitu 1:9 jumlah populasinya. Kondisi ini seharusnya menjadi
pertimbangan khusus bagi Pertamina sehingga penggunaan LGV oleh
kendaraan kecil dapat dimaksimalkan yang akhirnya akan kembali
juga kepada margin keuntungan Pertamina.
Dalam hal subsidi harga LGV dapat mencapai harga Rp. 3.000 per LSP di
tingkat konsumen maka margin keuntungan per unit kendaraan dapat
dilipatgandakan dan masa cicilan dapat ditekan sampai 1 (satu) tahun
pada basis skema setoran 50%.
Apabila menggunakan asumsi-asumsi di atas maka pada tahun kedua,
dana di tahun kedua untuk kategori bus besar dan sedang, sudah dapat
digulirkan kepada target berikutnya. Asumsi setahun juga dapat dicapai
oleh kelompok kendaraan kecil, dimana dana tahun pertama dapat
Halaman-23
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

digulirkan kepada kelompok penerima berikutnya pada tahun kedua,


apabila harga LGV dapat ditekan di tingkat Rp. 3.000 per LSP.
Dalam 5 (lima) tahun dana Pemerintah sebesar Rp. 105 milyar belum
memperhitungkan inflasi dan trend harga-harga akan dapat
mengkonversi sedikitnya 50.000 unit kendaraan angkutan umum di DKI
Jakarta atau setara dengan 57,6% dari total populasinya di tahun 2005.
Sebuah angka yang fantastis dan spektakuler apabila dapat
diimplementasikan.
Insentif bagi pihak ketiga yang akan memerankan fungsi Pengelola Dana
harus disiapkan terpisah oleh Pemerintah sehingga apabila mungkin
pemilik kendaraan akan menikmati dana bergulir tanpa bunga. Kalaupun
ada maka besaran bunga adalah maksimal 5% per tahun, tanpa uang
muka, dan nilai bunga itulah yang dimanfaatkan untuk pengoperasikan
sistem dan monitoring.

c. Subsidi harga bahan bakar gas, baik untuk CNG maupun LGV sehingga
nilai beli konsumen lebih murah.
Di hampir semua negara yang memiliki kebijakan penggunaan gas untuk
sektor transportasi, diberlakukan skenario subsidi Pemerintah untuk
harga gas rata-rata 50-60%. Selanjutnya, insentif lainnya juga diberikan
misalnya di Australia ada insentif 500 dollar Australia untuk pembelian
1 (satu) unit kendaraan LGV serta subsidi Pemerintah sebesar 3,000
dollar Australia untuk pembelian sebuah unit kendaraan LGV.

d. Subsidi Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah DKI Jakarta) minimal 10%


dari harga peralatan konversi (converter kit).
Harus dianggap sebagai insentif untuk menstimulasi gerakan awal
Pemilik Kendaraan sehingga beban awal terhindarkan dan selisih harga
bensin dan bahan bakar gas akan langsung terasa pada periode bulan
pertama. Diharapkan secara psikologis hal ini akan menjadi stimulasi
yang baik dan sekaligus mengumpulkan modal untuk cicilan kedua
(cicilan pertama dari Pemilik Kendaraan). Dengan asumsi sementara 1
unit alat konversi dan pemasangannya membutuhkan dana Rp. 10 juta
maka apabila target yang mau dicapai sebanyak 10.000 unit kendaraan
dalam 1 tahun ke depan, Pemerintah harus menyiapkan dana sebesar
Rp. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah). Angka ini akan terlihat
sedikit apabila dibandingkan dengan berjalannya proses diversifikasi
energi dari sektor transportasi dan penurunan tingkat polusi udara.

e. Kredit lunak untuk Pengadaan Peralatan Konversi dengan bunga 3%, atau
maksimal 5% per tahun tanpa uang muka.
Jika digabungkan dengan butir d maka subsidi 10% dapat dianggap
sebagai cicilan pertama dan sekaligus bernilai untuk menutup bunga
dengan asumsi masa cicilan maksimal 2 (dua) tahun. Pemilik angkutan
akan diuntungkan dari sisi pengadaan tanpa modal di bulan pertama
sekaligus total pembayaran tanpa bunga. Mekanisme kredit sekaligus
dapat dijamin oleh Pemerintah sehingga lembaga keuangan yang akan
terlibat merasakan adanya jaminan keamanan dan kepastian
pengembalian kredit.

