Professional Documents
Culture Documents
REPUBLIK INDONESIA
--------
BAGIAN KESATU
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
PPUU, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Jimly Asshidiqie Menuju Struktur Parlemen Dua Kamar.makalah disampaikan dalam seminar
nasional tentang bikameralisme yang diselenggarakan oleh Forum Rektor Indonesia bekerjasama
dengan National Democratic Institute, Medan, 2 Juni 2012
2
DPD merupakan lembaga-lembaga perwakilan yang berdiri
sendiri sehingga konsttuksinya menjadi 3 kamar (trikameral).2
2
Muhammad Ali Syafaat,Parlemen Bikameral Studi Perbandingan di Argentina, Perancis,
Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia, UB Press, 2010, hlm.5.
3
Ibid
3
musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar inventaris
Masalah (DiM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai
tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD
menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam
rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap
persetujuan.
4
dapat digolongkan telah melakukan perbuatan melawan
hukum. Dan demi hukum, produk legislasi terkait yang
dihasilkan dari perbuatan melawan hukum tersebut harus
dinyatakan batal sejak semula (ab initio).
B. Identifikasi Masalah
5
menjelaskan fungsi Legislasi DPD, juga mengembalikan
norma pembahasan bersama yang diatur oleh Konstitusi.
Dengan pola tersebut diharapkan hubungan pusat dan
daerah dapat lebih dinamis, kehadiran DPD seharusnya
memberikan solusi terhadap sitem politik yang sentralistik.
UU MD3 (UU Nomor 27 Tahun 2009) masih sangat
diskriminatif terhadap kelembagaan DPD serta pelaksaan
wewenangnya. Padahal ekspetasi masyarakat untuk
berpartisipasi secara luas dan kompetitif melalui DPD
sangat tinggi.
Rangkaian implikasii negatif pengelolaan hubungan
kewenangan pusat dan daerah sangat jelas menghambat
proses otonomisasi. Munculnya konflik kepentingan
didaerah juga menunjukkan kurang memadainya
pengelolaan kewenangan daerah dan antar daerah. Elit
lokal ditingkat provinsi dan kabupaten/kota tak membuat
program saling selaras dan sinergi untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Kondisi tersebut, sebenarnya tidak perlu terjadi bila DPD
sebagai institusi perwakilan daerah dimaksimalkan sebagai
bridgingmaupun sebagai perwakilan daerah. Peran penting
DPD dalam konteks otonomi daerah sangat jelas, yaitu
merepresentasikan aspirasi daerah. Sebagai wakil daerah
DPD tidak hanya ditantang untuk merespon dan
memperbaiki carut marut yang di hadapi daerah tersebut,
tetapi juga harus ikut bertanggung jawab mengatasinya.
DPD harus terus mendorong rasionalisasi hubungan pusat
dan daerah melalui penyempurnaan atau tata ulang sistem
kelembagaan di Indonesia, termasuk menghadapi dilema
dua sistem, yaitu sentralisasi dan desentralisasi yang
sampai saat ini belum terselesaikan dengan baik.
Keberadaan DPD sebagai vertical balanceseharusnya
dirasionalkansehingga aspirasi masyarakat dan daerah
tidak mandeg. Dalam konteks tersebut,DPD memerlukan
payung hukum untuk memperjelas kedudukannya untuk
melaksanakan fungsi dan perannya secara maksimal.
Fungsi representasi DPD dalam rangka mengartikulasi dan
melakukanagregasi kepentingan masyrakat dan daerah
harus dirinci dalam undang-undang.
6
Fungsi legislasi DPD yang telah dikembalikan oleh MK
harus didasarkan dalam mekanismenya yang efektif dan
efisien untuk mendukung sistem cheks and balancedalam
intra parlemen.
2. Kedudukan DPD pada realitanya tidak jelaskarena hak-hak
dan kewenangan yang sangat terbatas. Demi tegaknya
prinsip checks and balances maka amandemen kembali
konstitusi dalm jangka menengah atau panjang bersifat
mutlak Karena menjadi salah satu fungsi utama bagi
stabilitas dan efektivitas sistem pemerintahan presidensil.
Urgensi prinsip saling mengawasi secara imbang itu
diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam
relasi DPR sebagai reperensi rakyat dan DPD sebagai
reperensi daerah.
DPD harus dipandang sebagai senat ataupun majelis
tinggi yang juga memiliki kewenangan legislasi. Putusan
MK Nomor 12/PUU-X/2012 menguatkan kedudukan
legislasi DPD dalam sistem perwakilan Indonesia. Dengan
demikian harus dibuat pengaturan dalam UU karena
menyangkut hubungannya antar lembaga negara yang
memungkinkan untuk membuat kejasama dan sinergitas
antar DPR dan DPD.
