You are on page 1of 21

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pemecahan Masalah (Problem Solving)

1. Pengertian Masalah

Setiap manusia pasti akan selalu berhadapan dengan persoalan, baik itu

persoalan pribadi maupun persoalan yang berkaitan dengan orang lain. Namun

tidak semua dari sekian banyak persoalan yang dihadapi dapat dikatakan sebagai

masalah. Suatu persoalan dapat dikatakan sebagai masalah jika persoalan tersebut

belum diketahui bagaimana cara untuk memperoleh penyelesaiannya. Persoalan

tersebut menantang untuk dijawab tanpa menggunakan prosedur yang rutin.

Ruseffendi (2006:169) menyebutkan bahwa sesuatu itu merupakan masalah

bagi seseorang bila sesuatu itu baru, sesuai dengan kondisi yang memecahkan

(perkembangan mentalnya) dan memiliki pengetahuan prasyarat. Oleh karena itu

masalah sangat relatif, tergantung dari siapa orang yang menghadapinya. Sesuatu

hal mungkin akan menjadi masalah bagi anak A, karena hal ini baru baginya dan

dia belum mengetahui penyelesaiannya. Namun, bagi anak B hal tersebut

bukanlah suatu masalah, karena dia langsung dapat menemukan penyelesaian dari

hal tersebut. Masih menurut Ruseffendi (2006:336) sesuatu persoalan itu

merupakan masalah bagi seseorang jika persoalan itu tidak dikenal olehnya,

maksudnya siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk

meyelesaikannya.
17

Suatu soal dapat dikatakan sebagai masalah jika soal tersebut memerlukan

keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya. Menurut Dewi

(2008:29) masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah

mengetahui penyelesaiannya karena dalam soal tersebut telah jelas hubungan

antara yang diketahui dengan apa yang ditanyakan. Pada masalah siswa tidak tahu

bagaimana penyelesaiannya, akan tetapi siswa tertarik dan tertantang untuk

menyelesaikannya. Siswa akan menggunakan segenap pemikirannya dalam

memilih strategi pemecahan hingga menemukan penyelesaian dari permasalahan

tersebut.

2. Pembelajaran Pemecahan Masalah (Problem Solving)

Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang

sangat penting karena dalam proses pembelajaran siswa dimungkinkan

memperoleh penggalaman baru menggunakan pengetahuan serta keterampilan

yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak

rutin.

Menurut teori belajar yang yang dikemukakan Gagne (Suherman dkk.,

2003:83) bahwa keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan

melalui pemecahan masalah. Menurut Suherman dkk. (2003:89) pemecahan

masalah merupakan tipe belajar paling tinggi dari delapan tipe belajar yang

dikemukakan oleh Gagne yaitu signal learning, stimulus-response learning,

verbal association, discrimination learning, concept learning, rule learning, dan

problem solving. Melalui pembelajaran matematika siswa diharapkan mampu


18

menghadapi perubahan keadaan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan

bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur dan

efektif.

Berbicara pemecahan masalah tidak dapat dilepaskan dari tokoh utamanya

yaitu George Polya. Menurut Polya (Suherman dkk., 2003:91), dalam pemecahan

suatu masalah memuat empat langkah penyelesaian yang harus dilakukan, yaitu:

(1) memahami masalah, (2) merencanakan penyelesaian, (3) menyelesaikan

masalah sesuai rencana, dan (4) melakukan pengecekan kembali terhadap semua

langkah yang telah dikerjakan.

Dalam pemecahan masalah, kreativitas, keaktifan, dan bagaimana cara

siswa dalam menyelesaikan soal harus ditumbuhkan. Dalam pelaksanaan

kegiatannya lebih mengutamakan proses daripada jawaban atau produk, sehingga

keuletan siswa dalam memecahkan masalah sangat diperlukan dan dapat

membantu siswa untuk mengevaluasi pemahaman mereka sendiri serta dapat

mengidentifikasi idea-idea yang ada dalam pemikiran mereka.

