You are on page 1of 25

BAB I

KAJIAN TEORI

Anatomi panggul terdiri atas 2 bagian, bagian keras yg dibentuk oleh tulang dan
bagian lunak yang dibentuk oleh otot dan ligament. Bagian keras pelvis yg dibentuk
oleh tulang ada 2 bagian, pelvis mayor(usus, hati, ginjal, pancreas) dan minor.
(genitalia, uterus, ovarium, vagina, kandung kemih dll). Tulang panggul terdiri dari 4
buah tulang yaitu 2 tulang coxae (ilium, ischium, pubis), 1 os. Sacrum, 1 os. Coccygeus.

Tulang panggul pada pria cenderung lebih besar, lebih tebal dan lebih berat serta
ada ruang kosong yg sangat kecil dalam lingkaran tersebut. Tulang panggul pada wanita
cenderung lebih pendek, lebih luas, lebih lebar, serta menyediakan ruang berongga
besar untuk dilewati janin selama proses persalinan.

Ureter adalah saluran yang membawa urin yg merupakan hasil penyaringan dari
ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) melalui pelvis menuju vesica urinaria. Vesica
urinaria adalah kandung kemih, tempat untk menampung urin yg berasal dari ginjal yg
dibawa melalui ureter (terletak di pelvic floor)

Uretra berbentuk tabung seperti ureter, tetapi hanya 1 tempat keluar urin berada di
antara klitoris dan vagina (wanita), ujung penis (pria)

Otot detrusor : otot polos kandung kemih. Pada saat kita telah siap di toilet, otak akan
mengirimkan pesan ke otot kandung kemih yg disebut otot detrusor.
Fungsi dasar otot panggul (pelvic girdle) adalah memungkinkan gerakan tubuh,
terutama berjalan dan berlari.

Sistem urinaria (perkemihan) merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses


penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh
tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih)
(Speakman, 2008). Susunan sistem
perkemihan terdiri dari : dua ginjal (ren)
yang menghasilkan urin, dua ureter yang
membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria
(kandung kemih), satu vesika urinaria tempat
urin dikumpulkan, dan satu uretra urin
dikeluarkan dari vesika urinaria (Panahi,
2010).

1. Ginjal (ren)
Ginjal terletak pada dinding posterior
di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra torakalis ke-12 sampai vertebra
lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih
rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dextra yang besar. Fungsi
ginjal adalah memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau
racun, mempertahankan suasana keseimbangan cairan, mempertahankan
keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan mengeluarkan sisa-
sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
2. Ureter
Terdiri dari dua saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika
urinaria. Panjangnya 25-34 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian
terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang
mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih. Lapisan dinding ureter terdiri
dari :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
3. Vesika urinaria (kandung kemih)
Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti
buah pir (kendi). Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul.
Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.
4. Uretra
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi
menyalurkan air kemih ke luar. Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm
yang terdiri dari uretra pars prostatika, uretra pars membranosa, uretra pars
spongiosa. Uretra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm. sphincter uretra
terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan uretra disini hanya
sebagai saluran ekskresi (Panahi, 2010).
Vesika urinaria (kandung kemih) dan uretra harus bekerja secara sinergis
untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyimpan dan mengeluarkan urin.
Vesika urinaria (kandung kemih) sebagai organ berongga yang terdiri dari
mukosa, otot polos detrusor, dan serosa. Perbatasan antara vesika urinaria dan
uretra, terdapat sfingter uretra interna yang di terdiri atas otot pols. Sfingter
interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian atau penyimpanan dan terbuka
pada saat isi kandung kemih sudah penuh dan saat miksi atau pengeluaran. Pada
sebelah distal dari sfingter interna terdapat uretra dan di sebelah distal dari uretra
terdapat sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dari otot dasar panggul.
Sfingter ini membukakan pada saat miksi sesuai dengan perintah dari korteks
serebri (Purnomo, 2008).
A. Definisi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urin didefinisikan oleh International Continence Society (ICS)
sebagai suatu kondisi di mana terjadi kehilangan urin tanpa disengaja melalui
meatus uretra yang dapat berakibat pada masalah sosial dan kebersihan yang
dapat diobservasi (Black,J.M.&Hawks, 2005). Menurut Djoko dkk,
mendefinisikan bahwa inkontinensia urin adalah setiap adanya pengeluaran urin
tanpa terkontrol yang terjadi selama 12 bulan sebelumnya tanpa melihat derajat
keparahannya. Sedangkan Thomas dkk, mendefinisikan inkontinensia urin
berdasarkan jumlah episode yang terjadi yaitu lebih dari dua kali dalam sebulan.
Inkontinensia urin adalah masalah yang sering dijumpai pada orang lanjut
usia dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh,
depresi dan isolasi dari lingkungan sosial. Hal ini memberikan perasaan tidak
nyaman yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial, psikologi,
aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi sosial dan
interpersonal. Kelainan Inkontinensia urin sendiri tidak mengancam jiwa
penderita, tetapi berpengaruh pada kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor
gangguan psikologis dan faktor sosial yang sulit diatasi. Penderita merasa
rendah diri karena selalu basah akibat urin yang keluar,pada saat batuk, bersin,
mengangkat barang berat, bersanggama, bahkan kadang pada saat beristirahat
dan setiap saat harus memakai kain pembalut.

