You are on page 1of 10

A.

BERDASARKAN ASPEK PSIKONEUROIMUNOLOGI


1. Hubungan antara Psikis, Saraf, Hormon dan Imunitas
(Psikoneuroimunologi)
Stres psikologis dapat didefinisikan sebagai pengalaman stres yang
mempengaruhi kemampuan indvidu untuk beradaptasi dengan sehat terhadap
peristiwa kehidupan. Sudah jelas bahwa stress psikologis memberikan
dampak terhadap sistem imun dan kesehatan (Gambar 1). Bukti klinis dan
eksperimental menunjukkan bahwa durasi dan perjalanan dari stres
merupakan faktor bercabang yang menentukan muasal dari stres memicu
perubahan imunitas dan kesehatan (Godbout dan Glasser, 2006).
Saat otak mendeteksi ancaman, koordinasi respons fisiologis
melibatkan komponen sistem autonomik, neuroendokrin, metabolik dan
imun diaktifican. Sistem kunci dalam respon stress yang telah banyak diteliti
adalah aksis hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA). Neuron di regio medial
parvocellular dari paraventricular nucleus hypothalamus melepaskan
corticotropin-releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP). Ini
memicu sekresi selanjutnya adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari
kelenjar pituitari, menyebabkan produksi glukokortikoid oleh korteks
adrenal. Di samping itu, medula adrenal melepaskan katekolamin (adrenalin
dan noradrenalin). Responsivitas aksis HPA terhadap stres sebagian
ditentukan oleh kemampuan glukokortikoid untuk mengatur pelepasan
ACTH dan CRH dengan ikatan pada dua reseptor kortikosteroid,
glucocorticoid receptor (GR) dan mineralocorticoid receptor (MR).
Mengikuti aktivasi dari sistem,dan saat stresor yang diterima telah
ditanggapi, lengkungan umpan balik dipicu berbagai tingkat sistem (yaitu
dari kelenjar adrenal sampai hipotalamus dan region otak lainnya seperti
hipokampus dan korteks frontal) untuk menutup aksis HPA dan kembali ke
titik homeostatik. Sebaliknya, amigdala, yang terlibat dalam proses
ketakutan, mengaktivasi aksis HPA untuk mempersiapkan gerakan respon
stres yang perlu untuk menghadapi tantangan. Sistem dan faktor utama lain
yang merespon stres, termasuk sistem saraf autonomik, sitokin inflamatori
dan hormon metabolik. Semua ini dipengaruhi aktivitas HPA dan, sebaliknya
mempengaruhi fungsi HPA, dan juga berakibat pada perubahan patofisiologi
yang terjadi dalam respon stres kronis, dari pengalaman masa kecil sampai
usiadewasa (Gambar 1) (Lupien et al., 2009).

Gambar 1. Patofisiologi Stres Ditinjau dari Sistem Saraf dan Sistem Imun

Reaksi psikologis-fisik dan neurobiologis yang aktif oleh stres yang hebat,
reaksi menghindar atau bertarung akan tertanam secara mendalam di otak dan
tidak mudah untuk dihapuskan. Teknik menenangkan dibutuhkan untuk
mencegah kepanikan dan sebagai terapi. Diberikan psiko-edukasi untuk
mengajarkan reaksi adaptif yang normal. Pengobatan sering digunakan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejalaselama fase akut. Membantu untuk
tidur lelap penting karena kurang tidur mengurangi toleransi terhadap stres
(Heir et al., 2008).
Orang dengan trauma psikologis lebih peka terhadap situasi yang
tidak dapat mereka kontrol. Penting memberikan perasaan dapat menguasai
keadaan, apakah secara nyata atau persiapan. Konsep teori yang berguna
seperti memantapkan respons positif, harapan untuk pulih kembali dan
keberhasilan. Hal ini dapat dicapai melalui pemulihan kepercayaan diri
dengan dukungan dari sekitarnya sehingga dapat mengendalikan pikiran,
emosi dan perilaku (Heir et al., 2008).

