You are on page 1of 25

TUGAS BEDAH MULUT 2

TRAUMA MAKSILOFASIAL
(FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM MAKSILA,
FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

Disusun Oleh :
Repika Ayu Yulanda (04121004057) Resty Wahyu Veriani (04121004065)
Bebbi Arisyah A (04121004058) Heztri Shella Prima (04121004066)
Harentya Suci S (04121004059) Sheilladelia Shavira (04121004067)
Haritsa Budiman (04121004060) Khairanissa Trisna (04121004068)
Febri Rusdi (04121004061) Catharine Swasti (04121004069)

Meilani (04121004062) Siti Firdha Bimariska (04121004070)


Gabriela Maretta (04121004063) Intan Ardita (04121004071)
Fina Rachma Husaina (04121004064) Karlina Dwi Putri (04121004072)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
2014
TRAUMA MAKSILOFACIAL(FRAKTUR KOMPLEKS ZIGOMATIKUM
MAKSILA, FRAKTUR NASOETHMODIAL, FRAKTUR BLOW OUT)

Trauma maksilofacial berhubungan dengan cedera apapun pada wajah atau


rahang yang disebabkan oleh kekuatan fisik, benda asing atau luka bakar. Trauma
maksilofasial termasuk cedera pada salah satu struktur tulang ataupun kulit dan
jaringan lunak pada wajah. Setiap bagian dari wajah mungkin dapat terpengaruh.
Gigi dapat lepas atau goyang. Mata dengan otot-ototnya, saraf dan pembuluh
darahnya mungkin mengalami cedera sehingga dapat menyebabkan gangguan
penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola mata dan juga seperti halnya
rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang kuat. Kerusakan jaringan lunak
seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi. Rahang bawah (mandibula)
dapat mengalami dislokasi. Meskipun dilengkapi oleh otot-otot yang kuat untuk
mengunyah, rahang termasuk tidak stabil bila dibandingkan dengan tulang-tulang
lainnya sehingga dengan mudah mengalami dislokasi dari sendi
temporomandibular yang menempel ke tengkorak. 1,2
Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk
melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang
terkait karena trauma maksilofacial dapat menjadi kasus yang kompleks dan
mungkin diperlukan keterlibatan multispesialis dalam manajemennya.2,3
Trauma maksilofacial dibagi atas fraktur pada organ yang terjadi yaitu2 :
1. Fraktur tulang hidung
2. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma
3. Fraktur tulang maksila (mid facial)
4. Fraktur tulang orbita
5. Fraktur tulang mandibula
Trauma maksilofacial merupakan salah satu tantangan terbesar untuk
pelayanan kesehatan masyarakat di seluruh dunia karena insidennya yang tinggi.
Dari penelitian dilaporkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama
dari trauma maksilofacial. Selain itu penyebab lainnya yang tersering ialah
kekerasan fisik, konsumsi alkohol yang dapat memicu terjadinya tindakan
kekerasan dan kecelakaan, serta trauma maksilofacial akibat olahraga.4

2
Etiologi
Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma
oromaksilofasial. Beberapa literatur bahasa Inggris melaporkan bahwa terdapat
hubungan antara posisi duduk pengemudi atau penggunaan sistem penahan terhadap
keparahan dari cedera oromaksilofasial yang dialami pasien kecelakaan
lalulintas.5
Penilitian Rabi dan Khateery (2002), juga menunjukan bahwa diantara
beberapa etiologi trauma oromaksilofacial, kecelakaan lalulintas merupakan
penyebab utama terjadinya trauma, diikuti dengan penyebab lainnya seperti
trauma ketika bermain di taman, kecelakaan sewaktu bekerja atau industri,
kecelakaan sewaktu berolahraga, dan lain-lain.
Kecelakaan akibat arus listrik dapat terjadi karena arus listrik mengaliri
tubuh,karena adanya loncatan arus, atau karena ledakan tegangan tinggi,antara
lain akibat petir.pada kecelakaan tersengat arus listrik didaerah kepala,penderita
dapat pingsan lama dan mengalami henti nafas.dapat juga terjadi oedem
otak.akibat samping yang lama timbulnya katarak.destruksi terjadi dekat luka
masuk dan keluar arus listrik paling kuat.5,6
Kecelakaan akibat bahan kimia biasanya luka bakar dan ini dapat terjadi
akibat kelengahan,pertengkaran, kecelakaan kerja, kecelakaan di industri,
kecelakan dil laboratorium dan akibat penggunaan gas beracun pada
peperangan.Bahan kimia dapat bersifat oksidator seperti fenol dan fosfor putih, juga
larutan basa seperti kalium hidroksida menyebabkan denaturasi protein.asam sulfat
merusak sel karena bersifat cepat menarik air.Gas yang dipakai dalam peperangan
menimbulkan luka bakar dan menyebabkan anoksia sel bila berkontak dengan kulit
atau mukosa.beberapa bahan dapat menyebabkan keracunan sistemik. Asam
fluorida dan oksalat dapat menyebabkan hipokalsemia. Asam tanat, kromat,
formiat, pikrat, dan posfor dapat merusak hati dan ginjal kalau di
absorbsi tubuh. Lisol dapat menyebabkan methemoglobenemia3,6.