B. Klasifikasi
Berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu :
1. Inkontinensia Urin Akut (Transient incontinence)
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6
bulan dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem
iatrogenic dimana menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya
dikenal dengan akronim DIAPPERS, yaitu :
a. D (Delirium atau kebingungan) : Kondisi berkurangnya kesadaran baik
karena pengaruh dari obat atau operasi, kejadian inkontinensia dapat
dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium.
b. I (Infection) : Infeksi saluran kemih seperti urethritis dapat menyebabkan
iritasi kandung kemih dan timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang
menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih.
c. A (Atrophic Uretritis atau Vaginitis) : Jaringan teriritasi dapat
menyebabkan timbulnya urgensi yang sangat berespon terhadap
pemberian terapi estrogen.
d. P (Pharmaceuticals) : Dapat karena obat-obatan, seperti terapi diuretik
yang meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih.
e. P (Psychological Disorder) : Seperti stres, depresi, dan anxietas.
f. E (Excessive Urin Output) : Terjadi karena intake cairan, alkoholisme
diuretik, pengaruh kafein.
g. R (Restricted Mobility) : Penurunan kondisi fisik lain yang mengganggu
mobilitas untuk mencapai toilet.
h. S (Stool Impaction) : Pengaruh tekanan feses pada kondisi konstipasi
akan mengubah posisi pada kandung kemih dan menekan saraf.