2. Hubungan antara Kondisi Pikirandan Respon Tubuh


Sistem Limbik
Sistem Limbik merupakan bagian sistem saraf pusat yang terdiri dari
beberapa struktur antara lain yaitu amigdala, septum, hipokampus, girus
singulatus, thalamus anterior dan hipotalamus. Sistem limbik mempunyai fungsi
pengendalian emosi, perilaku instingtif, dorongan, motivasi dan perasaan. Baik
korteks cerebri maupun sistem limbik, keduanya mempunyai akses ke area
motorik batang otak, sehingga memungkinkan manusia belajar beradaptasi dan
mengontrol perilaku instingtifnya. Bagian-bagian sistem limbik saling
berhubungan secara kompleks dan beberapa membentuk sirkuit, contoh yang
terkenal adalah sirkuit Papez (Beauregard, 2011).
Beberapa rangsangan akan membangkitkan emosi dan respon tubuh. Respon
ini diintegrasikan oleh sistem limbik, dimana hipotalamus sebagai gerbang keluaran
utama. Sinyal untuk reaksi dikirim ke berbagai bagian persarafan seperti saraf otonom
dan efek neurohormonal ke kelenjar endokrin. Korteks cerebri dalam hal ini
berperan untuk mengintegrasikan segala macam perasaan dan hipokampus
berperan untuk proses belajar dan menyimpan memori rangsangan yang pernah
dialami (Beauregard, 2011; McNamara, 2011).

Korteks Prefrontal
Lobus frontalis adalah bagian dari sistem saraf pusat manusia yang banyak
berperan dalam perilaku yang berulang atau ritual, memori kerja dan dalam
konteks inhibisi terhadap respon prepoten. Area yang paling bertanggung jawab
pada fungsi ini adalah dorsolateral prefrontal cortex (dlPFC) dan anterior
cingulated cortex (ACC), yang merupakan pusat dari memori kerja, perhatian dan
konsentrasi, serta kemampuan untuk melakukan tindakan yang bertujuan. Fungsi
inhibisi juga didapatkan pada dlPFC dan ACC. Dorsolateral prefrontal cortex
(dlPFC) secara khusus berfungsi untuk menyaring sinyal-sinyal yang masuk ke
otak, menghambat respon emosi dan kontrol diri secara sadar. Peningkatan
memori kerja juga berperan dalam proses inhibisi dan kontrol diri yang dilakukan
oleh korteks prefrontal (Beauregard, 2011; McNamara, 2011).
Dengan adanya fungsi korteks prefrontal yang baik, maka seorang manusia
akan mampu untuk mempertahankan fokus dan perhatian terhadap tugas-tugas
tertentu. Semakin banyak memori kerja yang terekam di dalamnya maka seseorang
akan semakin terfokus pula pada fungsi kognitif dan inhibisi (Beauregard, 2011;
Kapogiannis et al.,2009).
Perilaku ritual yang berulang-ulang, yang dilakukan secara sadar, akan
meningkatkan fokus dan perhatian seseorang terhadap perilaku tersebut.
Sehingga pembiasaan perilaku tertentu yang dilakukan secara terus-menerus
akan mampudisimpan oleh korteks prefrontal sebagai suatu memori kerja, yang
nantinya akan lebih memberikan kontrol terhadap perilaku manusia. Beberapa
hukti juga mengatakan bahwa perilaku ritual berkelompok yang dilakukan pada
kelompok kelompok tradisional menimbulkan suatu solidaritas dan meningkatkan
hubungan antara anggota kelompok, dimana hubungan tersebut memerlukan
kontrol diri, perhatian yang terfokus serta inhibisi terhadap respon prepoten
(Beauregard, 2011; McNamara, 2011).

Aksis Hipotalamus Pituitari Adrenal (HPA)


