You are on page 1of 17

BUKU I

IDENTITAS BUKU
JUDUL BUKU : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN
TINGGI (Upaya Membangkitkan Semangat Nasionalisme,
Cinta Tanah Air, dan Bela Negara Di Kalangan Mahasiswa)

PENULIS : Prof. Dr. Karsadi, M. Si.

TAHUN TERBIT : 2016

PENERBIT : Pustaka Pelajar

TEMPAT TERBIT : Kendari

JUMLAH HALAMAN : 223

CETAKAN :I
BAB I
DINAMIKA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI

Permasalahan yang paling mendasar bagi bangsa dan negara Indonesia adalah
berkaitan dengan melemahnya semangat kebangsaan, nasionalisme, cinta tanah air, serta
munculnya perilaku yang tidak sesuai sesuai dengan nilai budaya bangsa dan norma-norma
yang berlaku. Seharusnya rasa cinta tanah air, bela negara, mengedepankan semangat semangat
kebangsaan dan nasionalisme, kerukunan dan toleransi, kedamaian , kejujuran, kesederhanaan,
tanggung jawab dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi harus menjadi prioritas utama
untuk diwujudkan dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Salah satu model pendidikan karakter yang perlu diterapkan dalam kurikulum
pendidikan nasional untuk mentransformasikan nilai-nilai pancasila ke dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah melalui Pendidikan kewarganegaraan.
Keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis
bukan hanya sebagai pendidikan budi pekerti dan pendidikan moral/pendidikan nilai semata,
tetapi sebagai pendidikan untuk membebaskan masyarakat dari perilaku yang individualistik,
materialistik, opurtunistik, koruptif, kanibal, dan anarkis serta perilaku yang menyimpang
lainnya.

Selain Pancasila sebagai landasan filosofis, maka pelaksanaan Pendidikan


Kewarganegaraan di perguruan tinggi juga memiliki landasan yuridis, yakni UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai pelaksanaan perkuliahan
Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi. Dilihat dari perspektif Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai upaya pendidikan bela negara bagi mahasiswa, maka terdapat
beberapa pasal UUD 1945 sebagai landasan yuridisnya, yakni Pasal 27 ayat (3), Pasal 30 ayat
(1), dan Pasal 31 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5). Peraturan perundang-undangan lain di bawah
UUD 1945 yang menjadi landasan yuridis Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi
adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pendidikan Tinggi.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi


Departemen Pendidikan Nasional Nomor : 43/Dikti/ Kep/2006, tanggal 2 Juni 2006 dinyatakan
bahwa materi kajian Pendidikan Kewarganegaraan mencakup:

1. Filsafat Pancasila
2. Identitas Nasional
3. Politik dan Strategi
4. Demokrasi Indonesia
5. Hak Asasi Manusia dan Rule of Law
6. Hak dan Kewajiban Warga Negara
7. Geopolitik Indonesia
8. Geostrategi Indonesia

Secara akademik, konsep dan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan bermula


dari konsep dan pengertian Pendidikan Kewiraan. Setelah mengalami perubahan dan
pergantian nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, maka pengertiannya menjadi lebih
luas tidak sekadar berkaitan dengan pendidikan dasar bela negara semata. Pendidikan
kewarganegaraan dalam konteks reformasi diartikan sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh
masyarakat dan pemerintah melalui proses sosialisasi, pelatihan, pendidikan, pembelajaran,
pembimbingan, penelitian, dan desiminasi terhadap nilai-nilai luhur, budi pekerti, moral
bangsa, nation and character building untuk memmecahkan masalah masyarakat, bangsa dan
negara demi kemajuan, kelangsungan, dan kejayaan bangsa Indonesia.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mengalami pergeseran dari tujuan yang


bersifat pragmatis berkaitan dengan bela negara dan cinta tanah air sebagaimana tercantum di
dalam tujuan pendidikan kewiraan menjadi lebih luas tidak sekadar bela negara dan cinta tanah
air, melainkan lebih bersifat akademik-ilmiah sesuai dengan tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan dengan menekankan pada membumikan semangat nasionalisme melalui
sense of crisis untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia.

