Professional Documents
Culture Documents
Gambar 1. Patofisiologi Stres Ditinjau dari Sistem Saraf dan Sistem Imun
Reaksi psikologis-fisik dan neurobiologis yang aktif oleh stres yang hebat,
reaksi menghindar atau bertarung akan tertanam secara mendalam di otak dan
tidak mudah untuk dihapuskan. Teknik menenangkan dibutuhkan untuk
mencegah kepanikan dan sebagai terapi. Diberikan psiko-edukasi untuk
mengajarkan reaksi adaptif yang normal. Pengobatan sering digunakan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejalaselama fase akut. Membantu untuk
tidur lelap penting karena kurang tidur mengurangi toleransi terhadap stres
(Heir et al., 2008).
Orang dengan trauma psikologis lebih peka terhadap situasi yang
tidak dapat mereka kontrol. Penting memberikan perasaan dapat menguasai
keadaan, apakah secara nyata atau persiapan. Konsep teori yang berguna
seperti memantapkan respons positif, harapan untuk pulih kembali dan
keberhasilan. Hal ini dapat dicapai melalui pemulihan kepercayaan diri
dengan dukungan dari sekitarnya sehingga dapat mengendalikan pikiran,
emosi dan perilaku (Heir et al., 2008).
Korteks Prefrontal
Lobus frontalis adalah bagian dari sistem saraf pusat manusia yang banyak
berperan dalam perilaku yang berulang atau ritual, memori kerja dan dalam
konteks inhibisi terhadap respon prepoten. Area yang paling bertanggung jawab
pada fungsi ini adalah dorsolateral prefrontal cortex (dlPFC) dan anterior
cingulated cortex (ACC), yang merupakan pusat dari memori kerja, perhatian dan
konsentrasi, serta kemampuan untuk melakukan tindakan yang bertujuan. Fungsi
inhibisi juga didapatkan pada dlPFC dan ACC. Dorsolateral prefrontal cortex
(dlPFC) secara khusus berfungsi untuk menyaring sinyal-sinyal yang masuk ke
otak, menghambat respon emosi dan kontrol diri secara sadar. Peningkatan
memori kerja juga berperan dalam proses inhibisi dan kontrol diri yang dilakukan
oleh korteks prefrontal (Beauregard, 2011; McNamara, 2011).
Dengan adanya fungsi korteks prefrontal yang baik, maka seorang manusia
akan mampu untuk mempertahankan fokus dan perhatian terhadap tugas-tugas
tertentu. Semakin banyak memori kerja yang terekam di dalamnya maka seseorang
akan semakin terfokus pula pada fungsi kognitif dan inhibisi (Beauregard, 2011;
Kapogiannis et al.,2009).
Perilaku ritual yang berulang-ulang, yang dilakukan secara sadar, akan
meningkatkan fokus dan perhatian seseorang terhadap perilaku tersebut.
Sehingga pembiasaan perilaku tertentu yang dilakukan secara terus-menerus
akan mampudisimpan oleh korteks prefrontal sebagai suatu memori kerja, yang
nantinya akan lebih memberikan kontrol terhadap perilaku manusia. Beberapa
hukti juga mengatakan bahwa perilaku ritual berkelompok yang dilakukan pada
kelompok kelompok tradisional menimbulkan suatu solidaritas dan meningkatkan
hubungan antara anggota kelompok, dimana hubungan tersebut memerlukan
kontrol diri, perhatian yang terfokus serta inhibisi terhadap respon prepoten
(Beauregard, 2011; McNamara, 2011).
Faktor Biologis
Amin Biogenik
Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin adalah dua neurotransmitter yang
paling terkait di dalam patofisiologi gangguan mood.
Norepinefrin
Hubungan yang diajukan oleh penelitian ilmu pengetahuan dasar antara
downregulation reseptor -adrenergik dan respons antidepresan klinis mungkin adalah
satu potongan data yang paling menakjubkan yang menunjukkan peranan langsung
terhadap sistem noradrenergik pada depresi. Bukti lain, adanya keterlibatan reseptor
prasinaps 2-adrenergik pada depresi, aktivasi reseptor ini menimbulkan penurunan
jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Reseptor prasinaps 2-adrenergik juga terletak
pada neuron serotonergik serta mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Obat
antidepresan yang secara klinis efektif dengan efek noradrenergik contohnya, sertralin
(Effexor)- merupakan dukungan lebih lanjut terhadap peranan norepinefrin di dalam
patofisiologi setidaknya pada beberapa gejala depresi.
Serotonin
Dengan pengaruh besar yang dihasilkan inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI,
selective serotonin reuptake inhibitors) pada terapi depresi-contohnya fluoxetin
(Prozac)- serotonin telah menjadi neurotransmitter amin biogenik yang paling lazim
dikaitkan dengan depresi. Identifikasi banyak subtipe reseptor serotonin juga telah
meningkatkan kegairahan di dalam komunitas riset mengenai perkembangan terapi
depresi, data lain menunjukkan bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi depresi.
Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan impuls
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit yang rendah di dalam cairan serebrospinal
serta konsentrasi tempat uptake serotonin yang rendah pada trombosit.
Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan. Peristiwa kehidupan dengan stressful
sering mendahului episode pertama, dibandingkan episode berikutnya. Ada teori yang
mengemukakan adanya stres sebelum episode pertama menyebabkan perubahan
biologi otak yang bertahan lama. Perubahan ini menyebabkan perubahan berbagai
neurotransmitter dan sistem sinyal intraneuron. Termasuk hilangnya beberapa neuron
dan penurunan kontak sinap. Dampaknya, seorang individu berisiko tinggi mengalami
episode berulang gangguan mood, sekalipun tanpa stresor dari luar. Stresor
lingkungan paling sering berhubungan dengan kejadian episode depresi adalah
kehilangan pasangan. Faktor risiko lain adalah kehilangan pekerjaan.
Faktor kepribadian. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsif,
histrionik dan ambang, berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan
gangguan kepribadian paranoid atau antisosial. Pasien dengan gangguan distimik dan
siklotimik berisiko tinggi menjadi gangguan depresi berat. Peristiwa stresful
merupakan prediktor terkuat untuk kejadian episode depresi. Riset menunjukkan
bahwa pasien yang mengalami stresor akibat tidak adanya kepercayaan diri lebih
sering mengalami depresi. (Buku Ajar Psikiatri FK UI, 2010).
Faktor psikoneuroimunologi
Hubungan sistem imun dengan gangguan mood berdasarkan dua arah: 1) bahwa
adanya bukti perilaku sakit (illness behaviour) seperti penurunan nafsu makan,
kelelahan,somnolensi seperti pada gangguan mood berhubungan dengan perubahan
fungsi imunitas dan 2) berbagai gangguan medis dan pengobatan yang meregulasi
fungsi imunitas berhubungan dengn gejala psikiatrik. Beberapa data menunjukkan
bahwa sitokin menginduksi gejala mirip depresi.
Sitokin mungkin menginduksi atau mempercepat depresi melalui beberapa
mekanisme termasuk terganggunya sintesis serotonin, penurunan dopamin, aksis
HPA, dan efek plastisitasnya serta mengganggu neurogenesis.
Faktor genetik
Studi keluarga, studi anak kembar dan studi anak adopsi dari gangguan bipolar dan
gangguan depresi unipolar pada umumnya menunjukkan risiko mendasar dari
komponen yang dapat diturunkan, dimana gangguan bipolar mempunyai sifat
menurun yang tinggi dibandingkan depresi unipolar berulang. Berdasarkan berbagai
studi tentang gangguan bipolar didapatkan banyak daerah dari genoe yang terlibat,
seperti 18p11,18q22, 12q24, 21q21, 13q32, 4p15, 4q32, 16p12, 8q24, 22q11,
sedangkan gangguan unipolar hanya beberapa genome dan masih memerlukan
konfirmasi data.
Perspesktif Sosial dan Kultural Gangguan Mood
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mood meningkat tajam
dalam abad ke-20. Nampaknya ada indikasi perubahan pada konstitusi genetik dari
masing-masing populasi di samping adanya perubahan lingkungan termasuk
perubahan sosial, harapan, dan peran dalam masyarakat. Lingkungan sosial
memegang peran sebagai faktor risiko gangguan mood dalam hal terjadinya,
perjalanannya, dan pengobatan penyakit.
Paparan terhadap pengalamann kehidupan yang penuh tekanan (stresful) penting
dalam meningkatkan risiko terjadinya gangguan mood. Pengalaman kehidupan yang
stressful dibagi dalam kejadian stresor akut dan kronis. Stresor akuta dalah nyata,
jelas, terlihat saat ini. Stresor kronis dapat dibagi menjadi: mayor, yang berhubungan
dengan peran, dan minor, adalah stresor iritasi dari kejadian-kejadian kecil sehari-
sehari.
Stresor kehidupan masa kecil meningktakan risiko gangguan mood, terutama
pelecehan masa kanak, kehilangan dan ketidakoptimalan pengasuhan ibu pada masa
kanak. Stresor makro adalah stresor dalam skala besar dan berhubungan dengan
sistem dalam masyarakat, misalnya perubahan ekonomi dan resesi ekonomi. Ada 2
kelas faktor kerentanan: pertma, faktor psikologis seperti kurangnya harga diri atau
kepercayaan diri dan adanya anxietas dan depresi subklinis yang kronis; kedua, faktor
lingkungan yang negatif berhubungan dengan kualitas hubungan sosial di rumah atau
tidak adanya hubungan dekat dengan seseorang secara rutin. Kedua faktor ini juga
berhubungan satu dengan yang lainnya secara kompleks.
Peran dan pengaruh kultural yang berkaitan dengan gangguan mood terjadi pada
pengistilahan perasaan dan penyakit, ekspresi perasaa secara fisik dan verbal,
pengaruh kepercayaan dan agama terhadap pemahaman, perjalanan penyakit,
penanganan dan kepatuuhan berobat. (Maramis, 2009).