Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Pelaksana Program :
John Livingstone Wuisan
Sekretaris Jenderal DPP Mitra Emisi Bersih
Program Advokasi
Pemanfaatan BBG Sektor Transportasi Di Propinsi DKI Jakarta
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2/2005
Tentang Pengendalian Pencemaran Udara
RINGKASAN EKSEKUTIF
Berbagai rumusan yang ada dalam dokumen ini diharapkan dapat menjadi
bahan masukan bagi pihak-pihak terkait, baik Pemerintah, unsur Swasta, maupun
masyarakat luas untuk dapat mengambil peran masing-masing dalam
mengimplementasikan program atau gerakan gasifikasi kendaraan menuju pada
udara yang lebih bersih.
Halaman-1
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman-2
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
A. Daftar Grafik
B. Daftar Tabel
Halaman-3
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Bab I
PENDAHULUAN
Grafik 1.
Perkiraan Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya, Th. 1990-2015
1
Studi JICA dan SARPEDAL, 1996.
2
Draft atas revisi pertama (Juli 2002) Asian Development Bank, RETA: 5937 Reducing Vehicles Emissions,
Integrated Vehicles Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta, hal. 14
Halaman-4
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
terhadap populasi
nasional. Grafik 2.
Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya, Th. 2005
Pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi adalah salah satu
solusi bagi upaya penurunan polusi udara.
Terobosan hukum yang dilakukan melalui Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta
Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang mewajibkan
penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan umum dan kendaraan operasional
Pemerintah Daerah di wilayah DKI Jakarta merupakan harapan baru bagi percepatan
implementasi BBG Sektor Transportasi yang telah dicanangkan selama 20 tahun
terakhir.
3
Direktorat Lalu Lintas, POLRI, 2006 (InfoLantas).
Halaman-5
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Bab II
DATA HISTORIS DAN SITUASI TERKINI
Tabel 1.
Perkembangan Penggunaan Bahan Bakar Gas di Beberapa Negara
Meskipun sejarah penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan bermotor sudah
berlangsung cukup lama, tetapi pertumbuhan jumlah kendaraan yang berbahan-
bakar gas tidak secepat pertumbuhan jumlah kendaraan yang berbahan bakar
minyak. Sampai saat ini5 jumlah kendaraan yang berbahan bakar gas di dunia
diperkirakan baru mencapai 1,7 juta unit. Jumlah tersebut sangat kecil
dibandingkan jumlah kendaraan berbahan bakar bensin dan solar yang diperkirakan
mencapai 99% dari total populasi kendaraan di dunia.
3,500
3,000
3,000
Rp. Per LSP
2,562
2,500
2,000 1,550
1,500
700
1,000 190 450
500
0
April 1986 1998 Agustus November Februari Agustus
2003 2004 2006 2006
Waktu
Grafik 3.
Perkembangan Harga Bahan Bakar Gas Per LSP Di Indonesia, Th. 1986-2006
6000
4881 4944
5000
4660
4503
4000 3889
3000
3000
2565 2500
2000
2000
1479
1017
1000
500 551 534
300 300 40 40 40 25 18 5
0 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 199 8 199 9 2000 2 001 20 02 20 04
Grafik 4.
Perkembangan Kendaraan Bahan Bakar Gas Di DKI Jakarta, Th. 1987-2004
7
Dokumen Rencana Strategis PEMANFAATAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI DI PROPINSI DKI
JAKARTA, BPLHD DKI Jakarta, 2004
Halaman-7
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Sampai dengan tahun 2003 telah dibangun 28 unit SPBG, terdiri dari 21 unit milik
Pertamina dan 7 unit milik swasta. Dari 21 unit SPBG milik Pertamina, yang
beroperasi saat ini hanya 11 unit, sementara dari 7 unit SPBG milik swasta,
beroperasi 6 unit. Total kapasitas dari 28 unit SPBG tersebut sebesar 403.020 Isp per
hari dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai 18% dari total kapasitas. Selain
CNG, sejak tahun 1995 LPG juga telah dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk
kendaraan bermotor di Indonesia. Hingga saat ini telah dibangun 18 unit SPB LPG
(SPBE) oleh pihak swasta dimana yang beroperasi hanya 8 unit di Jabotabek.