Kurniawati (Sari, 2007) menyatakan bahwa pemecahan masalah

menghendaki siswa belajar secara aktif dan bukan guru yang aktif dalam

menyajikan materi pelajaran, sehingga dapat menumbuhkan sifat kreatif yaitu

mencari, menemukan, merumuskan, atau menyimpulkan sendiri. Dengan

pemecahan masalah siswa akan mampu mengambil keputusan dan mendapatkan

pengetahuan baru yang akan membantu mereka dalam menyelesaikan masalah di

masa depan.
19

B. Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)

Berdasarkan tujuan pendidikan nasional secara mikro menyebutkan bahwa

salah satu indikator keberhasilan pendidikan nasional adalah lahirnya sumber daya

manusia yang kreatif. Kreativitas ini (Mulyasa, dalam Nugraha, 2009:21) akan

terlihat dalam cara bagaimana siswa dapat memecahkan suatu kesulitan, rintangan

atau menjembatani suatu perbedaan pendapat ataupun suatu harapan dan

kenyataan yang tidak sesuai secara logis, efektif dan efisien.

Menurut Mitchel dan Kowalik (Rahman, 2009:12):

Creative, an idea that has an element of newness or uniqueness, at least to


the one who creates the solution and also has value and relevancy.
Problem, any situation that pressents a challenge, an opportunity, or is a
concern.
Solving, devising ways to answer, to meet, or to resolve the problem.
Therefore, CPS is a process, method, or system for approachng a problem
in an imaginative way and resulting in effective action.

Menurut Karen (Heryanto, dalam Rahman, 2009:12) model CPS adalah suatu

model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan

keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan.

Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan atau permasalahan, siswa dapat

melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan

mengembangkan tanggapannya sesuai dengan tingkat kreativitasnya masing-

masing.

Model CPS pertama kali dikembangkan oleh Alex Osborn, pendiri The

Creative Education Foundation (CEF) dan co-founder orf highly successful New

York Advertising Agency. Pada tahun 1950-an Sidney Parnes (SUNY College at

Buffalo) bekerja sama dengan Alex Osborn melakukan penelitian untuk


20

menyempurnakan model ini. sehingga, model CPS ini juga dikenal dengan nama

The Osborn-Parnes Creative Problem Solving Models. Pada awalnya, model ini

digunakan oleh perusahaan-perusahaan dengan tujuan agar para karyawan

memiliki kreativitas yang tinggi dalam setiap tanggung jawab pekerjaannya.

Namun pada perkembangan selanjutnya (Rahman, 2009:13), model ini juga

diterapkan pada dunia pendidikan.

Adapun langkah-langkah pembelajaran CPS menurut Mitchel dan Kowalik

(Rahman, 2009:13):

1. Mess-finding (menemukan masalah yang dirasakan sebagai pengganggu)

Tahap pertama merupakan suatu usaha untuk mengidentifikasi situasi yang

dirasakan mengganggu.

2. Fact-finding (menemukan fakta)

Tahap kedua, mendaftar semua fakta yang diketahui yang berhubungan dengan

situasi tersebut, yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi informasi yang tidak

diketahui tetapi esensial pada situasi yang sedang diidentifikasi dan dicari.

3. Problem-finding (menemukan masalah)

Pada tahap menemukan masalah, diupayakan kita dapat mengidentifikasi

kemungkinan pernyataan masalah dan kemudian memilih apa yang paling penting

atau yang mendasari masalah.

4. Idea-finding

Pada tahap ini, diharapkan menemukan sejumlah idea atau gagasan yang mungkin

dapat digunakan untuk memecahkan masalah.


21

5. Solution-finding

Pada tahap ini, idea-idea atau gagasan-gagasan pemecahan masalah diseleksi

untuk menemukan idea yang paling tepat untuk memecahkan masalah.

6. Acceptance-finding

Pada tahap ini, diusahakan untuk memperoleh solusi masalah, menyusun rencana

tindakan dan mengimplementasikan solusi tersebut.