1. Fraktur Kompleks Zigomatikum Maksila (ZMCs)


a. Definisi
Fraktur Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs) menyebabkan patah

3
tulang dari trauma langsung.Fraktur Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs),
melibatkan zygoma beserta suturanya.7Garis fraktur jahitan memperpanjang
melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan
artikulasi dengan tulang sphenoid.Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui
foramen infraorbital dan lantai orbit.Cedera mata serentak yang umum.
Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang
dahi serta tulang temporal, dan karena tulang tulang tersebut biasanya terlibat
bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini
disebut fraktur kompleks zigomatik.
Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta
suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura
zigomatikomaksilar.Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa terjadinya
perpindahan tempat dari tulang zigomatik.

Gambar 1. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks

Gambar 2. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur tripod,


namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang

4
berlainan.Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita,
penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas.
Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur zigoma
kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus, yang hanya
bisa dilihat dengan menggunakan film submentoverteks dan secara klinis berupa
gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat perawatan yang
kurang baik. Insidensi fraktur komplek zigoma sendiri berbeda pada beberapa
penelitian.Pada penelitian Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan- kawan insidensi
fraktur komplek zigoma sebesar 7,4%. Sedangkan hasil penelitian yang lain
menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 42% dan 7,9%.
b. Etiologi
Umum :benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada
tonjolan tulang pipi.1
c. Diagnosa
Diagnosa dari fraktur zigoma didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang.8 Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan informasi
kemungkinan adanya fraktur pada kompleks zigomatikus selain tanda-tanda
klinis.7 Tetapi pemeriksaan klinis seringkali sulit dilakukan karena adanya
penurunan kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak dari pasien yang dapat
mengaburkan pemeriksaan klinis, dan pula tidak ada indikator yang sensitif
terhadap adanya fraktur zigoma.8
Dari anamnesis dapat ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan
kekuatan dari trauma terhadap pasien maupun saksi mata. Trauma dari arah lateral
sering mengakibatkan fraktur arkus zigoma terisolasi atau fraktur zigoma
komplek yang terdislokasi inferomedial. Trauma dari arah frontal sering
mengakibatkan fraktur yang terdislokasi posterior maupun inferior.9
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan
dari arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan simetri dan
ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita dan
aspek lateral orbita, adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva, abnormal
sensitivitas nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala

5
yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya.
Tanda yang khas dan jelas pada trauma zigoma adalah hilangnya tonjolan prominen
pada daerah zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang normal pada
daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus. Deformitas pada tepi
orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada tepi orbital lateral dan
infraorbita. Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk dibawah margin infraorbita,
sepanjang zigoma, menekan ke dalam jaringan yang oedem untuk palpasi secara
simultan dan mengurangi efek visual dari oedem saat
melakukan pemeriksaan ini.7,8
Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan
diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan.10 CT scan
pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien
dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat
pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat
memperlihatkan keadaan pilar dari midfasial:
pilar nasomaxillary, zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal,
zygomaticosphenoid, danzygomaticotemporal.9
Penilaian radiologis fraktur zigoma dari foto polos dapat menggunakan
foto waters (Gambar XZ), caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters
dapat dilihat pergeseran pada tepi orbita inferior, maksila, dan bodi zigoma. Foto
caldwel dapat menunjukkan region frontozigomatikus dan arkus zigomatikus.
Foto submentovertek menunjukkan arkus zigomatikus.7

Gambar 3. Proyeksi Waters menunjukkan adanya opasitas pada sinus maxillaris yang terkena
(tanda panah)

