Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan
terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara musculus konstriktor faring
dengan tonsila palatina pada fosa tonsilaris. Infeksi ini menembus kapsul tonsil
(biasanya pada kutub atas). Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok
yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.2
Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40 tahun.
Pada anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit kekebalan
tubuh, tetapi pada anak infeksi dapat menyebabkan gangguan obstruksi jalan nafas.
Persentase efek gangguan jalan nafas sama pada anak laki-laki dan perempuan.
Pada umumnya infeksi di bagian kepala leher terjadi pada orang dewasa.3
Insiden abses peritonsil di A.S terjadi 30 per 100.000 orang/ tahun. Data
insiden terjadinya abses peritonsil; 1/6500 populasi atau 30,1/40.000 orang per
tahun di Amerika Serikat. Di Irlandia Utara dilaporkan 1 per 10.000 pasien per
tahun, dengan rata-rata usia 26.4 tahun.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Tonsila palatina
Tonsila palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang
terletak di dalam fosa tonsilaris pada kedua sudut orofaring, dan
dibatasi oleh arkus anterior (muskulus palatoglosus) dan arkus
posterior (muskulus palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30
kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu
mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
2
dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral
orofaring. Dibatasi oleh:6
b. Fosa tonsilaris
Fosa tonsilaris dibatasi oleh arkus faring anterior dan
posterior. Batas lateralnya adalah muskulus kosntriktor faring
superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole)
terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supratonsil. Fosa
ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat
nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fosa tonsilaris diliputi
oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring.4
c. Kapsul tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu
membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para
pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para
klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih
3
yang menutupi 4/5 bagian tonsil. Kapsul tonsil mempunyai
trabekula yang berjalan ke dalam parenkim. Trabekula ini
mengandung pembuluh darah, saraf-saraf dan pembuluh eferen.8
d. Kriptus tonsil
Kriptus tonsil berbentuk saluran yang tidak sama panjang
dan masuk ke bagian dalam jaringan tonsil. Umumnya terdiri dari
8-20 buah dan kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kriptus.
Permukaan kriptus ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel
permukaan medial tonsil. Saluran kriptus ke arah luar, biasanya
bertambah luas. Pada fosa supratonsil, kriptus meluas kearah
bawah dan luar, maka fosa ini dianggap pula sebagai kriptus
yang besar. Hal ini membuktikan adanya sisa perkembangan
berasal dari kantong brakial ke II. Secara klinik terlihat bahwa
kriptus merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun sistemik
karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas dan
kuman.8
e. Plika triangularis
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah
tonsil terdapat plika triangularis yang merupakan suatu
struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut
ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan
tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah
terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.8
Kadang-kadang plika triangularis membentuk suatu
kantong atau saluran buntu. Keadaan ini dapat merupakan
sumber infeksi lokal maupun umum karena kantong tersebut
terisi sisa makanan atau kumpulan debris.8
4
f. Perdarahan
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri
lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden,
diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan
arteri palatina desenden.4
5
posterior memperdarahi tonsil dan palatum mole dari atas dan
membentuk anastomosis dengan arteri palatina asenden.8
i. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel
limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit
tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3%
lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD),
komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin
6
berakumulasi di jaringan tonsillar. Sel limfoid yang
immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel
retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid
dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan organ
limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai
dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi
dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.9
7
Dinding medial ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul tonsil,
yang terbentuk dari fasia faringo-basilar dan menutupi bagian lateral
tonsil. Dinding lateral ruang peritonsil dibentuk oleh serabut
horizontal muskulus konstriktor superior dan serabut vertikal
muskulus palatofaringeal.8
8
terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. Terdapat dua
mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik.10
2.3.2. Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis
akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub
atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman
penyebab tonsilitis.4
Pada tonsislitis akut, infeksi kuman dapat menembus kapsul
tonsil dan menyebabkan proses keradangan pada jaringan peritonsil.
Kemudin terbentuk infiltrate dan akhirnya terjadi supurasi dan terjadi
timbunan pus diantara kapsul tonsil dan muskulus konstriktor
faringeus superior. Abses biasanya terbentuk setelah 4 hari.11
Bakteri aerob tersering penyebab abses peritonsil adalah
Streptococcus pyogenes (streptococcus beta hemoliticus grup A),
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, golongan Neisseria.
sedangkan bakteri anaerob penyebab abses peritonsil adalah
Fusobacterium, Peptostreptocccus, Prevotella, Bacteroides.
