Professional Documents
Culture Documents
KAJIAN TEORI
Anatomi panggul terdiri atas 2 bagian, bagian keras yg dibentuk oleh tulang dan
bagian lunak yang dibentuk oleh otot dan ligament. Bagian keras pelvis yg dibentuk
oleh tulang ada 2 bagian, pelvis mayor(usus, hati, ginjal, pancreas) dan minor.
(genitalia, uterus, ovarium, vagina, kandung kemih dll). Tulang panggul terdiri dari 4
buah tulang yaitu 2 tulang coxae (ilium, ischium, pubis), 1 os. Sacrum, 1 os. Coccygeus.
Tulang panggul pada pria cenderung lebih besar, lebih tebal dan lebih berat serta
ada ruang kosong yg sangat kecil dalam lingkaran tersebut. Tulang panggul pada wanita
cenderung lebih pendek, lebih luas, lebih lebar, serta menyediakan ruang berongga
besar untuk dilewati janin selama proses persalinan.
Ureter adalah saluran yang membawa urin yg merupakan hasil penyaringan dari
ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) melalui pelvis menuju vesica urinaria. Vesica
urinaria adalah kandung kemih, tempat untk menampung urin yg berasal dari ginjal yg
dibawa melalui ureter (terletak di pelvic floor)
Uretra berbentuk tabung seperti ureter, tetapi hanya 1 tempat keluar urin berada di
antara klitoris dan vagina (wanita), ujung penis (pria)
Otot detrusor : otot polos kandung kemih. Pada saat kita telah siap di toilet, otak akan
mengirimkan pesan ke otot kandung kemih yg disebut otot detrusor.
Fungsi dasar otot panggul (pelvic girdle) adalah memungkinkan gerakan tubuh,
terutama berjalan dan berlari.
1. Ginjal (ren)
Ginjal terletak pada dinding posterior
di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra torakalis ke-12 sampai vertebra
lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih
rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dextra yang besar. Fungsi
ginjal adalah memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau
racun, mempertahankan suasana keseimbangan cairan, mempertahankan
keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan mengeluarkan sisa-
sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
2. Ureter
Terdiri dari dua saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika
urinaria. Panjangnya 25-34 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian
terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang
mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih. Lapisan dinding ureter terdiri
dari :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
3. Vesika urinaria (kandung kemih)
Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti
buah pir (kendi). Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul.
Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.
4. Uretra
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi
menyalurkan air kemih ke luar. Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm
yang terdiri dari uretra pars prostatika, uretra pars membranosa, uretra pars
spongiosa. Uretra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm. sphincter uretra
terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan uretra disini hanya
sebagai saluran ekskresi (Panahi, 2010).
Vesika urinaria (kandung kemih) dan uretra harus bekerja secara sinergis
untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyimpan dan mengeluarkan urin.
Vesika urinaria (kandung kemih) sebagai organ berongga yang terdiri dari
mukosa, otot polos detrusor, dan serosa. Perbatasan antara vesika urinaria dan
uretra, terdapat sfingter uretra interna yang di terdiri atas otot pols. Sfingter
interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian atau penyimpanan dan terbuka
pada saat isi kandung kemih sudah penuh dan saat miksi atau pengeluaran. Pada
sebelah distal dari sfingter interna terdapat uretra dan di sebelah distal dari uretra
terdapat sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dari otot dasar panggul.
Sfingter ini membukakan pada saat miksi sesuai dengan perintah dari korteks
serebri (Purnomo, 2008).
A. Definisi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urin didefinisikan oleh International Continence Society (ICS)
sebagai suatu kondisi di mana terjadi kehilangan urin tanpa disengaja melalui
meatus uretra yang dapat berakibat pada masalah sosial dan kebersihan yang
dapat diobservasi (Black,J.M.&Hawks, 2005). Menurut Djoko dkk,
mendefinisikan bahwa inkontinensia urin adalah setiap adanya pengeluaran urin
tanpa terkontrol yang terjadi selama 12 bulan sebelumnya tanpa melihat derajat
keparahannya. Sedangkan Thomas dkk, mendefinisikan inkontinensia urin
berdasarkan jumlah episode yang terjadi yaitu lebih dari dua kali dalam sebulan.