RUU ini sebagai RUU pergantian dimaksudkan untuk
menempatkan seluruh sistem pemerintahan yang efektif,
dimana Presiden harus didukung oleh bekerjanya suatu
sistem perwakilan yang efektif. Dalam banyak pemikiran
dan teori tentang perancangan konstitusi dan kelembagaan
(constitutional and institutional design) baik yang klasik
maupun kontempoter, parapakar melihat keterkaitan yang
erat antara upaya perubahan sistem politik yang demokrasi
dengan sitem pemerintah dan efektif.
3. Pembentukan RUU ini didasarkan 3 (tiga) pertibangan yaitu
filosofis, sosiologis, dam yuridis.
a. Landasan Filosofis:
Secara filosofis pembentukan UU tentang MPR,DPR, DPD
dan DPRD diwujudkan sebagai upaya pengaktualisasian
nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara dan pemerintahan.
7
Kehadiran lembaga-lembaga negara dalam bentuk
lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan
rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sesungguhnya
adalah cerminan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan
bernegara dan pemerintahan.
Melalui lembaga-lembaga tersebut, penyerapan dan
penyaluran aspirasi rakyat dan daerah dalam proses dan
tata kelola kenegaraan dan pemerintahan diharapkan
dapat berlangsungdengan baik.
b. Landasan Sosiologis:
Terbentuknya UU tentang MD3 pada dasarnya memiliki
makna sosiologis. Kehadiran lembaga-lembaga
permusyawaratan/perwakilan di Indonesia seharusnya
memiliki kemampuan dalam memainkan peran secara
maksimal dalam tata pengelolaan negara dan
pemerintahan sebagai sebuah kebutuhan.
Realitas sosial mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan
dan kebutuhan publik senantiasa mengandalkan
pentingnya kehadiran lembaga-lembaga
permusyawaratan dan perwakilan politik dalam
menangani masalah-masalah sosial.
Secara sosiologis, ketidakadilan yang terjadi di
masyarakat justru sering terjadi dalam sistem sosial yang
dikelola tanpa perwakilan politik.
c. Landasan Hukum:
Pembentukan UU tentang MD3 didasarkan pada mandat
konstitusi sebagai hukum dasar, baik sebagai dasar
dalam kaitan dengan kewenangan pembentukan UU
maupun sebagai dasar hukum dasar dalam kaitan
dengan materi muatan UU. Khususnya yang terkait
dengan materi muatan UU, pembentukan UU tentang
MD3 didasarkan pasa pasal-pasal dalam UUD 1945,
khusunya Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang MPR,
Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pasal 9
ayat (2) yang mengatur tentang susunan DPR, Pasal 22C
ayat (4) yang mengatur tentang susunan dan kedudukan
DPD, dan Pasal 22E yang menetapkan tentang Pemilu
8
sebagai proses pengisian keanggotaan DPR,DPD, dan
DPRD.
4. Dalam kerangka melakukan identifikasi masalah, naskah
akademik ini menguraikan bebrapa hal sebagai berikut:
a. Sasaran yang akan diwujudkan
1) Pemerintahan yang efektif sebagai aktivitas
pemerintah menjadi responsif.
2) Peningkatan peran DPD sebagai lembaga
perwakilan daerah.
3) Hubungn kerja DPR, DPD yang lebih dinamis dalam
kerangka prinsip check and balance.
4) Akuntabilitas lembaga perwakilan di Indonesia.
b. Ruang lingkup pengaturan jangkauan dan arah
pengaturan.
1) Membangun sistem perwakilan yang konsisten
dengan pilihan sistem Pemerintahan Presidensiil.
- Hubungan kerja yang jelas berdasarkan sebuah
sistem parlemen.
- Mekanisme kerja yang mencerminkan fungsi-
fungsi lembaga perwakilan.
2) Akuntabilitas lembaga perwakilan
Akuntabilitas adalah konsep yang tidak terpisah
dari kelembagaan setiap lembaga perwakilan. DPR
sebagai lembaga yang mewakili rakyat, DPD yang
mewakili wilayah(provinsi)dan para anggota yang
memperoleh mandat tersebut dapat dikatakan
akuntabel apabila dalam melaksanakan fungsi,
kewenangan, dan hak-haknya berorientasi kepada
kepentingan rakyat selalu memberi mandat.