Objek Pendidikan Kewarganegaraan dapat dibagi menjadi dua aspek, yakni objek
material dan objek formal. Objek material Pendidikan Kewarganegaraan adalah eksistensi
warga negara dan dinamikanya dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa, dan bernegara
Indonesia yang terus mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan perkembangan
zaman. Objek formal Pendidikan Kewarganegaraan berkaitan dengan dimensi sistem
ketatatanegaraan yang memfokuskan pada hubungan fungsional negara (state) dan warga
negara (citizen).
BAB II
FILSAFAT PANCASILA DAN IDEOLOGI NEGARA

Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya mengandung arti bahwa sila-sila
Pancasila merupakan suatu kesatuan yang utuh, sistematis, komprehensif, dan runtut (koheren).
Utuh mengandung makna bahwa sila-sila Pancasila tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain
karena hilang satu sila maka sila-sila Pancasila yang lain akan kehilangan maknanya.
Sistematis mengandung arti bahwa sila-sila Pancasila hanya dapat dipahami dan dimaknai
secara menyeluruh (komprehensif).

Tiga teori untuk menjelaskan kesatuan dan susunan Pancasila, pertama kesatuan
Pancasila majemuk-tunggal bersifat organis mengandung arti bahwa Pancasila susunannya
terdiri atas bagian-bagian yang tidak terpisahkan dan masing-masing bagian mempunyai
kedudukan dan fungsi tersendiri, yang meskipun berbeda tidak saling bertentangan, akan tetapi
saling melengkapi, bersatu untuk terwujudnya keseluruhan, dan keseluruhan membina bagian-
bagian. Kedua, susunan dan bentuk Pancasila hierarkis piramidal mengandung arti bahwa
susunan sila-sila Pancasila tersusun secara hierarkis dan memiliki bentuk piramidal.

Istilah ideologi berasal dari kata idea yang mengandung arti gagasan, konsep,
pengertian dasar, cita-cita dan logos yang mengandung arti ilmu. Secara harfiah ideologi
mengandung arti ilmu pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari idea
disamakan dengan cita-cita. Dengan demikan, ideologi mencakup pengertian tentang ide-ide,
pengertian dasar, gagasan, dan cita-cita. Setiap ideologi selalu tersimpul adanya tiga unsur
pokok, yakni:

1. Unsur keyakinan, mengandung makna bahwa setiap ideologi selalu memuat konsep-
konsep dasar yang menggambarkan seperangkat keyakinan yang diorientasikan kepada
tingkah laku para pendukungnya untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan.
2. Unsur mitos, mengandung makna bahwa setiap ideologi selalu memitoskan suatu
ajaran dari seseorang atau suatu badan sebagai kesatuan, yang secara fundamental
mengajarkan suatu cara bagaimana sesuatu hal yang ideal itu pasti akan dapat dicapai.
3. Unsur loyalitas, mengandung makna bahwa setiap ideologi selalu menuntu adanya
loyalitas serta keterlibatan optimal para pendukungnya. Untuk mendapat derajat
penerimaan optimal, dalam ideologi terkandung juga adanya tiga sub unsur, yaiut
rasional, penghayatan dan susila.
Dari perspektif filsafat, sebagian ahli mengidentifikasi dan membedakan bahwa
nila-nilai yang terkandung di dalam Pancasila terdiri atas tiga, yaitu:

1. Nilai dasar (basic value), yaitu nilai yang sangat fundamental, abstrak dan universal.
Nilai dasar ini menjadi fondasi dan landasan bagi nilai instrumental dan nilai praksis.
Nilai dasar Pancasila adalah Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan
Keadilan.
2. Nilai instrumental (instrumental value), yaitu nilai-nilai yang dijabarkan dari nilai-nilai
dasar Pancasila, sekaligus nilai-nilai untuk mengimplementasikan nilai dasar Pancasila.
Nilai instrumental Pancasila seperti : nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai kejujuran,
nilai kesetiakawanan sosial, nilai kebersamaan, nilai kesopanan, nilai toleransi, nilai
patriotisme, nilai kesederhanaan, nilai kerja keras, dan lain-lain.
3. Nilai praksis (praxis value), yaiut nilai-nilai yang langsung diterapkan dan dipraktikkan
dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai praksis ini merupakan nilai yang bersifat
implementatif sebagai pelaksanaan dari nilai dasar dan nilai instrumental Pancasila.
Nilai praksis ini langsung bersentuhan dengan sikap dan perilaku manusia sebagai
makhluk individu, makhluk sosial, dan warga negara.