2. Inkontinensia Urin Kronik (Persisten)


Inkontinensia urin tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung
dengan lama (>6 bulan) ada dua penyebab inkontinensia urin kronik
(persisten) yaitu: menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif
dan karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya
kontraksi otot detrusor.
Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu :
a. Inkontinensia Urin Stres
Inkontinensia urin ini terjadi
apabila urin secara tidak terkontrol
keluar biasanya dalam jumlah sedikit
akibat peningkatan tekanan intra
abdominal, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan
estrogen. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan,
tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada
rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan tanpa operasi (misalnya
dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun
dengan operasi.
Menurut beratnya, inkontinensia urin stres dibagi dalam tiga
derajat, yaitu :
1) Derajat I : Urin keluar pada saat batuk, bersin, tertawa
2) Derajat II : Urin keluar pada saat mengangkat berat atau melompat
3) Derajat III : Urin keluar saat berdiri, jalan tetapi tidak saat baring
Klasifikassi anatomik dari inkontinensia urin stres dibagi menjadi
empat tipe, yaitu :
1) Tipe 0
Pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan
melalui pemeriksaan. Kegagalan menampilkan inkontinensia ini
mungkin disebabkan oleh kontrakssi sejenak secara volunter dari
sfingter utera eksternal selama pemeriksaan dilakukan.
2) Tipe 1
Inkontinensia urin terjadi pada pemeriksaan dengan manuver
Valsava dan adanya sedikit penurunan uretra < 2 cm pada leher
vesika urinaria.
3) Tipe 2
Inkontinensia urin terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan
uretra pada leher vesika urinaria 2 cm.
4) Tipe 3
Uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi
kandung kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma
atau bedah sebelumnya) dengan gangguan neurologic atau keduanya.
Tipe ini disebut juga defisiensi sfingter intrinsik.
b. Inkontinensia Urin Urge
Tipe ini biasa disebut juga
detrusor inkontinensia atau over active
bladder atau unstable bladdder, yaitu
Ketidakmampuan menunda berkemih
setelah sensasi penuhnya kandung
kemih diterima oleh pusat yang
mengatur proses berkemih. Keadaan ini
terjadi karena otot detrusor kandung
kemih yang tidak stabil, di mana otot ini bereaksi secara berlebihan.
Manifestasinya dapat merupa perasaan ingin kencing yang mendadak
(urge), kencing berulang kali (frekuensi) dan kencing di malam hari
(nokturia).
Ada dua jenis tipe inkontinensia ini, yaitu :
1) Motor Urge Incontinence
Dimana terjadinya inkontinensia urin karena adanya aktivitas
yang berlebihan atau terjadi spontan tanpa bisa dihambat (over
active) dari otot-otot detrusor.
2) Sensory Urge Incontinence
Bila otot-otot detrusor dalam keadaan stabil tidak melakukan
kontraksi seperti pada motor urge incontinence, pada saat adanya
sensai untuk kencing yang tampak pada pemeriksaan sistometri
terjadi penurunan kapassitas vesikea urinaria. Dalam keadan normal
rangsangan sensori pertama untuk kencing terjadi jika vesika urinaria
terisi 200 ml urin.
c. Inkontinensia Urin Overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar
akibat isinya yang sudah terlalu banyak di
dalam kandung kemih, umumnya akibat otot
detrusor kandung kemih yang lemah.
Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan
saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang,
atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas
setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih),
urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
d. Inkontinensia Urin Fungsional
Terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsin fisik dan kognitif
sehingga pasien tidak dapat mencapai ke toilet pada saat yang tepat. Hal
ini terjadi pada demensia berat, gangguan neurologic, gangguan
mobilitas dan psikologik (Setiati, 2007; Cameron, 2013).

e. Inkontinensia Urin Mixed


Kombinasi dari setiap jenis inkontinensia urin di atas. Kombinasi
yang paling umum adalah inkontinensia tipe stress dengan tipe urgensi
atau tipe stress dengan tipe fungsional.

