You are on page 1of 20

RANGKUMAN KASUS

a. Identitas Pasien
Nama : Ny. S.B
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
b. Anamnesa
Keluhan Utama
Nyeri pinggang dan BAK tidak lancar.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di pinggang terutama
sebelah kiri, dan Riwayat batu ginjal selama 9 bulan ini. Pasien
terdiagnosis menderita Batu Ginjal saat periksa di RSUD Muntilan
karena keluhan pinggang sering nyeri pinggang kumat-kumatan dan
BAK tidak lancar. Pasien keluar masuk ke rumahs sakit sekitar 12 kali
di RSUD Muntilan kemudian pasien di rujuk di Sarjito agar
mendapatkan perawatan yang lebih lengkap. Di Sarjito pasien
mengatakan bahwa di RS Sarjito pasien dilakukan pengeburan di ginjal
untuk menyelamatkan ginjal pasien, kemudian dilakukan pemasangan
selang di ginjalnya. Selang pulang 1 bulan pasien mengeluh nyeri
pinggang dan memeriksakan ke RS di Magelang. Ternyata selang yang
terpasang tertekuk sehingga pasien mengeluh nyeri dan sakit. Di
Magelang pasien dilakukan pemasangan DJ Stent setelah itu pasien
pulang. Selang berepa minggu pasien ke RSUD salatiga untuk
dilakukan pengambilan batu di ginjal dengan operasi terbuka.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tahun 2014 pasien menderita batu saluran kemih dan
mengalami gagal ginjal. Mulai bulan Agustus 2014 pasien melulai
terapi hemodialisis karena di diagnosa gagal ginjal di Sarjito telah
dilakukan pencucian darah 4 kali karena ureum kreatinin pasien tinggi.
Di Salatiga juga dilakukan pencucian darah atau hemodialisis 1 kali
sebelum pasien menjalani operasi di Salatiga untuk pengambilan batu
ginjal sebelah kiri. Selain itu pada tahun 2014 pasien juga di diagnosis
sakit jantung atau gagal jantung.
Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama


tidak ada yang memiliki riwayat batu saluran dan tidak ada riwayat
penyakit Kanker payudara, kanker di ovarium, dan penyakit kronis lain
seperti Hipertensi, Diabetes Melitus dan penyakit jantung.

Riwayat Personal Sosial:


Diketahui bahwa pasien memiliki hubungan yang baik dengan
keluarganya. Pasien selalu patuh untuk mengontrol penyakitnya dan
semangat untuk mengobati sakit yang dialaminya. Kebiasaan konsumsi
pasien baik, pasien memiliki nafsumakan yang baik dan mengkonsumsi
makanan yang seimbang dan Pasien minum air putih sekitar 1,5 liter
setiap harinya.

Review Sistem:
o Kepala leher : kepala pusing
o Kulit : tidak ada keluhan
o THT : tidak ada keluhan
o Respirasi : tidak ada keluhan
o Gastrointestinal : terkadang perut sakit, mual dan muntah.
o Kardiovaskular : terkadang dada terasa nyeri dan deg-degan.
o Perkemihan : luka post operasi terkadang terasa nyeri.
o Sistem Reproduksi : tidak ada keluhan
o Ekstremitas : tidak ada keluhan
c. Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien
S( Subyektif):
Pasien datang dengan keluhan nyeri di pinggang terutama sebelah kiri,
terkadang masih nyeri pada pinggang serta kemaluan yang terpasang
selang.
O (Obyektif) :
1) Keadaan Umum : pasien agak lemas , kesadaran CM
2) Vital sign :
o TD : 160/80 mmHg
o Nadi : 72x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
o RR : 20 x/menit
o Suhu : 36,20C
3) Kepala :
o Mata : Conjungtiva anemis :+/+ , Sklera Ikterik: -/-
o Hidung : Rhinorea (-), discharge (-), konka hiperemis dan
edem (-)
o Telinga : Nyeri tekan (-), discharge (-)
o Mulut : pucat (-), sianosis (-), mukosa kering (-), gusi
berdarah (-), lidah kotor (-)
o Tonsil : Hiperemis (-), T1/T1.
4) Leher :
Pembesaran Limfonodi (-), Kenaikan tekanan JVP (-)
5) Thorax
Paru :
o Inspeksi :Simetris, tidak terdapat ketertinggalan gerak,
retraksi (-)
o Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan, vokal fremitus normal
tidak meningkat dan menurun, pengembangan paru baik tidak
ada keterlambatan gerak.
o Perkusi : Sonor (+)
o Auskultasi : vesikuler (+)/(+),ronkhi basah halus (-)/(-),
wheezing (-)/(-)