Aksis ini terdiri dari hipotalamus, kelenjar pituitari atau hipofisis dan
kelenjar adrenal (korteks adrenal). Aksis HPA memegang peranan penting
dalam beradaptasi terhadap stres baik stres eksternal maupun internal.
Ketika berespon terhadap ketakutan, marah, cemas, dan hal-hal yang tidak
menyenangkan dapat terjadi peningkatan aktivitas aksis HPA (Beauregard,
2011).
Kortisol mempunyai efek umpan balik negatif yang sifatnya langsung
terhadap hipotalamus untuk menurunkan CRF, dan kelenjar hipofisis
anterior untuk menurunkan ACTH. Namun jika stresor ada secara terus-
menerus, maka mekanisme umpan balik ini tidak akan mampu lagi
menekan sekresi CRF maupun ACTH sehingga aktivitas pada aksis HPA ini
akan meningkat terus. Bila peningkatan aktivitas ini terus terjadi sehingga
produksi kortisol terus meningkat, dapat merusak sel-sel neuron di
hipotalamus sehingga terjadi atrofi hipotalamus, dan akibatnya bisa
muncul gangguan kognitif (Beauregard, 2011; Kapogiannis et al.,2009).

Pikiran Mempengaruhi Tubuh


Teori etiologi faktor stres menyatakan bahwa stres yang
berkepanjangan dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang
menghasilkan gangguan fisik. Setiap orang mempunyai organ syok yang
secara genetis rentan terhadap stres: beberapa pasien merupakan
pembangkit jantung, lainnya pembangkit lambung, dan lainnya pembangkit
kulit. Orang yang khawatir atau sedih berkepanjangan lebih rentan
terhadap penyakit fisik atau psikosomatis (Sadock dan Sadock, 2005).
Respons neurotransmiter terhadap stres mengaktivasi sistem
noradrenergik di otak, tepatnya di locus ceruleus, menyebabkan pelepasan
katekolamin dari sistem saraf otonom. Stres juga mengaktivasi sistem
serotonergik di otak. Demikian pula, stresmeningkatkan neurotransmisi
dopaminergik pada jalur mesofrontal. Respons endokrin terhadap stres
mengaktivasi hipotalamus mengeluarkan CRF ke dalam sistem
hypophysial-pituitary-portal. CRF mencetuskan pelepasan ACTH yang
merangsang pembuatan dan pelepasan glukokortikoid di korteks adrenal.
Respons sistem imun terhadap stres dapat berupa peningkatan aktivitas
sistem imun melalui pelepasan faktorimun humoral namun perlu diingat
bahwa sistem imun juga dipengaruhi glukokortikoid yang menghambat
sistem imun dan adanya jalur neuron norepinefrin yang bersinaps di sel
target imun (Noorhana, 2010).
Penjelasan dari sistem regulasi fungsional, seperti sistem saraf-
hormon-imunyang menghubungkan pikiran dan tubuh, adalah tema yang
penting dalam kedokteran psikosomatis. Sama dengan hal itu, penting juga
untuk menjelaskan bagaimana dan apa bentuk dari ketidakseimbangan atau
distorsi faktor "psikis-perilaku", seperti kebiasaan hidup harian yang tidak
adekuat dan cara coping stress yang tidak sesuai, telah mempengaruhi
kemungkinan untuk atau berlanjutnya suatu penyakit. Hal ini selanjutnya
meliputi pendekatan sosial-budaya yang bersifat epidemiologis, tidak hanya
memfokuskan secara tunggal pada aspek psikologis atau perilaku (Komaki
et al., 2009).
Gangguan spesifik yang terjadi pada gangguan psikosomatik, antara
lain:
a. Sistem gastrointestinal: gastroeusophageal reflux disease, ulkus
peptikum, kolitis ulserativa, Crohn's disease;
b. Sistem kardiovaskular: penyakit jantung koroner, valvular heart
disease and anxiety disorders, coronary artery bypass graft surgery,
hipertensi, vasovagal syncope, cardiovascular presentations of
psychiatric disorders;
c. Sistem pernapasan: asma bronkial, sindroma hiperventilasi;
d. Sistem endokrin: hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes;
e. Gangguan adrenal: hiperkortisolisme (Cushing's syndrome),
hiperprolaktinemia;
f. Gangguan kulit: dermatitis atopik, psoriasis, ekskoriasi psikogenik,
localized pruritus, hiperhidrosis;
g. Sistem muskuloskeletal: rheumatoid arthritis, systemic lupus
erythematosus, low back pain, fibromialgia;
h. Nyeri kepala: migraine (vascular) and cluster headache,
tension(muscle contraction) headache.