3) Penyempurnaan sistem perwakilan
- Efektifitas pelaksanaan tugas DPR;
- Efektifitas pelaksanaan tugas DPD;
- Peraturan hubungna kerja DPR-DPD;dan
- Peningkatan efektifitas fungsi MPR.
9
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah
Akademik.
D. Metode
10
1) FGD yang dilaksanakan di Universitas Gadjah Mada,
Universitas Hasanudin, dan Universitas Andalas pada
tanggal 28 Februari 2013.
2) Rapat dengar pendapat dengan mengundang:
- Zain Badjeber, pada tanggal 8 Mei 2013
- Moh. Fajrul Falaakh, SH., MA., M.Sc pada tanggal 8
Mei 2013
- Indonesian Parliamentary Center, pada tanggal 15 Mei
2013
- Komisi Perempuan Indonesia, pada tanggal 15 Mei
2013
- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, pada
tanggal 15 Mei 2013.
- A. A. G. N Ari Dwipayana S. IP., M. Si, pada tanggal 5
Juni 2013
- Prof. DR. Yuliandri , S.H., MH, pada tanggal 5 Juni
2013
- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, pada
tanggal 5 Juni 2013
11
BAB II
A. Kajian Teoritis
12
kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif), dan
kekuasaan melakukan hubungan internasional dengan
negara lain (federatif). 6 Pemikiran Locke tersebut
dikembangkan lebih lanjut oleh Monsetesquie dalam
bukunya LEsprit des Lois (The Spirit of Law) yang membagi
kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu
kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan
menyelenggarakan undang-undang yang oleh Monstesquie
diutamakan tindakan bidang politik luar negeri (eksekutif),
dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-
undang (yudikatif). Ketiga kekuasaan itu harus terpisah
satu sama lain, baik mengenai tugas maupun perlengkapan
(lembaga) yang menyelenggarakannya.7
6William Ebenstein. The Great Political Thinkers, Plato To The Present, Third
Edition, Holt, Rinehart and Winston, New York, hlm. 406-409.
7 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,
13
sehingga tidak mungkin suatu cabang kekuasaan negara
benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain.
Menyitir pendapat dari John A. Garvey dan T Alexander
Aleinikoff, Saldi Isra 11 mengemukakan bahwa tidak
mungkin pemisahakan kekuasaan negara tersebut
dilakukan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan
negara bukan memisahkannya secara ketat seperti tidak
mempunyai hubungan sama sekali.
11 Ibid.
12 Adam Przeworski, Sejumlah Masalah Dalam Studi Transisi Menuju
Demokrasi, dalam Guilermo O. Donnell (eds), Transisi Menuju Demokrasi,
Tinjauan Berbagai Perspektif terjemahan, LP3ES, 1993, hlm. 89.
13 DanieleCramani, Comparative Politics, Oxford University Press, New York,
14
Munculnya DPD dapat dipahami karena adanya perubahan
paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
menuju desentralisasi kekuasaan untuk meningkatkan
peranan daerah terhadap proses perumusan, maupun
penentuan kebijakan nasional.
2. Lembaga Perwakilan
15
power).Tipe ini sering dipersamakan dengan sistem yang
berlaku di Amerika Serikat.19
19 Ibid.
20 Amie Kreppel, Legislatures dalam Daniele Caramani (eds), Comparative
Politics, Oxford University Press, New York, 2008, hlm. 170-173.
21 Ibid.
22Muchammad Ali Safaat, op.cit, hlm 30.
16
membawa kepada komplikasi-komplikasi, penundaan-
penundaan dan biaya-biaya, dengan sedikit
kompensasi yang menguntungkan. Selama abad ke-20,
negara-negara Skandinavia mengganti sistem
bikameral dengan unikameral, misalnya ; Konstitusi
Norwegia, pada awalnya disusun pada tahun 1814,
terdapat contoh tentang parlemen yang mempunyai
karakteristik yang jelas dari parlemen dua kamar.
Parlemen-parlemen unikameral mendominasi sejumlah
negara-negara yang memperoleh kemerdekaannya
baru-baru ini, dan dengan perkembangan politik dalam
lingkungan yang sangat berbeda dengan yang ada di
eropa pada saat pemerintahan parlemen dilahirkan.23
17
berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut
majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga
sebagai House of Representatives. Majelis yang
anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain
(bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis
kedua atau majelis tinggi dan di sebagaian besar
negara disebut sebagai Senate.
18
ciri-ciri umum yang lain dari kamar kedua dipilih
dengan cara pemilihan umum bertahap (staggered
election). Ketiga perbedaan inimempengaruhi
bagaimana dua kamar beberapa legislatif bekerja.