Cor :

o Inspeksi : Iktus kordis terlihat di sic 4


o Palpasi : Iktus kordis teraba kuat di SIC 4
o Perkusi : Tidak terdapat pembesaran jantung
o Auskultasi : S1 S2 regular, tidak terdapat bising jantung.

6. Abdomen :

o Auskultasi : BU (+), 16 x/menit


o Inspeksi : Distended (-), tanda-tanda inflamasi (-).
o Palpasi : Nyeri tekan (+) diregio epigastrik , tidak teraba
organomegali, turgor baik(kembali cepat), undulasi (-)
o Perkusi : Pekak beralih (-)
o Asites (-)

7) Ekstremitas : CRT < 2 detik,, akral hangat (+) baik di ekstremitas


atas maupun bawah, edema (-)
8). Status Lokalisasi : Pinggang kanan dan kiri :
I : Terpasang selang kateter yang menghubungkan dengan ginjal
pada pasien yang terdapat pada pinggang kanan dan kiri, terpasang kateter
uretra pada penis pasien. Terlihat urin bag kira-kira 2000cc pada kateter
uretra.
P : Nyeri ketok ginjal (+)/(+). Nyeri tekan di pinggang (-), nyeri
tekan abdomen (-).
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah Rutin :

Parameter
Hasil Satuan
pemeriksaan
3
Angka Leukosit 4,95 X 10 L
6
Angka Eritrosit 3,29 L X 10 L

Hemoglobin 9,0 L g/dL

Hematokrit 27,4 L %

MCV 83,4 L FL

MCH 27,4 L Pg

MCHC 32,8 g/dL


3
Jumlah Trombosit 2I8 X 10 L
Golongan darah O
PTT 14
APTT 28,4
INR 1,15
MPV 7,1
PDW 15,6
PCT 0,2

2) Kimia Darah ( 19 Desember 2014)

Parameter Hasil Satuan


pemeriksaan
Glukosa Darah 109 mg/dl
Sewaktu
Ureum 120 H mg/dl

Kreatinin 5,8 H mg/dl

SGPT 120

SGOT 5,8
HbsAg Negative

3) Pemeriksaan Radiologi BNO/IVP tanggal 29 Januari 2015


Kesan :

- Nefrolithiasos bilateral (batu cetak)


- Uretrolithiasis bilateral
- Lumbalisasi VS I
- Terpasang DJ Stent di ureter kiri dan sebelah kanan terlepas.
4). USG Abdomen

Hasil USG : Nefrolithiasis bilateral

5). EKG
T inverted pada lead V4, V5, V6 gambaran iskemik posterior.

6). CCT

A (Assessment) :
Nefrolithiasis bilteral (Batu Cetak)
Uretrolithiasis bilateral
CKD (Chronik Kidney Disease) Renal Failure.

P (Planning) :
Pielolitotomi + Nefrotomi
Terapi :
- Inf NaCl 2 liter/hari
- Inj Cefoperazol 2 x 1 gram
MASALAH YANG DIKAJI :

Bagaimana penatalaksanaan pada pasien tersebut yang mengalami Batu cetak


ginjal dan mengalami gagal ginjal ?

