You are on page 1of 52

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada zaman Yunani kuno, Emil Kraepelin, seorang psikiater
Jerman, menyebut gangguan afektif bipolar sebagai manik-depresif. la
melihat adanya perbedaan antara manik- depresif dengan skizofrenia.
Awitan manik-depresif tiba-tiba dan perjalanan penyakitnya berfluktuasi
dengan keadaan yang relatif normal di antara episode, terutama di awal-
awal perjalanan penyakit. Sebaliknya, pada skizofrenia, bila tidak diobati,
terdapat penurunan yang progresif tanpa kembali ke keadaan sebelum
sakit. Walaupun demikian, pada keadaan akut kedua penyakit terlihat
serupa yaitu adanya waham dan halusinasi (Amir, 2010).
Bipolaritas artinya pergantian antara episode manik atau
hipomanik dengan depresi. Istilah gangguan bipolar sebenarnya kurang
tepat karena ia tidak selalu merupakan dua emosi yang berlawanan dari
suatu waktu yang berkesinambungan. Kadang-kadang pasien bisa
memperlihatkan dua dimensi emosi yang muncul bersamaan, pada derajat
berat tertentu. Keadaan ini disebut dengan episode campuran. Sekitar 40%
pasien dengan gangguan bipolar memperlihatkan campuran emosi (Amir,
2010).
Gangguan bipolar sering salah atau tidak terdiagnosis. Karena
salah atau tidak terdiagnosis, sehingga pengobatannya sering tidak efektif
sehingga menjadi beban keluarga, disabilitas psikososial jangka panjang,
dan tingginya risiko bunuh diri. Sekitar 20%-50% pasien yang mulanya
didiagnosis sebagai episode depresi mayor unipolar ternyata mengalami
gangguan bipolar (Amir, 2010). Selain itu, gangguan bipolar merupakan
gangguan jiwa yang bersifat episodik dan biasanya rekuren serta dapat
berlangsung seumur hidup. Angka morbiditas dan mortalitasnya cukup
tinggi. Tingginya angka mortalitas disebabkan oleh seringnya terjadi
komorbiditas antara gangguan bipolar dengan penyakit fisik lain,

1
misalnya, dengan diabetes melitus, penyakit jantung koroner, dan kanker.
Komorbiditas dapat pula terjadi dengan penyakit psikiatrik lainnya
misalnya, dengan ketergantungan zat dan alkohol yang juga turut
berkontribusi dalam meningkatkan mortalitas. Selain itu, tingginya
mortalitas juga dapat disebabkan oleh bunuh diri. Menurut Perhimpunan
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) tahun 2010, sekitar
25% penderita gangguan bipolar pemah melakukan percobaan bunuh diri,
paling sedikit satu kali dalam kehidupannya.
Gangguan bipolar merupakan penyakit yang diwariskan. Kerabat
tingkat pertama pasien dengan gangguan bipolar memiliki pengaruh
signifikan terhadap gangguan mood daripada kerabat yang tidak menderita
gangguan psikis. Selain genetik, lingkungan dan gaya hidup dapat
berdampak pada tingkat keparahan dan perjalanan penyakit (American
Psychiatry Assosiasion, 2002). Oleh karena itu, penting bagi penulis untuk
meninjau hubungan aspek psikoneuroimunologi terhadap gangguan afektif
bipolar.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi mood dan afek?
2. Apa saja gangguan mood dan afek?
3. Bagaimana penegakan diagnosis gangguan afektif episode manik?
4. Bagaimana penegakan diagnosis gangguan afektif episode depresif?
5. Apa yang dimaksud gangguan afektif bipolar?
6. Bagaimana penegakan diagnosis gangguan afektif bipolar?
7. Bagaimana penatalaksanaan gangguan afektif bipolar?
8. Bagaimana tinjauan aspek psikoneuroimunologi pada gangguan
afektif bipolar?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi mood dan afek
2. Mengetahui macam macam gangguan mood dan afek

2
3. Mengetahui cara menegakan diagnosis gangguan afektif episode
manik
4. Mengetahui cara menegakan diagnosis gangguan afektif episode
depresif
5. Mengetahui definisi gangguan afektif bipolar
6. Mengetahui cara menegakan diagnosis gangguan afektif bipolar
7. Mengetahui tata laksana gangguan afektif bipolar
8. Mengetahui tinjauan aspek psikoneuroimunologi pada gangguan
afektif bipolar

D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Dapat memperkaya informasi dan pengetahuan mengenai
gangguan afektif bipolar ditinjau dari segi psikoneuroimunologi,
sehingga dapat menjadi acuan untuk memberikan pelayanan kesehatan
masyarakat terutama untuk penatalaksanaan gangguan afektif tersebut.
2. Bagi Institusi
Dapat mengukur pengetahuan dan pengalaman mahasiswa
dalam menyusun suatu makalah dengan mengambil dari berbagai
literatur serta dijadikan sebagai referensi pengetahuan tambahan yang
diharapkan dapat dikembangkan kemudian hari.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. MOOD DAN AFEK

1. Definisi
Mood adalah suasana perasaan yang meresap dan menetap
yang dialami secara internal dan yang mempengaruhi perilaku
seseorang dan persepsinya terhadap dunia (Sadock & Sadock, 2010).
Sedangkan gangguan mood dapat diartikan sebagai suatu kelompok
klinis yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan
pengalaman subjektif adanya penderitaan berat (Kaplan et al,
2010). Dapat juga dikatakan sebagai suatu sindrom yang terdiri dari
tanda-tanda dan gejala-gejala yang berlangsung dalam hitungan
minggu hingga bulan yang mempengaruhi fungsi dan pola kehidupan
sehari-hari (Kaplan et al, 1997).
Afek adalah emosi atau perasaan yang ditunjukkan oleh pasien
dan dapat diamati oleh orang lain, jadi merupakan gejala yang
objektif yang dapat dilihat pada saat pemeriksaan psikiatrik. Berbeda
dengan mood yang merupakan pengalaman subjektif yang dilaporkan
oleh pasien (Nuhriawangsa, 2011).
Menurut PPDGJ III, gangguan suasana perasaan (mood dan
afek) merupakan sekelompok penyakit yang bervariasi bentuknya.
Kelainan fundamental dari kelompok gangguan ini adalah perubahan
suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya ke arah depresi, atau ke
arah elasi (suasana perasaan yang meningkat) (Maslim, 2001).

2. Macam-macam Mood
Menurut Nuhriawangsa (2011), mood dapat dibagi menjadi:
a. Mood disforik: keadaan mood tidak senang.

4
b. Mood ekspansif: pernyataan perasaan seseorang tanpa
pengendalian, sering dengan perkiraan yang berlebihan dari makna
atau kepentingannya.
c. Mood mudah marah (peka): mudah terganggu dan menimbulkan
kemarahan.
d. Mood swing (labil): perubahan suasana perasaan emosional antara
euphoria dan depresi atau ansietas.
e. Mood yang meningkat: suasana atau sikap percaya diri dan
kegembiraan; mood lebih gembira dari keadaan normal, tetapi
tidak perlu bersifat patologis.
f. Euforia: kegembiraan yang mendalam dengan perasaan kebesaran.
Perasaan sejahtera fisik maupun emosional yang meningkat yang
bersumber dari faktor psikologis.
g. Elasi: keadaan afek dengan ciri khas eufori, percaya diri, dan
gembira yang diertai kenaikan aktifitas motorik.
h. Eksaltasi: afek yang terdiri dari elasi yang kuat dan perasaan
kebesaran, keagungan dan kemuliaan.
i. Eksultasi: kegembiraan yang meluap luap; suatu terminologi yang
melukiskan keadaan elasi yang berisi kebesaran dan kesombongan.
j. Ekstasi: perasaan gembira (terpesona) yang mendalam. Seperti
keadaan trans, dimana ide-ide keagamaan, pengabdian, dan
penyerahan diri yang sepenuhnya menempati hampir seluruh
bidang kesadaran.
k. Depresi: perasaan sedih yang bersifat psikopatologis. Keadaan
mood yang berkisar antara susah atau tidak gembira tahap rendah
sampai ke kemurungan yang nyata dan keputusasaan.
l. Anhedonia: kehilangan rasa tertarik pada dan menarik diri dari
semua kegiatan biasa dan menyenangkan, sering ada hubungannya
dengan depresi.
m. Berkabung: kesedihan yang sesuai dengan kehilangan yang jelas;
reaksi terhadap kehilangan sesuatu.

5
n. Aleksitimia: ketidakmampuan atau kesulitan dalam
menggambarkan atau mengetahui keadaan emosi atau mood
dirinya.

3. Macam-macam Afek
Menurut Nuhriawangsa (2011), afek dapat dibagi menjadi:
a. Afek serasi: afek yang normal dimana suasana emosional serasi
dengan gagasan, pikiran atau pembicaraan. Individu dengan afek
serasi memiliki tingkah laku dan ekspresi yang sesuai dengan
suasana emosionalnya.
b. Afek tidak serasi: afek yang tidak sesuai antara suasana emosional
dengan gagasan, pikiran atau pembicaraan yang menyertainya.
Individu dengan afek ini tingkah laku dan ekspresinya tidak sesuai
dengan suasana emosional seperti tertawa disaat sedih.
c. Afek tumpul: suatu gangguan afek yang manifestasinya dalam
pengurangan yang berat dari intensitas suasana perasaan yang
ditampilkan. Individu dengan afek ini ekspresi perasaannya sangat
kurang.
d. Afek terbatas: pengurangan intensitas suasana perasaan yang tidak
begitu berat dibandingkan dengan afek tumpul, tetapi jelas
pengurangannya.
e. Afek datar: afek yang tidak ada atau hampir tidak adanya setiap
tanda pernyataan afektif, suara tidak berubah (monoton), wajah
tidak bergerak, respon afektif benar-benar tidak ada , biasanya
terdapat pada skizofrenia.
f. Afek labil: perubahan suasana perasaan emosional yang cepat dan
mendadak, yang tidak ada hubungannya dengan rangsangan dari
luar. Afek berubah dengan cepat antara berbagai keadaan
emosional umpamanya dari menangis-tertawa-marah.