Perkembangan penggunaan bahan bakar gas untuk transportasi dapat pula dibaca
melalui indikator besaran penjualan10 CNG dan LPG untuk transportasi selang tahun
1997 sampai 2001, sebagai berikut :
Lebih jauh, besaran pemanfaatan Gas Bumi menurut sektor peruntukkannya dapat
digambarkan pada Tabel11 berikut ini.
8
Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi
Bahan Bakar Gas Di Wilayah Propinsi DKI Jakarta.
9
Terdiri dari SPBG di Jl. Tendean-Mampang, Jl. Raya Pasar Minggu, Jl. Raya Pluit, Jl. Pemuda, Jl. Tebet Timur,
Jl. Boulevard Kelapa Gading, dan Jl. Sumenep.
10
Laporan Akhir, KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral,
2003, Bab III.
11
Sumber : Ditjen MIGAS, Departemen ESDM, dikutip dari Buku Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2005,
hal. 165.
Halaman-8
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Data yang ada menunjukkan penurunan yang cukup tajam dimana besaran penjualan
gas alam untuk transportasi mencapai angka 23,1 juta m3 di tahun 1999 (saat
jumlah kendaraan berbahan bakar gas mencapai angka 5.000 unit) dan turun
menjadi hanya 15,6 juta m3 pada tahun 2003.
Bersamaan dengan pencabutan subsidi atas bahan bakar minyak (BBM) yang
dilakukan selang akhir tahun 2005 dan awal 2006, serta dikombinasikan dengan
tingginya harga minyak internasional telah mendorong Pemerintah untuk kembali
menseriusi Bahan Bakar Gas untuk sektor transportasi. Di tanggal 20 Mei 2006,
Presiden RI melakukan Pencanangan Kembali bahan bakar gas ini di sebuah SPBG
yang khusus diperuntukkan untuk pengisian Bus TransJakarta di Jl. Perintis
Kemerdekaan, Jakarta Timur yang sekaligus meresmikan sebuah unit SPBG baru yang
berbasiskan investasi swasta.
Terobosan Regulasi
Terkait dengan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi, Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan,
sebagaimana Tabel berikut ini.
Halaman-9
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Kehadiran Perda 2/2005 Propinsi DKI Jakarta yang mewajibkan penggunaan bahan
bakar gas bagi Angkutan Umum & Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah di
wilayah DKI Jakarta adalah regulasi terbaru sekaligus sebuah terobosan bagi
percepatan implementasi bahan bakar gas sektor transportasi, setelah selang 20
tahun digulirkan tidak berkembang sebagaimana diharapkan.
Dibandingkan dengan sebuah Keputusan Gubernur12 yang hanya mewajibkan 20% dari
total armada taksi harus menggunakan bahan bakar gas, serta sebuah Instruksi
Gubernur13 tentang Program Aksi Pemeriksaan, maka posisi Peraturan Daerah
memiliki kekuatan hukum dan konsekuensi kebijakan yang lebih optimal. Sebuah
terobosan hukum yang tentu saja membutuhkan persiapan baik di tingkat regulasi
lanjutan, teknis dan aplikasi lapangan. Keberanian untuk mewajibkan semua
angkutan umum serta kendaraan operasional Pemerintah Daerah harus diimbangi
dengan keseriusan dan konsistensi.
Salah satu hal yang menjadi indikator dari berjalannya Peraturan Daerah ini dapat
dilihat pada operasi Bus TransJakarta. Dari total 146 Unit Busway yang dioperasikan
di 3 koridor, terdapat 56 unit14 kendaraan bus yang menggunakan bahan bakar gas,
yaitu yang melayani rute Koridor Pulo Gadung Harmoni sebanyak 26 bus dan
Koridor Kali Deres Harmoni sebanyak 30 bus. 90 bus sisanya yaitu yang melayani
Koridor Blok M Kota masih menggunakan bahan bakar solar.
Fenomena baru muncul berbasis Peraturan Daerah ini yaitu pada angkutan jenis
Bajaj. Dalam kategori Angkutan Umum berdasarkan UU15 dan Peraturan Daerah16
12
Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 28 Tahun 1990 tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas dan Elpiji untuk
Angkutan Umum dan Taksi.
13
Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi
Bahan Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta.
