Professional Documents
Culture Documents
REFERAT
Mengetahui:
Pembimbing
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul .............................................................................................i
Lembar Pengesahan................................................................................... ii
Kata Pengantar .......................................................................................... iii
Daftar Isi .................................................................................................... iv
Daftar Gambar ............................................................................................v
Daftar Tabel ............................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II SPONDILITIS TUBERKULOSA ...................................................... 3
2.1 Definisi ...................................................................................... 3
2.2 Anatomi ..................................................................................... 3
2.3 Epidemiologi .............................................................................. 5
2.4 Etiologi ...................................................................................... 7
2.5 Patogenesis .............................................................................. 7
2.6 Klasifikasi ................................................................................ 13
2.7 Manifestasi Klinis..................................................................... 16
2.8 Diagnosis ................................................................................ 18
2.9 Pemeriksaan penunjang.......................................................... 23
2.10 Diagnosis Banding ............................................................... 28
2.11 Penatalaksanaan................................................................... 29
2.12 Prognosis .............................................................................. 36
2.13 Komplikasi ............................................................................. 36
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 39
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1Anatomi vertebra ..................................................................... 3
Gambar 2.2 Ciri-ciri vertebra ...................................................................... 5
Gambar 2.3 Skema patogenesis spondilitis tuberkulosa ......................... 11
Gambar 2.4 MRI spondilitis tuberkulosa .................................................. 18
Gambar 2.5 Skor ASIA ............................................................................ 22
Gambar 2.6 X-Ray sacral spondilitis tuberkulosa dan foto thoraks .......... 26
Gambar 2.7 X-Ray dan MRI C6-C7 ......................................................... 27
Gambar 2.8Hong Kong Operation ................................................................ 35
4
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Potts Paraplegia ..................................................... 14
Tabel 2.2 Klasifikasi klinikoradiologis ....................................................... 14
Tabel 2.3 Klasifikasi berdasarkan lesi ...................................................... 15
Tabel 2.4 Klasifikasi ASIA ........................................................................ 15
5
BAB I
PENDAHULUAN
6
pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang belakang yang
berat dan defisit neurologis yang bermakna seperti paraplegia. ,,,
7
BAB II
SPONDILITIS TUBERKULOSIS
2.1 Definisi
2.2 Anatomi
8
Dibawah ini dipaparkan ciri-ciri masing-masing vertebra.
1. Vertebra Servikalis
Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
- Korpus vertebra kecil, pendek, dan berbentuk segiempat.
- Foramen vertebra berbentuk segitiga dan besar.
- Processus transversus terletak di sebelah vertebra processus articularis.
9
Terdiri atas 5 ruas tulang yang saling melekat menjadi satu
membentuk os sacrum. Os sacrum berbentuk segitiga, dasarnya berada
di sebelah cranial, disebut basis ossis sacri, dan puncaknya berada di
bagian caudal, disebut apex ossis sacri (Rohen and Decroil, 2009).
5. Vertebra Coccygeus
Terdiri atas 4 ruas yang melekat menjadi satu tulang. Vertebra
coccygeus I masih mempunyai sisa-sisa processus transversus,
membentuk cornu coccygeus (Rohen and Decroil, 2009).
2.3 Epidemiologi
10
dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB
menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun
(Hidalgo, 2008).
11
12
2.4 Etiologi
13
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium
yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni
yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya
terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada daerah
sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan
yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses,
yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya
dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis.
Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.
Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga
gangguan neurologis lebih mudah terjadi di daerah ini. Apabila
terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia yaitu:
i. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf
sensoris.
14
15
ii. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.
iii. Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak
atau aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia atau
anestesia.
iv. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan
gangguandefekasi dan miksi.
TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang
masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari
abses paravertebral atau kerusakan langsung sumsum tulang
belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit
yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan pada jembatan
tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi
secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan
angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium
implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan
vertebra yang massif di depan (Savant, 2007).
Patofisiologi
16
lumbal (pinggang) kuman bersarang. Kemudian kuman tersebut akan
menggerogoti badan tulang belakang, membentuk kantung nanah
(abses) yg bisa menyebar sepanjang otot pinggang sampai bisa
mencapai daerah lipat paha. Dapat pula memacu terjadinya
deformitas. Gejala awalnya adalah perkaratan umumnya disebut
pengapuran tulang belakang, sendi-sendi bahu, lutut, panggul.