6
B. GANGGUAN MOOD DAN AFEK

1. Etiologi
a. Faktor Biologis
Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh memiliki
peranan yang penting dalam mengendalikan emosi kita. Dalam
otak terdapat substansi biokimiawi yaitu neurotransmitter yang
berfungsi sebagai pembawa pesan komunikasi antar neuron di
otak. Jika neurotransmiter ini berada pada tingkat yang normal,
otak akan bekerja secara harmonis. Berdasarkan riset, kekurangan
neurotransmiter serotonin, norepinefrin dan dopamin dapat
menyebabkan depresi. Di satu sisi, jika neurotransmiter ini berlebih
dapat menjadi penyebab gangguan manik. Selain itu, pengobatan
antidepresan golongan trisiklik juga dapat memicu timbulnya
mania (Lubis, 2009).
b. Faktor Genetik
Seseorang yang memiliki keluarga dengan gangguan mood
memiliki risiko lebih besar menderita gangguan mood daripada
masyarakat pada umumnya. Tidak semua orang yang dalam
keluarganya terdapat anggota keluarga yang menderita depresi
secara otomatis akan terkena depresi, namun diperlukan suatu
kejadian atau peristiwa yang dapat memicu terjadinya depresi.
Pengaruh gen lebih besar pada depresi berat dibandingkan depresi
ringan dan lebih berpengaruh pada individu muda dibanding
individu yang lebih tua (Lubis, 2009). Penelitian oleh Kendler
(1992) dari Departemen Psikiatri Virginia Commonwealth
University menunjukkan bahwa risiko depresi sebesar 70% karena
faktor genetik, 20% karena faktor lingkungan dan 10% akibat
langsung dari depresi berat.
Pada penelitian terhadap beberapa keluarga menunjukkan
bahwa keluarga derajat pertama dari penderita gangguan bipolar I

7
kemungkinan 8 sampai 18 kali lebih besar untuk menderita
gangguan bipolar I dan 2 sampai 10 kali lebih besar untuk
menderita gangguan depresi berat dibanding kelompok kontrol.
Keluarga derajat pertama pasien dengan gangguan depresif berat
kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar untuk menderita
gangguan bipolar I dan 2 sampai 3 kali lebih besar untuk menderita
gangguan depresif berat dibanding kelompok control (Kaplan et
al, 1997).
Kemungkinan untuk menderita gangguan mood menurun
jika derajat hubungan keluarga melebar. Contohnya, keluarga
derajat kedua seperti sepupu lebih kecil kemungkinannya daripada
keluarga derajat pertama seperti kakak misalnya untuk menderita
gangguan mood. Sekitar 50% pasien dengan gangguan bipolar I
memiliki orang tua dengan gangguan mood terutama depresi. Jika
orang tua menderita gangguan bipolar I maka kemungkinan
anaknya menderita gangguan mood sebesar 25%. Jika kedua orang
tua menderita gangguan bipolar I maka kemungkinan anaknya
menderita gangguan mood adalah 50-75% (Kaplan et al, 1997)
c. Faktor Psikososial
Telah lama diamati bahwa peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stress sering mendahului episode pertama pada
gangguan mood. Beberapa klinisi mempercayai bahwa peristiwa
kehidupan memainkan peranan penting dalam depresi (Kaplan et
al, 1997).
Aspek-aspek kepribadian juga mempengaruhi kerentanan
terhadap depresi dan tinggi rendahnya depresi yang dialami
seseorang. Tipe kepribadian tertentu seperti dependen, obsesif-
kompulsif, histerikal, antisosial dan paranoid beresiko mengalami
depresi (Kaplan et al, 1997). Menurut Gordon Parker, seseorang
yang mengalami kecemasan tingkat tinggi, mudah terpengaruh,
pemalu, suka mengkritik diri sendiri, memiliki harga diri yang

8
rendah, hipersensitif, perfeksionis dan memusatkan perhatian pada
diri sendiri (self focused) akan memiliki resiko terkena depresi
(Lubis, 2009).
Sigmund Freud menyatakan suatu hubungan antara
kehilangan objek dengan melankolia. Ia menyatakan bahwa
kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal
karena identifikasi terhadap objek yang hilang. Menurut Melanie
Klein, siklus manik-depresif merupakan pencerminan kegagalan
pada masa kanak-kanak untuk mendapat introjeksi mencintai.
Pasien depresi menderita karena mereka memiliki objek cinta yang
dihancurkan oleh mereka sendiri. Klein memandang mania sebagai
tindakan defensif yang disusun untuk mengidealisasi orang lain,
menyangkal adanya agresi atau destruktivitas terhadap orang lain
dan mengembalikan objek cinta yang hilang (Kaplan et al, 1997).
Seorang peneliti, E Bibring, memandang depresi sebagai
suatu afek yang berasal dari ketegangan dalam ego antara aspirasi
seseorang dengan kenyataan yang ada. Pasien yang terdepresi
menyadari bahwa mereka tidak hidup dengan ideal sehingga
mereka merasa putus asa dan tidak berdaya. Menurut Heinz Kohut,
orang yang terdepresi merasakan suatu ketidaklengkapan dan putus
asa kerena tidak menerima respon yang diinginkan (Kaplan et al,
1997).
Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru dalam
menilai pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimis dan
keputusasaan yang terus-menerus berhubungan dengan depresi.
Pandangan negatif yang terus dipelajari selanjutnya akan
menimbulkan perasaan depresi (Kaplan et al, 1997).

2. Klasifikasi
Menurut PPDGJ III, gangguan suasana perasaan (mood dan afek)
dibagi menjadi:

9
F30 Episode Manik
Kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat, disertai
peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan
mental, dalam berbagai derajat keparahan. Kategori ini hanya
untuk satu episode manik tunggal (yang pertama), termasuk
gangguan afektif bipolar, episode manik tunggal. Jika ada
episode afektif (depresi, manik atau hipomanik) sebelumnya
atau sesudahnya, termasuk gangguan afektif bipolar (F31).
F30.0 Hipomania
Derajat gangguan yang lebih ringan dari mania (F30.1), afek
yang meninggi atau berubah disertai peningkatan aktivitas,
menetap selama sekurang-kurangnya beberapa hari berturut-
turut, pada suatu derajat intensitas dan yang bertahan melebihi
apa yang digambarkan bagi siklotimia (F34.0), dan tidak
disertai halusinasi atau waham.
Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial
memang sesuai dengan diagnosis hipomania, akan tetapi bila
kakacauan itu berat atau menyeluruh, maka diagnosis mania
(F30.1 atau F30.2) harus ditegakkan.
F30.1 Mania Tanpa Gejala Psikotik
Episode harus berlangsung sekurang-kurangnya 1 minggu, dan
cukup berat sampai mengacaukan seluruh atau hampir seluruh
pekerjaan dan aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
Perubahan afek harus disertai dengan energi yang bertambah
sehingga terjadi aktivitas berlebihan, percepatan dan
kebanyakan bicara, kebutuhan tidur yang berkurang, ide-ide
perihal kebesaran/ grandiose ideas dan terlalu optimistik.
F30.2 Mania Dengan Gejala Psikotik
Gambaran klinis merupakan bentuk mania yang lebih berat dari
F30.1 (mania tanpa gejala psikotik).

10
Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat
berkembang menjadi waham kebesaran (delusion of grandeur),
irritabilitas dan kecurigaan menjadi waham kejar (delusion of
persecution). Waham dan halusinasi sesuai dengan keadaan
afek tersebut (mood congruent).
F30.8 Episode Manik Lainnya
F30.9 Episode Manik YTT

F31 Gangguan Afektif Bipolar


Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (sekurang-
kurangnya dua episode) dimana afek pasien dan tingkat
aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari
peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktivitas
(mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan
afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi).
Yang khas adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna
antar episode. Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba
dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, episode
depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar 6
bulan) meskipun jarang melebihi 1 tahun kecuali pada orang
usia lanjut. Kedua macam episode itu seringkali terajadi setelah
peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma mental lain
(adanya stres tidak esensial untuk penegakan diagnosis).
Termasuk: gangguan atau psikosis manik-depresif.
Tidak termasuk: gangguan bipolar, episode manik tunggal
(F30).
F31.0 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Hipomanik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk hipomania
(F30.0); dan

11
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain
(hipomanik, manik, depresif atau campuran) di masa
lampau.
F31.1 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Tanpa Gejala
Psikotik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk
mania tanpa gejala psikotik (F30.1); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain
(hipomanik, manik, depresif atau campuran) di masa
lampau.
F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Dengan Gejala
Psikotik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk
mania dengan gejala psikotik (F30.2); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain
(hipomanik, manik, depresif atau campuran) di masa
lampau.
F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Ringan atau
Sedang
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif ringan (F32.0) ataupun sedang (F32.1);
dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif
hipomanik, manik atau campuran di masa lampau.
F31.4 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat Tanpa
Gejala Psikotik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:

12
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif
hipomanik, manik atau campuran di masa lampau.
F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat
Dengan Gejala Psikotik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif
hipomanik, manik atau campuran di masa lampau.
F31.6 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Campuran
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang menunjukkan gejala-gejala manik,
hipomanik, dan depresif yang tercampur atau bergantian
dengan cepat (gejala mania/ hipomania dan depresi sama-
sama mencolok selama masa terbesar dari episode penyakit
yang sekarang, dan telah berlangsung sekurang-kurangnya
2 minggu); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif
hipomanik, manik, atau campuran di masa lampau.
F31.7 Gangguan Afektif Bipolar Episode Kini Dalam Remisi
Sekarang tidak menderita gangguan afektif yang nyata selama
beberapa bulan terakhir ini, tetapi pernah mengalami sekurang-
kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik, atau
campuran dimasa lampau dan ditambah sekurang-kurangnya
satu episode afektif lain (hipomanik, manik, depresif atau
campuran).
F31.8 Gangguan Afektif Bipolar Lainnya
F31.9 Gangguan Afektif Bipolar YTT

13
F32 Episode Depresif
Gejala utama ( pada derajat ringan, sedang, dan berat ):
Afek depresif
Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit
saja) dan menurunnya aktivitas
Gejala lainnya :
(a) Kosentrasi dan perhatian berkurang
(b) Harga diri dan kepercayaan berkurang
(c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
(d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
(e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri sendiri atau
bunuh diri.
(f) Tidur terganggu
(g) Nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut
diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk
penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat
dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang
(F32.1) dan berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode
depresi tunggal (yang pertama). Episode depresif berikutnya
harus diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang (F33.-)
F32.0 Episode Depresif Ringan
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
seperti tersebut diatas;
Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: (a) sampai
dengan (g).

