You are on page 1of 84

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA
--------

BAGIAN KESATU
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
DEWAN PERWAKILAN DAERAH

PPUU, 2013
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa Negara


Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat
yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan perlu diwujudkan lembaga
permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan
lembaga perwakilan daerah.

Keberadaan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah diatur


dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945. Kewenangan DPD
sebagai lembaga perwakilan daerah diatur dalam Pasal 22D
UUD 1945. Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 menentukan:

Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada


Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemerkaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.

Dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 selanjutnya ditentukan:

Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan


undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Selain kewenangan di bidang legislatif yang dikemukakan


diatas, DPD memiliki kewenangan di bidang pengawasan.
Kewenangan DPD di bidang pengawasan diatur dalam Pasal
22D ayat (3) UUD 1945 yang menentukan:
1
Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan
atas pelaksaanan undang-undang mengenai: otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran dan pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyanpaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Akar masalah DPD selama ini adalah kewenangannya yang


lemah sebagai sebuah lembaga representasi Daerah.
Permasalahan menjadi kompleks karena Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)
memberikan kewenangan yang terbatas kepada DPD sehingga
DPD tidak dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga
perwakilan secara maksimal. Tidak mengherankan, bila bicara
tentang relasi DPR dan DPD, tidak akan lepas dari
permasalahan kewenangan DPD yang lemah dibandingkan
DPR.

Keberadaan DPD adalah untuk mewakili kepentingan rakyat


dalam konteks kedaerahan dan dengan orientasi kepentingan
daerah. 1 Menurut Sri Soemantri DPD merupakan lembaga
negara yang anggotanya mewakili rakyat di masing-masing
provinsi.

Jika melihat pada susunan dan kedudukan DPD sebagimana


diatur dalam UUD 1945, kedudukan DPD tidak sejajar dengan
DPR. DPD tidak sepenuhnya memegang kekuasaan legislasi,
pengawasan, dan anggaran sebagaimana yang dimiliki oleh
DPR sebagai lembaga legislatif atau parlemen.

Konstruksi susunan parlemen jika dikaitkan dengan MPR


menimbulkan pertanyaan apakah dapat dikatakan bahwa
kekuasaan legislatif yang diwakili oleh MPR sama halnya
dengan kongres di Amerika Serikat? Atau justru MPR, DPR,

1
Jimly Asshidiqie Menuju Struktur Parlemen Dua Kamar.makalah disampaikan dalam seminar
nasional tentang bikameralisme yang diselenggarakan oleh Forum Rektor Indonesia bekerjasama
dengan National Democratic Institute, Medan, 2 Juni 2012

2
DPD merupakan lembaga-lembaga perwakilan yang berdiri
sendiri sehingga konsttuksinya menjadi 3 kamar (trikameral).2

Berdasarkan norma Pasal 22D UUD 1945 dan ditambah


dengan sulitnya menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock (2005)
memberikan penilaian menarik. Bagi peneliti Australian
National University ini, DPD merupakan contoh yang tidak
lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem
bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan
kewenagan yang amat terbatas dan legitimacy tinggi (represents
the odd combination of limited powers and high legitimacy).
Kombinasi ini, tambah Sherlock, merupakan contoh yang tidak
lazim dalam praktik sistem bikameral manapun di dunia.3

Kondisi yang demikian mendorong DPD untuk mengajukan


permohonan uji materi ke MK terkait dengan norma-norma
dalam UU Nomor 27 Tahuh 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pementukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang
terkait dengan fungsi legislasi DPD.

MK pun menafsirkan konstitusi mengenai kedudukan dan


kewenangan konstitusional DPD dalam fungsi legislasi.
Pertama, DPD berposisi sama dengan DPR dan Presiden dalam
mengajukan RUU berkaitan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Menempatkan RUU dari DPD
sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas Badan legislasi
DPR, dan menjadi RUU dari DPR, mereduksi kewenangan DPD
mengajukan RUU.

Kedua, DPD sebagai lembaga negara berhak dan/atau memiliki


wewenang yang sama dengan DPR dan Presiden dalam
membahas RUU terkait daerah. Menurut MK, DPD berhak
ikut membahas RUU berkaitan daerah, bersama DPR dan
presiden. pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak
memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia
khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar

2
Muhammad Ali Syafaat,Parlemen Bikameral Studi Perbandingan di Argentina, Perancis,
Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia, UB Press, 2010, hlm.5.
3
Ibid

3
musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar inventaris
Masalah (DiM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai
tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD
menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam
rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap
persetujuan.

Ketiga, terkait apakah DPD berwenang menyetujui RUU,MK


menegaskan konstitusi menentukan jelas bahwa DPD hanya
berwenang ikut membahas RUU yang berkaitan dengan daerah,
tidak ikut serta pada pemberian persetujuan akhir yang
lazimnya dilakukan pada rapat paripurna DPR pembahasan
Tingkat II. Artinya, DPD dapat saja ikut membahas dan
memberi pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang
membahas RUU pada Tingkat II tetapi tidak memiliki hak
memberi persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan.
persetujuan terhadap RUU untuk menjadi UU, menurut
konstitusi hanya DPR dan Presiden.

Kempat, penyusunan prolegnas sebagai instrumen


perencanaan program pembentukan UU merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan
untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Apabila DPD tidak
terlibat atau tidak ikut serta menentukan prolegnas, maka
sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya
untuk mengajukan RUU. Undang-Undang yang tidak
melibatkan DPD dalam penyusunan prolegnas telah mereduksi
kewenangan DPD.

Kelima, memberikan pertimbangan tidak sama dengan bobot


kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya, DPD
namun memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam
pembahasan. Merupakan kewenangan DPR dan Presiden
untuk menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan DPD
sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting adalah adanya
kewajiban dari DPR dan presiden untuk meminta pertimbangan
DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.

Dengan putusan ini, segala bentuk reduksi kewenangan DPD,


baik dalam norma maupun praktik, tak dibolehkan lagi.
Umpama DPR masih menganulir keberadaan DPD, maka DPR

4
dapat digolongkan telah melakukan perbuatan melawan
hukum. Dan demi hukum, produk legislasi terkait yang
dihasilkan dari perbuatan melawan hukum tersebut harus
dinyatakan batal sejak semula (ab initio).

Berdasarkan hal-hal tersebut, dalam rangka penataan


kelembagaan parlemen Indonesia terutama sekali untuk
mendorong sistem keparlemenan Indonesia ka arah yang lebih
baik perlu peraturan dan penyempurnaan UU MD3. Undang-
Undang tersebut diharapkan dapat meningkatkan peran dan
tanggungjawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga
perwakilan rakyat, dan lenmba perwakilan daerah dalam tugas
dan wewenangnya serta mengembangkan mekanisme check
and balances atar lembaga legislatif dan eksekutif serta
meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja anggota
lembaga permusyawatan rakyat, lembaga perwakilan rakyat,
lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan rakyat.

Selasa, 27 Maret 2013 Mahkamah Konstitusi (MK) memutus


perkara pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang-Undangan (UU
P3) terhadap UUD 1945. Dalam putusan Nomor 92/PUU-
X/2012 tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan DPD
selaku pemohon untuk membatalkan beberapa ketentuan
dalam kedua UU yang dinilai mereduksi kewenangan Dewan
perwakilan Daerah (DPD) dalam proses legislasi. putusan
tersebut mencatatkan sejarah baru. bagi DPR, Presiden, dan
DPD dalam proses legislasi.

B. Identifikasi Masalah

1. Putusan MK perkara Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap


pengujian beberapa pasal dalam UU MD3 dan UU P3 pada
dasarnya merupakan bagian dari penataan kehidupan
politik dan pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam
rangka pencapaian sistem politik yang demokratis dan
sistem politik yang efektif.
Secara Konstitusional dengan pola legislasi baru yang
ditawarkan oleh Mahkamah konstitusi tidak hanya sebatas

5
menjelaskan fungsi Legislasi DPD, juga mengembalikan
norma pembahasan bersama yang diatur oleh Konstitusi.
Dengan pola tersebut diharapkan hubungan pusat dan
daerah dapat lebih dinamis, kehadiran DPD seharusnya
memberikan solusi terhadap sitem politik yang sentralistik.
UU MD3 (UU Nomor 27 Tahun 2009) masih sangat
diskriminatif terhadap kelembagaan DPD serta pelaksaan
wewenangnya. Padahal ekspetasi masyarakat untuk
berpartisipasi secara luas dan kompetitif melalui DPD
sangat tinggi.
Rangkaian implikasii negatif pengelolaan hubungan
kewenangan pusat dan daerah sangat jelas menghambat
proses otonomisasi. Munculnya konflik kepentingan
didaerah juga menunjukkan kurang memadainya
pengelolaan kewenangan daerah dan antar daerah. Elit
lokal ditingkat provinsi dan kabupaten/kota tak membuat
program saling selaras dan sinergi untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Kondisi tersebut, sebenarnya tidak perlu terjadi bila DPD
sebagai institusi perwakilan daerah dimaksimalkan sebagai
bridgingmaupun sebagai perwakilan daerah. Peran penting
DPD dalam konteks otonomi daerah sangat jelas, yaitu
merepresentasikan aspirasi daerah. Sebagai wakil daerah
DPD tidak hanya ditantang untuk merespon dan
memperbaiki carut marut yang di hadapi daerah tersebut,
tetapi juga harus ikut bertanggung jawab mengatasinya.
DPD harus terus mendorong rasionalisasi hubungan pusat
dan daerah melalui penyempurnaan atau tata ulang sistem
kelembagaan di Indonesia, termasuk menghadapi dilema
dua sistem, yaitu sentralisasi dan desentralisasi yang
sampai saat ini belum terselesaikan dengan baik.
Keberadaan DPD sebagai vertical balanceseharusnya
dirasionalkansehingga aspirasi masyarakat dan daerah
tidak mandeg. Dalam konteks tersebut,DPD memerlukan
payung hukum untuk memperjelas kedudukannya untuk
melaksanakan fungsi dan perannya secara maksimal.
Fungsi representasi DPD dalam rangka mengartikulasi dan
melakukanagregasi kepentingan masyrakat dan daerah
harus dirinci dalam undang-undang.

6
Fungsi legislasi DPD yang telah dikembalikan oleh MK
harus didasarkan dalam mekanismenya yang efektif dan
efisien untuk mendukung sistem cheks and balancedalam
intra parlemen.
2. Kedudukan DPD pada realitanya tidak jelaskarena hak-hak
dan kewenangan yang sangat terbatas. Demi tegaknya
prinsip checks and balances maka amandemen kembali
konstitusi dalm jangka menengah atau panjang bersifat
mutlak Karena menjadi salah satu fungsi utama bagi
stabilitas dan efektivitas sistem pemerintahan presidensil.
Urgensi prinsip saling mengawasi secara imbang itu
diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam
relasi DPR sebagai reperensi rakyat dan DPD sebagai
reperensi daerah.
DPD harus dipandang sebagai senat ataupun majelis
tinggi yang juga memiliki kewenangan legislasi. Putusan
MK Nomor 12/PUU-X/2012 menguatkan kedudukan
legislasi DPD dalam sistem perwakilan Indonesia. Dengan
demikian harus dibuat pengaturan dalam UU karena
menyangkut hubungannya antar lembaga negara yang
memungkinkan untuk membuat kejasama dan sinergitas
antar DPR dan DPD.
RUU ini sebagai RUU pergantian dimaksudkan untuk
menempatkan seluruh sistem pemerintahan yang efektif,
dimana Presiden harus didukung oleh bekerjanya suatu
sistem perwakilan yang efektif. Dalam banyak pemikiran
dan teori tentang perancangan konstitusi dan kelembagaan
(constitutional and institutional design) baik yang klasik
maupun kontempoter, parapakar melihat keterkaitan yang
erat antara upaya perubahan sistem politik yang demokrasi
dengan sitem pemerintah dan efektif.
3. Pembentukan RUU ini didasarkan 3 (tiga) pertibangan yaitu
filosofis, sosiologis, dam yuridis.
a. Landasan Filosofis:
Secara filosofis pembentukan UU tentang MPR,DPR, DPD
dan DPRD diwujudkan sebagai upaya pengaktualisasian
nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara dan pemerintahan.

7
Kehadiran lembaga-lembaga negara dalam bentuk
lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan
rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sesungguhnya
adalah cerminan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan
bernegara dan pemerintahan.
Melalui lembaga-lembaga tersebut, penyerapan dan
penyaluran aspirasi rakyat dan daerah dalam proses dan
tata kelola kenegaraan dan pemerintahan diharapkan
dapat berlangsungdengan baik.
b. Landasan Sosiologis:
Terbentuknya UU tentang MD3 pada dasarnya memiliki
makna sosiologis. Kehadiran lembaga-lembaga
permusyawaratan/perwakilan di Indonesia seharusnya
memiliki kemampuan dalam memainkan peran secara
maksimal dalam tata pengelolaan negara dan
pemerintahan sebagai sebuah kebutuhan.
Realitas sosial mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan
dan kebutuhan publik senantiasa mengandalkan
pentingnya kehadiran lembaga-lembaga
permusyawaratan dan perwakilan politik dalam
menangani masalah-masalah sosial.
Secara sosiologis, ketidakadilan yang terjadi di
masyarakat justru sering terjadi dalam sistem sosial yang
dikelola tanpa perwakilan politik.
c. Landasan Hukum:
Pembentukan UU tentang MD3 didasarkan pada mandat
konstitusi sebagai hukum dasar, baik sebagai dasar
dalam kaitan dengan kewenangan pembentukan UU
maupun sebagai dasar hukum dasar dalam kaitan
dengan materi muatan UU. Khususnya yang terkait
dengan materi muatan UU, pembentukan UU tentang
MD3 didasarkan pasa pasal-pasal dalam UUD 1945,
khusunya Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang MPR,
Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pasal 9
ayat (2) yang mengatur tentang susunan DPR, Pasal 22C
ayat (4) yang mengatur tentang susunan dan kedudukan
DPD, dan Pasal 22E yang menetapkan tentang Pemilu

8
sebagai proses pengisian keanggotaan DPR,DPD, dan
DPRD.
4. Dalam kerangka melakukan identifikasi masalah, naskah
akademik ini menguraikan bebrapa hal sebagai berikut:
a. Sasaran yang akan diwujudkan
1) Pemerintahan yang efektif sebagai aktivitas
pemerintah menjadi responsif.
2) Peningkatan peran DPD sebagai lembaga
perwakilan daerah.
3) Hubungn kerja DPR, DPD yang lebih dinamis dalam
kerangka prinsip check and balance.
4) Akuntabilitas lembaga perwakilan di Indonesia.
b. Ruang lingkup pengaturan jangkauan dan arah
pengaturan.
1) Membangun sistem perwakilan yang konsisten
dengan pilihan sistem Pemerintahan Presidensiil.
- Hubungan kerja yang jelas berdasarkan sebuah
sistem parlemen.
- Mekanisme kerja yang mencerminkan fungsi-
fungsi lembaga perwakilan.
2) Akuntabilitas lembaga perwakilan
Akuntabilitas adalah konsep yang tidak terpisah
dari kelembagaan setiap lembaga perwakilan. DPR
sebagai lembaga yang mewakili rakyat, DPD yang
mewakili wilayah(provinsi)dan para anggota yang
memperoleh mandat tersebut dapat dikatakan
akuntabel apabila dalam melaksanakan fungsi,
kewenangan, dan hak-haknya berorientasi kepada
kepentingan rakyat selalu memberi mandat.
3) Penyempurnaan sistem perwakilan
- Efektifitas pelaksanaan tugas DPR;
- Efektifitas pelaksanaan tugas DPD;
- Peraturan hubungna kerja DPR-DPD;dan
- Peningkatan efektifitas fungsi MPR.

9
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah
Akademik.

Sesusai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang


dikemukakan diatas, tujuan penyusunan Naskah Akademik
RUU tentang MD3 dirumuskan sebagai berikuk;
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kerangka
sistem perwakilan Indonesia serta cara-caramengatasi
permasalahan tersebut.
2. Merumuskan permsalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan RUU tentang MD3 sebagai
penyelesaian atau solusi permasalahan keperluan
Indonesia.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan RUU tentang MD3.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU
tentang MD3.

