Professional Documents
Culture Documents
Abstract : After the death of Imam Syathibi (790 H) stretching maqashid development
discourse (al-maqashid khithab) acute stagnant. Discourse maqashid first codified neatly
and systematically by Imam al-Syathibiy suddenly disappear without trace. Perhaps one of
the factors the dimming light maqashid discourse is caused by the collapse of the Islamic
caliphate at the hands of the ruler of Andalus to Christian Spain.
Until then in the mid-20th century, there arose Imam Muhammad Tahir ibn Ashur the fa-
ther of reform maqashid study, which offers a new approach in studying the Islamic maqa-
shid adapted to the reality of contemporary and modern context. These reforms, contained
in a work of brilliance, maqashid al-Sharia al-islamyyiah which was first published in Tu-
nisia, in 1946 AD
In this book, deliberately Imam Ibn Ashur aimed to uncover the secrets of wisdom and
revelation of law, as a torch lights, while the emergence of deviation among the scholars,
eitherdue to differences in life span, social condition, or different levels of ability in the for-
mulation of a law. Bids Imam Ibn Ashur, can be said to be able meminimalir bridge the
gulf between the Muslims err, for the sake of narrow fanatical follower tendency dispelled
certain schools and community disintegration.
Departing from this perspective it is necessary discussion that gives a clear picture of the
theory maqashid sharia as the foundation in the philosophy of Islamic law.
Pengantar
Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah di muka bumi ini.
Turunnya Islam yang menggenapi syariat-syariat sebelumnya sudah ba-
rang tentu mengandung tujuan (maqashid) luhur dan maksud mulia yang
mengarah pada manusia itu sendiri sebagai mukallaf (obyek yang dikenai
kewajiban syariat). Berkenaan dengan itu, dalam syariat Islam terdapat
seperangkathikmah yang mengiringi turunnya syariat tersebut. Sebab su-
lit untuk dikatakan bahwa syari, dalam hal ini Allah melakukan sesuatu tan-
pa sebab dan hikmah tersirat1. Dari sini dapat kita katakan bahwa muncul-
22
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
23
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
kan tentang tujuan dan hikmah dari ibadah salat. Kemudian diikuti oleh
karya-karya lainnya yang masih membahas seputar hikmah-hikmah terten-
tu dari bermacam-macam ibadah, seperti al-Hajj wa asraruhu, al-Illah, Ilal al-
Syariah, Ilal al-Ubudiyyah dan al-Furuq. Setelah al-Turmudzi kemudian datang
Abu Mansur al-Maturidy (w. 333 H) dengan karyanya Makhad al-Syara disusul
Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365 H) dengan Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-
Syariah, Abu Bakar al-Abhari (w.375 H) dan al-Baqilany (w. 403 H) masing-ma-
sing dengan karyanya, diantaranya, Masalah al-Jawab wa al-Dalail wa al Illah
dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad. Pasca al-Baqillany mun-
cullah Imam Haramain al-Juwaeny (w.478 H) dengan al-Burhan, al-Waraqaat,
al-Ghiyatsi, Mughitsul Khalq, al-Ghazali (w. 505 H) dengan karyanya dibidang
fikih dan ushul fikh seperti; al-Mustashfa, al-Mankhul, a l-Wajiz, Ihya Ulumid-
din dan Syifa al-Ghalil, al-Razy (w. 606 H) dengan Mafatih al-Ghaib, al-Aayat al-
Bayyinaat, al-Mahshul dan Asas at-Taqdis, Saifuddin al-Amidy (w. 631 H) dengan
bukunya al-Ahkam, dan Ghayatul Maram, Ibn Hajib (w. 646 H) dengan Nafais
al-Ushul, Syarh al-Mahshul, al-Furuq, al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa an al-Ahkam
wa Tasharruf al-Qadhi wal Imam, al-Baidhawi (w. 685 H), al-Asnawi (w. 776 H),
Ibn Subuki (w. 771 H), Izzuddin Abdussalam (w. 660 H) dengan Qawaid al-
ahkam fi masalih al-anam, al-Qarafi d engan al-Faruq-nya, al-Thufi (w.716 H),
Ibn Taimiyyah (w.768 H) dan Ibn Qayyim (w.751 H)5 .