Secara rinci penjelasan unsur-unsur yang melekat pada diri Pancasila sebagai
landasan filsafati dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Realitas dalam arti bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam dirinya
mencerminkan kenyataan objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Pancasila harus mampu memberikan citra bahwa dirinya adalah identik dengan
masyarakat di mana ia dilahirkan dan ditumbuhkembangkan.
2. Idealitas dalam arti bahwa kadar idealisme yang terkandung di dalamnya mampu
mendorong motivasi, mendorong kreativitas para subjek pendukungnya untuk
berkarya, sehingga nila-nilai yang dikandungnya bukanlah sekadar utopi tanpa makna,
melainkan mampu menjanjikan bahwa nilai-nilai tadi pada saatnya akan dapat
dinikmati oleh siapapun dalam kenyataan hidup sehari-hari.
3. Fleksibilitas dalam arti bahwa setiap konsep filsafati Pancasila terbuka bagi tafsir-tafsir
baru sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Dengan demikian, pancasila tidak
kehilangan aktulitas dan relevansinya dalam kondisi objektif yang mana pun dan kapan
pun, tanpa kehilangan nilai-nilai intriksiknya, yang berarti secara efektif mampu
berfungsi sebagai daseingrund dan leitsmotief sekaligus.
BAB III
IDENTITAS NASIONAL, NASIONALISME, DAN
NEGARA-BANGSA (NATION-STATE)

Dalam banyak literatur dan referensi, istilah identitas diartikan sebagai ciri, tanda,
jati diri yang melekat pada seseorang. Nasional diartikan sebagai bangsa. Jadi identitas nasional
secara harfiah mengandung makna ciri khas dan jati diri yang melekat pada suatu bangsa.
Konsep identitas nasional sebagai atribut bangsa itu sendiri sesungguhnya memiliki banyak
dimensi, baik dimensi politik, sosial-budaya, ekonomi, ideologi maupun pertahanan dan
keamanan.

Konsep identitas nasional sebagai atribut bangsa itu sendiri sesungguhnya


memiliki banyak dimensi, baik dimensi politik, sosial-budaya, ekonomi, ideologi maupun
pertahanan dan keamanan. Kelahiran identitas nasional suatu bangsa dipengaruhi oleh hasil
interaksi historis antara empat faktor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor
penarik, dan faktor reaktif. Dari sekian faktor yang mendorong lahirnya identitas nasional, bagi
bangsa Indonesia faktor keempat adalah merupakan faktor yang lebih dominan.

Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia, selain merupakan aset yang


berhargasebagai modal pembangunan nasional dan kemajuan bangsa,tetapi di sisi lain ternyata
mengandung kelemahan karena dapat menjadi potensi munculnya konflik sosial. Secara
objektif dapat dilihat bahwa akibat pilitisassi kemajemukan (pluralitas) dan wawasan
kebangsaan berdampak pada munculnya masalah-masalah sosial dan politis di tengah-tengah
masyarakat.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan fundamental sebagai akibat pluralisme


masyarakat dan bangsa Indonesia tersebut diperlukan suatu pemikiran dan tindakan yang
elegan, populis, dan bijaksana dari seluruh komponen bangsa dan pemerintah. Suatu etika
pluralisme perlu kita perkenalkan, yaitu etika yang mengajarkan sopan santun dalam sikap dan
pendapat dalam mengahdapi pendapat-pendapat lain yang berbeda atau bertentangan.

Secara etimologi, nasionalisme berasal dari bahasa latin, yakni natio yang artinya
bangsa yang dipersatukan karena kelahirannya, dari kata Nasci yang berarti kelahiran, maka
jika dihubungkan secara objektif, maka yang paling lazim dikemukakan adalah bahasa, ras,
agama, peradaban (civilization), wilayah, negara, dan kewarganegaraan. Istilah nasionalisme
itu sendiri sering kali digunakan untuk menunjukkan semangat patriotisme seseorang dalam
membela bangsa dan negara. Didalam kehidupan masyarakat, istilah nasionalisme kemudian
berkembang pengertiannya lebih luas dan fleksibel dalam kaitannya perkembangan negara
kebangsaan (nation-state) di era global dan abad modern sekarang ini.

Bagi bangsa Indonesia, konsep nasionalisme yang relevan perlu dikembangkan


adalah pada konsep konsep berpartisipasi sebagai bagian dari aktor masyarakat dunia dalam
memecahkan masalah-masalah dunia, seperti terorisme, narkotika, kerusakan lingkungan, dan
lain-lain, tetapi dalam kaitannya dengan kepentingan nasional, maka kepentingan nasional
wajib dilindungi negara. Dalam perspektif ini, kepentingan nasional merupakan harga mati,
diperjuangkan, dan dijaga dari keserakahan kepentingan asing neo-liberalisme dan neo-
kapitalisme.