Sedangkan menurut Pepkin (Rahman, 2009:14) proses pembelajaran dengan

model pembelajaran CPS terdiri dari langkah-langkah:

1. Klarifikasi masalah

Klarifikasi masalah meliputi penjelasan mengenai masalah yang diajukan kepada

siswa agar siswa memahami penyelesaian seperti apa yang diharapkan.

2. Pengungkapan pendapat

Pada tahap ini siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat tentang

bagaimana strategi penyelesaian masalah. Dari setiap idea yang diungkapakan,

siswa mampu memberikan alasan.

3. Evaluasi dan pemilihan

Pada tahap ini setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi

yang cocok untuk menyelesaikan masalah.

4. Implementasi (penguatan)

Pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang dapat diambil untuk

menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya hingga menemukan

penyelesaian dari masalah tersebut. Selain itu, pada tahap ini siswa diberi

permasalahan baru agar dapat memperkuat pengetahuan yang telah diperolehnya.


22

Pada prinsipnya, pembelajaran matematika menggunakan model CPS tidak

jauh berbeda dengan pembelajaran matematika berbasis masalah, hanya saja

langkah-langkah dalam pembelajaran matematika dengan model CPS cara

berpikir kreatif siswa dalam menyelesaikan masalah akan lebih terlihat terutama

pada tahap menemukan idea. Adapun kesamaan antara model pembelajaran CPS

dengan pembelajaran berbasis masalah (Dewi, 2008:5) adalah langkah-langkah

umum dalam pemecahan masalah pada bahan ajar menggunakan aturan dari

Polya, yaitu memahami masalah, menyusun rencana, melakukan rencana, dan

memeriksa kembali kebenaran jawaban.

Dalam penelitian ini langkah-langkah pembelajaran yang akan digunakan

adalah langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Pepkin.

C. Teknik Two Stay-Two Stray (TS-TS)

Model pembelajaran dengan teknik TS-TS dikembangkan pada tahun 1992

oleh Spencer Kagan (Ersah, 2007:17). Pembelajaran kooperatif dengan teknik TS-

TS merupakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada suatu

kelompok untuk membagikan hasil kerja kelompoknya atau informasi tentang

materi yang sedang dipelajari kepada kelompok lain.

Menurut Ersah (2007:17) dalam pembelajaran di sekolah, banyak kegiatan

belajar mengajar yang dilakukan hanya dengan kegiatan individu, di antaranya

siswa bekerja seniri dan dilarang melihat pekerjaan siswa lain. Padahal dalam

kehidupan sehari-hari di luar sekolah siswa justru dituntut untuk dapat

bersosialisasi dengan orang lain karena pada dasarnya manusia, termasuk siswa,
23

merupakan makhluk sosial yang saling ketergantungan antara yang satu dengan

yang lain.

Lie (Ersah, 2007:17) mengungkapkan bahwa pembelajaran dengan teknik

TS-TS bisa digunakan untuk semua mata pelajaran, termasuk untuk pelajaran

matematika, dan bisa digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik.

Menurut Digitaliawati (dalam Yulianti, 2009:21) langkah-langkah yang

dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif dengan teknik TS-TS

disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

Tabel 2.1
Langkah-Langkah Pembelajaran Teknik TS-TS

Fase Tingkah Laku Siswa Keterangan


1 Siswa bekerja dalam kelompok Siswa dalam kelompok masing-
masing-masing yang beranggotakan masing berdiskusi membahas
4-5 orang. permasalahan berupa tugas yang
diberikan guru.
2 Setelah selesai membahas Siswa mencari informasi dari
permasalahan yang terdapat pada kelompok lain dengan berdiskusi
tugas yang diberikan guru, dua orang mengenai permasalahan yang
dari masing-masing kelompok diberi terdapat pada tugas yang
kesempatan untuk meninggalkan diberikan guru.
kelompoknya dan kemudian bertamu
ke kelompok yang lain.
3 Dua orang yang tinggal dalam Siswa memebagikan informasi
kelompok bertugas membagikan mengenai hasil pengerjaan tugas
informasi kepada tamu mereka. dan menunjukkan cara-cara
mengerkajannya.
4 Tamu mohon diri dan kembali ke Siswa kembali dengan membawa
kelompok mereka sendiri dan informasi yang didapatkan dari
24

melaporkan temuan mereka dari kelompok yang lain, kemudian


kelompok yang lain. bersama kelompoknya masing-
masing mencocokkan dan
membahas hasil-hasil kerja dan
temuan mereka.

