Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
A. Media Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous
(badan kaca) dan panjang bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan
oleh media penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang
sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat
di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia
dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retina pada keadaan mata
tidak melakukan akomodasi atau istirahat (Ilyas, 2012).
B. Fisiologi Refraksi
Berkas-berkas cahaya yang mencapai mata harus dibelokkan ke arah dalam
untuk difokuskan kembali ke sebuah titik peka cahaya di retina agar dihasilkan
suatu bayangan yang akurat mengenai sumber cahaya. Pembelokan suatu
berkas cahaya (refraksi) terjadi ketika berkas berpindah dari satu medium
dengan kepadatan(densitas) tertentu ke medium dengan kepadatan yang berbeda
(Vaughan, 2004).
c. Etiologi Astigmatisma
Etiologi kelainan astigmatisma adalah sebagai berikut :
1) Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak
teratur.Media refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan yang
paling besar adalah kornea, yaitu mencapai 80% s/d 90% dari
astigmatismus,sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin.
Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan
lengkung kornea dengan tanpa pemendekan atau pemanjangan
diameter anterior posterior bola mata. Perubahan lengkung
permukaan kornea ini terjadi karena kelainankongenital, kecelakaan,
luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta akibat
pembedahan kornea.
2) Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa.
Semakin bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi
lensa kristalin juga semakin berkurang dan lama kelamaan lensa
kristalin akan mengalami kekeruhan yang dapat menyebabkan
astigmatismus.
3) Intoleransi lensa atau lensa kontak pada post keratoplasty.
4) Trauma pada kornea.
5) Tumor.
(Vaughan, 2004).
d. Klasifikasi Astigmatisma
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina maka astigmatisma
dibedakan atas beberapa jenis diantaranya :
a) Astigmatisma Regular
Astigmatisma regular merupakan astigmatismadengan dua
bidan utama dengan daya pembiasan terkuat dan terlemah. Kedua
bidang utama itu jalannya melalui dua meridian kornea. Meridian
kornea tersebut dinyatakan dengan meridian derajat (Ilyas, 2003).
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisma
regular inidibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
Horizonto-vertikal astigmatisma
Dibagi dalam 2 bentuk :
a) Astigmatisma with the rule (Astigmatisma lazim)
Astigmatisma with the rule merupakan kelengkungan
kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau
jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan
kornea di bidang horizontal. Pada astigmatisma ini meridian
vertikal lebih curam dari horizontal.
Pada astigmatisma lazim ini diperlukan lensa silinder
negatif dengan sumbu 180 derajat untuk memperbaiki
kelainan refraksi yang terjadi (Ilyas, 2012).
b) Astigmatisma against the rule (Astigmatisma tidak lazim)
Astigmatisma against the rule adalah suatu keadaan kelainan
refraksi astigmatisma yang disebabkan oleh kelengkungan
kornea pada meridian horizontal lebih kuat atau curam
dibandingkan dengan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini
sering ditemukan pada usia lanjut.
Pada Astigmatisma tidak lazim ini diperlukan lensa
silinder negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120
derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150
derajat) (Ilyas, 2012).
Astigmatisma oblique
Suatu bentuk astigmatisma regular dimana garis meridian
utamanya tidak tegak lurus tapi miring dengan axis 450 dan 1350
(Wijana, 1993).
b) Astigmatisma iregular
Astigmatisma irregular merupakan astigmatisma yang terjadi
tidak mempunyai dua meridian saling tegak lurus. Astigmatisma ini
dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama
berbeda sehingga bayangan menjadi irregular. Dan astigmatisma
irregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat
kelainan pembiasan pada meridian lensa yang berbeda. (Ilyas, 2012).
2. Miopia
a. Definisi
Miopia adalah suatu bentuk kelainan refraksi dimana sinar-sinar
sejajar yang datang dari jarak tak terhingga oleh mata dalam keadaan
tidak berakomodasi dibiaskan pada satu titik di depan retina. Miopia
berasal dari bahasa yunani muopia yang memiliki arti menutup mata.
b. Etiologi
Miopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah
populernya adalah nearsightedness. Pada miopia panjang bola mata
anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media
refraksi terlalu kuat.
c. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal dua jenis , yaitu:
1) Miopia aksial, adalah yang disebabkan oleh sumbu orbita yang
lebih panjang dibandingkan panjang fokus media refrakta. Dalam
hal ini, panjang fokus media refrakta adalah normal ( 22,6 mm)
sedangkan panjang sumbu orbita > 22,6 mm.
aksial disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
a) Menurut Plempius (1632), memanjangnya sumbu bolamata
tersebut disebabkan oleh adanya kelainan anatomis.
b) Menurut Donders (1864), memanjangnya sumbu bolamata
tersebut karena bolamata sering mendapatkan tekanan otot
pada saat konvergensi.
c) Menurut Levinsohn (1925), memanjangnya sumbu bolamata
diakibatkan oleh seringnya melihat ke bawah pada saat bekerja
di ruang tertutup, sehingga terjadi regangan pada bolamata.
2) Miopia refraktif, adalah yang disebabkan oleh bertambahnya indek
bias media refrakta. Pada miopia refraktif, menurut Albert E.
Sloane dapat terjadi karena beberapa macam sebab, antara lain :
a) Kornea terlalu melengkung (< 7,7 mm).
b) Terjadi hydrasi / penyerapan cairan pada lensa kristalinaa
sehingga bentuk lensa kristalinaa menjadi lebih cembung dan
daya biasnya meningkat. Hal ini biasanya terjadi pada
penderita katarak stadium awal (imatur).
c) Terjadi peningkatan indeks bias pada cairan bolamata
(biasanya terjadi pada penderita diabetes melitus).
Beberapa hal yang mempengaruhi resiko terjadinya miopia, antara
lain:
a. Keturunan. Orang tua yang mempunyai sumbu bolamata yang
lebih panjang dari normal akan melahirkan keturunan yang
memiliki sumbu bolamata yang lebih panjang dari normal pula.
b. Ras/etnis. Ternyata, orang Asia memiliki kecenderungan
miopia yang lebih besar (70% 90%) dari pada orang Eropa dan
Amerika (30% 40%). Paling kecil adalah Afrika (10% 20%).
c. Perilaku. Kebiasaan melihat jarak dekat secara terus menerus
dapat memperbesar resiko miopia. Demikian juga kebiasaan
membaca dengan penerangan yang kurang memadai.
3) Menurut perjalanan myopia:
a) Myopia stasioner, myopia simpleks, myopia fisiologis
Myopia yang menetap setelah dewasa.
b) Myopia progresif
Myopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata.
c) Myopia maligna, myopia pernisiosa, myopia degenerative
Myopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan
ablasi retina atau kebutaan.
4) Menurut klinis:
a) Simpel myopia: adalah myopia yang disebabkan oleh dimensi
bolamata yang terlalu panjang, atau indeks bias kornea
maupun lensa kristalinaa yang terlalu tinggi.
b) Nokturnal myopia: adalah myopia yang hanya terjadi pada saat
kondisi sekeliling kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh
mata seseorang bervariasi terhadap level pencahayaan yang
ada. Myopia ini dipercaya penyebabnya adalah pupil yang
membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak
cahaya, sehingga menimbulkan aberasi dan menambah kondisi
myopia.
c) Pseudomyopia: diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan
terhadap mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan
pada otot otot siliar yang memegang lensa kristalinaa. Di
Indonesia, disebut dengan myopia palsu, karena memang sifat
myopia ini hanya sementara sampai kekejangan akomodasinya
dapat direlaksasikan. Untuk kasus ini, tidak boleh buru buru
memberikan lensa koreksi.
d) Degenerative myopia: disebut juga malignant, pathological,
atau progressive myopia. Biasanya merupakan myopia derajat
tinggi dan tajam penglihatannya juga di bawah normal
meskipun telah mendapat koreksi. Myopia jenis ini bertambah
buruk dari waktu ke waktu.
e) Induced (acquired) myopia: merupakan myopia yang
diakibatkan oleh pemakaian obat obatan, naik turunnya kadar
gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa, dan
sebagainya.
5) Menurut derajat beratnya miopia :
a) Ringan : lensa koreksinya < 3,00 Dioptri
b) Sedang: lensa koreksinya 3,00 6,00 Dioptri.
c) Berat: lensa koreksinya > 6,00 Dioptri. Penderita myopia
kategori ini rawan terhadap bahaya pengelupasan retina dan
glaukoma sudut terbuka.
