You are on page 1of 61

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

BLOK 19 : KEGAWATDARURATAN MEDIS


MODUL 2 :PENURUNAN KESADARAN, KELEMAHAN ANGGOTA
GERAK, DAN KEJANG

Disusun oleh : Kelompok 5

Effi Setyoadi
Faqih Sulthon
Wilanda Ayu
Nur Rafiah
Annisa Bilfaqih
Ahmad Shafwan Natsir
Claudia Purnamatika
Lamtioma R.S Gultom
Trikortea Espandiarie
Annisa
Annisa R

Tutor : dr. Nurul Hasanah, M.Kes

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2014/2015

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan hidayah-Nyalah makalah "Penurunan Kesadaran, Kelemahan
Anggota Gerak, dan Kejang" ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil
(DKK) kami. Makalah ini secara menyeluruh membahas keadaan yang
menyebabkan gangguan pada system syaraf secara detail.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Pertama-tama kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Nurul Hasanah, M. Kes selaku tutor kelompok 5 yang telah membimbing
kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil (DKK) dalam skenario
modul 2 blok 19 ini.
2. Teman-teman kelompok 5 yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya
sehingga diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik
dan dapat menyelesaikan makalah hasil diskusi kelompok kecil (DKK)
kelompok 5.
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
angkatan 2011, segala fasilitas yang telah kami gunakan untuk menambah
pengetahuan tentang modul kali ini, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat
kami sebutkan satu persatu.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak, tentunya makalah ini sangat jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun sangat kami
harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi makalah hasil diskusi kelompok
kecil (DKK) ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2

DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I ...................................................................................................................... 4

LatarBelakang ..................................................................................................... 4

Tujuan Pembelajaran ........................................................................................... 4

BAB 2 ..................................................................................................................... 5

SKENARIO ....................................................... Error! Bookmark not defined.

STEP 1 IDENTIFIKASI ISTILAH ..................................................................... 5

STEP 2 IDENTIFIKASI MASALAH ................................................................ 6

STEP 3 BRAINSTORMING .............................................................................. 6

STEP 4 STRUKTURISASI KONSEP ................................................................ 9

STEP 5 LEARNING OBJECTIVE ..................................................................... 9

STEP 6 BELAJAR MANDIRI ......................................................................... 10

STEP 7 .............................................................................................................. 10

BAB3......................................................................................................................60

Kesimpulan........................................................................................................60

Saran..................................................................................................................60

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 61

3
BAB I
PENDAHULUAN

LatarBelakang
Banyak keadaan yang bisa menyebabkan hilangnya kesadaran yang
bisa menyebabkan terganggunya system system yang lain, penurunan
kesadaran apabila tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan keadaan
gawat darurat yang berakhir dengan kematian.
Ada berbagai keadaan yang bias menyebabkan penurunan kesadaran
yaitu gangguan neurologis sentral, gangguan neurologis perifer, kelainan
metabolic, intoksikasi dan infeksi. Keadaan tersebut bisa menyebabkan
kematian apabila tidak ditangani dengan segera.Untuk itu penanganan yang
tepat akan mengurangi resiko komplikasi yang lebih buruk.

Tujuan Pembelajaran
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kecil yang kami lakukan dengan
membahas skenario Tak Sadar ini kami telah manentukan tujuan
pembelajaran kami, yaitu : mempelajari stroke, penanganan pasien tidak
sadar, koma dan kematian batang otak.

4
BAB 2
PEMBAHASAN

SKENARIO
TAK SADAR

Pak Joko, 65 tahun, dibawa ke IGD RS karena tidak sadar. Keluarga yang
mengantar tidak mengetahui dengan pasti sejak kapan pasien tidak sadar. Diduga
pasien sudah tidak sadar selama 1 jam.
Sebelumnya keluarga sudah memanggil dokter keluarga ke rumah untuk
memeriksa pak Joko. Setelah memeriksa tanda-tanda trauma, kelemahan anggota
badan dan kesadaran dokter keluarga memutuskan untuk segera merujuk pak Joko
ke RS.
Pada pemeriksaan awal dokter jaga IGD menemukan: GCS 5; lateralisasi
kiri, tekanan darah 220/120 mmHg; nadi 100 x/menit; suhu 38,1 C. saturasi
oksigen 92%; gula darah sewaktu 60 mg/dl dan kolesterol 237 mg/dl
Dokter jaga IGD mempertimbangkan meletakkan pasien dalam supine position,
melakukan intubasi dan CT Scan, memberikan antihipertensi dan antitrombolitik.
STEP 1 IDENTIFIKASI ISTILAH
1. Lateralisasi Kiri : Hemiparesis (kehilangan tonus otot gangguan
vascular) atau hemiplegia (kehilangan tonus otot)
pada sinistra
2. Supine Posterior : Sikap berbaring terlentang
3. Intubasi : Pipa endotrakeal yang dimaskkan melalui mulut
untuk membebaskan jalan nafas.
4. Trombolitik : Regimen membuat litik thrombosis.
5. Saturasi Oksigen : Daya ikat oksigen pada pembuluh darah
6. Antihipertensi : Regimen encegah hipertensi
7. CT Scan : Computerized Tomograpy Scan adalah alat
pencitraan tubuh

5
STEP 2 IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa kesadaran pasien menurun dan apakah ada hubungan dengan
riwayat hipertensi?
2. Mengapa pasien menderita lateralisasi kiri?
3. Apakah hubungan hiperkolesterolemia dengan hemiparese kiri dan
penurunan kesadaran?
4. Apakah ada hubungan dengan waktu timbulnya gejala?
5. Apakah indikasi dan tujuan dari pemeriksaan CT Scan kepala? Apa ada
pemeriksaan lainnya?
6. Bagaimana alur diagnosa dan DD dari kasus di atas?
7. Bagaimana penatalaksanaan awal?

STEP 3 BRAINSTORMING
1. Penurunan kesadaran disebabkan oleh kurangnya oksigen yang masuk ke
dalam otak. Hubungannya dengan hipertensi adalah karena hipertensi
mengganggu aliran darah ke otak yang disebabkan oleh perubahan struktur dari
pembuluh darah itu sendiri. Aliran darah ke otak dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu tekanan, tahanan dan viskositas. Mekanisme pengaturan kesadaran di atur
oleh ARAS yang jika terganggu akan mengakibatkan penurunan kesadaran.
Etiologi dari penurunan kesadaran :
a. S: Sirkulasi : Meliputi stroke dan penyakit jantung
b. E: Ensefalitis : Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi
sistemik / sepsis yang mungkin
melatarbelakanginya atau muncul secara
bersamaan.
c. M: Metabolik : Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia,
uremia, koma hepatikum
c. E: Elektrolit : Misalnya diare dan muntah yang berlebihan
d. N: Neoplasma : Tumor otak baik primer maupun metastasis
e. I: Intoksikasi : Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan
kimia dapat menyebabkan penurunan kesadaran

6
f. T: Trauma : Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio,
perdarahan epidural, perdarahan subdural, dapat
pula trauma abdomen dan dada.
g. E: Epilepsi : Pasca serangan Grand Mall atau pada status
epileptikus dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
2. Lateralisasi kiri terjadi jika kerusakan otak terdapat di sebelah kanan. Hal ini di
sebabkan karena adanya kelainan atau lesi sepanjang traktus piramidalis. Lesi
ini dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai darah, kerusakan jaringan oleh
trauma atau infeksi, ataupun penekanan langsung dan tidak langsung oleh
massa hematoma, abses, dan tumor. Hal tersebut selanjutnya akan
mengakibatkan adanya gangguan pada tractus kortikospinalis yang
bertanggung jawab pada otot-otot anggota gerak atas dan bawah.
3. Hiperkolesterolemia akan membentuk thrombus yang menyebabkan penurunan
kesadaran dan thrombus dapat menekan saraf sehingga menyebabkan
hemiparese.
4. Indikasi CT Scan
- Trombus
- Perdarahan subdural
- Membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik
- Kelainan pada otak
- Trauma pada kepala
Untuk pemeriksaan hemiparese dengan pemeriksaan refleks dan laboratorium.
5. Alur diagnosis
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik : - Keadaan umum
- Refleks fisiologis dan patologis
- Skoring stroke
c. Penunjang : Laboratorium
Diagnosa Banding :
- Stroke Hemoragik (stroke infark, stroke embolus)
- Stroke non hemoragik

7
- Epilepsi
- Cedera kepala
6. 1. Airway, breathing, circulation
2. Penyebab :
- Iskemik
- Hemoragik Beri obat anti edem
3. Jika terdapat thrombus :
- Trombus di angkat
- Beri obat antitrombolitik, indikasi :
1. Tipe embolik
2. Sesegera mungkin diberikan zat tertentu jika:
a. Sistemik 3 Jam pertama setelah onset
b. Lokal setelah 3 jam dan sebelum 6 jam dari onset
3. Tak ada perdarahan
4. Sistole 180, MAP 140
Tindakan yang dapat dilakukan
a. Stabilisasi (Airway, Breathing, Circulation)
b. Jika tekanan darah meningkat, jangan dengan serta merta ingin
menurunkan tekanan darah. Terlebih dahulu periksa MAP nya. Tekanan
darah diturunkan jika MAP 140 mmHg
c. Jika Hipoglikemi lakukan pemberian glukosa
d. Prinsip penatalaksanaan lainnya juga adalah 5B (Breath, Blood, Brain,
Blader, Bowel)

8
STEP 4 STRUKTURISASI KONSEP

Penrunan Kesadaran

Traum Stroke
a

SH SNH

DX

TX

Komplikasi

DX

STEP 5 LEARNING OBJECTIVE


Adapun learning object yang kami rumuskan pada DKK I, yaitu :
Menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
pemeriksaan, terapi, komplikasi, prognosis dari
a. Stroke hemoragik
b. Stroke non hemoragik

9
STEP 6 BELAJAR MANDIRI
Pada tahap ini kami melakukan belajar mandiri, yaitu dengan menggali lebih
dalam lagi learning object yang telah kami tentukan untuk dibahas lebih lanjut
pada DKK II.