C. Epidemiologi
Prevalensi inkontinensia urin pada wanita di dunia berkisar antara 10-58%.
Menurut Asia Pasific Continence Advisor Board (APCAB) menetapkan
prevalensi inkontinensia urin pada wanita asia adalah 14,6% sedangkan wanita
indonesia 5,8%. Prevalensi pada pria Asia menurut APCAB sekitar 6,8%
sedangkan pada pria Indonesia 5%.
Survey inkontinensia urin yang dilakukan oleh Departemen Urologi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSU Dr. Soetomo tahun 2008
terhadap 793 penderita, prevalensi inkontinensia urin pada pria 3,02%
sedangkan pada wanita 6,79%. Survey ini menunjukkan bahwa prevalensi
inkontinensia urin pada wanita lebih tinggi daripada pria (Soetojo, 2009).
Di Indonesia data tentang lansia dengan masalah inkontinensia urin belum
ada, sehingga prevalensi pasti tentang hal tersebut tidak diketahui. Hal ini
mungkin disebabkan kurangnya laporan dari lansia tentang masalah ini sehingga
petugas kesehatan tidak menyadari adanya masalah ini.
D. Etiologi dan Faktor-Faktor Resiko
1. Secara umum dengan penyebab inkontinensia urin merupakan kelainan
urologis, neurologis dan fungsional. Kalainan urologis pada inkontinensia
urin dapat disebabkan karena adanya tumor, batu, atau radang. Kelainan
neurologis sebagai kerusakan pada pusat miksi di pons, antara pons atau
sakral medula spinalis, serta radiks S2-S4 akan terjadi menimbulkan
gangguan dari fungsi kandung kemih dan hilang sensibilitas kandung kemih.
(Setiati dan Pramantara, 2007).
2. Sering dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan padaanatomi
atau fungsi organ kemih, antara lain disebabkan oleh melemahnya otot dasar
panggul, kebiasaan mengejan yang salah atau karena penurunan estrogen.
Kelemahan otot dasar panggul yang dapat terjadi karena kehamilan, setelah
melahirkan, kegemukan, meno- 19 pause, usia lanjut, kurang aktivitas dan
operasi vagina. Dengan penambahan berat badan dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena
ditekan dengan lamanya sembilan bulan.
3. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul menjadikan
rusak akibat regangan otot atau jaringan penunjang serta robekan pada jalan
lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya Inkontinensi urin.
4. Pada menurunnya kadar hormon estrogen dalam wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina atau otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya Inkontinensia urin.
5. Semakin lanjut usia seseorang semakin besar kemungkinan dapat mengalami
Inkontinensia urin, karena terjadi pada perubahan struktur kandung kemih
dan otot dasar panggul ini mengakibatkan seseorang yang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu adalah kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih yang baru terisi
sedikit sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Resiko Inkontinensia urin
sangat meningkat pada wanita dengan nilai indeks massa tubuh yang lebih
besar (Setiati dan Pramantara, 2007).
6. Dengan pembesaran kelenjar prostat pada pria merupakan penyabab yang
paling umum yang terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih.
Kondisi ini menyebabkan kejadian inkontinensia urin karena adanya
mekanisme overflow. Namun, inkontinensia ini dapat juga disebabkan oleh
karena obstruksi yang berakibat konstipasi dan juga adanya massa maligna
(cancer) dalam pelvis dialami oleh pria atau wanita. Akibat dari obstruksi,
tonus kandung kemih akan menghilang sehingga disebutkan kandung kemih
atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh gagal berkontraksi, akan
tetapi kemudian menyebabkan overflow, sehingga dapat terjadi
inkontinensia.
7. merokok juga sebagai akibat pada terjadinya inkontinensia urin, Merokok
dapat meningkatkan risiko terkena inkontinensia urin disebab karena
merokok itu dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek
nikotin pada dinding kandung kemih.
8. Konsumsi kafein dan alkohol juga terjadi meningkatkan risiko inkontinensia
urin karena keduanya bersifat diuretik, yang menyebabkan kandung kemih
terisi dengan memicu dan cepat keinginan untuk sering buang air kecil. (
Stockslager & Jaime, 2007; Stanley &Patricia, 2006).

E. Patomekanisme
Dalam proses berkemih yang normal dikendalikan oleh mekanisme volunter
dan involunter. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul yang berada
dibawah kontrol mekanisme volunter. Sedangkan pada otot detrusor kandung
kemih dan sfingter uretra internal berada pada bawah kontrol sistem saraf
otonom. Ketika otot detrusor berelaksasi maka terjadinya proses pengisian
kandung kemih dan sebaliknya jika otot ini berkontraksi maka proses berkemih
(pengosongan kandung kemih) akan berlangsung. Dengan kontraksi otot
detrusor kandung kemih disebabkan dengan aktivitas saraf parasimpatis, dimana
aktivitas itu dapat terjadi karena dipicu oleh asetilkoline.
Ketika terjadi perubahan-perubahan pada mekanisme normal ini maka dapat
menyebabkan proses berkemih terganggu. Pada usia lanjut baik wanita atau pria
terjadinya perubahan anatomis dan fisiologis dari sistem urogenital bagian
bawah. Perubahan tersebut akan berkaitan dengan menurunnya kadar hormon
estrogen pada wanita dan hormon androgen pada pria.
Perubahan yang terjadi ini berupa peningkatan fibrosis dan kandungan
kolagen pada dinding kandung kemih yang dapat mengakibatkan fungsi
kontraktil dari kandung kemih tidak efektif lagi. Pada otot uretra dapat terjadi
perubahan vaskularisasi pada lapisan submukosa, atrofi mukosa dan penipisan
otot uretra. Dengan keadaan ini menyebabkan tekanan penutupan uretra
berkurang. Otot dasar panggul juga dapat mengalami perubahan merupa
melemahnya fungsi dan kekuatan otot. Secara keseluruhan perubahan yang
terjadi pada sistem urogenital bagian bawah akibat dari proses menua sebagai
faktor kontributor terjadinya Inkontinensia urin (Setiati dan Pramantara, 2007).