14
Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya
sekitar 2 minggu.
Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial
yang biasa dilakukannya.
Karakter kelima: F32.00 = Tanpa gejala somatik
F32.01 = Dengan gejala somatik
F32.1 Episode Depresif Sedang
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
seperti pada episode depresi ringan (F30.0);
Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainnya;
Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2
minggu.
Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
Karakter kelima: F32.10 = Tanpa gejala somatik
F32.11 = Dengan gejala somatik
F32.2 Episode Depresif Berat Tanpa gejala Psikotik
Semua 3 gejala utama dari depresi harus ada.
Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan
diantaranya harus berintensitas berat.
Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi
psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara
rinci. Dalam hal demikian penilaian secara menyeluruh
terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala sangat berat dan beronset sangat

15
cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis
dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Sangat tidak mungkin bagi pasien meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang
sangat terbatas.
F32.3 Episode Depresif Berat Dengan Gejala Psikotik
Episode Depresi Berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2
tersebut diatas.
Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham
biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan, atau
malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggung
jawab akan hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau
kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang
berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau
halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi
dengan afek (mood congruent).
F32.8 Episode Depresif Lainnya
F32.9 Episode Depresif YTT

F.33 Gangguan Depresif Berulang


Gangguan ini bersifat dengan episode berulang dari :
Episode depresif ringan (F32.0)
Episode depresif sedang (F32.1)
Episode depresif berat(F32.2 dan F32.3)
Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan akan
tetapi frekuensinya lebih jarang dibandingkan dengan
gangguan bipolar.
Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian afek
dan hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan
F30.2) Namun kategori ini tetap harus digunakan jika ternyata

16
ada episode singkat dari peninggian afek dan hiperaktivitas
ringan yang memenuhi kriteria hipomania (F30.0) segera
sesudah suatu episode depresi (kadang-kadang tampaknya
dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi).
Pemulihan keadaan biasanya sempurna di antara episode,
namun sebagian kecil penderita mungkin mendapat depresi
yang akhirnya menetap, terutama pada lanjut usia (untuk
keadaan ini, kategori ini harus tetap digunakan).
Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan,
seringkali dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh
stres atau trauma mental lain (adanya stres tidak esensial untuk
penegakkan diagnosisi)
Diagnosis banding : Episode depresi singkat berulang (F38.1).

F33.0 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Ringan


Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33) harus
dipenuhi dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresi ringan (F32.0)
Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter Kelima : F.33.00 = Tanpa gejala somatik
F.33.01 = Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang
Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33) harus
dipenuhi dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresi sedang (F32.0).
Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.

17
F33.2 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang tanpa
Gejala Psikotik
Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33,-) harus
dipenuhi dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresi berat tanpa gejala psikotik (F32.2).
Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
F33.3 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang dengan
Gejala Psikotik
Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33,-) harus
dipenuhi dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3)
Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
F33.4 Gangguan Depresif Berulang, Kini dalam Remisi
Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33,-) harus
dipenuhi dan episode sekarang seharusnya tidak memenuhi
kriteria untuk episode depresi dengan derajat keparahan
apapun atau gangguan lain apapun dalam F30 F39
Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
F33.8 Gangguan Depresif Berulang Lainnya
F33.9 Gangguan Depresif Berulang YTT

F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood [Afektif]) Menetap


F34.0 Siklotimik
Ketidakstabilan menetap dari afek (suasana perasaan) meliputi
banyak periode depresi ringan dan hipomania ringan,

18
diantaranya tidak ada yang cukup parah atau cukup lama untuk
memenuhi kriteria afektif bipolar (F31.-) atau gangguan
depresi berulang (F33.-)
Setiap episode alunan afektif (mood swing) tidak memenuhi
kriteria untuk kategori manapun yang disebut dalam episode
manik (F30.-) atau episode depresi (F32.-)
Diagnosis Banding : Gangguan afektif bipolar (F31.-)
Gangguan depresi berulang(F33.-)
F34.1 Distimik
Afek depresi yang berlangsung sangat lama, yang tidak pernah
atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi kriteria
gangguan depresi berulang ringan atau sedang (F33.0/ F33.1).
Biasanya mulai dari usia dini dari masa dewasa dan
berlangsung sekurang-kuarngnya beberapa tahun, kadang
untuk jangka waktu tidak terbatas. Jika onset pada usia lebih
lanjut, gangguan ini seringkali merupakan kelanjutan dari
suatu episode depresif tersendiri (F32.) dan berhubungan
dengan masa berkabung atau stres lainnya yang nampak jelas.
F34.8 Gangguan Afektif Menetap Lainnya
Kategori sisa untuk gangguan afektif menetap yang tidak
cukup parah atau tidak berlangsung cukup lama untuk
memenuhi kriteria siklotimia (34.0) atau distimia (34.1),
namun secara klinis bermakna.
F34.9 Gangguan Afektif Menetap YTT

F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood [Afektif]) Lainnya


F38.0 Gangguan Afektif Tunggal Lainnya
F38.00 = Episode afektif campuran.
Episode afektif yang berlangsung sekurang-kurangnya selama
2 minggu yang bersifat campuran atau pergantian cepat

19
(biasanya dalam beberapa jam) antara gejala hipomanik,
manik, dan depresif.
F38.1 Gangguan Afektif Berulang Lainnya
F38.10 = Gangguan depresif singkat berulang
Episode depresif singkat yang berulang, muncul kira-kira
sekali sebulan selama satu tahun yang lampau.
Semua episode depresif masing-masing berlangsung kurang
dari 2 minggu (yang khas ialah 2-3 hari, dengan pemulihan
sempurna) tetapi memenuhi kriteria simtomatik untuk episode
depresif ringan, sedang, atau berat (F32.0, F32.1, F32.2).
F38.8 Gangguan Afektif Lainnya YDT
F38.9 Gangguan Afektif YTT

C. EPISODE MANIK

1. Definisi
Kelainan fundamental dari kelompok gangguan ini adalah
perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi,
atau ke arah elasi (suasana perasaan yang meningkat).

2. Epidemiologi
Serangan pertama muncul pada rentang usia 15 sampai 30
tahun, tetapi pada umumnya bisa muncul pada berbagai usia dari masa
kanak-kanak hingga dekade 7 atau 8. Prevalensi terjadinya mania 0,1%
terjadi di atas usia 65 tahun, 1,4% dapat terjadi dalam kelompok usia
18-44 tahun. Mania dapat terjadi pada usia tua (rata-rata usia 55 tahun)
dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki 2:1.

3. Etiologi
Dasar umum untuk gangguan ini tidak diketahui. Penyebabnya
merupakan interaksi antara faktor biologis, faktor genetik dan faktor

20
psikososial.
Genetika. Pola penurunan genetika terjadi melalui mekanisme
yang kompleks. Penelitian kembar menunjukkan angka kesamaan
sebesar 70% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot.
Insiden dalam masyarakat umum sebesar 1% dan dalam keluarga
tingkat pertama 10-15%. Jenis transmisinya kemungkinan poligenik,
mengarah ke berbagai tingkat predisposisi. Penyakit bipolar dan
unipolar bersifat menurun.
Biokimia. Biokimia dari kelainan afektif tetap tidak diketahui,
walaupun dua hipotesis tentang senyawa amina menghasilkan banyak
penyelidikan selama bertahun-tahun. Hipotesis katekolamin
menyatakan bahwa setidaknya beberapa penyakit mania mungkin
berhubungan dengan kelebihan katekolamin di dalam otak. Hipotesis
indolamina juga membuat pernyataan serupa untuk 5 hydroxytriptamin
(5HT). Metabolit utamanya asam 5-hydroxyindoleacetic acid (5
HIAA). Kelainan metabolit amin biogenik seperti 5-
hydroxyindoleacetic acid (5 HIAA), homovanillic acid (HVA), 3-
metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG) dalam darah, urin, dan cairan
cerebrospinal dilaporkan ditemukan pada pasien.
Biologis. Terjadinya mania secara biologi sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti. Terdapat hipotesis yang menjelaskan bahwa
jumlah neurotransmitter serotonin di lobus temporal mungkin sangat
tinggi sehingga terjadi mania. Dopamin, norepinephrine, glutamate dan
GABA juga mengambil peranan yang penting. Lobus temporal
berperan dalam berbicara, belajar, membaca, asosiasi huruf berisi
amygdala, yang merupakan pusat emosional di otak. Bagian kiri
amygdala lebih aktif pada wanita yang mania dan korteks orbitofrontal
merupakan bagian yang kurang aktif.
Psikososial. Hal ini berhubungan dengan psikis (kejiwaan) dan
keadaan lingkungan sosial seorang penderita mania. Kepribadian
premorbid biasanya menunjukkan adanya gangguan afek yang ringan

21
selama hidupnya. Keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab
eksterna. Kepribadian atau personalitas penderita mania biasanya
berperilaku lebih riang, energitik, dan lebih ramah dari rata-rata.
Penelitian terbaru menemukan bahwa penderita gangguan bipolar
afektif yang menggunakan obat-obatan maupun alkohol, memiliki
onset yang lebih awal dan penyakit yang lebih parah daripada yang
tidak menggunakannya. Para pengguna obat-obatan dan alkohol
tersebut lebih bersifat iritabel dengan mood/perasaan yang mudah
berubah dan lebih resisten terhadap pengobatan serta cenderung
dirawat inap di rumah sakit. Meskipun terdapat perdebatan dalam
perbandingan penggunaan obat-obatan dan alkohol dan terjadinya
gangguan afektif, tetapi secara umum insidens terjadinya gangguan ini
pada pengguna alkohol beberapa kali lebih banyak daripada populasi
lain yang tidak menggunakannya (sekitar 6%-9%).