D. Metode

Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan


suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode
penyusunan Naskah Akademik yang berbasis metode penelitian
hukum penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif
dengan tahapan sebagai berikut:
a. Evaluasi atas pelaksanaan UU Nomor 27 Tahun 2009
tntang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
b. Pengkajian terhadap passl-pasal dalam UU Nomor 27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang
dinilai mengandung kelemahan dan/atau bermasalah;
c. Pengkajian terhadap konsep teoritis tentang sistem
perwakilan yang ideal;
d. Penyesuaian dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;dan
e. Analisis komprehensif dan penyusunan konsep pengaturan
yang baru;
f. Tahapan Penelitian diatas dilengkapi dengan:

10
1) FGD yang dilaksanakan di Universitas Gadjah Mada,
Universitas Hasanudin, dan Universitas Andalas pada
tanggal 28 Februari 2013.
2) Rapat dengar pendapat dengan mengundang:
- Zain Badjeber, pada tanggal 8 Mei 2013
- Moh. Fajrul Falaakh, SH., MA., M.Sc pada tanggal 8
Mei 2013
- Indonesian Parliamentary Center, pada tanggal 15 Mei
2013
- Komisi Perempuan Indonesia, pada tanggal 15 Mei
2013
- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, pada
tanggal 15 Mei 2013.
- A. A. G. N Ari Dwipayana S. IP., M. Si, pada tanggal 5
Juni 2013
- Prof. DR. Yuliandri , S.H., MH, pada tanggal 5 Juni
2013
- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, pada
tanggal 5 Juni 2013

11
BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

1. Teori Pemisahan Kekuasaan

Teori pemisahan kekuasaan digunakan untuk mengkaji dan


menganalisa kedudukan lembaga-lembaga negara terutama
kedudukan lembaga perwakilan setelah amandemen UUD
1945.Sebagaimana diketahui bersama dalam konsep utama
sistem politik modern adalah adanya mekanisme saling
kontrol dan mengimbangi antar lembaga negara.Prinsip ini
sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dengan
mendorong konstitusi untuk mengatur dan
menyeimbangkan lembaga-lembaga negara sesuai dengan
fungsinya.4

Demokrasi modern mengajarkan bahwa sarana artikulasi


dan agregasi paling tepat direpresentasikan melalui
lembaga perwakilan.Oleh sebab itu, kedudukan lembaga
perwakilan ini sangat signifikan dalam sistem politik karena
lembaga inilah yang mempunyai legitimasi dan hubungan
dengan konstituennya.

Legitimasi inilah yang memunculkan kewajiban ganda bagi


lembaga perwakilan, pertama sebagai agen dari
konstituennya dan kedua, secara prinsip melakukan
kontrol terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif). 5

Sebagai lembaga negara kedudukan lembaga perwakilan ini


akan selalu berhubungan dengan lembaga lainnya terutama
eksekutif. Hal ini dikarenakan dalam prinsip-prinsip
pemisahan kekusasaan yang pertama kali dikemukakan
oleh John Locke dalam bukunya Two Trieties of
Government, dalam buku tersebut Locke membagi
kekuasaan menjadi tiga cabang kekeuasaan yaitu,
kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif),

4 Lihat bagaimana kontruksi Robert A. Dahl mengkontruksikannya dalam


persepsi demokrasi aktual yang menjelaskan bahwa dalam demokrasi yang
berskala luas diperlukan lembaga-lembaga negara yang dapat menampung hal
tersebut. Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, 2001.
5 Daniele Cramani, Comparative Politics, Oxford University Press, New York,

2008, hlm. 164,

12
kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif), dan
kekuasaan melakukan hubungan internasional dengan
negara lain (federatif). 6 Pemikiran Locke tersebut
dikembangkan lebih lanjut oleh Monsetesquie dalam
bukunya LEsprit des Lois (The Spirit of Law) yang membagi
kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu
kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan
menyelenggarakan undang-undang yang oleh Monstesquie
diutamakan tindakan bidang politik luar negeri (eksekutif),
dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-
undang (yudikatif). Ketiga kekuasaan itu harus terpisah
satu sama lain, baik mengenai tugas maupun perlengkapan
(lembaga) yang menyelenggarakannya.7

Apabila membandingkan konsep pembagian kekuasaan


yang dirumuskan oleh John Locke dengan konsep yang
dikembangkan oleh Montesquie, sebenarnya ada perbedaan
mendasar dari ke dua pemikiran tersebut.Locke
memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan
eksekutif sedangkan Monstesquie sangat menekankan
kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang
pada waktu itu menjadi korban Raja Louis XIV.8 Sementara
pemikiran Locke sangat dipengaruhi praktik ketatanegaraan
Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di
lembaga legislatif, yaitu House Of Lord.9

Pemikiran kedua tokoh ini secara teoritis merupakan


peletak dasar dari kajian tentang hubungan antarcabang
kekusaan yang menghendaki agar fungsi satu cabang
kekuasaan negara tidak dilakukan oleh cabang kekuasaan
yang lain atau dirangkap oleh cabang kekuasaan yang
lain.10

Kritikan terbesar dari konsepsi Trias Politica ini adalah


menyangkut perkembangan politik dan ketatanegaraan

6William Ebenstein. The Great Political Thinkers, Plato To The Present, Third
Edition, Holt, Rinehart and Winston, New York, hlm. 406-409.
7 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, hlm. 152.


8 Ahmad Suhelmi,Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan

Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, PT. Gramedia Pustaka Utama,


2004, hlm. 222.
9Ibid, hlm.201.
10Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi.., op.cit, hlm. 77.

13
sehingga tidak mungkin suatu cabang kekuasaan negara
benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain.
Menyitir pendapat dari John A. Garvey dan T Alexander
Aleinikoff, Saldi Isra 11 mengemukakan bahwa tidak
mungkin pemisahakan kekuasaan negara tersebut
dilakukan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan
negara bukan memisahkannya secara ketat seperti tidak
mempunyai hubungan sama sekali.

Dalam konsep negara demokrasi modern, prinsip-prinsip


dan hubungan kerja antar lembaga negara itu tersusun
dalam konstitusinya. Pergulatan demokratisasi di beberapa
negara kerap melahirkan sejumlah transformasi dari
lembaga-lembaga politiknya, sebagai akibat dari pergulatan
dan proses akhir dari konflik-konflik yang telah tercipta.
Adam Przeworski mengungkapkan bahwa demokrasi adalah
sebuah sistem tertentu pemrosesan dan pengakhiran
konflik-konflik antar-kelompok.12

Konsep pemisahan kekuasaan ini dapat digunakan dalam


konteks sistem politik modern adalah adanya mekanisme
saling kontrol dan mengimbangi antar lembaga
negara.Prinsip ini sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi
dengan mendorong konstitusi untuk mengatur dan
menyeimbangkan lembaga-lembaga negara sesuai dengan
fungsinya.

Legitimasi inilah yang memunculkan kewajiban ganda bagi


lembaga perwakilan, pertama sebagai agen dari
konstituennya dan kedua, secara prinsip melakukan
kontrol terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif). 13

Konsepsi pembagian kekuasaan tersebut apabila dikaitkan


dengan proses yang terjadi di Indonesia maka kelemahan
proses yang terjadi di Indonesia tidak merumuskan
bagaimana lembaga perwakilan di Indonesia itu dibentuk
dan diberdayakan.

11 Ibid.
12 Adam Przeworski, Sejumlah Masalah Dalam Studi Transisi Menuju
Demokrasi, dalam Guilermo O. Donnell (eds), Transisi Menuju Demokrasi,
Tinjauan Berbagai Perspektif terjemahan, LP3ES, 1993, hlm. 89.
13 DanieleCramani, Comparative Politics, Oxford University Press, New York,

2008, hlm. 164,

14
Munculnya DPD dapat dipahami karena adanya perubahan
paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
menuju desentralisasi kekuasaan untuk meningkatkan
peranan daerah terhadap proses perumusan, maupun
penentuan kebijakan nasional.

2. Lembaga Perwakilan

Kontruksi teoritis dari lembaga perwakilan diperlukan


untuk mengkaji dan menganalisa bagaimana desain
lembaga perwakilan di Indonesia pasca amademen UUD
1945. Kontruksi teoritis ini juga akan digunakan dalam
kerangka melihat kedudukan DPD dalam sistem politik
Indonesia.

Dalam literatur ilmu politik, ada berbagai istilah untuk


mengidentifikasi lembaga legislatif.Beberapa negara
mengistilahkan sebagai assembly, conggress atau
parlemen.Istilah-istilah tersebut dapat dipergunakan dalam
kerangka mengidentifikasi peran dan kekuasaan lembaga
legislatif tersebut.

Assembly jika didefinisikan secara luas maka merupakan


sekumpulan orang yang berkelompok untuk mencapai
tujuan tertentu.Assembly biasanya untuk penyebutan
majelis rendah.Seperti yang berlaku di beberapa negara
Afrika yaitu Chad, 14 Mesir, 15 dan Guyana. 16 Sistem dari
negara-negara tersebut, terpengaruh dengan sistem yang
ada di Perancis.17

Parlemen (Parliaments) sering menjadi sebutan yang umum


untuk menggambarkan keseluruhan sistem parlementer
dimana eksekutif termasuk di dalamnya dimana
pemerintah ikut bertanggung jawab atas jalannya
pembuatan undang-undang sepanjang masa jabatannya.18

Tipe Conggress adalah tipe parlemen yang sering


dgunakan dalam konteks sistem presidensiil yang
menggunakan model pemisahan kekuasaan (separation of

14Sebutan untuk Majelis Rendah di Chad adalah National Assembly.


15Sebutan untuk Majelis Rendah di Mesir adalah Peoples Assembly.
16Sebutan untuk Majelis Rendah di Guyana adalah National Assembly.
17 Daniele Caramani, Comparative Politics, Oxford University Press, New York,

2008, hlm. 160-175.


18Ibid, hlm.161.

15
power).Tipe ini sering dipersamakan dengan sistem yang
berlaku di Amerika Serikat.19

Secara umum, meski terdapat empat model yakni


unicameral, bicameral, tricameral dan tetracameral, namun
struktur organisasi lembaga perwakilan rakyat pada
umumnya terdiri dari dua bentuk yaitu lembaga perwakilan
rakyat satu kamar (unicameral) dan lembaga perwakilan
rakyat dua kamar (bicameral). 20 Model trikameral atau
tetrakameral lebih banyak terkait pada masalah penafsiran
bentuk ataupun keterjebakan pada pola representasi.

Praktik unikameral dan bikameral tidak terkait dengan


landasan bernegara, bentuk negara, bentuk pemerintahan,
atau sistem pemerintahan tertentu.Kedua bentuk itu
merupakan hasil proses panjang praktik ketatanegaraan di
berbagai belahan dunia. Penerapan sistem bikameral,
misalnya, dalam praktiknya sangat dipengaruhi oleh tradisi,
kebiasaan, dan sejarah ketatanegaraan negara yang
bersangkutan. 21 Perbedaan latar belakang sejarah atau
tujuan yang hendak dicapai menjadi salah satu faktor
penting yang mempengaruhi sistem perwakilan rakyat pada
suatu negara.

2.1. Sistem Unikameral

Dalam struktur parlemen, tipe unikameral/satu kamar


ini, tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah
seperti adanya DPR dan Senat, ataupun Majelis Tinggi
dan Majelis Rendah. Menurut The International
Parliamentary Union mencatat terdapat 115 negara
menggunakan sistem unikameral.22

Negara-negara yang berukuran kecil lebih menyukai


untuk memilih satu kamar daripada dua kamar,
seperti masalah keseimbangan kekuatan politik adalah
sangat kecil kesulitannya untuk memecahkannya
daripada dalam suatu negara besar. Di negara-negara
kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang

19 Ibid.
20 Amie Kreppel, Legislatures dalam Daniele Caramani (eds), Comparative
Politics, Oxford University Press, New York, 2008, hlm. 170-173.
21 Ibid.
22Muchammad Ali Safaat, op.cit, hlm 30.

16
membawa kepada komplikasi-komplikasi, penundaan-
penundaan dan biaya-biaya, dengan sedikit
kompensasi yang menguntungkan. Selama abad ke-20,
negara-negara Skandinavia mengganti sistem
bikameral dengan unikameral, misalnya ; Konstitusi
Norwegia, pada awalnya disusun pada tahun 1814,
terdapat contoh tentang parlemen yang mempunyai
karakteristik yang jelas dari parlemen dua kamar.
Parlemen-parlemen unikameral mendominasi sejumlah
negara-negara yang memperoleh kemerdekaannya
baru-baru ini, dan dengan perkembangan politik dalam
lingkungan yang sangat berbeda dengan yang ada di
eropa pada saat pemerintahan parlemen dilahirkan.23

Dahlan Thaib menyampaikan bahwa dalam praktek


ketatanegaraan, sistem unikameral ini mempunyai
kelebihan yaitu,24

1) Kemungkinan untuk dengan lebih cepat


meloloskan undang-undang (karena hanya satu
badan yang diperlukan untuk mengadopsi
Rancangan Undang-Undang sehingga tidak perlu
lagi menyesuaikan dengan usulan yang berbeda-
beda);

2) Tanggung Jawab lebih besar (karena anggota


legislatif tidak dapat menyalahkan majelis lainnya
apabila suatu undang-undang tidak lolos atau bila
kepentingan warga negara terabaikan);

3) Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah


bagi mayarakat untuk memantau mereka; dan

4) Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar


pajak.

2.2. Sistem Bikameral

Sistem bikameral adalah wujud institusional dari


lembaga perwakilan atau parlemen sebuah negara
yang terdiri atas dua kamar (majelis).Majelis yang
anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang

23Amie Kreppel, Legislatures, op.cit.


24Muchammad Ali Safaat, op.cit. hlm. 31-32.

17
berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut
majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga
sebagai House of Representatives. Majelis yang
anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain
(bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis
kedua atau majelis tinggi dan di sebagaian besar
negara disebut sebagai Senate.

Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai


penolakan terhadap sistem bikameral, adalah efisiensi
dalam proses legislasi; karena harus melalui dua
kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem
bikameral akan menganggu atau menghambat
kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal
memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat
yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti
tersebut di atas dibanding dengan ongkos yang harus
dibayar dalam bentuk kecepatan proses pembuatan
undang-undang. Maka negara-negara yang menganut
sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah
berupaya untuk mengatasi masalah tersebut, antara
lain dengan membentuk conference committee untuk
menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis
tersebut.

Dua kamar dari legislatif bikameral cenderung berbeda


dalam beberapa cara. Semula, fungsi yang paling
penting dari second chamber/kamar kedua, atau upper
house/majelis tinggi, memilih dengan dasar dari suatu
hak suara yang terbatas, sebagai rem konservatif
terhadap lower house yang dipilih secara lebih
demokratis. Menurut Arend Lijphart ada enam
perbedaan antara kamar pertama dan kamar kedua,
tiga hal yang secara khusus penting dalam
membedakan apakah bikameralisme adalah suatu
institusi yang signifikan.Pertama kita membedakannya
dengan melihat tiga perbedaan yang kurangpenting,
yaitu: pertama, kamar kedua cenderung lebih kecil dari
kamar pertama; kedua, masa jabatan legislatiff kedua
cenderung lebih lama daripada kamar pertama; ketiga,

18
ciri-ciri umum yang lain dari kamar kedua dipilih
dengan cara pemilihan umum bertahap (staggered
election). Ketiga perbedaan inimempengaruhi
bagaimana dua kamar beberapa legislatif bekerja.
Sebagian, kamar kedua yang lebih kecil dapat
mempengaruhi urusan mereka dalam suatu cara yang
lebih formal dan santai daripada yang biasanya
terdapat pada kamar pertama yang lebih besar. Tetapi,
dengan satu pengecualian disebutkan secara ringkas,
mereka tidak mempengaruhi suatu pertanyaan apakah
suatu negara yang mempunyai parlemen bikameral
adalah suatu institusi yang benar-benar kuat atau
berarti.

Antara parlemen bikameral kuat dan lemah Arend


Lijphart membedakan menjadi tiga ciri-ciri: Pertama,
kekuasaan yang diberikan secara formal oleh
konstitusi terhadap kedua kamar tersebut; kedua,
bagaimana metode seleksi mereka, biasanya
memepengaruhi legitimasi demokratis dari kamar-
kamar tersebut; ketiga; perbedaan yang krusial antara
dua kamar dalam legislative bicameral adalah kamar
kedua mungkin dipilih dengan cara atau desain yang
berbeda juga sebagai perwakilan (overrepresent)
minoritas tertentu/khusus.25Jika dalam kasus ini, dua
kamar berbeda dalam komposisi mereka. Dapat
disebut incongruent, contoh yang paling menyolok
adalah paling banyak kamar kedua dipergunakan
sebagai kamar federal pada suatu federasi.

Perbedaan antara bikameral dan unikameral, antara


bikameral simetris dan asimetris, dan antara bikameral
congruent dan incongruent, dikontruksikan oleh Arend
Lijphart dengan suatu klasifikasi struktur kamar.

Ada 4 katagori pokok: strong, mediumstrength, dan


weak bicameralism, dan unicameralism. Strong
bicameralism (bikameralisme kuat) digolongkan

25Lihatlebih lanjut dalam Lijphart, Arend, Democracies Pattern of Majoritarian


and ConsensusGovernment in Twenty-One Countries. New Haven and London:
Yale University Press, 1984.