6
Sumber :Pedersen, Gordon W., D.D.S., M.S.D.Buku Ajar Praktis Bedah Mulut.Jakarta:
EGC.1996
Secara radiografis terlihat adanya kabut dan opasitas di dalam sinus
maxillaries yang terkena (Gambar X1). Pengamatan yang lebih cermat pada dinding
lateral antrum pada regio pendukung (buttres) (basis os.zygomaticum) sering
menunjukkan diskontinuitas atau step. Pergeseran yang umumnya terjadi adalah
inferomedial yang mengakibatkan masuknya corpus zygoma ke dalam sinus
maxilaris dan mengakibatkan berkurangnya penonjolan malar apabila tidak/kurang
dirawat dengan baik. Keadaan yang lebih parah lagi adalah
terjadinya diplopia yang persisten.9

Gambar 4.A.Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris ditunjukkan dengan


adanya gambaran opak yang kabur pada sinus maxillaries yang terserang dan pemisah
sutura (tanda panah), B. CT aksial menunjukkan adanya fraktur kompleks
zygomaticomaxillaris.Terlihat garis fraktur (tanda panah) dan daerah dalam sinus
maxillaries. C. Pergeseran yang biasa terjadi pada fraktur kompleks zygomaticomaxillaria
adalah kea rah inferomedial. D. sesudah dilakukan reduksi, elemen fraktur di stabilisasi
dengan kawat tunggal pada sutura zygomaticofrontalis.
Sumber :Pedersen, Gordon W., D.D.S., M.S.D.Buku Ajar Praktis Bedah
Mulut.Jakarta: EGC.1996

d. Gambaran klinis
Penemuan klinis yang bisa ditemukan10:

7
1) Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan
rahang.
2) Tulang pipi yang datar dan nyeri saat palpasi.
3) Pendarahan subkonjungtiva juga bisa ditemukan.
4) Keliling mata kehitaman, yakni ekhimosis dan pembengkakan
padakelopak mata, dan proptosis (eksoptalmus).
5) Gangguan penglihatan yakni diplopia (penglihatan ganda)
disebabkanfraktur lantai dasar orbita dengan penggeseran bola
mata dan luka atau terjepitnya otot ekstraokuler inferior. (gambar
XX)
6) Parestesi pada lateral hidung dan bibir bagian atas disebakan
kelainanpada nervus infraorbital.
7) Diplopia jika melirik mata ke atas karena keruskan pada muskulus
rektus inferior.
8) Trismus bisa terjadi tetapi tidak sering akibat daripada kelainan di
mandibula.
9) Ekimosis intraoral atau destruksi pada gusi.

Gambar 5. Pergeseran Bola mata ke arah posteroinferior (tanda panah) yang


terjadi setelah fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang melibatkan rima orbitalis dan
dasar orbita (enophthalmos).
Sumber :Pedersen, Gordon W., D.D.S., M.S.D.Buku Ajar Praktis Bedah
Mulut.Jakarta: EGC.1996

8
e. Penatalaksanaan
Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris biasanya memerlukan
pengungkitan dan pergeseran lateral pada waktu reduksi. Fraktur dengan pergeseran
minimal dan sedang yang tidak mengakibatkan gangguan penglihatan bias direduksi
secara konservatif dengan pengangkatan, disertai insersi pengait tulang atau trakeal
melalui kulit (gambar X). Apabila pergeseran tulang lebih parah, beberapa jalur
lain bisa dipilih misalnya metode Gilles (jalan masuk melalui kulit dengan
melakukan diseksi mengikuti fascia temporalis profundus ke
aspek medial corpus zygomaticus dan arcus zygomaticus).10 Perbaikan fraktur
komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa
diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Adapun langkah-langkah teknik
Gillies yang meliputi:
1) Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal,
2) Mengidentifikasi fasia temporalis,
3) Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari
aspekdalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam
untuk fasial, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus
dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang
lebih normal.
Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen-fragmen harus
direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak perlu
dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas lengkung
akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.

Gambar 6.Fraktur Kompleks zygomaticus tertentu direduksi dengan insersi


pengait (hook) tulang dibawah korpus zygomaticus secara perkutan.Tindakan ini
memungkinkan terjadinya mobilisasi fragmen fraktur dalam arah superolateral.

9
Sumber :Pedersen, Gordon W., D.D.S., M.S.D.Buku Ajar Praktis Bedah
Mulut.Jakarta: EGC.1996

Gambar 6.Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus,


A.Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superficial dibawah fasia temporal
bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator.

