Professional Documents
Culture Documents
RINGKASAN
HOTNITA JULIANTY PURBA. J3I305054. 2008. Gangguan Reproduksi Sapi Perah di PT Greenfields Indonesia,
Malang. Laporan Praktik Kerja Lapangan. Program Keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak. Direktorat
Program Diploma, Institut Pertanian Bogor.
Praktek kerja lapang (PKL) ini dilaksanakan pada tanggal 18 Februari sampai 10 Mei 2008 di
perusahaan peternakan sapi perah PT Greenfields Indonesia.
Tujuan dari pelaksanaan praktek karja lapang ini adalah memberikan bekal keterampilan dan
kecakapan kepada mahasiswa agar mampu bekerja dilapang guna mempunyai keahlian dalam mengatur
reproduksi pada sapi perah, melatih kemampuan mahasiswa untuk mengevaluasi situasi dan kondisi
peternakan sapi perah pada umumnya dan di PT Greenfields Indonesia pada khususnya serta memberikan
bekal kepada mahasiswa sehingga memiliki kemampuan manejerial dalam bidang reproduksi.
Materi yang digunakan adalah sapi perah betina Friesian Holstein, keturunan Jersey, dan sapi Cross
dengan populasi sekitar 1800 sapi laktasi. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan pengamatan
terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di lapang, berdiskusi dengan pembimbing lapang maupun dengan
para pekerja dan observasi partisipasi yang artinya ikut bekerja secara langsung di perusahaan tersebut.
Untuk analisis data yang didapatkan dari rekording reproduksi didapatkan angka service
per conception antara 3.5 hingga 4.0. Perhitungan ini menggunakan cara yang berbeda dari biasanya,
sehingga rata-rata untuk S/C jauh diatas angka pada umumnya. Rata-rata untuk conception rate 50%dan
rata-rata calving interval berkisar 13 bulan 10 hari. Persentasi gangguan reproduksi yang sering terjadi
seperti retensio plasenta, endometritis dan metritis masih tergolong normal (20%) walaupun diatas
persentasi rataan untuk suatu kelompok sapi perah yaitu 8-11 %. Hal ini didukung oleh datacalving
interval yang baik dan dapat dilihat dengan adanya recording per individu yang akan memudahkan
pengamatan mulai dari pendeteksian berahi, perkawinan, pencatatan kelahiran, hingga gangguan-gangguan
yang dialami oleh induk tersebut.
Kesimpulan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang ini yaitu manajemen reproduksi
peternakan sapi perah PT Greenfields Indonesia dapat dikatakan baik.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 1987, putri kedua dari tiga bersaudara
dari pasangan Drs. J. Purba dengan R. Saragih, Spd
Pendidikan formal penulis diawali di TK Rosari Jakarta Selatan selama 2 tahun (1991-
1993), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Mardi Yuana Depok
selama 6 tahun (1993-1999) dan melanjutkan di SLTP Putra Bangsa Depoks selama 3 tahun
(1999-2002). Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan ketingkat Sekolah Menengah
Umum di PSKD VI Depok dan selesai pada tahun 2005.
Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa program diploma di Institut
Pertanian Bogor pada Program Keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak. Selama masa
pendidikan, penulis aktif di bidang Komisi Pelayanan Siswa (KPS) yang berada di bawah
naungan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar ahli madya, penulis melakukan praktik kerja
lapang di bidang peternakan sapi perah dan menyusun laporan dengan judul Gangguan
Reproduksi Sapi Perah di PT Greenfields Indonesia kabupaten Malang, Jawa Timur.
PRAKATA
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
anugerahNya saya dapat melaksanakan Praktik Kerja Lapang selama 3 bulan, terhitung dari
tanggal 18 Februari sampai 10 Mei 2008 di PT Greenfields Indonesia Malang Jawa Timur dan
menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.
Laporan tugas akhir ini disusun berdasarkan diskusi dengan seluruh pihak PT Greenfields
Indonesia pada saat melaksanakan Praktik Kerja Lapangan serta literatur yang saya baca dari
beberapa buku mengenai sapi perah..
1. Keluarga yang selalu memberi kasih sayang, dorongan dan dukungan untuk menyesaikan studi
saya serta perhatiannya akan kebutuhan saya baik secara moril maupun materi.
2. Teman-teman seangkatan, yang menjadi motivator selama menjalankan studi di Diploma IPB
dan teman-teman selokasi PKL di PT Greenfields Indonesia yang menemani serta memberi
dukungan selama berada di Malang.
3. Bagus P. Purwanto selaku dosen pembimbing yang telah menyempatkan dan menyisihkan
waktunya untuk membimbing saya pada saat penulisan laporan ini.
4. Din Satriawan, Catur Nugroho dan Yoni Kusmay selaku pembimbing lapangan di PT
Greenfields Indonesia, pekerja-pekerja kandang dan para Dokter hewan yang memberikan
waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.
5. Seluruh dosen peternakan yang telah membimbing dan memberikan ilmu selama menjalankan
study di Diploma IPB.