STEP 7 SINTESIS MASALAH


STROKE HEMORRAGIK

Stroke hemorragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh


darah. Klasifikasi stroke hemorragik terdiri atas :
1. Perdarahan Intraserebral
2. Perdarahan Subarachnoid

STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL


Definisi
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
fungsi otak (fokal atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24
jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang
jelas selain vascular.
Stroke perdarahan intraserebral atau perdarahan intraserebral primer
adalah suatu sindroma yang ditandai adanya perdarahan spontan ke dalam
substansi otak.
Epidemiologi
Perdarahan intraserebral dua kali lebih banyak dibanding perdarahan
subarakhnoid (PSA) dan lebih berpotensi menyebabkan kematian atau disabilitas
dibanding infark serebri atau PSA.
Sekitar 10% kasus stroke disebabkan oleh PIS. Sumber data dari Stroke
Data Bank (SDB), (Caplan,2000) menyebutkan bahwa setidaknya 1 dari 10 kasus
stroke disebabkan oleh perdarahan parenkim otak. Populasi dimana frekuensi
hipertensinya tinggi, seperti Amerika-Afrika dan orang-orang Cina, Jepang dan
keturunan Thai, memiliki frekuensi yang tinggi terjadinya PIS. Perdarahan
intraserebral dapat terjadi pada rentang umur yang lebar, dapat terjadi pada

10
dekade tujuh puluh, delapan puluh dan sembilan puluh. Walaupun persentase
tertinggi kasus stroke pada usia dibawah 40 tahun adalah kasus perdarahan, PIS
sering juga terjadi pada usia yang lebih lanjut.
Usia lanjut dan hipertensi merupakan faktor resiko paling penting dalam
PIS. Perdarahan intraserebral terjadi sedikit lebih sering pada pria dibanding
wanita dan lebih sering pada usia muda dan setengah-baya pada ras kulit hitam
dibanding kulit putih di usia yang sama.
Patofisiologi
Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik.
Keadaan ini menyebabkan perubahan arteriosklerotik pembuluh darah kecil,
terutama pada cabang-cabang arteri serebri media, yang mensuplai ke dalam basal
ganglia dan kapsula interna. Pembuluh-pembuluh darah ini menjadi lemah,
sehingga terjadi robekan dan reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan
media dan akhirnya terbentuk aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma
Charcot-Bouchard. Hal yang sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai
pons dan serebelum. Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah
menyebabkan perdarahan ke dalam substansi otak.
Pada pasien dengan tekanan darah normal dan pasien usia tua, PIS dapat
disebabkan adanya cerebral amyloid angiopathy (CAA). Keadaan ini disebabkan
adanya akumulasi protein -amyloid didalam dinding arterileptomeningen dan
kortikal yang berukuran kecil dan sedang. Penumpukan protein -amyloid ini
menggantikan kolagen dan elemen-elemen kontraktil, menyebabkan arteri
menjadi rapuh dan lemah, yang memudahkan terjadinya resiko ruptur spontan.
Berkurangnya elemen-elemen kontraktil disertai vasokonstriksi dapat
menimbulkan perdarahan masif, dan dapat meluas ke dalam ventrikel atau ruang
subdural. Selanjutnya, berkurangnya kontraktilitas menimbulkan kecenderungan
perdarahan di kemudian hari. Hal ini memiliki hubungan yang signifikan antara
apolipoprotein E4 dengan perdarahan serebral yang berhubungan dengan amyloid
angiopathy.
Suatu malformasi angiomatous (arteriovenous malformation/AVM) pada
otak dapat ruptur dan menimbulkan perdarahan intraserebral tipe lobular.

11
Gangguan aliran venous karena stenosis atau oklusi dari aliran vena akan
meningkatkan terjadinya perdarahan dari suatu AVM.
Terapi antikoagulan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan
intraserebral, terutama pada pasien-pasien dengan trombosis vena, emboli paru,
penyakit serebrovaskular dengan transient ischemic attack (TIA) atau katub
jantung prostetik. Nilai internationa! normalized ratio (INR) 2,0 - 3,0 merupakan
batas adekuat antikoagulasi pada semua kasus kecuali untuk pencegahan emboli
pada katub jantung prostetik, dimana nilai yang direkomendasikan berkisar 2,5 -
3,5. Antikoagulan lain seperti heparin, trombolitik dan aspirin meningkatkan
resiko PIS. Penggunaan trornbolitik setelah infark miokard sering diikuti
terjadinya PIS pada beberapa ribu pasien tiap tahunnya.

Penatalaksanaan PIS
Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung
terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis
berikutnya. Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan
steroid digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang disebabkan oleh
efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi perdarahan yang luas
dan terletak dalam dapat meninggikan survival pada pasien dengan koma,
terutama yang bila dilakukan segera setelah onset perdarahan.
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas.
Pasien yang memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi
yang sangat segera dari hematoma. Angiogram memungkinkan untuk
menemukan kelainan vaskuler. Adalah sangat serius untuk memikirkan
pengangkatan PIS yang besar terutama bila ia terletak pada hemisfer yang
nondominan, bila ia bersamaan dengan hipertensi intrakranial yang menetap dan
diikuti perburukan neurologis walau telah diberikan tindakan medis maksimal.
Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya
kelainan neurologis tampaknya memerlukan evakuasi bedah segera sebagai
tindakan terpilih.
Beratnya perdarahan inisial menggolongkan pasien kedalam tiga kelompok:
1. Perdarahan progresif fatal

12
Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat
tekanan darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur catu
darahnya, gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien sering dehidrasi.
Hipoksia akibat efek serebral dari perdarahan serta obstruksi jalan nafas
memperburuk keadaan. Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan dengan
bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan gangguan batang otak.
Pengelolaan inisial pada kasus berat ini adalah medikal dengan mengontrol
tekanan darah ketingkat yang tepat, memulihkan kelainan metabolik,
mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan intrakranial dengan manitol,
steroid serta tindakan hiperventilasi.
2. Kelompok sakit ringan
3. Kelompok intermediet
Dimana perdarahan cukup berat untuk menimbulkan defisit neurologis
parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak dapat bertahan
hidup. Tindakan medikal diatas diberikan hingga ia keluar dari keadaan
berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda
perbaikan. Pada keadaan ini pengangkatan hematoma, terutama yang terletak
pada substansi putih, dilakukan secara bedah. Akhir-akhir ini diteliti bahwa
bila tanpa disertai efek massa jelas, tidak terbukti bahwa operasi terhadap PIS
kecil, terutama bila terletak superfisial pada substansi putih subkortikal, akan
memperbaiki outcome. Dalam mempertimbangkan tindakan operasi tersangka
PIS hipertensif, angiogram penting untuk mencari penyebab potensial
lain seperti aneurisma, AVM atau tumor. Sayangnya kemungkinan amiloid
tidak begitu dapat diprediksi dan bila ditemukan mungkin agak menimbulkan
kesulitan saat operasi dalam hal mengatasi perdarahan.
Juga sangat penting untuk mencari kelainan perdarahan sebelum
operasi dan mengoreksinya bila mungkin. Perdarahan primer fossa posterior
mempunyai keistimewaan dimana evakuasi dini dari hematoma pada pasien
yang hidup setelah perdarahan inisial merupakan urgensi yang sangat.
Obstruksi jalur CSS baik pada akuaduk atau ventrikel keempat menyebabkan
hidrosefalus segera yang memperburuk keadaan pada pasien yang
perdarahannya sendiri belum tentu mengancam jiwa.

13
Perdarahan serebeler biasanya timbul tanpa disertai kehilangan
kesadaran, ataupun defisit motorik atau sensorik. Namun nyeri kepala,
pusing, serta kesulitan berjalan, dan gerak mata abnormal sering terjadi.
Karena perburukan klinis sering terjadi sangat cepat dan tindakan evakuasi
secara bedah telah diperlihatkan bermanfaat, penting sekali menemukan
kelainan klinisnya sesegera mungkin.
Penatalaksanaan Secara Medik
1. Penilaian dan Pengelolaan Inisial
Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien serta
etiologi, ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli apakah tindakan
konservatif atau bedah yang akan dilakukan, penilaian dan tindakan medikal
inisial terhadap pasien adalah sama.
Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan
awal harus dilakukan bersama tanpa penundaan yang tak perlu.
Pemeriksaan neurologis inisial, yang dapat dilakukan dalam 10 menit,
harus menyeluruh. Informasi ini penting tidak saja untuk memastikan
prognosis, namun juga untuk membuat rencana tindakan selanjutnya.
Pemeriksaan neurologis serial harus dilakukan.
Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas,
pernafasan, dan sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah
cedera serebral sekunder akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan
tekanan darah penting baik pada pasien hipertensif maupun
nonhipertensif. Jalur arterial dipasang untuk pemantauan yang
sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS, kebanyakan pasien adalah
hipertensif. Penting untuk tidak menurunkan tekanan darah secara
berlebihan pada pasien dengan lesi massa intrakranial dan peninggian
TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan tekanan perfusi serebral.
Awalnya, usaha dilakukan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik
sekitar 160mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar 180mmHg pada pasien
koma, walau nilai ini terkadang tidak mutlak dan akan bervariasi tergantung
masing-masing pasien.

14
Pasien dengan riwayat hipertensi berat dan tak terkontrol
mungkin diperkenankan untuk mempertahankan tekanan darah
sistoliknya diatas 180mmHg, namun biasanya dibawah 210mmHg, untuk
mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal
hipertensinya lebih disukai labetolol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2
kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status
asam-basa. Bila jalan nafas tak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa
intra-kranial pada pasien koma atau obtundan, dilakukan intubasi
endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik yang akan meninggikan TIK
seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila diduga
ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi untuk mempertahankan
PCO2 sekitar 25-30mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang, diberikan
mannitol 1.5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien dengan
perburukan neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis,
anisokoria progresif, atau penurunan tingkat kesadaran. Dilakukan
elektrokardiografi, dazdenyut nadi dipantau.
Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah
lengkap, hitung platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, kreatinin serum,
waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati
dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT
scan kepala tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien
dibawa untuk mendapatkan pemeriksaan radiologis lain yang
diperlukan, ke unit perawatan intensif, kamar operasi atau kebangsal,
tergantung status klinis pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta
etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah pencegahan
perdarahan ulang dan mengurangi efek massa, sedang tindakan berikutnya
diarahkan pada perawatan medikal umum serta pencegahan komplikasi.