2. Fraktur Nasoethmoid
a. Definisi
Fraktur nasoethmoid adalah fraktur yang terjadi jika nasal piramid rusak
karena tekanan beban berat yang akan menimbulkan fraktur hebat pada tulang
hidung, prosessus frontal maksila, dan prosessus frontal nasal. Bagian dari nasal
piramid yang terletak diantara dua bola mata akan terdorong ke belakang11.
Fraktur nasoethmoid melibatkan aspek medial orbita.Cedera ini kadang-
kadang terlewati apabila terjadi bersamaan dengan fraktur nasal atau Le fort II
atau Le Fort III.Gejala yang terjadi biasanya meliputi ekhimosis periorbital,
turunnnya pendataran radiks nasi, bertambah lebarnya jarak antar canthus.
Walaupun setengah jarak antar canthus melebihi 35 mm adalah indikator
terjadinya traumatik telecanthus, sedangkan jarak 40 mm benar-benar sudah bersifat
diagnostik. Gangguan yang mungkin terjadi pada kasus ini disebabkan
karena rusaknya lamina cribrosa11.
b. Etiologi
Fraktur nasoethmoid biasanya disebabkan oleh pukulan kuat pada aspek
sentral dari bagian tengah wajah.Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan

10
sumber yang paling umum dari cedera, diikuti dengan benturan keras pada bagian
tengah wajah11.
c. Patofisiologi
Tulang hidung dan tulang rawan sangat rentan terkena fraktur karena
tulang hidung sangat lemah dan terletak di tengah wajah juga karena tahanannya
yang rendah.Jenis fraktur yang terjadi bervariasi tergantung dari momentum
pukulan dan densitas tulang yang terkenal (Murray, 1984). Begitu juga pada
tulang wajah, penderita dengan umur yang lebih muda akan menderita fraktur
daerah nasoseptal yang lebih besar, sedangkan pada penderita dengan umur yang
lebih tua, fraktur lebih cenderung berbentuk kominutif (Cummings, 1998).
Daerah terlemah pada hidung terletak pada jaringan kartilago dan antara
kartilago lateral atas dengan os nasal, juga kartilago septum yang berada pada krista
maksilaris. Tempat-tempat lemah ini meningkatkan risiko timbulnya fraktur atau
dislokasi setelah trauma hidung. Tenaga yang kuat dari arah manapun akan
menyebabkan fraktur kominutif tulang hidung dan deformitas septum nasal yang
berbentuk C12.
d. Komplikasi
Fraktur ini dapat menimbulkan komplikasi atau gejala sisa dibelakang hari.
Komplikasi tersebut adalah13:
a. Komplikasi neurologis
a. Robeknya duramater
b. Keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya
meningitis
c. Pneumosefalus
d. Laserasi otak
e. Avulsi dari nervus olfaktorius
f. Hematom epidural atau subdural
g. Kontusio otak dan nekrosis jaringan otak
b. Komplikasi pada mata
a. Telekantus traumatika
b. Hematom pada mata
c. Kerusakan nervus optikus yang dapat menyebabkan kebutaan

11
d. Epifora
e. Ptosis
f. Kerusakan bola mata
g. Dan lain-lain
c. Komplikasi pad hidung
a. Perubahan bentuk hidung
b. Obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur, dislokasi
atau hematom pada septum
c. Gangguan penciuman (hiposmia atau anosmia)
d. Epistaksis posterior yang hebat yang disebabkan karena robeknya
arteri ethmoidalis
e. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis
frontalis atau mukokel.
e. Klasifikasi

Gambar 7. Klasifikasi fraktur nasoethmodial.

FrakturNasoethmoidaldiklasifikasikan menurutpolayang ditetapkan


olehMarkowitzdan Manson dibagi menjadi tipeI-III.
Tipe Iadalahpatah tulangyang tidak lengkap, sebagian besarunilateraltetapi
kadang-kadangbilateral, yang hanyamengalami displace
inferiordiinfraorbitalrimdanPiriformmarjin.

12
Gambar 8. Fraktur Nasoethmodial tipe I.

Frakturorbitalnasoethmoidalbilateraldapatbagianseluruh
wilayahnasoethmoidalsebagai satu kesatuan. Ini bukanpatah
tulangorbitalnasoethmoidal yang sesungguhnya, karena telecanthustidak dapat
terjadi. Seluruhfragmensentralbiasanyamengalami rotasi dandisplace di bagian
posterior, dan terjadi distorsicanthal. Secara konseptual, ini perawatannya
denganmenopang dan menyatukan bagiansuperior dan inferioryang
mengalamifraktur. Jenispatah tulangtidak
memerlukanreposisicanthalkarenacanthustidakstabildan tetapmelekat
padafragmentulang besar.
TipeIIfrakturorbitalnasoethmoidaladalahpatah
tulangnasoethmoidalcomminuteddengansisaluarinsersio canthalligamenpatah
tulang. Fragmensentraldapatditanganisebagaifragmentulangyang cukup besardan
bersatudenganfragmenligamen-bearing canthaldarisisi laindengan
pengurangankawattransnasal.
Sisapotongankerangkaorbitalnasoethmoidaldikurangidankemudian
distabilisasioleh platjunctionaldan sekrupfiksasipada tulangfrontal,
riminfraorbitaldantingkatLeFortIrahang atas. Dapat terjadiunilateralataubilateral.