Namun bagaimanapun, hampir seluruh peneliti sepakat, bahwa Imam
al-Syathibi lah tokoh yang pertama kali memperkenalkan studi maqashid
al-syariah sebagai sebuah teori baku yang utuh dan suatu ilmu yang inde-
penden, terpisah dari ilmu lainnya. Posisi al-Syathibi dalam ilmu maqashid
hampir serupa dengan kedudukan Sibawaih dalam ilmu nahwu, Imam Syafii
dalam ushul fiqh dan Khalil al-Farahidy dalam ilmu arudh.
Suatu pemikiran tidaklah dibangun dari kehampaan. Ia merupakan ha-
sil dari refleksi atas realita historis yang ia alami dan hasil dari pengetahuan
personalnya (otodidak) terhadap karya para pendahulunya. Hal yang sama
terjadi pada Imam al-Syathibiy6. Seperti yang telah dipaparkan di muka,
konsepsi mengenai maqashid al-syariah telah ada semenjak wahyu pertama
yang diterima Nabi Saw, dan kemudian dilanjutkan oleh generasi setelah
nya. Yang kemudian menjadi nilai plus pada diri Imam al-Syathibiy adalah
ide briliannya mengenai kodifikasi konsep-konsep para sarjana klasik yang
berserakan menjadi suatu disiplin ilmu mandiri, yang mempunyai bidang
garapan dan target tersendiri dari ilmu lainnya7.
24
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
25
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
26
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
Bagi Imam ibn Asyur, ushul fikih harus ditinggalkan karena hanya akan
mengakibatkan adanya perdebatan-perbedaan dalam masalah-masalah furu
(fikih).13 Statement ibnu Asyur ini pada akhirnya menimbukan pro-kontra para
sarjana kajian Maqashid Syariah yang dapat terpetakan menjadi tigagolongan:
1. Kelompok yang mengindenpensikan Maqashid Syariah sebagai disip-
lin ilmu yang terlepas total dari Ushul Fiqh.
2. Kelompok yang menjadikan Maqashid Syariah sebagai kajian tengah
di antara Fikih dan Ushul Fikih
3. Kelompok yang menjadikan Maqashid Syariah sebagai hasil perkem-
bangan dari kajian Ushul Fikih.14
Kedua: Korelasi al-fitrah (naruli beragama), al-samahah (toleransi), al-
musawat (egaliter) dan al-hurriyah (kemerdekaan bertindak) dalam kon-
teks maqashid syariah.
Manusia sebagai ciptaan Allah swt yang paling mulia dan paling sem-
purna (fi ahsani al-taqwim), ketika Allah swt menurutkan syariatnya, maka
syariat atau semua ajaran Islam tersebut sangat sesuai dan sejalan dengan
sifat-sifat mendasar yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Dalam pandang-
an Imam ibnu Asyur, sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh manusia itu sesung-
guhnya sejalan dengan maqashid syariah (kulliyat al-khamsah) itu sendiri.
Dalam pandangan Imam ibnu Asyur ada 4 hal yang memperkuat maqa-
shid syariah itu sendiri, yaitu:
1. Al-fithrah, artinya bahwa ajaran Islam atau syariat Islam yang diturun
kan oleh Allah swt untuk kemaslahatan semua manusia sesungguhnya
sangat sesuai dengan karakter dasar manusia itu sendiri. Begitu juga,
dalam pandangan Imam ibnu Asyur, fitrah adalah sifat dasar manusia (al-
khilqah) dalam artian sebuah sistim tertentu (al-nizham) yang telah Allah
swt tanamkan atau ciptakan pada setiap ciptaannya, baik bersifat lahiriah
(yang terlihat) maupun batiniah (tidak terlihat). Imam ibnuAsyur men-
dasari pandangannya ini dengan firman Allah swt surat al-Rum ayat: 30:
27
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
Hanya saja, Imam ibnu Asyur membagi fitrah tersebut kepada dua
macam fitrah, yaitu fithrah aqliyyah dan fithrah nafsiyyah.