Tulang rawan ini akan terkikis menipis hingga tak lagi berfungsi.
Persendian terasa kaku dan nyeri, kerusakan pada tulang rawan
sendi, pelapis ujung tulang yg berfungsi sebagai bantalan dan
peredam kejut bila dua ruang tulang berbenturan saat sendi
digerakkan.
Terbentuknya abses dan badan tulang belakang yg hancur, bisa
menyebabkan tulang belakang jadi kolaps dan miring ke arah depan.
Kedua hal ini bisa menyebabkan penekanan syaraf-syaraf sekitar
tulang belakang yg mengurus tungkai bawah, sehingga gejalanya bisa
kesemutan, baal-baal, bahkan bisa sampai kelumpuhan.
Badan tulang belakang yg kolaps dan miring ke depan
menyebabkan tulang belakang dapat diraba dan menonjol di belakang
dan nyeri bila tertekan, sering sebut sebagai gibbus
Bahaya yg terberat adalah kelumpuhan tungkai bawah, karena
penekanan batang syaraf di tulang belakang yg dapat disertai
lumpuhnya syaraf yg mengurus organ yg lain, seperti saluran kencing
dan anus (saluran pembuangan).
17
pembentukan pus yg kemudian dapat mengalami kalsifikasi. Berbeda
dengan osteomielitis piogenik, maka pembentukan tulang baru pada
tuberkulosis tulang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Di
samping itu, periostitis dan sekwester hampir tidak ada. Pada
tuberkulosis tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang
rawan sendi atau diskus intervertebra.
18
Patologi
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran
hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta
atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah
ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus
infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang
paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
19
penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar
yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan,
yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas
vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi
columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang
terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus,
penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,
sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga
bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area
metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area
subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat
menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak
ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi
sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-
anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini
dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas
spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat
spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari
vertebra di atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya
mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari
sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan
karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses
20
prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena
adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya
tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah
tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan
granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang
(tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan
spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral
posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior
tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
2.6 Klasifikasi
21
1. Klasifikasi Potts Paraplegia
Tabel 2.1 Klasifikasi Potts Paraplegia
22
3. Klasifikasi berdasarkan lesi
Tabel 2.3 Klasifikasi berdasarkan lesi
23
4. Klasifikasi ASIA
24
menghindari pergerakan pada vertebra. Saat penderita tidur, spasme otot
hilang dan memungkinkan terjadinya pergerakan tetapi kemudian timbul
nyeri lagi. Gejala ini dikenal sebagai night cry, umumnya terdapat pada
anak-anak (Garfin and Vaccaro, 1997).
Abses dingin perlahan-lahan berkembang ketika infeksi TB meluas ke
ligamen yang berdekatan dan jaringan lunak. Abses dingin ditandai
dengan kurangnya rasa sakit dan tanda-tanda peradangan lainnya (Kotil
et al., 2007).
Deformitas tulang belakang merupakan ciri dari spondilitis
tuberkulosa. Jenis kelainan tulang belakang tergantung pada lokasi lesi
vertebral TB. Pada vertebra servikal, dapat ditemukan gejala kaku leher,
nyeri vertebra yang menjalar ke oksipital atau lenganyang dirasakan lebih
hebat bila kepala ditekan kearah kaudal. Kemudian dapat terjadi
deformitas, lordosis-normal akan berkurang dan bila pada anak-anak akan
menopang kepalanya dengan lengan, abses retrofaringeal atau servikal,
paralisa lengan diikuti oleh paralisa tungkai (Moesbar, 2006).
Kifosis, deformitas tulang belakang yang paling umum, terjadi dengan
lesi yang melibatkan vertebra thoraks. Tingkat keparahan kifosis
tergantung pada jumlah tulang yang terlibat. Peningkatan deformitas
kifosis sebesar 10 atau lebih dapat terlihat pada sampai dengan 20% dari
kasus, bahkan setelah pengobatan (Owolabi et al., 2010).
Pada daerah lumbosacral dapat dijumpai gejala lokal misalnya
deformitas, nyeri yang menyebar ke ekstremitas bawah, abses psoas, dan
gangguan gerak pada sendi panggul (Moesbar, 2006).