4. Penatalaksanaan
Antimanik (mood stabilizer) terutama untuk kondisi manik &
pencegahan relaps.
Lithium carbonate

Indikasi : episode mania /depresi. Dosis efektif : 0.6 1.2 mEq/l


dalam plasma (mulai dengan 600 900 mg/hari dosis terbagi).
Efek samping : tremor halus, diare dan muntah, rasa lelah dan
vertigo, ataksia dan tremor kasar, kesadaran menurun, konvulsi,
oligouria dan anuria, edema.
Carbamazepine
Valproic acid

D. EPISODE DEPRESI

1. Definisi

22
Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai
dengan perasaan sedih dan cemas. Gangguan ini biasanya akan
menghilang dalam beberapa hari tetapi dapat juga berkelanjutan yang
dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Depresi merupakan
gangguan mental yang ditandai dengan munculnya gejala penurunan
mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan
tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi
(WHO, 2010).

2. Epidemiologi
Epidemiologi depresi seumur hidup menunjukan prevalensi 7-
12% untuk pria dan 20-25% untuk wanita. Alasan perbedaan angka
prevalensi antara pria dan wanita tidak banyak bisa dijelaskan, tetapi
faktor biologikal dan sosial-budaya juga mempengaruhi. Dilaporkan
terdapat 5-10% prevalensi mayor depresi pada pelayanan kesehatan
primer. Angka prevalensi yang tinggi ini dapat disebabkan kerena
masalah kesehatan pada pasien, seperti, penyakit yang berhubungan
kuat dengan faktor biologikal dan psikologikal sebagai faktor
predisposisi untuk depresi. Insidensi depresi biasanya pada usia
dibawah 40 tahun, episode pertama depresi pada orang tua harus cepat
dievaluasi untuk menyingkirkan penyebab penyakit lain dan efek
pengobatan (Cole et al, 2003).

3. Etiologi
a. Faktor biologis
Banyak penelitian menjelaskan adanya abnormalitas
biologis pada pasien-pasien dengan gangguan mood. Pada
penelitian akhir-akhir ini, monoamine neurotransmitter seperti
norepinefrin, dopamin, serotonin, dan histamin merupakan teori
utama yang menyebabkan gangguan mood (Kaplan et al, 2010).

23
Hubungan norepinefrin dengan gangguan depresi
berdasarkan penelitian dikatakan bahwa penurunan regulasi atau
penurunan sensitivitas dari reseptor 2 adrenergik dan penurunan
respon terhadap antidepressan berperan dalam terjadinya gangguan
depresi. Penurunan jumlah dari serotonin dapat mencetuskan
terjadinya gangguan depresi, dan beberapa pasien dengan
percobaan bunuh diri atau mengakhiri hidupnya mempunyai kadar
cairan cerebrospinal yang mengandung kadar serotonin yang
rendah dan konsentrasi rendah dari uptake serotonin pada platelet
(Kaplan et al, 2010). Penggunaan obat-obatan yang bersifat
serotonergik pada pengobatan depresi dan efektifitas dari obat-
obatan tersebut menunjukkan bahwa adanya suatu teori yang
berkaitan antara gangguan depresi dengan kadar serotonin
(Rottenberg, 2010).
Hormon juga telah lama diperkirakan mempunyai peranan
penting dalam gangguan mood, terutama gangguan depresi. Sistem
neuroendokrin meregulasi hormon-hormon penting yang berperan
dalam gangguan mood, yang akan mempengaruhi fungsi dasar,
seperti gangguan tidur, makan, seksual, dan ketidakmampuan
dalam mengungkapkan perasaan senang. Tiga komponen penting
dalam sistem neuroendokrin yaitu hipotalamus, kelenjar pituitari,
dan korteks adrenal, yang bekerjasama dalam feedback biologis
yang secara penuh berkoneksi dengan sistem limbik dan korteks
serebral (Kaplan et al, 2010).
b. Faktor Genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor
genetik yang signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood
tetapi pola pewarisan genetik terjadi melalui mekanisme yang
kompleks. Tidak hanya menyingkirkan pengaruh psikososial tetapi
faktor non genetik mungkin memiliki peranan kausatif didalam
timbulnya gangguan mood pada beberapa orang. Komponen

24
genetik memiliki peranan yang bermakna di dalam gangguan
bipolar daripada gangguan depresi berat.
c. Faktor Psikososial
Psikososial stessor, khususnya rasa kehilangan, terkadang
menjadi pemicu depresi. Kehilangan orang tua atau pasangan,
putus hubungan, dan kehilangan kepercayaan diri, seperti berhenti
dari pekerjaan. Beberapa klinisi percaya peristiwa dalam
kehidupan berperan pada terjadinya depresi, tetapi yang lain
mengatakan peristiwa dalam kehidupan perannya terbatas dalam
terjadinya depresi. Individu dengan beberapa gangguan
kepribadian, seperti obsesif-kompulsif, histerionik, dan yang ada
pada garis batasnya, mungkin memiliki resiko yang lebih tinggi
untuk mengalami depresi dari pada orang dengan kepribadian
antisosial atau paranoid. Pada pengertian psikodinamik depresi
dijelaskan oleh Sigmund Freud dan dikembangkan oleh Karl
Abraham yang diklasifikasikan dalam 4 teori: (1) gangguan pada
hubungan bayi dan ibu selama fase oral (10-18 bulan awal
kehidupan) sehingga bisa terjadi depresi; (2) depresi dapat
dihubungkan dengan kehilangan objek secara nyata atau imajinasi;
(3) introjeksi dari kehilangan objek adalah mekanisme pertahanan
dari stress yang berhubungan dengan kehilangan objek tersebut (4)
karena kehilangan objek berkenaan dengan campuran cinta dan
benci, perasaan marah berlangsung di dalam hati (Brent & Lisa,
2008).

4. Penatalaksanaan
Terapi depresi dapat dilakukan secara non farmakologi,
farmakologi ataupun kombinasi keduanya tergantung tingkat keparahan
depresi yang dialami oleh seseorang. Namun, terapi depresi dengan
kombinasi keduanya menunjukkan efikasi yang jauh lebih baik
dibandingkan bila salah satu saja.

25
a. Terapi Non Farmakologi
Rawat inap
Terapi psikososial
Terapi kognitif
Terapi interpersonal
Terapi perilaku
Terapi berorientasi psikoanalitik
Terapi keluarga
b. Terapi Farmakologi
1) Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Mekanisme kerja SSRI adalah menghambat
pengambilan kembali 5-HT (dengan kemampuan tinggi) di pre-
sinaps sehingga meningkatkan jumlah 5-HT yang akan
berikatan dengan reseptor di pasca-sinaps. Obat golongan ini
memiliki efek antikolinergik yang minimal, sehingga lebih
disukai dan menjadi pilihan pertama dalam terapi depresi untuk
pasien-pasien tanpa adanya komplikasi atau kontra indikasi
terhadap obat tersebut. Contoh SSRI adalah fluoxetin, sertralin,
fluvoksamin, paroksetin, sitalopram dan escitalopram.
2) Tricyclic Antidepresants (TCA)
Mekanisme kerja TCA adalah menghambat
pengambilan kembali 5-HT (dengan kemampuan rendah
sampai tinggi) dan NE (dengan kemampuan rendah sampai
sedang). Potensi dan selektivitas sangat bervariasi, tergantung
jenis obatnya. TCA mempengaruhi sistem reseptor lain, yaitu
kolinergik (sebagai antikolinergik), neurologik dan sistem
kardiovaskular. Amine tersier bekerja pada sistem serotonergik.
Amine sekunder bekerja mengaktifkan sistem norepinefrin.
Karena banyak mempengaruhi sistem reseptor lain, obat-obat
golongan ini perlu dipertimbangkan pemberiannya terutama

26
pada pasien-pasien usia lanjut dan keadaan klinis tertentu.
Contoh obatnya adalah amitriptilin, imipramin, doksepin,
demipramin, nortripilin, dan protripilin.
3) Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOI)
Mekanisme kerja MAOI adalah meningkatkan
konsentrasi NE, 5-HT dan DA dalam sinaps neuronal melalui
inhibisi enzim MAO. Enzim MAO ini berfungsi untuk
memetabolisme neurotransmitter monoamin. Penggunaan
kronik dapat menyebabkan downregulation reseptor -
adrenergik, -adrenergik dan serotonergik. Contoh obatnya
adalah isokarboksazid, fenelzin sulfat, dan tranilsipromin
sulfat.
(Marianne, 2010)

E. GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR

1. Definisi
Gangguan afektif bipolar adalah gangguan jiwa yang sifatnya
episode berulang (sekurang-kurangnya dua episode) yang
menyebabkan terganggunya afek dan aktivitas pasien, dimana pada
waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai penambahan
energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain
berupa penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktivitas
(depresi). Khas dari bipolar adalah adanya penyembuhan sempurna
antar episode (Maslim, 2013).
Gangguan bipolar juga dikenal dengan gangguan mania-
depresif, suatu bentuk gangguan depresif dengan suasana hati yang
berayun dari murung (saat depresi) ke sangat gembira (saat mania)
yang seringkali membawa perilaku resiko tinggi dan merusak diri
(Depkes RI, 2007). Gangguan bipolar terdapat dua tipe, yaitu tipe I dan
tipe II. Pasien mengalami episode manik dan depresif atau pasien

27
mengalami episode manik saja merupakan bipolar tipe I. Sedangkan
bipolar tipe II ditandai dengan adanya episode depresif berat dan
berganti-ganti dengan hipomania (Sadock & Sadock, 2010)
2. Epidemiologi
Gangguan bipolar tipe I lebih jarang terjadi dibandingkan
gangguan depresif berat dengan prevalensi seumur hidup sekitar 1 %,
dimana antara pria dan wanita memiliki prevalensi yang sama.
Gangguan bipolar tipe II memiliki prevalensi sekitar 0,5%. Episode
manik lebih sering terjadi pada laki-laki dan episode depresif lebih
sering terjadi pada wanita. Awitan usia gangguan bipolar tipe I antara
usia 5 tahun sampai 50 tahun, dengan rata-rata usia 30 tahun (Sadock
& Sadock, 2010).
Studi komorbiditas nasional Amerika melaporkan prevalensi
seumur hidup gangguan afektif bipolar sebesar 4% yang lebih sering
ditemukan pada wanita dibandingkan pria. Usia rata-rata penderita saat
onset adalah 25 tahun, dengan pria memiliki onset yang lebih awal
dibandingkan wanita (Andreasen & Black, 2006).