Sebagian, kamar kedua yang lebih kecil dapat
mempengaruhi urusan mereka dalam suatu cara yang
lebih formal dan santai daripada yang biasanya
terdapat pada kamar pertama yang lebih besar. Tetapi,
dengan satu pengecualian disebutkan secara ringkas,
mereka tidak mempengaruhi suatu pertanyaan apakah
suatu negara yang mempunyai parlemen bikameral
adalah suatu institusi yang benar-benar kuat atau
berarti.
19
simetris dan incongruence. Pada Medium-strength
bicameralisme, satu dari dua elemen tersebut hilang;
katagori ini dibagi dalam dua subklas apakah ciri-ciri
simetris dan incongruence yang hilang, tetapi keduanya
diperingkatkan sama yaitu peringkat medium-strength
bicameralism. Katagori ketiga adalah weak
bicameralism, yang mana kedua kamarnya asimetris
dan congruent. Dan katagori keempat adalah legilatif
unikameral.
26Ellis,
Andrew S., Lembaga Legislatif Bikameral? Sebuah Agenda dan Beberapa
Pertanyaan, Paper ini dipresentasikan dalam Seminar Bikameralisme dan
Perubahan Konstitusi di Jakarta, 8 Juni 2001.
20
lunak. Banyak sistem yang kuat ditemukan dalam
sistem presidensiil: Tidak ada sistem presidensiil yang
juga memakai sistem bikameral lunak.
21
Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan
undang-undang yang berkaitan pajak, pendidikan, dan
agama.
Pasal 22D ayat (1) diatas memberikan hak kepada DPD untuk
mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah,pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, dan perimbangangn keuangan pusat dan
daerah kepada DPR.
22
UUD 1945 juga tidak memberikan wewenang kepada DPD
untuk melakukan tindakan maupun tuntutan tertentu kepada
DPR karena hak veto maupun delay juga tidak dipunyai oleh
DPD sebagaimana praktek di Amerika Serikat maupun di
Inggris.
23
adanya DIM bersama sebenarnya merupakan solusi efektif
yang dapat dilakukan sehingga tanpa melukai kedudukan dan
kewenangan dua lembaga ini.Mekanisme internal seperti
adanya conference committe ini penting untuk mendudukkan
kewenangan kedua lembaga dalam bidang legislasi.
Pasal 147
24
UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang UU Nomor 27 Tahun 2009
Susunan dan Kedudukan MPR, tentang MPR, DPR,DPD, dan
DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) DPRD (UU MD3)
ayat (1) memberitahukan
adanya usul rancangan
undang-undang tersebut
kepada anggota DPR dan
membagikannya kepada
seluruh anggota DPR dalam
rapat paripurna.
a. persetujuan;
b. persetujuan dengan
pengubahan; atau
c. penolakan.
(3) Dalam hal rapat paripurna
memutuskan memberi
persetujuan terhadap usul
rancangan undang-undang
yang berasal dari DPD
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, rancangan
undang-undang tersebut
menjadi rancangan undang-
undang usul dari DPR.
25
UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang UU Nomor 27 Tahun 2009
Susunan dan Kedudukan MPR, tentang MPR, DPR,DPD, dan
DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) DPRD (UU MD3)
DPR menyampaikan
keputusan mengenai
penolakan tersebut kepada
pimpinan DPD.
Pasal 148
26
atau keterangan dan/atau naskah akademik.Usul rancangan
undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR, komisi,
gabungan komisi, atau Badan Legislasi. Usul rancangan
undang-undang disampaikan secara tertulis oleh anggota
DPR, pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, atau
pimpinan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR disertai
daftar nama dan tanda tangan pengusul. DPR memutuskan
usul rancangan undang-undang dalam rapat paripurna,
berupa: persetujuan persetujuan dengan pengubahan atau
penolakan. Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR
menugasi komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau
panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan undang-
undang tersebut.
27
komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia
khusus.
a. pengantar musyawarah:
28
3. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi
memberikan pandangan apabila rancangan
undang-undang berasal dari Presiden atau
1. fraksi
3. Presiden.
29
Dalam hal persetujuan tersebut tidak dapat dicapai secara
musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan
dilakukan berdasarkan suara terbanyak.Apabila rancangan
undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
30
Seperti tahun-tahun sebelumnya, relasi DPD-DPR dipenuhi
dengan upaya-upaya DPD yang konsisten meningkatkan
kewenangan dan posisi tawarnya terhadap DPR.Bahkan, pada
2009, dapat dikatakan sebagai titik eskalasi usaha-usaha itu.