25
Gambar 2.4 MRI spondilitis tuberkulosa (Garg and Somvanshi, 2011)
Keterangan : 'Pembentukan gibbus' di daerah torakolumbal dari pasien
dengan spondilitis tuberkulosa (foto kiri). Hasil MRI menunjukkan
spondilitis tuberkulosa di T10-T12. Spondilitis tuberkulosa
menyebabkan kerusakan, kolaps tulang belakang, dan angulasi tulang
belakang (foto kanan)
2.8 Diagnosis
26
Tanda dan gejala sistemik dari TB.
Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia.
27
2.8.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
28
Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah
lanjut, meski masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang
teliti sangat penting untuk menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada
pemeriksaan neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi motorik,
sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor
neuron (UMN), namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis
flaksid, baru setelahnya akan muncul spastisitas dan refleks patologis
yang positif. Kelumpuhan lower motor neuron (LMN) mononeuropati
mungkin saja terjadi jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika
kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi, yang biasanya bilateral.
Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk protopatis (raba,
nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk proprioseptif
(gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat rutin
dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom (Jung N.Y., 2004).
29
Gambar 2.5 Skor ASIA (James, 2005)
Pemeriksaan lain yang dibutuhkan adalah dengan mengecek dari
motorik dan sensoris sesuai dengan persarafan. Pada pemeriksaan ini,
hanya diambil beberapa saraf yang dianggap mewakili semua saraf, yaitu:
Motorik:
C-5: Fleksi dari sendi siku
C-6: Ekstensi dari pergelangan tangan
C-7: Ekstensi dari sendi siku
30
C-8: Fleksi dari distal phalang middle finger (jari tengah)
T-1: Abduksi dari jari kelingking tangan
L-2: Fleksi dari sendi pinggul
L-3: Ekstensi dari sendi lutut
L-4: dorsofleksi dari sendi ankle
L-5: Ekstensi dari jempol kaki
S-1: fleksi dari telapak kaki
Sensoris:
C-5 :Deltoid
C-6: Ibu jari tangan
C-7: Jari tengah tangan
C-8 :Jari kelingking tangan
T-4: Puting susu
T-8 :Xiphoid
T-10 :Umbilikus
T-12: Symphysis pubis
L-4: Tungkai bawah bagian medial
L-5 :Jari kaki pertama dan kedua
S-1 :Kaki bagian lateral
S-4: Perianal
2.9.1 Laboratorium
31
area berindurasi,kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat
suntikan 48-72 jamsetelah suntikan.Hasil yang negatif tampak pada
20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) danpada
pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru sajaterinfeksi,
malnutrisi atau disertai penyakit lain).
3. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),
sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-
paru yang aktif).
4. Pemeriksaan mikroskopik dengan Ziehl-Nielsen didapatkan adanya
bakteri tahan asam basil berwarna merah. Pemeriksaan bisa juga
dilakukan dengan cara melakukan kultur pada media Lowenstein-
Jensen. Tetapi kultur ini memakan waktu 4-6 minggu. Saat ini telah
digunakan system BACTEC yang dapat memberikan hasil dalam 7-10
hari. Kendala yang timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain dan
harga yang mahal.
5. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus
yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup
canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding
6. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial
akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan
tampak:
Xantokrom
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada
tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada
meningitis piogenik.
Kandungan protein meningkat.
32
Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis
sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
7. Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent
Assay) yang dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80%, tetapi
pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan
alergi.
8. Identifikasi dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) yang masih
terus dikembangkan. Prosedur ini meliputi denaturasi DNA kuman
tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA,
amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai
DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gen.
2.9.2 Radiologi
1. X-Ray
Di negara-negaraberkembang, x-ray masih tetap menjadi landasan
pencitraan tulang belakang. X-ray sering memberikan informasi yang
cukup untuk diagnosis dan pengobatan spondilitis tuberkulosa. X-ray
dapat menjelaskan perubahan yang konsisten pada spondilitis tuberkulosa
sampai dengan 99% dari kasus (Polley and Dunn, 2009). Temuan pada X-
ray meliputi penghalusan dari lempeng akhir vertebra, kehilangan tinggi
disk, kerusakan tulang, formasi baru-tulang dan abses jaringan lunak
(Watts and Lifeso, 1996). X-ray sulit untuk menilai kompresi sumsum
tulang belakang, keterlibatan jaringan lunak dan abses. Kelainan yang
jelas pada x-ray, biasanya pasien sudah mencapai stadium lanjut penyakit
dengan mayoritas memiliki kolaps vertebra dan defisit neurologis (Grag
and Somvanshi, 2011).