6) Menurut umur
a) Congenital (sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak)
b) Youth-onset myopia (< 20 tahun)
c) Early adult-onset myopia (20-40 tahun)
Late adult-onset myopia (> 40 tahun).
d. Gejala Klinis
1) Gejala subyektif:
a) Kabur bila melihat jauh.
b) Membaca atau melihat benda kecil harus dari jarak dekat
c) Lekas lelah bila membaca (karena konvergensi yang tidak
sesuai dengan akomodasi), astenovergens.
2) Gejala obyektif:
Myopia simpleks:
a) Pada segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan
pupil yang relatif lebar. Kadang-kadang ditemukan bola mata
yang agak menonjol.
b) Pada segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang
normal atau dapat disertai cresen myopia (myopiaic crescent)
yang ringan di sekitar papil syaraf optik.
Myopia patologik:
a) Gambaran pada segmen anterior serupa dengan myopia
simpleks
b) Gambaran yang ditemukan pada segmen posterior berupa
kelainan-kelainan pada:
Badan kaca: dapat ditemukan kekeruhan berupa
perdarahan atau degenerasi yang terlihat sebagai floaters,
atau benda-benda yang mengapung dalam badan kaca.
Kadang-kadang ditemukan ablasi badan kaca yang
dianggap belum jelas hubungannya dengan keadaan
myopia.
Papil syaraf optik: terlihat pigmentasi peripapil, kresen
myopia, papil terlihat lebih pucat yang meluas terutama ke
bagian temporal. Kresen myopia dapat ke seluruh
lingkaran papil, sehingga seluruh papil dikelilingi oleh
daerah koroid yang atrofi dan pigmentasi yang tidak
teratur
Makula: berupa pigmentasi di daerah retina, kadang-
kadang ditemukan perdarahan subretina pada daerah
makula.
Retina bagian perifer: berupa degenerasi sel retina bagian
perifer.
Seluruh lapisan fundus yang tersebar luas berupa
penipisan koroid dan retina. Akibat penipisan retina ini
maka bayangan koroid tampak lebih jelas dan disebut
sebagai fundus tigroid.
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan
fisik. Pasien akan datang dengan gejala klinis seperti yang tersebut di
atas. Pada pemeriksaan fisik, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
dengan menggunakkan kartu snellen. Periksa kelainan refraksi atau
hipermetropia yang ada, tentukan tajam penglihatan. (Morlet N, 2001).
f. Penatalaksanaan
Sejauh ini yang dilakukan adalah mencoba mencari bagaimana
mencegah kelainan refraksi atau mencegah jangan sampai menjadi
parah.
1) Koreksi lensa
Koreksi myopia dengan menggunakan lensa konkaf atau
lensa negatif, perlu diingat bahwa cahaya yang melalui lensa
konkaf akan disebarkan. Karena itu, bila permukaan refraksi mata
mempunyai daya bias terlalu besar, seperti pada myopia, kelebihan
daya bias ini dapat dinetralisasi dengan meletakkan lensa sferis
konkaf di depan mata.
Besarnya kekuatan lensa yang digunakan untuk
mengkoreksi mata myopia ditentukan dengan cara trial and error,
yaitu dengan mula-mula meletakan sebuah lensa kuat dan
kemudian diganti dengan lensa yang lebih kuat atau lebih lemah
sampai memberikan tajam penglihatan yang terbaik.
Pasien myopia yang dikoreksi dengan kacamata sferis
negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan
maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.00
dioptri memberikan tajam penglihatan 6/6, demikian juga bila
diberi sferis -3.25 dioptri, maka sebaiknya diberikan koreksi -3.00
dioptri agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik setelah
dikoreksi.
2) Soft Contact Lens
Soft contact lens terbuat dari poly-2-hydroxyethyl
methacrylate dan plastik fleksibel serta 30-79% air. Diameternya
sekitar 13-15 mm dan menutupi seluruh kornea. lensa ini dapat
digunakan untuk dan hiperopia. Karena lensa ini mengikuti
lengkung kornea maka tidak dapat dipakai untuk mengoreksi
astigmatisma yang lebih dari astigmatisma minimal. Karena
ukurannya yang lebih besar soft contact lens lebih gampang
dipakai dan jarang kemasukan benda asing antara pada ruang lensa
dan kornea serta adaptasinya juga cepat (Ilyas, 2003).
soft contact lens
http://www.davidorf.com/los-angeles/latest-news.htm
3) RGP (rigid gas permeable) lens
Lensa RGP terbuat dari fluorocarbon dan campuran polymethyl
methacrylate. Diameternya 6.5-10 mm in diameter dan hanya
menutupi sebagian kornea mengapung di atas lapisan air mata.