Dalam konteks nasionalisme bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa


kebangkitan nasionalisme dimulai dari pergerakan-pergerakan para pemuda Indonesia untuk
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan. Dari evolusi
nasionalisme tersebut, maka dapat digarisbawahi bahwa nasionalisme tersebut dibangun atas
semangat kebersamaan dan persaudaraan hanya satu tujuannya, yaitu Indonesia merdeka bebas
dari penjajahan kolonial Belanda.

Untuk mencapai tujuan agar bangsa Indonesia dapat membangun dan


membangkitkan kembali wawasan kebangsaan sebagai suatu unsur penting negara bangsa
(nation-state) dan menjaga keutuhan NKRI, maka langkah awal dan strategis adalah
melakukan reorientasi dan reaktualisasi mengenai wawasan kebangsaan bagi masyarakat luas.
Dalam konteks ini, wawasan kebangsaan dapat menjadi konsep politik untuk mempersatukan
dan menyatukan berbagai elemen dan komponenbangsa yang majemuk (pluralis).

Selain menumbuhkan kesadaran, kepemimpinan nasional, dan kesihivitas


masyarakat, untuk menumbuhkan semangat kebangsaan Indonesia dari semangat kedaerahan,
maka perlu menempatkan pancasila sebagai platform yang melandasi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila didalam kehidupan
sehari-hari dapat menjadi filter dari pengaruh ego kedaerahan dan otonomi daerah dalam arti
sempit
BAB IV
HUBUNGAN NEGARA DAN WARGA NEGARA

Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2006, Tentang Kewarganegaraan Republik


Indonesia telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kewarganegaraan, meliputi: (a)
siapayang menjadi warga negara Indonesia, (b) syarat dan tata cara memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia, (c) kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia,
(d) syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia, dan (e)
ketentuan pidana.

Adapun asas-asas kewarganegaraan yang bersifat umum (universal) adalah sebagai


berikut:

1. Asas ius sanguinis (law the blood)


2. Asas ius soli (law of the soil
3. Asas kewarganegaraan tunggal
4. Asas kewarganegaraan ganda

Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus jugamenjadi dasar penyusuna
UU Nomor 12 Tahun 2006 adalah sebagai berikut:

1. Asas kepentingan nasional


2. Asas perlindungan maksimum
3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan
4. Asas kebenaran substantif
5. Asas nondiskriminatif
6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
7. Asas keterbukaan
8. Asas publisitas

Dalam perspektif global, permasalahan kewarganegaraan di Indonesia semakin


rumit dan kompleks. Dampak dari kompleksitas permaslahan di berbagai bidang kehidupan
tidak menutup kemungkinan terjadinya kewarganegaraan ganda (bipatride) dan tidak memiliki
sama sekali kewarganegaraan (apatride).

Hak-hak warga negara menurut konstitusi/UUD 1945 (UUD 1945 yang sudah
diamandemen) yaitu :
1. Hak warga negara akan eksistensi hak-hak tradisionalnya
2. Hak warga negara di bidang hukum dan pemerintahan
3. Hak warga negara di bidang ekonomi
4. Hak warga negara dalam pembelaan negara
5. Hak warga negara dalam bidang politik
6. Hak asasi manusia

Mengenai kewajiban warga negara sebagaimana yang diatur di dalam UUD 1945
yaitu:

1. Kewajiban warga negara dalam bidang hukum dan pemerintahan


2. Kewajiban warga negara dalam bidang pembelaan negara
3. Kewajiban warga negara dalam bidang pertahanan dan keamanan negara
4. Kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan

Mengenai kewajiban negara menurut UUD 1945 yaitu:

1. Kewajiban negara dalam perlindungan dan penegakan HAM


2. Kewajiban negara dalam bidang agama
3. Kewajiban negara dalam bidang pertahanan dan keamanan negara
4. Kewajiban negara dalam bidang pendidikan
5. Kewajiban negara dalam bidang kebudayaan
6. Kewajiban negara dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan
7. Kewajiban negara dalam bidang jaminan sosial
8. Kewajiban negara dalam bidang kesehatan dan fasilitas umum

Meskipun secara normatif bahwa hak dan kewajiban warga negara sudah diatur
sedemikian rupa baiknya di dalam UUD 1945 dan undang-undang lainnya, tetapi faktanya atau
kenyataannya bahwa masih ada sebagian warga negara Indonesia belum menerima hak-haknya
dengan penuh dan baik. Berbagai masalah yang di hadapi masyarakat Indonesia menyangkut
hak-hak warga negara, menunjukan bahwa negara belum melaksanakan kewajibannya untuk
melindungi warga negara dengan baik.
BAB V
HAK ASASI MANUSIA DAN PROBLEMATIKANYA