PEMBAHASAN :

Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi


terbesar dari jumlah pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang pasti
dari penyakit ini di Indonesia belum dapat ditetapkan secara pasti (IAUI, 2007).
Prevalensi penderita penyakit batu saluran kemih semakin meningkat setiap
tahunnya.
Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit ini di Indonesia belum
dapat ditetapkan secara pasti, diperkirakan 170.000 kasus per tahun. Menurut
Ikatan Ahli Urology Indonesia, Di RSCM Jakarta, pada Tahun 2002 terjadi 847
kasus dan akan terus meningkat setiap tahunnya. Data rekam medis RS Dr.
Kariadi diketahui bahwa kasus batu saluran kemih menunjukkan peningkatan dari
32,8% dari kasus urologi pada tahun 2003 menjadi 35,4% dari kasus urologi pada
tahun 2004 dan meningkat menjadi 39,1% pada tahun 2005 (Rohmawati, 2013).
Batu saluran kemih banyak dijumpai pada orang dewasa antara umur
30-60 tahun dengan rerata umur 42,20 tahun (pria rerata 43,06 dan wanita rerata
40,20 tahun) (Nurlina, 2008). Umur terbanyak penderita batu di negara-negara
Barat 20-50 tahun dan di Indonesia antara 30-60 tahun. Kemungkinan keadaan ini
disebabkan adanya perbedaan faktor sosial ekonomi, budaya dan diet
(Rohmawati, 2013).
Penyakit batu saluran kemih di bagi atas batu saluran kemih bagian atas
yang meliputi batu pada ginjal dan ureter, serta batu saluran kemih bagian bawah
yang meliputi batu pada buli-buli dan urethra (Rully, 2010). Pada umumnya batu
saluran kemih bagian atas merupakan batu ginjal (Rohmawati, 2013).
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak dirongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya
menghadap medial. Cekungan ini disebut hilus renalis yang didalamnya terdapat
apeks pelvis renalis dan struktur lain yaitu pembulu darah, sistem limfatik, dan
sistem saraf. Pada ginjal terdapat sistem pelvikalises yang terdiri dari kaliks
minor, infundibulum, kaliks mayor dan pielum/pelvis renalis yang membantu
menyalurkan urin ke ureter (Purnomo, 2011). Bila ada batu ginjal akan
menyebabkan aliran kencing tidak lancar dan menyebabkan sumbatan yang dapat
menyebabkan kelainan fungsi ginjal (Rully, 2010).
Batu saluran kemih merupakan proses terbentuknya batu yang disebabkan
oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya
berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi
(Purwanti, 2013). Etiologi yang menyebabkan terjadinya batu ginjal dibedakan
menjadi 2 faktor yaitu faktor intrinsik yaitu berasal dari tubuh seseorang dan
faktor ekstrinsik, yaitu berasal dari lingkungan sekitarnya (Purnomo, 2011)
Faktor intrinsik:
a) Herediter (keturunan).
b) Umur, dimana paling sering menyerang usia 30-50 tahun.
c) Jenis kelamin, dimana perbandingan laki-lakin dan perempuan adalah 3:1.
Faktor ekstrinsik:
a) Geografi.
b) Iklim dan temperatur.
c) Asupan air, kurangya asupan air dan tinggiya kadar mineral kalsium pada
air yang dikonsumsi meningkatkan insiden batu saluran kemih.
d) Diet banyak purin, oksalat, dan kalsium.
e) Pekerjaan: orang yang bekerjanya banyak duduk atau kurang aktifitas atau
sedentary life.

