You are on page 1of 19

LAPORAN KASUS ANESTESI

SECTIO CAESAREA (SC) G3P2A0 H37MG LETAK SUNGSANG


DENGAN ANESTESI REGIONAL SPINAL

Disusun oleh:
Ramya Harlistya
01.210.6253

Pembimbing:
dr. Meriwijanti, Sp.An (K/C)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA TUGUREJO
SEMARANG
2015

HALAMAN PENGESAHAN

NAMA : RAMYA HARLISTYA


NIM : 01.210.6253

0
FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS : UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
BIDANG PENDIDIKAN : ANESTESI
PEMBIMBING : dr. Meriwijanti, SP.An (K/C)

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Mei 2015

Pembimbing,

dr. Meriwijanti, Sp.An (K/C)

DAFTAR MASALAH

No Masalah aktif Tanggal Keterangan No Masalah pasif Tanggal Keterangan


1 G3P2A0 06/10/14
H37MG
LETAK
SUNGSANG

1
LAPORAN KASUS

STATUS PENDERITA

1. Identitas Pasien
Nama : Ny. Heni Sri

2
Umur : 32 th/10 bl/1 hr
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
No RM : 09-00-19
Tanggal masuk : 02 Mei 2015
Perawatan : Hari ke-3
Pasien bangsal : Bougenville 1

2. Keluhan Utama
Pasien G3P2A0 mengeluh adanya kenceng-kenceng dibagian perut

2.1. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien G3P2A0 usia 32 tahun hamil 37 minggu. Janin 1 hidup
intrauterin letak sungsang, mengeluhkan kontraksi rahim (+), keluar
cairan (lendir dan darah) dari jalan lahir (-), terasa gerakan janin (+).
Saat usia kehamilan menjalani pemeriksaan dan dinyatakan
kehamilan letak sungsang dan disaat pasien hamil aterm direncanakan
SC (Sectio Caesarea).

2.2. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal
6. Riwayat kejang : disangkal
7. Riwayat penyakit maag : disangkal
8. Riwayat alergi obat : disangkal
9. Riwayat sakit di ginjal : disangkal

2.3. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal
6. Riwayat kejang : disangkal

2.4. Riwayat Pribadi

3
1. Riwayat merokok : disangkal
2. Riwayat komsumsi alcohol : disangkal
3. Riwayat minum jamu : disangkal

3. Persiapan Pre Operasi


3.1 Anamnesis (05 Oktober 2014)
A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan
dan penyakit
M (Medication) : (-)
P (Past Illnes) : Riwayat DM (-), HT (-), Asma (-)
L (Last meal) : Puasa mulai pukul 02.00 WIB (6 jam sebelum
operasi)
E (Environment) : G3P2A0 hamil 37 minggu, janin 1 hidup
intrauterine letak sungsang

3.2. Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (01 Mei 2015)


Tanda Vital
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 18 x/menit
SaO2 : 100 %
Suhu : 36,5oC
TB : 158 cm
BB : 66 Kg
Jantung : dbn
Paru : dbn
Mulut, gigi dan jalan nafas : dbn
Ekstremitas : dbn
Lain lain : dbn
DJJ I + 11-12-11
DJJ II+ 12-11-12
3.3. Pemeriksaan Penunjang (02 Mei 2015)
HEMATOLOGI
1. Darah rutin (WB EDTA) Nilai Normal
2. Leukosit : 8,19 103/uL 3,6-11 103/uL
3. Eritrosit : 3,76 103/uL (L) 3,8-5,2 103/uL
4. Hemoglobin : 11,50 g/dL (L) 11,7-15,5 g/dL
5. Hematocrit : 33,40 % (L) 35-47 %
6. MCV : 88,80 fL 80-100 fL
7. MCH : 30.60 pg 26-34 pg

4
8. MCHC : 34,40 g/dL 32-36 g/dl
9. Trombosit : 145 103 /u (L) 150-400 103 /uL
10. RDW : 13,60 % 11,5-14,5 %
11. Diff Count
a. Eosinophil absolute : 0,05 103 /uL 0,045- 0,44 103 /uL
b. Basophil absolute : 0,05 103 /uL 0-0,2 103 /uL
c. Netrofil absolute : 6,28 103 /uL 1,8-8 103 /uL
d. Limfosit absolute : 1,30 103 /uL 0,9-5,2 103 /uL
e. Monosit absolute : 0,51 103 /uL 0,16-1 103 /uL
f. Eosinophil : 0,60 % (L) 2-4 %
g. Basophil : 0,60 % 0-1 %
h. Neutrophil : 76,70 % (H) 50-70 %
i. Limfosit : 15,90 % (L) 25-40 %
j. Monosit : 6,20 % 2-8 %
12. Golongan Darah : A Rh +
13. Kimia Klinik (Serum)
a. Gula Darah Sewaktu : 69 mg/dL <125 mg/dL
14. Serologi-Imun
a. HbsAg : Non Reaktif (-) Non Reaktif (-)