19
simetris dan incongruence. Pada Medium-strength
bicameralisme, satu dari dua elemen tersebut hilang;
katagori ini dibagi dalam dua subklas apakah ciri-ciri
simetris dan incongruence yang hilang, tetapi keduanya
diperingkatkan sama yaitu peringkat medium-strength
bicameralism. Katagori ketiga adalah weak
bicameralism, yang mana kedua kamarnya asimetris
dan congruent. Dan katagori keempat adalah legilatif
unikameral.

Andrew S Ellis 26 juga membedakan sistem bikameral


sebagai kuat atau lunak oleh digolongkan sebagai
berikut: Dalam sistem yang kuat pembuatan undang-
undang biasanya dimulai dari majelis manapun, dan
harus dipertimbangkan oleh kedua majelis dalam
forum yang sama sebelum bisa disahkan. Dalam
sistem lunak, majelis yang satu memiliki status yang
lebih tinggi dari yang lain. Misalnya, majelis pertama
mungkin dapat mengesampingkan penolakan atau
amandemen RUU yang diajukan oleh majelis kedua.
Hal ini mensyaratkan tingkat dukungan yang lebih
tinggi, seperti mayoritas absolut dari anggota-
anggotanya, atau dua pertiga mayoritas dari anggota
yang hadir dan memberikan. Majelis Kedua, juga bisa
dilarang atau dibatasi secara ketat dalam menolak
atau melakukan amandemen RUU Keuangan (money
bills). Bila majelis kedua merupakan perwakilan dari
daerah-daerah, kekuatan dari majelis kedua bisa saja,
bervariasi tergantung dari apakah RUU yang
diperdebatkan berkaitan langsung dengan daerah-
daerah tersebut. Dan sebuah sesi bersama (joint
session) dari kedua majelis dapat digunakan sebagai
mekanisme untuk menyelesaikan konflik, sehungga
sebagian besar anggota dari majelis kedua memiliki
timbangan/porsi yang lebih besar dalam pengambilan
keputusan akhir. Sistem-sistem bikameral yang ada di
dunia terbagi secara merata antara yang kuat dan

26Ellis,
Andrew S., Lembaga Legislatif Bikameral? Sebuah Agenda dan Beberapa
Pertanyaan, Paper ini dipresentasikan dalam Seminar Bikameralisme dan
Perubahan Konstitusi di Jakarta, 8 Juni 2001.

20
lunak. Banyak sistem yang kuat ditemukan dalam
sistem presidensiil: Tidak ada sistem presidensiil yang
juga memakai sistem bikameral lunak.

B. Kajian terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan


Penyusunan Norma

Kedudukan DPD ini terkait dengan status DPD, status DPD


tersebut terbentuk berdasarkan kewenangan tugas, dan hak-
hak DPD. Kewenangan DPD sebagaimana diatur dalam Pasal
22D UUD 1945 memberikan hak kepada DPD untuk
mengajukan rancangan undang-undang dan ikut membahas
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta pengabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, dan perimbangan keuangan pusat dan
daerah keapda DPR.

Permasalahannya adalah bagaimana cara DPD mengajukan


rancangan undang-undang kepada DPR dan bagaimana
pembahasan rancangan undang-undang itu dilakukan dan
dalam tahapan mana keikutsertaan DPD dalam pembahasan
rancangan undang-undang?

Kewenangan DPD dalam legislasi diatur dalam Pasal 22D ayat


(1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada


Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang ang
berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan


undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubugan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan

21
Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan
undang-undang yang berkaitan pajak, pendidikan, dan
agama.

Pasal 22D ayat (1) diatas memberikan hak kepada DPD untuk
mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah,pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, dan perimbangangn keuangan pusat dan
daerah kepada DPR.

Kewenangan DPD tersebut, memberi kesan DPD memiliki


fungsi legislasi namun keterbatasan peran pengajuan RUU
yang berarti DPD tidak dapat mengajukan rancangan undang-
undang selain yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebut.

Kewenangan diatas dalam kaitan relasi antarlembaga


perwakilan memunculkan pertanyaan mendasar bagaimana
mekanisme kerja DPD dan DPR pada waktu DPD mengajukan
rancangan undang-undang kepada DPR?Bagaimana DPR
menindaklanjuti usulan DPD tersebut?

Sebagai lembaga legislatif kedua keberadaan DPD penting


dalam menjalankan artikulasi kepentingan perwakilan
ruang.Menurut Anthony Mughan dan Samuel C. Patterson
bahwa suatu upper houses (kamar kedua atau majelis tinggi)
dibutuhkan karena suatu alasan dan penerapan sistem dua
kamar menjadi penting penting dalam pemerintahan yang
demokraris. Karena kepentingan lembaga parlemen
bermacam-macam dan secara potensial meliputi alat
pertimbangan, seperti mempengaruhi pada proses legislasi,
dan sebagai simbol untuk mempertinggi legitimasi demokratis
dengan memeriksa gerakan mayoritas dari pemerintahan
berpartai tunggal. Dan juga senat (kamar kedua atau mejelis
tinggi) cenderung mempunyai pengaruh yang penting dalam
mempertajam output dari kebijakan yang dikeluarkan oleh
legislatif.27

27Samuel C. Patterson & Anthony Mughan, Senates: Bicameralism In The


Contemporary World, ; Ohio State University, Ohio,1999, hlm. 342.

22
UUD 1945 juga tidak memberikan wewenang kepada DPD
untuk melakukan tindakan maupun tuntutan tertentu kepada
DPR karena hak veto maupun delay juga tidak dipunyai oleh
DPD sebagaimana praktek di Amerika Serikat maupun di
Inggris.

Problem mendasar tersebut, menyebabkan pada waktu


pembahasan UU MD3, DPD mendesak untuk dilakukan
perubahan mekanisme, paling tidak mekanisme pembahasan
antara DPR dan DPD dapat lebih dirinci.UU MD3 kemudian
merinci mekanisme kerja antara DPR dan DPD dalam kaitan
usul RUU dari DPD.ketika usul RUU dari DPD disampaikan,
maka apa yang selanjutnya dilakukan oleh DPR.

Pasal 146 ayat (1) UU MD3 menegaskan bahwa Rancangan


undang-undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau
naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara
tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR.Ketentuan
dalam UU MD3 lebih maju dibandingkan dengan ketentuan
Pasal 42 UU Susduk.Bila dalam UU Susduk tidak dijelaskan
bagaimana mekanisme penyampaian RUU dari DPD kepada
DPR, UU MD3 merumuskan bagaimana mekanisme
penyampaian RUU dari DPD ini kepada DPR.

Pada Pasal selanjutnya, UU MD3 merumuskan mekanisme


lebih lanjut penanganan RUU dari DPD tersebut oleh
DPR.Ketentuan Pasal 147 UU MD3 ini tidak secara bulat
merumuskan bagaimana konstruksi ruang pembahasan dan
ruang interaksi antara DPR dan DPD.Adanya ketentuan DPR
memutuskan usul RUU dari DPD menandakan bahwa dalam
konteks interaksi atara DPR dan DPD.DPD masih dianggap
sebagai bagian dari DPR. Dengan konstruksi konstitusi yang
menyatakan bahwa seluruh hasil kerja DPD harus ke DPR
menandakan bahwa DPD merupakan bagian DPR sehingga
status RUU-nyapun harus berganti baju menjadi RUU dari
DPR setelah rapat paripurna DPR melakukan persetujuan?

Seharusnya posisi pengajuan RUU DPD kepada DPR dianggap


sebagai bagian dari legislature process, dimana harus ada
mekanisme internal lembaga legislatif dalam merumuskan
RUU bersama sebelum dilakukan pembahasan dengan
Pemerintah.Usulan DPD awal dengan mengetengahkan

23
adanya DIM bersama sebenarnya merupakan solusi efektif
yang dapat dilakukan sehingga tanpa melukai kedudukan dan
kewenangan dua lembaga ini.Mekanisme internal seperti
adanya conference committe ini penting untuk mendudukkan
kewenangan kedua lembaga dalam bidang legislasi.

Meskipun demikian, apa yang telah dirumuskan oleh UU MD3


telah memberikan arah bagi penanganan RUU dari DPD.
perbedaan antara UU Susduk dengan UU MD3 dalam kaitan
rancangan undang-undang dari DPD dapat dilihat dari tabel
dibawah ini.
UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang UU Nomor 27 Tahun 2009
Susunan dan Kedudukan MPR, tentang MPR, DPR,DPD, dan
DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) DPRD (UU MD3)

Pasal 42 Pasal 146

(1) DPD dapat mengajukan (1) Rancangan undang-undang


kepada DPR rancangan beserta penjelasan atau
undang-undang yang keterangan dan/atau naskah
berkaitan dengan otonomi akademik yang berasal dari DPD
daerah, hubungan pusat dan disampaikan secara tertulis oleh
daerah,pembentukan dan pimpinan DPD kepada pimpinan
pemekaran, dan DPR.
penggabungan daerah,
(2) Penyebarluasan rancangan
pengelolaan sumber daya
undang-undang sebagaimana
alam dan sumber daya
dimaksud pada ayat (1)
ekonomi lainnya serta
dilaksanakan oleh Sekretariat
yangberkaitan dengan
Jenderal DPD.
perimbangan keuangan pusat
dan daerah.

(2) DPD mengusulkan


rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada DPR dan DPR
mengundang DPD untuk
membahas sesuai tata tertib
DPR.

(3) Pembahasan rancangan


undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sebelum DPR
membahas rancangan
undang-undang dimaksud
pada ayat (1) dengan
pemerintah.

Pasal 147

(1) Pimpinan DPR setelah


menerima rancangan undang-
undang dari DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 146

24
UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang UU Nomor 27 Tahun 2009
Susunan dan Kedudukan MPR, tentang MPR, DPR,DPD, dan
DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) DPRD (UU MD3)
ayat (1) memberitahukan
adanya usul rancangan
undang-undang tersebut
kepada anggota DPR dan
membagikannya kepada
seluruh anggota DPR dalam
rapat paripurna.

(2) DPR memutuskan usul


rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam rapat paripurna
berikutnya, berupa:

a. persetujuan;
b. persetujuan dengan
pengubahan; atau

c. penolakan.
(3) Dalam hal rapat paripurna
memutuskan memberi
persetujuan terhadap usul
rancangan undang-undang
yang berasal dari DPD
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, rancangan
undang-undang tersebut
menjadi rancangan undang-
undang usul dari DPR.

(4) Dalam hal rapat paripurna


memutuskan memberi
persetujuan dengan
pengubahan terhadap usul
rancangan undang-undang
yang berasal dari DPD
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, rancangan
undang-undang tersebut
menjadi rancangan undang-
undang usul dari DPR dan
untuk selanjutnya DPR
menugaskan penyempurnaan
rancangan undang-undang
tersebut kepada komisi,
gabungan komisi, Badan
Legislasi, atau panitia khusus.

(5) Dalam hal rapat paripurna


memutuskan menolak usul
rancangan undang-undang
yang berasal dari DPD
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c, pimpinan

25
UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang UU Nomor 27 Tahun 2009
Susunan dan Kedudukan MPR, tentang MPR, DPR,DPD, dan
DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) DPRD (UU MD3)
DPR menyampaikan
keputusan mengenai
penolakan tersebut kepada
pimpinan DPD.

(6) Pimpinan DPR menyampaikan


rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) atau rancangan
undang-undang yang telah
disempurnakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) kepada
Presiden dan Pimpinan DPD,
dengan permintaan kepada
Presiden untuk menunjuk
menteri yang akan mewakili
Presiden dalam melakukan
pembahasan rancangan
undang-undang serta kepada
DPD untuk menunjuk alat
kelengkapan DPD yang akan
membahas rancangan undang-
undang tersebut.

(7) Apabila dalam waktu 60


(enam puluh) hari DPD belum
menunjuk alat kelengkapan
DPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), pembahasan
rancangan undang-undang
tetap dilaksanakan.

Pasal 148

Tindak lanjut pembahasan


rancangan undang-undang yang
berasal dari DPR, Presiden, dan
DPD dilakukan melalui 2 (dua)
tingkat pembicaraan.

Sebenarnya posisi RUU dari DPD tidak mengalami perubahan


yang siginifikan dalam UU MD3. RUU dari DPD masih
dianggap sebagai RUU dari DPR, meskipun secara mekanisme
UU MD3 lebih menjelaskan proses penanganan RUU dari DPD
di DPR.

Di dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 255 UU 27/2009


diatur tentang pelaksanaan tugas DPR dalam pembentukan
undang-undang.Rancangan undang-undang dapat berasal
dari DPR, Presiden, atau DPD.Rancangan undang-undang
yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD disertai penjelasan

26
atau keterangan dan/atau naskah akademik.Usul rancangan
undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR, komisi,
gabungan komisi, atau Badan Legislasi. Usul rancangan
undang-undang disampaikan secara tertulis oleh anggota
DPR, pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, atau
pimpinan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR disertai
daftar nama dan tanda tangan pengusul. DPR memutuskan
usul rancangan undang-undang dalam rapat paripurna,
berupa: persetujuan persetujuan dengan pengubahan atau
penolakan. Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR
menugasi komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau
panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan undang-
undang tersebut.

Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR


disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.
Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden
diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.
Rancangan undang-undang beserta penjelasan atau
keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD
disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada
pimpinan DPR.Penyebarluasan rancangan undang-undang
tersebut dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD.

Pimpinan DPR setelah menerima rancangan undang-undang


dari DPD memberitahukan adanya usul rancangan undang-
undang tersebut kepada anggota DPR dan membagikannya
kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna. DPR
memutuskan usul rancangan undang-undang itu dalam rapat
paripurna berikutnya, berupa: persetujuan persetujuan
dengan pengubahan atau penolakan. Dalam hal rapat
paripurna memutuskan memberi persetujuan terhadap usul
rancangan undang-undang yang berasal dari DPD, rancangan
undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang
usul dari DPR. Dalam hal rapat paripurna memutuskan
memberi persetujuan dengan pengubahan terhadap usul
rancangan undang-undang yang berasal dari DPD, rancangan
undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang
usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR menugaskan
penyempurnaan rancangan undang-undang tersebut kepada

27
komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia
khusus.

Dalam hal rapat paripurna memutuskan menolak usul


rancangan undang-undang yang berasal dari DPD, pimpinan
DPR menyampaikan keputusan mengenai penolakan tersebut
kepada pimpinan DPD. Pimpinan DPR menyampaikan
rancangan undang-undang atau rancangan undang-undang
yang telah disempurnakan kepada Presiden dan Pimpinan
DPD, dengan permintaan kepada Presiden untuk menunjuk
menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan
pembahasan rancangan undang-undang serta kepada DPD
untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang akan membahas
rancangan undang-undang tersebut. Apabila dalam waktu 60
(enam puluh) hari DPD belum menunjuk alat kelengkapan
DPD, pembahasan rancangan undang-undang tetap
dilaksanakan.

Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang


berasal dari DPR atau Presiden dilakukan melalui 2 (dua)
tingkat pembicaraan. Dua tingkat pembicaraan sebagaimana
dimaksud adalah:

a. Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi,


rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat
panitia khusus.

b. Tingkat II dalam rapat paripurna.

Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai


berikut:

a. pengantar musyawarah:

1. DPR memberikan penjelasan dan Presiden


menyampaikan pandangan apabila rancangan
undang-undang berasal dari DPR

2. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan


DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan
kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 huruf e UU 27/2009 berasal dari DPR

28
3. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi
memberikan pandangan apabila rancangan
undang-undang berasal dari Presiden atau

4. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan


DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan
kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 huruf e UU 27/2009 berasal dari Presiden.

b. pembahasan daftar inventarisasi masalah:

1. Presiden, apabila rancangan undang-undang


berasal dari DPR.

2. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal


dari Presiden.

c. penyampaian pendapat mini yang disampaikan pada


akhir Pembicaraan Tingkat I oleh:

1. fraksi

2. DPD, apabila rancangan undang-undang berkaitan


dengan kewenangan DPD dan

3. Presiden.

Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan, dan/atau


pendapat mini, Pembicaraan Tingkat I tetap dilaksanakan.
Dalam Pembicaraan Tingkat I dapat diundang pimpinan
lembaga negara atau lembaga lain apabila materi rancangan
undang-undang berkaitan dengan lembaga negara atau
lembaga lain.

Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan


dalam rapat paripurna dengan kegiatan:

a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini


fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat
I;

b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap


fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh
pimpinan rapat paripurna; dan

c. pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri


yang mewakilinya.