33
Gambar 2.6 X-Ray sacral spondilitis tuberkulosa dan foto thoraks
(Garg and Somvanshi, 2011)
Keterangan : X-ray dari daerah sacral tulang belakang menunjukkan
penghancuran tulang pada spondilitis tuberkulosa (foto kiri). Foto
thoraks pasien yang sama yang menunjukkan adanya TB paru (foto
kanan).
2. CT Scan
Menurut Perrone et al. (1994), CT scan menunjukkan kelainan lebih
awal dibandingkan x-ray. Pola kerusakan tulang: fragmentaris (47%),
osteolitik (34%), lokal dan sklerotik (10%), subperiosteal (30%).
Sedangkan menurut Ridley et al. (1998), CT scan dapat menunjukkan
temuan lain termasuk keterlibatan jaringan lunak dan jaringan abses
paraspinal. CT scan bernilai besar menunjukkan setiap kalsifikasi dalam
abses dingin atau memvisualisasikan lesi epidural yang mengandung
fragmen tulang. CT scan bernilai terbesar pada penggambaran
perambahan dari kanal tulang belakang dengan ekstensi posterior
jaringan, tulang atau cakram materi inflamasi.
3. MRI
MRI merupakan neuroimaging pilihan untuk spondilitis tuberkulosa.
MRI lebih sensitif dibandingkan x-ray dan lebih spesifik daripada CT scan
34
dalam diagnosis spondilitis tuberkulosa. MRI memungkinkan untuk
penentuan cepat dari mekanisme keterlibatan neurologis (Moorthy and
Prabhu, 2002). MRI menunjukkan keterlibatan badan vertebra, kerusakan
disk, abses dingin, kolaps vertebra, dan kelainan bentuk tulang belakang.
Pada tahap awal, hanya disk yang degenerasi dengan perubahan
intensitas sinyal sumsum tulang vertebra yang terlihat, yang mungkin tidak
cukup menegakkan diagnostik spondilitis tuberkulosa. Pembentukan
abses, pengumpulan dan perluasan jaringan granulasi yang berdekatan
dengan badan vertebral sangat mungkin terdiagnosis spondilitis
tuberkulosa. MRI juga berguna dalam mendeteksi intramedulla atau
extramedullary tuberculoma, kavitasi sumsum tulang belakang, edema
sumsum tulang belakang, dan lesi noncontiguous (Polley and Dunn,
2009). Penyebaran subligamentous massa paraspinal dan keterlibatan
beberapa tulang berdekatan dan perubahan tulang belakang intramedulla
dapat sangat baik ditunjukkan dengan MRI (Oguz et al., 2008).
Gambar 2.7 X-Ray dan MRI C6-C7 (Garg and Somvanshi, 2011)
Keterangan : X-ray dari daerah serviks yang menunjukkan spondilitis
tuberkulosa pada C6-C7 dan abses retropharyngeal (foto kiri). Gambar
MRI dari pasien yang sama, yang menunjukkan penghancuran C6-C7.
35
4. CT Guided Needle Biopsy
Biopsi jarum dengan bantuan CT scan pada lokasi yang terkena di
tengah badan vertebral merupkan gold standard untuk diagnosis
histopatologis awal spondilitis tuberkulosa (Grag and Somvanshi, 2011).
Biopsi jarum yang dipandu CT Scan biasanya menghasilkan materi yang
cukup baik dari tulang belakang itu sendiri atau dari abses yang
berdekatan (Jain et al., 1993). Dalam sebuah studi di India, aspirasi
menggunakan biopsi jarum yang dilakukan dengan panduan CT Scan
berhasil mendiagnosis spondilitis tuberkulosa pada 34 dari 38 pasien
(Mondal, 1994).
2.10 Diagnosis Banding
36
sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses
paraspinal.
2.11 Penatalaksanaan
37
tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan penatalaksanaan
spondilitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB, mencegah dan
mengobati defi sit neurologis, serta memperbaiki kifosis.