4. Laporan Anesthesi Durante Operasi


Tindakan operasi : SC (Sectio Caesarea)
Jenis anestesi : Regional Spinal, posisi puncture di lumbal
terbawah, level median.
Lama anestesi : 08.30 09.10 WIB
Lama operasi : 08.35 09.10 WIB
Premedikasi : Ondancetron 4 mg/2ml (IV)
Induksi : Bunascan Spinal 0.5% Heavy (Bupivacain HCL)
5mg/ml
Maintenance : O2 2 L/menit
Adjuvantia : Sotatic Metoclopramid 5 mg/ml
Oxytocin 10 IU/ml
Pospargin (Methylergometrine Maleat) 0.2 mg/ml
Dycinone Ethamsylate 125 mg/2ml
Asam Traneksamat 500 mg/5ml
Vit. C 100 mg/ml
Vit. K 10 mg/ml
Ketorolac 3% 30 mg/ml
Tramadol 100 mg/2ml
Reverse :-
Terapi cairan : Koloid : FimaHES 500 ml
Pematauan Tanda Vital

5
Post operasi : Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery
room

4.1 Tindakan Anestesi Regional


Pasien diposisikan lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi
antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan
jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang
tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater,
mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan
keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.
Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah
operasi, menggunakan jarum halus atau kapas dan tes motorik
dengan mengangkat kaki dan menekuk lutut.
Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah
pungsi ditutup dengan kasa dan plester.
Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan
selanjutnya.

4.2 Pemberian Cairan


Cairan masuk
Pre operatif : RL 500 cc
Durante operatif : HES 500 cc

6
Cairan keluar
Perdarahan : 300-400 cc
Produksi urin : 55 cc/jam

Pasca Bedah di Recovery Room (RR)


Bromage Score :

No. Kriteria Skor


1. Dapat mengangkat tungkai bawah 0
2. Tidak dapat menekuk lutut, tetapi dapat mengangkat kaki 1
3. Tidak dapat mengangkat tungkai bawah, tetapi dapat menekuk lutut 2
4. Tidak dapat mengangkat kaki sama sekal 3
Score <2, pasien boleh pindah ruangan

Recovery Room
Masuk jam : 09.10 WIB
Pulang jam : 09.25 WIB

7
Keadaan Umum : Baik
Respon Kesadaran : Terjaga
Status mental : Sadar penuh
Jalan nafas : Nasal
Pernafasan : Teratur
Terapi Oksigen : Nasal Canul
Sirkulasi anggota badan : Merah muda
Kulit : Kering
Posisi Pasien : Semifowler
Nadi : Teratur
Infus : RL
Tanda Vital
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
SaO2 : 100 %
TB : 158 cm
BB : 66 Kg

Instruksi Post Operasi Dengan Anestesi Spinal


Tidur dengan bantal tinggi selama 24 jam
Infus : RL 20 tpm
Antibiotika : sesuai TS bedah
Inj. Tramadol 3 x 100 mg drip
Inj. Ketolorac 3 x 30 mg iv bila nyeri
Bila muntah, kepala dimiringkan, head down dan suction aktif
Boleh langsung minum, makan tunggu peristaltik usus (+)
Bila TD 90 mmHg (systole), beri :
Loading cairan RL 250 ml iv
Inj. Ephedrine HCL 10 mg iv
Hub. dr. anestesi

8
PEMBAHASAN

1. Pre Operatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk


dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi
terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan ini bertujuan untuk
mempersiapkan mental, fisik pasien secara optimal, merencanakan dan
memilih teknik dan obat-obatan yang sesuai serta menentukan klasifikasi
yang sesuai menurut ASA. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa
menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.
Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga
harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA.
Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai
pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus
menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen
anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent. Dari
anamnesis didapatkan pasien mengeluh kencang-kencang dibagian perut
namun tidak keluar darah dari jalan lahir. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan denyut jantung janin baik, presentasi bokong. Dari
pemeriksaan penunjang didapatkan adanya penurunan Hb pasien. Pada
pasien ini dikarenakan adanya penurunan nilai hasil laboratorium pada Hb,
maka status anestesi pasien adalah ASA 2 (Pasien dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang dan tidak ada keterbatasan fungsional).

9
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat
alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau
skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya
manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga
harus digali begitu juga riwayat pengobatan, karena adanya potensi terjadi
interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi
sebelumnya, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah. Riwayat
kebiasaan sehari-hari seperti merokok, minum alkohol, menggunakan obat
penenag, dan narkotika. Pertanyaan tentang review sistem organ untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum
terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak
muncul pada history taking, sedangkan history taking membantu
memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus
diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang
sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan
darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung,
paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga
penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada
defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.

Pemeriksaan jalan nafas daerah leher dan kepala diperiksa untuk


mengetahui adanya trismus. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut,
lidah relatif besar, leher pendek, gangguan fleksi extensi leher, deviasi
trachea sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah akan
menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker harus sudah
diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan.
Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus
bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari

10
Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek
mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.

Pemeriksaan laboratorium memeriksa kadar hematokrit atau


hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram,
dan foto polos toraks pada semua pasien.
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori
ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ
donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat
mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari
banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka
tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun
begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan
manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.
Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa


limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi


aktivitas normal.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan


memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada
aktivitas sehari-hari.