Halaman-24
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

f. Kepastian harga bahan bakar gas (misalnya CNG) per LSP tetap terjaga
konsistensinya pada angka Rp. 2.562 setidaknya selama 2 (dua) tahun
atau bahkan 5 (lima) tahun ke depan.
Perhitungan waktu ini adalah periode dimana maksimal 2 (dua) tahun
peralatan konversi dalam tahap cicilan dan pemilik kendaraan, akan
berimplikasi juga pada Pengusaha SPBG, Bengkel dan Toko Spare Part,
memiliki kepastian penghitungan. Dalam konteks 2 tahun pertama
situasi berjalan dengan baik maka mekanisme harga akan mengacu pada
nilai-nilai ekonomi, walau demikian dengan memperhitungkan masa
transisi dimaksud butir 1.1 sampai 1.4 di atas dan butir 5.2.b sampai
5.2.c di atas maka periode 5 (lima) tahun adalah angka ideal.

g. Pengurangan Pajak Kendaraan pada kisaran angka 30% pada tahun


pertama kendaraan bersangkutan dialihkan berbahan bakar gas, dan
secara gradual menurun 25% untuk tahun kedua, 20% untuk tahun ketiga,
15% untuk tahun keempat, dan akhirnya 10% pada tahun kelima dan
seterusnya.
Dengan asumsi masa pakai alat konversi pada kisaran 5 (lima) tahun
maka penurunan secara gradual tersebut akan menyentuh titil 10% pada
tahun kelima dan sekaligus mengingatkan bahwa alat konversi harus
ditinjau ulang. Dalam hal, pengadaan alat konversi baru maka pola
pengurangan pajak kembali dihitung sebagai tahun pertama.

h. Pembebasan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar 10%.


Merupakan insentif bagi pengguna bahan bakar gas dalam konteks
diversifikasi dan penghematan energi nasional.

i. Dalam hal umur kendaraan telah mencapai angka kadaluarsa maka


Angkutan Umum berbasis bahan bakar gas mendapat prioritas
peremajaan sesuai dengan Ijin Trayek yang ada.
Insentif tambahan yang berimplikasi pada kepastian peremajaan
angkutan.

j. Uji Berkala Kendaraan Bermotor (Angkutan Umum) gratis untuk 1 (satu)


tahun pertama.
Sebuah instrumen insentif yang mengarahkan Pemilik Kendaraan untuk
memeriksakan secara berkala kendaraannya dimana proses ini sangat
terkait dengan aspek kelaikan jalan dan keselamatan yang menjadi
salah satu permasalahan utama implementasi BBG selang 10 tahun
terakhir. Dengan asumsi bahwa di tahun pertama (2007) akan ada
10.000 unit kendaraan umum yang berbahan bakar gas dan biaya Uji
Berkala adalah sebesar Rp. 200.000,- maka unsur pendapatan daerah
yang akan hilang adalah sebesar Rp. 2.000.000.000 (dua milyar
rupiah). Kehilangan angka ini dapat menjadi bagian subsidi Pemerintah
Daerah DKI Jakarta yang tentu saja akan dikonversikan dengan turunnya
biaya kesehatan dan lingkungan oleh karena penggunaan BBG.

Bagi Pengusaha/Investasi SPBG, fasilitas atau insentif yang dapat


diberikan, antara lain berupa :

Halaman-25
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

a. Jaminan kepastian akan arah dan kebijakan Pemerintah yang akan


berimplikasi pada tumbuhnya populasi kendaraan berbahan bakar
gas, dan akhirnya meningkatkan kebutuhan gas, yang ditempuh
melalui intervensi kebijakan.

b. Pembebasan bea masuk barang impor untuk peralatan SPBG berupa


dispenser, booster dan lain sebagainya.

c. Subsidi atas biaya listrik yang digunakan di SPBG sampai dengan


tercapainya angka ideal kebutuhan gas.