Pembelajaran kooperatif dengan teknik TS-TS (Yulianti, 2009:23) dapat

memberikan banyak mnafaat bagi siswa. Siswa dapat memperoleh tambahan

informasi secara lengkap dari kelompok lain. Selain itu, melalui pembelajaran

seperti ini siswa dapat belajar mengungkapkan idea atau gagasannya kepada siswa

lain dalam menyelesaikan permasalahan. Menurut Lord (Digitaliawati, dalam

Yulianti, 2009:23) pembelajaran kooperatif menghasilkan prestasi akademik yang

lebih tinggi.

Dalam teknik TS-TS siswa dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok

kecil yang heterogen, dalam hal ini heterogen dalam kemampuan akademiknya.

Hal ini karena pengelompokkan heterogenitas merupakan ciri-ciri yang menonjol

dalam model pembelajaran kooperatif. Pada umumnya pengelompokkan dalam

model pembelajaran kooperatif, tiap kelompok terdiri dari satu orang

berkemampuan akademik tinggi, dua orang berkemampuan akadenik sedang dan

satu orang berkemampuan akademik rendah.

D. Kreativitas

1. Pengertian Kreativitas

Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan di era globalisasi sekarang ini

telah membawa siswa dan anak-anak, umumnya yang hidup di daerah perkotaan,
25

pada pemanjaan berbagai kebutuhan hidup yang serba instant. Menurut Nurina

(2007:16) jika hal ini tidak disikapi dan diantisipasi sedini mungkin, tidak

menutup kemungkinan akan menjadikan salah satu penyebab terhambatnya

perkembangan kreativitas mereka.

Aktivitas kreatif mampu membuat seseorang untuk terus mencoba sehingga

dapat menemukan jawaban permasalahan yang dihadapinya meskipun mengalami

kegagalan berkali-kali, atau menemukan jawaban dengan proses yang tidak biasa,

bahkan dapat memandang suatu permasalahan dengan berbagai alternatif jawaban

(berpikir divergen). Oleh karena itu, perlu disadari bahwa kreativitas mempunyai

peranan penting dalam perkembangan dan kemajuan manusia. Sehubungan

dengan itu maka beberapa aalsan yang menunjukkan pentingnya kreativitas di

antaranya:

1. Dengan berkreasi, orang dapat mewujudkan dirinya. Di mana perwujudan diri

ini termasuk salah satu kebutuhan pokok manusia. Maslow (Munandar, dalam

Sari, 2010:3) menyelidiki kebutuhan manusia dan menyatakan bahwa

kreativitas merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya

dalam perwujudan dirinya

2. Kreativitas (berpikir kreatif) sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-

macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, yang sampai saat

ini masih kurang mendapat perhatian dari pendidikan formal.

3. Guilford (Munandar, dalam Nurina, 2007:16) menyatakan bahwa aktivitas

kreatif tidak hanya bermanfaat tapi juga memberikan kepuasan kepada

individu.
26

4. Biondi (Munandar, dalam Nurina, 2007:16) menyatakan bahwa kreativitaslah

yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya.

Carin dan Sun (Nurdin, 2009) mengemukakan bahwa kreativitas dinyatakan

dengan dua pengertian. Pertama kreativitas terbatas pada penemuan atau

penciptaan suatu idea yang belum pernah ada. Kedua kreativitas meliputi semua

usaha produktif yang unik dari individu.