29
Dalam hal persetujuan tersebut tidak dapat dicapai secara
musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan
dilakukan berdasarkan suara terbanyak.Apabila rancangan
undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Pasal 147 UU MD3 menegaskan jika RUU usulan DPD


diterima atau disetujui DPR selanjutnya RUU tersebut
menjadi RUU dari DPR. Dalam pembahasan anara DPR dan
pemerintah berbagai macam hal bisa terjadi terhadap RUU
tersebut jika ada titik temu antara DPR dan pemerintah sama
dengan konsepsi awal DPD, maka secara substansi RUU
sesuai dengan keinginan DPD yang notabene adalah
keinginan daerah. Namun jika tidak sesuai maka kepentingan
daerah menjadi tereliminir dalam hal ini.Apalagi jika RUU
tersebut ditolak oleh DPR, hal ini berati RUU usulan DPD
menjadi kandas. Dengan demikkian, kepentingan dan aspirasi
daerah yang diatur oleh RUU usulan DPD tersebut menjadi
diabaikan dalam legislasi, sehingga kepentingnan daerah
menjadi tersisihkan dalam proses politik. Dengan demikian,
keputusan akhir yang menentukan asib RUU yang diajukan
DPD yang sekaligus menentukan kepentingan-kepentingan
daerah yang hendak diatur dalam RUU tersebut ada di tangan
DPR.Kontruksi ini selain melemahkan DPD juga
memperuncing konflik antara DPR dan DPD.

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang


Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi

Akar masalah DPD selama ini adalah kewenangannya yang


lemah sebagai sebuah lembaga representasi
rakyat.Permasalahan menjadi kompleks karena Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)
memberikan kewenangan yang terbatas kepada DPD sehingga
DPD tidak dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga
perwakilan secara maksimal. Tidak mengherankan, bila bicara
tentang relasi DPR dan DPD, tidak akan lepas dari
permasalahan kewenangan DPD yang lemah dibandingkan
DPR.

30
Seperti tahun-tahun sebelumnya, relasi DPD-DPR dipenuhi
dengan upaya-upaya DPD yang konsisten meningkatkan
kewenangan dan posisi tawarnya terhadap DPR.Bahkan, pada
2009, dapat dikatakan sebagai titik eskalasi usaha-usaha itu.
Alasannya adalah terdapat momen-momen politik yang
penting, utamanya perubahan aturan main dalam
berdemokrasi melalui proses legislasi paket undang-undang
politik.

Ketika usaha amandemen UUD 1945 tidak berhasil


dilakukan, DPD tetap memanfaatkan segala peluang yang ada
untuk menaikkan posisi tawarnya terhadap DPR sebagai
lembaga representasi.Usaha itu membuahkan hasil, meski
masih jauh dari yang diharapkan. DPD diberi kewenangan
dan peran yang lebih besar dalam proses pembahasan
undang-undang di tingkat satu. Lalu, anggota DPD mendapat
kesempatan yang setara dengan anggota DPR untuk menjabat
sebagai pimpinan MPR.Kemudian, keberhasilan usaha DPD
untuk memperoleh eksistensi dan usahanya dalam sebuah
naskah undang-undang.

Selain itu,DPD juga menjalin hubungan yang positif dengan


pemerintah dan menunjukkan kinerja dan prestasi yang
baik.Namun, poin-poin positif tersebut tidak mampu
menguatkan posisi DPD secara untuk 2
substansial
5
menjalankan fungsinya sebagai lembaga perwakilan. Upaya
penguatan itu berusaha dilakukan di UU MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU MD3) dengan melibatkan DPD dalam proses
pembahasan di DPR. Akan tetapi, penguatan yang dilakukan
belum cukup. Peran DPD masih dipinggirkan dalam proses
legislasi. Meski DPD diberi ruang untuk berpartisipasi,
posisinya masih belum diperhitungkan dalam pengambilan
kebijakan.

UU MD3yang sebelumnya diberi nama UU Susdukmengatur


perubahanaturan main dalam parlemen yang salah satunya
adalah menguatkan fungsi DPD. Dalam bidang legislasi, DPD
diberi kesempatan menyampaikan pandangan awal dan akhir
di Pembicaraan Tingkat I serta Pembicaraan Tingkat II. Dari
segi penguatan kelembagaan, lebih maju dari UU Susduk,
Pasal 234 UU MD3 mengatur alat kelengkapan DPD sesuai

31
Peraturan Tata Tertib DPD yang terdiri dari pimpinan, Panitia
Musyawarah (Panmus), Pantia Kerja (Panker), Panitia
Perancang Undang-undang (PPUU), Panitia Urusan Rumah
Tangga (PURT), Badan Kehormatan (BK), dan alat kelengkapan
lain yang diperlukan dan dibentuk Sidang Paripurna DPD.

UU MD3 mengatur bagaimana Sidang Paripurna DPR


memperlakukan usul RUU yang berasal dari DPD, yaitu
berupa persetujuan, persetujuan dengan pengubahan, atau
penolakan. Mekanisme itu sama bila RUU itu diajukan oleh
anggota, komisi, gabungan komisi, atau Baleg DPR.
Masalahnya adalah jika Rapat Paripurna DPR memutuskan
memberi persetujuan terhadap usul RUU yang berasal dari
DPD, usulan DPD tadi bertransformasi menjadi RUU usul
DPR. Jika keputusan Rapat Paripurna persetujuan dengan
pengubahan, RUU usulan DPD itu juga bertransformasi
menjadi RUU usulan DPR yang selanjutnya disempurnakan
komisi, gabungan komisi, Baleg, atau Pansus DPR.

Lebih lanjut, Pasal 144 UU MD3 juga mengatur perlakuan


yang berbeda antara RUU usulan DPD dan RUU usulan
presiden. Dalam hal itu, DPD mempertanyakan keseimbangan
implementasi Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 22 D ayat
(1) UUD 1945 dalam pengajuan RUU usulan DPD dan
presiden yang sama-sama disampaikan kepada DPR.

Selain itu, meskipun DPD dilibatkan dalam pembahasan,


tetapi tidak disertakan dalam pembahasan Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM) dalam Pembicaraan Tingkat I.
Dengan demikian, dapat dikatakan penguatan DPD dalam UU
MD3 masih berupa pernyataan politik semu yang tidak diikuti
dengan ketentuan yang secara nyata mampu memberdayakan
dan memperbesar peran DPD sebagai lembaga perwakilan.

Sebenarnya, DPD telah memberikan alternatif jalan keluar


2
terbatasnya ruang penguatan DPD karena aturan UUD
7
1945.UU MD3 seharusnya dapat merinci rumusan fungsi,
tugas, dan wewenang DPD di bidang legislasi, anggaran, serta
pengawasan atas pelaksanaannya, meskipun
terbatas.Alternatifnya, DPD diposisikan sebagai bagian alat
kelengkapan DPRseperti komisi atau kepanjangan tangan
partai seperti fraksi.

32
Masalah lain dalam UU MD3 adalah persidangan dan
pengambilan keputusan. Pasal 227 ayat (4) UU MD3
menyatakan anggota DPD dalam menjalankan perannya
berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di
ibukota provinsi daerah pemilihannya.

Pasal 268 ayat (4) menyatakan kegiatan DPD meliputi sidang


di ibukota negara serta rapat di daerah dan tempat lain sesuai
dengan penugasan DPD. Dua pasal itu tentunya akan
berdampak pada persoalan mekanisme kerja DPD, terutama
mengenai pembentukan kantor-kantor di daerah pemilihan
anggota DPD, alur kerja, pelaporan, dan lainnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 92/PUU-
X/2012 mengembalikan kewenangan legislasi DPD
sebagaimana amanat UUD 1945.

Dalam hal keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas


yang berkaitan dengan tugas dan wewenang DPD, MK menilai
bahwa UU P3 yang selama ini tidak melibatkan DPD dalam
penyusunan Prolegnas adalah mereduksi kewenangan DPD
yang ditentukan oleh UUD 1945. Keikutsertaan dan
keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas merupakan
konsekuensi dari norma Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945
yangmenyatakan, Dewan Perwakilan Daerah dapat
mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan


program pembentukan undang-undang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk
mengajukan RUU yang dimiliki DPD.

Berdasarkan Putusan MK tersebut, telah ditetapkan


mekanisme baru dalam penyusunan Prolegnas yaitu
dilakukan bersama tiga lembaga yaitu DPR, Presiden, dan
DPD (tripartit). Dalam mekanisme ini, pembahasan Prolegnas
di internal DPR diselesaikan terlebih dahulu oleh fraksi-fraksi
dan komisi DPR.

33
Pembahasan Prolegnas pasca putusan MK apabila dijabarkan
dalam bagan sebagai berikut:

Sementara dalam konsep mengajukan RUU, menurut MK,


kata dapat dalam Pasal 22D ayat (1) UUD1945 tersebut
merupakan pilihan subjektif DPD untuk mengajukan atau
tidak mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata dapat
tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau
kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak
dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.

MK menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU


usul DPD, kemudian dibahas oleh BalegDPR, dan menjadi
RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan
DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam
Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini MK berpendapat
bahwa DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama

34
dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang
berkaitan dengan tugas dan wewenang DPD. Berdasarkan hal
tersebut MK memutuskan:

a. DPD dapat mengajukan RUU sesuai dengan bidang tugas


[Pasal 22D ayat (1) UUD 1945].
b. RUU yang diajukan DPD tidak berubah menjadi usul RUU
DPR.
c. DPD dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas.

Pola pengajuan RUU dari DPD sebagaimana putusan MK


dapat digambarkan seperti bagan dibawah ini:

Dalam kerangka keikutsertaan DPD dalam pembahasan


RUU dari Presiden atau RUU dari DPR, kewenangan
DPDuntuk membahas RUU telah diatur dengan tegas dalam
Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Dewan
Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran,
dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan

35
belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama.

Berdasarkan ketentuan tersebut, DPD sebagai lembaga negara


mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan
DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang dengan
daerah. Penggunaan frasa ikut membahas dalam Pasal 22D
ayat (2) UUD 1945 karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 telah
menentukan secara tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh
DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.Penggunaan frasa ikut membahas adalah wajar
karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disahkan pada Perubahan
Pertama UUD 1945 pada tahun 1999, sedangkan Pasal 22D
UUD 1945 disahkan pada Perubahan Ketiga UUD 1945 pada
tahun 2001. Hal itu berarti bahwa, ikut membahas harus
dimaknai DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah; hubungan pusatdan daerah;
pembentukan,pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah,
bersama DPR dan Presiden.

Dalam proses pembahasan sebuah RUU, RUU dari DPD harus


diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.
Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan
memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD
memberikan pandangan.Begitu pula terhadap RUU dari DPR,
DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan,
sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan.Dengan
demikian, pembahasan RUU yang terkait dengan bidang tugas
DPD harus melibatkan DPR, DPD, dan Presiden secara
kelembagaan sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh
komisi atau panitia khusus DPR sampai dengan DPD
menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam
rapat paripurna DPR sebelum tahap persetujuan.

Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD


sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau
panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar
musyawarah, mengajukan, dan membahas DIM serta
menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam

36
pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan
pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna
DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.

MK memutuskan bahwa dalam pembahasan RUU harus


melibatkan DPD:

a. Pembahasan Tingkat I:
DPD ikut serta sejak awal sampai dengan akhir
pembahasan Tingkat I, pada rapat-rapat komisi atau
panitia khusus DPR, yaitu dimulai dengan penyampaian
pengantar musyawarah/ penjelasan/pandangan,
mengajukan dan membahas DIM, serta menyampaikan
pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di
Tingkat I;

Dalam hal penyampaian penjelasan/pandangan dalam


pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan
RUU dari Presiden dan DPR:

a) Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan


kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan
DPD memberikan pandangan.
b) Terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan
memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD
memberikan pandangan.
c) Terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan
memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden
memberikan pandangan.
d) DIM diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam
hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR,
bukan DIM diajukan oleh fraksi.
e) DPR dalam pembahasan DIM hanya diwakili oleh alat
kelengkapan DPR sebagai satu kesatuan kelembagaan.

Berdasarkan Putusan MK tersebut, telah terbentuk


mekanisme legislasi baru dalam penyusunan dan
pembahasan RUU yang dilakukan oleh tiga lembaga yaitu
DPR, Presiden, dan DPD (tripartit). Dalam mekanisme ini
pembahasan RUU secara internal diselesaikan di masing-
masing lembaga sehingga pada saat pembahasan tripartit,

37
DPD dan Presiden tidak melakukan pembahasan dengan
fraksi-fraksi DPR.

Dalam pembahasan Tingkat I pada saat penyampaian


Pengantar Musyawarah, DPD, DPR, dan Presiden dapat
menolak RUU di luar Prolegnas sehingga pembahasan RUU
tidak dapat dilanjutkan serta tidak dapat diajukan kembali
dalam tahun sidang yang sama.

b. Pembahasan Tingkat II:


Pada Pembahasan Tingkat II, DPD menyampaikan
pendapat akhir dalam pembahasan pada rapat paripurna
DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.

Proses pengajuan dan pembahasan RUU dari DPR pasca


putusan MK dapat digambarkan sebagai berikut:

Konsekuensi dari konstruksi UUD 1945 mengenai


pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam
hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara,
sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara,
dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR,
bukan DIM diajukan oleh fraksi. Walaupun demikian, MK

38
dapat memahami sebagaimana dituangkan dalam putusannya
bahwa mekanisme pembahasan RUU dengan membahas DIM
yang diajukan oleh fraksi adalah praktik pembahasan RUU
sebelum perubahan UUD 1945.Selanjutnya pembahasan pada
tingkat Alat Kelengkapan DPR yang sudah mengundang
Presiden dan/atau sudah mengundang DPD, maka DPR
dalam pembahasan DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan
DPR sebagai satu kesatuan kelembagaan.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM BARU

D.1. Hubungan dengan DPR

Terkait hubungan DPD dan DPR untuk efetifitas


hubungan kerja perlu ada beberapa perubahan penting
yang terkait dengan hal tersebut, seperti:

a. Penyusunan Prolegnas

Ketentuan Pasal 224 ayat (1) huruf i UU MD3


menyatakan bahwa DPD ikut serta dalam penyusunan
Prolegnas.Keikutsertaan DPD ini masih belum
maksimal karena dianggap sebagai salah satu bagian
dari alat kelengkapan DPR. Oleh karena itu untuk
rumusan Pasal 224 ayat (1) hurufi tersebut kami
usulkan untuk diubah sebagai berikut:
UU MD3 Usul Perubahan
Pasal 224 ayat (1) huruf i Pasal 224 ayat (1) huruf i
ikut serta dalam penyusunan Ikut menyusun dan
program legislasi nasional yang membahas program legislasi
berkaitan dengan otonomi nasional yang berkaitan
daerah, hubungan pusat dan dengan otonomi daerah,
daerah, pembentukan dan hubungan pusat dan daerah,
pemekaran serta penggabungan pembentukan dan
daerah, pengelolaan sumber daya pemekaran serta
alam dan sumber daya ekonomi penggabungan daerah,
lainnya, serta yang berkaitan pengelolaan sumber daya
dengan perimbangan keuangan alam dan sumber daya
pusat dan daerah. ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan
perimbangan keuangan
pusat dan daerah.

39
b. Tindak lanjut RUU dari DPD

Meskipun dalam ketentuan Pasal 142 ayat (1) UU MD3


merumuskan ketentuan bahwa RUU dapat berasal dari
DPR, Pemerintah, atau DPD namun sampai saat ini
RUU dari DPD tidak jelas nasibnya. Periode 2004-
2009, DPD menyampaikan sebanyak 20 RUU kepada
DPR, sedangkan sampai pada akhir tahun 2010 ada 3
RUU dan tidak ada satupun dari RUU tersebut yang
ditindaklanjuti oleh DPR sesuai dengan ketentuan
UUD 1945 maupun UU Susduk (waktu itu). Kendala
utamanya adalah mekanisme kerja antara DPR dan
DPD yang belum selesai, karena banyaknya materi
muatan dalam UU Susduk yang dilimpahkan kepada
tata tertib DPR.Padahal, Pasal 134 ayat (2) Tata Tertib
DPR (2004-2009) mengamanatkan kepada Pimpinan
DPR untuk menyampaikan kepada rapat paripurna
setalah rancangan undang-undang dari DPD
diterima.Padahal dalam mekanisme internal DPR,
setelah penyampaian RUU oleh Pimpinan DPR dalam
rapat paripurna, Badan Musyawah seharusnya
menjadwalkannya untuk dilakukan pembahasan oleh
alat kelengkapan DPR.Namun tidak ada tindak lanjut
terhadap hal itu, demikian juga pertanggungjawaban
kepada publik terhadap hal tersebut.Bicara tentang
efektifitas, tentu tidak efektif karena RUU dari DPD
juga mempergunakan mekanisme yang panjang
melalui sejumlah kajian dan aspirasi dari masyarakat
dan daerah, jika tidak ada tindak lanjutnya bagaimana
dengan pertanggungjawaban DPD kepada daerah?
Dalam kerangka tindak lanjut RUU dari DPD kepada
DPR, ketua DPD waktu itu (periode 2004-2009)
Ginandjar Kartasasmita dalam pidato Sidang
Paripurna Khusus, 19 Desember 2009 mengemukakan
Demikian pula dalam bidang legislasi. Misalnya, RUU-
RUU inisiatif DPD tidak ada yang jelas
kelanjutannya.Kami tidak bermaksud menyampaikan
hal itu dalam forum ini sebagai wujud sengketa
antarlembaga negara, atau untuk menutupi
kekuarangan DPD, karena sebagai lembaga negara

40
baru kami sendiri mengakui masih banyak
kelemahan.