15
2. Pencegahan atas Perdarahan Ulang
Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif. Saat pasien
sampai didokter, perdarahan aktif biasanya sudah berhenti. Hal yang sama,
risiko perdarahan ulang dari AVM dan tumor juga jarang. Tindakan utama
yang dilakukan untuk mencegah perdarahan ulang adalah mengontrol
tekanan darah seperti dijelaskan diatas.
Pada perdarahan karena aneurisma yang ruptur, risiko perdarahan
ulang lebih tinggi. Dilakukan usaha untuk mempertahankan tekanan darah
10-20 % diatas tingkat normotensif untuk mencegah vasospasme, namun
cukup rendah untuk menekan risiko perdarahan. Beberapa menganjurkan
pemakaian asam aminokaproat, suatu agen antifibrinolitik. Namun manfaat
serta indikasi untuk pemakaiannya tetap belum jelas.
Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau
perdarahan yang berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi.
Pasien dengan PIS akibat terapi antikoagulan memerlukan koreksi segera
atas faktor koagulasinya. Heparin intravena (waktu paruh 1-2 jam) harus
dihentikan, dan diberikan protamin sulfat agar segera menghapuskan efek
heparin. Pasien dengan PIS yang mendapat warfarin harus mendapatkan
plasma segar yang dibekukan (FFP) agar segera menghilangkan
antikoagulasi. Vitamin K (fitonadion), yang memerlukan kurang dari 6 jam
untuk mengembalikan parameter koagulasi kenormal, harus juga
diberikan untuk membantu mempertahankan hemostasis. Pemeriksaan
koagulasi harus diamati dan tambahan FFP dan vitamin K diberikan bila
perlu.
Pasien dengan PIS akibat penyakit von Willebrand atau hemofilia
A atau B harus segera mendapatkan konsultasi hematologis. Pasien von
Willebrand harus mendapat kriopresipitat. Pasien dengan hemofilia A
harus mendapat kriopresipitat atau konsentrat liofil faktor VIII. Pasien
hemofilia B mungkin bisa diberikan FFP intravena atau konsentrat yang
kaya faktor II, VII, IX, dan X. Kadar darah faktor pembekuan harus
dipertahankan paling tidak 20-30 % dari normal bila operasi untuk
mengevakuasi hematom tidak akan dilakukan dan 50-100 % dari normal bila

16
diperlukan operasi. Bila PIS terjadi pada pasien dengan defek
perdarahan kongenital, FFP harus diberikan. Ini akan memberikan semua
faktor pembekuan kecuali platelet.
PIS akibat suatu trombositopenia harus mendapat transfusi
platelet, tidak peduli etiologi trombositopenianya untuk mempertahankan
jumlah platelet paling tidak 100.000/mm3. Pasien dengan penurunan
produksi platelet, waktu hidup platelet biasanya normal hingga hitung
platelet dapat dipertahankan dengan transfusi berulang. Pada kasus dengan
peningkatan penghancuran platelet, waktu hidup platelet sangat memendek
hingga platelet yang ditransfusikan hanya bersikulasi dalam masa pendek,
sekitar satu jam. Jadi transfusi platelet mempunyai nilai yang sangat
terbatas. Pada kasus ini, setelah transfusi platelet inisial, kortikosteroid
sering berguna dalam meninggikan hitung platelet. Sering diperlukan
splenektomi untuk membuang daerah sekuestrasi platelet masif.
3. Mengurangi Efek Massa
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun
bedah. Pasien dengan peninggian TIK dan/atau dengan area yang lebih
fokal dari efek massa, usaha nonbedah untuk mengurangi efek massa
penting untuk mencegah iskemia serebral sekunder dan kompresi batang
otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi peninggian TIK
antaranya (1) elevasi kepala hingga 30o untuk mengurangi volume vena
intrakranial serta memperbaiki drainase vena; (2) mannitol intravena
(mula-mula 1.5 g/kg bolus, lalu 0.5 g/kg tiap 4-6 jam untuk
mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L); (3) restriksi cairan
ringan (67-75 % dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu; (4) ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta
drainasi CSS untuk mempertahankan TIK kurang dari 20mmHg; dan (5)
intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-
30mmHg.
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS,
peninggian kepala, restriksi cairan, dan mannitol biasanya memadai.
Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan

17
mengurangi cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa tekanan perfusi
serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi
tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan
pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat
normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70mg, bila perlu
memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin.
Pasien sadar dipantau dengan dengan pemeriksaan neurologis serial,
pemantauan TIK jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat
(moribund), TIK dipantau secara rutin. Disukai ventrikulostomi karena
memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih mudah mengontrol
TIK. Perdarahan intra-ventrikuler menjadi esensial karena sering terjadi
hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran
CSS dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan
TIK jangka lama. Pemantauan TIK membantu menduga manfaat tindakan
medikal dan membantu memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan.
Walau pemantauan TIK bermanfaat menuntun tindakan atas PIS, belum
dapat diputuskan manfaatnya dalam memperbaiki outcome.
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat
PIS pernah dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal dan sering
dianjurkan. Namun penelitian menunjukkan bahwa deksametason tidak
menunjukkan efek yang bermanfaat, disamping jelas meningkatkan
komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason IV, 4mg
tiap 6 jam pada pasien dengan perdarahan parenkhimal dimana tampilan CT
scan memperlihatkan edema serebral yang berat.
4. Perawatan Umum
Manfaat nimodipin dalam mengelola PSA akibat aneurisma yang
pecah sudah sangat jelas. Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau
kombinasi dengan perdarahan subarakhnoid atau parenkhimal akibat
robeknya aneurisma, nimodipin diberikan 60mg melalui mulut atau NGT
setiap 4 jam. Namun penggunaan pada PIS nonaneurismal belum pasti,
hingga tidak digunakan pada pasien PIS spontan nonaneurismal.

18
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial
ditegakkan, kecuali bila perdarahan terbatas pada talamus atau ganglia
basal. Secara inisial disukai fenitoin karena kadar darah terapeutik dapat
dicapai dalam 1 jam dengan pemberian IV, mudah pemberiannya, dan
efektif mencegah kejang umum. Pada dewasa, pembebanan 1 g IV (50
mg/mnt) diikuti 300-400 mg IV atau oral perhari. Tekanan darah harus
dipantau selama pembebanan IV karena infus yang terlalu cepat dapat
berakibat penurunan tekanan darah mendadak. Sebagai tambahan, EKG
harus dipantau karena fenitoin berkaitan dengan aritmia kardiak termasuk
pelebaran interval PR dan gelombang Q dengan diikuti kolaps
vaskuler. Kadar fenitoin dipantau ketat dan dosis disesuaikan hingga kadar
fenitoin serum dalam jangkauan terapeutik (10-20 ug/mL) dan pasien bebas
kejang.
Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua kali
sehari, kadar terapeutik darah 20-40 ug/mL) dan karbamazepin (200 mg
oral, 3-4 kali sehari, kadar terapeutik 4-12 ug/mL). Kejang bisa
bersamaan dengan peninggian dramatik TIK dan tekanan darah sistemik,
yang dapat menyebabkan perdarahan, karenanya harus dicegah. Selain itu
hipoksia dan asidosis sering tampak selama aktifitas kejang, potensial untuk
menambah cedera otak sekunder.
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS.
Status cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang,
terutama pada pasien dengan restriksi cairan, mendapat mannitol atau
diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi memadai adalah esensial.
Perawatan pulmoner agresif dilakukan untuk mencegah sumbatan
mukus, aspirasi, dan pneumonia. Stoking kompresi pneumatik dan tabung
anti embolik dipasang untuk mencegah trombosis vena dalam. Terapi fisik
dimulai dini, memperbaiki jangkauan gerak. Bidai pergelangan tangan dan
kaki dipasang untuk mencegah kontraktur fleksi.

19
Komplikasi
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang
paling ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering
mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga
berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut
adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada
pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami penurunan kesadaran
dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul. Selain dari hal-hal
yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas
permanen.
Prognosis
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi
serta ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah
berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi.
Apabila terdapat volume darah yang besar dan pertumbuhan dari volume
hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat
buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa
meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan
antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga
memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.

PERDARAHAN SUBARAKHNOID

Definisi
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga
diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Diantara lapisan dalam (pia
meter) dan lapisan tengah (arachnoid mater) para jaringan yang melindungi otak
(meninges). Subarachnoid hemmorage adalah gagguan yang mengancam nyawa
yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang serius. Hal ini adalah satu-
satunya jenis stroke yang lebih umum diantara wanita.

20
Anatomi
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya
adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi
menjadi arachnoidea dan piamater.
Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua
lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat dimana
keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus ( sebagian
besar sinus venosus terletak diantara lapisan-lapisan dural), dan ditempat
dimana lapisan dalam membentuk sekat diantara bagian-bagian otak.
Arachnoidea
Membrane arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia
menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis,
cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan
septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system
rongga-rongga yang berhubungan.
Cavum subarachnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang
secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum,
namun rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada
dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cistema arachnoidea, seringkali
diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cistema ini berhubungan
secara bebas dengan cistema yang berbatasan dengan rongga subarachnoid
umum.
Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure, dan sekitar
pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure
transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela
choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim
dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus

21
choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap
dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroideus di tempat itu.
Etiologi
Perdarahan subarahnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya
aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus, PSA
merupakan kaitan dari perdarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma
yang lebih besar kemungkinannya bisa pecah. Selanjutnya 10% kasus dikaitkan
dengan non aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada
daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara umum. 5% berikutnya
berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi
vessels, gangguan pembuluh darah pada sumsum tulang belakang dan perdarahan
berbagai jenis tumor.
PSA primer dapat muncul dari rupture tipe kesatuan patologis berikut ini
(2 yang pertama adalah yang tersering):
- Aneurisma sakular
- MAV
- Ruptur aneurisma mikotik
- Angioma
- Neoplasma
- Thrombosis kortikol
- PSA dapat mencerminkan diseksi sekunder darah hematom intraparenkim
(missal perdarahan dari hipertensi atau neoplasma)
- 2/3 kasus PSA non-traumatik disebabkan rupture aneurisma sakular
- Penyebab konginetal mungkin bertanggungjawab untuk PSA:
o Kejadian familial sesekali
o Frekuensi aneurisma multiple
o Hubungan aneurisma dengan penyakit sistemik termasuk sindroma
Ehlers-Danlos, sindroma Marfan, coarctatio aorta, dan penyakit ginjal
polikistik
- Faktor lingkungan yang dihubungkan dengan defek dinding pembuluh darah
dapatan termasuk usia, hipertensi, merokok, dan artrosklerosis.
-

22
Patofisiologi
Aneurisma merupakan luka yang disebabkan tekanan hemodinamik pada
dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji aneurisma
dispesifikasikan untuk arteri intrakranial karena dindingnya kehilangan suatu
selaput tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu
pembentukan aneurisma.
Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri
karotis bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari
lingkaran wilis. Dan pecah atau tidaknya aneurisma dihubungkan dengan
hipertensi, cerebral atherosclerosis, bentuk saluran pada lingkaran wilis, sakit
kepala, hipertensi pada kehamilan, kebiasaan menggunakan obat pereda nyeri, dan
riwayat stroke dalam keluarga yang semua memiliki hubungan dengan bentuk
aneurisma sakular.
1. Gejala Klinis dan Diagnosis
a) Anamnesis
Pada anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak
sebelah badan, mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat
berkomunikasi dengan baik. Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat
sewaktu bangun tidur, mau sholat, selesai sholat, sedang bekerja atau
sewaktu beristirahat.