3. Etiologi
Penyebab pasti dari gangguan bipolar belum diketahui secara
tepat. Gangguan bipolar dianggap sebagai penyakit genetik kompleks
yang mempengaruhi lingkungan dan disebabkan oleh berbagai
kelainan neurobiologic (Drayton & Weinstein, 2008).
Dalam usaha memahami etiologi gangguan bipolar, para
peneliti terus melakukan penelitian untuk mencari hubungan antara
manifestasi penyakit yang sangat kompleks dengan dasar biologinya.
Gangguan bipolar dihubungkan dengan berbagai gangguan otak
seperti gangguan struktur, fungsi, kimia, neurokimia, neuroendokrin,
dan transduksi sinyal otak (Amir, 2010).
Stres yang terjadi dalam peristiwa kehidupan sering
mengawali terjadinya episode pertama gangguan mood. Peristiwa-

28
peristiwa seperti itu dapat menyebabkan perubahan neuronal
permanen yang menjadi predisposisi pada seseorang untuk terjadinya
rentetan episode gangguan mood (Sadock & Sadock, 2010).
Diperkirakan beberapa faktor dapat menjadi penyebab
terjadinya seseorang mendapat gangguan bipolar, antara lain :
a. Faktor genetik
Sebanyak 80-90% pasien dengan gangguan bipolar
memiliki riwayat keluarga yang juga memiliki gangguan mood
(misal gangguan bipolar, depresi, siklotimia atau dysthymia).
Keluarga derajat pertama pasien dengan gangguan bipolar
memiliki prevalensi sebesar 15%-35% berawal dari gangguan
mood dan 5%-10% memiliki risiko langsung mengalami
gangguan bipolar (Drayton & Weinstein, 2008).
Pada penelitian saudara kembar, angka kejadian gangguan
bipolar 1 pada kedua saudara kembar monozigot adalah 33% -
90% dan untuk gangguan depresif berat, angka kejadian pada
kedua saudara kembar monozigot adalah 50%. Pada kembar
dizigot angkanya berkisar 5% -25% untuk menderita gangguan
bipolar I dan 10% - 25% untuk penderita gangguan depresif berat
(Kaplan et al, 1997).
Penelitian lain menyebutkan bahwa antara 4% sampai
24% dari mereka yang memiliki keluarga dengan bipolar I juga
akan mungkin mengalami bipolar. Untuk bipolar II, pengaruh
faktor ini lebih rendah, dimana individu yang memiliki orang tua
atau saudara didiagnosis dengan bipolar II hanya berisiko sekitar
1% sampai 5% untuk mengalami ganggaun mood (Akiskal, 1995).
b. Faktor biokimia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai
kelainan di dalam metabolit amin biogenic di dalam darah, urin,
dan cairan serebrospinalis pada pasien dengan gangguan mood.
Amin biogenic (norepinefrin dan serotonin) merupakan dua

29
neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologis
gangguan mood (Kaplan et al, 1996). Apabila norepinefrin (NE)
dan epinefrin mengalami penurunan kadar, maka akan
menyebabkan depresi, sebaliknya peningkatan kadar keduanya
menyebabkan mania (Ikawati, 2011).
Serotonin merupakan neurotransmiter aminergic yang
paling sering dihubungkan dengan depresi. Penurunan serotonin
dapat menyebabkan depresi. Pada beberapa pasien yang bunuh
diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di
cairan serebrospinalnya. Selain kedua senyawa diatas, ada
dopamine yang memiliki peranan dalam depresi dan mania pula.
Data menunjukkan aktivitas dopamine yang menurun pada
depresi dan meningkat pada mania (Kaplan et al, 1996).

Ketidakseimbangan hormonal dan gangguan dari sumbu


hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terlibat dalam homeostatis dan
respon stress juga dapat berkontribusi pada gambaran klinis
gangguan bipolar (Ikawati, 2011).

c. Faktor lingkungan
Telah lama diamati bahwa peristiwa yang menyebabkan
stress sering mendahului episode pertama dan dapat
meningkatkan serta memperpanjang waktu pemulihan dari
gangguan mood (Drayton & Weinstein, 2008).

Kehamilan juga merupakan stres tertentu untuk wanita


dengan riwayat penyakit mania-depresif dan dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya psikosis postpartum (Ikawati, 2011).

4. Patofisiologi

30
Patofisiologi gangguan bipolar belum dapat diketahui dengan
pasti. Namun, orang yang kembar dan keluarga menunjukkan bahwa
gangguan bipolar memiliki komponen genetik. Bahkan, kerabat tingkat
pertama orang dengan gangguan bipolar sekitar 7 kali lebih mungkin
untuk mengembangkan gangguan bipolar daripada lingkungan (Soreff,
2012).

Banyak teori telah diajukan mengenai patofisiologi gangguan


bipolar, teori yang paling popular berpendapat bahwa gangguan
bipolar disebabkan ketidakseimbangan neurotransmitter norepinefrin
yang diperkirakan menyebabkan gejala gangguan bipolar (Ikawati,
2011). Hipotesis lain berasal dari penelitian Coppen dan timnya pada
tahun 1960-an, yang menjumpai bahwa kadar natrium pada syaraf
menyebabkan hipereksitabilitas syaraf yang menjadi kemungkinan
terjadinya gangguan bipolar (Ikawati, 2011).

Penggunaan dari beberapa substansi yang mempengaruhi


sistem syaraf pusat (misalnya, alkohol, antidepresan, kafein, stimulan
sistem syaraf pusat, halusinogen atau ganja) dapat memperburuk gejala
mania atau depresi (Drayton&Weinstein, 2008).

5. Klasifikasi Lainnya
Klasifikasi gangguan bipolar menurut DSM V adalah :
a. Episode Hipomanik
Kriteria diagnosis:
1) Abnormalitas perubahan perasaan, ditandai dengan adanya
perasaan yang mudah tersinggung, peningkatan aktivitas dan
energi secara persisten, sekurang-kurangnya selama 4 hari
berturut-turut dan terjadi sepanjang hari, hampir setiap hari

31
2) Selama episode tersebut, sedikitnya didapatkan tiga gejala di
bawah ini:
- Harga diri meningkat dan ide kebesaran
- Menurunnya kebutuhan tidur
- Banyak bicara dibandingkan sebelumnya
- Adanya ide-ide atau pengalaman subjektif yang dipikirkan
untuk dicapai
- Konsentrasi mudah terganggu oleh stimulus luar
- Meningkatnya aktivitas (sosial, pekerjaan, sekolah atau
seksual) dan atau psikomotor (agitasi)
- Terlibat dalam suatu aktivitas secara berlebihan, yang
berpotensi tinggi menyebabkan penderitaan
3) Episode ini berkaitan dengan perubahan mencolok dari segala
fungsi, tetapi tidak ditemukan pada individu dengan depresi
yang belum menunjukkan gejala
4) Gangguan mood dan perubahan fungsi seringkali dapat disadari
oleh orang lain
5) Episode ini tidak cukup parah menyebabkan terganggunya peran
sosial, pekerjaan atau bahkan perawatan di rumah sakit
6) Dalam penegakan diagnosis harus disingkirkan adanya suatu
substansi yang mempengaruhi keadaan psikologi (misalnya,
penyalahgunaan obat, medikasi atau terapi lain)
b. Episode Manik
Kriteria diagnosis:
1) Abnormalitas perubahan perasaan, ditandai dengan adanya
perasaan yang mudah tersinggung, peningkatan aktivitas dan
energi secara persisten, sekurang-kurangnya selama 1 minggu
dan terjadi hampir setiap hari (atau selama rentang waktu
tertentu apabila perawatan rumah sakit dibutuhkan)
2) Selama episode tersebut, sedikitnya didapatkan tiga gejala di
bawah ini:

32
- Harga diri meningkat dan ide kebesaran
- Menurunnya kebutuhan tidur
- Banyak bicara dibandingkan sebelumnya
- Adanya ide-ide atau pengalaman subjektif yang dipikirkan
untuk dicapai
- Konsentrasi mudah terganggu oleh stimulus luar
- Meningkatnya aktivitas (sosial, pekerjaan, sekolah atau
seksual) dan atau psikomotor (agitasi)
- Terlibat dalam suatu aktivitas secara berlebihan, yang
berpotensi tinggi menyebabkan penderitaan
3) Gangguan mood ini dapat menyebabkan berkurangnya peran
sosial atau pekerjaan, bahkan perlu perawatan rumah sakit untuk
mencegah dampak bagi diri sendiri maupun orang lain, atau
apabila ada gejala psikotik
4) Dalam penegakan diagnosis harus disingkirkan adanya suatu
substansi yang mempengaruhi keadaan psikologi (misalnya,
penyalahgunaan obat, medikasi atau terapi lain) atau kondisi
medis lainnya
c. Episode Depresif Mayor
Kriteria diagnosis:
1) Sekurang-kurangnya didapatkan lima gejala selama dua minggu
dan adanya perubahan fungsi-fungsi dibandingkan sebelumnya;
sedikitnya ada satu gejala dari: (a) mood depresi, atau (b)
anhedonia (hilangnya rasa tertarik dan menarik diri dari semua
kegiatan yang biasanya menyenangkan) atau anergia (tidak ada
tenaga, lemah, hipoaktif)
- Mood depresif sepanjang hari, hampir setiap hari,
ditunjukkan secara subjektif (misalnya, merasa sedih, hampa
atau tidak memiliki harapan) atau terlihat oleh orang lain
(misalnya, tampak menangis)