Oleh karena sandarannya ada pada ketentuan Pasal 20


ayat (1) sampai aya (5) UUD 1945, maka dalam UU
MD3-pun RUU dari DPD akhirnya berganti baju
menjadi RUU dari DPR.Jika dicermati 147 UU MD3,
jelas melanggar hak-hak DPD secara konstitusional
karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22D ayat
(1) UUD 1945.

c. Keikutsertaan DPD dalam Pembahasan RUU

Ketentuan Pasal 149 UU MD3 menyebutkan bahwa


dalam rangka pembahasan RUU dilakukan dengan 2
tahapan, yaitu tahap pembahasan tingkat I yang terdiri
atas:
a. Pengantar musyawarah;
b. Pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
c. Penyampaian pendapat mini.

Keterlibatan DPD menurut ketentuan Pasal 150 UU


MD3 dalam pembahasan tingkat I ini adalah
menyampaikan pandangan dan menyampaikan
pendapat mini pada akhir pembahasan tingkat I.
Berbicara aturan, tentunya ketentuan UU MD3 diatas
telah membuka kesempatan kepada DPD untuk lebih
terlibat dalam proses pembahasan. Dalam prakteknya
ketentuan Pasal 149 dan ketentuan Pasal 150 UU MD3
ini tidak pernah dilaksanakan oleh DPR.

Dalam prakteknya, acara pemberian pendapat DPD


masih seperti sambutan dan pesan-pesan yang
disampaikan DPD menjelang dimulainya
pembahasan suatu rancangan undang-undang. Lebih
buruk lagi, ternyata peran DPD dalam proses
pembahasan undang-undang di DPR dimulai dan
berakhir di forum pemberian pendapat tersebut. Tidak
ada yang dapat mengontrol atau mengawal sejauh mana
pendapat DPD tersebut dipakai dalam pembahasan
lebih lanjut suatu RUU yang terkait fungsi-fungsi DPD.

41
Beberapa RUU yang pada tahun 2010 disahkan oleh
DPR seperti UU tentang Hortikultura, UU tentang
Gerakan Pramuka, dan Cagar Budaya tidak
memberikan kesempatan kepada DPD untuk terlibat
lebih jauh. Apabila mengacu kepada UUD 1945 ketiga
UU ini cacat materiil dalam pembahasannya karena
tidak melibatkan DPD.

Jika berbicara efektifitas maka harus dikembalikan


kepada makna dasar pembentukan DPD ini yaitu
memberikan kesempatan kepada aspirasi daerah
dalam tataran pengambilan kebijakan di tingkat
nasional. Apabila belum terakmodasi dalam proses
politik di DPR, pertanyaannya diletakkan dimana
aspirasi daerah itu, pada kondisi pasca reformasi yang
menjunjung demokrasi dan desentralisasi?

Pada umumnya disepakati bahwa keberadaan kamar


kedua dalam parlemen secara prinsip ingin
mengaokomodasi dua alasan penting yaitu: Pertama,
untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan
dan keseimbangan (checks and balances) serta untuk
pembahasan sekali lagi (second review) dalam bidang
legislatif. Kedua, untuk membentuk perwakilan yang
menampung kepentingan tertentu yang biasanya
tidak cukup terwakili oleh majelis pertama atau
memperkuat mekanisme perwakilan dengan
beragam pemilih.Dalam konteks legislasi, urgensi
yang pertama mengandung makna bahwa setiap
produk legislatif harus dikeluarkan setelah terlebih
dahulu melaui sebuah mekanisme yang cermat, teliti
dan tidak tergesa-gesa.Kamar kedua berperan sebagai
tempat pembahasan tambahan dan kontrol (checks and
balances) untuk memastikan kualitas produk
parlemen.Pembahasan tambahan (second review) dan
saling kontrol (check and balances) dalam setiap produk
legislasi parlemen sangat penting karena hasil legislasi
parlemen bersifat umum, abstrak dan terus menerus
(dauerhaftig) yaitu mengikat rakyat secara
keseluruhan, mengikat perilaku secara luas dan

42
berlaku terus menerus.Dengan demikian, dampak
dari suatu putusan parlemen memang sangat
besar.Apalagi, bagi rakyat tidak ada pilihan kecuali
melaksanakan putusan parlemen
tersebut.Ketidakmengertian rakyat terhadap produk
yang dibuat legislatif tidak membuat rakyat dapat
terbebas untuk melaksanakannya.

Urgensi yang kedua bermakna bahwa setiap


pengambilan putusan legislasi harus memiliki
mekanisme penyerapan aspirasi yang
memadai.Keberadaan perwakilan daerah (regional
representation) membawa pesan bahwa kepentingan
daerah harus menjadi pertimbangan signifikan dalam
pengambilan putusan di tingkat pusat.Oleh karena itu
mekanismekomunikasi dan penyerapan aspirasi
parlemen terhadap kepentingan daerah seharusnya
menjadi lebih kuat dengan keberadaan DPD sebagai
kamar kedua yang mewakili daerah.

Jika kedua urgensi kamar kedua, seperti disebut di


atas, efektif dapat berlaku dalam parlemen Indonesia
saat ini maka konsekuensi keberadaan DPD seharusnya
berdampak pada meningkatnya kualitas hasil proses
legislasi dan semakin terakomodasinya kepentingan
daerah dalam setiap produk legislasi di tingkat pusat.
Namun, ironisnya, keberadaan DPD nampak tidak akan
ada hubungannya dengan hasil produk legislasi karena
sejauh ini semua peraturan yang mengatur keterlibatan
DPD dalam proses legislasi, mulai dari konstitusi
hingga peraturan tata tertib DPR, hanya memberikan
porsi yang sangat minim bagi DPD untuk
berkontribusi. Artinya, jikapun terjadi peningkatan
kualitas produk legislasi dan semakin
terakomodasinya kepentingan daerah dalam produk
legislasi tidak dapat dihubungkan dengan keberadaan
DPD.

d. Pertimbangan DPD

UU MD3 mangatur pertimbangan DPD dalam dua


substansi.Pertama, pertimbangan terhadap RUU yang

43
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama serta
prtimbangan terhadap RUU APBN.Kedua,
pertimbangan atas calon anggota BPK.

Untuk pertimbangan ini, perlu ada mekanisme lebih


lanjut agar pertimbangan DPD ini diperhatikan.
Pasal 256 Pasal 256
DPD memberikan pertimbangan DPD memberikan
terhadap rancangan undang- pertimbangan terhadap
undang sebagaimana dimaksud rancangan undang-undang
dalam Pasal 224 ayat (1) huruf sebagaimana dimaksud dalam
d kepada pimpinan DPR. Pasal 224 ayat (1) huruf d
kepada DPR dalam Sidang
Paripurna DPR.
Pasal 258
(1) DPD memberikan Tetap.
pertimbangan kepada DPR
mengenai calon anggota
BPK.
(2) Pertimbangan Tetap.
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diputuskan
dalam sidang paripurna
DPD.
(3) Pertimbangan Tetap.
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan
secara tertulis oleh
pimpinan DPD kepada
pimpinan DPR paling
lambat 3 (tiga) hari
sebelum pelaksanaan
pemilihan anggota BPK.
(4) Dalam pemberian (4) Pemberian pertimbangan
pertimbangan DPD sebagaimana
sebagaimana dimaksud dimaksud pada ayat (3)
pada ayat (1), ayat (2), dan disampaikan DPD dalam
ayat (3) berlaku ketentuan Rapat Paripurna DPR
Pasal 171. yang khusus dilakukan
untuk itu.
(5) Ketentuan lebih lanjut Tetap.
mengenai pemberian
pertimbangan diatur
dengan peraturan DPD
tentang tata tertib.

e. Pengawasan DPD

Untuk memperkuat fungsi pengawasan DPD, maka


perlu ada pengaturan lain tentang pengunaan hak DPD

44
dan adanya mekanisme tindak lanjut hasil pengawasan
DPD yang telah disampaikan kepada DPR.

Penggunaan hak sandera perlu diberlakukan untuk


memperkuat fungsi pengawasan DPD.
Pasal 259
(1) DPD menyampaikan hasil Tetap.
pengawasan atas
pelaksanaan undang-
undang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224
ayat (1) huruf f kepada DPR
sebagai bahan
pertimbangan.
(2)hasil pengawasan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan
DPD kepada DPR untuk
ditindaklanjuti.
(2) Hasil pengawasan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diputuskan
dalam sidang paripurna
DPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai penyampaian
hasil pengawasan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan
peraturan DPD tentang tata
tertib.
Tambahan pasal
(1) DPD dapat meminta
keterangan kepada
pejabat negara,pejabat
pemerintah pusat,
pejabat pemerinah
daerah, badan hukum
atau warga masyarakat
dalam pelaksanaan tugas
dan wewenangnya.
(2) Setiap pejabat negara,
pejabat pemerintah
daerah, badan hukum
atau warga masyarakat
dalam pelaksanaan tugas
dan wewenangnya.
(3) Setiap pejabat negaa,
pejabat pemerintah,
badan ukum, atau warga
masyarakat wajib
memenuhi permintaan
DPD sebagaimana

45
dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal panggilan
paksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3)
tidak memenuhi tanpa
alasan yang sah, yang
bersangkutan dapat
disandera paling lama 15
(lima) belas hari sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan.

D.2. Kedudukan DPD sebagai Lembaga Perwakilan Daerah

Menurut Pasal 22D UUD 1945, fungsi dan kedudukan


DPD diantaranya mengajukan RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah,
pemekaran daerah dan masalah yang berkaitan dengan
sumber alam daerah.

Selanjutnya juga dinormakan bahwa DPD memiliki peran


untuk mem bahas bersama-sama DPR rancangan
undang-undang. Peluang-peluang konstitusional tersebut
merupakan peran strategis yang dapat dilakukan DPD
dalam proses politik nasional sebagai wujud intermediate
power yang mengemban amanat suara pemilih. Namun
dalam imple mentasinya, muncul sejumlah kekecewaan
dari kalangan anggota DPD mengingat peran
konstitusional yang strategis di atas belum dapat
diwujudkan sebagai bentuk kekuatan politik nyata
DPD.Anggota DPD menilai kedudukan DPD secara politik
riil di bawah DPR.DPR merasa lebih dominan dan
superior dibanding dengan posisi DPD.

Dalam proses politik riil, seperti pembahasan RUU di


DPR, dirasakan peran DPD kurang maksimal atau
acapkali tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU
bersama DPR. Terdapat situasi politik, DPR tak harus
wajib mengundang atau mengajak DPD untuk
melakukan pembahasan suatu rancangan undang-
undang.Peran-peran konstitusional DPD dilihat hanya
pada aspek konsultatif dengan DPR namun tidak harus
mengikat secara politik. Dalam Undang -Undang No 22
tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,

46
DPD dan DPRD, Pasal 44 dan Pasal 45, fungsi dan tugas
DPD nampak lebih sebagai lembaga konsultatif yang
hanya memberikan sekedar pertimbangan dan
pengusulan kepada DPR. Posisi demikian hanya memberi
suatu legitimasi bahwa peran politik DPD memang tidak
sejajar dengan DPR. Perdebatan politik lantas berlanjut
menuju perdebatan konstitusio-nal bahwa terdapat
kesalahan substansi dalam amandemen undang-undang
dasar sehingga mendesak diadakan amandemen UUD
1945 kelima guna mengembalikan naskah UUD 1945 ke
naskah sebelum diadakan amandemen pertama sampai
ke empat. Termasuk di dalam konteks perdebatan
tersebut adalah keinginan sejumlah anggota DPD untuk
mengajukan usul amandemen Pasal 22C UUD 1945 hasil
amandemen keempat ya ng menyangkut fungsi dan
kedudukan DPD yang dianggap telah mengeliminasi
peran strategik DPD sebagai mitra politik sejajar dengan
DPR.

Sebetulnya, peluang untuk memaksimalkan fungsi dan


peran politik DPD terletak pada pengembangan kerangka
kerja DPD dalam memfasilitasi aspek-aspek pelaksanaan
undang-undang otonomi daerah yang mampu membawa
perbaikkan kondisi daerah.Misalnya, memperjuangkan
masalah anggaran, DAU daerah, pemekaran daerah dan
maksimalisasi hubungan pusat dan daerah.Namun
dengan realitas politik bahwa anggota DPD bukanlah
orang partai dan tidak memiliki ikatan/basis konstituen
yang jelas sebagaimana anggota DPR yang mewakili
daerah pemilihannya, anggota DPD menghadapi kendala
dalam membentuk kepercayaan politik dengan daerah
yang menjadi wilayah yang diwakilinya.DPRD dan
kalangan politisi partai belum tentu mau menerima ide-
ide anggota DPD yang mewakili daerah tertentu.

Dalam realitas politiknya, yang bermain adalah kepen -


tingan partai atau elite yang memiliki jalinan dengan
partai politik. Investasi politik jangka panjang akan lebih
menjanjikan jika seseorang berkawan baik dengan partai

47
dari pada dengan anggota DPD yang basis politiknya
tidak mengakar.

DPD harus diadvokasi dan diberdayakan di dalam


tubuh parlemen.Pada awal pembentukannya, DPD
dirancang agar daerah tidak hanya terwakili oleh lembaga
yang mengelola kepentingan daerah di tingkat pusat,
tetapi lebih dari itu, untuk meningkatkan peran daerah
dalam penyelenggaraan negara.Peran politik DPD harus
lebih diorientasikan untuk melibatkan suara dan
kepentingan daerah dalam menentukan politik dan
pengelolaan negara.Karenanya, keberadaan DPD saat ini
harus dimampukan sehingga bisa berperan sebagaimana
rancangan ideal pada awalnya.Tumpulnya fungsi dan
wewenang DPD hari ini sesungguhnya merupakan
sebuah realitas politik yang terjadi di dalam tubuh
parlemen sendiri. Justru karena persoalan tersebut
bermula dari hal ihwal politik, maka harus ada advokasi
dari semua komponen untuk menghentikan pengebirian
terhadap fungsi dan kewenangan DPD dan mewacanakan
kepada publik bahwa realitas politik ini jangan sampai
dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan taken for
granted.

Advokasi ini juga harus pada level aksi mendorong secara


kuat terjadinya perubahan di level perundangan yang
mengatur fungsi dan kewenangan DPD dalam kerangka
penguatan DPD RI. DPD RI yang kokoh akan berarti
memperkuat legitimasi lembaga perwakilan di hdapan
publik.

Memperkuat DPD adalah pilihan paling masuk akal,


bahkan suatu kelaziman agar lembaga perwakilan kita
bisa sesuai dengan napas dan gerak demokrasi di negeri
ini.Setidaknya ada beberapa alasan mengapa DPD harus
diperkuat.Pertama, persoalan fundamental dalam
berbangsa dan bernegara, integrasi bangsa.Hampir
semua negara yang memiliki wilayah begitu luas, dengan
jumlah penduduk besar, serta di dalamnya terdapat
dinamika dari aneka suku dan agama, lembaga
perwakilannya menganut sistem dua kamar.Apakah

48
Negara tersebut bentuk kesatuan atau federal, dengan
sistem pemerintahan presidensial atau parlementer, itu
bukan soal utama.Bikameralisme tidak melulu dipakai
oleh negara berbentuk federal, tetapi negara kesatuan
yang menerapkan desentralisasi, seperti Indonesia, juga
sangat penting menerapkannya.Bikameralisme harus
dimaknai sebagai instrumen untuk memperkuat
kesatuan negara.

Alasan inilah yang harus pertama kali dikemukakan


ketika memperkuat lembaga DPD.Daerah-daerah harus
diberi ruang gerak yang lebih luas untuk terlibat dalam
penyelenggaraan pemerintah.Dan ini berarti para
senatornya harus dimampukan secara politik untuk
bisa berperan lebih dari sekedar umbul-umbul politik di
senayan.