Fithrah aqliyyah (akal jernih) adalah dimana melalui alam
semestayang ada ini, manusia akan bisa merasakan adanya zat yang
patut diimani. Begitu juga dengan fitrah aqliyah ini manusia menyadari
perlu dan penting aturan atau syariat untuk mengatur kehidupan ma-
nusia itu sendiri.15 Dari sini terlihat kaitan yang erat antara fitrah de-
ngan ajaran agama yang benar ini.
Sementara itu, fitrah nafsiyyah adalah naluri dan keinginan yang
diciptakan Allah swt pada manusia untuk memenuhi keinginan-keingin
ansecara baik dan terarah. Contohnya adalah: naluri atau fitrah ingin
menikah, menyusui pada wanita, berinteraksi dengan sesamanya, mem-
bangun peradaban dan lainnya.16
2. Al-samahah (toleransi). Dengan terjemahan yang lebih bebas, al-sima-
hah dapat diartikan dengan saling menghargai. Sifat ini adalah sifat
yang berada antara perilaku kelewat batas (al-ifrath) dengan perilaku
terlalu menggampangkan sebuah persoalan. Sikap toleransi ini, dalam
pandangan Imam ibnu Asyur, adalah pengikat agar tegaknya makna
al-fithrah seperti yang telah diuraikan pada poin pertama tadi. Begitu
juga toleransi merupakan salah satu sifat yang sangat sesuai dengan
fitrah sebagai ciri dasar dari Islam itu sendiri. Lebih dari itu, toleransi
merupakan karakter mendasar dari umat ini. Toleransi merupakan ba-
gian penting dari tempat berdirinya sifat-sifat yang mulia. Di dalam-
nya terhimpun berbagai sifat lainnya seperti bersikap adil dan sikap
proposional dalam bersikap. Imam ibnu Asyur mengutip firman Allah
swt surat al-Baqarah ayat 143:
Artinya: dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan.
Begitu juga sikap toleransi dijelaskan Rasulullah saw secara jelas
di dalam beberapa sabda beliau, diantaranya adalah:
Artinya:Bentuk keberagamaan yang paling dicintai Allah adalah keberaga-
maan (ketaatan) yang tidak memaksa (HR. Bukhari)
28
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin,
Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu me-
mutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
4. Al-hurriyah (kebebasan). Sesungguhnya al-hurriyah merupakan turunan
atau begian dari al-fithrah itu sendiri. Sama halnya dengan al-musawah
yang telah dijelaskan. Hanya saja perlu dijelaskan untuk memberikan
gambaran yang lebih nyata dari makna yang dikandung oleh fitrah itu
sendiri.
Menurut Imam ibnu Asyur, ketika seseorang diberlakukan sama
secara hukum dari segala bentuk perbuatannya (al-tasharruf), maka di
situlah ditemukan apa yang disebut dengan al-hurriyah (kemerdekaan).18
Imam ibnu Asyur menjelaskan bahwa dalam pemakaian bahasa
Arab, lafaz al-hurriyah memiliki dua arti:
Pertama: al-hurriyah sebagai lawan dari perbudakan (al-ubudiyah).
Kedua: al-hurriyah (kemerdekaan) yang berarti seseorang yang
melakukan suatu hal memang atas dasar pilihannya. Kebebasan dia
melakukan sesuatu yang tidak dipengaruhi oleh siapapun dalam ba-
29
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
30
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
31
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
Bebicara tentang jenis maslahat yang diinginkan oleh tasyri, Imam ibnu
Asyur menegaskan bahwa maqashid al-syariah memang harus berupa masla-
hat, meski pun tidak berarti semua maslahat harus termasuk di dalamnya.