Pengertian dan konsepsi HAM mengandung makna yang mendalam bahwa


manusia itu adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahi dengan berbagai hak dasar
yang melekat pada manusia itu sendiri. Dengan demikian hak asasi manusia bukan berasal dari
negara atau hukum positif, tetapi hak asasi manusia itu ada karena kedudukan manusia itu
sendiri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dihargai, dihomati, diakui, dan
dilindungi keberadaannya oleh negara, pemerintah, hukum, dan masyarakat itu sendiri.
Pengertian lainnya mengenai HAM ditemukan di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Menurut Pasal 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Untuk tidak menimbulkan salah pemahaman dan salah persepsi terhadap
pengertian dan konsep HAM, maka diperlukan juga penjelasan mengenai pengertian kewajiban
asasi (dasar) manusia. Menurut Pasal 1 butir 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa
kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
Sejarah perkemabangan HAM ditemukan dalam beberapa referensi bahwa jauh
sebelum Magna Carta ada, konsep islam tentang HAM telah ada terlebih dahulu dikenal
dengan nama Piagam Madinah. Perkembangan HAM mulai muncul kepermukaan secara
formal dengan diundangkannya Piagam Magna Carta tahun 1215. Dalam Piagam Magna
Carta itu dicantumkan bahwa raja yang semula memiliki kekuasaan absolut menjadi dibatasi
dan dapat diminta pertanggungjawabannya di muka hukum, sehingga raja tidak kebal hukum
lagi. 400 tahun kemudian ditegaskan lagi dengan Bill of Right tahun1689. Satu abad kemudian,
yaitu pada 1776 ditandatangani Bill of Right di Amerika Serikat yang substansinya memuat
hak kebagahagiaan, dan keamanan.
Di Indonesia sendiri perkembangan HAM terus mengalami dinamika sejak
Indonesia merdeka. UUD 1945 secara eksplisit telah mencantumkan masalah HAM ke dalam
beberapa pasal, yaitu pasal 28 A sampai pasal 28 J. Pencantuman pasal-pasal yang khusus
mengatur HAM di dalam batang tubuh UUD 1945 merupakan suatu perkembangan demikrasi
yang baik dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Dengan demikian, jelas bahwa
pasal-pasal yang mengatur HAM tersebut dapat menjadi pedoman bagi warga negara dan
negara, khususnya pemerintah dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan Indonesia.
Ada cukup banyak pasal yang mengatur hak-hak asasi manusia yang tercantum di
dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 mulai dari Pasal 9 sampai Pasal 66. Meskipun demikian, dari
57 Pasal tersebut eksistensi Pasal HAM terdiri atas 10 kelompok yaitu:
1. Hak untuk hidup
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. Hak mengembangkan diri
4. Hak memperoleh keadilan
5. Hak atas kebebasan pribadi
6. Hak atas rasa aman
7. Hak atas kesejahteraan
8. Hak turut serta dalam pemerintahan
9. Hak wanita
10. Hak anak
Secara teoritis-normatif, telah tersedia berbagai instrumen HAM melalui
penghormatan, perlindungan, dan penegakan HAM secara memadai, baik yang berkaitan
dengan peraturan perundang-undanganyang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia bersama
dengan DPR Republik Indonesia maupun berbagai deklarasi dan kovenan internasional tentang
HAM, tetapi dari perspektif praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan masih sering
kali terjadi pelanggaran HAM oleh aparat negara dan pemerintah, kelompok masyarakat, dan
perusahaan nasional dan multi-nasional. Ironisnya sering kali juga terjaid kasus bahwan
penegakan hukum terhadap pelanggar HAM masih sangat lemah. Para pelaku pelanggar HAM
sulit dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan tingkat kesalahan dan pelanggarannya. Berbagai
kasus pelangggaran HAM, baik yang terjadi pada masa orde baru maupun reformasi sulit
diadili di depan pengadilan HAM. Ada beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi
pada masa orde baru yang sampai saat ini pelakunya belum diadili di hadapan pengadilan
HAM. Kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, kasus Tanjung Priok, dan kasus
Abepura merupakan contoh konkret terjadinya pelanggaran HAM berat di indoensia pada masa
orde baru
Tidak hanya di tingkat nasional pelanggaran HAM itu terjadi, tetapi pelanggaran
HAM juga terjadi di tingkat daerah di Indonesia sebagai akibat penggunaan kekerasan yang
berlebihan oleh institusi pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota.
BAB VI
DEMOKRASI, KONSTITUSI DAN RULE OF LAW