Kebanyakan penyebab infeksi pada abses adalah gabungan dari
bakteri aerob dan anaerob.12
9
2.3.3. Diagnosa
Guna menetapkan pengobatan yang tepat, perlu ditetapkan
terlebih dahulu apakah sudah terbentuk abses ataukah masih
berbentuk infiltrat. Perbedaan keduanya adalah dalam hal lama
penyakit dan ada tidaknya trismus.1
Untuk memastikan, dilakukan pungsi percobaan di tempat yang
paling bombans (umumnya pada kutub atas tonsil). Jika ini sulit
ditentukan, pungsi dilakukan pada pertemuan 2 buah garis yaitu
vertikal melalui arkus anterior dan horizontal melalui basis uvula
dengan arah ke belakang. Jika terdapat nanah maka dibuat diagnosis
abses, tetapi jika tidak terdapat nanah maka diagnosis sebagai
infiltrat.1
2.3.4. Patofisiologi
Radang umumnya berasal dari tonsil dan merupakan komplikasi
tonsilitis akut. Kuman penyebab menembus kapsul masuk ke dalam
fosa supratonsil sehingga terjadi infiltrat peritonsil. Jika proses
berlanjut akan terjadi supurasi dan terbentuk abses peritonsiler. Udem
dapat menjalar ke jaringan sekitar yaitu ke palatum mole, uvula dan
radiks lingua. Abses terbentuk kira-kira sesudah 4 hari.1
Pada pemeriksaan tampak tonsil seolah-olah terdorong keluar
dari tempatnya (dislokasi). Tampak penggembungan (bombans)
terutama di daerah supratonsil. Uvula terdorong ke sisi yang sehat
(kontralateral). Udem kutub bawah tonsil dapat menjalar ke radiks
lingua dan epiglottis yang disebut udem perifokal.1
10
(ptialismus). Terjadi rinolalia aperta, karena gangguan gerakan
palatum mole. Bila minum, minuman keluar dari hidung.11
Keluhan lainnya berupa muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore), trismus jika mengenai muskulus pterygoid, serta
pembengkakan kelenjar sub mandibular dengan nyeri tekan, demam
tinggi, penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi
seperti suara hidung, membesar seperti mengulum kentang panas
(hot potatos voice atau plummy voice) karena penderita berusaha
mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut.4,13
11
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh cavum oris, karena
trismus. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan,
dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong ke sisi
kontra lateral. Tonsil membengkak, hiperemis, ada detritus dan
terdorong kearah medial, depan dan bawah.4
Tonsil kadang kala tertutup oleh jaringan sekitarnya yang
membengkak atau tertutup oleh mukopus. Pada pemeriksaan fisik,
penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi.14
Abses peritonsil paling sering terjadi pada bagian supratonsil atau
belakang tonsil. Penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan
pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas atas. Pada
keadaan ini penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.14
Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak
menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub superior. Umunya
uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah peritonsil
superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan
kemerahan.14
12
Gambar 6: Intraoral Ultrasonografi.15
13
Gambar 7: (Computed Tomography Abses Peritonsil)12
14
b. Abses parafaring
Ruang parafaring mengalami infeksi karena4 :
Langsung, akibat tusukan jarum pada saat tonsilektomi
dengan analgesia.
Proses supurasi kelenjar limfe leher bagian dalam.
Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau sub
mandibular.
Gejalanya adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibular, demam tinggi dan pembengkakan
dinding lateral faring, sehingga menonjol kearah medial.4
c. Abses submandibular
Infeksi yang bisa berasal dari gigi, dasar mulut, faring,
kelenjar liur atau kelenjar limfa submandibular. Kuman
penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.
Gejalanya terdapat demam dan nyeri leher di sertai
pembengkakan di bawah mandibular dan atau di bawah lidah,
mungkin berfluktuasi. Sering ditemukan trismus.4
d. Angina Ludovici
Merupakan infeksi ruang submandibular berupa selulitis
dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang
submandibular, tidak membentuk abses, sehingga keras pada
perabaan submandibular. Sumber infeksi seringkali berasal dari
gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan anaerob.4
Gejalanya berupa nyeri tenggorok dan leher, disertai
pembengkakan di daerah submandibular yang tampak
hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak,
dapat mendorong lidah keatas belakang, sehingga menimbulkan
sesak napas, karena sumbatan jalan napas.4
15
2.3.9. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan
penisilin atau klindamisin, dan obat simptomatik. Obat kumur-
kumur juga diperlukan, dengan menggunakan cairan hangat dan
kompres dingin pada leher.4
Pilihan antibiotika yang digunakan untuk kedua bakteri aerob
dan anaerob adalah penisilin yang masih menjadi obat pilihan
untuk abses peritonsil. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir,
antibiotika golongan beta-laktamase menjadi pilihan utama.
Beberapa penelitian merekomendasikan penisilin sebagai lini
pertama, jika tidak ada respon dalam 24 jam, dapat ditambah
Metronidazole 500 mg 2 kali dalam sehari sebagai regimen.16
Penggunaan antibiotika intravena dapat menggunakan
Ampicillin/sulbactam 3 gram setiap 6 jam. Penicillin G 10 juta
unit setiap 6 jam ditambah dengan Metronidazole 500 mg setiap
6 jam. Jika alergi terhadap penisilin dapat diberikan Clindamycin
900 mg setiap 8 jam.12
Untuk antibiotika oral dapat menggunakan Amoxixillin/
asam kalvulanat 875 mg sehari 2 kali. Penicillin 500 mg 4 kali
dalam sehari ditambah dengan Metronidazole 500 mg 4 kali
dalam sehari. Clindamycin 600 mg 2 kali dalam sehari atau 300
mg 4 kali dalam sehari.12
16
diidentifikasi pada pembengkakan di daerah arkus-arkus tonsil
atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.13
17
disuruh berkumur dengan antiseptik dan diberi terapi antibiotika.