33
- Hilangnya rasa tertarik dan menarik diri dari semua kegiatan
yang biasanya menyenangkan (hobi)
- Penurunan berat badan secara signifikan tanpa melakukan
diet apapun (misalnya, perubahan lebih dari 5% dari berat
badan total dan terjadi dalam kurun waktu sebulan),
peningkatan atau penurunan nafsu makan hampir setiap hari
- Insomnia atau hipersomnia
- Gangguan psikomotor: agitasi, hipoaktif
- Mudah merasa lelah
- Merasa dirinya bersalah atau tidak berharga
- Penurunan kemampuan dalam berpikir dan berkonsentrasi
- Seringkali diikuti keinginan dan usaha untuk bunuh diri
2) Gejala-gejala tersebut menyebabkan penderitaan atau
terganggunya peran sosial, pekerjaan atau fungsi-fungsi penting
lainnya
3) Episode ini tidak berkaitan dengan substansi-substansi atau
kondisi medis lain yang dapat mempengaruhi keadaan psikologi
d. Gangguan Afektif Bipolar I
Kriteria diagnosis:
1) Sedikitnya ditemukan satu dari gejala episode manik
2) Episode manik dan depresi mayor yang terjadi tidak dapat
menegakkan adanya gangguan skizoafektif, skizofrenia, delusi
atau gangguan psikotik lain
e. Gangguan Afektif Bipolar II
Kriteria diagnosis:
1) Sedikitnya didapatkan satu gejala episode hipomanik dan
sedikitnya satu gejala episode depresif mayor
2) Tidak pernah terjadi episode manik
3) Episode hipomanik dan depresi mayor yang terjadi tidak dapat
menegakkan adanya gangguan skizoafektif, skizofrenia, delusi
atau gangguan psikotik lain

34
4) Gejala-gejala depresi yang muncul disebabkan oleh perubahan
antara periode depresi dan hipomania, secara signifikan dapat
menyebabkan penderitaan atau terganggunya peran sosial,
pekerjaan atau fungsi-fungsi penting lainnya
f. Gangguan Afektif Bipolar Akibat Induksi Substansi/ Medikasi
Kriteria diagnosis:
1) Gangguan mood yang menonjol dan persisten, yang ditandai
oleh perasaan mudah tersinggung dengan atau tanpa mood
depresi, atau hilangnya rasa tertarik dan menarik diri dari semua
kegiatan yang biasanya menyenangkan (hobi)
2) Terdapat bukti yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik atau laboratorium bahwa dua gejala di bawah ini terpenuhi:
- Kriteria (1) muncul selama atau segera setelah terjadi
intoksikasi substansi atau mendapatkan medikasi
- Keterlibatan substansi/ medikasi dapat menimbulkan gejala
pada kriteria (1)
3) Gangguan-gangguan yang terjadi tidak dapat menegakkan
adanya gangguan bipolar atau gangguan terkait yang tidak
diinduksi substansi/ medikasi. Pada gangguan bipolar
independent atau gangguan terkait biasanya: gejala mendahului
onset penggunaan substansi/ medikasi; gejala-gejala menetap
(rata-rata selama satu bulan) setelah berhenti dari
ketergantungan akut atau intoksikasi; atau ada bukti lain yang
mengarahkan bahwa gangguan bipolar yang sedang terjadi tidak
terkait dengan substansi/ medikasi (misalnya, dari anamnesis)
4) Gangguan tidak terjadi secara khusus selama perjalanan sindrom
delirium
5) Gangguan dapat menyebabkan penderitaan atau terganggunya
peran sosial, pekerjaan atau fungsi-fungsi penting lainnya secara
signifikan

35
6. Penatalaksanaan

a. Terapi Non-medikamentosa
Psikoterapi untuk gangguan jiwa bipolar meliputi Cognitive
Behavior Therapy (CBT), psiko-edukasi, family therapy, dan
group therapy. Terapi dengan menggunakan CBT fokusnya adalah
mengidentifikasi semua pola pikir dan perilaku negatif dan menata
ulang dengan pola pikir dan perilaku positif. CBT juga bisa
mengidentifikasi pemicu gangguan bipolar dan memperkuat
kemampuan dalam mengatasi stress (Jiwo, 2012).

b. Terapi Medikamentosa
Pengobatan yang tepat tergantung pada stadium gangguan
bipolar yang dialami penderita. Pilihan obat tergantung pada gejala
yang tampak, seperti gejala psikotik, agitasi, dan gangguan tidur.
Antipsikotik atipikal semakin sering digunakan untuk episode
manik akut dan sebagai mood stabilizer. Antidepresan juga dapat
digunakan untuk episode depresi akut. Pemberian mood stabilizer
pada penderita gangguan bipolar akan mengalami lebih sedikit
periode manik dan depresi. Antipsikotik atipikal seperti
ziprasidone, risperidone, dan olanzapine juga dapat digunakan
untuk menstabilkan manik akut dan menstabilkan mood pada
depresi bipolar (Soreff, 2012).
Litium, valproat dan karbamazepin masih merupakan terapi
standar pada gangguan bipolar tipe I. Electro-Convulsive Therapy
(ECT) dapat dipertimbangkan pada kasus yang terutama berat atau
resisten obat, sebagai terapi alternatif bipolar tipe I. Pada bipolar
tipe II, penggunaan antidepresan harus berhati-hati karena dapat
mencetuskan episode manik (Sadock & Sadock, 2010).

36
F. TINJAUAN GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR BERDASARKAN
ASPEK PSIKONEUROIMUNOLOGI

1. Hubungan antara Psikis, Saraf, Hormon dan Imunitas


(Psikoneuroimunologi)
Stres psikologis dapat didefinisikan sebagai pengalaman stres
yang mempengaruhi kemampuan indvidu untuk beradaptasi dengan
sehat terhadap peristiwa kehidupan. Sudah jelas bahwa stress
psikologis memberikan dampak terhadap sistem imun dan kesehatan
(Gambar 2.1). Bukti klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa
durasi dan perjalanan dari stres merupakan faktor bercabang yang
menentukan muasal dari stres memicu perubahan imunitas dan
kesehatan (Godbout & Glasser, 2006).
Saat otak mendeteksi ancaman, koordinasi respons fisiologis
melibatkan komponen sistem autonomik, neuroendokrin, metabolik
dan imun diaktifican. Sistem kunci dalam respon stress yang telah
banyak diteliti adalah aksis hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA).
Neuron di regio medial parvocellular dari paraventricular nucleus
hypothalamus melepaskan corticotropin-releasing hormone (CRH) dan
arginine vasopressin (AVP). Ini memicu sekresi selanjutnya
adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari kelenjar pituitari,
menyebabkan produksi glukokortikoid oleh korteks adrenal. Di
samping itu, medula adrenal melepaskan katekolamin (adrenalin dan
noradrenalin). Responsivitas aksis HPA terhadap stres sebagian
ditentukan oleh kemampuan glukokortikoid untuk mengatur pelepasan
ACTH dan CRH dengan ikatan pada dua reseptor kortikosteroid,
glucocorticoid receptor (GR) dan mineralocorticoid receptor (MR).
Mengikuti aktivasi dari sistem,dan saat stresor yang diterima telah
ditanggapi, lengkungan umpan balik dipicu berbagai tingkat sistem
(yaitu dari kelenjar adrenal sampai hipotalamus dan region otak lainnya
seperti hipokampus dan korteks frontal) untuk menutup aksis HPA dan

37
kembali ke titik homeostatik. Sebaliknya, amigdala, yang terlibat dalam
proses ketakutan, mengaktivasi aksis HPA untuk mempersiapkan
gerakan respon stres yang perlu untuk menghadapi tantangan. Sistem
dan faktor utama lain yang merespon stres, termasuk sistem saraf
autonomik, sitokin inflamatori dan hormon metabolik. Semua ini
dipengaruhi aktivitas HPA dan sebaliknya mempengaruhi fungsi HPA,
dan juga berakibat pada perubahan patofisiologi yang terjadi dalam
respon stres kronis, dari pengalaman masa kecil sampai usiadewasa
(Gambar 2.1) (Lupien et al, 2009).

Gambar 2.1 Patofisiologi Stres Ditinjau dari Sistem Saraf dan Sistem
Imun (Lupien et al, 2009)

Reaksi psikologis-fisik dan neurobiologis yang aktif oleh


stres yang hebat, reaksi menghindar atau bertarung akan tertanam
secara mendalam di otak dan tidak mudah untuk dihapuskan. Teknik

38
menenangkan dibutuhkan untuk mencegah kepanikan dan sebagai
terapi. Diberikan psiko-edukasi untuk mengajarkan reaksi adaptif
yang normal. Pengobatan sering digunakan untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala selama fase akut. Membantu untuk tidur lelap
penting karena kurang tidur mengurangi toleransi terhadap stres (Heir
et al, 2008).
Orang dengan trauma psikologis lebih peka terhadap situasi
yang tidak dapat mereka kontrol. Penting memberikan perasaan dapat
menguasai keadaan, apakah secara nyata atau persiapan. Konsep teori
yang berguna seperti memantapkan respons positif, harapan untuk
pulih kembali dan keberhasilan. Hal ini dapat dicapai melalui
pemulihan kepercayaan diri dengan dukungan dari sekitarnya
sehingga dapat mengendalikan pikiran, emosi dan perilaku (Heir et
al, 2008).

2. Hubungan antara Kondisi Pikiran dan Respon Tubuh Sistem


Limbik
Sistem limbik merupakan bagian sistem saraf pusat yang terdiri
dari beberapa struktur antara lain yaitu amigdala, septum,
hipokampus, girus singulatus, thalamus anterior dan hipotalamus.
Sistem limbik mempunyai fungsi pengendalian emosi, perilaku
instingtif, dorongan, motivasi dan perasaan. Baik korteks cerebri
maupun sistem limbik, keduanya mempunyai akses ke area motorik
batang otak, sehingga memungkinkan manusia belajar beradaptasi
dan mengontrol perilaku instingtifnya. Bagian-bagian sistem limbik
saling berhubungan secara kompleks dan beberapa membentuk
sirkuit, contoh yang terkenal adalah sirkuit Papez (Beauregard, 2011).
Beberapa rangsangan akan membangkitkan emosi dan respon
tubuh. Respon ini diintegrasikan oleh sistem limbik, dimana
hipotalamus sebagai gerbang keluaran utama. Sinyal untuk reaksi
dikirim ke berbagai bagian persarafan seperti saraf otonom dan efek