Penegakan diagnosis pada batu ginjal adalah berdasarkan dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Rully,2010).
a. Anamnesis
Pasien dengan BSK mempunyai keluhan yang bervariasi mulai dari tanpa
keluhan, sakit pinggang ringan sampai dengan kolik, disuria, hematuria,
retensio urin, anuria. Keluhan ini dapat disertai dengan penyulit berupa
demam, tanda-tanda gagal ginjal. Selain itu dengan melakukan anamnesis
dapat diketahui riwayat perjalanan penyakit pasien, riwayat penyakit lain,
riwayat penyakit keluarga, dan personal sosial (IAUI,2007).
Pada pasien diketahui mengeluh nyeri pinggang yang kumat-kumatan sejak 9
bulan ini dan riwayat sering keluar masuk di seberapa rumah sakit karena
batu ginjal yang dialaminya. Dari riwayat keluarga tidak ada yang mengalami
keluhan serupa dan riwayat personal sosial pasien setelah terdiagnosis batu
ginjal menjadi rajin minum air putih dan menjaga pola makanan. Riwayat
penyakit lain adalah gagal jantung dan komplikasi akibat batu ginjal yang
dialami pasien yaitu gagal ginjal.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi mulai tanpa kelainan
fisik sampai tanda-tanda sakit berat tergantung pada letak batu dan penyulit
yang ditimbulkan. Nyeri ketok ginjal pada costo vertebra angle biasanya
sering ditemukan pada penderita batu ginjal (IAUI, 2007, Rully, 2010).
Pemeriksaan fisik pada pasien nampak telah terpasang selang nefrostomi dan
kateter uretra dimana jumlah urin yang dihasilkan pada ginjal kiri lebih
banyak dari ginjal kanan, dan pemeriksaan nyeri ketok ginjal postif baik
kanan dan kiri.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urin rutin untuk melihat eritrosituri, lekosituria, bakteriuria
(nitrit), pH urin dan kultur urin. Pemeriksaan darah berupa hemoglobin,
lekosit, ureum dan kreatinin (IAUI,2010).
Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan pasien mengalami anemia
dengan penurunan jumlah Hb 9 mg/dl, eritrosit 3,29 mg/dl yang mungkin
diakibatkan karena gangguan pembentukan sel darah merah karena gangguan
eripoitin pada ginjal. Hasil ureum kreatinin pada pasien juga tinggi yang
mengindkasikan kerusakan fungsi ginjal.
d. Pemeriksaan Penunjang lainnya
Pemeriksaan pencitraan untuk penegakan diagnosis pada pasien
dengan BSK dapat meggunakan foto polos abdomen, UGS, dan BNO-IVP
(Rully, 2010). Pada pemeriksaan BNO yang dilakukan pada pasien bp. S
didapatkan hasil nefrolithiasis bilateral (batu cetak/stoghorn bilateral),
ureterolithiasis dan DJ Stent sebelah kanan terlepas.

BATU CETAK GINJAL/STAGHORN

Definisi Batu Cetak Ginjal atau Staghorn yang sering dipakai adalah batu
ginjal yang menempati lebih dari satu collecting system, yaitu batu pielum yang
berekstensi ke satu atau lebih kaliks. Istilah batu cetak/ staghorn parsial digunakan
jika batu menempati sebagian cabang collecting system, sedangkan istilah batu
cetak/staghorn komplit digunakan batu jika menempati seluruh collecting system
(IAUI, 2007). Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal
memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut staghorn
(Purnomo, 2011)

Tanda dan gejala dari batu cetak ginjal ini tergantung pada posisi atau
letak batu, besarnya batu, dan penyulit yang telah terjadi ( Tim perawat bedah
RSCM, 2008).
a. Nyeri. Rasa nyerinya berbeda beda ditentukan oleh lokasi batu.
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua macam nyeri yaitu nyeri kolik dan
nonkolik. Nyeri kolik (hilang timbul) disebabkan oleh stretching sistem
collecting atau peregangan sistem pengumpul dan nyeri nonkolik disebabkan
oleh peregangan kapsul ginjal. Nyeri pada pelvis renalis akan menyebabkan
nyeri berat pada punggung bagian bawah tepat di iga ke-2.
Nyerinya akan menjalar ke perut bagian bawah. Rasa nyeri itu akan bertambah
hebat apabila batu bergerak turun dan menyebabkan obstruksi. Pada bagian
ureter bagian distal (bawah) akan menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada
pria atau labia mayora pada wanita. Apabila batu terdapat dalam bladder, akan
menyebabkan gejala iritasi dan bila bersamaan dengan infeksi akan
menyebabkan hematuria. Jika batu mengobstruksi bladder neck, maka akan
terjadi retensi urin.
b. Kristaluria, urin yang keluar disertai pasir atau batu
c. Infeksi, batu yang terdapat di saluran kemih menjadi tempat sarangnya kuman
yang tidak dapat dijangkau obat-obatan.
d. Demam, hal ini terjadi jika kuman sudah menyebar ke tempat lain. Tanda
demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah
di kulit merupakan tanda terjadinya urosepsis
e. Adanya massa di daerah punggung akibat adanya hidronefrosis.
Gejala klinik yang dialami oleh pasien adalah nyeri pinggang yang hilang
timbul sering dialami pasien saat sebelum didiagnosis dahulu, sekarang pasien
juga masih mengeluh nyeri setelah dilakukanoperasi nefrostomi dan pemasangan
DJ Stent. Pada pasien dulu sering keluar butiran pasir dan batu kecil-kecil dan
urin berwarna merah yang menandakan hematuria. Gejala berhubungan dengan
lokasi dan kondisi batu.
Komposisi tersering batu cetak ginjal adalah kombinasi magnesium
amonium fosfat (struvit) dan/ atau kalsium karbonat apatit. Komposisi lain dapat
berupa sistin dan asam urat, sedangkan kalsium oksalat dan batu fosfat jarang
dijumpai. Komposisi struvite/ kalsium karbonat apatit erat berkaitan dengan
infeksi traktus urinarius yang disebabkan oleh organisme spesifik yang
memproduksi enzim urease yang menghasilkan amonia dan hidroksida dari urea.
Akibatnya, lingkungan urin menjadi alkali dan mengandung konsentrasi amonia
yang tinggi, menyebabkan kristalisasi magnesium amonium fosfat (struvit)
sehingga menyebabkan batu besar dan bercabang. Faktor-faktor lain turut
berperan, termasuk pembentukan biofilm eksopolisakarida dan penggabungan
mukoprotein dan senyawa organik menjadi matriks. Kultur dari fragmen di
permukaan dan di dalam batu menunjukkan bakteri tinggal di dalam batu, sesuatu
yang tidak dijumpai pada jenis batu lainnya. Terjadi infeksi saluran kemih
berulang oleh organisme pemecah urea selama batu masih ada (AUA, 2005).