Alasannya adalah terdapat momen-momen politik yang
penting, utamanya perubahan aturan main dalam
berdemokrasi melalui proses legislasi paket undang-undang
politik.
31
Peraturan Tata Tertib DPD yang terdiri dari pimpinan, Panitia
Musyawarah (Panmus), Pantia Kerja (Panker), Panitia
Perancang Undang-undang (PPUU), Panitia Urusan Rumah
Tangga (PURT), Badan Kehormatan (BK), dan alat kelengkapan
lain yang diperlukan dan dibentuk Sidang Paripurna DPD.
32
Masalah lain dalam UU MD3 adalah persidangan dan
pengambilan keputusan. Pasal 227 ayat (4) UU MD3
menyatakan anggota DPD dalam menjalankan perannya
berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di
ibukota provinsi daerah pemilihannya.
33
Pembahasan Prolegnas pasca putusan MK apabila dijabarkan
dalam bagan sebagai berikut:
34
dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang
berkaitan dengan tugas dan wewenang DPD. Berdasarkan hal
tersebut MK memutuskan:
35
belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama.
36
pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan
pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna
DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.
a. Pembahasan Tingkat I:
DPD ikut serta sejak awal sampai dengan akhir
pembahasan Tingkat I, pada rapat-rapat komisi atau
panitia khusus DPR, yaitu dimulai dengan penyampaian
pengantar musyawarah/ penjelasan/pandangan,
mengajukan dan membahas DIM, serta menyampaikan
pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di
Tingkat I;
37
DPD dan Presiden tidak melakukan pembahasan dengan
fraksi-fraksi DPR.
38
dapat memahami sebagaimana dituangkan dalam putusannya
bahwa mekanisme pembahasan RUU dengan membahas DIM
yang diajukan oleh fraksi adalah praktik pembahasan RUU
sebelum perubahan UUD 1945.Selanjutnya pembahasan pada
tingkat Alat Kelengkapan DPR yang sudah mengundang
Presiden dan/atau sudah mengundang DPD, maka DPR
dalam pembahasan DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan
DPR sebagai satu kesatuan kelembagaan.
a. Penyusunan Prolegnas
39
b. Tindak lanjut RUU dari DPD
40
baru kami sendiri mengakui masih banyak
kelemahan.
41
Beberapa RUU yang pada tahun 2010 disahkan oleh
DPR seperti UU tentang Hortikultura, UU tentang
Gerakan Pramuka, dan Cagar Budaya tidak
memberikan kesempatan kepada DPD untuk terlibat
lebih jauh. Apabila mengacu kepada UUD 1945 ketiga
UU ini cacat materiil dalam pembahasannya karena
tidak melibatkan DPD.
42
berlaku terus menerus.Dengan demikian, dampak
dari suatu putusan parlemen memang sangat
besar.Apalagi, bagi rakyat tidak ada pilihan kecuali
melaksanakan putusan parlemen
tersebut.Ketidakmengertian rakyat terhadap produk
yang dibuat legislatif tidak membuat rakyat dapat
terbebas untuk melaksanakannya.
d. Pertimbangan DPD
43
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama serta
prtimbangan terhadap RUU APBN.Kedua,
pertimbangan atas calon anggota BPK.
e. Pengawasan DPD
44
dan adanya mekanisme tindak lanjut hasil pengawasan
DPD yang telah disampaikan kepada DPR.
45
dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal panggilan
paksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3)
tidak memenuhi tanpa
alasan yang sah, yang
bersangkutan dapat
disandera paling lama 15
(lima) belas hari sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan.
46
DPD dan DPRD, Pasal 44 dan Pasal 45, fungsi dan tugas
DPD nampak lebih sebagai lembaga konsultatif yang
hanya memberikan sekedar pertimbangan dan
pengusulan kepada DPR. Posisi demikian hanya memberi
suatu legitimasi bahwa peran politik DPD memang tidak
sejajar dengan DPR. Perdebatan politik lantas berlanjut
menuju perdebatan konstitusio-nal bahwa terdapat
kesalahan substansi dalam amandemen undang-undang
dasar sehingga mendesak diadakan amandemen UUD
1945 kelima guna mengembalikan naskah UUD 1945 ke
naskah sebelum diadakan amandemen pertama sampai
ke empat. Termasuk di dalam konteks perdebatan
tersebut adalah keinginan sejumlah anggota DPD untuk
mengajukan usul amandemen Pasal 22C UUD 1945 hasil
amandemen keempat ya ng menyangkut fungsi dan
kedudukan DPD yang dianggap telah mengeliminasi
peran strategik DPD sebagai mitra politik sejajar dengan
DPR.