F. Komplikasi
Mengingat berbagai masalah dapat timbul apabila inkontinesia urin tidak
ditangani dengan serius. Komplikasi dapat terjadi mulai dari penyebab
institusionalisasi sampai dengan ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, jatuh,
dan depresi karena kehidupan sosialnya terganggu (Siti Setiati, 2000).
BAB II
MANAJEMEN FISIOTERAPI

A. CHARTS
1. C (Chief Complaint)
Sulit menahan kencing karena sering merasakan ingin BAK tetapi hanya
sedikit kencing yang keluar.

2. H (History Taking)
a. Anamnesis Umum
Nama : Ny. Y
Usia : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Perintis Kemerdekaan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Agama : Islam
Hobby : Main Volly
Vital Sign
Tekanan Darah : 120/ 90 mmHg
Pernapasan : 28 x/menit
Denyut Nadi : 72 x /menit
Suhu : 36.50C
Berat badan : 80 kg
Tinggi Badan : 160 cm
IMT : 31,25 (Obesitas)

b. Anamnesis Khusus

NO. FISIOTERAPIS PASIEN


Sudah hampir setahun belakangan ini
Sejak kapan ibu mengalami
1. saya sering merasakan keinginan
keluhan seperti ini ?
untuk BAK dan saya tidak dapat
menahannya.
Setelah saya melahirkan anak ke-5,
sebenarnya saya sudah merasakan hal
yang aneh pada diri saya yaitu sulit
menahan kencing. Tetapi kejadian itu
hanya sesekali saja terjadi dan masih
dapat saya tahan untuk beberapa
Bisakah ibu ceritakan
2. waktu. Nah, setahun belakangan ini
kejadiannya ?
saya mulai merasa sudah sangat
parah karena saya sering merasakan
ingin BAK, saya merasa sudah tidak
dapat menaahannya lagi tetapi
ternyata hanya sedikit air kencing
yang keluar.
Pada umur berapa ibu
3. Kurang lebih pada umur 35 tahun.
melahirkan anak ke-5 ?
Apakah ada robekan saat ibu Iya ada robekan karena saya
4. melahirkan sehingga perlu di melahirkan dengan proses persalinan
jahit oleh dokter ? normal.
Dalam sehari, berapa kali ibu Dalam sehari, mungkin saya bisa 10
5.
BAK ? kali BAK.
Apakah pada malam haripun Ya, setahun belakangan ini saya
6. ibu sering terbangun sering terbangun malam hari untuk
untuk BAK ? BAK.
Apakah pada saat tertidur ibu
7. Belum pernah
pernah ngompol ?
Dalam keadaan seperti apa
Ketika saya dalam keadaan panik,
biasanya ibu merasakan
8. stres, nervous itu membuat rasa ingin
keinginan untuk BAK yang
BAK saya semakin besar.
hebat ?
Bagaimana cara ibu
Saya langsung bergegas ke toilet atau
9. mengatasinya jika hal itu
segera mencari toilet terdekat.
terjadi ?
Apakah saat ibu tertawa atau
10. batuk, air kencing ibu Ya, sesekali hal itu terjadi.
biasanya keluar ?
Apakah pada saat melakukan
hubungan seksual dengan
11. suami pun air kencing ibu Ya, sesekali hal itu terjadi.
sering keluar tanpa ibu sadari
?
Saat BAK, apakah ibu
merasakan nyeri atau adakah
12. Saya rasa tidak ada.
darah yang tercampur
dengan urin ibu ?
Saya merasa air kencing saya belum
keluar semua tetapi sudah tidak ada
Apa yang ibu rasakan ketika
13. lagi yang bisa dikeluarkan.
sudah BAK ?
Kemudian beberapa waktu saya
kembali ingin BAK.
Apakah ibu memang banyak
14. Tidak
minum air dalam sehari ?
Apakah ibu sering
Ya, saya suka minum teh dan sering
15. mengonsumsi minuman yang
minum kopi.
banyak mengandung kafein ?
Apakah ada riwayat penyakit Pada umur 40 tahun, saya baru
16. ibu, seperti infeksi, penyakit mengetahui bahwa saya menderita
ginjal, diabetes, dll ? diabetes.
Apakah ibu sudah pernah ke Ya, saya sudah ke dokter beberapa
17.
dokter untuk menangani hal bulan yang lalu.
ini ?
Saya diberi beberapa obat tetapi
Apa yang diberikan dokter
menurut saya kurang efektif. Lalu,
18. untuk menangani keluhan
saya meminta untuk dirujuk ke
ibu ?
fisioterapis.
Saya mendapat info dari teman saya,
katanya fisioterapis bisa menangani
Mengapa ibu meminta
19. hal ini karena teman saya juga
dirujuk ke fisioterapis ?
mengalami hal yang sama dengan
saya.
Saya merasa kurang percaya diri
Bagaimana hubungan sosial
karena malu jika keluhan saya ini
ibu dengan orang-orang
20. terjadi saat saya berada di tempat
disekitar anda terkait
umum. Apalagi saat arisan saya malu
keluhan ini ?
kalau harus sering ke toilet.
Saya meyadari keluhan ini
merupakan faktor umur, tetapi besar
21. Apa harapan ibu ? harapan saya untuk dapat sembuh
normal atau paling tidak saya dapat
mengontrol BAK saya.
Tidak, kurang lebih sudah tiga tahun
Apakah ibu massih
22. yang lalu saya sudah tidak
mengalami menstruasi ?
menstruasi.
Apakah ada keluhan lainlagi,
23. Tidak ada.
Bu ?