Inkontinensia urin adalah masalah yang sering dijumpai pada orang lanjut
usia dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh,
depresi dan isolasi dari lingkungan sosial. Hal ini memberikan perasaan tidak
nyaman yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial, psikologi,
aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi sosial dan
interpersonal. Kelainan Inkontinensia urin sendiri tidak mengancam jiwa
penderita, tetapi berpengaruh pada kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor
gangguan psikologis dan faktor sosial yang sulit diatasi. Penderita merasa
rendah diri karena selalu basah akibat urin yang keluar,pada saat batuk, bersin,
mengangkat barang berat, bersanggama, bahkan kadang pada saat beristirahat
dan setiap saat harus memakai kain pembalut.
B. Klasifikasi
Berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu :
1. Inkontinensia Urin Akut (Transient incontinence)
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6
bulan dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem
iatrogenic dimana menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya
dikenal dengan akronim DIAPPERS, yaitu :
a. D (Delirium atau kebingungan) : Kondisi berkurangnya kesadaran baik
karena pengaruh dari obat atau operasi, kejadian inkontinensia dapat
dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium.
b. I (Infection) : Infeksi saluran kemih seperti urethritis dapat menyebabkan
iritasi kandung kemih dan timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang
menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih.
c. A (Atrophic Uretritis atau Vaginitis) : Jaringan teriritasi dapat
menyebabkan timbulnya urgensi yang sangat berespon terhadap
pemberian terapi estrogen.
d. P (Pharmaceuticals) : Dapat karena obat-obatan, seperti terapi diuretik
yang meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih.
e. P (Psychological Disorder) : Seperti stres, depresi, dan anxietas.
f. E (Excessive Urin Output) : Terjadi karena intake cairan, alkoholisme
diuretik, pengaruh kafein.
g. R (Restricted Mobility) : Penurunan kondisi fisik lain yang mengganggu
mobilitas untuk mencapai toilet.
h. S (Stool Impaction) : Pengaruh tekanan feses pada kondisi konstipasi
akan mengubah posisi pada kandung kemih dan menekan saraf.
C. Epidemiologi
Prevalensi inkontinensia urin pada wanita di dunia berkisar antara 10-58%.
Menurut Asia Pasific Continence Advisor Board (APCAB) menetapkan
prevalensi inkontinensia urin pada wanita asia adalah 14,6% sedangkan wanita
indonesia 5,8%. Prevalensi pada pria Asia menurut APCAB sekitar 6,8%
sedangkan pada pria Indonesia 5%.
Survey inkontinensia urin yang dilakukan oleh Departemen Urologi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSU Dr. Soetomo tahun 2008
terhadap 793 penderita, prevalensi inkontinensia urin pada pria 3,02%
sedangkan pada wanita 6,79%. Survey ini menunjukkan bahwa prevalensi
inkontinensia urin pada wanita lebih tinggi daripada pria (Soetojo, 2009).
Di Indonesia data tentang lansia dengan masalah inkontinensia urin belum
ada, sehingga prevalensi pasti tentang hal tersebut tidak diketahui. Hal ini
mungkin disebabkan kurangnya laporan dari lansia tentang masalah ini sehingga
petugas kesehatan tidak menyadari adanya masalah ini.
D. Etiologi dan Faktor-Faktor Resiko
1. Secara umum dengan penyebab inkontinensia urin merupakan kelainan
urologis, neurologis dan fungsional. Kalainan urologis pada inkontinensia
urin dapat disebabkan karena adanya tumor, batu, atau radang. Kelainan
neurologis sebagai kerusakan pada pusat miksi di pons, antara pons atau
sakral medula spinalis, serta radiks S2-S4 akan terjadi menimbulkan
gangguan dari fungsi kandung kemih dan hilang sensibilitas kandung kemih.
(Setiati dan Pramantara, 2007).
2. Sering dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan padaanatomi
atau fungsi organ kemih, antara lain disebabkan oleh melemahnya otot dasar
panggul, kebiasaan mengejan yang salah atau karena penurunan estrogen.
Kelemahan otot dasar panggul yang dapat terjadi karena kehamilan, setelah
melahirkan, kegemukan, meno- 19 pause, usia lanjut, kurang aktivitas dan
operasi vagina. Dengan penambahan berat badan dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena
ditekan dengan lamanya sembilan bulan.
3. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul menjadikan
rusak akibat regangan otot atau jaringan penunjang serta robekan pada jalan
lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya Inkontinensi urin.
4. Pada menurunnya kadar hormon estrogen dalam wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina atau otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya Inkontinensia urin.