Kedokteran psikosomatis melakukan pengobatan dan penelitian


empat kelompok pasien (kadang merujuk pada sebagai penyakit medis
kompleks), yaitu:
a. Pasien dengan komorbid psikiatri dan penyakit medis umum saling
komplikasi dalam penanganannya;
b. Pasien dengan gangguan psikiatri yang mempunyai konsekuensi
langsung pada kondisi medis utama atau penanganannya, seperti
delirium, demensia, atau gangguan mental sekunder (secara formal
dikenal sebagai gangguan organik);
c. Pasien dengan perilaku sakit yang kompleks seperti gangguan
somatoform dan fungsional;
d. Pasien dengan psikopatologi akut pada unit medis-bedah, seperti
setelah percobaan bunuh diri. Banyak dari pasien ini memiliki
gangguan multipel medis, psikiatri, fungsional, dan/atau
penyalahgunaan zat (Lyketsos et al., 2006).

Teknik diagnosis yang digunakan dalam kedokteran psikosomatis


telah mengalami kemajuan yang drastis, dibuktikan oleh penelitan terbaru
dalam ilmu saraf, genetik, dan perilaku. Melalui pengalaman empiris
didukung oleh bukti ilmiah,kedokteran psikosomatis akan berkembang lebih
jauh untuk tujuan praktek kedokteran berdasarkan konsep manusia secara
holistik (Komaki et al., 2009).

Psikoneuroimunologi pada Bipolar

Faktor Biologis

Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenik seperti


asam 5-hidroksiindolasetat (5-HIAA), asam homovanilat (HVA), dan 3-metoksi-4-
hidroksifenilglikol (MHPG)- di dalam darah, urine, dan cairan serebrospinalis pasin
dengan gangguan mood. Laporan data ini paling konsisten dengan hipotesis bahwa
gangguan mood disebabkan oleh disregulasi heterogen amin biogenik.

Amin Biogenik
Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin adalah dua neurotransmitter yang
paling terkait di dalam patofisiologi gangguan mood.

Norepinefrin
Hubungan yang diajukan oleh penelitian ilmu pengetahuan dasar antara
downregulation reseptor -adrenergik dan respons antidepresan klinis mungkin adalah
satu potongan data yang paling menakjubkan yang menunjukkan peranan langsung
terhadap sistem noradrenergik pada depresi. Bukti lain, adanya keterlibatan reseptor
prasinaps 2-adrenergik pada depresi, aktivasi reseptor ini menimbulkan penurunan
jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Reseptor prasinaps 2-adrenergik juga terletak
pada neuron serotonergik serta mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Obat
antidepresan yang secara klinis efektif dengan efek noradrenergik contohnya, sertralin
(Effexor)- merupakan dukungan lebih lanjut terhadap peranan norepinefrin di dalam
patofisiologi setidaknya pada beberapa gejala depresi.
Serotonin
Dengan pengaruh besar yang dihasilkan inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI,
selective serotonin reuptake inhibitors) pada terapi depresi-contohnya fluoxetin
(Prozac)- serotonin telah menjadi neurotransmitter amin biogenik yang paling lazim
dikaitkan dengan depresi. Identifikasi banyak subtipe reseptor serotonin juga telah
meningkatkan kegairahan di dalam komunitas riset mengenai perkembangan terapi
depresi, data lain menunjukkan bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi depresi.
Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan impuls
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit yang rendah di dalam cairan serebrospinal
serta konsentrasi tempat uptake serotonin yang rendah pada trombosit.

Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan. Peristiwa kehidupan dengan stressful
sering mendahului episode pertama, dibandingkan episode berikutnya. Ada teori yang
mengemukakan adanya stres sebelum episode pertama menyebabkan perubahan
biologi otak yang bertahan lama. Perubahan ini menyebabkan perubahan berbagai
neurotransmitter dan sistem sinyal intraneuron. Termasuk hilangnya beberapa neuron
dan penurunan kontak sinap. Dampaknya, seorang individu berisiko tinggi mengalami
episode berulang gangguan mood, sekalipun tanpa stresor dari luar. Stresor
lingkungan paling sering berhubungan dengan kejadian episode depresi adalah
kehilangan pasangan. Faktor risiko lain adalah kehilangan pekerjaan.
Faktor kepribadian. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsif,
histrionik dan ambang, berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan
gangguan kepribadian paranoid atau antisosial. Pasien dengan gangguan distimik dan
siklotimik berisiko tinggi menjadi gangguan depresi berat. Peristiwa stresful
merupakan prediktor terkuat untuk kejadian episode depresi. Riset menunjukkan
bahwa pasien yang mengalami stresor akibat tidak adanya kepercayaan diri lebih
sering mengalami depresi. (Buku Ajar Psikiatri FK UI, 2010).