Menurut IAUI 2007 terdapat beberapa Modalitas terapi untuk batu cetak ginjal
antara lain:

1. PNL monoterapi
2. Kombinasi PNL dan ESWL
3. ESWL monoterapi
4. Operasi terbuka
5. Kombinasi operasi terbuka dan ESWL
Pedoman pemilihan modalitas terapi pada pasien yang didiagnosis batu
cetak ginjal dianjurkan untuk diterapi secara aktif. Terapi standar, rekomendasi
dan optional pada pasien batu cetak ginjal berlaku untuk pasien dewasa dengan
batu cetak ginjal (bukan batu sistin dan bukan batu asam urat) yang kedua
ginjalnya berfungsi (fungsi keduanya relatif sama) atau ginjal soliter dengan
fungsi normal dan kondisi kesehatan yang secara umum, habitus, dan anatomi
memungkinkan untuk menjalani keempat modalitas terapi, termasuk pemberian
anestesi. Menurut Rassweiler dkk dalam The Management of Complex Renal
Stones daari British journal of Urology membuat kriteria pemilihn pembedahan
batu tipe ini, berdasarkan distribusi batu, sistem pengumpul ginjal, radioopasitas
dan komposisi kimia (Rully, 2010).
Batu pada kausu Tn. S ini termasuk batu mayor (total), dengan distribusi
batu sentral dan perifer. Sitem pengumpulan batu besar dan radioopasitas dalam
batas cukup.Sehingga Pedoman pilihan terapi meliputi disarankan :
1. PNL (dengan atau tanpa kombinasi ESWL)
2. Operasi terbuka (dengan atau tanpa kombinasi ESWL)
Dalam pemilihan terapi pasien urolitiasis ada beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan, antaralain faktor batu (ukuran, jumlah, komposisi dan lokasi),
faktor anatomi ginjal (derajat obstruksi, hidronefrosis, obstruksi uretropelvic
junction, divertikel kaliks dan ginjal tapal kuda), serta faktor pasien (adanya
infeksi, obesitas, deformitas, koagulasi, riwayat hipertensi dan riwayat gagal
ginjal) (Rully, 2010, IAUI, 2007).
Pada pasien sebelumnya telah dilakukan nefrostomi pada ginjal kanan
dan kiri serta dilakukan pemasangan DJ Stend. Nefrostomi adalah suatu tindakan
medis diversi urin menggunakan tube, stent atau kateter melalui insisi kulit
masusk ke parenkim ginjal dan berakhir pada bagian pelvis renalis yang biasanya
dilakukan karena adanya obstruksi saluran kemih bagian atas (Cillio, 2012).
Nefrostomi ginjal kanan dan kiri yang dilakukan pada pasien Tn. S difungsikan
untuk mengatasi obstruksi yang terjadi pada ginjal sehingga urin dapat keluar
lewat kateter yang terpasang pada kedua ginjal. DJ Stent juga terpasang pada
ureter kanan dan kiri pasien. DJ Stent merupakan merupakan alat yang dang
dipasangkan ureter satu ekornya berada di sistem pelvikoklaliks ginjal dan satu
lagi di kandung kemih fungsinya adalah untuk memudahkan aliran kencing dari
ginjal ke kandung kencing dan mempermudah membawa serpihan baut saluran
kencing (Purnomo, 2011).
Tindakan prosedur operasi untuk mengeluarkan batu saluran kemih pada
pasien adalah dengan oprasi terbuka (extended pyelolitotomi) merupakan suatu
tindakan operasi terbuka yang dilakukan untuk membuang atau mengeluarkan
batu dari pelvis ginjal yaitu melakukan insisi pielotomi dengan hooked scalpel.
Pembedahan ini dilakukan pada ginjal sebelah kiri yang memiliki fungsi lebih
baik daripada sebelah kanan, dilakukan pada ginjal yang memiliki fungsi lebih
baik terlebih dahulu karena diharapkan dapat mempertahankan fungsi ginjal
secara umum pada pasien (Rully, 2010).