3. A (Assymetric)
a. Inspeksi
1) Statis :
a) Ekspresi wajah menunjukan kecemasan dan ketidaknyamanan
karena takut air kencingnya keluar.
b) Postur tubuh berdiri tegak
c) Termasuk kategori obesitas
d) Pasien selalu memegang perutnya sebagai usaha untuk menahan
BAK.
e) SIPS, SIAS simetris.
f) Tidak ada pembesaran abdomen.
g) Pola napas : Tachypnea (nafas cepat & dangkal, VT menurun ttp
kecepatan meningkat)
2) Dinamis :
a) Datang ke klinik dengan berjalan normal.

b. Palpasi
Palpasi dilakukan pada area abdomen dan genitalia wanita
1) Suhu : Normal
2) Warna kulit : Normal
3) Oedem : Tidak ada
4) Kontur kulit : Cepat kembali ke bentuk semula
c. Tes Orientasi
1) Minta pasien untuk batuk, kemudian tanyakan apakah pada saat
batuk ada air keningnya yang keluar.
Hasil : Tidak ada
2) Minta pasien untuk melompat-melompat, kemudian tanyakan apakah
pada saat melompat ada air keningnya yang keluar.
Hasil : Ada sedikit
3) Minta pasien untuk minum beberapa gelas, lalu lihat beberapa menit
rasa ingin BAKnya muncul. Ketika rasa ingin BAK sudah muncul,
suruh pasien untuk menahannya. Lihat apakah pasien dapat
menahannya atau tidak.
Hasil : Beberapa menit setelah minum, pasien sudah merasakan ingin
BAK dan pasien hanya dapat menahan BAK beberapa detik saja.
d. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
Tidak ada

4. R (Restrictive)

Lim. ROM Lim. ADL Lim. Pekerjaan Lim. Hobby

Terganggu dalam
mengerjakan
Tidak bisa
pekerjaannya sebagai ibu
Tidak ada Tidak ada bermain volly
rumah tangga karena
untuk saat ini.
tidak dapat menahan
BAK.

5. T (Tissue Impairment and Psicogenic Prediction)

Psicogenic Rasa tidak nyaman dan kecemasan

Musculotendinogen Weakness Pelvic Floor Muscle

6. S (Specific Tests)
a. Tes Uji Ngedan
Tes ini dilakukan ketika pasien telah minum dan sebelum BAK.
1) Cara I :
a) Instruksikan pasien untuk duduk di kursi.
b) Suruh pasien untuk membuka pahanya.
c) Kemudian, suruh pasien mengedan atau batuk.
d) Lalu suruh pasien untuk melihat apakah ada yang keluar air
kencingnya.
2) Cara II :
a) Cara ini dilakukan pada pasien di RS yang menggunakan kateter.
b) Kemudian, vesika diisi dengan cairan
berwarna biru melalui kateter.
c) Berikan handuk kepada pasien untuk mengalaskan pada bagian
kelaminnya.
d) Selanjutnya instruksikan pasien untuk berjalan, batuk, mengedan
atau melompat.
e) Lalu suruh pasien untuk melihat apakah ada yang keluar air
kencingnya.
Hasil : Air kencing keluar sedikit