Faktor psikoneuroimunologi
Hubungan sistem imun dengan gangguan mood berdasarkan dua arah: 1) bahwa
adanya bukti perilaku sakit (illness behaviour) seperti penurunan nafsu makan,
kelelahan,somnolensi seperti pada gangguan mood berhubungan dengan perubahan
fungsi imunitas dan 2) berbagai gangguan medis dan pengobatan yang meregulasi
fungsi imunitas berhubungan dengn gejala psikiatrik. Beberapa data menunjukkan
bahwa sitokin menginduksi gejala mirip depresi.
Sitokin mungkin menginduksi atau mempercepat depresi melalui beberapa
mekanisme termasuk terganggunya sintesis serotonin, penurunan dopamin, aksis
HPA, dan efek plastisitasnya serta mengganggu neurogenesis.
Faktor genetik
Studi keluarga, studi anak kembar dan studi anak adopsi dari gangguan bipolar dan
gangguan depresi unipolar pada umumnya menunjukkan risiko mendasar dari
komponen yang dapat diturunkan, dimana gangguan bipolar mempunyai sifat
menurun yang tinggi dibandingkan depresi unipolar berulang. Berdasarkan berbagai
studi tentang gangguan bipolar didapatkan banyak daerah dari genoe yang terlibat,
seperti 18p11,18q22, 12q24, 21q21, 13q32, 4p15, 4q32, 16p12, 8q24, 22q11,
sedangkan gangguan unipolar hanya beberapa genome dan masih memerlukan
konfirmasi data.
Perspesktif Sosial dan Kultural Gangguan Mood
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mood meningkat tajam
dalam abad ke-20. Nampaknya ada indikasi perubahan pada konstitusi genetik dari
masing-masing populasi di samping adanya perubahan lingkungan termasuk
perubahan sosial, harapan, dan peran dalam masyarakat. Lingkungan sosial
memegang peran sebagai faktor risiko gangguan mood dalam hal terjadinya,
perjalanannya, dan pengobatan penyakit.
Paparan terhadap pengalamann kehidupan yang penuh tekanan (stresful) penting
dalam meningkatkan risiko terjadinya gangguan mood. Pengalaman kehidupan yang
stressful dibagi dalam kejadian stresor akut dan kronis. Stresor akuta dalah nyata,
jelas, terlihat saat ini. Stresor kronis dapat dibagi menjadi: mayor, yang berhubungan
dengan peran, dan minor, adalah stresor iritasi dari kejadian-kejadian kecil sehari-
sehari.
Stresor kehidupan masa kecil meningktakan risiko gangguan mood, terutama
pelecehan masa kanak, kehilangan dan ketidakoptimalan pengasuhan ibu pada masa
kanak. Stresor makro adalah stresor dalam skala besar dan berhubungan dengan
sistem dalam masyarakat, misalnya perubahan ekonomi dan resesi ekonomi. Ada 2
kelas faktor kerentanan: pertma, faktor psikologis seperti kurangnya harga diri atau
kepercayaan diri dan adanya anxietas dan depresi subklinis yang kronis; kedua, faktor
lingkungan yang negatif berhubungan dengan kualitas hubungan sosial di rumah atau
tidak adanya hubungan dekat dengan seseorang secara rutin. Kedua faktor ini juga
berhubungan satu dengan yang lainnya secara kompleks.
Peran dan pengaruh kultural yang berkaitan dengan gangguan mood terjadi pada
pengistilahan perasaan dan penyakit, ekspresi perasaa secara fisik dan verbal,
pengaruh kepercayaan dan agama terhadap pemahaman, perjalanan penyakit,
penanganan dan kepatuuhan berobat. (Maramis, 2009).

You might also like