Hal itu karena Syari (Allah swt) mempunyai hak prerogatif untuk menentu-
kan jenis-jenis maslahat, batasan dan tujuannya hingga menjadi sebuah pe-
doman untuk diikuti. Berangkat dari titik ini, beliau membedakan maslahat
menjadi tiga bagian utama:
Pertama: Berdasarkan pengaruhnya terhadap urusan umat, maslahat ter-
bagi tiga tingkatan hierarkis:
a. Dharuriyyat yaitu kemaslahatan yang sifatnya harus dipenuhi dan
apabila tidak terpenuhi, akan berakibat kepada rusaknya tatan-
an kehidupan manusia dimana keadaan umat tidak jauh berbeda
dengan keadaan hewan. Al-kulliyyat al-khamsah merupakan con-
toh dari tingkatan ini. Imam ibnu Asyur juga setuju jika al-irdh
tidak termasuk didalamnya23.
b. Hajiyyat yaitu kebutuhan umat untuk memenuhi kemaslahatan-
nya dan menjaga tatanan hidupnya, hanya saja manakala tidak ter-
penuhi tidak sampai mengakibatkan rusaknya tatanan yang ada.
Sebagian besar hal ini banyak terdapat pada bab mubah dalam
muamalah termasuk dalam tingkatan ini.
c. Tahsiniyyat yaitu maslahat pelengkap bagi tatanan kehidupan
umatagar hidup aman dan tentram. Pada umumnya banyak ter-
dapat dalam hal-hal yang berkaitan dengan akhlak (makarim al-
akhlak) dan etika (suluk). Contohnya adalah kebiasaan-kebiasaan
baik yang bersifat umum maupun khusus. Selain itu, terdapat pu-
la al-mashalih al-mursalah yaitu jenis maslahat yang tidak dihukumi
secara jelas oleh syariat. Bagi Imam ibnu Asyur, maslahat ini ti-
dak perlu diragukan lagi hujjiyah-nya, karena cara penetapannya
mempunyai kesamaan dengan penetapan qiyas24.
Kedua: Berdasarkan hubungannya dengan keumuman umat baik secara
kolektif maupun personal, maslahat terbagi menjadi dua;
Pertama: Kulliyyah yaitu kemaslahatan yang berpulang kepada
semua manusia atau sebagian besar dari mereka. Menjaga persatu
an umat Islam, memelihara dua kota suci; Mekah dan Medinah,
menjaga hadis-hadis Nabi saw jangan sampai bercampur dengan
32
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
33
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
34
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
35
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
36
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
kan shalat untuk mengejar kudanya yang lepas lebih utama. Karena ka-
lau tidak menghentikan shalat, ia akan dihadapkan sebuah masyaqqah,
yaitu pulang dengan berjalan kaki. Dalam pandangannya, maqshad ini
bersifat zhanniy yang mendekati qathiy, sedangkan bagi sahabat yang
lain, maqshad ini masih mempunyai kemungkinan-kemungkinan lain31.
Menurut Bin Zagibah Izzuddin, cara terakhir ini sangat sem-
pit sekali cakupannya, karena hanya bersandar pada hadis-hadis
mutawatiryang jumlahnya sangat terbatas. Menurut hemat beliau,
cara ini sebenarnya hanya sebagai pelengkap cara sebelumnya dan
tidak berdirisendiri. Alangkah lebih baiknya kalau metode terakhir ini
digabungkan dengan metode sebelumnya, yaitu penetapan maqshid
berdasarkan nash al-Quran yang memiliki kejelasan dallat dan hadis
mutawatir. Hal itu karena keduanya punya kesamaan dalam qathiyyah
al-tsubt dan quwwah al-zhann f al-dallah. Namun demikian, ia dapat
memahamikenapa Ibnu Asyur membagi metodenya kepada tiga ba-
gian, yaitu karena tujuan utamanya adalah menetapkan maqshid yang
qathiy atau yang mendekatinya32.