Pengertian kreativitas dikemukan oleh Drevdahl (Zulkarnain, dalam

Indrayanto, 2007:12), menyatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan

untuk mencipta karangan, hasil atau idea-idea baru yang sebelumnya tidak dikenal

oleh pencipta, kemampuan ini merupakan aktivitas imajinatif atau berpikir

sintesis, yang hasilnya bukan merupakan pembentukan kombinasi dari informasi

yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Munandar (dalam Kartika, 2010:20) mengemukakan beberapa perumusan

tentang kreativitas, yaitu:

a. Kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan

data, informasi, atau unsur-unsur yang ada.

b. Kreativitas (berpikir kreatif atau berpikir divergen) adalah kemampuan

berdasarkan data atau informasi yang tersedia menemukan banyak

kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, di mana penekanannya adalah

pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban.

c. Kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan

(fleksibilitas) dan orisinilitas dalam berpikir serta kemampuan untuk

mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan.


27

Campbell (Zulkarnain dalam Indrayanto, 2007:13) mengemukakan

pendapatnya mengenai kreativitas. Kreativitas merupakan suatu kegiatan yang

mendatangkan hasil yang sifatnya:

1. Baru atau novel, yang diartikan sebagai inovatif, belum ada sebelumnya,

segar, menarik, aneh dan mengejutkan.

2. Berguna atau useful, yang diartikan sebagai lebih enak, lebih praktis,

mempermudah, mendorong, mengembangkan, mendidik, memecahkan

masalah, mengurangi hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil

yang baik.

3. Dapat dimengerti atau understandable, yang diartikan hasil yang sama dapat

dimengerti dan dapat dibuat di lain waktu, atau sebaliknya peristiwa-peristiwa

yang terjadi begitu saja, tak dapat dimengerti, tak dapat diramalkan dan tak

dapat diulangi.

Bill Moyers (Wycoff dalam Indrayanto, 2007:13) lebih sederhana dalam

mendefinisikan kreativitas, kreativitas artinya menemukan hal-hal yang luar biasa

di balik hal-hal yang tampak biasa.

Sedangkan Guilford (Zulkarnaen, dalam Indrayanto, 2007: 23) mengatakan

bahwa kreativitas merupakan kemampuan berpikir divergen atau pemikiran

menjajaki bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan, yang

sama benarnya.

Dari beberapa pendapat yang telah dipaparkan tersebut, dapat disimpulkan

bahwa pada intinya kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk

menciptakan sesuatu yang baru dan merupakan hasil kombinasi dari beberapa data
28

atau informasi yang diperoleh sebelumnya, terwujud dalam suatu gagasan atau

karya nyata.

2. Ciri-ciri Kreativitas

Menurut Wicoff (Indrayanto, 2007:14), individu yang kreatif membawa

makna atau tujuan baru dalam suatu tugas, menemukan penggunaan baru,

menyelesaikan masalah atau memberikan nilai tambah atau keindahan.

Ciri-ciri kreativitas seperti kelancaran, fleksibilitas, orisinalitas, elaborasi

dan evaluasi merupakan ciri-ciri kreativitas yang berhubungan dengan

kemampuan berpikir seseorang, dengan kemampuan berpikir kreatif. Namun,

memiliki ciri-ciri berpikir tersebut belum menjamin perwujudan kreativitas

seseorang. Ciri-ciri lain yang berkaitan dengan perkembangan afektif seseorang

sama pentingnya agar bakat kreatif seseorang dapat terwujud. Ciri-ciri yang

menyangkut sikap dan perasaan seseorang disebut ciri-ciri afektif dari kreativitas.

Ciri-ciri afektif yang sangat esensial dalam menentukan prestasi kreatif seseorang

(Nurina, 2007:18) ialah: rasa ingin tahu, tertarik terhadap tugas-tugas majemuk

yang dirasakan sebagai tantangan, berani mengambil resiko untuk membuat

kesalahan atau untuk dikritik oleh orang lain, tidak mudah putus asa, mempunyai

keindahan, mempunyai rasa humor, ingin mencari pengalaman-pengalaman baru,

dapat menghargai baik diri sendiri maupun orang lain.