13
Gambar 9. Fraktur Nasoethmodial tipe II.

Tipe III fraktur orbital nasoethmoidal dapat terjadi avulsi ligamentum


canthal (jarang) atau patah tulang yang memanjang di bawah isersio canthal
ligamen. Fragmen fraktur cukup kecil bahwa pengurangan akan mengharuskan
canthus yang terlepas untuk mencapai pengurangan tulang. Oleh karena itu,
canthal reattachment ligamen diperlukan, langkah terpisah dicapai dengan
pengaturan yang terpisah dari kabel transnasal untuk kedua tulang orbital medial
rim dan canthus tersebut. Secara umum, pengurangan tulang jarak dengan
intercanthal harus 5-7 mm, tidak boleh mengambil jaringan lunak berlebihan13,14.

Gambar 10. Fraktur Nasoethmodial tipe III.

f. Gambaran klinis
1. Depresi Frontal / atau pelebaran ruang interorbital
2. deformitas nasal
3. displace septum nasal
4. krepitasi dan mobilitas kompleks NOE
5. Epistaksis
6. hematoma Periorbital
7. Traumatic telecanthus
8. Cerebrospinal fluid rhinorrhoea
9. Pneumocephalus
10. Diplopia
11. Perdarahan

g. Pemeriksaan

14
Pemeriksaan fisik
inspeksi visual daerah NOE
ecchymosis lokal dan edema
perdarahan periorbital dan subconjunctival
laserasi atasnya tendon canthal medial
kehilangan proyeksi dan tinggi hidung
dorsum nasal rata, meningkatkan elevasi lebar nasal tip
palpasi langsung dari tepi medialorbital dan persepsi krepitus atau
pergerakan
Amati hematoma septum
Pemeriksaan bimanual atau palpasi skeleton nasoethmoid. Teknik
pemeriksaan bimanual :
- penjepit Kelly ditempatkan secara internal terhadap rim orbital medial
- finger Indeks ditempatkan secara eksternal melewati insersi ligamen
canthal medial
- Stabilitas dievaluasi dengan menilai gerakan kompleks

Evaluasi Ophthalmologic:
Penilaian ketajaman visual
Kecepatan dan simetri reaksi pupil
Lapang pandang
Tekanan intraoccular
Enophthalmos
Diplopia

Pemeriksaan canthus medial


tarik pangkal kelopak mata
Sudut tajam yang terbentuk di daerah canthal medial (Normal)
Sudut canthal medial tetap bulat (tidak stabil / terganggu)

Jarak Intercanthal

15
35 mm indikasi penyebaran canthal
40 mm diagnostic

Penilaian radiologi
Computerized Tomography (CT)
radiografi lateral skull
Occipitomental views (10 dan 45 derajat)
Film oklusal (menunjukkan gangguan ethmoid)
seri X-ray trauma standar

Gambar 11. Pemeriksaan radiografi fraktur nasoethmodial.


g. Penatalaksanaan
Dengan bertambahnya jarak antar-canthus, reduksi terbuka yang
memungkinkan dilakukannya pemeriksaan dari rima orbitalis medial, tendon
canthus medial, dan ductus lacrimalis, biasanya merupakan indikasi. Pengawatan
transoseus digunakan untuk menstabilkan segmen tulang fraktur, sedangkan cacat
pada saccus, canaliculi, dan ductus nasolacrimalis diperbaiki dengan
penjahitan.Pengawatan transoseus diinsersi dan disimpul di atas pelat hidung
bilateral atau tombol untuk fiksasi ligament canthus yang bergeser.Pada situasi

16
tertentu yang disertai pergeseran, reduksi tertutup dilakukan dengan cara memasang
pengawatan transethmoidalis dan mengkatnya di atas pelat pada regio canthus
medial14.
3. Fraktur Blow Out
a. Definisi
Fraktur blow out atau fraktur dinding orbital adalah terputusnya
kontuinuitas antara jaringan-jaringan pada dinding orbital dengan atau tanpa
penglihatan tulang-tulang di daerah sekitarnya. Fraktur dasar orbita blow out
dapat merupakan trauma yang berdiri sendiri atau merupakan bagian dari kehancuan
tulang wajah yang luas. Fraktur dasar orbita blow out dapat timbul bersamaan
dengan fraktur lengkung zygomatik, fraktur daerah midfasial Le Fort
II dan III, atau bersamaan dengan fraktur dinding medial atau orbita rim.19
Fraktur orbita pada maksilofasial merupakan fraktur yang sering
ditemui.Perawatannya tergantung dari aspek penatalaksanaan trauma kraniofasial.
Jika penatalaksanaanya tidak benar maka masalah kosmetik dan fungsi menjadi
mustahil untuk diperbaiki.15,16