47
dari pada dengan anggota DPD yang basis politiknya
tidak mengakar.
48
Negara tersebut bentuk kesatuan atau federal, dengan
sistem pemerintahan presidensial atau parlementer, itu
bukan soal utama.Bikameralisme tidak melulu dipakai
oleh negara berbentuk federal, tetapi negara kesatuan
yang menerapkan desentralisasi, seperti Indonesia, juga
sangat penting menerapkannya.Bikameralisme harus
dimaknai sebagai instrumen untuk memperkuat
kesatuan negara.
49
yaitu pembahasan berlapis terhadap setiap produk
legislatif. DPD, dalam hal ini, berfungsi sebagai revising
chamber, yakni mengoreksi segala keputusan DPR
dengan harapan adanya kemungkinan setiap produk
legislative bisa diperiksa kembali.Dengan itu, proses
pengambilan keputusan politik bisa lebih mantab dan
matang, sehingga undang-undang yang dihasilkan lebih
mengakar dan tepat sasaran dan, tentu saja, terhindar
dari bias partisan anggota DPR.
50
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
51
memperkuatnya. Tampak disini bahwa terdapat empat konsep
utama yang saling terkait satu sama lain untuk membangun
sistem perwakilan dimaksud, yaitu sinergitas, efektifitas,
akuntabilitas, dan produktifitas. Sistem perwakilan yang
sinergis diperlukan bukan saja dalam rangka efektifitas fungsi
setiap lembaga parlemen (DPR dan DPD), melainkan juga
untuk meningkatkan kualitas
akuntabilitasdisatupihakdanproduktifitasdipihaklain.
Akuntabilitasadalahkonsepyangtakterpisahkandarikeberadaans
etiap lembagaperwakilan.DPRsebagaiparlemenyang
mewakilirakyat,DPDyang mewakili wilayah (propinsi), dan para
anggotanya yang memperoleh mandat tersebut dapat
dikatakan akuntabel apabila dalam melaksanakan fungsi,
kewenangan, dan hak-haknya berorientasi kepada kepentingan
rakyat selaku pemberi mandat melalui pemilihan umum.
52
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, terdapat paling sedikit enam arah sekaligus
tujuan yang hendak dicapai untuk memperkuat system
perwakilan yang berlaku dewasa ini, yaitu:
53
Agenda penguatan akuntabilitas parlemen, baik secara institusi
maupun anggota secara individual, perlu dilakukan dalam
rangka mendukung penguatan system presidensiil.
Akuntabilitas institusi makin kuat apabila pelaksanaan fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR berorientasi pada
penguatan sistem presidensiil. Di sisi lain, akuntabilitas
anggota secara individual makin kuat apabila kinerja para
anggota DPR berorientasi pada penguatan akuntabilitas Dewan
secara institusi.
54
BAB IV
A. Landasan Filosofis
Secara filosofis, pembentukan UU tentang MPR, DPR,
DPD,dan DPRD diperlukan sebagai upaya pengaktualisasian
nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara dan berpemerintahan. Kehadiran lembaga-
lembaga negara dalam bentuk lembaga permusyawaratan
rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan
daerah sesungguhnya adalah cerminan nilai-nilai demokrasi
dalam hidup bernegara dan berpemerintahan. Melalui
lembaga-lembaga tersebut, penyerapan dan penyaluran
aspirasi rakyat dan daerah dalam proses dan tata kelola
kenegaraan dan kepemerintahan diharapkan dapat
berlangsung dengan baik.
B. Landasan Sosiologis
Sejalan dengan pemikiran filosofis di atas, pembentukan UU
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD juga diperlukan dalam
rangka mewujudkan tata kelembagaan negara dan
pemerintahan yang mencerminkan aktualisasi prinsip checks
and balances dalam pengelolaan kekuasaan. Sebagaimana
telah ditegaskan dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Hasil Amandemen, mandate pengelolaan
kekuasaan Negara secara institusional telah diberikan
kepada sejumlah lembaga Negara dan pemerintahan, yang
pada domain perwakilan politik berada pada lembaga
permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan
lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat
daerah. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut merupakan
suatu keharusan dan kebutuhan bagi berlangsungnya
proses pengelolaan kekuasaan yang akuntabel, terkontrol,
dan seimbang, terutama dalam kerangka perwujudan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah yang
berwatak demokratis, jauh dari watak otoriterian, dan tidak
terpusat pada eksekutif, terutama pada Presiden ditingkat
55
nasional serta pada gubernur dan bupati/walikota di tingkat
daerah.
Pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada
dasarnya tidak hanya bermakna filosofis dan politik, tetapi
juga memiliki makna sosiologis. Kehadiran lembaga-lembaga
permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan
lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat
daerah, yang memiliki kemampuan dalam memainkan
peran secara maksimal dalam tata pengelolaan Negara dan
pemerintahan merupakan sebuah kebutuhan. Realitas social
mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan dan kebutuhan
publik senantiasa mengandaikan pentingnya kehadiran
lembaga-lembaga permusyawaratan dan perwakilan politik
dalam penanganannya. Sistem penyelenggaraan
pemerintahan Negara dan daerah yang bertumpu pada
eksekutif, secara factual tidak selalu dapat dijadikan
andalan dalam penyelesaian persoalan dan pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Bahkan, secara
sosiologis,ketidakadilan justeru sering terjadi dalam system
social yang dikelola tanpa perwakilan politik.
C. Landasan Yuridis
Pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
didasarkan pada mandat konstitusi sebagai hukum dasar,
baik sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan kewenangan
pembentukan undang-undang maupun sebagai hukum
dasar dalam kaitan dengan materi muatan undang- undang.
Khusus yang terkait dengan materi muatan undang-undang,
pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
didasarkan pada pasal-pasal dalam UUD 1945
(HasilAmandemen), khususnya Pasal 2 ayat (1) yang
mengatur tentang MPR, Pasal 18 ayat (3) yang mengatur
tentang DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah, Pasal 19 ayat (2) yang mengatur tentang susunan
DPR, Pasal 22C ayat (4) yang mengatur tentang susunan dan
kedudukan DPD, dan Pasal 22E yang menegaskan tentang
pemilihan umum sebagai proses pengisian keanggotaan
DPR, DPD, dan DPRD.
56
BAB V
A. Ketentuan Umum
57
pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan
daerah.
2. Fungsi DPR
58
pendapatan dan belanja negara.
3. Tugas dan Wewenang DPR
59
dalam menggunakan haknya, sehingga didalam RUU
dirumuskan sebagai berikut:
61
kunjungan kerja secara berkala;
b. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat.
6. Tugas dan Wewenang DPD
(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan Undang-
Undang yang berkaitan dengan:
a. otonomi daerah;
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan
perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat dan daerah;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD; dan
j. menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.
9. Pimpinan DPD
a. DPD dipimpin oleh seorang Ketua dan paling banyak 2 (dua)
orang Wakil Ketua.
b. Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh Anggota DPD
dalam Sidang Paripurna.
c. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua DPD terpilih, Sidang DPD
dipimpin oleh Pimpinan Sementara DPD.
d. Pimpinan Sementara DPD terdiri atas seorang Ketua dan
seorang Wakil Ketua yang diangkat dari Anggota DPD tertua
dan Anggota DPD termuda usianya.
63
e. Dalam hal Anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) berhalangan, sebagai penggantinya adalah Anggota DPD
tertua dan/atau termuda usianya berikutnya.
f. Ketua dan Wakil Ketua DPD diresmikan dengan Keputusan
DPD.
g. Tata cara pemilihan Pimpinan DPD diatur dalam Peraturan
DPD tentang Tata Tertib
1) meninggal dunia;
3) diberhentikan.
64
memverifikasi dan memutuskan pengaduan sebagaimana
dimaksud pada huruf b;
d. Dalam hal Badan Kehormatan DPD memutuskan anggota
DPD tidak melaksanakan kewajibannya, keputusan Badan
Kehormatan disampaikan kepada pimpinan DPD.
e. Pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan
Kehormatan DPD tentang pemberhentian anggota DPD atau
pemberhentian sementara anggota DPD kepada Presiden
untuk memperoleh pengesahan pemberhentian atau
pemberhentian sementaranya.
f. Dalam hal keputusan Badan Kehormatan DPD
menyatakan tidak terdapat cukup bukti anggota DPD
tidak melaksanakan kewajibannya, anggota DPD
direhabilitasi namanya.
11. Susunan dan Kedudukan DPRD Provinsi
65
13. Tugas dan Wewenang DPRD Provinsi
66
kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota
DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
anggota DPRD provinsi yang hadir.
67
berturut-turut tidak memenuhi panggilan, DPRD
provinsi dapat memanggil secara paksa dengan bantuan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
1) meninggal dunia;
2) mengundurkan diri;atau
3) diberhentikan.
69
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut;
70
menyatakan tidak terdapat cukup bukti anggota DPRD
provinsi tidak melaksanakan kewajibannya, anggota DPRD
provinsi direhabilitasi namanya.
71
20. Hak DPRD Kabupaten/Kota
72
jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan
diambil dengan persetujuan sekurang- kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota
yang hadir.