14
Artikel Kompas, edisi 20 Mei 2006, hal. 26.
15
Undang-Undang Nomor 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Halaman-10
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
terkait memang Bajaj yang berbasis roda tiga dan kebanyakan bermesin dua-tak,
tidak disebutkan. Fakta lapanganlah yang memberi predikat kepada kendaraan jenis
ini sebagai angkutan yang umum dipakai sehari-hari oleh masyarakat dengan
imbalan nominal uang tertentu, sehingga dari sisi ini dapat disebut angkutan umum.
Bajaj telah menjadi salah satu moda angkutan di Jakarta sejak tahun 1975. Sampai
dengan tahun 1980, impor Bajaj telah mencapai angka 13.335 unit. Dalam catatan17
Dinas Perhubungan DKI Jakarta, populasi Bajaj saat ini di DKI Jakarta adalah
sebanyak 14.600 unit, belum termasuk 6.000 unit bajaj ilegal hasil kreativitas
karoseri atau bengkel jalanan. Terkait dengan upaya mendukung Program Langit
Biru18 dan implementasi Perda 2/2005 maka Pemerintah DKI Jakarta telah melaunch
Program Bajaj berbahan bakar gas yang secara simbolis telah dilakukan Gubernur
Sutiyoso pada tanggal 9 Agustus 2006 di Jakarta dengan 7 unit dari total rencana
awal 250 unit bajaj. Menurut informasi19 yang ada, Gubernur Sutiyoso juga telah
menerbitkan ijin pengoperasian bagi 5.000 unit bajaj dimana dalam setiap bulan
terhitung November 2006 akan diproduksi 500 unit. Menariknya lagi, selain
menggunakan bahan bakar gas yang sudah jelas berkategori ramah lingkungan,
mesin yang digunakan berbasis mesin empat-langkah sehingga emisi yang dihasilkan
akan lebih baik.
Implikasi Ekonomi
1. Apabila semua kendaraan penumpang umum (bis kota, mirobis, taksi dan
mikrolet) yang berjumlah mendekati 100.000 unit dan kendaraan operasional
Pemerintah Daerah di wilayah DKI Jakarta mengganti bahan bakarnya (bensin dan
solar) dengan bahan bakar gas, maka potensi kebutuhan gas akan meningkat
signifikan.
16
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 12/2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api,
Sungai dan Danau serta Penyeberangan di Propinsi DKI Jakarta.
17
Dikumpulkan MEB dari berbagai sumber artikel media cetak seperti Kompas, Seputar Indonesia, Berita Kota
dan Media Indonesia selang Agustus 2006, Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Djauhari Peranginangin, populasi
Bajaj di DKI Jakarta sebanyak 15.300 unit.
18
UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor MenLH-35/1996 tertanggal 26 April 1996 tentang Program Langit Biru.
19
Artikel pada Harian Berita Kota, edisi 10 Agustus 2006, hal. 11.
20
Telah menjadi Program Pemerintah di bawah koordinasi Menko Perekonomian untuk akhir Tahun 2006 dimana
anggaran diturunkan Pemerintah melalui Ditjen MIGAS Dep. ESDM, kerjasama implementasi dengan
Pertamina.
Halaman-11
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
3. Jumlah kendaraan yang akan beralih ke bahan bakar gas adalah jumlah unit yang
membutuhkan alat konversi (converter kit) dan jasa pemasangan.
4. Jumlah kendaraan berbahan bakar gas yang signifikan akan memicu tumbuhnya
bengkel-bengkel untuk jenis kendaraan tersebut yang berarti peluang bisnis baru.
5. Pada tingkat harga saat ini dimana premium Rp. 4.500,-/liter dan harga bahan
bakar gas (CNG) pada level Rp. 2.562 per lsp, dimana perhitungan sementara
sebuah unit kendaraan (angkutan umum) membutuhkan rata-rata 30 liter per
hari maka ada selisih harga Rp. 2.000 per liter bahan bakar atau Rp. 60.000
per hari. Margin ini adalah keuntungan bagi Pemilik Kendaraan dan juga Sopir
Angkutan.