Penutup
Beberapa pandangan Imam ibnu Asyur tentang teori maqashid ini per-
lu mendapatkan kajian lebih lanjut.Baik yang terdapat di dalam buku maqa-
shid syariah beliau, maupun di dalam buku-buku beliau yang lain terutama
di dalam tafsir tahrir wa tanwir. Kajian tentang al-qawaid al-maqashidiyah,
peran al-alfazh di dalam menemukan maqashid, model-model penerapan
maqashid versi Imam ibnu Asyur merupakan kajian-kajian menarik yang
perlu dilakukan untuk kemajuan ilmu maqashid syariah itu sendiri. Sehing-
ga maqashid syariah tersebut tidak dipandang sebagai ilmu yang berada di
menara gading tanpa ada kaitan yang mendasar terhadap kajian fikih. Ilmu
ushul fikih sepertinya sudah mendahului maqashid syariah dalam hal ini.
Wallahu alam wa ala. [ ]
37
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
ENDNOTES
1
QS; Al. Muminun 115 Dan apakah kalian menyangka bahwa Kami menciptakan kalian
dengan sia-sia begitu saja sementara kalian tidak dikembalikan kepada kami?, lihat juga QS al-
Baqarah: 185, al-Maidah: 6, al-Hajj: 78, al-Nisa: 28, al-Ankabut: 45.
2
Mazhab Maliki yang lahir di Madinah, merupakan madzhab yang banyak memakai maqa-
shid al-syariah dan menggunakannya secara massif. Hal ini sangat kentara dengan dimasukkan-
nya anasir seperti masalih al-mursalah, sad ad-dzarai, istihsan, dan istishab sebagai salah satu
sumber penggalian hukum. Salah satu contoh aplikasi penggunaan konsep ini adalah dalam ka-
sus akad jual beli dengan tanpa disertai ijab kabul (dengan kedua belah pihak sama-sama me-
ngetahui harga barang). Menurut Syafiiah, Dzahiriah dan Syiah, jual beli semacam ini adalah
batal dan tidak sah, karena tiadanya syarat ijab kabul (sebagai tanda kesepakatan kedua be-
lah pihak akan sahnya transaksi). Sementara Hanafiah dan Hanabilah memandangnya sah de-
ngan syarat harga barang sudah diketahui dan kedua belah pihak tidak ada yang memberi-
kan tanda ketidaksetujuannya. Sementara Malikiah berpendapat bahwa transaksi semacam
ini adalah sah secara mutlak, karena transaksi semacam ini sudah biasa dilakukan di masyara-
kat dan sepanjang diamnya kedua belah pihak itu menandakan akan kesetujuannya. Tidak di-
ragukan lagi bahwa pandangan semacam ini lebih memberikan kemudahan bagi masyarakat
dan lebih dekat dengan tujuan syariat itu sendiri, yaitu kemaslahatan, tanpa terlalu kaku un-
tuk terjebak kedalam belenggu teks tanpa mengindahkan konteks umum yang berlaku. Lihat:
Ahmad Raisuni, nadzariat al-maqashid inda imam al-Syathibi , hal.98
3
Sahabat dan seorang ahli tafsir terkemuka. Nabi pernah menyuruh para sahabatnya
untuk mengambil (belajar) al-Quran darinya dan ketiga sahabat lain (Ibnu Abbas, Ubay bin
Kaab dan Zaid bin Tsabit).