b. Etiologi dan Mekanisme


Fraktur dasar orbita blow out yang murni (fraktur dasar orbita yang berdiri
sendiri), terjadi karena jejas benturan terhadap bola mata dan kelopak mata atas.
Benda yang membentur biasanya cukup besar untuk tidak mengakibatkan
perforasi bola mata dan cukup kecil untuk tidak mengakibatkan fraktur rim orbita.
Fraktur dasar orbita blow out saja atau bersamaan dengan fraktur tulang fasial
lainnya paling sering ditemukan pada fraktur midfasial, setelah fraktur nasal.20
Mekanisme terjadinya fraktur blow out terbagi menjadi dua teori, yaitu:
1. Teori Buckling
Teori ini menyatakan bahwa jika kekuatan membentur lingkaran orbita,
kekuatan tersebut akan menyebabkan dinding orbita mengalami efek
beriak. Kekuatan yang membentur lingkar tersebut akan menyalurkan
dayanya ke tulang paling lemah, dinding yang tipis seperti kertas (trauma
dasar), menyebabkan tulang tersebut berubah bentuk dan bahkan fraktur.

17
Gambar 12. Teori Buckling

2. Teori Hidrolik
Teori ini dikemukakan oleh Pfeiffer tahun 1943 sebagai perbandingan atas
hipotesa Le Fort.Pfeiffer menyimpulkan bahwa sangat jelas tekanan
benturan diterima oleh bola mata disalurkannya ke dinding orbita dengan
fraktur yang lembut.Oleh karena itu dibutuhkan tekanan pada bola mata
untuk menyebabkan luka secara langsung.

Gambar 13. Teori Hidrolik

c. Tanda-Tanda Klinis
Tanda klinis fraktur orbita adalah:
- Diplopia yang disebabkan oleh restrictive strabismus
- Mati rasa pada daerah infra orbita disebabkan kontusio saraf yang
bersebelahan dengan atau terletak pada lokasi fraktur
- Ekomosis periorbita
Kebanyakan penderita yang mengalami trauma dasar orbital blow out
mempunyai gambaran sebagai berikut:
- Berkurangnya kemampuan visual.
- Bleparoptosis.
- Diplopia binocular vertical atau oblik.

18
- Hyperthesia ipsilateral, dysesthesia atau hyperalgesia sesuai dengan
distribusi nervus infraorbitalis.
- Epistaksis.
- Pembengkakan pada kelopak mata setelah meniupkan udara ke hidung.
- Edema dan ecchymosis periorbita yang disertai dengan rasa sakit
merupakan gejala dan tanda eksternal.
- Enophtalmos mungkin juga terlihat tapi awalnya terjadi pembengkakan
jaringan disekelilingnya. Pembengkakan juga akan membatasi gerak otot
ekstraokuler.
- Proptosis juga bisa terjadi dari perdarahan retrobulbar atau peribulbar.
d. Pemerikasaan
A. Pemeriksaan fisik
Saat pemeriksaan ditemukan adanya:
- Enophthalmos atau exophthalmos
- Motility mata terbatas (terutama dengan gerakan mata terbatas)
- Nyeri (terutama dengan pergerakan ocular vertikal)
- Pembengkakan kelopak mata (memburuk setelah pukulan pada
hidung) dengan emphysema subcutaneous
- Parestesis infraorbital, hypesthesia gusi dan bibir atas
- Step-off yang jelans pada lingkaran tulang orbita
- Daerah yang lunak
B. Pemeriksaan radiologis
Penegakan diagnosis fraktur blow out juga membutuhkan pemeriksaan
penunjang berupa:
1. Foto AP orbita biasanya diambil dengan berbagai variasi angulasi sinar

Gambar 14. Fraktur orbita kiri

19
2. Paling umum digunakan adalah proyeksi Cadwell dan Waters.
Proyeksi Cadwell memperlihatkan visualisasi dasar orbita dan
prosessus zygomatiko-orbitalis di atas densitas petrosus pyramidalis.
Gambaran yang lebih luas dari orbita bisa didapatkan dari proyeksi
Waters. Proyeksi ini menempatkan petrosus pyramidalis di bawah
sinus maksilaris sehingga memudahkan evaluasi dasar orbita, prolaps
isis orbita, dan tingkat cairan udara dalam sinus maksilaris