6. Dengan biaya modifikasi kendaraan bensin menjadi kendaraan gas saat ini
sebesar Rp. 10.000.000,- sampai Rp. 12.500.000,- dan asumsi masa pakai
peralatan konversi 5 (lima) tahun, waktu balik modal yang diharapkan pemilik
kendaraan adalah 2 (dua) tahun maka jenis kendaraan yang secara ekonomis
berpotensi memanfaatkan gas adalah kendaraan jenis bensin yang mempunyai
jarak tempuh harian sektar 115 km. Kendaraan bensin yang mempunyai jarak
tempuh rata-rata sekitar 300 km/hari, seperti armada taksi di DKI, sangat
berpotensi memanfaatkan gas. Investasi untuk modifikasi akan kembali dalam
waktu sekitar 8 (delapan) bulan atau maksimal 18 (delapan belas) bulan.
7. Karena biaya modifikasi kendaraan diesel menjadi kendaraan gas masih relatif
tinggi (di tahun 2003, Rp. 25.000.000,- untuk kendaraan 200 HP), kendaraan
jenis diesel belum berpotensi memanfaatkan gas. Kendaraan jenis ini, terutama
yang berukuran besar (200 HP) dan mempunyai jarak tempuh rata-rata 250
km/hari, akan berpotensi memanfaatkan gas.
Halaman-12
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Bab III
GAMBARAN UMUM PROBLEMATIKA
Halaman-13
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Dalam hal ini yang termasuk sistem penunjang kendaraan adalah SPBG, Bengkel
Kendaraan, dan Toko Suku Cadang Peralatan, konsep ini membahas mengenai
SPBG yang berkaitan langsung dengan konsumen. Hambatan pihak
pengusaha/pengelola SPBG dalam melayani konsumen antara lain adalah :
Setelah sekian lama (+/- 14 sampai 20 tahun) gas diperkenalkan sebagai usaha
Pemerintah untuk mengurangi kenaikan pemakaian bbm sektor transportasi,
pemakaian gas tidak menunjukkan kemajuan yang berarti sehingga produsen
(Pertamina) mengalami kerugian, yang disebabkan antara lain :
Halaman-14
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Terhadap persoalan ini, titik temu telah diperoleh dengan kenaikan harga
per 1 lsp sebesar Rp. 3.000 terhitung tanggal 1 Februari 2006.
Bahkan, dalam upaya melakukan percepatan bagi implementasi massal,
Pertamina setuju untuk menerima turunnya harga mencapai Rp. 2.562 per
lsp sejak 1 Agustus 2006 yang sekaligus dapat dibaca sebagai keseriusan
dan komitmen Pertamina21 dan Pemerintah terhadap program gasifikasi
kendaraan ini.
Sisi standarisasi keselamatan pengguna bahan bakar gas sangat terkait dengan
penggunaan tabung. Meskipun telah diatur sepenuhnya dalam keputusan Menteri
Perhubungan No. KM 64/1993, namun belum jelas instansi mana yang berhak
mengadakan pengetesan atau mensertifikasi peralatan kendaraan berbahan
bakar gas.
21
Artikel pada harian Kompas, edisi 8 Juli 2006, hal. 18.
22
Hasil investigasi pribadi Steve Sugita, seorang korban hidup ledakan kendaraan berbahan bakar gas pada
Januari 1999, diangkat menjadi data dan referensi utama pada Metro Realitas dengan tajuk Plus Minus BBG,
Metro TV, edisi Januari 2006.
23
Artikel harian IndoPos, edisi 25 Juli 2006, hal. 17.
Halaman-15
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Berbagai kajian yang komprehensif telah dilakukan, baik di tingkat nasional misalnya
melalui sebuah Tim Gas Nasional yang menyelesaikan hasilnya24 pada tahun 2003,
maupun di tingkat Propinsi DKI Jakarta melalui sebuah Kelompok Kerja yang
dikoordinasikan melalui BPLHD Propinsi DKI Jakarta dengan melibatkan unsur
stakeholder dari Pemerintah Pusat dan DKI Jakarta, LSM, jaringan dan dukungan
partner internasional serta sektor swasta yang telah merumuskan berbagai
dokumen25 kerja. Diaturnya kewajiban penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan
umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah di dalam Pasal 20 Peraturan
Daerah 2/2005 adalah salah satu hasil utama proses percepatan implementasi
gasifikasi kendaraan.