Umumnya setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan segera
berkurang. Pus yang keluar juga sebaiknya diperiksakan untuk
tes kultur dan sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi
(diagnosis).13
1. Buka mulut tanpa atau dengan mond speder atau mouth gag
2. Pungsi menggunakan jarum pungsi besar mengarah lurus ke
belakang 2-3 cm
3. Insisi dengan atau tanpa anastesi
4. Kemudian dengan pisau lengkung, tajam di dalam, lakukan
insisi pada pertemuan garis horizontal lewat uvula dan garis
vertikal lewat ujung bawah arkus anterior
5. Perbesar lubang insisi dengan pean atau kooker atau tampon
tang, arahkan ke lateral atau lateroinferior dari tempat insisi
6. Hisap pus yang keluar dari tempat insisi
7. Kumur dengan air.
1. Pus keluar
2. Dapat minum segera, nyeri berkurang
3. Trismus berkurang, rinolalia berkurang
Monitoring11 :
1. Setiap hari dilakukan membuka lubang insisi dengan
kooker/pean, sebab biasanya ada pus lagi yang disebabkan
lubang insisi menutup. Dilakukan sampai pus benar-benar
habis.
2. Kembali satu bulan lagi untuk tonsilektomi
18
Komplikasi insisi11 :
1. Pus turun ke bawah : perilaringeal, peritrakeal, mediastinitis
2. Abses parafaring
3. Sepsis
4. Aspirasi ke bronkus-trakea kalau pecah spontat
5. Oedem pada laring, obstruksi laring
6. Thrombus vena jugularis
c. Tonsilektomi
19
2.3.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada abses peritonsil adalah11 :
a. Pus menembus otot konstriktor faringeus superior masuk ruang
parafaring, terjadi abses parafaring, menjalar ke bawah ke
mediastinum terjadi mediastinitis. Bila terjadi abses parafaring,
pembengkakan leher menjadi lebih besar (limfadenitis
cervicalis), dan menjalar ke bawah.
b. Udem menjalar ke bawah, udem laring, terjadi obstruksi laring.11
Pembengkakan yang timbul di daerah supra glotis dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas atas yang memerlukan
tindakan trakeostomi.17
c. Penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus
sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. Pada keadaan ini,
bila tidak ditangani dengan baik akan menghasilkan gejala
sisa neurologis yang fatal.4
Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses
adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah
ditemukan.17
d. Dehidrasi karena intake makanan dan minuman berkurang.17
e. Pecahnya abses secara spontan dengan aspirasi darah atau pus
dapat menyebabkan pneumonitis atau abses paru.17
f. Sepsis.11
20
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Abses peritonsil adalah radang di jaringan ikat kendor peritonsil yang
mengakibatkan pembentukan nanah di jaringan peritonsil. Nanah terletak
diantara kapsul tonsil dan fosa tonsilaris. Penyakit ini umumnya terjadi pada
orang dewasa, jarang pada anak-anak (sebelum umur 12 tahun).
Kebanyakan bersifat unilateral. Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari
komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus
Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan
kuman penyebab tonsilitis.
Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus,
demam tinggi, lemah dan mual. Keluhan lainnya berupa mulut berbau
(foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga (otalgi).
Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai muskulus-muskulus
pterigoid. Suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti
mengulum kentang panas (hot potatos voice) karena penderita berusaha
mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut. Untuk memastikan, dilakukan
pungsi percobaan di tempat yang paling bombans.
Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses
peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai
alternatif pemeriksaan.
4.2. Saran
a. Edukasi dapat diberikan kepada masyarakat mengenai abses peritonsil
untuk menghindari faktor penyebabnya.
b. Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada penderita abses peritonsil
untuk mencapai hasil terapi yang maksimal dan menghindari terjadinya
komplikasi.
21
DAFTAR PUSTAKA
4. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi VII. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2012.
5. Paulsen F, Waschke J. Sobotta : Atlas of Human Anatomy Ed. 15th. Elsevier
: Munich. 2011
9. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar,
H.N. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology
Assessment (HTA) Indonesia; 2004.
10. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease
dalam Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Edition.
Elsevier Mosby Inc.; 2005.
11. Soedjak S. Diktat kuliah THT. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Surabaya. 1994
22
12. Galioto NJ, Peritonsillar Abscesses. Broadlawns Medical Center. 2008.
14. Ming CF. Effycacy of Three Theraupetic Method for Peritonsillar Abscess.
Journal of Chinese Clinical Medicine 2006;2:108-11.
23