Selain itu perlu ditanyakan pula faktor-faktor risiko yang menyertai


stroke misalnya penyakit kencing manis, darah tinggi dan penyakit
jantung, serta obat-obat yang sedang dipakai. Selanjutnya ditanyakan pula
riwayat keluarga dan penyakit lainnya.

Pada kasus-kasus berat, yaitu dengan penurunan kesadaran sampai


koma, dilakukan pencatatan perkembangan kesadaran sejak serangan
terjadi.

b) Pemeriksaan fisik
Setelah penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi
vital seperti tekanan darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga
tingkat kesadaran penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor

23
dengan skala koma Glasgow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah.
Namun jika penderitanya sadar, tentukan berat kerusakan neurologis yang
terjadi, disertai pemeriksaan saraf-saraf otak dan motorik apakah fungsi
komunikasi baik atau adakah disfasia.

Penilaian klinis lainnya yang dilakukan untuk menilai beratnya


stroke, dipergunakan National Institute Health Stroke Scale (NIHSS).
Penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu saat masuk dan saat pulang. Beda
nilai saat masuk dan saat keluar dapat menjadi salah satu penilaian kinerja
keberhasilan terapi. Tetapi untuk stroke pada sistem vertebro basilar,
akurasi penilaian NIHSS kurang baik.

Stroke Siriradj Score, dilakukan bersama sama pemeriksaan fisik


untuk membedakan antara stroke iskemik dan stroke perdarahan.
Penilaian ini, dapat membantu bagi rumah sakit atau pusat pelayanan
kesehatan yang tidak mempunyai alat bantu diagnosis CT Scan otak.

Skor Stroke Siriraj = (2,5 x S) + (2 x M) + (2 x N) + (0,1D) (3 x A) 12

Penilaiannya adalah sebagai berikut :


Skor > 1 : perdarahan supratentorial
Skor < -1 : infark serebri
Skor -1 s/d 1 : meragukan
Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma Glasgow telah
ditentukan, lakukan pemeriksaan refleks-refkles batang otak yaitu:

reaksi pupil terhadap cahaya

refleks kornea

refleks okulo sefalik

Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernapasan Cheyne


Stokes, hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan ataksik. Setelah
itu tentukan kelumpuhan yang terjadi pada saraf-saraf otak dan
anggota gerak. Kegawatan kehidupan sangat erat hubungannya dengan
kesadaran menurun, karena makin dalam penurunan kesadaran, makin
kurang baik prognosis neurologis maupun kehidupan. Kemungkinan

24
perdarahan intra serebral dapat luas sekali jika terjadi perdarahan-
perdarahan retina atau preretinal pada pemeriksaan funduskopi.

2. Gejala klinik
Manifestasi klinik stroke sangat tergantung kepada daerah otak yang
terganggu aliran darahnya dan fungsi daerah otak yang menderita iskemia
tersebut. Karena itu pengetahuan dasar dari anatomi dan fisiologi aliran darah
otak sangat penting untuk mengenal gejala-gejala klinik pada stroke.

Berdasarkan vaskularisasi otak, maka gejala klinik stroke dapat dibagi


atas 2 golongan besar yaitu:

1. Stroke pada sistem karotis atau stroke hemisferik

2. Stroke pada sistem vertebro-basilar atau stroke fossa posterior

Salah satu ciri stroke adalah timbulnya gejala sangat mendadak dan
jarang didahului oleh gejala pendahuluan (warning signs) seperti sakit kepala,
mual, muntah, dan sebagainya.

Gejala pendahuluan yang jelas berhubungan dengan stroke adalah


serangan iskemia sepintas (TIA) dan ini diketahui melalui anamnesis yang
baik pada stroke akut. Selain gejala-gejala yang timbul mendadak dalam
waktu beberapa menit sampai beberapa jam dari mulai serangan sampai
mencapai maksimal. Tidak pernah terjadi dalam beberapa hari atau apalagi
dalam 1-2 minggu. Kalau terjadi demikian, bukan disebabkan stroke tetapi
oleh sindroma stroke (stroke-syndromes) karena tumor, primer maupun
metastatik, trauma, peradangan dan lain-lain.

Gejala klinik pada stroke hemisferik

Seperti kita ketahui, daerah otak yang mendapat darah dari a. karotis
interna terutama lobus frontalis, parietalis, basal ganglia, dan lobus temporalis.
Gejala-gejalanya timbul sangat mendadak berupa hemiparesis, hemihipestesi,
bicara pelo, dan lain-lain.

Pada pemeriksaan umum:

25
Kesadaran: penderita dengan stroke hemisferik jarang mengalami
gangguan atau penurunan kesadaran, kecuali pada stroke yang luas. Hal
ini disebabkan karena struktur-struktur anatomi yang menjadi substrat
kesadaran yaitu formasio retikuralis di garis tengah dan sebagian besar
terletak dalam fossa posterior. Karena itu kesadaran biasanya kompos
mentis, kecuali pada stroke yang luas.

Tekanan darah: biasanya tinggi, hipertensi merupakan faktor resiko


timbulnya stroke pada lebih kurang 70% penderita.

Fungsi vital lain umumnya baik jantung, harus diperiksa teliti untuk
mengetahui kelainan yang dapat menyebabkan emboli.

Pemeriksaan neurovaskuler adalah langkah pemeriksaan yang khusus


ditujukan pada keadaan pembuluh darah ekstrakranial yang mempunyai
hubungan dengan aliran darah otak yaitu: pemeriksaan tekanan darah
pada lengan kiri dan kanan, palspasi nadi karotis pada leher kiri dan
kanan, arteri temporalis kiri dan kanan dan auskultasi nadi pada bifurkatio
karotis komunis dan karotis interna di leher, dilakukan juga auskultasi
nadi karotis interna pada orbita, dalam rangka mencari kemungkinan
kelainan pembuluh ekstrakranial.

Pemeriksaan neurologis

a) Pemeriksaan saraf otak: pada stroke hemisferik saraf otak yang sering
terkena adalah:

Gangguan n. fasialis dan n. hipoglosus. Tampak paresis n. fasialis


tipe sentral (mulut mencong) dan paresis n. hipoglosus tipe sentral
(bicara pelo) disertai deviasi lidah bila dikeluarkan dari mulut.

Gangguan konjugat pergerakan bola mata antara lain deviasi


konjugae, gaze paresis ke kiri atau ke kanan, dan hemianopia.
Kadang-kadang ditemukan sindroma horner pada penyakit pembuluh
karotis. Gangguan lapangan pandang: tergantung kepada letak lesi
dalam jarak perjalanan visual, hemianopia kongruen atau tidak.

26
Terdapatnya hemianopia merupakan salah satu faktor prognostik
yang kurang baik pada penderita stroke.

b) Pemeriksaan Motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan sebelah anggota badan
(hemiparesis). Dapat dipakai sebagai patokan bahwa jika ada perbedaan
kelumpuhan yang nyata antara lengan dan tungkai hampir dipastikan
bahwa kelainan aliran darah otak berasal dari daerah hemisferik
(kortikal), sedangkan jika kelumpuhan sama berat gangguan aliran darah
dapat terjadi di subkortikal atau pada daerah vertebro-basilar.

c) Pemeriksaan sensorik
Dapat terjadi hemisensorik tubuh. Karena bangunan anatomik yang
terpisah, gangguan motorik berat dapat disertai gangguan sensorik ringan
atau gangguan sensorik berat disertai dengan gangguan motorik ringan.

d) Kelainan fungsi luhur: manifestasi gangguan fungsi luhur pada stroke


hemisferik berupa: disfungsi parietal baik sisi dominan maupun
nondominan. Kelainan yang paling sering tampak adalah disfasia
campuran dimana penderita tak mampu berbicara atau mengeluarkan
kata-kata dengan baik dan tidak mengerti apa yang dibicarakan orang
kepadanya. Selain itu dapat juga terjadi agnosia, apraxia dan sebagainya.

Gejala-klinik stroke vertebro-basilar

Gangguan vaskularisasi pada pembuluh darah vertebro-basilar,


tergantung kepada cabang-cabang sistem vertebro-basilar yang terkena,
secara anatomik, percabangan arteri basilaris di golongkan menjadi 3 bagian:

a) Cabang-cabang panjang: misalnya a. serebeli inferior posterior yang jika


tersumbat akan memberikan gejala gejala sindroma Wallenberg, yaitu
infark di bagian dorso-lateral tegmentum medula oblongata.

b) Cabang-cabang paramedian: sumbatan cabang-cabang yang lebih pendek


memberikan gejala klinik berupa sindroma Weber hemiparesis alternans
dari berbagai saraf kranial dari mesensefalon atau pons.

27
c) Cabang-cabang tembus (Perforating branches) memberi gejala-gejala
sangat fokal seperti internuclear ophtalmoplegia (INO).

Diagnostik kelainan sistem vertebro-basilar adalah:

1) Penurunan kesadaran yang cukup berat (dengan diagnosis banding


infark supratentorial yang luas, dalam hal ini yang terkena adalah
formasio retikularis).

2) Kombinasi berbagai saraf otak yang terganggu disertai vertigo diplopia


dan gangguan bulbar

3) Kombinasi beberapa gangguan saraf otak dan gangguan long-tract sign:


vertigo disertai paresis keempat anggota gerak (ujung-ujung distal). Jika
ditemukan long-tract sign pada kedua sisi maka penyakit vertebro-
basilar hampir dapat dipastikan.

4) Gangguan bulbar juga hampir pasti disebabkan karena stroke vertebro-


basilar. Beberapa ciri khusus lain adalah: parestesia perioral,
hemianopia altitudinal dan skew deviation.

Gejala - tanda klinik emboli serebral

Costillo dan Bougousslausky (1997) mengajukan enam ciri stroke embolik,


yaitu :

1) Timbul secara mendadak pada penderita yang sadar, tanpa defisit


neurologi yang berfluktuasi atau yang progresif.

2) Defisit neurologi pada pembuluh superfisial atau berupa infark yang


luas.

3) Tidak ada riwayat TIA pada daerah vaskular yang sama.

4) Riwayat stroke sebelumnya di daerah teritorial lain, diantaranya adalah


emboli sistemik.

5) Jantung yang abnormal pada pemeriksaan fisik/tambahan.

6) Tidak ada sebab emboli arterial lain atau sebab stroke yang lain.

Tanda-tanda tambahan pada pemeriksaan neuro-imajing adalah :

28
1) Adanya infark hemoragik pada CT, atau MRI otak pada distribusi
arteri kortikal.

2) Oklusi cabang teritorial arteri otak, tanpa ditemukan kelainan arteri-


arteri proksimal atau carotis ekstrakranial pada pemeriksaan
transcranial doppler (TCD), pada pemeriksaan duplex ultrasound
sistem karotis, pada Magnetic Resonance Arteriography (MRA) atau
pada arteriografi kontras jika dilakukan.