Alasan selanjutnya adalah mempertegas bangunan


sistem perwakilan Indonesia.Keberadaan DPR dan DPD
secara formal memperlihatkan bahwa lembaga
perwakilan menganut sistem bikameral.Namun,
keberadaan MPR yang secara struktural organisasional
memayungi kedua lembaga tersebut menjadikan lembaga
parlemen terlihat berbentuk trikameral.Celakanya,
dengan peran legislasi yang begitu luas di tangan DPR,
secara politis parlemen Indonesia bersifat
unikameral.Ketidakjelasan bentuk parlemen ini harus
segera dibongkar.Memperkuat DPD adalah pilihan logis
untuk segera keluar dari ketidakjelasan ini.Memperkuat
DPD secara otomatis berarti mendorong sistem parlemen
kita ke arah bikameralisme murni.
Terakhir, tentu saja memperkokoh sistem checks and
balances,mulai dari tubuh parlemen sendiri dan
selanjutnya bagi antar lembaga kekuasaan Negara
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Untuk menunjang
mekanisme checks and balances ini, hak veto dalam
proses legislasi harus dimiliki oleh DPD juga. Merujuk
pasal 20 ayat (5) UUD 1945, hanyalah DPR yang memiliki
semacam hak veto itu. Berbekal hal veto tersebut,
terbuka kemungkinan berjalannya sistem double checks,

49
yaitu pembahasan berlapis terhadap setiap produk
legislatif. DPD, dalam hal ini, berfungsi sebagai revising
chamber, yakni mengoreksi segala keputusan DPR
dengan harapan adanya kemungkinan setiap produk
legislative bisa diperiksa kembali.Dengan itu, proses
pengambilan keputusan politik bisa lebih mantab dan
matang, sehingga undang-undang yang dihasilkan lebih
mengakar dan tepat sasaran dan, tentu saja, terhindar
dari bias partisan anggota DPR.

50
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Sistem pemerintahan yang terkonstruksi dalam UUD 1945


adalah sistem pemerintahan presidensiil, yang bercirikan
keberlakuan dan penegakan prinsip pemisahan kekuasaan di
antara tiga cabang kekuasaan utama yakni legislatif, eksekutif,
dan yudikatif, dan secara khusus antara lembaga eksekutif dan
legislative. Melalui pemisahan kekuasaan tersebut diharapkan
dapat ditegakkan prinsip check and balances diantara cabang-
cabang kekuasaan pemerintahan.

Penguatan system pemerintahan presidensiil pada dasarnya


tidak bisa dipisahkan dari kontribusi system legislative atau
keparlemenan yang sinergis dan efektif pula. Paling tidak ada
empat argument kesaling-keterkaitan antara sistem
pemerintahan disatu pihak dan system perwakilan dipihak
lain. Pertama, berbeda dengan system parlementer di mana
focus segenap proses politik berpusat pada parlemen, maka
didalam sistem presidensiil, lembaga eksekutif berbagi peranan
dan fungsi secara relatif tegas dan jelas dengan lembaga
legislatif. Kedua, konsisten dengan argument pertama,
presiden dan parlemen masing-masing memiliki
tanggungjawab secara terpisah sekaligus secara bersama-sama
dalam penguatan dan pengefektifan system pemerintahan
presidensiil. Ketiga, konsisten dengan dua argumen
sebelumnya, tanggung jawab secara terpisah dalam
fungsinya masing-masing hanya dapat ditegakkan apabila
relasi antara presiden dan parlemen dibangun di atas prinsip
checks and balances. Keempat, sistem legislatif yang dapat
melembagakan tanggung jawab secara bersama-sama,
sinergis dan efektif hanya dapat diwujudkan apabila terbangun
pola relasi dan kerjasama yang sinergis diantara bagian-bagian
parlemen.

Dalam kaitan ini, penguatan sistem perwakilan dimaksudkan


sebagai upaya membangun system perwakilan yang tidak
hanya koheren dan konsisten dengan pilihan system
pemerintahan presidensiil, melainkan juga mendukung dan

51
memperkuatnya. Tampak disini bahwa terdapat empat konsep
utama yang saling terkait satu sama lain untuk membangun
sistem perwakilan dimaksud, yaitu sinergitas, efektifitas,
akuntabilitas, dan produktifitas. Sistem perwakilan yang
sinergis diperlukan bukan saja dalam rangka efektifitas fungsi
setiap lembaga parlemen (DPR dan DPD), melainkan juga
untuk meningkatkan kualitas
akuntabilitasdisatupihakdanproduktifitasdipihaklain.

Akuntabilitasadalahkonsepyangtakterpisahkandarikeberadaans
etiap lembagaperwakilan.DPRsebagaiparlemenyang
mewakilirakyat,DPDyang mewakili wilayah (propinsi), dan para
anggotanya yang memperoleh mandat tersebut dapat
dikatakan akuntabel apabila dalam melaksanakan fungsi,
kewenangan, dan hak-haknya berorientasi kepada kepentingan
rakyat selaku pemberi mandat melalui pemilihan umum.

Produktifitas berhubungan dengan tingkat pencapaian kinerja


keparlemenan dalam hitungan produk kebijakan yang
dihasilkan selama masa kerja parlemen.

Dewasa ini, sinergitas parlemen belum terbangun karena DPR


dan DPD cenderung bekerja sendiri-sendiri. Konstitusi memang
membatasi kewenangan DPD, namun peran dan kontribusi
DPD sebenarnya dapat dioptimalkan melalui mekanisme relasi
dan kerjasama yang lebih baik antara DPR dan DPD.
Efektifitas DPR dan DPD sebagai bagian dari lembaga parlemen
nasional relatif belum optimal karena struktur alat
kelengkapan kedua Dewan belum mendukung efektifitas
kerja keparlemenan.

Sementara itu, peranan DPRD provinsi sebagai unsur


penyelenggara pemerintahan daerah provinsi dan DPRD
kabupaten kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
kabupaten/kota juga dirasakan masih memerlukan
peningkatan. Rumusan ketentuan yang menyangkut kedua
lembaga perwakilan rakyat daerah tersebut, baik yang terkait
dengan kelembagaan maupun yang terkait dengan
keanggotaan masih perlu disempurnakan.

Dari sisi kebutuhan penyempurnaan sistem


permusyawaratan/perwakilan, maka dalam jangka pendek,
khususnya dalam rangka penyempurnaan UU Nomor 22

52
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, terdapat paling sedikit enam arah sekaligus
tujuan yang hendak dicapai untuk memperkuat system
perwakilan yang berlaku dewasa ini, yaitu:

1. peningkatan efektifitas persidangan MPR;

2. peningkatan efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang, dan


kewajiban DPR;

3. penguatan fungsi dan hak, serta efektifitas pelaksanaan


tugas, wewenang, dan kewajibanDPD;

4. penataan hubungan kerja DPR dan DPD;

5. peningkatan akuntabilitas dan kinerja anggota DPR dan


DPD;

6. pemantapan kedudukan dan fungsi DPRD sebagai unsur


penyelenggara pemerintahan daerah;dan

7. peningkatan akuntabilitas dan kinerja anggota DPRD.

Sesuai dengan Pasal 2 UUD1945, MPR sebagai institusi Negara


yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD memiliki tugas
dan wewenang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 dan
Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD1945. Dari sudut
kelembagaan, MPR mempunyai kedudukan dan kewenangan
tersendiri, yang berbeda sama sekali dengan kedudukan dan
kewenangan DPR dan DPD. MPR bukan hanya merupakan
persidangan gabungan anggota DPR dan anggota DPD, tetapi
juga adalah lembaga sendiri.

Oleh karena itu, keberadaan MPR sebagai lembaga Negara yang


oleh konstitutisi diberi tugas dan wewenang kenegaraan yang
secara tegas berbeda dengan tugas dan wewenang DPD dan
DPD tetap perlu ditingkatkan efektititasnya, terutama
efektifitas persidangan MPR.

Efektifitas lembaga perwakilan menunjuk pada kapasitas


lembaga tersebut dalam mengoptimalkan peranan fraksi,
komisi dan alat kelengkapan lainnya dalam mendukung
kinerja parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat/daerah
dan mitra eksekutif. Dalam konteks system pemerintahan
presidensiil, prinsip checks and balances tidak akan tegak
apabila kinerja keparlemenan tidak efektif.

53
Agenda penguatan akuntabilitas parlemen, baik secara institusi
maupun anggota secara individual, perlu dilakukan dalam
rangka mendukung penguatan system presidensiil.
Akuntabilitas institusi makin kuat apabila pelaksanaan fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR berorientasi pada
penguatan sistem presidensiil. Di sisi lain, akuntabilitas
anggota secara individual makin kuat apabila kinerja para
anggota DPR berorientasi pada penguatan akuntabilitas Dewan
secara institusi.

Penguatan kapasitas parlemen dalam fungsi legislasi juga


perlu dilakukan melalui pengadaan staf ahli yang profesional
dan bersifat permanen. Beban kerja DPR yang sangat berat
sebagai akibat tekanan fungsi legislasi yang berada di
pundaknya, mengharuskan Dewan memiliki staf ahli permanen
yang dibiayai oleh negara. Penataan ulang pengaturan hak
recall bagi Pimpinan dan anggota DPR dengan perluasan
kewenangan dan optimalisasi fungsi Badan Kehormatan adalah
juga penting. Satu hal yang dapat dijadikan pertimbangan
adalah bahwa perubahan sistem pemilu legislatif menuju
sistem proporsional terbuka penuh meniscayakan
dikuranginya peranan partai dalam recalling terhadap anggota
Dewan. Hal yang sama secara proporsional juga berlaku bagi
lembaga dan anggota DPD dan DPRD sesuai dengan
kedudukan dan fungsi masing- masing.

Penataan kembali kunjungan anggota parlemen (DPR, DPD,


dan DPRD) pada waktu reses supaya berkunjung langsung ke
daerah pemilihannya dan berkomunikasi intensif dengan
konstituennya juga sangat penting.

Terkait dengan keberadaan DPD, masih terdapat ruang yang


memadai bagi pengaturan dan penataan relasi kerja antara
DPR dan DPD. Arahnya adalah penguatan DPD sebagai mitra
DPR dalam kerangka system perwakilan. Melalui penataan
kembali hubungan kerja DPR-DPD diharapkan kinerja kedua
Dewan secara sinergis disatu pihak dan efektifitas sistem
pemerintahan presidensiil di pihak lain dapat meningkat.

54
BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis
Secara filosofis, pembentukan UU tentang MPR, DPR,
DPD,dan DPRD diperlukan sebagai upaya pengaktualisasian
nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara dan berpemerintahan. Kehadiran lembaga-
lembaga negara dalam bentuk lembaga permusyawaratan
rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan
daerah sesungguhnya adalah cerminan nilai-nilai demokrasi
dalam hidup bernegara dan berpemerintahan. Melalui
lembaga-lembaga tersebut, penyerapan dan penyaluran
aspirasi rakyat dan daerah dalam proses dan tata kelola
kenegaraan dan kepemerintahan diharapkan dapat
berlangsung dengan baik.

B. Landasan Sosiologis
Sejalan dengan pemikiran filosofis di atas, pembentukan UU
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD juga diperlukan dalam
rangka mewujudkan tata kelembagaan negara dan
pemerintahan yang mencerminkan aktualisasi prinsip checks
and balances dalam pengelolaan kekuasaan. Sebagaimana
telah ditegaskan dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Hasil Amandemen, mandate pengelolaan
kekuasaan Negara secara institusional telah diberikan
kepada sejumlah lembaga Negara dan pemerintahan, yang
pada domain perwakilan politik berada pada lembaga
permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan
lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat
daerah. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut merupakan
suatu keharusan dan kebutuhan bagi berlangsungnya
proses pengelolaan kekuasaan yang akuntabel, terkontrol,
dan seimbang, terutama dalam kerangka perwujudan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah yang
berwatak demokratis, jauh dari watak otoriterian, dan tidak
terpusat pada eksekutif, terutama pada Presiden ditingkat

55
nasional serta pada gubernur dan bupati/walikota di tingkat
daerah.
Pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada
dasarnya tidak hanya bermakna filosofis dan politik, tetapi
juga memiliki makna sosiologis. Kehadiran lembaga-lembaga
permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan
lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat
daerah, yang memiliki kemampuan dalam memainkan
peran secara maksimal dalam tata pengelolaan Negara dan
pemerintahan merupakan sebuah kebutuhan. Realitas social
mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan dan kebutuhan
publik senantiasa mengandaikan pentingnya kehadiran
lembaga-lembaga permusyawaratan dan perwakilan politik
dalam penanganannya. Sistem penyelenggaraan
pemerintahan Negara dan daerah yang bertumpu pada
eksekutif, secara factual tidak selalu dapat dijadikan
andalan dalam penyelesaian persoalan dan pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Bahkan, secara
sosiologis,ketidakadilan justeru sering terjadi dalam system
social yang dikelola tanpa perwakilan politik.

C. Landasan Yuridis
Pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
didasarkan pada mandat konstitusi sebagai hukum dasar,
baik sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan kewenangan
pembentukan undang-undang maupun sebagai hukum
dasar dalam kaitan dengan materi muatan undang- undang.
Khusus yang terkait dengan materi muatan undang-undang,
pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
didasarkan pada pasal-pasal dalam UUD 1945
(HasilAmandemen), khususnya Pasal 2 ayat (1) yang
mengatur tentang MPR, Pasal 18 ayat (3) yang mengatur
tentang DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah, Pasal 19 ayat (2) yang mengatur tentang susunan
DPR, Pasal 22C ayat (4) yang mengatur tentang susunan dan
kedudukan DPD, dan Pasal 22E yang menegaskan tentang
pemilihan umum sebagai proses pengisian keanggotaan
DPR, DPD, dan DPRD.

56
BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN


RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. Ketentuan Umum

Untuk mengantarkan subtansi RUU ini,ketentuan umum yang


dicantumkan sebagai beikut:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disingkat MPR,


adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

2. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disingkat DPR, adalah


Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disingkat DPD, adalah


Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD,


adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

5. Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum provinsi,


dan Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota, selanjutnya
disingkat KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota adalah
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai penyelenggara
pemilihan umum.

6. Badan Pemeriksa Keuangan, selanjutnya disingkat BPK, adalah


lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya


disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang ditetapkan dengan undang-undang.

8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya


disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan

57
pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan
daerah.

9. Hari adalah hari kerja.

B. Materi Yang Akan Diatur


1. Persidangan dan pengambilan keputusan MPR

Seiring dengan perkembangan dan dinamika politik bangsa dan


negara dewasa ini, maka patut diperkirakan bahwa
persidangan dan pengambilan keputusan di MPR tidak selalu
akan berlangsung dengan mulus. Kemungkinan terjadinya
kebuntuan (deadlock) dalam pengambilan keputusan sangatlah
besar. Oleh karena itu, pengaturan tentang persidangan dan
pengambilan keputusan MPR disempurnakan dengan memberi
kemungkinan dilakukannya pengambilan keputusan dengan
pemungutan suara ulang.

Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin


dicapai keputusan dengan mempergunakan pemungutan suara
sekali jalan, dilakukan pemungutan suara ulang. Apabila
dalam pemungutan suara ulang diperoleh hasil sama dengan
hasil pemungutan suara sebelumnya, maka pengambilan
keputusan ditangguhkan sampai rapat berikutnya, atau usul
yang bersangkutan ditolak.

2. Fungsi DPR

Dalam rangka pemantapan sistem penyelenggaraan


pemerintahan Negara berdasarkan UUD1945, khususnya
dalam relasi kenegaraan antara DPR, DPD, dan Presiden, perlu
penegasan makna fungsi DPR dalam kerangka kebersamaan
penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam RUU ini
dirumuskan pengaturan tentang fungsi DPR sebagai berikut:

a. Fungsi legislasi dilaksanakan dalam pembentukan undang-


undang dengan persetujuan bersama Presiden;
b. Fungsi anggaran dilaksanakan dalam bentuk pemberian
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja
Negara dengan persetujuan bersama Presiden;
c. Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan
atas pelaksanaan undang-undang dan anggaran

58
pendapatan dan belanja negara.
3. Tugas dan Wewenang DPR

Dalam rangka pemantapan sistem perwakilan berdasarkan


UUD 1945 Hasil Amandemen, dan Putusan MK perkara Nomor
92/PUU-X/2012 khususnya yang terkait dengan keberadaan
DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, maka perlu
dilakukan penyesuaian tugas dan wewenang DPR, terutama
yang terkait langsung dengan DPD. Dalam RUU ini,
direkomendasikan rumusan tambahan tugas dan wewenang
DPR sebagai berikut:

a. menerima rancangan undang-undang yang diusulkan oleh


DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah;
b. membahas rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada huruf c bersama DPD sebelum dimulainya
pembahasan oleh DPR bersama Presiden sesuai tata tertib
DPR;
c. membahas pertimbangan DPD atas rancangan
undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan
belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
d. membahas bersama DPD rancangan undang-undang
yang diusulkan oleh Presiden dan/atau DPR, berkaitan
dengan otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah,
sebelum dimulainya pembahasan oleh DPR dengan
Presiden sesuai tata tertib DPR.
4. Hak DPR

DPR sebagai lembaga perwakilan yang berkedudukan sebagai


lembaga Negara memiliki hak konstitusional berupa hak
interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Penggunaan
hak tersebut penting diatur dalam undang-undang dengan
pertimbangan perlunya dasar legitimasi yang kuat bagi DPR

59
dalam menggunakan haknya, sehingga didalam RUU
dirumuskan sebagai berikut:

a. Penggunaan hak interpelasi:

1) Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta


keterangan kepada Presiden mengenai kebijakan
Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2) Hak interpelasi diajukan oleh paling sedikit 15 (lima


belas) orang anggota DPR kepada pimpinan DPR dan
mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR
yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat)
dari jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang- kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota DPR yang hadir.

b. Penggunaan hak angket:

1) Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan


penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

2) Hak angket diajukan oleh paling sedikit 15 (lima belas)


orang anggota DPR kepada pimpinan DPR dan
mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR
yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat)
dari jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang- kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota DPR yang hadir.