Mengacu pada konteks tersebut maka Mitra Emisi Bersih berpendapat bahwa pintu
masuk bagi percepatan penggunaan gas untuk sektor transportasi dapat diawali
dengan cakupan yang diatur melalui Perda dimaksud yaitu angkutan umum dan
kendaraan operasional Pemerintah Daerah. Dengan tidak mengesampingkan berbagai
problem makro dari penggunaan BBG, misalnya masalah ketersediaan gas, jaringan
pipanisasi, dan lain-lain, pendekatan dapat dilakukan dengan secara langsung fokus
pada upaya memfasilitasi kedua kelompok target dimaksud, khususnya dalam
pengadaan Alat Konversi dan aspek-aspek yang terkait secara langsung.
Untuk target Angkutan Umum, persoalan fasilitas atau insentif ekonomi adalah salah
satu hal utama. Beberapa masukan telah menjadi substansi utama yang dibahas oleh
Kelompok Kerja Penyusun Draft Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta tentang
Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional
Pemerintah Daerah yang merupakan salah satu Petunjuk Teknis Operasional bagi
Perda 2/2005.
24
KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral, 2003.
25
Laporan Pelaksanaan Instruksi Gubernur Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksanaan
Peralatan Konversi Bahan Bakar Gas Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah Propinsi DKI Jakarta (BPLHD, 2004),
Dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) Pemanfaatan Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Di Propinsi DKI
Jakarta (BPLHD, 2004), Dokumen Action Plan Pemanfaatan Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Di Propinsi DKI
Jakarta (BPLHD, 2005), Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2/2005 dan Draft Final Peraturan
Gubernur Propinsi DKI Jakarta tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan
Operasional Pemerintah Daerah (BPLHD, 2006).
Halaman-16
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Bab IV
SKEMA EKONOMI, TINJAUAN SITUASI DAN REKOMENDASI
Mitra Emisi Bersih berpendapat pada kondisi sekarang, dalam konteks menstimulasi
percepatan penggunaan bahan bakar gas berbasis Perda 2/2005 DKI Jakarta maka
skema atau pola insentif harus mencakup beberapa aspek yang saling terkait satu
sama lain yaitu :
1. Terminologi Masa Transisi,
2. Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan,
3. Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis Angkutan/Kendaraan,
4. Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif, dan
5. Para Pelaku lapangan sebagai Penerima Insentif.
Deskripsi :
1.1. Pemanfaatan bahan bakar gas yang sedang dilakukan tidak boleh dipisahkan
dari kebijakan teknis produsen kendaraan bermotor. Apabila telah tercapai
suatu kondisi permintaan akan kendaraan berbahan bakar gas maka hal ini
akan dilihat sebagai peluang bisnis bagi pihak produsen yang akan
memproduksi kendaraan berbahan bakar gas.
26
Pernyataan Anton Tampubolon, Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Dep. Perhubungan, sebagaimana
dikutip dari artikel di harian Kompas, edisi 25 April 2006, hal. 18.
27
Artikel di harian Kompas, edisi 3 Juni 2006, hal. 3.
28
Informasi yang diperoleh dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Rapat Terbatas Stakeholder tentang isu
terkait Program Advokasi BBG pada tanggal 24 Agustus 2006, terkonfirmasi melalui berita media pada Liputan
6 Malam SCTV tanggal 29 Agustus 2006.
Halaman-17
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
1.2. Persoalan skema ekonomi dengan segala aspek yang terkait - bagi
kendaraan berbahan bakar non-gas harus terimplementasi simultan dengan
proses pertumbuhan demand (kebutuhan) akan produksi kendaraan baru
yang langsung berspesifikasi berbahan bakar gas bensin dari produsen.
Proses inilah yang dikategorikan sebagai masa transisi29 yang harusnya
dibatasi pada kurun waktu 5 (lima) tahun. Hal ini dikaitkan dengan masa
pakai kendaraan angkutan umum yang dibatasi masa penggunaannya 7
tahun atau apabila diperpanjang mencapai 10-12 tahun.