b. MMT
Dilakukan untuk menguji kekuatan otot dasar panggul. Caranya :
1) Persiapan
a) Perhatikan kebersihan tangan untuk mencegah transmisi infeksi.
b) Cuci bersih jari dan tangan penguji atau gunakan sarung tangan.
c) Perhatikan untuk tidak menyentuh bagian atau benda lain selama
pemeriksaan dengan jari yang digunakan untuk memeriksa.
d) Bersihkan tangan sebelum memeriksa pasien yang lain.
2) Posisi
a) Pasien
1) Instrusikan pasien untuk tidur terlentang dengan kepala
tersanggah bantal.
2) Pasien dalam keadaan relaks dan nyaman.
3) Posisikan hip dalam keadaan fleksi, abduksi dan lutut fleksi
(posisi litotomi).
b) Penguji
1) Memberikan informed consent untuk persetujuan
pemeriksaan.
2) Masukkan jari ke dalam vagina pasien sedalam 4 6 cm.
3) Posisi jari ada di jam 4 dan 9.
4) Suruh pasien untuk mengkontraksikan otot-otot dasar
panggul.
5) Atau instruksikan pasien untuk menahan atau menutup semua
pintu.
6) Pemeriksa merasakan kekuatan otot-otot dasar panggul
pasien.
Hasil : Lemahnya kontraksi PFM (Pelvic Floor Muscle)

c. The Perfect Scheme


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kekuatan kontraksi PFM
(Pelvic Floor Muscle) :
The Perfect Scheme merupakan anonim dari :
1) P (Power)
Digambarkan dengan nilai 0 5

NILAI KETERANGAN

0 Tidak ada kontrol

1 Ada denyutan di jari

2 Dirasa ada peningkatan tegangan tanpa terangkat

Ketegangan meningkat dengan pengangkatan dinding


3
posterior vagina

Peningkatan tegangan dengan kontraksi yang baik serta


4 mampu mengangkat dinding posterior vagina dengan
tahanan

5 Tahanan kuat dapat dilakukan dan jari penguji terjepit


2) E (Endurance)
Untuk mengukur daya tahan yang menggambarkan lamanya
tahanan satu kontraksi dari 0 10.
3) R (Repetition)
Mengukur pengulangan gerakan otot dasar panggul dengan nilai
pengulangan 110 kali pengulangan dengan istirahat 4 detik sebelum
kontraksi berikutnya. Lebih dari 4 detik tanda kelelahan.
4) F (Fast)
Mengukur kecepatan otot dengan nilai 110 kali kontraksi
(kontraksi cepat)
5) ECT (Every Contraction Time)
Untuk mengingatkan penguji bahwa kontraksi disetiap waktu
untuk melatih pasien dalam menahan kencing.

d. Tes Penunjang
1) Tes Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 9,2 gr%,
Leukosit 16.300 /mm3 , GD puasa 167 mg/dl, GD2jamPP 248 mg/dl,
ureum 48 mg/dL, kreatinin 1 mg/dL, protein total 7,1 gr/dL, albumin
4,7 gr/dL.
2) Radiologi (X-Ray)

B. Diagnosa
Gangguan fungsional sistem berkemih berupa inkontinensia urin tipe
overflow akibat kelemahan pelvic floor muscle satu tahun yang lalu.

C. Problem Fisioterapi
1. Problem Primer
a. Kelemahan otot-otot dasar panggul

2. Problem Sekunder
a. Ganggusan psikis pasien
b. Gangguan pola pernapasan

3. Problem Kompleks
Gangguan ADL :
a) Terhambatnya dalam melakukan pekerjaan.
b) Terhambatnya dalam melakukan hobbynya.

D. Program Fisioterapi
1. Program Jangka Panjang
Mengomptimalkan kemampuan berkemih dan fungsional dari otot-otot
dasar panggul.

2. Program Jangka Pendek


a. Mengurangi atau menghilangkan gangguan psikis pasien.
b. Memperbaiki pola nafas pasien.
c. Menguatkan otot-otot dasar panggul.