3) Ditemukan adanya sumber emboli atau sangat mungkin ada sumber


emboli pada pemeriksaan kardiologi.

Emboli kardiak lebih sering menyebabkan kombinasi infark


kortikal dan subkortikal hingga daerah infark lebih luas tampak pada
kardiogenik dibanding dengan emboli arteri ke arteri. Caplan (1993)
menyebutkan bahwa emboli kardiak mempunyai tempat prediksi, misalnya
daerah posterior dari arteri serebri media.

Khusus mengenai atrial fibrilasi, terutama pada non reumatik, dan


merupakan panyebab terbesar emboli kardiak, tidak selalu emboli sistemik
menjadi penyebab stroke. Dalam jumlah yang sedikit, AF dapat
disebabkan karena stroke yang berat. Warlow dkk. (1995) merujuk
penelitian Daniel (1993) menemukan bahwa hanya 13% dari penderita AF
ditemukan trombus pada arteri dengan transesophageal echocardiography
(TEF). Peningkatan risiko emboli sistemik pada AF dikaitkan dengan
kombinasi beberapa faktor seperti umur, riwayat emboli sebelumnya,
hipertensi, diabetes, disfungsi ventrikel kiri dan pembesaran atrium kiri
(SPAF 1992, AFI 1994). Adanya emboli kardiak sistemik dapat juga
dipastikan dengan adanya spontaneus echo contrast pada atrium kiri yamg
dideteksi sengan TCD.

3. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium

1) Pemeriksaan darah rutin

2) Pemeriksaan kimia darah lengkap:

29
Gula darah sewaktu: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia
reaktif. gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan
kemudian berangsur-angsur kembali turun.

Ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati (SGOT/SGPT/CPK), dan


profil lipid (kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL)

3) Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap) :

Waktu protrombin

APTT

Kadar fibrinogen

D-dimer

INR

Viskositas plasma

4) Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi :

Protein S

Protein C

ACA

Homosistein

b) Pemeriksaan Kardiologi
Pada sebagian kecil penderita stroke, terdapat juga perubahan
elekrokardiografi (EKG). Perubahan ini dapat berarti kemungkinan
mendapat serangan infark jantung, atau pada stroke dapat terjadi
perubahan-perubahan EKG sebagai akibat perdarahan otak yang
menyerupai suatu infark miokard. Dalam hal ini pemeriksaan khusus atas
indikasi, misalnya pemeriksaan CK-MB lanjutan akan memastikan
diagnosis. Pada pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik, mengarah
kepada kemungkinan adanya sumber emboli (potential source of cardiac
emboli/PSCE) maka pemeriksaan ekhokardiografi terutama

30
Transesofageal echocardiography (TEE) dapat diminta untuk visualisasi
emboli kardial.

c) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang paling penting adalah:

CT scan Otak: segera memperlihatkan perdarahan intra serebral.


Pemeriksaan ini sangat penting karena perbedaan manajemen
perdarahan otak dan infark otak. Pada infark otak, pemeriksaan CT
scan otak mungkin tidak memperlihatkan gambaran jelas jika
dikerjakan pada hari-hari pertama, biasanya tampak setelah 72 jam
serangan. Jika ukuran infark cukup besar dan hemisferik.
Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi,oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk memastikan
proses patologik di batang otak.

Pemeriksaan foto thoraks: dapat memperlihatkan keadaan jantung,


apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah
satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke dan adakah
kelainan lain pada jantung. Selain itu dapat mengidentifikasi
kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses manajemen dan
memperburuk prognosis.

Penatalaksanaan PSA
Perawatan pra-rumah sakit
Menilai prosedur ABC
Triase dan pindahkan pasien dengan tingkat kesadaran berubah atau
pemeriksaan neurologis abnormal ke pusat medis terdekat yang memiliki
CT scan dan bedah saraf.
Idealnya, diarahkan untuk mencegah sedasi pada pasien ini.
Perawatan departemen emergensi
Pada pasien yang diduga dengan PSA grade I atau II, perawatan departemen
emergensi dibatasi pada diagnosa dan terapi suportif.
Identifikasi awal nyeri kepala sentinel merupakan kunci untuk
mengurangi angka mortalitas dan morbiditas.

31
Penggunaan sedasi dengan bijaksana.
Amankan akses intravena selama menetap di departemen emergensi dan
pantau status neurologis pasien.
Pada pasien dengan PSA grade III, IV, atau V (misal, pemeriksaan neurologis
berubah), perawatan departemen emergensi lebih luas.
a. Menilai prosedur ABC
b. Intubasi endotrakeal pada pasien melindungi dari aspirasi yang
disebabkan oleh refleks proteksi saluran nafas yang tertekan.
c. Intubasi untuk hiperventilasi pasien dengan tanda-tanda herniasi:
a) Thiopental dan etomidate adalah agen induksi optimal pada PSA
selama intubasi. Thiopental bekerja singkat dan memiliki efek
sitoprotektif barbiturat. Thiopental harusnya hanya digunakan
pada pasien hipertensi karena kecenderungannya menurunkan
tekanan darah sistolik, yang merupakan penyebab cedera otak
sekunder. Pada pasien hipotensi dan normotensi, gunakanlah
etomidate.
b) Gunakan rangkaian intubasi cepat jika memungkinkan. Pada
prosesnya, untuk mengurangi peningkatan TIK, idealnya
gunakanlah sedasi, defasikulasi, blok neuromuskular kerja-
singkat, dan agen lain dengan kemampuan mengurangi- TIK
(seperti lidokain intravena).
c) Hindari hiperventilasi berlebihan atau hiperventilasi yang tidak
mencukupi. Target pCO2 adalah 30-35 mmHg untuk
mengurangi peningkatan TIK. Hiperventilasi berlebihan
mungkin membahayakan daerah yang mengalami vasospasme.
d) Cegah sedasi berlebihan, yang menyebabkan pemeriksaan
neurologis serial menjadi lebih sulit dan telah dilaporkan
meningkatkan TIK secara langsung.

32
d. Jika disangka terjadinya herniasi, dapat dilakukan intervensi dibawah
ini :
a) Gunakan agen osmotik, seperti mannitol, yang mengurangi TIK
sebesar 50% dalam 30 menit, puncaknya setelah 90 menir, dan
berakhir dalam 4 jam.
b) Diuretik loop, seperti furosemid, juga menurunkan TIK tanpa
meningkatkan serum osmolalitas.
c) Terapi steroid intravena untuk mengontrol edema otak adalah
kontroversial dan ditentang.
Komplikasi
Hidrosefalus dapat terbentuk dalam 24 jam pertama karena obtruksi aliran
CSF dalam sistem ventrikular oleh gumpalan darah.
Perdarahan ulang PSA muncul pada 20% pasien dalam 2 minggu pertama.
Puncak insidennya muncul sehari setelah PSA. Ini mungkin berasal dari lisis
gumpalan aneurisma.
Vasospasme dari kontraksi otot polos arteri merupakan simptomatis pada
36% pasien.
Defisit neurologis dari puncak iskemik serebral pada 4-12 hari.
Disfungs hipotalamus menyebabkan stimulasi simpatetik berlebihan. Yang
dapat menyebabkan iskemik miokard atau menurunkan tekanan darahh lokal.
Hipobatremia dapat muncul sebagai pembuangan garam serebral.
Aspirasi pneumonia dan komplikasi lainnya dapat muncul.
Disfungsi sistole ventrikel kiri : disfungsi sistole ventrikel kiri pada orang
dengan PSA dihubungkan dengan perfusi miokard normal dan
invasi/persarafan simpatetik abnormal. Temuan ini dijelaskan oleh pelepasan
berlebihan norepinefrin dari nervus simpatetik miokard, yang dapat merusak
miosit dan ujung saraf.
Prognosis
Munculnya defisit kognitif, bahkan pada kebanyakan pasien yang dianggap
memiliki hasil akhir yang baik.
Lebih dari 1/3 yang selamat dari PSA memiliki defisit neurologis mayor.

33
Faktor yang mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas adalah sebagai
berikut :
o Beratnya perdarahan
o Derajat vasospasme serebral
o Munculnya perdarahan ulang
o Lokasi perdarahan
o Usia dan kesehatan seluruh pasien
o Kemunculan kondisi komorbid dan sumber dari rumah sakit ( misalnya
infeksi, infark miokard
o Angka ketahanan hidup dihubungkan dengan tingkatan PSA saat
munculnya. Laporan menggambarkan angka ketahanan hidup 70% untuk
grade I, 60% untuk grade II, 50% untuk grade III, 40% untuk grade IV,
10% untuk grade V.
STROKE ISKEMIK
Definisi
Stroke iskemik merupakan stroke yang terjadi akibat penyumbatan
pembuluh darah serebral oleh berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli, atau
ketidakstabilan hemodinamik yang menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis
di daerah yang mengalami kekurangan pasokan aliran darah di bawah batas yang
dibutuhkan sel otak untuk tetap bertahan (survive).
Epidemiologi
Insiden stroke pada pria lebih tinggi daripada wanita, pada usia muda, namun
tidak pada usia tua. Di Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden
stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari 160.000 kematian per tahun,
dengan 4.8 juta penderita stroke yang bertahan hidup.
Etiologi
Berdasarkan penyebab stroke iskemik terbagi atas :
1. Stroke iskemik trombosis
Merupakan sumbatan pembuluh darah serebral oleh thrombus yang
kebanyakannya berasal dari arterosklerotik. Etiologi yang paling banyak
adalah aterosklerosis, tapi bisa juga disebabkan oleh trauma, trombosis
obliterans, polisitemia vera dan penyakit kolagen. Onset penyakit ini perlahan-

34
lahan, keluhan sering timbul pada pagi hari saat bangun tidur. Biasanya
didahului oleh gejala prodromal berupa vertigo, sakit kepala, kesemutan,
afasia serta gangguan mental dan tidak berasa pada ujung-ujung ekstremitas.
Gejala umum berupa kesadaran baik, hemiparese atau hemiplegi, disatria,
afasia, mulut mencong kadang kadang hemianopsia, dengan gejala fokal otak
lainnya.
2. Stroke iskemik emboli
Merupakan sumbatan pembuluh darah serebral oleh embolus yang berasal dari
jantung. Etiologinya adalah atrium fibrilasit (50%), gangguan atau penyakit
katup, kardiomiopati, infark miokard, terutama 4 minggu setelah serangan,
stenosis dan regurgitasi katup mitral, endokarditis infeksiosa dan lain-lain.
Klasifikasi
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :
1. Stroke iskemik
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Thrombosis serebri
c. Emboli serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan subarachnoid
II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebrobasiler
IV. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu :
1. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
2. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)
3. Lacunar Infarct (LACI)
4. Posterior Circulation Infarct (POCI)