5. Semakin lanjut usia seseorang semakin besar kemungkinan dapat mengalami
Inkontinensia urin, karena terjadi pada perubahan struktur kandung kemih
dan otot dasar panggul ini mengakibatkan seseorang yang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu adalah kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih yang baru terisi
sedikit sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Resiko Inkontinensia urin
sangat meningkat pada wanita dengan nilai indeks massa tubuh yang lebih
besar (Setiati dan Pramantara, 2007).
6. Dengan pembesaran kelenjar prostat pada pria merupakan penyabab yang
paling umum yang terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih.
Kondisi ini menyebabkan kejadian inkontinensia urin karena adanya
mekanisme overflow. Namun, inkontinensia ini dapat juga disebabkan oleh
karena obstruksi yang berakibat konstipasi dan juga adanya massa maligna
(cancer) dalam pelvis dialami oleh pria atau wanita. Akibat dari obstruksi,
tonus kandung kemih akan menghilang sehingga disebutkan kandung kemih
atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh gagal berkontraksi, akan
tetapi kemudian menyebabkan overflow, sehingga dapat terjadi
inkontinensia.
7. merokok juga sebagai akibat pada terjadinya inkontinensia urin, Merokok
dapat meningkatkan risiko terkena inkontinensia urin disebab karena
merokok itu dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek
nikotin pada dinding kandung kemih.
8. Konsumsi kafein dan alkohol juga terjadi meningkatkan risiko inkontinensia
urin karena keduanya bersifat diuretik, yang menyebabkan kandung kemih
terisi dengan memicu dan cepat keinginan untuk sering buang air kecil. (
Stockslager & Jaime, 2007; Stanley &Patricia, 2006).
E. Patomekanisme
Dalam proses berkemih yang normal dikendalikan oleh mekanisme volunter
dan involunter. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul yang berada
dibawah kontrol mekanisme volunter. Sedangkan pada otot detrusor kandung
kemih dan sfingter uretra internal berada pada bawah kontrol sistem saraf
otonom. Ketika otot detrusor berelaksasi maka terjadinya proses pengisian
kandung kemih dan sebaliknya jika otot ini berkontraksi maka proses berkemih
(pengosongan kandung kemih) akan berlangsung. Dengan kontraksi otot
detrusor kandung kemih disebabkan dengan aktivitas saraf parasimpatis, dimana
aktivitas itu dapat terjadi karena dipicu oleh asetilkoline.
Ketika terjadi perubahan-perubahan pada mekanisme normal ini maka dapat
menyebabkan proses berkemih terganggu. Pada usia lanjut baik wanita atau pria
terjadinya perubahan anatomis dan fisiologis dari sistem urogenital bagian
bawah. Perubahan tersebut akan berkaitan dengan menurunnya kadar hormon
estrogen pada wanita dan hormon androgen pada pria.
Perubahan yang terjadi ini berupa peningkatan fibrosis dan kandungan
kolagen pada dinding kandung kemih yang dapat mengakibatkan fungsi
kontraktil dari kandung kemih tidak efektif lagi. Pada otot uretra dapat terjadi
perubahan vaskularisasi pada lapisan submukosa, atrofi mukosa dan penipisan
otot uretra. Dengan keadaan ini menyebabkan tekanan penutupan uretra
berkurang. Otot dasar panggul juga dapat mengalami perubahan merupa
melemahnya fungsi dan kekuatan otot. Secara keseluruhan perubahan yang
terjadi pada sistem urogenital bagian bawah akibat dari proses menua sebagai
faktor kontributor terjadinya Inkontinensia urin (Setiati dan Pramantara, 2007).
F. Komplikasi
Mengingat berbagai masalah dapat timbul apabila inkontinesia urin tidak
ditangani dengan serius. Komplikasi dapat terjadi mulai dari penyebab
institusionalisasi sampai dengan ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, jatuh,
dan depresi karena kehidupan sosialnya terganggu (Siti Setiati, 2000).
BAB II
MANAJEMEN FISIOTERAPI
A. CHARTS
1. C (Chief Complaint)
Sulit menahan kencing karena sering merasakan ingin BAK tetapi hanya
sedikit kencing yang keluar.