Munandar (dalam Agustiani, 2005:19) membedakan ciri kreativitas ke

dalam ciri aptitude dan non aptitude. Ciri-ciri aptitude adalah ciri-ciri yang
29

berhubungan dengan proses berpikir (kognisi), sedangkan ciri-ciri non aptitude

adalah ciri-ciri yang lebih berkaitan dengan aspek afektif, sikap atau perasaan.

Adapun yang termasuk ciri-ciri aptitude menurut Munandar (dalam

Rahman, 2006:27) disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 2.2
Deskripsi Indikator Ciri Aptitude Kreativitas

Pengertian Perilaku
Berpikir lancar (Fluency) a) Mengajukan banyak pertanyaan
1) Mencetuskan banyak b) Menjawab dengan sejumlah jawaban jika
gagasan, jawaban atau ada pertanyaan.
penyelesaian masalah. c) Mempunyai banyak gagasan mengenai
2) Memberikan banyak cara suatu masalah
atau saran untuk melakukan d) Lancar mengungkapkan gagasan-
berbagai hal. gagasannya
3) Selalu memikirkan lebih e) Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih
dari satu jawaban. banyak dari orang lain
f) Dapat dengan cepat melihat kesalahan dan
kelemahan dari suatu objek atau situasi
Berpikir Luwes (Flexibility) a) Menggunakan aneka ragam penggunaan
1) Menghasilkan gagasan, yang tak lazim terhadap suatu objek
jawaban atau pertanyaan b) Memberikan bermacam-macam
yang bervariasi penafsiran terhadap suatu gambar, cerita
2) Dapat melihat suatu masalah atau masalah
dari sudu pandang yang c) Menerapkan suatu konsep atau azas
berbeda dengan cara yang berbeda-beda
3) Mencari banyak alternatif d) Memberikan pertimbangan terhadap
atau arah yang berbeda situasi yang berbeda dari yang diberikan
4) Mampu mengubah cara orang lain.
pendekatan atau pemikiran e) Dalam membahas atau mendiskusikan
suatu situasi selalu mempunyai posisi
yang bertentangan dengan mayoritas
kelompok
f) Jika diberikan suatu masalah biasanya
memikirkan bermacam-macam cara untuk
menyelesaikannya
g) Menggolongkan hal-hal menurut
pembagian (kategori) yang berbeda-beda
30

h) Mampu mengubah arah berpikir secara


spontan
Berpikir Orisinal (Originality) a) Memikirkan masalah-masalah atau hal
1) Mampu melahirkan yang tidak terpikirkan orang lain
ungkapan yang baru atau b) Mempertanyakan cara-cara yang lama dan
unik berusaha mamikirkan cara-cara yang baru
2) Memikirkan cara-cara yang c) Memilih asimetri dalam menggambarkan
tak lazim untuk atau membuat desain
mengungkapkan diri d) Memilih cara berpikir lain daripada yang
3) Mampu membuat lain
kombinasi-kombinasi yang e) Mencari pendekatan baru dari yang
tak lazim dari bagian-bagian stereotype
atau unsur-unsur f) Setelah membaca atau mendengar
gagasan-gagasan, bekerja untuk
menyelesaikan yang baru
g) Lebih senang mensintesa daripada
menganalisis sesuatu
Berpikir Elaboratif a) Mencari arti yang lebih mendalam
(Elaboration) terhadap jawaban atau pemecahan
1) Mampu memperkaya dan masalah dengan melakukan langkah-
mengembangkan suatu langkah yang terperinci
gagasan atau produk b) Mengembangkan atau memperkaya
2) Menambah atau memperinci gagasan orang lain
detail-detail dari suatu c) Mencoba atau menguji detail-detail untuk
objek, gagasan atau situasi melihat arah yang akan ditempuh
sehingga menjadi lebih d) Mempunyai rasa keindahan yang kuat,
menarik sehingga tidak puas dengan penampilan
yang kosong atau sederhana
e) Menambah garis-garis, warna-warna dan
detail-detail (bagian-bagian) terhadap
gambarnya sendiri atau gambar orang
lain.