KOMPLIKASI
Batu cetak ginjal yang tidak ditangani akan mengakibatkan kerusakan
ginjal dan atau sepsis yang dapat mengancam jiwa. Karena itu, pengangkatan
seluruh batu merupakan tujuan utama untuk mengeradikasi organisme penyebab,
mengatasi obstruksi, mencegah pertumbuhan batu lebih lanjut dan infeksi yang
menyertainya serta preservasi fungsi ginjal. Meski beberapa penelitian
menunjukkan kemungkinan untuk mensterilkan fragmen struvite sisa dan
membatasi aktivitas pertumbuhan batu, sebagian besar penelitian
mengindikasikan, fragmen batu sisa dapat tumbuh dan menjadi sumber infeksi
traktus urinarius yang berulang (IAUI, 2007).

Jika tidak diterapi, batu cetak ginjal terbukti akan menyebabkan kerusakan
ginjal. Pasien dapat mengalami infeksi saluran kemih berulang, sepsis dan nyeri.
Selain itu, batu akan mengakibatkan kematian. Terapi nonbedah, seperti terapi
antibiotik, inhibitor urease, dan terapi suportif lainnya, bukan merupakan
alternatif terapi kecuali pada pasien yang tidak dapat menjalani prosedur tindakan
pengangkatan batu. Pada analisis retrospektif 200 pasien dengan batu cetak ginjal
yang menjalani terapi konservatif, 28% mengalami gangguan fungsi ginjal.

a. Stone Free Rate


Secara keseluruhan, stone free rate setelah terapi paling tinggi pada PNL
(78%) dan paling rendah pada SWL (54%). Pada terapi kombinasi (PNL dan
SWL), stone free rate lebih rendah jika SWL dilakukan terakhir (66%) dan
dapat menjadi 81% jika dilakukan PNL-ESWL-PNL. Pada operasi terbuka,
stone free rate berkisar antara 71%-82%. Angka ini lebih rendah jika batunya
lebih kompleks.

Sumber: AUA Guidelines 2005

Stone free rate juga dihubungkan dengan klasifikasi batu cetak (parsial atau
komplit). Pada batu cetak parsial, angka stone free rate lebih tinggi dibandingkan
batu cetak komplit. Pada PNL, stone free rate batu cetak parsial 74%
dibandingkan 65% pada batu cetak komplit.

b. Jumlah Prosedur
Pada pedoman American Urological Association (AUA) tahun 2004,
PNL membutuhkan total rata-rata 1,9 prosedur, ESWL 3,6 prosedur dan
terapi kombinasi membutuhkan 3,3 prosedur untuk penatalaksanaan batu
cetak ginjal. Operasi terbuka membutuhkan total 1,4 prosedur.