E. Intervensi

NO. PROBLEM MODALITAS DOSIS


F : 3 x sehari
I : Pasien fokus
Gangguan Psikis Komunikasi Terapeutik T : Interpersonal
1.
Approach
T : 10-15menit
F : 3 x sehari
I : 10 x hitungan / 25x
Weakness Pelvic Floor
Exercise repitisi
2. Muscle
T: Kegels Exercise
T : 10-15menit
F : 10-40 Hz
I : Disesuaikan dgn
kontraksi yg muncul
(perhatikan nyeri yang
muncul). Berikan durasi
Electrical Stimulant
pendek untuk
merangsang serabut
motorik
T: Biofeedback
T : 10-15menit
F : 3 x sehari
I : 8 x hitungan / 5 x
repitisi
Gangguan Pola Napas Exercise
3. T: Deep Breathing
Exercise
T : 10-15menit
F : 3 x sehari
I : 1-4 jam secara
Gangguan ADL Exercise bertahap
4.
T: Bladder Training
T : 10-15 menit

F. Home Program
1. Kegels Exercise
a. Posisi duduk tegak pada kursi dengan panggul dan lutut tersokong
dengan rileks.
b. Badan sedikit membungkuk dengan lengan menyangga paha.
c. Konsentraksikan kontraksi pada daerah vagina, uretra dan rektum.
d. Kontraksikan otot dasar panggul seperti menahan berkemih.
e. Rasakan kontraksi otot dasar panggul.
f. Pertahankan kontraksi sebatas kemampuan (+10 detik).
g. Rilekskan otot dasar panggul.
h. Kontraksikan lagi (tanpa kontraksi abdominal musc dan tdk menahan
napas). Letakkan tangan pada perut.
i. Rileks lagi.
j. Sesekali kontraksi dipercepat. Tahap awal 3X pengulangan.
k. Lakukan kontraksi sambil beraktivita (seperti, tertawa, batuk, bangun
dari kursi, jogging, dll).
l. Lakukan kontraksi 10 x lambat, 10 x cepat. Tiap kontraksi ditahan
selama 10 hitungan, 6-8 dalam sehari.

2. Bladder Training
a. Pengertian
Bladder training merupakan salah satu upaya untuk
mengembalikan kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan
15 normal atau ke fungsi optimal (Japardi, 2002). Pengendalian kandung
kemih dan sfingter dilakukan agar terjadi pengeluaran urin secara
kontinen. Latihan kandung kemih harus dimulai dahulu untuk
mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan pelepasan
kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, dengan tindakan ini bisa
mencegah retensi (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Tujuan
Tujuan dari bladder training adalah untuk meningkatkan jumlah
waktu pengosongan kandung kemih, secara nyaman tanpa adanya
urgensi, atau inkontinensia atau kebocoran. Bladder training dapat
digunakan untuk salah satu terapi inkontinensia dan untuk melatih
kembali tonus kandung kemih setelah pemasangan kateter dalam jangka
waktu lama dalam mencegah inkontinensia. Keduanya menggunakan
penjadwalan berkemih secara teratur. Ketika mempersiapkan pelepasan
kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, latihan kandung kemih
atau bladder training harus dimulai dahulu untuk mengembangkan tonus
kandung kemih. Ketika kateter terpasang, kandung kemih tidak akan
terisi dan berkontraksi, pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan
tonusnya (atonia) atau kekuatan dan kapasitas kandung kemih menurun.
Apabila atonia terjadi dan kateter dilepas, otot destrusor mungkin tidak
dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengeluarkan urinnya,
sehingga terjadi inkontinensia overflow. 16 Untuk itu perlu dilakukan
bladder training sebelum melepas kateter urinari (Smeltzer & Bare,
2002).
c. Langkah-langkah bladder training
Langkah-langkah bladder training menurut Pickard (1999) adalah:
1) Kateter diklem selang kateter selama 3-4 jam.
2) Ketika di klem memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot
detrusor berkontraksi.
3) Lepaskan klem selama 15 menit untuk memungkinkan kandung
kemih mengeluarkan isinya.
DAFTAR PUSTAKA

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Salemba medika.Jakarta.
Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Pudjiastuti. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC.
Purwanto H.1994. Komunikasi untuk Perawat. EGC. Jakarta.
Septiastri & Siregar. 2012. Latihan Kegel Dengan Penurunan Gejala Inkontinensia
Urin Pada Lansia. Jurnal Keperawatan. Maret 2012.

You might also like