Sedangkan yang termasuk ke dalam ciri-ciri afektif dari kreativitas (Nurina,

2007:21) adalah sebagai berikut:

1) Rasa Ingin Tahu

a. Definisi
31

- Selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak

- Mengajukan banyak pertanyaan

- Selalu memperhatikan orang, objek dan situasi

- Peka dalam pengamatan san ingin mengetahui/meneliti

b. Perilaku Siswa

- Mempertanyakan segala sesuatu

- Senang menjajaki buku-buku, peta-peta, gambar-gambar dan sebagainya

untuk mencari gagasan-gagasan baru

- Tidak membutuhkan dorongan untuk menjajaki atau mencoba sesuatu yang

belum dikenal

- Menggunakan semua panca inderanya untuk mengenal

- Tidak takut untuk menjajaki bidang-bidang baru

- Ingin mengamati perubahan-perubahan dari hal-hal atau kejadian-kejadian

- Ingin bereksperimen dengan benda-benda mekanik

2) Bersifat Imajinatif

a. Definisi

- Mampu memperagakan atau membayangkan hal-hal yang tidak atau belum

pernah terjadi

- Menggunakan khayalan, tetapi mengetahui perbedaan antara khayalan dan

kenyataan

b. Perilaku Siswa

- Memikirkan/membayangkan hal-hal yang belum pernah terjadi


32

- Memikirkan bagaimana jika melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan

orang lain

- Meramalkan apa yang akan dikatakan atau dilakukan orang lain

- Mempunyai firasat tentang sesuatu yang belum terjadi

- Melihat hal-hal dalam suatu gambar yang tidak dilihat orang lain

- Membuat cerita tentang tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi atau

tentang kejadian-kejadian yang belum pernah dialami.

3) Merasa Tertantang oleh Kemajemukan

a. Definisi

- Terdorong untuk mengatasi masalah yang sulit

- Merasa tertantang menghadapi situasi-situasi yang rumit

- Lebih tertarik pada tugas-tugas yang sulit.

b. Perilaku Siswa

- Menggunakan gagasan atau masalah-masalah yang rumit

- Melibatkan diri dalam tugas-tugas yang majemuk

- Tertantang oleh situasi yang tidak dapat diramalkan keadaannya

- Mencari penyelesaian tanpa bantuan orang lain

- Tidak cenderung mencari jalan tergampang

- Berusaha terus-menerus agar berhasil

- Mencari jawaban-jawaban yang lebih sulit/rumit daripada menerima yang

mudah

- Senang menjajaki jalan yang rumit


33

4) Sikap Berani Mengambil Resiko

a. Definisi

- Berani memberikan jawaban walaupun belum tentu benar

- Tidak takut gagal atau mendapat kritik

- Tidak menjadi ragu-ragu karena ketidakjelasan, hal-hal yang tidak

konvensional atau yang kurang berstruktur.

b. Perilaku Siswa

- Berusaha mempertahankan gagasan atau pendapatnya walaupun mendapat

tantangan atau kritik

- Bersedia mengakui kesalahan-kesalahannya

- Berani menerima tugas yang sulit meskipun ada kemungkinan gagal

- Berani mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang tidak

dikemukakan orang lain

- Tidak mudah dipengaruhi orang lain

- Melakukan hal-hal yang diyakini, meskipun tidak disetujui orang lain

- Berani mencoba hal-hal baru

- Berani mengakui kegagalan dan berusaha lagi.

5) Sifat Menghargai

a. Definisi

- Dapat menghargai bimbingan dan pengarahan dalam hidup

- Menghargai kemampuan dan bakat-bakat sendiri yang sedang berkembang

b. Perilaku Siswa

- Menghargai hak-hak sendiri dan hak-hak orang lain


34

- Menghargai diri sendiri dan prestasi sendiri

- Menghargai makna orang lain

- Menghargai keluarga, sekolah dan teman-teman

- Menghargai kebebasan tetapi tahu bahwa kebebasan menuntut tanggung

jawab

- Tahu apa yang benar-benar penting dalam hidup

- Menghargai kesempatan-kesempatan yang diberikan

- Senang dengan penghargaan terhadap dirinya.