1.3. Dari total populasi kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta30 di tahun 2005
sebanyak 86.801 unit, 67,7% di antaranya dibuat sebelum atau pada tahun
1993, artinya telah memasuki usia sedikitnya 12 tahun. Secara spesifik, data
kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta berdasarkan analisa tahun
pembuatan adalah sebagai berikut :
c. Sebanyak 72% dari total populasi bus kecil (mikrolet dan AWK/KWK
dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai
sedikitnya 12 tahun.
d. Sebanyak 93% dari total populasi kajen IV (bajaj, kancil, toyoko, dan
APB/bemo) telah dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah
memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun. Bahkan khusus untuk bajaj dan
toyoko, 100% kendaraannya tercatat telah beroperasi sedikitnya 15
tahun yang lalu.
e. Dan, sebanyak 61% dari total populasi angkutan lain-lain (taksi, mobil
barang, bus pariwisata, dan bus AKAP) yang dibuat sebelum atau pada
tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun.
1.4. Dalam konteks usia pakai dimaksud maka kondisi ini merupakan sebuah
peluang bagi produsen kendaraan untuk memproduksi kendaraan
berbahan bakar gas sehingga peremajaan yang akan dilakukan tidak lagi
menggunakan kendaraan non-gas. Tentu saja, hal ini membutuhkan
kebijakan yang konsisten dari Pemerintah.
29
Disarikan berdasarkan pemaparan Bp. Helmukti Latif pada Workshop : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA
2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI SKEMA EKONOMI, dilaksanakan oleh Mitra Emisi
Bersih pada tanggal 31 Agustus 2006 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
30
Diolah dari Buku Laporan Kegiatan Tahunan DINAS PERHUBUNGAN Propinsi DKI Jakarta Selang Januari s/d
Desember 2005
Halaman-18
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Deskripsi :
a. Kelompok angkutan umum darat terdiri dari bis besar, bus sedang (metro
mini, kopaja, dan sejenisnya), bus kecil (mikrolet dan APK/KWK), kajen
IV (bajaj, kancil, toyoko dan APB/bemo), dan angkutan lain-lain (taksi,
mobil barang, bus pariwisata, dan bus AKAP). Dari 5 sub-kelompok
tersebut, bus besar, bus sedang, dan bus kecil beroperasi berdasarkan
trayek/rute tetap atau point-to-point system, sedangkan jenis kajen IV
(kecuali bemo) dan jenis lain-lain adalah sub-kelompok yang beroperasi
tanpa rute atau trayek tetap.
Salah satu fenomena terkini di DKI Jakarta adalah kebijakan Bajaj berbahan
bakar gas. Kebijakan ini tentu saja harus diintegrasikan dengan kebijakan
lainnya sehingga tidak tumpang tindih dan memberi kesan ketidakjelasan
atau inkonsitensi Pemerintah.
Halaman-19
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Deskripsi :
3.1. Jenis bahan bakar gas meliputi CNG (Compressed Natural Gas) dan LPG
(Liquid Petroleum Gas / Elpiji) dimana Pertamina sebagai produsen awal
dan terbesar saat ini - sedang mengembangkan LGV31 (Liquid Gas for
Vehicle) atau LPG yang khusus dirancang untuk kendaraan bermotor.
3.2. LGV berbahan dasar LPG yang disesuaikan secara khusus untuk kendaraan
dengan komposisi 59% propan dan 41% butana dengan nilai oktan yang
tinggi. Adapun sejumlah perbedaan spesifik antara CNG dan LGV dapat
diuraikan, sebagai berikut :
c. Investasi SPBG (untuk CNG) saat ini membutuhkan dana sebesar Rp. 6
milyar sementara untuk SPBE (untuk LGV) hanya sebesar Rp. 500 juta
dimana biaya pengoperasiannya sendiri, untuk SPBE mencapai angka 90%
lebih murah dibanding dengan SPBG.
d. Luas lahan yang dibutuhkan untuk sebuah SPBE adalah sebesar 30% dari
areal yang diperlukan untuk sebuah SPBG.
e. Margin keuntungan SPBE adalah setara dengan 7% dari harga jual LGV
dengan harga ekonomis saat ini Rp. 3.800 per LSP. Bila dibandingkan
dengan CNG yang sekarang dijual dengan harga Rp. 2.562 maka harga
LGV lebih mahal. Namun apabila memperhatikan faktor-faktor
sebagaimana disebutkan pada butir a sampai d, maka harga ini masih
dikategorikan kompetitif.