Penulis
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha peternakan sapi perah bertujuan untuk mendapatkan produksi susu yang tinggi
serta secara tidak langsung mendapatkan pedet. Untuk mendapatkan produksi susu yang tinggi
dan berkualitas perlu pengelolaan manajemen dari semua aspek. Salah satu faktor yang sangat
penting dalam manajemen pemeliharaan sapi perah yang dapat menetukan keberhasilan suatu
usaha peternakan adalah produktivitas dari ternak tersebut.
Produktivitas dari setiap jenis ternak secara langsung ataupun tidak langsung tergantung
pada kemampuan reproduksinya. Ternak dengan produktivitas tinggi disertai dengan seleksi
yang baik dalam perkawinan akan meningkatkan produksinya (Lindsay et al., 1982).
Keberhasilan reproduksi merupakan cermin keberhasilan suatu usaha peternakan dengan pengaturan
reproduksi yang baik. Berkembangnya populasi sangat tergantung pada induk dan bibit yang berkualitas
serta jumlah kelahiran sapi yang banyak. Hal ini tentu sangat ditunjang oleh reproduksi yang optimal.
Produksi dan reproduksi sangat berkaitan erat bagi berkembang dan tersedianya sapi. Kegagalan seekor
ternak untuk menjadi bunting pada satu atau lebih perkawinan akan menghilangkan produk konsepsi pada
satu atau lebih periode kebuntingan (Salibury dan Vandermark, 1985).
Berbagai masalah reproduksi yang terjadi khususnya sapi betina tidak hanya pada
kesehatan organ reproduksinya saja. Selain organ reproduksi sendiri, organ lain seperti otak,
tiroid, paratiroid, maupun pankreas serta berbagai kelenjar di dalam tubuh turut mempengaruhi
reproduksi. Berbagai macam hormon seperti foliclle stimulating hormone(FSH), luteinizing
hormone (LH), prolactin dan lain sebagainya berperan penting bagi kecepatan sapi untuk
beranak. Oleh karena itu suatu pengaturan terhadap kemampuan reproduksinya secara tertib dan
teratur perlu dilakukan sehingga efisiensi reproduksi dapat tercapai.
2. Melatih kemampuan mahasiswa untuk mengevaluasi situasi dan kondisi peternakan sapi perah
di PT Greenfields Indonesia.
Manfaat
Manfaat yang diperoleh pada praktek kerja lapang ini selain menambah pengetahuan dan
wawasan mahasiswa dalam menganalisa masalah yang berhubungan dengan reproduksi juga
meningkatkan keterampilan dan pengalaman kerja. Manfaat dari hasil praktek kerja lapang ini
tidak hanya bagi mahasiswa tetapi juga bagi peternak dan pengelola sebagai sumber informasi
tentang pengaturan reproduksi khususnya dalam penanganan gangguan reproduksi yang sering
muncul pada sapi perah.
PT GREENFIELDS INDONESIA
PT Greenfields Indonesia terletak di Dusun Maduarjo, Desa Babadan, Kecamatan
Ngajum, Kabupaten Daerah Tingkat II Malang, Propinsi Jawa Timur. Jarak lokasi dengan kota
Malang sekitar 40 km. Perusahaan ini berada di lereng Gunung Kawi dengan ketinggian 1200 m
di atas permukaan laut.Wilayah ini mempunyai suhu udara sekitar 16-220C dan curah hujan
sekitar 2.997 mm pertahun dengan kelembaban sebesar 45 %.
Unit usaha yang dimiliki perusahaan tersebut adalah usaha peternakan (Dairy Farm) dan
unit pengolahan susu (Processing Unit). Untuk ketenagakerjaan dibagi menjadi beberapa
departemen, heifer raising,livestock, milking parlor, dan animal health and reproduction.
Tepatnya pada tanggal 14 Maret 1997 didirikannya PT. Greenfields Indonesia dengan nama PT
Prima Japfa Jaya. Pada awal berdirinya, PT Prima Japfa mendatangkan 90 ekor sapi perah bangsa Fries
Holland (FH) yang diimpor dari Australia, kemudian dibawa ke perusahaan. Dari tahun ketahun perusahaan
semakin berkembang ini menunjukkan jumlah populasi meningkat hingga akhir 2007 jumlah sapi mencapai
1814 ekor. Hampir setiap hari jumlah dan komposisi berubah dengan adanya pertambahan dari jumlah
kelahiran, penjualan dan pengafkiran. Jumlah dan komposisi sapi perah PT Greenfields Indonesia selama
Januari hingga April 2008 dapat dilihat pada tabel 1.
Peralatan tersebut digunakan untuk departemen heifer raising, livestock, dan milking
parlor. Produksi susu PT Greenfields Indonesia rata-rata per hari adalah 30 ton dengan rataan
produksi susu per ekor per hari 27 liter. Sebelum dipasarkan susu di olah terlebih dahulu oleh
unit processinguntuk dijadikan susu pasteurisasi dan whipping cream. Harga jual susu tergantung
pada Total Plate Count (TPC) dengan harga rata-rata Rp 4500,-/liter. Sebagian besar konsumen
merupakan masyarakat luar negeri seperti Malaysia, Hongkong, India dan Australia.