39
neurohormonal ke kelenjar endokrin. Korteks cerebri dalam hal ini
berperan untuk mengintegrasikan segala macam perasaan dan
hipokampus berperan untuk proses belajar dan menyimpan memori
rangsangan yang pernah dialami (Beauregard, 2011; McNamara,
2011).
Korteks Prefrontal
Lobus frontalis adalah bagian dari sistem saraf pusat manusia
yang banyak berperan dalam perilaku yang berulang atau ritual,
memori kerja dan dalam konteks inhibisi terhadap respon prepoten.
Area yang paling bertanggung jawab pada fungsi ini adalah
dorsolateral prefrontal cortex (dlPFC) dan anterior cingulated cortex
(ACC), yang merupakan pusat dari memori kerja, perhatian dan
konsentrasi, serta kemampuan untuk melakukan tindakan yang
bertujuan. Fungsi inhibisi juga didapatkan pada dlPFC dan ACC.
Dorsolateral prefrontal cortex (dlPFC) secara khusus berfungsi
untuk menyaring sinyal-sinyal yang masuk ke otak, menghambat
respon emosi dan kontrol diri secara sadar. Peningkatan memori kerja
juga berperan dalam proses inhibisi dan kontrol diri yang dilakukan
oleh korteks prefrontal (Beauregard, 2011; McNamara, 2011).
Dengan adanya fungsi korteks prefrontal yang baik, maka
seorang manusia akan mampu untuk mempertahankan fokus dan
perhatian terhadap tugas-tugas tertentu. Semakin banyak memori kerja
yang terekam di dalamnya maka seseorang akan semakin terfokus pula
pada fungsi kognitif dan inhibisi (Beauregard, 2011).
Perilaku ritual yang berulang-ulang, yang dilakukan secara
sadar, akan meningkatkan fokus dan perhatian seseorang terhadap
perilaku tersebut. Sehingga pembiasaan perilaku tertentu yang
dilakukan secara terus-menerus akan mampudisimpan oleh korteks
prefrontal sebagai suatu memori kerja, yang nantinya akan lebih
memberikan kontrol terhadap perilaku manusia. Beberapa bukti juga
mengatakan bahwa perilaku ritual berkelompok yang dilakukan pada

40
kelompok kelompok tradisional menimbulkan suatu solidaritas dan
meningkatkan hubungan antara anggota kelompok, dimana hubungan
tersebut memerlukan kontrol diri, perhatian yang terfokus serta
inhibisi terhadap respon prepoten (Beauregard, 2011; McNamara,
2011).
Aksis Hipotalamus Pituitari Adrenal (HPA)
Aksis ini terdiri dari hipotalamus, kelenjar pituitari atau
hipofisis dan kelenjar adrenal (korteks adrenal). Aksis HPA
memegang peranan penting dalam beradaptasi terhadap stres baik
stres eksternal maupun internal. Ketika berespon terhadap ketakutan,
marah, cemas, dan hal-hal yang tidak menyenangkan dapat terjadi
peningkatan aktivitas aksis HPA (Beauregard, 2011).
Kortisol mempunyai efek umpan balik negatif yang sifatnya
langsung terhadap hipotalamus untuk menurunkan CRF, dan kelenjar
hipofisis anterior untuk menurunkan ACTH. Namun jika stresor ada
secara terus-menerus, maka mekanisme umpan balik ini tidak akan
mampu lagi menekan sekresi CRF maupun ACTH sehingga aktivitas
pada aksis HPA ini akan meningkat terus. Bila peningkatan aktivitas
ini terus terjadi sehingga produksi kortisol terus meningkat, dapat
merusak sel-sel neuron di hipotalamus sehingga terjadi atrofi
hipotalamus, dan akibatnya bisa muncul gangguan kognitif
(Beauregard, 2011; Kapogiannis et al.,2009).
Pikiran Mempengaruhi Tubuh
Teori etiologi faktor stres menyatakan bahwa stres yang
berkepanjangan dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang
menghasilkan gangguan fisik. Setiap orang mempunyai organ syok
yang secara genetis rentan terhadap stres: beberapa pasien
merupakan pembangkit jantung, lainnya pembangkit lambung, dan
lainnya pembangkit kulit. Orang yang khawatir atau sedih
berkepanjangan lebih rentan terhadap penyakit fisik atau
psikosomatis (Sadock & Sadock, 2005).

41
Respons neurotransmiter terhadap stres mengaktivasi sistem
noradrenergik di otak, tepatnya di locus ceruleus, menyebabkan
pelepasan katekolamin dari sistem saraf otonom. Stres juga
mengaktivasi sistem serotonergik di otak. Demikian pula,
stresmeningkatkan neurotransmisi dopaminergik pada jalur
mesofrontal. Respons endokrin terhadap stres mengaktivasi
hipotalamus mengeluarkan CRF ke dalam sistem hypophysial-
pituitary-portal. CRF mencetuskan pelepasan ACTH yang
merangsang pembuatan dan pelepasan glukokortikoid di korteks
adrenal. Respons sistem imun terhadap stres dapat berupa
peningkatan aktivitas sistem imun melalui pelepasan faktorimun
humoral namun perlu diingat bahwa sistem imun juga dipengaruhi
glukokortikoid yang menghambat sistem imun dan adanya jalur
neuron norepinefrin yang bersinaps di sel target imun (Noorhana,
2010).
Penjelasan dari sistem regulasi fungsional, seperti sistem
saraf-hormon-imunyang menghubungkan pikiran dan tubuh, adalah
tema yang penting dalam kedokteran psikosomatis. Sama dengan hal
itu, penting juga untuk menjelaskan bagaimana dan apa bentuk dari
ketidakseimbangan atau distorsi faktor "psikis-perilaku", seperti
kebiasaan hidup harian yang tidak adekuat dan cara coping stress
yang tidak sesuai, telah mempengaruhi kemungkinan untuk atau
berlanjutnya suatu penyakit. Hal ini selanjutnya meliputi pendekatan
sosial-budaya yang bersifat epidemiologis, tidak hanya memfokuskan
secara tunggal pada aspek psikologis atau perilaku (Komaki &
Wygant, 2009).
Gangguan spesifik yang terjadi pada gangguan psikosomatik,
antara lain:

a. Sistem gastrointestinal: gastroeusophageal reflux disease,


ulkus peptikum, kolitis ulserativa, Crohn's disease;

42
b. Sistem kardiovaskular: penyakit jantung koroner, valvular
heart disease and anxiety disorders, coronary artery bypass
graft surgery, hipertensi, vasovagal syncope, cardiovascular
presentations of psychiatric disorders;

c. Sistem pernapasan: asma bronkial, sindroma hiperventilasi;

d. Sistem endokrin: hipertiroidisme, hipotiroidisme,


diabetes;

e. Gangguan adrenal: hiperkortisolisme (Cushing's syndrome),


hiperprolaktinemia;

f. Gangguan kulit: dermatitis atopik, psoriasis, ekskoriasi


psikogenik, localized pruritus, hiperhidrosis;

g. Sistem muskuloskeletal: rheumatoid arthritis, systemic lupus


erythematosus, low back pain, fibromialgia;

h. Nyeri kepala: migraine (vascular), cluster headache, tension


(muscle contraction) headache.
Kedokteran psikosomatis melakukan pengobatan dan
penelitian empat kelompok pasien (kadang merujuk pada sebagai
penyakit medis kompleks), yaitu:

a. Pasien dengan komorbid psikiatri dan penyakit medis umum


saling komplikasi dalam penanganannya;

b. Pasien dengan gangguan psikiatri yang mempunyai konsekuensi


langsung pada kondisi medis utama atau penanganannya, seperti

43
delirium, demensia, atau gangguan mental sekunder (secara
formal dikenal sebagai gangguan organik);

c. Pasien dengan perilaku sakit yang kompleks seperti gangguan


somatoform dan fungsional;

d. Pasien dengan psikopatologi akut pada unit medis-bedah, seperti


setelah percobaan bunuh diri. Banyak dari pasien ini memiliki
gangguan multipel medis, psikiatri, fungsional, dan/atau
penyalahgunaan zat.
Teknik diagnosis yang digunakan dalam kedokteran
psikosomatis telah mengalami kemajuan yang drastis, dibuktikan
oleh penelitan terbaru dalam ilmu saraf, genetik, dan perilaku.
Melalui pengalaman empiris didukung oleh bukti
ilmiah,kedokteran psikosomatis akan berkembang lebih jauh untuk
tujuan praktek kedokteran berdasarkan konsep manusia secara holistik
(Komaki & Wygant, 2009).

3. Psikoneuroimunologi pada Bipolar


a. Faktor Biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit
amin biogenik seperti asam 5-hidroksiindolasetat (5-HIAA),
asam homovanilat (HVA), dan 3-metoksi-4-hidroksifenilglikol
(MHPG)- di dalam darah, urine, dan cairan serebrospinalis
pasien dengan gangguan mood. Laporan data ini paling konsisten
dengan hipotesis bahwa gangguan mood disebabkan oleh
disregulasi heterogen amin biogenik.
Amin Biogenik. Dari amin biogenik, norepinefrin dan
serotonin adalah dua neurotransmitter yang paling terkait di
dalam patofisiologi gangguan mood.

44
Norepinefrin. Hubungan yang diajukan oleh penelitian
ilmu pengetahuan dasar antara downregulation reseptor -
adrenergik dan respons antidepresan klinis mungkin adalah satu
potongan data yang paling menakjubkan yang menunjukkan
peranan langsung terhadap sistem noradrenergik pada depresi.
Bukti lain, adanya keterlibatan reseptor prasinaps 2-adrenergik
pada depresi, aktivasi reseptor ini menimbulkan penurunan
jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Reseptor prasinaps 2-
adrenergik juga terletak pada neuron serotonergik serta mengatur
jumlah serotonin yang dilepaskan. Obat antidepresan yang secara
klinis efektif dengan efek noradrenergik contohnya, sertralin
(Effexor)- merupakan dukungan lebih lanjut terhadap peranan
norepinefrin di dalam patofisiologi setidaknya pada beberapa
gejala depresi.
Serotonin. Dengan pengaruh besar yang dihasilkan
inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI, selective serotonin
reuptake inhibitors) pada terapi depresi-contohnya fluoxetin
(Prozac)- serotonin telah menjadi neurotransmitter amin biogenik
yang paling lazim dikaitkan dengan depresi. Identifikasi banyak
subtipe reseptor serotonin juga telah meningkatkan kegairahan di
dalam komunitas riset mengenai perkembangan terapi depresi,
data lain menunjukkan bahwa serotonin terlibat dalam
patofisiologi depresi. Kekurangan serotonin dapat mencetuskan
depresi dan beberapa pasien dengan impuls bunuh diri memiliki
konsentrasi metabolit yang rendah di dalam cairan serebrospinal
serta konsentrasi tempat uptake serotonin yang rendah pada
trombosit.
b. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dengan stressful sering mendahului
episode pertama, dibandingkan episode berikutnya. Ada teori
yang mengemukakan adanya stres sebelum episode pertama