2. H (History Taking)
a. Anamnesis Umum
Nama : Ny. Y
Usia : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Perintis Kemerdekaan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Agama : Islam
Hobby : Main Volly
Vital Sign
Tekanan Darah : 120/ 90 mmHg
Pernapasan : 28 x/menit
Denyut Nadi : 72 x /menit
Suhu : 36.50C
Berat badan : 80 kg
Tinggi Badan : 160 cm
IMT : 31,25 (Obesitas)
b. Anamnesis Khusus
3. A (Assymetric)
a. Inspeksi
1) Statis :
a) Ekspresi wajah menunjukan kecemasan dan ketidaknyamanan
karena takut air kencingnya keluar.
b) Postur tubuh berdiri tegak
c) Termasuk kategori obesitas
d) Pasien selalu memegang perutnya sebagai usaha untuk menahan
BAK.
e) SIPS, SIAS simetris.
f) Tidak ada pembesaran abdomen.
g) Pola napas : Tachypnea (nafas cepat & dangkal, VT menurun ttp
kecepatan meningkat)
2) Dinamis :
a) Datang ke klinik dengan berjalan normal.
b. Palpasi
Palpasi dilakukan pada area abdomen dan genitalia wanita
1) Suhu : Normal
2) Warna kulit : Normal
3) Oedem : Tidak ada
4) Kontur kulit : Cepat kembali ke bentuk semula
c. Tes Orientasi
1) Minta pasien untuk batuk, kemudian tanyakan apakah pada saat
batuk ada air keningnya yang keluar.
Hasil : Tidak ada
2) Minta pasien untuk melompat-melompat, kemudian tanyakan apakah
pada saat melompat ada air keningnya yang keluar.
Hasil : Ada sedikit
3) Minta pasien untuk minum beberapa gelas, lalu lihat beberapa menit
rasa ingin BAKnya muncul. Ketika rasa ingin BAK sudah muncul,
suruh pasien untuk menahannya. Lihat apakah pasien dapat
menahannya atau tidak.
Hasil : Beberapa menit setelah minum, pasien sudah merasakan ingin
BAK dan pasien hanya dapat menahan BAK beberapa detik saja.
d. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
Tidak ada
4. R (Restrictive)
Terganggu dalam
mengerjakan
Tidak bisa
pekerjaannya sebagai ibu
Tidak ada Tidak ada bermain volly
rumah tangga karena
untuk saat ini.
tidak dapat menahan
BAK.
6. S (Specific Tests)
a. Tes Uji Ngedan
Tes ini dilakukan ketika pasien telah minum dan sebelum BAK.
1) Cara I :
a) Instruksikan pasien untuk duduk di kursi.
b) Suruh pasien untuk membuka pahanya.
c) Kemudian, suruh pasien mengedan atau batuk.
d) Lalu suruh pasien untuk melihat apakah ada yang keluar air
kencingnya.
2) Cara II :
a) Cara ini dilakukan pada pasien di RS yang menggunakan kateter.
b) Kemudian, vesika diisi dengan cairan
berwarna biru melalui kateter.
c) Berikan handuk kepada pasien untuk mengalaskan pada bagian
kelaminnya.
d) Selanjutnya instruksikan pasien untuk berjalan, batuk, mengedan
atau melompat.
e) Lalu suruh pasien untuk melihat apakah ada yang keluar air
kencingnya.
Hasil : Air kencing keluar sedikit
b. MMT
Dilakukan untuk menguji kekuatan otot dasar panggul. Caranya :
1) Persiapan
a) Perhatikan kebersihan tangan untuk mencegah transmisi infeksi.
b) Cuci bersih jari dan tangan penguji atau gunakan sarung tangan.
c) Perhatikan untuk tidak menyentuh bagian atau benda lain selama
pemeriksaan dengan jari yang digunakan untuk memeriksa.
d) Bersihkan tangan sebelum memeriksa pasien yang lain.
2) Posisi
a) Pasien
1) Instrusikan pasien untuk tidur terlentang dengan kepala
tersanggah bantal.
2) Pasien dalam keadaan relaks dan nyaman.
3) Posisikan hip dalam keadaan fleksi, abduksi dan lutut fleksi
(posisi litotomi).
b) Penguji
1) Memberikan informed consent untuk persetujuan
pemeriksaan.
2) Masukkan jari ke dalam vagina pasien sedalam 4 6 cm.
3) Posisi jari ada di jam 4 dan 9.
4) Suruh pasien untuk mengkontraksikan otot-otot dasar
panggul.
5) Atau instruksikan pasien untuk menahan atau menutup semua
pintu.