Secara etimologi, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan
cratos atau cratein, demos artinya rakyat, sedangkan cratos/cratein artinya pemerintahan atau
kekuasaan. Jadi demokrasi mengandung arti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat.
Dalam perkembangannya kata demokrasi mengalami perkembangan menjadi populer di
berbagai kalangan untuk menjelaskan bahwa rakyat adalah pemegang utama kedaulatan,
kekuasaan dan/atau pemerintahan. Esensi dari pengertian demokrasi sesungguhnya adalah
kedaulatan rakyat. Esensi dari pengertian ini bahwa demokrasi itu sesungguhnya menempatkan
rakyat menjadi subjek, dan sekaligus objek dari demokrasi itu sendiri. Pemerintahan berasal
dari rakyat melalui proses demokrasi, yaitu melalui pemelihan umum, dimana untuk
menjalankan roda pemerintahan dan penyelenggaraan negara akan diwakili oleh wakil-wakil
rakyat, baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif, dan tujuan utama diselenggarakannya
pemerintahan adalah untuk kesejahteraan rakyat semata.
Keberhasilan demokrasi di Indonesia tidak dapat hanya diukur secara kuantitatif
dari terselenggaranya pemilihan presiden dan pemilihan umum legislatif semata, melainkan
bahwa apakah demokrasi itu mampu mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi
masyarakat, terlaksananya kebebasan berserikat dan berkumpul, adanya akses masyarakat
terhadap sumber-sumber ekonomi nasional, akses politik, jaminan keamanan, dan kenyamanan
, terlindunginya hak-hak minoritas, peradilan yang mandiri, bebas, dan merdeka, adanya
jaminan HAM, terciptanya pemerintahan yang clean nad good governance, dan
terselenggaranya pemerintah yang menjunjung tinggi prinsip Rule of Law serta terwujudnya
equality before the law dalam penegakan hukum.
Secara etimologis, konstitusi berasal dari bahasa Prancis, yaitu constituer, yang
berarti membentuk. Pemakaiaan istilah konstitusi dimaksudkan untuk pembentukan suatu
negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Konstitusi bisa berarti pula peraturan
dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Istilah konstitusi bisa dipersamakan dengan
hukum dasar atau Undang-Undang Dasar. Ada beberapa pengertian konstitusi yang
dikemukakan oleh para ahli, yang pada intinya memiliki kandungan dan makna yang sama.
Meskipun rumusannya tampak berbeda-beda, tetapi jika dicermati substansinya memiliki
persamaan antara satu pendapat dengan pendapat yang lainnya.
Perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia Pasca Kemerdekaan Republik
Indonesia sangat cepat. Hanya beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, konstitusi negara
Indonesia mengalami perubahan dan pergantian. Periodisasi konstitusi Indonesia tersebut
adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945 berlaku sejak 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.
2. UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) berlaku 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus
1950.
3. UUDS 1950 berlaku 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
4. UUD 1945 berlaku kembali sejak 5 Juli 1959 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dalam beberapa literatur, istilah rule of law diartikan dengan negara hukum. Ada
beberapa pandangan berbeda mengenai pengertian rule of law. Rule of law dalam pengertian
hakiki (materiel) sangat erat hubunganya dengan menegakan the rule of law, karena dalam
pengertian hakiki telah menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang
buruk (just and unjust law). Ciri-ciri dan prinsip-prinsip negara hukum yang tercantum di
dalam Batang Tubuh UUD 1945 terdapat dalam pasal-pasal yakni adalah sebagai berikut:
1. Pasal 1 ayat (3)
2. Pasal 14 ayat (1)
3. Pasal 24 ayat (1)
4. Pasal 27 ayat (1)
5. Pasal 28D ayat (1)
6. Pasal 28D ayat (2)
7. Pasal 28H ayat (2)
8. Pasal 28I ayat (5)
9. Pasal 28J ayat (5)
Dalam perspektif mengenai paham negara hukum, telah berkembang persepsi dan
pandangan dari berbagai kalangan masyarakat bahwa hukum itu hanya tajam ke bawah tetapi
tumpul ke atas. Persepsi dan pandangan masyarakat demikian itu sangat beralasan karena sudah
banyak contoh kasus-kasus hukum yang melibatkan banyak oknum pejabat tetapi tidak
diproses secara hukum dengan menjunjung tinggi prinsip equality before the law, bahwa di
depan hukum semua orang harus diperlakukan sama, tanpa diskriminasi.
BAB VII
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA

Dari segi estimologi, istilah wawasan berasal dari bahasa Jawa (kata kerja), yaitu
wawas, yang mengandung arti melihat, memandang atau meninjau. Dengan demikian, istilah
atau kata wawasan mengandung arti penglihatan, pandangan, tinjauan, atau tanggapan. Dengan
kata lain, kata wawasan menunjukkan dua konsep, yaitu wawasan mengandung konsep isi
(berisi tujuan dan cita-cita) dan wawasan mengandung konsep cara (cara mencapai tujuan dan
cita-cita tersebut). Dengan demikian wawasan nasional dapat diartikan sebagai cara pandang
suatu bangsa dan negara untuk mencapai dan mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional dari
bangsa dan negara yang bersangkutan.
Wawasan nusantara terdiri atas dua kata, yaitu wawasan dan nusantara. Wawasan
berarti cara pandang, cara penglihatan atau cara peninjauan, sedangkan nusantara berasal dari
dua suku kata, yaitu nusa yang artinya pulau, dan antara. Jadi nusantara mengandung arti pulau-
pulau yang terletak di antara dua benua (yaitu benua Asia dan Australia). Dengan demikian
wawasan nusantara dapat diartikan sebagai cara pandang sebagai cara pandang bangsa
Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka
mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana cita-cita dan tujuan nasional yang
tercantum di dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945.
Sebagai konsepsi politik ketatanegaraan, wawasan nusantara mengandung makna
bahwa setiap penyelenggara negara dalam setiap mengambil keputusan politik dan kebijakan-
kebijakan publik harus selalu mempertimbangkan aspek kemajemukan (pluralitas) bangsa dan
kondisi konstelasi geografis negara serta aspek-aspek lainnya, seperti aspek ideologi, ekonomi,
sosial-budaya, dan pertahanan dan keamanan negara. Wawasan nusantara sebagai konsepsi
politik juga tidak terlepas dari adanya tekad untuk bersatu dalam kerangka NKRI. Dalam
perspektif sejarah bangsa Indonesia, adanya tekad untuk bersatu dilatarbelakangi oleh tiga
alasan pokok, yaitu secara kultural, secara politik dan secara ideologis.
Untuk mencapai tujuan nasional dan cita-cita nasional, wawasan nusantara sebagai
konsepsi politik memiliki tujuan, baik secara ke dalam maupun keluar. Tujuan wawasan
nusantara ini adalah sebagai serikut:
1. Tujuan ke dalam, mewujudkan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan nasional, baik
aspek alamiah maupun aspek sosial. Tujuan ke dalam ini sejalan dengan tujuan
nasional, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
2. Tujuan ke luar, turut serta mewujudkan kebahagiaan, ketertiban, dan perdamaian bagi
umat manusia. Tujuan ke luar ini sejalan dengan tujuan nasional, yaitu ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Wawasan nusantara sebagai konsepsi kewilayahan memiliki enam dimensi dalam
perspektif praksis meliputi:
1. Wawasan nusantara sebagai satu kesatuan politik.
2. Wawasan nusantara sebagai satu kesatuan ekonomi.
3. Wawasan nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya
4. Wawasan nusantara sebagai satu kesatuan hukum
5. Wawasan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan
6. Wawasan nusantara sebagai satu kesatuan wilayah nasional/nusantara
Secara teoritis, wawasan nusantara sebagai konsepsi politik dan kewilayahan
merupakan suatu konsep yang sangat ideal bagi negara kepulauan, seperti negara negara
Indonesia. Sebagai konsepsi politik, wawasan nusantara mampu menjadi landasan bagi bangsa
dan negara Indonesia dalam menjaga keharmonisan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dit tengah-tengah keberagaman
(kemajemukan) bangsa Indonesia. Sebagai konsepsi kewilayahan, wawasan nusantara mampu
menghubungkan dan mempersatukan wilayah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau-pulau
menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam bingkai NKRI. Kedua konsep tersebut
merupakan sesuatu yang ideal bagi bangsa dan negara Indonesia di tengah-tengah
kemajemukan (pluralitas) bangsanya dan luasnya wilayah serta dalam hubungannya
antarbangsa di dunia internasional.
Secara normatif juga dijelaskan bahwa wawasan nusantara sebagai wawasan
nasional bangsa Indonesia dapat diimplementasikan dalam kehidupan nasional, khususnya
dalam pembangunan nasional. Implementasi wawasan nusantara sebagai wawasan nasional
dan pembangunan nasional tersebut meliputi:
1. Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik.
2. Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan ekonomi.
3. Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya.
4. Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan.
BAB VIII
KETAHANAN NASIONAL SEBAGAI GEOSTRATEGI INDONESIA DAN
ANCAMAN TERHADAP NEGARA