Jumlah prosedur juga berkaitan dengan klasifikasi batu cetak (parsial


atau total). Pasien batu cetak parsial menjalani 2,1 prosedur dibandingkan 3,7
prosedur pada pasien batu cetak komplit.

c. Komplikasi
Komplikasi apabila tidak ditangani dengan baik dapat berakibat
obstruksi saluran kemih atas dan menyebabkan kerusakan fungsi ginjal
(Purnomo, 2011). Pada pasien telah terjadi kerusakan ginjal kronis yang
ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin pada darah. Pada
perhitungan Laju Filtrasi Glumerulus didapatkan hasil GFR <10,7
ml/menit/1,73 m3 masuk dalam kategori gagal ginjal kronis grade 5.
Chronic kidney disease (CKD)/ Penyakit Ginjal Kronik adalah suatu
proses patofisiologis denga etiologi beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal
(Suwitra,2009). Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi
selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda
kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal,
diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus
kurang dari 60 ml/menit/1,73m (KDIGO, 2013).
Beberapa penyebab gagal ginjal antara lain infeksi seperti pielonefritis
kronik,. penyakit peradangan seperti glomerulonefritis, penyakit vaskuler
hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis, Gangguan
kongenital dan herediter seperti penyakit polikistik ginjal, dan asidosis
tubulus, Penyakit metabolik seperti diabetes melitus, gout,
hiperparatiroidisme, dan amiloidosis, penyakit ginjal obstruktif seperti
pembesaran prostat, batu saluran kemih, dan refluks ureter (Suwitra,2009).
Pada pasien Tn. S gagal ginjal yang terjadi adalah akibat adanya obstruksi
yang disebabkan aliran urin tidak lancar sehingga terjadi bendungan atau
obstruksi di saluran kemih bagian atas.
Proses terjadinya gagal ginjal pada pasien adalah karena adanya
obstruksi pada saluran kemih kemih yaitu pada ginjal dan ureter yang
mengakibatkan bendungan atau obstruksi pada aliran urin ke distal, hal ini
akan mengakibatkan penurunan laju Glumerular Filtration Rate (GFR) yang
menyebabkan gagal ginjal kronis. Gagal ginjal kronis akan menyebabkan
gangguan fungsi pada ginjal, sekresi protein akan terganggu yang ditandai
tingginya kadar ureum dan kreatinin yang menyebabkan sindrma uremik
dimana akan terjadi hiperphospatemia yang menimbulkan keluhan pruritus
dikulit, mual dan muntah (NICE, 2014).
Gagal Ginjal juga akan menyebabkan retensi pada natrium dan akan
meningkaatkan jumlah cairan ekstra seluler yang akan meningkatkan tekanan
kapiler dan volume interstisial, hal tersebut yang menyebabkan edema dan
hipertensi pada pasien. Sekresi eritropoitein pada juga terjadi pada GGK yang
menyebabkan produksi eritrosit menurun sehingga kadar Hb menurun yang
ditandai dengan anemia (NICE, 2014). Pada pasien juga ditandai adanya trias
Gagal Ginjal kronis yaitu Hiperuremia, Hipertensi dan Anemia. Hasil
pemeriksaan kadar kadar ureum 120 mg/dl dan kreatinin 5,8 mg/dl dan
anemia yang ditandai dengan kadar Hb 9 g/dl serta hipertensi 160/80 mmHg.
Penatalaksanaan terapi pada gagal ginjal kronis adalah berdasarkan
derajat kronisitasnya. Pada pasien didapatkan GFR < 15 yang menandakan
bahwa pasien sudah masuk tahapan gagal ginjal kronis stadium terminal atau
akhir (kidney failure) dengan terapi pengganti ginjal.Secara umum pasien
gagal ginjal mendapatkan terapi spesifik tehadap penyakit dasarnya,
Pencegahan dan terapi terhadap comorbid condition, Memperlambat
progression fungsi ginjal, Pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskuler, Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, Terapi pengganti
ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).
Penatalaksanaan terhadap penyakit dasarnya adalah pengelolaan batu
saluran kemih yang dialami oleh pasien. Terapi komplikasi yang dialami
pasien adalah terapi terhadap gagal ginjal grade 5 (renal failure) yaitu dengan
pencegahan perburukan ginjal, terapi terhadap anemia yang dialami pasien
cdengan melakukan transfusi sampai taget Hb 10-11 tercapai, komplikasi
hipertensi yang dialami pasien bisa diberikan obat antihipertensi yaitu ACE
inhibitor yang dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal melalui
mekanisme kerja antihipertensi dan antiproteinuria (Suwitra, 2009).
Renal replacement therapy / terapi penganti ginjal dilakukan pada
CKD stadium 5, berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi
ginjal (Raharjo, 2009). Terapi Renal replacement therapy pada pasien Tn. S
adalah dengan hemodialisis. Pasien selama sakit ini mendapat terapi
hemodialisis sebanyak 5 kali. Hemodialisis adalah suatu usaha untuk
memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya
fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis yaitu dengan
menyaring sampah metabolisme dan air yang berlebihan pada darah oleh
dializer (Raharjo, 2009). Terapi ini akan membantu pengeluaran zat-zat
sampah pada pasien sehingga kadar kreatinin dan ureum pada pasien dapat
turun.