6) Pemeriksa merasakan kekuatan otot-otot dasar panggul
pasien.
Hasil : Lemahnya kontraksi PFM (Pelvic Floor Muscle)
NILAI KETERANGAN
d. Tes Penunjang
1) Tes Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 9,2 gr%,
Leukosit 16.300 /mm3 , GD puasa 167 mg/dl, GD2jamPP 248 mg/dl,
ureum 48 mg/dL, kreatinin 1 mg/dL, protein total 7,1 gr/dL, albumin
4,7 gr/dL.
2) Radiologi (X-Ray)
B. Diagnosa
Gangguan fungsional sistem berkemih berupa inkontinensia urin tipe
overflow akibat kelemahan pelvic floor muscle satu tahun yang lalu.
C. Problem Fisioterapi
1. Problem Primer
a. Kelemahan otot-otot dasar panggul
2. Problem Sekunder
a. Ganggusan psikis pasien
b. Gangguan pola pernapasan
3. Problem Kompleks
Gangguan ADL :
a) Terhambatnya dalam melakukan pekerjaan.
b) Terhambatnya dalam melakukan hobbynya.
D. Program Fisioterapi
1. Program Jangka Panjang
Mengomptimalkan kemampuan berkemih dan fungsional dari otot-otot
dasar panggul.
E. Intervensi
F. Home Program
1. Kegels Exercise
a. Posisi duduk tegak pada kursi dengan panggul dan lutut tersokong
dengan rileks.
b. Badan sedikit membungkuk dengan lengan menyangga paha.
c. Konsentraksikan kontraksi pada daerah vagina, uretra dan rektum.
d. Kontraksikan otot dasar panggul seperti menahan berkemih.
e. Rasakan kontraksi otot dasar panggul.
f. Pertahankan kontraksi sebatas kemampuan (+10 detik).
g. Rilekskan otot dasar panggul.
h. Kontraksikan lagi (tanpa kontraksi abdominal musc dan tdk menahan
napas). Letakkan tangan pada perut.
i. Rileks lagi.
j. Sesekali kontraksi dipercepat. Tahap awal 3X pengulangan.
k. Lakukan kontraksi sambil beraktivita (seperti, tertawa, batuk, bangun
dari kursi, jogging, dll).
l. Lakukan kontraksi 10 x lambat, 10 x cepat. Tiap kontraksi ditahan
selama 10 hitungan, 6-8 dalam sehari.
2. Bladder Training
a. Pengertian
Bladder training merupakan salah satu upaya untuk
mengembalikan kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan
15 normal atau ke fungsi optimal (Japardi, 2002). Pengendalian kandung
kemih dan sfingter dilakukan agar terjadi pengeluaran urin secara
kontinen. Latihan kandung kemih harus dimulai dahulu untuk
mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan pelepasan
kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, dengan tindakan ini bisa
mencegah retensi (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Tujuan
Tujuan dari bladder training adalah untuk meningkatkan jumlah
waktu pengosongan kandung kemih, secara nyaman tanpa adanya
urgensi, atau inkontinensia atau kebocoran. Bladder training dapat
digunakan untuk salah satu terapi inkontinensia dan untuk melatih
kembali tonus kandung kemih setelah pemasangan kateter dalam jangka
waktu lama dalam mencegah inkontinensia. Keduanya menggunakan
penjadwalan berkemih secara teratur. Ketika mempersiapkan pelepasan
kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, latihan kandung kemih
atau bladder training harus dimulai dahulu untuk mengembangkan tonus
kandung kemih. Ketika kateter terpasang, kandung kemih tidak akan
terisi dan berkontraksi, pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan
tonusnya (atonia) atau kekuatan dan kapasitas kandung kemih menurun.
Apabila atonia terjadi dan kateter dilepas, otot destrusor mungkin tidak
dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengeluarkan urinnya,
sehingga terjadi inkontinensia overflow. 16 Untuk itu perlu dilakukan
bladder training sebelum melepas kateter urinari (Smeltzer & Bare,
2002).
c. Langkah-langkah bladder training
Langkah-langkah bladder training menurut Pickard (1999) adalah:
1) Kateter diklem selang kateter selama 3-4 jam.
2) Ketika di klem memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot
detrusor berkontraksi.
3) Lepaskan klem selama 15 menit untuk memungkinkan kandung
kemih mengeluarkan isinya.
DAFTAR PUSTAKA