3) Dalam menggunakan hak angket dibentuk panitia


angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan
keputusan DPR.

4) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya


kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam
puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.

5) Dalam menggunakan hak angketnya, DPR dapat


memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan
hukum, atau warga masyarakat yang dianggap
mengetahui atau patut mengetahui masalah yang
60
diselidiki untuk memberikan keterangan serta
untukmeminta menunjukkan surat atau dokumen yang
berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.

6) Pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau


warga masyarakat yang dipanggil wajib memenuhi
panggilan DPR kecuali ada alasan yang sah menurut
peraturan perundang-undangan.

7) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara


berturut-turut tidak memenuhi panggilan, DPR
dapat memanggil secara paksa dengan bantuan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

c. Penggunaan hak menyatakan pendapat:

1) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk


menyatakan pendapat terhadap kebijakan Pemerintah
yang penting dan strategis atau mengenai kejadian luar
biasa yang terjadi ditanah air atau situasi dunia
internasional disertai dengan rekomendasi
penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan
hak interpelasi dan hak angket.

2) Hak menyatakan pendapat diajukan oleh paling sedikit


15 (lima belas) orang anggota DPR kepada pimpinan
DPR dan mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna
DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPR dan putusan
diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.

5. Kewajiban Anggota DPR

Dalam rangka peningkatan akuntabilitas dan kinerja


lembaga dan anggota DPR, dipandang perlu merumuskan
aturan yang menyangkut kewajiban anggota DPR untuk dapat
memenuhi kewajibannya dalam menegaskan "menyerap,
menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat. Sehingga didalam RUU dirumuskan bahwa
disamping kewajiban-kewajiban yang lain, anggota DPR juga
mempunyai kewajiban:

a. Menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui

61
kunjungan kerja secara berkala;
b. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat.
6. Tugas dan Wewenang DPD
(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan Undang-
Undang yang berkaitan dengan:

a. otonomi daerah;

b. hubungan pusat dan daerah;

c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan


daerah;

d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi


lainnya; dan

e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil


Keputusan Sidang Paripurna DPD.
(3) RUU yang telah disampaikan oleh DPD diajukan dengan
surat Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR dan Presiden.
(4) Dalam surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditegaskan antara lain alat kelengkapan yang ditugasi
mewakili DPD dalam melakukan pembahasan RUU di DPR.
7. Hak DPD
DPD mempunyai hak:

a. inisiatif, mengajukan rancangan undang-undang mengenai


otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
kepada DPR;

b. ikut membahas rancangan undang-undang mengenai


otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
bersama DPR;

c. hak budget (terbatas) dengan memberikan pertimbangan


kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang
mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara dan
62
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama;

d. hak angket dan hak melakukan pengawasan atas


pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama.

8. Kewajiban Anggota DPD

Anggota DPD mempunyai kewajiban:

a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan
perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat dan daerah;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD; dan
j. menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.

9. Pimpinan DPD
a. DPD dipimpin oleh seorang Ketua dan paling banyak 2 (dua)
orang Wakil Ketua.
b. Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh Anggota DPD
dalam Sidang Paripurna.
c. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua DPD terpilih, Sidang DPD
dipimpin oleh Pimpinan Sementara DPD.
d. Pimpinan Sementara DPD terdiri atas seorang Ketua dan
seorang Wakil Ketua yang diangkat dari Anggota DPD tertua
dan Anggota DPD termuda usianya.

63
e. Dalam hal Anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) berhalangan, sebagai penggantinya adalah Anggota DPD
tertua dan/atau termuda usianya berikutnya.
f. Ketua dan Wakil Ketua DPD diresmikan dengan Keputusan
DPD.
g. Tata cara pemilihan Pimpinan DPD diatur dalam Peraturan
DPD tentang Tata Tertib

Pengaturan tentang pemberhentian Pimpinan DPD dipandang


perlu disempurnakan, khususnya dalam kaitan dengan
akuntabilitas dan kinerjanya. Oleh karena itu, pengaturan
tentang pemberhentian Pimpinan DPD dirumuskan sebagai
berikut:

a. Pimpinan DPD berhenti dari jabatannya karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri; atau

3) diberhentikan.

b. Alasan pemberhentian Pimpinan DPD, selain karena alasan


sebagaimana telah ditentukan dalam UU MD3,juga apabila:

1) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan


atau berhalangan tetap sebagai pimpinan DPD selama 3
(tiga) bulan berturut-turut;

2) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD


berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPD.

10. Sanksi bagi anggota DPD

Dalam RUU ini ditegaskan bahwa anggota DPD yang terbukti


tidak melaksanakan kewajibannya dapat dikenai sanksi,
dengan pengaturan sebagai berikut:

a. Anggota DPD yang tidak melaksanakan kewajibannya dapat


dikenakan sanksi berupa pemberhentian sebagai anggota
DPD atau pemberhentian sementara sebagai anggota DPD;
b. Setiap orang, kelompok atau organisasi dapat mengajukan
pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD dalam hal
memiliki bukti-bukti yang cukup bahwa terdapat anggota
DPD yang tidak melaksanakan salah satu atau lebih
kewajibannya;
c. Badan Kehormatan DPD berwenang memeriksa,

64
memverifikasi dan memutuskan pengaduan sebagaimana
dimaksud pada huruf b;
d. Dalam hal Badan Kehormatan DPD memutuskan anggota
DPD tidak melaksanakan kewajibannya, keputusan Badan
Kehormatan disampaikan kepada pimpinan DPD.
e. Pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan
Kehormatan DPD tentang pemberhentian anggota DPD atau
pemberhentian sementara anggota DPD kepada Presiden
untuk memperoleh pengesahan pemberhentian atau
pemberhentian sementaranya.
f. Dalam hal keputusan Badan Kehormatan DPD
menyatakan tidak terdapat cukup bukti anggota DPD
tidak melaksanakan kewajibannya, anggota DPD
direhabilitasi namanya.
11. Susunan dan Kedudukan DPRD Provinsi

Sesuai dengan system pemilihan yang akan digunakan dalam


pemilihan umum anggota DPR dan DPRD,yaitu system
proporsional dengan daftar terbuka penuh dengan penetapan
calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak maka.
RUU ini menegaskan bahwa DPRD provinsi terdiri atas
anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih
melalui pemilihan umum.

Sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah, rumusan kedudukan DPRD provinsi
perlu disesuaikan dari lembaga pemerintahan daerah provinsi
menjadi unsur penyelenggara pemerintahan daerah
provinsi.

12. Fungsi DPRD Provinsi

Untuk menegaskan dan memberi makna bagi kedudukan


DPRD Provinsi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah provinsi, maka rumusan fungsi DPRD provinsi dari
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, dipandang perlu
disesuaikan dan dirubah menjadi:

a. Fungsi pembentukan peraturan daerah provinsi;


b. Fungsi pembahasan dan persetujuan anggaran pendapatan
dan belanja daerah provinsi bersama dengan gubernur ;dan
c. fungsipengawasan pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintahan daerah provinsi.

65
13. Tugas dan Wewenang DPRD Provinsi

Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi,


DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang yang secara
langsung terkait dengan tujuan penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Oleh karena itu, rumusan tugas dan wewenang DPRD
provinsi perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan
konstruksi penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU
Nomor 32 Tahun 2004, dengan tambahan sebagai berikut:

a. memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan


jabatan wakil gubernur;
b. memberikanpersetujuanterhadap rencana kerjasama
internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah
provinsi;
c. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar
daerahdan dengan pihak ketiga yang membebani
masyarakat dan daerah;
d. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
14. Hak DPRD Provinsi

DPRD provinsi sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang


berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah provinsi memiliki hak konstitusional berupa hak
interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Penggunaan
hak tersebut penting diatur dalam undang-undang dengan
pertimbangan perlunya dasar legitimasi yang kuat bagi DPRD
provinsi dalam menggunakan haknya, sehingga didalam RUU
dirumuskan sebagai berikut:

a. Penggunaan hak interpelasi:

1) Hak interpelasi adalah hak DPRD provinsi untuk


meminta keterangan kepada gubernur mengenai
kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan
masyarakat, daerah, dan negara.

2) Hak interpelasi diajukan oleh paling sedikit 10 (sepuluh)


orang anggota DPRD provinsi kepada pimpinan DPRD
provinsi dan mendapatkan persetujuan dari rapat
paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-

66
kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota
DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
anggota DPRD provinsi yang hadir.

3) Hak angket adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan


penyelidikan terhadap kebijakan gubernur yang penting
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
masyarakat, daerah, dan Negara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hak angket diajukan oleh paling sedikit 10 (sepuluh)


orang anggota DPRD provinsi kepada pimpinan DPRD
provinsi dan mendapatkan persetujuan dari rapat
paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-
kurangnya 3/4 (tiga perempat)dari jumlah anggota
DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
anggota DPRD provinsi yang hadir. Dalam menggunakan
hak angket dibentuk panitia angket yang terdiri atas
semua unsur fraksi DPRD provinsi dengan keputusan
DPRD provinsi.

4) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya


kepada rapat paripurna DPRD provinsi paling lama
60(enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.

5) Dalam menggunakan hak angketnya, DPRD provinsi


dapat memanggil pejabat Negara tingkat provinsi,
pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga
masyarakat di provinsi yang dianggap mengetahui atau
patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk
memberikan keterangan serta untuk meminta
menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan
dengan hal yang sedang diselidiki.

6) Pejabat Negara tingkat provinsi, pejabat pemerintah


provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat
diprovinsi yang wajib memenuhi panggilan DPRD
provinsi kecuali ada alas an yang sah menurut
peraturan perundang- undangan.

7) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara

67
berturut-turut tidak memenuhi panggilan, DPRD
provinsi dapat memanggil secara paksa dengan bantuan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

b. Penggunaan hak menyatakan pendapat:

1) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD provinsi


untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan
gubernur yang penting dan strategis atau mengenai
kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai
dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai
tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak
angket.

2) Hak menyatakan pendapat diajukan oleh paling sedikit


10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi kepada
pimpinan DPRD provinsi dan mendapatkan persetujuan
dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri
sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.

15. Kewajiban anggota DPRD Provinsi

Dalam rangka peningkatan akuntabilitas dan kinerja lembaga


dan anggota DPRD provinsi, dipandang perlu merumuskan
aturan yang menyangkut kewajiban anggota DPRD provinsi
untuk dapat memenuhi kewajibannya dalam menegaskan
"menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat. Sehingga,di dalam RUU dirumuskan
bahwa disamping kewajiban-kewajiban yang lain, anggota
DPRD provinsi juga mempunyai kewajiban:

a. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui


kunjungan kerja secara berkala;

b. menampung dan menindak lanjuti aspirasi dan pengaduan


masyarakat;

c. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas bagi anggota


DPRD provinsi.

Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD


provinsi, anggota DPRD provinsi mengikuti orientasi dan
68
pendalaman tugas, yang dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

16. Pimpinan DPRD Provinsi

Prinsip pemberian reward secara politik bagi partai politik yang


berhasil memperoleh hasil pemilihan umum yang lebih baik
dari partai politik lainnya dalam pengisian Pimpinan DPR juga
perlu digunakan dalam pengisian Pimpinan DPRD provinsi,
sehingga ketentuan dalam pengisian Pimpinan DPRD provinsi
dirumuskan sebagai berikut:

a Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas seorang Ketua dan


paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang berasal dari
partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak
di DPRD provinsi;

b. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang


memperoleh kursi sama, ketua dan wakil ketua DPRD
provinsi ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan
suara terbanyak dalam pemilu;

c. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang


memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua DPRD
provinsi ditentukan berdasarkan persebaran perolehan
suara.

Sementara itu, pengaturan tentang pemberhentian pimpinan


DPRD provinsi juga dipandang perlu disempurnakan,
khususnya dalam kaitan dengan akuntabilitas dan kinerjanya,
serta dengan mempertimbangkan keberadaan mereka sebagai
kader partai politik. Oleh karena itu, pengaturan tentang
pemberhentian pimpinan DPRD provinsi dirumuskan sebagai
berikut:

a. Pimpinan DPRD provinsi berhenti dari jabatannya karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri;atau

3) diberhentikan.

b. Alasan pemberhentian pimpinan DPRD provinsi, adalah:

1) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan


atau berhalangan tetap sebagai pimpinan DPRD provinsi

69
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut;

2) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD


provinsi berdasarkan hasil pemeriksaan badan
kehormatan DPRD provinsi;

3) diusulkan oleh partai politiknya sesuai ketentuan


undang-undang; atau

4) diberhentikan sebagai anggota partai politik.

c. Dalam hal salah satu pimpinan DPRD provinsi diberhentikan


dari jabatannya, penggantinya berasal dari fraksi yang sama
dengan fraksi pimpinan yang diberhentikan.

17. Sanksi bagi anggota DPRD Provinsi

Dalam RUU ini ditegaskan bahwa anggota DPRD provinsi yang


terbukti tidak melaksanakan kewajibannya dapat dikenai
sanksi, dengan pengaturan sebagai berikut:

a. Anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan kewajiban


dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian sebagai
anggota DPRD provinsi atau pemberhentian sementara
sebagai anggota DPRD provinsi;

b. Setiap orang, kelompok atau organisasi dapat mengajukan


pengaduan kepada badan kehormatan DPRD provinsi dalam
hal memiliki bukti-bukti yang cukup bahwa terdapat
anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan salah satu
atau lebih kewajibannya;

c. Badan kehormatan DPRD provinsi berwenang memeriksa,


memverifikasidan memutuskan pengaduan sebagaimana;

d. Dalam hal badan kehormatan DPRD provinsi memutuskan


anggota DPRD provinsi tidak melaksanakan kewajibannya,
keputusan badan kehormatan disampaikan kepada
pimpinan DPRD provinsi;

e. Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan keputusan badan


kehormatan DPRD provinsi tentang pemberhentian anggota
DPRD provinsi atau pemberhentian sementara anggota
DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri untuk
memperoleh pengesahan pemberhentian atau
pemberhentian sementaranya;

f. Dalam hal keputusan badan kehormatan DPRD provinsi

70
menyatakan tidak terdapat cukup bukti anggota DPRD
provinsi tidak melaksanakan kewajibannya, anggota DPRD
provinsi direhabilitasi namanya.

18. Fungsi DPRD Kabupaten/Kota

Untuk menegaskan dan memberi makna bagi kedudukan


DPRD kabupaten/kota sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka rumusan fungsi
DPRD kabupaten/kota dari fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan, dipandang perlu disesuaikan dan dirubah
menjadi:

a. Fungsi pembentukan peraturan daerah kabupaten/kota;


b. Fungsi pembahasan dan persetujuan anggaran pendapatan
dan belanja daerah provinsi bersama dengan
bupati/walikota; dan
c. Fungsi pengawasan pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/kota.
19. Tugas dan Wewenang DPRD Kabupaten/Kota

Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah


kabupaten/kota, DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan
wewenang yang secara langsung terkait dengan tujuan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu,
rumusan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota perlu
disempurnakan dan disesuaikan dengan konstruksi
penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU Nomor 32
Tahun 2004, dengan tambahan sebagai berikut:

a. memilih wakil bupati/wakil wali kota dalam hal terjadi


kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota;

b. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama


internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota;

c. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar


daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani
masyarakat dan daerah;

d. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai


dengan peraturan perundang-undangan.