73
2) Hak menyatakan pendapat diajukan oleh paling sedikit
10 (sepuluh) orang anggota DPRD kabupaten/kota
kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan
mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPRD
kabupaten/kota yang dihadiri sekurang-kurangnya
(tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
kabupaten/kota dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang- kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.
74
a. Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas seorang Ketua dan
paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang berasal dari
partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi
terbanyak di DPRD kabupaten/kota;
b. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang
memperoleh kursi sama, ketua dan wakil ketua DPRD
kabupaten/kota ditentukan berdasarkan urutan hasil
perolehan suara terbanyak dalam pemilu;
c. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang
memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua DPRD
kabupaten/kota ditentukan berdasarkan persebaran
perolehan suara.
1) meninggal dunia;
2) mengundurkan diri;atau
3) diberhentikan.
75
diberhentikan dari jabatannya, penggantinya berasal dari
fraksi yang sama dengan fraksi pimpinan yang
diberhentikan.
76
Sejalan dengan upaya peningkatan akuntabilitas dan kinerja
lembaga dan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, maka pengaturan tentang penggantian antar
waktu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota juga perlu disempurnakan.
1) meninggal dunia;
3) diberhentikan.
1) meninggal dunia;
3) diberhentikan.
1) meninggal dunia;
3) diberhentikan.
1)meninggal dunia;
3)diberhentikan.
78
terhadap persyaratan calon pengganti antar waktu, dan
pengesahan calon pengganti antarwaktu anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
79
c. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota diberhentikan sementara, hak
keuangannya tidak dibayarkan kecuali uang representasi;
80
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pembentukan tipe sistem lembaga ketatanegaraan yang di
pilih oleh suatu negara, terutama tergantung pada
keadaan politik, sosial, ekonomi, tetnik, serta faktor-faktor
lainnya. Demikian pula dengan pembentukan kamar
kedua/second chamber atau majelis tinggi/upper house
parlemen, institusi ini mempunyai haknya sendiri, yang
melekat dalamlingkungan nsionalnya sendiri, status
konstitusionalnya sendiri, keadaan lingkuangan ekonomi,
sosial dan politik masing-masing negara dan konteks
kelembagaan.
2. Kamar kedua/second chamber atau majelis tinggi/upper
house dibentuk sebagai tempat untuk menampung
perwakilan lain, selain perwakilan politik yang
ditempatkan pada kamar pertama/firs chamber atau
majelis tingi/upper house untuk menampung perwakilan
yang berbeda dari kamar pertama, yaitu untuk
kepentingan kelas sosial, kepentingan ekonomi, atau
perbedaaan teritorial. Pada umumnya terhadap kamar
kedua secara konstitusional diberikan untuk perwakilan
teritorial.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menurut
konstitusi Indonesia saat ini, merupakan lembaga yang
tidak jelas kedudukan kelembagaannya; apakah hanya
sebagai lembaga ataukah hanyajoint session. Hal ini dapat
dilihat dari fungsinya, dengan argumentasi sebagai
berikut.
a. MPR bukan pemegang kedaulatan rakyat lagi karena
menurut Pasal 1 Perubahan Ketiga UUD 1945,
kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.
b. Menurut Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD1945,
yaitu MPR berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar walaupun pasal ini terlihat
penting karena mengubah dan menetapkan UUD,
tetapi hanya dialakukan secara insidental, bukan
81
tugas yang setiap hari harus dilakukan karena
mengubah konstitusi bukanlah mengubah undang-
undang yang bisa secara cepat diubah.
c. MPR sudah tidak mempunyai kewenangan yang
penting dalam sistem ketatanegaraan, yaitu MPR tidak
memilih Presiden lagi. Ini dapat kita lihat pada pasal
6A Perubahan Ketiga UUD 1945 dan Pasal 22E
Perubahan Ketiga UUD 1945.
d. Dalam hal impeachment, menurut Pasal 7A dan 7B
Perubahan Ketiga UUD 1945, ini juga merupakan
kejadian yang tidak selalu terjadi. Dalam sejarah
ketatanegaraan dan politik di berbagai negara, tidak
setiap tahun Presiden di-impeach oleh parlemennya
(dalam konteks Indonesia MPR). Dan dalam hal iniada
Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan
memutuskan dari gugatan yang diajukan oleh DPR.
Jadi untuk memberi kepastian hukum dan
kewibawaan dari lembaga hukum (Mahkamah
Konstitusi). MPR sebaiknya hanya mengeksekusi
putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah
Konstitusi.
82
B. Saran
83