Parthasarathy dkk melakukan penelitian pada pasien spondilitis TB
tanpa paraplegia dengan tujuan membandingkan efektivitas kemoterapi
OAT dan intervensi bedah. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pada
fase awal, terapi medikamentosa memberikan hasil yang lebih
memuaskan dibandingkan terapi bedah. Namun, ketika deformitas kifosis
telah melanjut, terapi medikamentosa justru tidak begitu berguna.Terapi
OAT selama 9 bulan memberikanangka remisi yang lebih baik (hingga 99
persen) dibandingkan terapi OAT selama 6 bulan.
Untuk mempermudah klinisi menentukan tindakan yang cocok
untuk pasien, dapat digunakan klasifi kasi GATA.Namun, penulis
menyarankan untuk menatalaksana pasien secara individual, dan juga
mempertimbangkan keahlian ahli bedah, serta ketersediaan fasilitas
rumah sakit.
1. Medikamentosa
Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT
saja hanya jika diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan
deformitas masih minimal.Seperti pada terapi TB pada umumnya, terapi
infeksi spondilitis TB adalah multidrug therapy. Secara umum, regimen
OAT yang digunakan pada TB paru dapat pula digunakan pada TB
ekstraparu, namun rekomendasi durasi pemberian OAT pada TB
ekstraparu hingga saat ini masih belum konsisten antarahli.World Health
Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan setidaknya
selama 6 bulan. British Medical Research Council menyarankan bahwa
spondilitis TB torakolumbal harus diberikan kemoterapi OAT selama 6 9
bulan.2Untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan
dengan defisit neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapa ahli
menyarankan durasi kemoterapi selama 912 bulan.
38
The Medical Research Council Committee for Research for
Tuberculosis in the Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin
harus selalu diberikan selama masa pengobatan. Selama dua bulan
pertama (fase inisial), obat-obat tersebut dapat dikombinasikan dengan
pirazinamid,etambutol dan streptomisin sebagai obat linipertama. Hal ini
senada dengan penelitian Karaeminogullari dkkyang mengobati pasien
spondilitis TB lumbal dengan rifampisin dan insoniazid saja selama 9
bulan, dengan hasil yang memuaskan.
Dosis Rekomendasi OAT pada anak (di bawah 12 tahun) dan
dewasa
Obat Dosis mg/kgBB (dosis maksimum)
Harian Dua kali seminggu Tiga kali seminggu
Anak Dewasa Anak Dewasa Anak Dewasa
INH 10 20 5 20 40 15 20 40 15
RIF 10 20 10 10 20 10 10 20 10
PRZ 15 30 15 30 50 70 50 70 50 70 50 70
ETB 15 25 15 25 50 50 25 30 25 30
SM 20 40 12 18 25 30 25 30 25 30 25 30
INH, isoniazid, RIF, rifampisin, PRZ, pirazinamid, ETB, etambutol, SM,
streptomisin.Dosis berdasarkan berat badan harus
disesuaikan pertambahan berat badan. Semua pasien yang menerima
dosis intermiten harus dipantau langsung terapinya.
PRZ dan SM tidak dipakai pada wanita hamil. ETB tidak disarankan untuk
pasien anak karena sulit diobservasi fungsi visualnya.
Obat lini kedua diberikan hanya pada kasus resisten pengobatan.
Yang termasuk sebagai OAT lini kedua antara lain: levofl oksasin, moksifl
oksasin, etionamid, tiasetazon, kanamisin, kapreomisin, amikasin,
sikloserin, klaritomisin dan lain-lain.
Adakalanya kuman TB kebal terhadap berbagai macam OAT.
Multidrug resistance TB (MDR-TB) didefi nisikan sebagai basil TB yang
resisten terhadap isoniazid dan rifampisin.Spondilitis MDR-TB adalah
39
penyakit yang agresif karena tidak dapat hanya diterapi dengan
pengobatan OAT baku. Regimen untuk MDR-TB harus disesuaikan
dengan hasil kultur abses. Perbaikan klinis umumnya bisa didapatkan
dalam 3 bulan jika terapi berhasil.
Adapula rekomendasi terbaru untuk penganganan MDR-TB, yaitu
dengan kombinasi 5 obat, antara lain:
1) salah satu dari OAT lini pertama yang diketahui sensitif melalui hasil
kultur resistensi,
2) OAT injeksi untuk periode minimal selama 6 bulan,
3) kuinolon,
4) sikloserin atau etionamid,
5) antibiotik lainnya seperti amoksisilin klavulanat dan klofazimin. Durasi
pemberian OAT setidaknya selama 1824 bulan.