3.3. Dalam pandangan Pertamina, penggunaan CNG akan lebih cocok untuk unit-
unit kendaraan yang berkapasitas tangki besar, atau juga sedang, sehingga
tidak perlu kehilangan waktu dalam melakukan pengisian berulang-ulang,
31
Informasi dari wakil Pertamina dalam Acara Workshop : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA /2005 PROPINSI
DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI SKEMA EKONOMI, dilaksanakan oleh Mitra Emisi Bersih pada tanggal
31 Agustus 2006 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
Halaman-20
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
3.4. Dengan asumsi-asumsi butir 3.3 di atas, mengacu pada data tahun 2005, ada
9.375 unit kendaraan bus besar dan bus sedang yang beroperasi di Jakarta
dimana hanya tercatat 56 unit yang saat ini menggunakan CNG yaitu Busway
TransJakarta. Selanjutnya, (data yang sama) ada 77.426 unit bus kecil,
kajen IV dan angkutan jenis lain yang dapat diarahkan untuk menggunakan
LGV.
3.5. Dalam hal Pemerintah melihat bahwa kondisi butir 3.3 di atas adalah situasi
yang paling reliable maka instrumen kebijakan (dengan suatu daya paksa
tertentu) akan efektif untuk dikombinasikan dengan sejumlah insentif
ekonomi dalam program gasifikasi kendaraan angkutan umum.
3.6. Kebijakan dimaksud butir 3.7 dapat dipergunakan Pihak Swasta untuk
melakukan perhitungan nilai keekonomian dan investasi dalam koridor
kepastian kebijakan Pemerintah dimana kondisi ini diharapkan akan
menstimulasi pergerakan potensi publik dalam mendukung Program
Gasifikasi dimaksud.
3.7. Apa yang terjadi dengan cerita awal Busway TransJakarta dapat menjadi
pelajaran berharga bagi pengembangan dan percepatan pemanfaatan bahan
bakar gas, khususnya untuk kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta
berdasarkan Perda 2/2005.
Deskripsi :
Halaman-21
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Deskripsi :
5.2. Bagi Pemilik Kendaraan Angkutan Umum, fasilitas atau insentif yang dapat
diberikan, antara lain :
Halaman-22
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
-. Apabila potongan yang disepakati adalah 100% maka tiap hari cicilan
yang akan diserahkan kepada Lembaga Pengelola Dana adalah
sebesar Rp. 87.210 atau setara dengan Rp. 31.831.650 (apabila
beroperasi 365 hari) atau Rp. 26.163.000 (apabila beroperasi 300
hari) atau Rp. 15.261.750 (untuk kendaraan yang beroperasi 175
hari).
-. Apabila menggunakan asumsi tersebut maka sebuah unit kendaraan
bus besar atau sedang dapat menyelesaikan masa cicilan dalam
waktu 175 hari kerja dalam skema 100% setoran harian dari
margin/selisih harga per LSP.
-. Apabila skema cicilan yang disepakati adalah 50% maka angsuran
akan dapat diselesaikan dalam waktu 350 hari kerja.
Untuk penggunaan LGV (mengacu pada asumsi pemanfaatan oleh
kendaraan kecil, nilai konverter kit diasumsikan Rp. 10 juta), untuk
kendaraan yang awalnya menggunakan bensin, selisih harga adalah Rp.
4.500 dikurangi Rp. 3.800, sama dengan Rp. 700 per LSP, apabila
penggunaan/pemakaian rata-rata per hari diasumsikan 37,5 liter atau
LSP ; berarti tiap unit kendaraan akan memiliki nilai margin Rp. 26.250
per hari, maka akan berlaku hitungan sebagai berikut :
-. Apabila potongan yang disepakati adalah 100% maka tiap hari cicilan
yang akan diserahkan kepada Lembaga Pengelola Dana adalah
sebesar Rp. 26.250 atau setara dengan Rp. 9.581.250 (apabila
beroperasi 365 hari) atau Rp. 10.106.250 (apabila beroperasi 385
hari) atau Rp. 10.500.000 (untuk kendaraan yang beroperasi 400
hari).