45
menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama.
Perubahan ini menyebabkan perubahan berbagai neurotransmitter
dan sistem sinyal intraneuron. Termasuk hilangnya beberapa
neuron dan penurunan kontak sinap. Dampaknya, seorang
individu berisiko tinggi mengalami episode berulang gangguan
mood, sekalipun tanpa stresor dari luar. Stresor lingkungan
paling sering berhubungan dengan kejadian episode depresi
adalah kehilangan pasangan. Faktor risiko lain adalah kehilangan
pekerjaan.
c. Faktor Kepribadian
Orang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsif,
histrionik dan ambang, berisiko tinggi untuk mengalami depresi
dibandingkan dengan gangguan kepribadian paranoid atau
antisosial. Pasien dengan gangguan distimik dan siklotimik
berisiko tinggi menjadi gangguan depresi berat. Peristiwa stresful
merupakan prediktor terkuat untuk kejadian episode depresi.
Riset menunjukkan bahwa pasien yang mengalami stresor akibat
tidak adanya kepercayaan diri lebih sering mengalami depresi.
(Puri et al, 2011).
d. Faktor Psikoneuroimunologi
Hubungan sistem imun dengan gangguan mood
berdasarkan dua arah: 1) bahwa adanya bukti perilaku sakit
(illness behaviour) seperti penurunan nafsu makan, kelelahan,
somnolensi seperti pada gangguan mood berhubungan dengan
perubahan fungsi imunitas dan 2) berbagai gangguan medis dan
pengobatan yang meregulasi fungsi imunitas berhubungan dengn
gejala psikiatrik. Beberapa data menunjukkan bahwa sitokin
menginduksi gejala mirip depresi.
Sitokin mungkin menginduksi atau mempercepat depresi
melalui beberapa mekanisme termasuk terganggunya sintesis

46
serotonin, penurunan dopamin, aksis HPA, dan efek
plastisitasnya serta mengganggu neurogenesis.
e. Faktor Genetik
Studi keluarga, studi anak kembar dan studi anak adopsi
dari gangguan bipolar dan gangguan depresi unipolar pada
umumnya menunjukkan risiko mendasar dari komponen yang
dapat diturunkan, dimana gangguan bipolar mempunyai sifat
menurun yang tinggi dibandingkan depresi unipolar berulang.
Berdasarkan berbagai studi tentang gangguan bipolar didapatkan
banyak daerah dari genoe yang terlibat, seperti 18p11,18q22,
12q24, 21q21, 13q32, 4p15, 4q32, 16p12, 8q24, 22q11,
sedangkan gangguan unipolar hanya beberapa genome dan masih
memerlukan konfirmasi data.

4. Perspektif Sosial dan Kultural Gangguan Mood


Bukti ilmiah menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mood
meningkat tajam dalam abad ke-20. Nampaknya ada indikasi
perubahan pada konstitusi genetik dari masing-masing populasi di
samping adanya perubahan lingkungan termasuk perubahan sosial,
harapan, dan peran dalam masyarakat. Lingkungan sosial memegang
peran sebagai faktor risiko gangguan mood dalam hal terjadinya,
perjalanannya, dan pengobatan penyakit.
Paparan terhadap pengalaman kehidupan yang penuh tekanan
(stresful) penting dalam meningkatkan risiko terjadinya gangguan
mood. Pengalaman kehidupan yang stressful dibagi dalam kejadian
stresor akut dan kronis. Stresor akut adalah nyata, jelas dan terlihat
saat ini. Stresor kronis dapat dibagi menjadi: mayor, yang berhubungan
dengan peran, dan minor, yaitu stresor iritasi dari kejadian-kejadian
kecil sehari-sehari.
Stresor kehidupan masa kecil meningkatkan risiko gangguan
mood, terutama pelecehan masa kanak, kehilangan dan

47
ketidakoptimalan pengasuhan ibu pada masa kanak. Stresor makro
adalah stresor dalam skala besar dan berhubungan dengan sistem
dalam masyarakat, misalnya perubahan ekonomi dan resesi ekonomi.
Ada 2 kelas faktor kerentanan: pertama, faktor psikologis seperti
kurangnya harga diri atau kepercayaan diri dan adanya anxietas dan
depresi subklinis yang kronis; kedua, faktor lingkungan yang negatif
berhubungan dengan kualitas hubungan sosial di rumah atau tidak
adanya hubungan dekat dengan seseorang secara rutin. Kedua faktor
ini juga berhubungan satu dengan yang lainnya secara kompleks.
Peran dan pengaruh kultural yang berkaitan dengan gangguan
mood terjadi pada pengistilahan perasaan dan penyakit, ekspresi
perasaa secara fisik dan verbal, pengaruh kepercayaan dan agama
terhadap pemahaman, perjalanan penyakit, penanganan dan
kepatuuhan berobat (Maramis & Maramis, 2009).

BAB III
PENUTUP

48
DAFTAR PUSTAKA

Akiskal HS (1995). Mood Disorders: Introduction and Overview. In:


Comprehensive Text of Psychiatry. Edited by Kaplan HI, Sadock BJ. Edisi
ke 6. Baltimore, Maryland: Lippincott, Williams & Wilkins, pp: 1067-079.

American Psychiatric Association (2000). Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-IV-TR. Arlington,
VA: American Psychiatric Association.

49
Amir N (2010). Gangguan Mood Bipolar: Kriteria Diagnostik dan Tatalaksana
dengan Obat Antipsikotika Atipik. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Andreasen NC, Black DW (2006). Introductory Textbook of Psychiatry. Edisi ke


4. Washington DC: American Psychiatric Publishing, Inc
.
Beauregard M (2011). Neuroscience and Spirituality, Findings and Concequences.
In: Neuroscience, Conciousness and Spirituality. London: Springer, pp: 57
74.

Brent D, Lisa P (2008). Depressive Disorders (in Childhood and Adolescence). In:
Current Diagnosis and Treatment Psychiatry. Edited by Ebert M,
Nurcombe B, Loosen P, Leckman J. Edisi ke 2. New York: McGraw-Hill,
pp: 601-05.

Cole S, Christensen J, Cole M, Feldman M (2003). Mental and Behaviour


Disorder. In: Behavioral Medicine in Primary Care. Edisi ke 2. New
York: McGraw-Hill, pp: 187-89.

Depkes RI (2007). Pharmaceutical Care untuk Penderita Gangguan Depresif.


Jakarta: Bakti Husada Inst., pp: 4-22.

Drayton SJ, Weinstein B (2008). Bipolar Disorder. In: Pharmacotheraphy A


Pathophysiologic Approach. Edited by Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC,
Matzke GR, Wells BG, Posey LM. Edisi ke 7. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Godbout JP, Glaser R (2006). Stress-induced immune dysregulation: implications


for wound healing, infectious disease and cancer. J Neuroimmune Pharm;
1: 421-27.

Heir T, Hussain A, Weisaeth L (2008). Managing the after-effects of disaster-


traumathe essentials of early intervention. Norwegian centre for violence
and traumatic stress studies, university of Oslo. European Psychiatric.
Review Touch Briefings.

Ikawati Z (2011). Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf. Yogyakarta: Bursa Ilmu.

Jiwo T (2012). Depresi: Panduan Bagi Pasien, Keluarga dan Teman Dekat. Jawa
Tengah: Pusat Pemulihan dan Pelatihan Bagi Penderita Gangguan Jiwa.

50
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA (1996). Sinopsis Psikiatri. Edisi ke 7.
Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara.

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA (1997). Kaplan dan Sadock: Sinopsis Psikiatri
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi ke 7. Jakarta: Binarupa
Aksara, pp: 777-858.

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA (2010). Sinopsis Psikiatri Jilid 2.


Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara, pp: 17-35.

Komaki G, Wygant LE (2009). Anxiety disorders in women: does gender matter to


treatment?.Rev Bras Psiquiatr. 27 (II):43-50.

Konsensus Nasional Terapi Gangguan Bipolar (2010). Panduan Tatalaksana


Gangguan Bipolar. Jakarta: Konsesus Nasional Terapi Gangguan Bipolar,
pp: 2-21.

Lubis NL (2009). Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, pp: 61-85.

Lupien SJ, McEwen BS, Gunnar MR (2009). Effects of stress throughout the
lifespan on the brain, behaviour, and cognition. Nature Reviews
Neuroscience; 10: 434-45.

Maramis WF, Maramis AA (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke 2.


Surabaya: Airlangga University Press.

Marianne (2010). Depresi dan Penanganannya. Medan: Universitas Sumatera


Utara.

Maslim R (2001). Diagnosa Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.


Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. pp: 58-69.

Maslim R (2013). Diagnosa Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.


Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. pp: 58-70.

McNamara P (2011). The Neuroscience of Religious Experience. Cambridge:


Cambridge Press.

Noorhana (2010). Faktor Psikologik yang Mempengaruhi Kondisi Medis


(Gangguan Psikosomatik). In: Buku Ajar Psikiatri. Edited by Elvira,
Sylvia D, Hadisukanto, Gitakanto. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, pp:
287-89.

51
Nuhriawangsa I (2011). Symtomatologi Psikiatri. Surakarta: Bagian Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, pp: 44-45.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) (2010).


Pedoman Tatalaksana Gangguan Bipolar. Indonesia.

Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH (2011). Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta:
EGC.

Rottenberg J (2010). The Serotonin Theory of Depression is Collapsing.


Pyschology Today: 11-12.

Sadock BJ, Sadock VA (2005). Psychosomatic Medicine in Kaplan & Sadock


Pocket Handbook of Clinical Psychiatry. Edisi ke 10. Philadelphia,
USA: Lippincott Williams & Wilkins, pp: 527-62.

Sadock BJ, Sadock VA (2010). Kaplan & Sadock, Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
ke 2. Jakarta: EGC. pp: 198-217.

Sorref S (2012). Bipolar Affective Disorder Treatment and Management.


http://emedicine.medscape.com/article/286342-treatment - Diakses 14
Agustus 2016.

WHO (2010). International Classification of Disease (ICD-10): Classification of


Mental and Behavioural Disorders. Geneva.

52

You might also like