4
Seorang tabiin, murid dari Alqama bin al-Qais yang belajar pada Abdullah bin Masud
dan guru dari Abu Hanifah. Ia pernah mengatakan Sesungguhnya hukum Allah selalu memi-
liki tujuan mulia, yaitu hikmah dan kemaslahatan yang pada esensinya kembali kepada kita
juga. Manhaj Imam an-Nakhai sendiri terkenal dengan elastisitasnya untuk dapat berdiale-
ktika dengan realitas masyarakat dan tak hanya terpaku pada dzahir teks saja. Baginya suatu
ibrah hanya dapat diketahui dari makna batin suatu teks, dan bukan dari dzahir lafadz saja,
karena suatu lafadz tidak mungkin diletakkan kecuali untuk mengungkap samudera makna
yang terkandung didalamnya. Ia mengambil makna teks untuk kemudian diaplikasikan pa-
da berbagai peristiwa dengan konteks yang berbeda. Lihat: Nuruddin al-Khadimy, Al-Ijtihad
al-maqashidy, vol 1, Qatar: Wizarah al-auqaf wa al-syuun al-Islamiah, 1998, hal.106
5
Disini penulis tidak ingin masuk lebih jauh mengenai perbincangan akar sejarah maqa-
shid al-syariah, karena bukan itu bidikan utama proposal penelitian ini.
6
Dalam merumuskan rancang bangun konsep maqashid al-syariah, al-Syathibi banyak ter-
pengaruh dari pemikiran para ulama sebelumnya, khususnya para ushuliyun dan pengikut madz
hab Malikiah. Contoh nyata istifadah al-Syathibi pada ushuliyun dapat dilacak pada pembagian
konsep masalih menjadi 3; dharuriat, haajiyat dan tahsiniat, dan pembagian dharuriat menjadi 5;
hifdzu al-din, al-nafs, al-aql, al-nasl, al-mal. Perlu dicatat bahwa al-Juwaini lah yang pertama kali
memperkenalkan kosep ini dalam kitabnya al-Burhan. Sedangkan pengaruh dari al-Ghazali, da
pat kita temukan pada puluhan kali penyebutan nama al-Ghazali, baik di al-Muwafaqat ataupun di
38
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
al-Itisham. Sebagai misal, mengenai pembahasan makna sah dan batalnya suatu amal, ia menge-
mukakannya sebagai berikut bahwa suatu amalan yang sah adalah amal yang baik dimata Allah
dan mendapatkan pahala atas perbuatannya tersebut, dan bukan semata amal yang terpenuhi
syarat dan rukunnya saja, sementara amal yang batal sebaliknya. Hal ini telah disinggung oleh
para ulama akhlak semisal al-Ghazali dalam bab niat dan ikhlasnya. Sementara sebagai seorang
penganut Malikiah taat, yang mempunyai karakter khas sebagai madzhab maslahah, istishlah, is-
tihsan dan tafsir maslahi terhadap teks dan jalb al-manafi wa dar al-mafasid terhadap konteks tu-
rut memberikan sumbangsih cukup besar pada cara pandang al-Syathibi. Lihat: Ibid., hal. 318
7
Para sarjana klasik kerap menyinggung wacana maqashid dalam buku-buku mereka,
namun hanya sebatas sub bab disela-sela pembahasan mereka dalam bab tertentu. Baru di-
tangan Imam al-Syathibi diskursus tentang maqashid mendapatkan perhatian besar dan men-
emukan formatnya secara utuh dan sistematisasi tema bahasan dengan cukup rapi, yang ke-
mudian ia bukukan dalam karya monumentalnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam.
8
Muhammad Thahir bin Asyur, maqashid al-syariah al-islamiah, hal. 3
9
Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah, hal. 259
10
Lihat Imam ibnu Asyur, maqashid al-syariah al-islamiyyah, hal. 18, 22 dan 23.