E. Ketuntasan Belajar

Salah satu orientasi penilaian kelas adalah ketuntasan belajar. Ketuntasan

belajar didasarkan pada konsep pembelajaran tuntas. Pembelajaran tuntas

merupakan istilah yang diterjemahkan dari istilah Mastery Learning (Kurniati,

2010:10). Nasution (Susan dalam Kurniati, 2010:11) menyebutkan bahwa mastery

learning atau belajar tuntas artinya adalah penguasaan penuh. Penguasaan penuh

ini dapat dicapai apabila siswa mampu menguasai materi tertentu secara

menyeluruh yang dibuktikan dengan hasil belajar yang baik pada materi tersebut.

Ketuntasan belajar merupakan salah satu muatan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP). Standar ketuntasan belajar siswa (BSNP, dalam Kurniati,

2010:13) ditentukan dari hasil presentase penguasaan siswa pada Kompetensi

Dasar (KD) dalam materi tertentu. Kriteria ketuntasan belajar setiap KD berkisar

antar 0-100%. Menurut Depdiknas idealnya untuk masing-masing indikator

mencapai 75%. Satuan pendidikan harus menentukan Kriteria Ketuntasan


35

Minimal (KKM) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta

didik, kompleksitas kompetensi, serta kemampuan daya pendukung dalam

penyelenggaraan pembelajaran. Satuan pendidikan diharapkan meningkatkan

kriteria ketuntasan belajar secara terus menerus untuk mencapai kriteria

ketuntasan ideal.

Menurut Suherman (dalam Priyanti, 2010:32) seorang siswa (individual)

disebut telah tuntas dalam belajar, bila siswa telah mencapai daya serap 65% dan

ketuntasan belajar klasikal adalah 80%,yang artinya ketuntasan belajar suatu kelas

belum mencapai 80% perlu diadakan diagnostik dan remidial sebelum materi

dilanjutkan. Daya serap merupakan persentase skor tingkat penguasaan untuk

setiap siswa dalam suatu tes.

Ketuntasan belajar sangat berpengaruh pada prestasi belajar siswa. Jika

seorang siswa belum mencapai kriteria ketuntasan belajar yang ditentukan maka

dipastikan siswa tersebut memiliki prestasi belajar yang kurang. Winkel (Tania

dalam Nurkhasanah, 2008:20) yang mengemukakan bahwa faktor yang

mempengaruhi prestasi belajar siswa antara lain: (a) faktor internal yang meliputi:

(1) tingkat intelektual, kemampuan belajar, motivasi belajar, minat dan taraf

intelegensia, cara belajar dan sikap perasaan; (2) faktor fisisk-kondisi fisik; (3)

kondisi akibat sosial kultural/ekonomi; (b) faktor eksternal yang meliputi: (1)

faktor pengaturan proses belajar di sekolah, meliputi kurikulum pengajaran,

fasilitas belajar, dan disiplin di sekolah, status sosial, dan interaksi antara guru dan

murid; (2) faktor situasional, meliputi: keadaan politik ekonomi, keadaan

musim/iklim, keadaan waktu dan tempat.


36

F. Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka dan rumusan masalah yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:

Implementasi model pembelajaran CPS dengan teknik TS-TS berpengaruh

lebih baik terhadap kreativitas dan ketuntasan belajar siswa dibandingkan

model pembelajaran konvensional

Hipotesis di atas diuraikan ke dalam beberapa bagian sebagai berikut.

1. Kreativitas siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model

pembelajaran CPS dengan teknik TS-TS lebih baik dibandingkan dengan siswa

yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

2. Peningkatan kreativitas siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model

pembelajaran CPS dengan teknik TS-TS lebih baik dibandingkan dengan siswa

yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

3. Ketuntasan belajar siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model

pembelajaran CPS dengan teknik TS-TS lebih baik dibandingkan dengan siswa

yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

You might also like