Kelas V : Pasien sekarat yang akan menyang tidak dapat


hidup/bertahanvdalam 24 jam, dengan atau tanpa
pembedahan.

Kelas E : Bila operasi dilakukan darurat/cito

11
Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi


isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko
utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam
sebelum induksi anesthesia.

Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan
sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan.
Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi
cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal,
keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru.
Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Kebutuhan Cairan Selama Operasi


Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Ringan 4 cc/kgBB/jam
Sedang 6 cc/kgBB/jam
Berat 8 cc/kgBB/jam

12
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan
mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan
mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
Penggantian Cairan Selama Puasa
50 % selama jam I operasi
25 % selama jam II operasi
25 % selama jam III operasi

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron


4mg/ml. Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif
yang dapat menekan mual dan muntah.

2. Durante Operasi
Pemakaian Obat Anestesi

13
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine HCL
yang merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional
bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu
dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer
jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja lambat dibanding lidokain,
tetapi lama kerja 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang
(supine).

Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan


kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari
perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang
punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan
pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol
dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan dengan arah
median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian
dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-
lahan.

Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui


penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi
penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100
mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi
spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi
maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara
intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini tidak terjadi hipotensi,
sehingga tidak diberikan bolus ephedrin sebanyak 10mg secara intravena.

Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10


IU (1 ampul) diberikan per-drip, dan Pospargin o,2 mg/ml diberikan secara
bolus IV Pemberian oksitosin dan pospargin bertujuan untuk mencegah
perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk

14
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5
menit. Selain oksitosin, juga diberi pospargin 1 ml bolus IV, Mekanisme
kerjanya merangsang kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui
reseptor adrenergik sehingga menghentikan perdarahan uterus.

Selama operasi berlangsung, pasien mengeluhkan mual muntah.


untuk menanggulangi mual, muntah metabolik karena obat selama atau
sesudah operasi, maka pasien diberikan Metoclopramid 5 mg/ml.
Metoclopramid mempengaruhi Chemoreceptor Trigger Zone medulla yaitu
dengan menghambat reseptor dopamin padat CTZ. Mekanisme kerja
dengan cara meningkatkan ambang rangsang CTZ dan menurunkan
sensitivitas saraf visceral yang membawa impuls saraf aferen dari
gastrointestinal ke pusat muntah pada formatio reticularis lateralis.

Pemberian ketorolac 30 mg secara intravena diberikan sesaat


sebelum operasi selesai. Ketorolac adalah golongan NSAID (Non steroidal
anti-inflammatory drug) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin.
Ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka pendek post
operasi, dengan durasi kerja 6-8 jam. Selain itu juga diberikan Tramadol
100 mg/2ml (drip). Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada
reseptor opiat. Tramadol mengikat secara stereospsifik pada reseptor di
sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan respon
terhadap nyeri. Di samping itu tramadol menghambat pelepasan
neutrotransmiter dari saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang,
akibatnya impuls nyeri terhambat.

Pasien SC biasanya mengeluarkan darah sekitar 500-600 cc, maka


pasien diberikan asam traneksamat, dicynone, vit. C dan vit K untuk
mengurangi perdarahan.

Asam tranexamat 50 mg/ml adalah obat golongan antifibrinolitik


yang bekerja mengurangi perdarahan dengan cara menghambat

15
aktivasi plasminogen menjadi plasmin pada cascade pembekuan darah.
Karena plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam tranexamat
bekerja menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada
meingkatnya aktivitas pembekuan darah.

Dicynone 250 mg/2 ml bekerja pada fase vaskuler dari hemostasis


dengan cara:
- Memulihkan daya lekat dari platelet yang terganggu.
- Memulihkan lapisan endo endothelium dari fibrin.
- Menghambat sintesa Prostasiklin yang merupakan antihemostatik.
- Dengan demikian memulihkan resistensi kapiler yang be rkurang.
Hal ini yang menjelaskan cara kena Dicynone yang nyata pada
perdarahan.
Dicynone bekerja dengan menstabilkan membran yang menghambat
enzim spesifik prostaglandin dalam proses sintesanya, atau dengan
kata lain membantu agregasi platelet.

Vitamin K 10 mg/ml (1 ml). Merupakan ko-faktor pembekuan darah.


Faktor pembeku darah yang dipengaruhi oleh vitamin K adalah faktor
II, VII, IX dan X. Vitamin K diperlukan oleh pasien dengan gangguan
fungsi hati
Vitamin C 100 mg/ml dibutuhkan untuk pembentukan kolagen dan
perbaikan jaringan. Vitamin C juga penting dalam pembentukan
trombosit dan aktivitas dari sel darah putih. Oleh sebab itu vitamin C
memegang peranan penting untuk kelangsungan hidup jaringan ikat,
jaringan tulang rawan, lapisan endotelium pembuluh darah dan lain
sebagainya.

Terapi Cairan

16
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid,
atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid
cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik,
cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling
umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik,
menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler
danmerupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar
diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang
hilang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.


2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins..
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.
Keat Sally, Simon T, Alexander B, Sarah L. 2013. Anaesthesia on the
move 1th editional. U.K. Hodder Arnold

18

You might also like