You are on page 1of 3

Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa

ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya
kepada Nabi Muhammad saw. Alquran diturunkan menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia.
Ayat demi ayat yang diterima oleh Rasulullah saw. diterangkan dan dijabarkan lebih jauh oleh beliau
yang kemudian diamalkan oleh kaum Muslimin. Pada masa kenabian, terdapat dua periode
pembinaan hukum Islam, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah dikenal
dengan periode penanaman aqidah dan akhlak. Aqidah berbicara tentang kepercayaan kepada Allah
swt., kepada Malaikat, Kepada Rasul, kepada hari akhir dan kepada qada dan qadar. Sementara itu
akhlak berbicara tentang larangan membunuh, larangan mengurangi timbangan dan menjauhi
perbuatan tercela, dll. Kedua hal inilah yang diutamakan Nabi saw. dalam dakwahnya.

Hijrahnya Nabi saw. ke Madinah merupakan periode yang kedua dalam pembinaan hukum
Islam. Periode Madinah dikenal sebagai periode penataan dan pemapanan masyarakat. Oleh karena
itu di periode Madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum mulai diturunkan baik yang
bersifat ritual maupun social. Adapun factor yang menyebabkan proyek hukum banyak dibicarakan
dalam periode Madinah yaitu karena dalam periode ini orang Islam sudah memiliki dasar akhlak dan
aqidah yang kuat sebagai landasan terhadap aspek-aspek lainnya.

Beberapa contoh metode yang diterapkan pada masa pertumbuhan dan pembinaan hukum
Islam pada periode Rasulullah saw. antara lain adalah:

1. Perubahan yang ditetapkan dilakukan secara revolusi ataupun bertahap (tadwin) terhadap adat istiadat
yang telah mengakar dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah tentang permasalahan minuman
khamar dan judi. Pada tahap pertama menjelaskan tentang kerugian yang lebih besar daripada
keuntungannya. Pada tahap berikutnya tidak boleh mendekati shalat ketika dalam keadaan mabuk
dan pada akhirnya dinyatakan sebagai perbuatan syaitan dan mesti dijauhi. Kemudian penjelasan
hukum yang diberikan oleh Rasulullah saw. lebih banyak dalam bentuk pertanyaan yang diajukan
dan memerlukan jawaban.
2. Bersifat tegas (evolusioner) dalam bidang-bidang tertentu terutama dalam ibadah maupun aqidah.
3. Metode yang diterapkan dalam penetapan hukum tidak berpandangan picik (berwawasan luas).
4. Penyederhanaan aturan-aturan atau untuk keringanan manusia. Metode yang diterapkan Rasulullah
saw. ini bersandarkan tuntunan Allah swt dalam menerapkan ataupun membina hukum Islam.
Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan
kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum yang dipakai Rasulullah
SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan.

Sumber/kekuasaan tasyri (pembuatan undang-undang) pada periode ini hanya dipegang oleh
Rasulullah dan tak seorang pun dari umat Islam, selain beliau dibolehkan menentukan hukum yang
berkenaan dengan suatu peristiwa, baik untuk dirinya sendiri, ,ataupun untuk orang lain. Hal ini
karena dengan adanya Rasulullah SAW. Di tengah-tengah mereka, yang memudahkan mereka
mengembalikan setiap masalah kepada beliau, maka tak seorangpun dari mereka berani berfatwa dari
hasil ijtihadnya sendiri dalam suatu peristiwa atau menjatuhkan vonis terhadap suatu persengketaan
yang terjadi. Bahkan, kalau mereka (para sahabat) menghadapi suatu peristiwa, terjadi
persengketaan, suatu pertanyaan, atau permintaan fatwa, mereka langsung mengembalikan
persoalan-persoalan itu pada Rasulullah saw.

Namun demikian sebagian sahabat pernah melakukan ijtihad dan memutuskan sebagian
persengketaan dan mengambil suatu hukum. Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat
memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan
dengan hadis Mudz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:[10]






























.




Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mudz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata
padanya: Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara? Mudz pun
menjawab: Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah. Lalu Rasul bertanya:
Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah? Mudz menjawab: Maka dengan memakai sunnah
Rasulullah SAW. Lalu Rasul bertanya: Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah? Mudz
menjawab: Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku. Lalu Rasulullah
SAW menepuk dada Mudz, dan Rasul bersabda Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan
kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah.[11]
Hal tersebut di atas dan semacamnya tidak berarti menunjukkan bahwa seorang selain
Nabi mempunyai wewenang untuk membuat ketentuan hukum, sebab hanya terjadi pada waktu-
waktu tertentu, yang tidak memungkinkan untuk menyerahkan permasalahannya kepada Rasulullah
saw. Di samping itu, keputusan sahabat itu merupakan penerapan hukum, bukan merupakan
suatu tasyri.Olehnya itu setiap ijtihad sahabat belum merupakan ketetapan yang berlaku bagi umat
Islam kecuali bila ada ketetapan dari Rasulullah saw. ijtihad yang datang selain dari beliau baru bisa
menjadi tasyrikalau sudah ada pengakuan dari beliau.

Jika disimak hukum Islam seirama dengan dimensinya dalam sejarah, maka isi
pengkajian dalam setiap dimensinya mutlak menampakkan berbagai sistem atau metode. Oleh sebab
itu, pada zaman Rasulullah saw., hukum Islam secara bersahaja dapat diperoleh berdasarkan wahyu
Allah swt dan ijtihad Rasulullah saw, yaitu hukum Islam dalam perspektif Alquran dan Sunah.
Masing-masing diyakini oleh umat Islam adalah syariat Islam, semua tergambar sebagai dalil naqli
atau nash-nash.

Pengaturan tentang peraturan hukum yang terdapat dalam al-Quran lebih banyak
diungkapkan secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan Nabi. Oleh karena itu, terasa perlu
untuk tetap mengkaji sunnah, karena Nabi sebagai mubayyin terhadap al-Quran. Sebagian aturan al-
Quran yang bersifat umum atau yang berbentuk gari-garis besar telah diperjelas secara harfiah oleh
Nabi. Akan tetapi kemudian akan muncul permasalahan, karena masih banyaknya juga penjelasan
Nabi yang juga memerlukan penalaran.

Pemikiran hukum Islam di masa Nabi belum menampakkan corak pemahaman yang
diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, karena posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi penjelasan)
juga sebagai penetap hukum atau masalah yang muncul. Sehingga kesimpulan hukum yang
dihasilkan kurang bahkan tidak reaksi dalam masyarakat. Pada zaman Nabi, hukum-hukum atau
penetapan-penettapan hukum itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu. Hukum Islam pada
waktu itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan-ucapan Nabi yang nampak pada tindakan-
tindakan Nabi. Beliaulah dan hanya dari beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang
berupa musyawarah dengan para sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.

You might also like