3. CT-Scan masih merupakan pemeriksaan imaging yang dipilih untuk


evaluasi trauma orbita karena kemampuannya untuk melihat detail
struktur tulang, walaupun MRI bisa memperlihatkan detail regio orbita
dengan sangat halus.15,16

Gambar 15. Fraktur dasar orbita kanan dan ekstensi posterior dasar orbita
Jika CT-Scan mempunyai hasil yang samar-samar saat mengevaluasi
pasien yang dicurigai terjadii entrapment, dilakukan test forced duction
yaitu dengan menilai secara langsung kemampuan atau
ketidakmampuan lebih jauh mata saat pasien diinstruksikan untuk
meliki ke atas, test ini dapat menghasilkan konfirmasi klinis yang
penting mengenai adanya otot atau jaringan yang terperangkap.

Gambar 16.Forced duction test

20
e. Penatalaksanaan
Penanganan fraktur blow out sebaiknya dilakukan sesegera mungkin
setelah kita mengetahui bahwa itu membutuhkan perbaikan. Adanya fraktur blow
out itu sendiri bukan merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan. Jika
didapatkan fraktur blow out dengan diplopia, tetapi tidak terdapat enopthalmos,
tunggu 5 hari untuk melihat apakah diplopianya berubah atau tidak. Sering sekali
pembengkakan dan perdarahan di dalam rongga orbita mereda, pergerakan bola
mata membaik dan diplopia menghilang. Jika diplopia tidak menghilang, lakukan
force duction test untuk menentukan apakah diplopia ini dikarenakan paresis otot
atau retriksi. Jika bola mata dapat bergerak bebas, maka didapatkan parese
otot.Bandingkan mata kanan dan kiri untuk simetrisnya jika retriksi tidak nyata.
Jika diplopia membaik dan retriksi minimal, tunggu beberapa hari untuk
perbaikan diplopia. Pada anak-anak dan remaja, sebaiknya perbaikan fraktur blow
out dengan restriksi dilakukan sesegera mungkin, karena jaringan parut dapat terjadi
dengan cepat. Jika restriksinya sangat nyata dan secara subjektif tidak terdapat
perbaikan seperti berkurangnya pembengkakan, sebaiknya segera dilakukan
pembedahan.Pasien dengan parese otot pembedahan bukan merupakan indikasi
pembedahan.
Jika pada awal pemeriksaan didapat enopthalmos, lakukan CT-
Scan.Biasanya didapat fraktur yang besar pada dasar orbita, pembedahan
dilkaukan untuk mengoreksi enopthalmos.Tidak perlu menunggu terlalu lama.Jika
enopthalmos berkembang selama minggu pertama, curiga ada fraktur yang besar.
Lakukan pengukuran dengan ukuran mata kiri dan kanan lebih dari 2 mm lakukan
pembedahan untuk koreksi enopthalmosnya.18
Hypestesia saraf infra orbital bukan merupakan indikasi pembedahan.
Kebanyakan mati rasa ini akan hilang dalam waktu 6-12 bulan.
Ada beberapa jalan yang merupakan akses ke dinding orbita.Hal ini
tergantung dari tipe fraktur, luas fraktur, pertimbangan estetik dan perkiraan luas
sayatan.Pada dasar orbita, akses surgical terbagi menjadi subcilliary, subtarsal,
transconjuctival. Pendekatan-pendekatan ini berdasarkan langkah-langkah yang
dibuat dalam bidang yang terlibat: kulit, obicularis occuli dan periosteum. Hal ini

21
akan mengurangi resiko pembentukan jaringan parut dan pemendekan kelopak
mata bawah atau pembalikan yang dikenal sebagai ectropion.16,17
Pendekatan subcilliary dan subtarsal sangat mirip.Perbedaannya hanya ada
pada lokasi insisi.
1. Pendekatan transconjuctival
Pendekatan ini diawali dengan insisi curvilinear kira-kira 3 mm di bawah
tarsal plate parallel terhadap tonjolan kelopak mata (lid punctum) bawah.