35
V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti TOAST
1. Aterosklerosis Arteri Besar
Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%)
stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks
disebabkan oleh proses atero-sklerosis. Gambaran CT sken otak MRI
menunjukkan adanya infark di kortikal, serebellum, batang otak, atau
subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya
berasal dari aterosklerosis arteri besar.
2. Kardioembolisme
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus
dari jantung terdiri dari :
a. Resiko tinggi
- Prostetik katub mekanik
- Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
- Fibrilasi atrial (other than lone atrial fibrillation)
- Atrial kiri / atrial appendage thrombus
- Sick sinus syndrome
- Infark miokard baru (<4 minggu)
- Thrombus ventrikel kiri
- Kardiomiopati dilatasi
- Segmen ventricular kiri akinetik
- Atrial myxoma
- Infeksi endokarditis
b. Resiko sedang
- Prolapsus katup mitral
- Kalsifikasi annulus mitral
- Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
- Turbulensi atrial kiri
- Aneurisma septal atrial
- Paten foramen ovale
- Atrial flutter
- Lone atrial fibrillation

36
- Katup kardiak bioprostetik
- Trombotik endokarditis nonbacterial
- Gagal jantung kongestif
- Segmen ventrikuler kiri hipokinetik
- Infark Miokard (> 4minggu, < 6 bulan)
3. Oklusi Arteri Kecil
Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai
satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala
gangguan disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai
gambaran CT Sken/MRI otak normal atau infark lakunar dengan
diameter <1,5mm di daerah batang otak atau subkortikal.
4. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Menentukan
a. Non-aterosklerosis Vaskulopati
- Noninflamiasi
- Inflamasi non infeksi
- Infeksi
b. Kelainan Hematologi atau Koagulasi
5. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Tidak Dapat Ditentukan

Klasifikasi
Dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis :
1. Serangan iskemik sepintas/ transient ischemic attack (TIA)
Pada bentuk ini gejala neurologis yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit neurologi iskemik sefintas/ Reversibel Ischemik Neurological
Defisit (RIND).
Gejala neurologi yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24
jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
3. Stroke Progresif ( Stroke in evolution)
Gejala Neurologi makin lama makin Berat
4. Stroke Komplet (Completed Stroke )
Gejala klinis sudah menetap

37
Patofisiologi
Infark/iskemik sangat erat hubungannya dengan atherosklerosis.
Atherosclerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinis dengan
cara menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufiensi aliran
darah, oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus atau
pendarahan ateroma, terbentuknya thrombus yang kemudian terlepas sebagai
emboli, dan menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi lemah dan terjadi
aneurisma yang kemudian dapat robek.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak:
1. Keadaan pembuluh darah, dapat menyempit akibat stenosis atau ateroma atau
tersubat oleh thrombus/embolus.
2. Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat
(polisitemia) menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat dan anemia
yang berat menyebabkan oksigenasi otak menurun.
3. Tekanan darah sistemik memegang peranan tekanan perfusi otak. Perlu
diingat apa yang disebut autoregulasi otak yakni kemampuan instrinsik dari
pembuluh darah otak agar aliran darah otak tetap konstan walaupun ada
perubahan dari tekanan perfusi otak. Pada penderita hipertensi autoregulasi
otak bergeser ke kanan.
4. Kelainan jantung menyebabkan menurunnya curah jantung (fibrilasi dan blok
jantung) dan lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.
Manifestasi Klinis
Stroke Trombosis
Usia biasanya pertengahan (50 tahun), ditemukan faktor resiko, mendadak
pada saat istirahat atau bangun tidur, kesadaran biasanya baik, tidak sakit kepala
dan muntah, tekanan darah normal/sedikit meninggi, tidak kejang, dan deficit
neurologi pada system karotis menyebabkan heiparese, paraastesi, disatria,
monocular blindnees, dan pada system vertebra basiler menyebabkan hemiparese,
hipaestesia, tetraplegia, vertigo, muntah, ataxia, disphagia, distonia,
hemianopsia/homonym/bilateral.

38
Stroke Emboli
Usia dapat muda, faktor resiko penyakt jantung, miokard infark, seragan
sewaktu-waktu, kesadaran sedikit menurun, tekanan darah normal/sedikit
menurun, biasanya dengan bising jantung atau fibrilasi atrium, dan gejala deficit
neurologi fokal sama dengan sroke thrombosis.
Gejala neurologi yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya pembuluh darah dan lokalisasinya.
Gejala utama GPDO iskemik akibat thrombus serebri ialah , timbulnya
deficit neurologi secara mendadak / sub akut, didahului gejala prodromal, terjadi
pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran bias any atak menurun.
Biasanya terjadi pada usia lebih 50 tahun. Pada pungsi lumbal, likuor
serebrospinal jernih, tekanan normal, dan eritrosit kurang dari 500.
Gejala-gejala penyumbatan system karotis :
1. Gejala penyumbatan arteri karotis interna
a. Buta mendadak (amaurosis fugaks)
b. Disfasia bila gangguan berada pada sisi dominan
c. Hemiparesis kontralateral dan dapat disertai sindrom horner pada sisi
sumbatan
2. Gejala-gejala penyumbatan arteri serebri anterior
a. Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol
b. Gangguan mental (bila di frontal)
c. Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh
d. Inkontinensia
e. Bisa kejang-kejang
3. Gejala-gejala penyumbatan arteri serebri media
a. Bila sumbatan di pangkal arteri terjadi hemiparesis yang sama, bila tidak
dipangkal maka lengan lebih menonjol
b. Hemihipestesia
c. Gangguan fungsi luhur pada korteks hemisfer dominan yang terserang a.l.
afasia motorik/sensorik

39
4. Gangguan pada kedua sisi
Karena adanya sklerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat terjadi pada
kedua sisi .
Timbul gangguan pseudobulbar, biasanya pada vascular dengan gejala-gejal :
a. Hemiplegi dupleks
b. Sukar menelan
c. Gangguan emosional, mudah menangis
Gejala-gejala gangguan system Vertebro-basiler :
1. Sumbatan / gangguan pada arteri serebri posterior:
a. Hemianopsia homonym kontralateral dari sisi lesi
b. Hemiparesis kontralateral
c. Hilangnya rasa sakit, suhu, sensorik, proprioseptif ( termasuk rasa getar)
kontralateral (hemianestesia)
Bila salah satu cabang ke thalamus tersumbat, timbullah sindrom talamikus,
yakni :
a. Nyeri talamik, suatu rasa nyeri yang terus menerus dan sukar dihilangkan:
pada pemeriksaan raba terdapat anesthesia, tetapi pada tes tusukan timbul
rasa nyeri ( anesthesia dolorosa)
b. Hemikhorea, disertai hemiparesis, disebut sindrom Dejerine Marie.
2. Gangguan atau sumbatan pada arteri vertebralis :
Bila sumbatan pada sisi dominan dapat terjadi sindrom Wallenberg. Sumbatan
pada sisi yang tidak dominan seringkali tidak menimbulkan gejala
3. Sumbatan atau gangguan pada a.serebeli posterior inferior
Sindrom wellenberg berupa ataksia sereberal pada lengan dan tungkai disisi
yang sama . gangguan N. II ( Oftalmikus), dan reflex kornea hilang pada sisi
yang sama.
4. Sumbatan atau gangguan pada cabang kecil a. basilaris (a.paramedian) ialah
paresis nervi kraniales yang nukleusnya terletak ditengah-tengah N III, N VI,
dan N XII, disertai hemiparesis kontralateral

40
Sindrom di batang otak
Mesensefalon :
Sindom weber berupa, paralisis N III dengan hemiplegic kontralateral,
disebut hemiplegia alternans N.III kausanya seringkali lues. Sindrom arteri
basilaris: Sumbatan total menimbulkan hemiplegic dupleks dan kelumpuhan otot-
otot bulbar (bulbar palsy)
Pons :
a. Sindrom Foville : hemiparesis kontralateral dan konjugasi ke sisi lesi
b. Sindrom Millard-Goebler: Hemiparesis kontralateral , paresis N VII
ipsilateral, dan konjugasi kearah sisi lesi
Medula Oblongata:
Sindrom Wallenberg, dengan gejala-gejala :
a. Vertigo, muntah, disertai cegukan
b. Analgesi dan termoanestesi wajah homolateral, dan pada badan dan anggota
pada sisi kontralateral
c. sindrom Horner
d. Disfagia
e. Gejala serebelar berupa atksia, hipotoni, dan nistagmus homolateral
Diagnosis ( Stroke Nonhemoragik )
Diagnosis didasarkan akan hasil :
1) Penemuan klinis
Anamnesis :
a. Terutama terjadinya keluhan /gejala deficit neurologic yang mendadak
b. Tanpa trauma kepala
c. Adanya factor rsiko GPDO
Pemeriksaan Fisik :
a. Adanya deficit neurologic fokal
b. Ditemukan factor resiko (hipertensi, kelainan jantung, dll)
c. Bising pada auskultasi atau kelainan pembuluh darah lainnya.

41
2) Pemeriksaan tambahan / laboratorium
Pemeriksaan Neuro-Radiologik:
a. Sken Tomografik : amat membantu diagnosis dan membedakannya dengan
perdarahan terutama pada fase akut
b. Angiografi serebral ( karotis, atau vertebral) untuk mendapatkan gambaran
yang jelas tentang pembuluh darah yang terganggu, atau bila sken tak jelas
c. Pemeriksaan Likuor serebrospinal : seringkali dapat membantu
membedakan infark, perdarahan otak, baik PIS ( perdarahan intraserebral)
maupun PSA ( Perdarahan Subaraknoid).
3) Pemeriksaan lain-lain:
a. Pemeriksaan untuk menemukan factor resiko, seperti ; darah rutin ( Hb,
Hematokrit, leukosit, eritrosit, LED), hitung jenis dan bila perlu gambaran
darah
b. Komponen kimia darah, gas elektrolit
c. Doppler, EKG, Ekhokardiografi,dll
Diagnosa
Stroke non hemoragik terjadi karena berkurangnya suplai darah ke suatu
area di jaringan otak sehingga dapat mengakibatkan kematian jaringan yang
disebut infark. Pemeriksaan CT Scan merupakan gold standard untuk menentukan
diagnosis penderita stroke, dimana gambaran infark akan tampak pada
pemeriksaan CT Scan kepala penderita stroke non hemoragik. Namun jika
pemeriksaan dilakukan pada beberapa jam awal stroke, bisa saja pada CT Scan
tidak menunjukkan adanya gambaran infark.
Stroke iskemik
A. Penatalaksanaan
Fase akut (hari ke 0-14 sesudah onset penyakit)
Sasaran pengobatan : menyelamatkan neuron yang menderita jangan
sampai mati, dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tak
mengganggu/mengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang
diberikan haruslah menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak
justru berkurang karena itu dipelihara fungsi optimal :