Secara filosofis, ketahanan nasional mengandung makna yang sangat dalam dan
mendasar bagi kedaulatan dan keutuhan NKRI, sedangkan secara empiris ketahanan nasional
menghadapi berbagai masalah yang dinamis seiring dengan dinamika kehidupan bangsa dan
negara Indonesia, baik karena dinamika perubahan yang terjadi di dalam negeri maupun
perubahan global di luar negeri.
Secara substansial bahwa konsep ketahanan nasional mengandung beberapa unsur
pokok sebagai berikut:
1. Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamis.
2. Ketahanan nasional mengandung keuletan, ketangguhan, kemampuan, dan kekuatan.
3. Ketahanan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
4. Ketahanan nasional mampu mengatasi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan
(ATHG).
5. ATHG tersebut, baik dari dalam maupun luar, langsung maupun tidak langsung.
6. ATHG tersebut membahayakan integritas, identitas, dan kelangsungan hidup bangsa
dan negara Indonesia.
7. Tujuan ketahanan nasional adalah mencapai cita-cita dan tujuan nasional.
Secara teoritis, ada beberapa sifat ketahanan nasional sebagai konsepsi
penyelenggaraan negara. Hal ini penting untuk menghindari semakin melemahnya ketahanan
nasional dan sebaliknya dengan menerapkan sifat-sifat tersebut secara baik, benar, dan
konsisten dapat meningkatkan kualitas ketahanan nasional bangsa dan negara Indonesia. Sifat-
sifat ketahanan nasional sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan negara adalah:
1. Manunggal.
2. Mawas ke dalam.
3. Kewibawaan.
4. Dinamis atau berubah menurut waktu.
5. Menolak sikap adu kekuatan dan adu kekuasaan.
6. Percaya pada diri sendiri.
7. Tidak bergantung kepada pihak lain.
Sejarah menunjukkan bahwa gagasan tentang ketahanan nasional sebagai
geostrategi Indonesia dimulai sejak awal tahun enam puluhan di SSKAD (sekarang
SESKOAD). Awal gagasan mengenai ketahanan nasional ini bermula dari perkembangan
lingkungan strategik di kawasan Indo China yang ditandai dengan meluasnya pengaruh
komunisme di kawasan tersebut.
Secara teoritis dan konseptual, ketahanan nasional sebagai sesuatu konsep politik
dan geostrategi Indonesia merupakan suatu konsep yang ideal bagi arah dan pedoman
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Keteladanan dan konsistensi serta komitmen,
khususnya dari para pemimpin formal dan pemimpin nonformal menjadi unsur utama untuk
memperkuat dan memperkokoh kondisi ketahanan nasional, baik di masa sekarang ini maupun
di masa yang akan datang.
Implementasi ketahanan nasional dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahan adalah masih adanya oknum pejabat negara dan pemerintahan yang tersandung
kasus-kasus hukum. Masalah mendasar lain dalam implementasi ketahanan nasional,
khususnya dalam bidang legislatif adalah belum maksimalnya fungsi DPR dan DPRD. Fungsi
legislasi dan kontrol terhadap pemerintah belum berjalan dengan baik, tepat dan cepat.
Sulitnya mengimplementasikan ketahanan nasional dalam penyelenggaraan negara
di bidang peradilan di Indonesia adalah sebagai akibat telah terjadi demoralisasi oknum aparat
penegak hukum itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa munculnya banyak
masalah-masalah yang memperlemah kondisi ketahanan nasional Indonesia sebagai akibat
masalah moralitas dan mental aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan.
Masalah mendasar lainnya yang dapat mengganggu dan mengancam keamanan
nasional dan keutuhan serta kedaulatan bangsa dan negara Indonesia adalah masalah terorisme
dan radikalisme. Isu masalah terorisme dan radikalisme muncul ke permukaan dan
mengguncang stabilitas keamanan dan ketertiban nasional ketika terjadi peledakan bom Bali
oleh kelompok militan atau kelompok fundamentalis yang selalu mengatasnamakan agama.

You might also like