-. Apabila menggunakan asumsi tersebut maka sebuah unit kendaraan
bus besar atau sedang dapat menyelesaikan masa cicilan dalam
waktu 175 hari kerja dalam skema 100% setoran harian dari
margin/selisih harga per LSP.
-. Apabila skema cicilan yang disepakati adalah 50% maka angsuran
akan dapat diselesaikan dalam waktu 765 hari kerja (total cicilan =
Rp. 10.040.625).
-. Apabila dibandingkan dengan penggunaan CNG maka pola margin
lebih kecil dinikmati oleh kendaraan berbasis LGV. Untuk itu,
intervensi subsidi terhadap harga LGV harus dilakukan baik oleh
subsidi Pemerintah maupun oleh mekanisme pasar dimana Pertamina
sebagai produsen harus menurunkan harga dalam konteks
penggunaan yang lebih besar berasal dari kalangan pengguna LGV,
yaitu 1:9 jumlah populasinya. Kondisi ini seharusnya menjadi
pertimbangan khusus bagi Pertamina sehingga penggunaan LGV oleh
kendaraan kecil dapat dimaksimalkan yang akhirnya akan kembali
juga kepada margin keuntungan Pertamina.
Dalam hal subsidi harga LGV dapat mencapai harga Rp. 3.000 per LSP di
tingkat konsumen maka margin keuntungan per unit kendaraan dapat
dilipatgandakan dan masa cicilan dapat ditekan sampai 1 (satu) tahun
pada basis skema setoran 50%.
Apabila menggunakan asumsi-asumsi di atas maka pada tahun kedua,
dana di tahun kedua untuk kategori bus besar dan sedang, sudah dapat
digulirkan kepada target berikutnya. Asumsi setahun juga dapat dicapai
oleh kelompok kendaraan kecil, dimana dana tahun pertama dapat
Halaman-23
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
c. Subsidi harga bahan bakar gas, baik untuk CNG maupun LGV sehingga
nilai beli konsumen lebih murah.
Di hampir semua negara yang memiliki kebijakan penggunaan gas untuk
sektor transportasi, diberlakukan skenario subsidi Pemerintah untuk
harga gas rata-rata 50-60%. Selanjutnya, insentif lainnya juga diberikan
misalnya di Australia ada insentif 500 dollar Australia untuk pembelian
1 (satu) unit kendaraan LGV serta subsidi Pemerintah sebesar 3,000
dollar Australia untuk pembelian sebuah unit kendaraan LGV.
e. Kredit lunak untuk Pengadaan Peralatan Konversi dengan bunga 3%, atau
maksimal 5% per tahun tanpa uang muka.
Jika digabungkan dengan butir d maka subsidi 10% dapat dianggap
sebagai cicilan pertama dan sekaligus bernilai untuk menutup bunga
dengan asumsi masa cicilan maksimal 2 (dua) tahun. Pemilik angkutan
akan diuntungkan dari sisi pengadaan tanpa modal di bulan pertama
sekaligus total pembayaran tanpa bunga. Mekanisme kredit sekaligus
dapat dijamin oleh Pemerintah sehingga lembaga keuangan yang akan
terlibat merasakan adanya jaminan keamanan dan kepastian
pengembalian kredit.
Halaman-24
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
f. Kepastian harga bahan bakar gas (misalnya CNG) per LSP tetap terjaga
konsistensinya pada angka Rp. 2.562 setidaknya selama 2 (dua) tahun
atau bahkan 5 (lima) tahun ke depan.
Perhitungan waktu ini adalah periode dimana maksimal 2 (dua) tahun
peralatan konversi dalam tahap cicilan dan pemilik kendaraan, akan
berimplikasi juga pada Pengusaha SPBG, Bengkel dan Toko Spare Part,
memiliki kepastian penghitungan. Dalam konteks 2 tahun pertama
situasi berjalan dengan baik maka mekanisme harga akan mengacu pada
nilai-nilai ekonomi, walau demikian dengan memperhitungkan masa
transisi dimaksud butir 1.1 sampai 1.4 di atas dan butir 5.2.b sampai
5.2.c di atas maka periode 5 (lima) tahun adalah angka ideal.
Halaman-25
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Halaman-27
Policy Paper :
IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
Lampiran Referensi :
Halaman-28