42
o Respirasi : jalan napas harus bersih dan longgar
o Jantung : harus berfungsi baik, bila perlu pantau EKG
o Tekanan darah : dipertahankan pada tingkat optimal, dipantau jangan
sampai menurunkan perfusi otak
o Kadar gula yang tinggi pada fase akut, tidak diturunkan dengan
drastic, lebih-lebih pada penderita dengan diabetes mellitus lama
o Bila gawat atau koma, balans cairan, elektrolit, dan asam basa darah
harus dipantau

Penggunaan obat untuk memulihkan aliran darah dan metabolism otak


yang menderita di daerah iskemi (ischemic penumbra) masih
menimbulkan perbedaan pendapat. Obat-obat itu antara lain :
o Anti edema otak
Gliserol 10% per infuse, 1 gr/kgBB/hari dalam 6 jam
Kortikosteroid : yang banyak digunakan, deksametason, dengan
bolus 10-20 mg iv, diikuti 4-5 mg/6 jam selama beberapa hari,
lalu diturunkan pelan-pelan (tapering off) dan dihentikan setelah
fase akut berlalu
o Anti agregasi trombosit
Yang umum dipakai : asam asetil salisilat (ASA), seperti aspirin,
aspilet, dll dengan dosis rendah : 80-300 mg/hari
o Antikoagulansia : misalnya heparin
o Lain-lain :
Trombolisin (trombokinase)masih dalam uji coba
Obat-obat (baru) seperti pentoksifilin, sitikolin, kodergokrin-
mesilat, pirasetam, dan akhir-akhir ini calcium-entryblocker
selektif, telah digunakan pada stroke nonhemoragi, dan masih
sedang dan terus dalam penelitian dan pengkajian
Fase pasca akut

Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititikberatkan pada


tindakan rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.

43
Rehabilitasi
GPDO merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45
tahun, maka yang paling penting pada masa ini ialah upaya membatasi
sejauh mungkin kecacatan penderita, fisik dan mental, dengan
fisioterapi, terapi wicara, dan psikoterapi.
Terapi preventif
Tujuannya untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru
GPDO, dengan jalan antara lain : mengobati dan menghindari factor
resiko stroke
Pengobatan hipertensi
Mengobati diabetes mellitus
Menghindari rokok, obesitas, stress
Berolahraga teratur
B. Standar kompetensi dokter umum dan indikasi rujukan
Target Kompetensi Minimal Masalah Penyakit Stroke Untuk Dokter
Umum :
Mampu mendiagnosis serta melakukan deteksi dini tanda dan gejala
stroke secara Mandiri
Mampu menjelaskan kepada keluarga pasien tentang indikasi, prosedur
dan kemungkinan hasil pada pemeriksaan penunjang yang sering
dilakukan pada penyakit stroke
Mampu mengidentifikasi tanda-tanda kegawatan stroke
Mampu melakukan pertolongan pertama pada penderita stroke sebelum
dirujuk ke rumah sakit
Mampu melakukan komunikasi yang baik dengan pasien dan
keluarganya

KEMATIAN BATANG OTAK


Definisi
Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak,
termasuk fungsi batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi

44
kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak,
dan apnea.
Seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian batang otak
berarti secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini dituangkan
dalam pernyataan IDI tentang Mati dalam SK PB IDI No.336/PB IDI/a.4
tertanggal 15 Maret 1988 yang disusul dengan SK PB IDI No.231/ PB.A.4/07/90.
Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati, bila fungsi
pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti
telah terjadi kematian batang otak.
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak
diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan
refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila
temuan klinis yang sesuai dengan kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan
konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian batang otak tidak dapat
diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat ditegakkan.
Langkah penetapan kematian batang otak
Langkah-langkah penetapan kematian batang otak meliputi hal-hal berikut:
1. Evaluasi kasus koma
2. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien
3. Penilaian klinis awal refleks batang otak
4. Periode interval observasi
a. sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam
b. usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode intervalobservasi 24
jam
c. usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18 tahun, periode interval
observasi 12jam
d. usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam
5. Penilaian klinis ulang refleks batang otak
6. Tes apnea
7. Pemeriksaan konfirmatif apabila terdapat indikasi
8. Persiapan akomodasi yang sesuai
9. Sertifikasi kematian batang otak

45
10. Penghentian penyokong kardiorespirasi
Penilaian klinis refleks batang otak
Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi otak oleh
minimal dua orang klinisi dengan interval waktu pemeriksaan beberapa jam. Tiga
temuan penting pada kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh
refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan apnea (tes apnea) secara khas
dilakukan setelah evaluasi refleks batang otak yang kedua.

Gambar 1. Rangsang nyeri Gambar 2. Pemeriksaan refleks batang otak

Hilangnya refleks batang otak :


Pupil:
a. Tidak terdapat respon terhadap cahaya / refleks cahaya negatif
b. Ukuran: midposisi (4 mm) sampai dilatasi (9 mm)

46
Gerakan bola mata /gerakan okular:
a. Refleks okulosefalik negatif (pengujian dilakukan hanya apabila secara nyata
tidak terdapat retak atau ketidakstabilan vertebrae cervical atau basis kranii).
b. Tidak terdapat penyimpangan / deviasi gerakan bola mata terhadap irigasi 50
ml air dingin di setiap telinga (membrana timpani harus tetap utuh;
pengamatan 1 menit setelah suntikan, dengan interval tiap telinga minimal 5
menit)
Respon motorik facial dan sensorik facial:
a. Refleks kornea negatif
b. Jaw reflex negatif (optional)
c. Tidak terdapat respon menyeringai terhadap rangsang tekanan dalam pada
kuku, supraorbita, atau temporomandibular joint
Refleks trakea dan faring:
a. Tidak terdapat respon terhadap rangsangan di faring bagian posterior
b. Tidak terdapat respon terhadap pengisapan trakeobronkial /
tracheobronchialsuctioning
Tes apnea
Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks batang otak
yang kedua dilakukan. Tes apnea dapat dilakukan apabila kondisi prasyarat
terpenuhi, yaitu:
a. Suhu tubuh 36,5 C atau 97,7 F
b. Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)
c. PaCO2 normal (PaCO2 arterial 40 mmHg)
d. PaO2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO2 arterial 200 mmHg)
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator
b. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan kanul setinggi
carina)
c. Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada
atau abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat)

47
d. Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator
disambungkan kembali
e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO2 60 mmHg (atau
peningkatan PaCO2 lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil tes
apnea dinyatakan positif (mendukung kemungkinan klinis kematian batang
otak)
f. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif (tidak
mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak)
g. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik turun
sampai < 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal sesuai usia
pada pasien < 18 tahun), atau pulse oxymeter mengindikasikan adanya
desaturasi oksigen yang bermakna, atau terjadi aritmia kardial.
- Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah.
- Apabila PaCO2 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 20 mmHg di atas
nilai dasar normal, tes apnea dinyatakan positif.
- Apabila PaCO2 < 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 < 20 mHg di atas
nilai dasar normal, hasil pemeriksaan belum dapat dipastikan dan perlu
dilakukan tes konfirmasi

Gambar 3. Tes apnea

Faktor perancu
Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis mati batang
otak, sehingga hasil diagnosis tidak dipastikan hanya berdasarkan pada alasan
klinis. Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan:
a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
b. Kelainan pupil sebelumnya

48
c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik,
antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen blokade
neuromuskular
d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis CO2
Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh diinterpretasikan sebagai
bukti fungsi batang otak:
a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi patologis
b. Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan punggung,
ekspansi interkosta tanpa volume tidal yang bermakna)
c. Berkeringat, kemerahan, takikardi
d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau peningkatan
mendadak tekanan darah
e. Tidak adanya diabetes insipidus
f. Refleks tendon dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi tripel
g. Refleks Babinski
Pemeriksaan konfirmatif apa - bila terdapat indikasi
Diagnosis mati batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks
batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Pada beberapa
pasien dengan kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas
kardiovaskular, atau faktor lain yang menyulitkan pemeriksaan klinis untuk
menegakkan diagnosis mati batang otak, perlu dilakukan tes konfirmatif.
Pemilihan tes konfirmatif sangat tergantung pada pertimbangan praktis,
mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang mungkin terjadi.
Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain:
a. Angiography (conventional, computerized tomographic, magnetic resonance,
dan radionuclide):kematian batang otak ditegakkanapabila tidak terdapat
pengisianintraserebral (intracerebral filling)setinggi bifurkasio karotis atau
sirkulusWillis
b. Elektroensefalografi: kematian batang otak ditegakkan apabila tidak terdapat
aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit

49
c. Nuclear brain scanning: kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat ambilan (uptake) isotop pada parenkim otak dan/ atau jaringan
vaskular, bergantung teknik isotop (hollow skull phenomenon)
d. Somatosensory evoked potentials: kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat respon N20-P22 bilateral pada stimulasi nervus medianus
e. Transcranial doppler ultrasonography: kematian batang otak ditegakkan oleh
adanya puncak sistolik kecil (small systolic peaks) pada awal sistolik tanpa
aliran diastolik (diastolic flow) atau reverberating flow, mengindikasikan
adanya resistensi yang sangat tinggi (very high vascular resistance) terkait
peningkatan tekanan intrakranial yang besar

KOMA
Pendahuluan
Pasien dalam keadaan penurunan kesadaran sedang atau berat dapat
dikategorikan sebagai stupor atau koma. Keadaan ini merupakan keadaan
emergensi atau gawat darurat bila terjadi akut. Banyak variasi penyebab baik itu
keadaan metabolik atau suatu proses intrakranial yang dapat mengakibatkan
pasien dalam keadaan stupor atau koma ini. Adapun manajemen pada pasien
seperti ini haruslah berfokus untuk menstabilkan keadaan pasien, menegakkan
diagnosis, dan menatalaksana pasien berdasarkan penyebab dari penyakit tersebut.
Tinjauan pustaka ini bertujuan sebagai tambahan referensi untuk
mahasiswa kedokteran, paramedis dan para dokter non neurologis yang bekerja di
Rumah Sakit dalam menangani dan mentatalaksana pasien dengan kelainan
neurologis yang datang di ruang gawat darurat, intensive care unit, bangsal, atau
pun klinik.

Hal yang perlu Dipikirkan


Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama
kali ada beberapa pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan yaitu :
1. Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut ?
2. Apakah jalan napas baik ?