KESIMPULAN

Penegakan diagnosis pada pasien adalah berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan imaging.
Pada pemeriksaan foto BNO nampak gambaran batu cetak pada ginjal kanan
dan kiri dan ureterolithiasis bilateral. Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan hasil pasien memiliki Hb 9 g/dl,ureum 120 mg/dl dan kratinin 5,8
mg/dl serta mengalami hipertensi tekanan darah 160/80 mmHg.
Penatalaksanaan dilakukan terhadap batu saluran kemih dan komplikasi yang
terjadi.

Penatalaksnanaan terhadap batu saluran kemih pasien adallah


melakukan nefrostomi untuk mengatasi obtruksi saluran kemih bagian atas,
pemasangan DJ Stent untuk melancarkan aliran urin kedistal dan mempercepat
batu yang berukuran kecil lewat serta Extended Pyelolithotomi ginjal sinistra
untuk mengeluarkan batu cetak ginjal. Pemilihan sebelah sinistra dahulu karena
bagian sinistra berfungsi lebih baik darp pada yang kiri sehingga diharapkan
fungsi ginjal dapat dipertahankan lebih baik. Terapi terhadap komplikasi gagal
ginjal yang dialami adalah melakukan pengobata terhadap hipertensi, kelola
anemia yang dialami hingga target Hb tercapai serta terapi pengganti ginjal
dengan melakukan hemodialisis.

DAFTAR PUSTAKA
American Urological Association. 2005. AUA Guideline on the Management
of Staghorn calculi: Diagnosis and Tereatment Recomendation.
IAUI. 2007. Guidelines Penatalaksanaan Penyakit Batu Saluran Kemih.
Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
KDIGO. 2013 KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation
and Management of Chronic Kidney Disease. Official Journal of the
International Society of Nephrology vol 3.
NICE. 2014. Early identification and management of chronic Kidney disease in
adults in primary and secondary Care. National institute for health and care
excellence. Guidance.nice.org.uk/cg182
Nurlina. (2008). Faktor-faktor risiko kejadian batu saluran kemih pada laki-
laki (Studi Kasus di RS Dr. Kariadi, RS Roemani dan RSI Sultan Agung
Semarang). Laporan Penelitian Tidak Diterbitkan. Magister Epidemiologi
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Purnomo, B.B. (2011). Dasar-Dasar Urologi. Edisi Ketiga. Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya. CV Agung Seto. Jakarta.

Raharjo, et.al. 2009: Hemodialisis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam hal 1050-
1052.Jakarta: Interna Publishing
Rohmawati. 2013. Analisis praktik klinik keperawatan Kesehatan masyarakat
perkotaan pada pasien Batu cetak ginjal di ruang rawat bedah Gedung A
Rsupn Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jakarta.
Rully, A. 2010. Batu Staghorn pada wanita: Faktor Resiko dan Tatalaksananya.
Laporan Kasus. Jurnal Mahasiswa Kedokteran Indonesia Vol 1 no 01 hal
52-58.
Suwitra,K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam hal
1035-1040. Jakarta: Interna Publishing

You might also like