71
20. Hak DPRD Kabupaten/Kota

DPRD kabupaten/kota sebagai lembaga perwakilan rakyat


daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah kabupaten/kota memiliki hak
konstitusional berupa hak interpelasi, angket, dan
menyatakan pendapat. Penggunaan hak tersebut penting
diatur dalam undang-undang dengan pertimbangan perlunya
dasar legitimasi yang kuat bagi DPRD kabupaten/kota dalam
menggunakan haknya, sehingga didalam RUU dirumuskan
sebagai berikut:

a. Penggunaan hak interpelasi:

1) Hak interpelasi adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk


meminta keterangan kepada bupati/wali kota mengenai
kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan
masyarakat, daerah, dan negara.

2) Hak interpelasi diajukan oleh paling sedikit 10 (sepuluh)


orang anggota DPRDkabupaten/kota kepada pimpinan
DPRD kabupaten/kota dan mendapatkan persetujuan
dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri
sekurang-kurangnya (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil
dengan persetujuan sekurang- kurangnya 2/3(dua
pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang
hadir.

b. Penggunaan hak angket:

1) Hak angket adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk


melakukan penyelidikan terhadap kebijakan
bupati/walikota yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah,dan
negara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.

2) Hak angket diajukan oleh paling sedikit 10 (sepuluh)


orang anggota DPRD kabupaten/kota kepada pimpinan
DPRD kabupaten/kota dan mendapatkan persetujuan
dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang
dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari

72
jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan
diambil dengan persetujuan sekurang- kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota
yang hadir.

3) Dalam menggunakan hak angket dibentuk panitia angket


yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD
kabupaten/kota dengan keputusan DPRD
kabupaten/kota.

4) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada


rapat paripurna DPRD kabupaten/kota paling lama 60
(enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.

5) Dalam menggunakan hak angketnya, DPRD


kabupaten/kota dapat memanggil pejabat Negara tingkat
kabupaten/kota,pejabat pemerintah kabupaten/kota,
badan hukum, atau warga masyarakat dikabupaten/kota
yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui
masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan
serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen
yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.

6) Pejabat Negara tingkat kabupaten/kota, pejabat


pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga
masyarakat di kabupaten/kota yang wajib memenuhi
panggilan DPRD kabupaten/kota kecuali ada alas an
yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

7) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-


turut tidak memenuhi panggilan, DPRD kabupaten/kota
dapat memanggil secara paksa dengan bantuan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

c. Penggunaan hak menyatakan pendapat:

1) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD


kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap
kebijakan bupati/walikota yang penting dan strategis
atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi didaerah
disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau
sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan
hak angket.

73
2) Hak menyatakan pendapat diajukan oleh paling sedikit
10 (sepuluh) orang anggota DPRD kabupaten/kota
kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan
mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPRD
kabupaten/kota yang dihadiri sekurang-kurangnya
(tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
kabupaten/kota dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang- kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.

21. Kewajiban anggota DPRD Kabupaten/Kota

Dalam rangka peningkatan akuntabilitas dan kinerja lembaga


dan anggota DPRD kabupaten/kota, dipandang perlu
merumuskan aturan yang menyangkut kewajiban anggota
DPRD kabupaten/kota untuk dapat memenuhi kewajibannya
dalam menegaskan "menyerap, menghimpun, menampung, dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Sehingga, di dalam RUU
dirumuskan bahwa disamping kewajiban-kewajiban yang lain,
anggota DPRD kabupaten/kota juga mempunyai kewajiban:

a. Menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui


kunjungan kerja secara berkala;
b. Menampung dan menindaklanjuti aspires dan pengaduan
masyarakat;
c. Mengikuti orientasi dan pendalaman tugas bagi anggota
DPRD kabupaten/kota.

Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD


kabupaten/kota, anggota DPRD kabupaten/kota mengikuti
orientasi dan pendalaman tugas, yang dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang- undangan, khususnya UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

22. Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota

Prinsip pemberian reward secara politik bagi partai politik yang


berhasil memperoleh hasil pemilihan umum yang lebih baik
dari partai politik lainnya dalam pengisian Pimpinan DPR dan
DPRD provinsi juga perlu digunakan dalam pengisian
pimpinan DPRD kabupaten/kota, sehingga ketentuan dalam
pengisian pimpinan DPRD kabupaten/kota dirumuskan
sebagai berikut:

74
a. Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas seorang Ketua dan
paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang berasal dari
partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi
terbanyak di DPRD kabupaten/kota;
b. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang
memperoleh kursi sama, ketua dan wakil ketua DPRD
kabupaten/kota ditentukan berdasarkan urutan hasil
perolehan suara terbanyak dalam pemilu;
c. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang
memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua DPRD
kabupaten/kota ditentukan berdasarkan persebaran
perolehan suara.

Sementara itu, pengaturan tentang pemberhentian pimpinan


DPRD kabupaten/kota juga dipandang perlu disempurnakan,
khususnya dalam kaitan dengan akuntabilitas dan
kinerjanya,serta dengan mempertimbangkan keberadaan
mereka sebagai kader partai politik. Oleh Karena itu,
pengaturan tentang pemberhentian pimpinan DPRD
kabupaten/kota dirumuskan sebagai berikut:

a. Pimpinan DPRD kabupaten/kota berhenti dari jabatannya


karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri;atau

3) diberhentikan.

b. Alasan pemberhentian Pimpinan DPRD kabupaten/kota,


apabila:

1) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan


atau berhalangan tetap sebagai pimpinan DPRD
kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut;

2) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD


kabupaten/kota berdasarkan hasil pemeriksaan badan
kehormatan DPRD kabupaten/kota;

3) diusulkan oleh partai politiknya sesuai ketentuan


undang-undang; atau

4) diberhentikan sebagai anggota partai politik.

c. Dalam hal salah satu pimpinan DPRD kabupaten/kota

75
diberhentikan dari jabatannya, penggantinya berasal dari
fraksi yang sama dengan fraksi pimpinan yang
diberhentikan.

23. Sanksi bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota

Dalam RUU ini ditegaskan bahwa anggota DPRD


kabupaten/kota yang terbukti tidak melaksanakan
kewajibannya dapat dikenai sanksi, dengan pengaturan
sebagai berikut:

a. Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan


kewajiban dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian
sebagai anggota DPRD kabupaten/kota atau pemberhentian
sementara sebagai anggota DPRD kabupaten/kota;

b. Setiap orang, kelompok atau organisasi dapat mengajukan


pengaduan kepada badan kehormatan DPRD
kabupaten/kota dalam hal memiliki bukti-bukti yang cukup
bahwa terdapat anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak
melaksanakan salah satu atau lebih kewajibannya;

c. Badan kehormatan DPRD kabupaten/kota berwenang


memeriksa, memverifikasi dan memutuskan pengaduan;

d. Dalam hal badan kehormatan DPRD kabupaten/kota


memutuskan anggota DPRD kabupaten/kota tidak
melaksanakan kewajibannya,keputusan badan kehormatan
disampaikan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota;

e. Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan keputusan


badan kehormatan DPRD kabupaten/kota tentang
pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota atau
pemberhentian sementara anggota DPRD kabupaten/kota
kepada gubernur untuk memperoleh pengesahan
pemberhentian atau pemberhentian sementaranya;

f. Dalam hal keputusan badan kehormatan DPRD


kabupaten/kota menyatakan tidak terdapat cukup bukti
anggota DPRD kabupaten/kota tidak melaksanakan
kewajibannya, anggota DPRD kabupaten/kota
direhabilitasi namanya.

24. Penggantian Antar waktu Anggota DPR, DPD, DPRD


Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

76
Sejalan dengan upaya peningkatan akuntabilitas dan kinerja
lembaga dan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, maka pengaturan tentang penggantian antar
waktu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota juga perlu disempurnakan.

25. Penggantian antar waktu anggota DPR:

Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri; atau

3) diberhentikan.

26. Penggantian antar waktu anggota DPD:

Anggota DPD berhenti antar waktu karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri; atau

3) diberhentikan.

27. Penggantian antar waktu anggota DPRD provinsi:

Anggota DPRD provinsi berhenti antar waktu karena:

1) meninggal dunia;

2) mengundurkan diri; atau

3) diberhentikan.

28. Penggantian antar waktu anggota DPRD kabupaten/kota:

Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antar waktu karena:

1)meninggal dunia;

2) mengundurkan diri; atau

3)diberhentikan.

29. Calon Pengganti Antar Waktu Anggota DPR, DPD, DPRD


Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

Dalam rangka penggantian antarwaktu anggota DPR,


dirumuskan ketentuan bahwa calon pengganti adalah:

a. calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan


berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari
partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama;
b. apabila calon pengganti mengundurkan diri, meninggal
77
dunia, atau diberhentikan, diajukan calon anggota DPR yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai
politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

Dalam rangka penggantian antarwaktu anggota DPD,


dirumuskan ketentuan bahwa calon pengganti adalah:

a. calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak


urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara
calon anggota DPD dari provinsi yang sama;

b. apabila calon pengganti mengundurkan diri, meninggal


dunia, atau diberhentikan, diajukan calon anggota DPD
yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam
peringkat perolehan suara calon anggota DPD dari provinsi
yang sama.

Dalam rangka penggantian antar waktu anggota DPRD


provinsi, dirumuskan ketentuan bahwa calon pengganti
adalah:

a. calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara


terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat
perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah
pemilihan yang sama;

b. apabila calon pengganti mengundurkan diri, meninggal


dunia, atau diberhentikan, diajukan calon pengganti pada
urutan peringkat perolehan suara berikutnya dari partai
politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

Dalam rangka penggantian antar waktu anggota DPRD


kabupaten/kota, dirumuskan ketentuan bahwa calon
pengganti adalah:

a. calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh


suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat
perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah
pemilihan yang sama;

b. apabila calon pengganti mengundurkan diri, meninggal


dunia, atau diberhentikan diajukan calon pengganti pada
urutan peringkat perolehan suara berikutnya dari partai
politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

Tata cara pengajuan penggantian antar waktu, verifikasi

78
terhadap persyaratan calon pengganti antar waktu, dan
pengesahan calon pengganti antarwaktu anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.

30. Pemberhentian Sementara Anggota DPR, DPD, DPRD


Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

Untuk mengantisipasi kemungkinan selama masa jabatannya


anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
tersangkut masalah hukum, khususnya sebagai akibat dari
perbuatan melawan hokum berupa perkara tindak pidana
umum dan perkara tindak pidana khusus, maka dipandang
perlu adanya pengaturan tentang pemberhentian sementara
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.

Anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota


diberhentikan sementara karena:

a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang


diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.

Beberapa rumusan ketentuan yang menyangkut


pemberhentian sementara anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota adalah:

a. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD


kabupaten/kota dinyatakan terbukti bersalah karena
melakukan tindak pidana dan/atau huruf b di atas
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, anggota yang bersangkutan
diberhentikan sebagai anggota DPR, DPD, DPRD provinsi
dan DPRD kabupaten/kota;

b. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD


kabupaten/kota dinyatakan tidak terbukti melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan/atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota yang
bersangkutan diaktifkan kembali sampai dengan
berakhirnya masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota;

79
c. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota diberhentikan sementara, hak
keuangannya tidak dibayarkan kecuali uang representasi;

d. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD


kabupaten/kota diberhentikan, pemberhentiannya berlaku
terhitung mulai tanggal putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

31. Pengelolaan Keuangan MPR, DPR, dan DPD

Pengelolaan keuangan MPR, DPR, dan DPD dilaksanakan oleh


Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan
Sekretariat Jenderal DPD sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Hal tersebut sejalan dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun


2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, yang menunjuk Kepala
Satuan Kerja sebagai Pengguna Anggaran. Oleh karena itu,
Sekretaris Jenderal MPR, Sekretaris Jenderal DPR, dan
Sekretaris Jenderal DPD sebagai Kepala Satuan Kerja
Sekretariat Jenderal MPR, DPR, dan DPD adalah Pengguna
Anggaran. Sesuai dengan rumusan dalam RUU ini, maka
Pimpinan MPR, Pimpinan DPR, dan Pimpinan DPD mempunyai
tugas menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR,
DPR, dan DPD.

80
BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan
1. Pembentukan tipe sistem lembaga ketatanegaraan yang di
pilih oleh suatu negara, terutama tergantung pada
keadaan politik, sosial, ekonomi, tetnik, serta faktor-faktor
lainnya. Demikian pula dengan pembentukan kamar
kedua/second chamber atau majelis tinggi/upper house
parlemen, institusi ini mempunyai haknya sendiri, yang
melekat dalamlingkungan nsionalnya sendiri, status
konstitusionalnya sendiri, keadaan lingkuangan ekonomi,
sosial dan politik masing-masing negara dan konteks
kelembagaan.
2. Kamar kedua/second chamber atau majelis tinggi/upper
house dibentuk sebagai tempat untuk menampung
perwakilan lain, selain perwakilan politik yang
ditempatkan pada kamar pertama/firs chamber atau
majelis tingi/upper house untuk menampung perwakilan
yang berbeda dari kamar pertama, yaitu untuk
kepentingan kelas sosial, kepentingan ekonomi, atau
perbedaaan teritorial. Pada umumnya terhadap kamar
kedua secara konstitusional diberikan untuk perwakilan
teritorial.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menurut
konstitusi Indonesia saat ini, merupakan lembaga yang
tidak jelas kedudukan kelembagaannya; apakah hanya
sebagai lembaga ataukah hanyajoint session. Hal ini dapat
dilihat dari fungsinya, dengan argumentasi sebagai
berikut.
a. MPR bukan pemegang kedaulatan rakyat lagi karena
menurut Pasal 1 Perubahan Ketiga UUD 1945,
kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.
b. Menurut Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD1945,
yaitu MPR berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar walaupun pasal ini terlihat
penting karena mengubah dan menetapkan UUD,
tetapi hanya dialakukan secara insidental, bukan

81
tugas yang setiap hari harus dilakukan karena
mengubah konstitusi bukanlah mengubah undang-
undang yang bisa secara cepat diubah.
c. MPR sudah tidak mempunyai kewenangan yang
penting dalam sistem ketatanegaraan, yaitu MPR tidak
memilih Presiden lagi. Ini dapat kita lihat pada pasal
6A Perubahan Ketiga UUD 1945 dan Pasal 22E
Perubahan Ketiga UUD 1945.
d. Dalam hal impeachment, menurut Pasal 7A dan 7B
Perubahan Ketiga UUD 1945, ini juga merupakan
kejadian yang tidak selalu terjadi. Dalam sejarah
ketatanegaraan dan politik di berbagai negara, tidak
setiap tahun Presiden di-impeach oleh parlemennya
(dalam konteks Indonesia MPR). Dan dalam hal iniada
Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan
memutuskan dari gugatan yang diajukan oleh DPR.
Jadi untuk memberi kepastian hukum dan
kewibawaan dari lembaga hukum (Mahkamah
Konstitusi). MPR sebaiknya hanya mengeksekusi
putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah
Konstitusi.

Fungaifungsi tersebut merupakan fungsi yang bukan


rutinitas dan seadainya rutinitas hanya dilakukan
minimal lima tahun sekali sehingga tidak tepat untuk
mengatakan MPR sebagai sebuah lembaga.

4. Dewan Perwakilan Daerah dalam proses legislatif hanya


mempunyai hak. Itu pun hanya yang berkaitan dengan
daerah (Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga).
DPD dapat ikut membahas dan melakukan pengawasan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan
dan pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran dan
pendapatan belanja negara, pajak pendidikan, dan agama
(Pasal 22D aayt (30 UUD 1945 Perubahan Ketiga). Hak
legislatif tersebut sangat tergantung seakali pada DPR,
yang mau menyetujui atau tidak usul, pembahasan dan
pengawasan yang dilakukan oleh DPD.

82
B. Saran

Ada 2 (dua) cara penggantian yang dapat di tempuh dari UU


MD3 yaitu.

1. Membuat UU tersendiri untuk DPD yang tidak digabung


dengan pengaturan lembaga lainnya seperti yang ada
sekarang mejadi satu dalam UU MD3. Hak ini sesuai
dengan maksud dalam UUD 1945 yang menggunakan kata-
kata idatur lebih lanjut dengan Undang-Undang untuk
Pasal 2 ayat (1) mengenai MPR, Pasal 19 ayat (2) mengenani
DPR, Pasal 22C ayat (4) mengenai DPD, tetapi tidak untuk
DPRD. Sebab seharusnya menegenai DPRD diatiur dalam
UU tentang Pemerintah Daerah seperti dimaksud dalam
pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
2. Mengubah/mengganti UU MD3 seperti
Perubahan/Pengaturan yang dilakukan pada tahun 2009,
namun esensi masing-masing lembaga dan pendukungnya
harus lebih diperjelas Hubungan dan mekanisme kerja
antar lembaga juga harus diperjelas terlebih dengan adanya
Putusan MK perkara Nomor 92/PUU-X/2012.

83

You might also like