50
Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang
disebabkan karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi
karena hilangnya kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT)
dengan intubasi merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas
baik dan oksigenasi yang adekuat.
Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan
respirasi lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk melakukan intubasi.
Pada pasien stupor dengan pernafasan yang normal dapat kita berikan 100 %
oksigen dengan face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.
3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin ?
Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit sekarang
dan dahulu baik medis maupun neurologis.
4. Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien sebelumnya ?
Kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir kali kontak
dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk
menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.

Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah


memberikan terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan, antara lain :
1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi bila
telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS) ataupun
Advance Cardiac Life Support (ACLS).
2. Pasang jalur intrravena (iv line)
3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini harus
dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus yang dapat
ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang dapat disertai
keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma)
4. Lakukan pemeriksaan darah antara lain :
Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum, kreatinin)
Hitung darah lengkap
Analisa gas darah

51
Kalsium dan magnesium
Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)
5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining toksikologi,
tes fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar ammonia.
6. Lakukan pemasangan folley catheter
7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen thoraks.
8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan dilapangan atau bila
etiologi dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :
Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat mengembalikan pasien
dari koma yang disebakan karena defisiensi thiamin akut (Wernicke
ensefalopati). Harus diberikan sebelum pemberian dekstrose karena
hiperglikemi dapat menyebabkan konsumsi thiamin yang berlebihan dan
memperburuk keadaan pasien.
50 % dekstrose 50 ml (1 ampul) iv
Naloxone (Narcan) 0.4 0.8 mg iv, pada keadaan koma yang disebabkan
intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai 10 mg.
Flumazenil (Romazicon) 0.2 1.0 mg iv, diberikan pada pasien yang koma
dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis dapat diberikan hingga 3
mg dan jangan diberikan bila telah terjadi kejang pada pasien, karena
flumazenil ini dapat menimbulkan kejang.
Etiologi Koma
Secara umum stupor dan koma dapat disebabkan menjadi tiga kategori
besar :
1. Kelainan struktur intrakranial (33 %)
Kebanyakan kasus ditegakkan melalui pemeriksaan imajing otak ( computed
tomography [CT] or magnetic resonance imaging [MRI] atau melalui lumbal
punksi [LP].
2. Kelainan metabolik atau keracunan (66%)
Dikonfirmasi melalui pemeriksaan darah, tapi tidak selalu positif.
3. Kelainan psikiatris (1%)

52
Stupor atau koma disebabkan oleh penyakit mempengaruhi kedua
hemisfer otak atau batang otak. Lesi unilateral dari satu hemisfer tidak
menyebabkan stupor atau koma kecuali massa tersebut besar hingga menekan
hemisfer kontralateral atau batang otak. Koma yang disebabkan kelainan fokal di
batang otak terjadi karena terganggunya reticular activating system. Kelainan
metabolik dapat menyebabkan gangguan kesadaran karena efek yang luas
terhadap formasio retikularis dan korteks serebral. Tiga penyebab koma yang
dapat cepat menyebabkan kematian dan dapat ditangani antara lain :
a. Herniasi dan penekanan batang otak : space ocupying lession yang
menyebabkan koma merupakan keadaan emergensi bedah saraf.
b. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) : peningkatan TIK dapat menyebabkan
gangguan perfusi otak dan global hypoxic-ischemic injury.
c. Meningitis atau encephalitis : kematian akibat meningitis bakterialis atau
herpes encephalitis dapat dicegah dengan terapi secepatnya.
Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan
penyakit melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang terakhir
kontak dengan pasien dengan menanyakan :
1. Kejadian terakhir
2. Riwayat medis pasien
3. Riwayat psikiatrik
4. Obat-obatan
5. Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga
ditegakkan melalui pemeriksaan fisik :
a. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial
dengan peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.
b. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness (
keracunan CO), atau kuning
c. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
d. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi

53
e. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya
duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan
serangan kejang.
f. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) :
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.
g. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi
dari penyebab koma.
Pemeriksaan Neurologis
1. Status generalis : terbukannya kelopak mata dan rahang yang lemas
menandakan dalamya koma. Deviasi dari kepala dan gaze menandakan suatu
lesi hemisfer ipsilateral yang luas. Myoklonus ( menandakan suatu proses
metabolik), twitching otot yang ritmik (indikasi dari kejang), tetani.
2. Tingkat kesadaran : dapat ditentukan melalui skala koma Glasgow untuk
memudahkan kita untuk mencatat perkembangan pasien. Untuk lebih
mudahnya gangguan kesadaran pada pasien dapat dideskripsikan berdasarkan
letargi, stupor, dan koma.
3. Pernafasan : pola pernafasan yang abnormal dapat membantu kita menentukan
lokalisasi dari koma. Diantaranya :
a. Cheyne-Stokes : lesi bihemisfer atau ensefalopati merabolik
b. Central neurogenic hiperventilation : CNS limfoma atau kerusakan batang
otak karena herniasi tentorial
c. Apneustic breathing : kerusakan pons
d. Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
e. Ataxic breathing : kerusakan pusat pernafasarn medular (lesi di fosa
posterior)
4. Lapang pandang : dapat diperiksa dengan melakukan refleks ancam terhadap
mata sehingga berkedip. Kehilangan refleks ancam pada salah satu sisi mata
menandakan terjadinya suatu hemianopia.
5. Funduskopi : edema papil terjadi pada peningkatan TIK setelah lebih dari 12
jam dan jarang terjadi secara akut. Tidak adanya suatu edema papil
menyingkirkan adanya peningkatan TIK. Pulsasi spontan dari vena sulit
diidentifikasikan, tetapi bila kita temukan menandakan TIK yang normal.

54
Perdarahan subhialoid yang berbentuk seperti globul bercak darah pada
permukaan retina biasanya berhubungan dengan terjadinya suatu perdarahan
subarakhnoid.
6. Pupil : pastikan bentuk, ukuran, dan reaksi pupil terhadap rangsang cahaya.
a. Simetris dan reaktif terhadap rangsang cahaya menandakan midbrain dalam
keadaan intak. Pupil yang reaktif tanpa disertai respon dari kornea dan
okulosefalik menandakan suatu keadaan koma yang disebabkan kelainan
metabolik.
b. Midposition (2-5 mm) terfiksir atau pupil ireguler menandakan suatu lesi
fokal di midbrain.
c. Pupil pinpoint yang reaktif menandakan kerusakan pada tingkat pons.
Intoksikasi dari opiat dan kholinergik (pilokarpin) juga dapat menyebabkan
pupil seperti ini.
d. Pupil anisokor dan terfiksir terjadi pada kompresi terhadap CN III pada
herniasi unkus. Ptosis dan exodeviasi juga terlihat pada kejadian tersebut.
e. Pupil terfiksir dan dilatasi menandakan suatu herniasi sentral, iskemia
hipoksia global, keracunan barbiturat, scopolamine, atau gluthethimide.
7. Pergerakan bola mata (gaze):
a. Perhatikan posisi saat istirahat :
i. Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi
hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis
ii. Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan :
1. lesi di pons kontralateral hemiparesis
2. lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis
3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis
iii. Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari
midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus
refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud
iv. Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae tidak
menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan disfungsi
hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik

55
v. Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata
ke arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat
menunjukkan kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.
vi. Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan
menunjukkan suatu psikogenik unresponsive.
b. Refleks okulosefalik (dolls eye), respons yang intak terjadi pergerakan bola
mata berlawanan dari arah pemutaran kepala. Bila tidak terjadi refleks ini
menunjukkan disfungsi dari bilateral hemisfer serebri dan gangguan
integritas dari struktur batang otak, yang sering terlihat pada koma
metabolik.
c. Refleks okulovestibular (kalori dingin), respons yang normal terdiri dari
deviasi tonik ke arah rangsangan air dingin yang dimasukkan ke lubang
telinga dan terjadi nistagmus cepat ke arah kontralateral.
i. Fase tonik tanpa disertai respons fase cepat dari nistagmus menandakan
koma disebabkan disfungsi bihemisfer
ii. Paresis konjugae dari gaze menandakan lesi unilateral hemisfer atau
pons
iii. Kelemahan mata asimetris menandakan lesi pada batang otak
iv. Refleks okulovestibular negatif menandakan koma yang dalam yang
mendepresi fungsi batang otak.
8. Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5( aferen) dan
CN 7 (eferen)
9. Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal tube.
10. Respons motorik :merupakan indikator terbaik dalam menentukan dalam dan
beratnya keadaan koma. Yang diperhatikan yaitu :
a. Pergerakan spontan : lihat adanya suatu asimetri
b. Tonus otot : peningkatan tonus otot bilateral pada ekstremitas bawah
merupakan tanda penting terjadinya suatu herniasi serebri.
c. Induksi pergerakan melalui :
i. Perintah verbal : normal

56
ii. Rangsang nyeri : dengan menggosokkan kepalan tangan pemeriksa pada
sternum dan penekanan pada nailbed dengan menggunakan handel dari
hammer.
11. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu
lateralisasi defisit sensoris.
12. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit
motoris yang disebabkan lesi struktural
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinskis menunjukkan coma akibat
struktural atau metabolik.
Pemeriksaan Penunjang
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien
dengan koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang
harus segera dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain :
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita curigai
terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone window pada
kejadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat
ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang,
keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui
pemeriksaan CT dan LP.
Keadaa pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik
telah kita lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari
koma tersebut. Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan thalamus
Manajemen Pasien dengan Koma
1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying
lesions / SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.

57
2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya :
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau
abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan
acyclovir 10 mg/kg iv tiap 8 jam
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan
ceftriaxon 2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur
Terapi Umum
1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi
2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri
atau peningkatan TIK
3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal
tube, hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi
dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan
gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit
5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata
dengan plester
6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium
100 mg 3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari
stress ulcer akibat pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam
8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam,
penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya

58
Prognosis
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari
dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi
obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan
struktur intrakranial.

59
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan stroke yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa masing-masing bentuk penyakit memiliki karakteristik manifestasi
klinisnya. Dengan memahami betul hal tersebut, diharapkan dapat
dibedakan antara Stroke hemoragik atau iskemik yang disebabkan suatuhal
antara yang satu dengan yang lain. Dari yang paling sederhana sampai yang
menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Sebagai dokter umum harus
mengerti benar apa penyakitnya dan penanganan apa saja yang bisa
diberikan sesuai kompetensi dan merujuk pasien dengan keadaan yang tidak
bisa ditangani oleh dokter umum.

Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik
dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar
baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi kuliah, dari
rekan-rekan angkatan 2011 dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan
laporan ini.

60
DAFTAR PUSTAKA

Harsono. (2011). Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Jauch, E. C. (2013). Ischemic Stroke Differntial Diagnoses. Medscape:


http://emedicine.medscape.com/artikel/1916852-differential

Mardjono, D. &. (2008). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Haris, S. et al (2002) Update in Neuroemergency. FKUI Jakarta

61

You might also like