11
Menurut Muhammad Thahir al-Maysawi (Editor dan komentator buku Maqashid Sya-
riahnya Imam ibnu Asyur), sebenarnya wacana independensi yang digulirkan oleh Ibn Asyur
adalah bagian dari kelanjutan atas wacana yang digelindingkan oleh koleganya sepuluh ta-
hun sebelum munculnya karya Imam ibn Asyur ini, Syeikh Muhammad al-Aziz Jaith, dalam
majalah al-Zaytuniyah. Judul tulisannya adalahAl-Maqashid al-Syariyyah wa Asrar al-Tasyri. Li-
hat Muhammad Thahir al-Maysawi dalam kata pengantarnya di Ibnu Asyur,Maqashid Syariah
al-Islamiyyah(Jordan: Dar Nafais,2001)cet.II, h.86-87
12
Jamal al-Din Athiyah,Nahwa Tafl Maqshid al-Syarih(Damaskus: Dr al-Fikr, 2003)
cet.1, h.237
13
Imam ibnu Asyur,Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah(Jordan: Dar Nafais,2001) cet.II, h.166
14
Lebih jelas dan rinci lihat Jamal al-Din Athiyah,Nahwa Tafl Maqshid al-Syarih(Da
maskus: Dr al-Fikr, 2003) cet.1, h.237
15
Imam ibnu Asyur, maqashid al-syariah al-islamiyyah, hal. 259
16
Lihat: Imam ibnu Asyur, maqashid al-syariah al-islamiyyah, hal. 261-262
17
Hanya saja dalam kajian hukum islam (al-fiqh al-islamiy) ada empat hal yang memang
secara prinsip tidak bisa diterapkan prinsip al-musawah (persamaan) antara kaum laki-laki
dan perempuan. Empat hal tersebut adalah: (1) faktor peran yang telah ada sejak manusia itu
ada (al-jibillah), seperti kewajiban bagi laki-laki memberi nafkah dan mencari nafkah, wanita
melahirkan dan menyusui. (2) faktor syariy seperti hak talak pada laki-laki, pemberian ma-
har dari laki-laki, gugurnya kewajiban salat karena haid, (3) faktor sosial, seperti larangan
mengendarai motor dan mobil bagi wanita pada negara atauadsrah tertentu, (4) faktor poli-
tik, seperti persamaan gaji yang diberikan kepada seseroang berdasarkan keahlian terten-
tu. Gaji presiden tentu tidak bisa disamakan dengan gaji menterinya. Lihat Syekh Muham-
mad al-Habib ibn al-Khujah, baina ilmaiy ushul al-fiqh wa al-maqashid, hal. 129-130.
Contoh-contoh yang diberikan dalam empat poin di atas berasal dari penulis sendiri.
18
Lihat Imam ibnu Asyur, maqashid al-syariah al-islamiyyah, hal. 390.
39
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
19
Lihat Imam ibnu Asyur, maqashid al-syariah al-islamiyyah, hal. 392 dan Syekh ibnu al-
Khujah, baina ilmaiy ushul al-fiqh wa al-maqashid, hal. 130
20
Dalam pandangan banyak penulis di timur tengah, mereka hampir sepakata bahwa
Imam Syatibi di dalam al-Muwafaqat-nya tidak menjelaskan defenisi maqashid syariah. Salah
satu sebab Imam Syatibi tidak menjelaskan pengertian maqashid syariah di dalam al-Muwa-
faqat adalah karena buku tersebut ia tulis untuk ulama-ulama yang benar-benar telah me
nguasai ilmu syaariah dan ushul fikih serta terhindar dari taasshub mazhab. Lihat: Bin Za-
ghib Izzuddin, al-Maqashid al-Ammah li al-Syariah al-Islamiyyah, hal. 42 dan Imam al-Syatibi,
al-Muwafaqat, tahqiq: Abdullah al-Darraz, jilid I, hal. 87
21
Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah, hal. 273
22
Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah, hal. 273
23
Imam ibnu Asyur mengklaim bahwa pandangan al-irdh (kehormatan; martabat ma-
nusia) sebagai bagian dari al-dharuriyat adalah pandangan yang tidak benar. Pendapat ini
adalah pendapat sementara ulama, diantaranya adalah Taj al-Din al-Subkiy dalam Jamu al-