Bagi Masyarakat Pengguna, fasilitas atau insentif yang dapat diberikan,


antara lain :

a. Jaminan keselamatan penggunaan kendaraan berbahan bakar gas,


yang harus ditempuh dengan Kebijakan/Regulasi, intervensi teknologi
dan investasi, serta pengawalan yang ketat atas implementasi di
lapangan, mulai dari jaminan tabung, peralatan konversi, sampai
pada SPBG dengan menggunakan standarisasi yang diakui.

b. Sosialisasi seluas-luasnya kepada masyarakat tentang hal-hal yang


terkait dengan penggunaan bahan bakar gas sebagai kebijakan yang
telah ditempuh Pemerintah, termasuk rencana kerja dan hasil-hasil
yang telah dicapai.

c. Insentif tarif khusus untuk angkutan umum yang menggunakan bahan


bakar gas yang relatif lebih murah dari kendaraan berbahan bakar
non-gas sehingga masyarakat pengguna akan diarahkan untuk memilih
karena alasan ekonomi. Kondisi ini pada akhirnya akan memberi
keuntungan bagi angkutan umum dimaksud terkait dengan tingginya
animo masyakarat dalam menjatuhkan pilihan, dan meningkatnya
pendapatan. Dari sisi angkutan umum non-gas, situasi ini akan
menstimulus mereka untuk beralih ke gas sehingga seiring dengan
perkembangan waktu, peningkatan kebutuhan, konsistensi kebijakan
Pemerintah dan semakin akrabnya masyarakat maka populasi total
angkutan umum yang berbahan bakar gas dapat terwujud setahap
demi setahap.

Bagi Sopir/Pengemudi, fasilitas atau insentif yang dapat diberikan,


antara lain :

a. Penurunan besaran setoran yang ditetapkan oleh pemilik angkutan


sehingga margin bagi sopir dapat lebih besar. Kondisi ini, dianalogkan
dengan situasi digambarkan oleh butir 5.4.c di atas akan
menstimulasi sopir angkutan umum non-gas untuk beralih ke gas.

b. Jaminan waktu pengisian bahan bakar di SPBG harus relatif singkat


sehingga tidak memaksa terjadinya antrian yang akhirnya
berimplikasi pada kehilangan waktu. Hal ini membutuhkan intervensi
teknologi dan investasi dari pihak SPBG.
Halaman-26
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

c. Hal-hal yang terkait dengan jaminan kelancaran operasi di lapangan


yang merupakan kombinasi dari butir-butir di atas akan merupakan
insentif maksimal bagi para sopir.

Rumusan Skema Ekonomi yang merujuk 5 (lima) aspek dengan masing-masing


memiliki kelompok subyek maupun obyek tersebut adalah sejumlah pilihan yang
tentu saja dapat dianggap sebagai sebuah paket ataupun dipilah berdasarkan
kemampuan yang tersedia dan opsi-opsi yang paling realible untuk dilaksanakan.
Sebuah harga mati yang tidak dapat ditawar sesungguhnya adalah kepastian
(komitmen, konsekuen dan konsistensi) Kebijakan Pemerintah dimana variabel ini
adalah landasan bagi pihak-pihak terkait lainnya yaitu sektor swasta dan unsur
masyarakat untuk menindaklanjutinya di tingkat implementasi.

Halaman-27
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI

Lampiran Referensi :

1. KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi &


Sumber Daya Mineral, 2003.
2. Laporan Kegiatan, Pelaksanaan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor
230/2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi Bahan
Bakar Gas pada Kendaraan Bermotor di wilayah Propinsi DKI Jakarta,
BPLHD DKI Jakarta, 2004.
3. Dokumen Rencana Strategis PEMANFAATAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK
TRANSPORTASI DI PROPINSI DKI JAKARTA, Badan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, 2004.
4. Dokumen Action Plan PEMANFAATAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK
TRANSPORTASI DI PROPINSI DKI JAKARTA, Badan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, 2005.
5. Buku Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 12/2003 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta
Penyeberangan di Propinsi DKI Jakarta.
6. Buku Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2/2005 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.
7. Dokumen Draft Final Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang
Penggunaan Bahan Bakar Gas untuk Angkutan Umum dan Kendaraan
Operasional Pemerintah Daerah, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, 2006.
8. STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (SLHI) 2005, Kementerian
Lingkungan Hidup, 2006.
9. Berbagai informasi dan data yang dihimpun dari media massa.

Halaman-28

You might also like