The United States Centers for Disease Control merekomendasikan
pengobatan spondilitis TB pada bayi dan anak-anak setidaknya harus
selama 12 bulan. Durasi kemoterapi pada pasien imunodefi siensi sama
pada pasien tanpa imunodefi siensi. Namun, adapula sumber yang
mengatakan durasinya harus diperpanjang. Kemoterapi pada
pasiendengan HIV positif harus disesuaikan danmemerhatikan interaksi
OAT dan obat antiretroviral. Zidovudin dapat meningkatkan efek toksik
OAT. Didanosin harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
penyanggah antasida.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen
terapi OAT untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru
kasus baru dengan TB ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE
(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan, atau 2HRZE(HRZS)
fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan, atau 2RHZE(HRZS) fase
inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa
diperpanjang sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk
kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan
40
2RHZES fase inisial dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase
inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase lanjutan.
Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus
dengan defisit neurologis yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun,
belum ada studi yang menguji efektivitasnya pada kasus spondilitis TB.
Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan kemoterapi
OAT telah dicoba pada beberapa pasien dan dikatakan dapat
meningkatkan proses perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg pada
pemberian pertama, dan 25 mg setiap bulan berikutnya selama 2 tahun
telah diujicobakan dengan hasil yang memuaskan. Nerindronat disebutkan
dapat menghambat aktivitas resorpsi osteoklas dan menstimulasi aktivitas
osteoblas. Namun, studi ini masih terbatas pada satu pasien dan perlu
dievaluasi lebih lanjut.
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 34 minggu, nyeri
dan atau defisit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah
pemberian OAT yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah
baring.
2. Terapi operatif
Menurut Garg and Somvanshi (2011), indikasi operasi spondilitis
tuberkulosa, meliputi :
1. Indikasi untuk operasi pada pasien tanpa komplikasi neurologis:
- Kerusakan tulang progresif meskipun telah diberi pengobatan
antituberkulosis.
- Kegagalan dalam terapi konservatif.
-Evakuasi abses paravertebral ketika telah meningkat dalam ukuran
meskipun pengobatan medis.
-Ketidakpastian diagnosis, biopsi.
-Alasan teknik: ketidakstabilan tulang belakang yang disebabkan oleh
kerusakan atau kehancuran, kerusakan dua atau lebih tulang
belakang, kifosis.
41
- Pencegahan kifosis parah pada anak-anak dengan lesi dorsal yang
luas.
-Large paraspinal abscess.
Indikasi untuk operasi pada pasien dengan komplikasi neurologis:
-Komplikasi saraf baru atau perburukan atau kurangnya perbaikan
dengan pengobatan konservatif.
-Paraplegia onset cepat atau paraplegia parah.
-Late-onset paraplegia.
-Neural arch disease.
-Nyeri paraplegia pada pasien usia lanjut.
-Spinal tumor syndrome (tuberculoma spinal epidural tanpa
keterlibatan tulang).
Menurut Jutte et al. (2006), terdapat dua jenis prosedur bedah yang
dilakukan pada spondilitis tuberkulosa :
1. Debridement lokasi yang terinfeksi.
Pada operasi ini tidak ada upaya dilakukan untuk menstabilkan tulang
belakang.
2. Debridement dengan stabilisasi tulang belakang (spinal rekonstruksi).
Merupakan operasi dengan prosedur yang lebih luas dan rekonstruksi
dilakukan dengan cangkok tulang. Stabilisasi juga dapat dilakukan
dengan menggunakan bahan buatan seperti baja, serat karbon, atau
titanium.
42
Gambar 2.8Hong Kong Operation
(debridement anterior dan strut grafting) + instrumentasi posterior
Keterangan : Gambar (a,b) : X-ray pra operasi, (c): MRI pra-operasi, (d,e) : X-ray post
operasi
43
2.12 Prognosis
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi
klinik yang terjadi. Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh
usia, deformitas kifotik, letak lesi, defisit neurologis, diagnosis dini,
kemoterapi, fusi spinal, komorbid, tingkat edukasi dan sosioekonomi.
Usia muda memiliki prognosis lebih baik. Namun, menurut
Parthasarathy dkk, menyimpulkan bahwa pada pasien usia dibawah
15 tahun dan dengan kifosis lebih dari 30 o cenderung tidak responsif
terhadap pengobatan.
Prognosis yang buruk juga memiliki hubungan dengan TB milier,
dan meningitis TB, karena dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta,
paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak dan lain-lain.
Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5
tahun sampai 30%. (Paramarta, et al, 2008)
Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi corpus vertebra yang nyata
dikombinasi dengan kemoterapi yang adekuat menjanjikan pemulihan
yang sempurna pada semua kasus. Resistensi terhadap OAT akan
memperburuk prognosis spondilitis TB. Komorbid lain seperti AIDS
berkaitan dengan prognosis buruk.(Paramarta, et al, 2008)
Penelitian lain di Nigeria mengatakan bahwa tingkat pendidikan
pasien mempengaruhi motivasi pasien untuk datang berobat. Pasien
dengan tingkat pendidikan yang kurang cenderung malas untuk
datang berobat sebelum ada gejala berat seperti, paraplegia.
2.13 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari Spondilitis tuberkulosa
adalah kifosis berat. Kifosis berat selain menimbulkan dampak estetika,
dapat menimbulkan defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan
jantung karena keterbatasan fungsi paru.
44
Cedera korda spinalis (spinal cord injury), dapat terjadi karena
adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra
tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott`s paraplegia
prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda
spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis
prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat
membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi
dura dan korda spinalis. Empiema tuberkulosa karena rupturnya abses
paravertebral di thorakal ke dalam pleura (Ombregtet al., 1995).
45
BAB III
KESIMPULAN
46
DAFTAR PUSTAKA
47
12. Hidalgo JA, Alangaden G, Cunha BA, et al..2008.Pott disease:
tuberculous spondylitis [Internet] New York: WebMD LLC; 2008
13. Wilson J, MacDonald. Current Orthopedics. Elsevier Science; 2003.
hal. 468.
14. http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_208Diagnosis%20dan%20P
enatalaksanaan%20Spondilitis%20Tuberkulosis.pdf
15. Sidharta P, Spondilitis Tuberculosa, in Lazuardi S, Hok TS, Sudibjo
AI, at all eds, Neurologi Klinik dalam Praktek Umum,Dian Rakyat,
Jakarta 1999:341
16. Dewi LK, Edi A, Suarthana E, Spondilitis Tuberkulosa, in Mansjoer
A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, eds, Kapita Selekta
Kedokteran Media Aesculapius Jakarta 2000 : 58
17. Garg,R.K. Somvanshi,D.S. Spinal Tuberculosis: A Review. J Spinal Cord
Med. Sep 2011; 34(5): 440454
18. Garfin S.R. and Vaccaro A.R 1997. Spinal Infections In: Orthopaedic
Knowledge. Spine Update. AmericanAcademy of Orthopaedic surgeon.
P.261-263.
19. Kotil K, Alan MS, Bilge T.2007. Medical management of Pott disease in
the thoracic and lumbar spine: a prospective clinical study. J Neurosurg
Spine 2007;6(3):2228
20. Moesbar N. 2006. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah
kedokteran Nusantara 39(3).
21. Spondilitis Tuberkulosis. Sari Pediatri, vol 10, no 3, oktober 2008
I Gede Epi paramarta, Putu Siadi Purniti, Ida Bagus Subanada, Putu
Astawa
22. Owolabi LF, Nagoda MM, Samaila AA, Aliyu I. 2010. Spinal tuberculosis
in adults: a study of 87 cases in Northwestern Nigeria. Neurology
Asia 2010;15(3):23944
23. Moesbar N. 2006. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah
kedokteran Nusantara 39(3).
24. Garg,R.K. Somvanshi,D.S. Spinal Tuberculosis: A Review. J Spinal Cord
Med. Sep 2011; 34(5): 440454
48
25. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley
E,Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and
Management. London :Springer-Verlag, 1997 : 378-87
26. James SK. Spinal Cord Injury Rehabilitation. South Carolina. 2005
27. Hidalgo JA, Alangaden G, Cunha BA, et al..2008.Pott disease:
tuberculous spondylitis [Internet] New York: WebMD LLC; 2008
28. Currier B.L,Eismont F.J.Infections of The Spine.In:The spine.3rd
ed.Rothman Simeon eeditor.Philadelphia:W.B.Sauders,1992:1353-64
29. Jutte PC, Van Loenhout-Rooyackers JH. 2006. Routine surgery in
addition to chemotherapy for treating spinal tuberculosis. Cochrane
Database Syst Rev 2006;(1):CD004532. DOI:
10.1002/14651858.CD004532
49