Lensa RGP memberikan penglihatan yang lebih tajam
dibanding soft contact lens, pertukaran oksigen yang lebih baik
sehingga dapat mencegah infeksi dan gangguan mata lain. Durasi
pemakaian lensa RGP dapat lebih lama dibanding soft contact lens.
Lensa RGP disesuaikan ukurannya pada setiap mata dengan lebih
tepat dan teliti. Kerugiaannya adalah lensa RGP kurang nyaman
dibanding soft contact lens dan masa adaptasinya yang lebih lama.
Lensa RGP dapat mengoreksi kelainan seperti keratoconus dimana
terdapat irregularitas bentuk kornea yang tidak dapat dikoreksi soft
contact lens. Lensa kontak toric dipakai untuk mengoreksi
astigmat. Lensa ini memiliki dua power untuk sferis dan silindris.
Agar berada pada posisi yang tepat dan stabil biasanya lensa ini
lebih berat dan memiliki penanda di bawah.
4) Bedah Refraksi
Metode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari:
a) Radial keratotomy (RK)
Dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di
parasentral. Bagian yang lemah dan curam pada permukaan
kornea dibuat rata. Jumlah hasil perubahan tergantung pada
ukuran zona optik, angka dan kedalaman dari insisi. Meskipun
pengalaman beberapa orang menjalani radial keratotomy
menunjukan penurunan myopia, sebagian besar pasien
sepertinya menyukai dengan hasilnya. Dimana dapat
menurunkan penggunaan lensa kontak.
Komplikasi yang dilaporkan pada bedah radial keratotomy
seperti variasi diurnal dari refraksi dan ketajaman penglihatan,
silau, penglihatan ganda pada satu mata, kadang-kadang
penurunan permanen dalam koreksi tajam penglihatan dari yang
terbaik, meningkatnya astigmatisma, astigmatisma irregular,
anisometropia, dan perubahan secara pelan-pelan menjadi
hiperopia yang berlanjut pada beberapa bulan atau tahun, setelah
tindakan pembedahan. Perubahan menjadi hiperopia dapat
muncul lebih awal dari pada gejala presbiopia. Radial
keratotomy mungkin juga menekan struktur dari bola mata.
b) Photorefractive keratectomy (PRK)
Adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan dengan
ablasi laser pada pusat kornea. Dari kumpulan hasil penelitian
menunjukan 48-92% pasien mencapai visus 6/6 (20/20) setelah
dilakukan photorefractive keratectomy. 1-1.5 dari koreksi tajam
penglihatan yang terbaik didapatkan hasil kurang dari 0.4-2.9 %
dari pasien.
Kornea yang keruh adalah keadaan yang biasa terjadi
setelah photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan
akan kembali jernih. Pasien tanpa bantuan koreksi kadang-
kadang menyatakan penglihatannya lebih baik pada waktu
sebelum operasi. Photorefractive keratectomy refraksi
menunjukan hasil yang lebih dapat diprediksi dari pada radial
keratotomy.
c) Laser Assisted in Situ Interlameral Keratomilieusis (lasik)
Merupakan salah satu tipe PRK, laser digunakan untuk
membentuk kurva kornea dengan membuat slice (potongan
laser) pada kedua sisi kornea (Deborah, 2008).
BAB IV
A. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi, pasien
didiagnosa dengan ODS astigmatisma miopikus kompositus.
Penatalaksanaan pasien ini dengan koreksi visus dan pemberian resep
kacamata
B. SARAN
Dokter umum sebaiknya mengetahui dan memahami cara
melakukan diagnosis dan penatalaksanaan dari kelainan refraksi sehingga
visus pasien dapat terkoreksi dengan baik
DAFTAR PUSTAKA
Hardten (2009). Lasik Astigmatism (on line). Medscape. Diakses 21 Mei 2017.
Ilyas Sidarta, dkk (2012). Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat. Jakarta. FKUI.
Sidarta I, dkk.(2003). Sari Ilmu Penyakit Mata Cetakan III. Jakarta. FKUI.