Jawaminya dengan memberikan contoh bahwa hukuman bagi yang menuduh (al-qazaf) perem-
puan-perempuan sangat berat. Dan kami, kata Imam ibnu Asyur, tidak selalu memandang
adanya hukuman al-qazaf tersebut sebagai indikasi al-dharuriyat. Pandangan Imam al-Gha
zali dan Imam ibn al-Hajib, sebagai pendahulunya, berpandangan sama dengan Imam ibnu
Asyur bahwa al-irdh bukan bagian dari al-dharuriyat. Lihat: Imam ibnu Asyur, Maqashid al-
Syariah al-Islamiyyah, hal. 306
24
Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syariah al-islamiyyah, hal. 300
25
Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syariah al-islamiyyah hal. 313-314
26
Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syariah al-islamiyyah hal. 314-315
27
Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syariah al-islamiyyah, hal. 215
28
Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syariah al-islamiyyah, hal. 217
29
Lihat: Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah, hal 189-190
30
Bin Zaghibah Izzuddn, al-Maqashid al-Ammah li al-Syariah al-Islamiyyah, hal. 144
31
Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah, hal. 194
32
Bin Zagibah Izzuddn, al-Maqashid al-Ammah li al-Syariah al-Islamiyyah, hal. 147
40
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Raisuni, Nazhariyat al-Maqashid inda al-Imam al-Syatibiy, cet
IV, USA, Virginia: al-Mahad al-Alamiy li al-Fikr al-Islamiy, 1995
M/1415 H
Andriyaldi ibnu Agus Ahmad, al-Aro al-Ushuliyyah inda al-Imam Muham-
mad al-Thahir ibnu Asyur wa Atsaruhu fi Istinbathatihi al-Fiqhiyyah
(tesis penulis), Aljazair, 2004
al-Fasiy, Ilal, Maqashid al-Syariah wa Makarimuha, Maroko.
al-Gazali, Abu Hamid, al-Mustashfa, tahqiq: Muhammad Abd al-Salam
Abd al-Baqiy, Cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993
M/1413 H
al-Hasaniy, Ismail, Nazariyyah al-Maqashid inda al-Imam Muhammad al-
Thahir ibn Asyur, Cet. I, USA: al-Mahad al-Fikr al-Islamiy, 1995
M/1415 H
Izzuddin ibnu Abdussalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Kai-
ro: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991 M/1414 H
ibn al-Khujah, Muhammad al-Habib, Baina Ilmaiy Ushul al-Fiqh wa al-
Maqashid, Jordan: Dar Nafais, 2001:
Ibnu Asyur, Muhammad Thahir Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah, Jor-
dan: Dar al-Nafais, 2001
_______, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunisia: Dar Tunis li al-Nasyr,
1984 M
ibnu Abduh, Syai, Maa al-Imam Abu Ishaq al-Syatibiy fi Mabahits Ulum
al-Quran wa Tafsirihi, Madinah: al-Jamiah al-Islamiyyah, 2002
M/1422 H
Ibnu Rusyd, Muhammad ibnu Muhammmad, Bidayah al-Mujtahid, Kai-
ro: Dar al-Hadits, 1425 H/2004 M
Izzuddin, Bin Zaghibah al-Maqashid al-Ammah li al-Syariah al-Islami-
yyah, cet. I, Kairo: Dar al-Shafwah, 1996 M/1417 H
al-Ilwaniy, Thoha Jabir Maqashid al-Syariah, cet. I Beirut: Dar al-Had-
iy, 2001 M/1421 H
al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim Ilam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991 M/1411 H
al-Juwainiy, Abd al-Malik Imam al-Haramain, tahqiq: Shalah ibnu Mu-
hammad, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, Cet I, Libanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997 M/1418 H
Nuruddin ibnu Mukhtar al-Khadimy, Al-Ijtihad al-Maqashidy, Qatar: Wi
zarah al-auqaf wa al-syuun al-Islamiah, 1998
41
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
42