Gambar 17. Pendekatan Transkonjungtival


Keuntungan metode ini yaitu tidak adanya jaringan parut yang terlihat dan
mengurangi resiko retraksi kelopak mata bawah.Kerugiannya adalah
keterbatasan akses.
2. Pendekatan kutaneus
Pendekatan kutaneus dimulai dengan elevasi flap kulit-otot melalui insisi
2-3 mm di bawah kelopak mata bawah.Angkat diseksi ini ke anterior
terhadap septum orbita hingga orbita rim terlibat. Insisi periosteum dan
bebaskan dari perlekatannya terhadap tulang seperti yang digambarkan
pada pendekatan transkonjungtival.17

Gambar 18. Pendekatan Kutaneus


3. Pendekatan Transantral
Pendekatan ini membuat akses terhadap dasar orbita melalui sinus
maksilaris.

22
Gambar 19. Pendekatan Transantral
KESIMPULAN

Selain fraktur Le Fort I, II, dan III fraktur yang dapat terjadi pada
maksilofacial juga terdapat fraktur zigomatikum maksilla kompleks, fraktur
nasoethmoidal, dan fraktur blow out seperti yang dibahas pada makalah ini.
fraktur zigomatikum maksilla kompleks (ZMK) merupakan fraktur yang terjadi
pada zigoma dan melibatkan maksila. Fraktur nasoethmodial merupakan fraktur
yang terjadi pada tulang hidung. Fraktur blow out merupakan fraktur pada dinding
orbital yang menyebabkan diskontinuitas jaringan pada dinding orbital. Macam-
macam fraktur ini dapat disebabkan oleh trauma seperti benturan, pukulan,
ataupun karena kecelakaan berkendara atau kecelakaan kerja.Untuk melakukan
pemeriksaan pada kasus fraktur maksilofacial, dapat dilakukan dengan pemeriksaan
klinis, dan dapat juga dengan pemeriksaan penunjang yaitu radiografis serta
dilakukan CT scan pada pasien. Penatalaksaan dan pembedahan yang tepat pada
kasus fraktur dapat dilakukan untuk menangani kasus fraktur maksilofacial
khususnya fraktur zigomatikum maksilla kompleks (ZMK), fraktur nasoethmodial,
dan fraktur blow out.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/maxillofacial+trauma.Maxillofacial
Trauma.
2. Soepardi AE., Iskandar N., Bashiruddin J., Restuti RD. Trauma Muka dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed
6. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. http://www.patient.co.uk/doctor/Maxillofacial-Injuries.htm. Maxillofacial
Injuries.
4. LELES Jose Luiz Rodrigues, SANTOS Enio Jose dos, JORGE Fabrcio
David, SILVA Erica Tatiane da, LELES Cludio Rodrigues. Risk factors for
maxillofacial injuries in a Brazilianemergency hospital sample. 2009, August
11st.
5. Higles Adams BOIES. Trauma Rahang-Wajah dalam Buku Ajar Penyakit
THT. Ed.6. 1997. Jakarta : EGC.
6. Fonseca R.J. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis: Elsevier
Saunders. 2005.
7. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks
zigomatikus. Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb
2005 no 1 tahun IX hal 41-50.
8. Ellis E. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam : fonseca rj et al.
oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier. 2005
9. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex
Fractures. Dalam : Miloro M et al. Petersons principles of Oral and
Maxillofacial Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc. 2004
10. Pedersen, Gordon W., D.D.S., M.S.D.Buku Ajar Praktis Bedah
Mulut.Jakarta: EGC.1996
11. Sargent LA. Nasoethmoid orbital fractures: diagnosis and treatment. Plast
Reconstr Surg. 2007. Vol. 120
12. Smith JE, Perez CL. Nasal Fracture.eMedicine Spesialties. Available from:
http://www.emedicine.com/. Access on: July 6, 2007.

24
13. Thamrin M, Widiarni D, Munir M. Trauma Muka. In: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5th ed. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. 2003. p:161-164
14. Gordon W. Pedersen, D.D.S., M.S.D. 1998. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut.
Jakarta: EGC
15. Cohen, AJ. 2005. Facial Trauma, Orbital Floor Fracture (Blow out).
16. Archer, HW. 1975. Oral and Maxillofacial Surgery. 5th Edition. WB
Saunders Company; Philadelphia, London, Toronto.
17. Kang, DB. A Case of Blow out Fracture of The Orbital All with Eyeball
Entrapted within The Ethmoid Sinus. Korean J ophthalmo. Vol. 17:2003.
18. Peterson. Principle of Oral and Maxillofacial Surgery. Editor: Michael
Miroro. BC Decker, London: 2004.
19. Dahlan, Rinaldi. Blow our Fracture. Ocular: Media Komunikasi Internal
Rumah Sakit Cicendo. Edisi ke-5. Bandung: 2006.
20. Zubair, Feharza. Orbital Trauma: The Blow out Fracture. University of
Glasbow: 2004.

25

You might also like