Penanganan limbah dan sanitasi yang dilakukan oleh perusahaan memisahkan limbah cair dengan limbah
padat. Limbah cair berasal dari flushing (air pencucian kandang), pembersihan tempat air minum (dump
tank) dan limbah padat yang berasal dari bedding pasir hitam. Semuanya ditampung dalam satu wadah
untuk diproses lebih lanjut. Limbah yang berasal dari sisa pakan akan dijual.
Untuk mencegah perkembangbiakan bakteri dan mengurangi pertumbuhan kuman sanitasi harus
dilaksanakan dengan baik. Sanitasi meliputi unit pemerahan, kandang, dan pabrik pakan. Metode Cleaning
In Plate (CIP) digunakan pada unit pemerahan, penyemprotan vircons serta penaburanmistral dilakukan
oleh bagian kandang rutin tiap harinya. Selain itu sanitasi yang dilakukan di PT Greenfields Indonesia
berupa pencelupan roda mobil yang masuk kedalam perusahaan dan pencelupan kaki karyawan. Pencelupan
dimulai dari roda mobilsetelah itu kaki dengan menggunakan air yang becampur dengan formalin, namun
apabila karyawan masuk kesetiap departemen karyawan wajib mencelup kaki kedalam cairan virkons.
MANAJEMEN REPRODUKSI
Sapi dara yang berahi tidak langsung dikawinkan, melainkan diperiksa kondisi fisiologinya, yaitu
dengan melihat bobot badan sebagai acuan bahwa sapi dara tersebut sudah dewasa kelamin. Menurut
Lindsay et al. (1982) pada beberapa keadaaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar
induk tidak terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil pada waktu melahirkan maka
kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak betina pada saat pubertas mempunyai variasi yang lebih
luas daripada bobot badan pada saat pubertas (Nuryadi, 2000). Hal ini berarti bahwa bobot badan lebih
berperan terhadap pemunculan pubertas daripada umur ternak.
Ditunjang oleh teori yang dikenal dengan nama target weight theory, yaitu seekor ternak akan
mencapai pubertas atau aktivitas produksi dapat berlangsung secara normal jika telah mencapai bobot
badan tertentu. Umur dan bobot badan pubertas dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik. Walaupun umur
dari sapi dara sudah cukup untuk dikawinkan atau dengan kata lainsudah mengalami dewasa tubuh tidak
berarti mengalami dewasa kelamin. Pada saat umur belum genap satu tahun dan bobot badan sudah
mencapai 350 kg standar PT Greenfields Indonesia, dan jarak waktu tidak terlalu jauh maka sapi tersebut
dapat dikawinkan. Alasan bahwa sapi dara harus mengalami dewasa kelamin adalah membantu dalam
proses kelahiran,karena kelahiran yang tidak normal banyak terdapat pada sapi-sapi yang baru pertama kali
melahirkan.
Deteksi Berahi
Deteksi berahi yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan suatu perkawinan selain ketepatan dan
kecepatan saat melakukan perkawinan, pemeriksaan berahi yang efektif memerlukan pengetahuan yang
lengkap tentang tingkah laku sapi yang berahi baik normal ataupun tidak. Deteksi berahi paling sedikit
dilaksanakan dua kali dalam satu hari, pagi hari dan sore/malam hari. Dalam pelaksanaan deteksi berahi
bagi para inseminator maupun peternak sukar untuk dapat mengetahui saat yang tepat awal terjadinya
estrus (berahi). Terjadinya berahi pada ternak di sore hari hingga pagi hari mencapai 60%, sedangkan pada
pagi hari sampai sore hari mencapai 40% (Lubis, 2006). Menurut Ihsan (1992) deteksi berahi umumnya
dapat dilakukan dengan melihat tingkah laku ternak dan keadaan vulva.
Lamanya sapi berahi sangat bervariasi yaitu berkisar 6-30 jam (Lubis, 2006), dengan
rataan 17 jam. Tidak jarang sapi-sapi yang berada di PT Greenfields Indonesia waktu berahinya
tidak diketahui saat malam hari (10 pm) hingga pagi hari (6 am) karena tidak ada veteriner yang
bertugas. Hal ini dapat membuat peternak kehilangan satu siklus berahi.
Sumber: Makalah Seminar Pelatihan Inseminator pada Sapi/Kerbau BIB Singosari, 2006
Catatan :
Dalam menyebut hari-hari dari siklus berahi, hari ke-0 adalah saat munculnya berahi pertama
kali, hari ke-1 adalah hari dimana berahi muncul pertama kali, demikian hari selanjutnya sampai
dengan hari ke-21 dari siklus berahi. Hari-hari ini penting diketahui misalnya untuk
penyuntikkan hormon prostaglandin (PGF2) yang harus diberikan pada hari-hari antara hari ke-5
sampai dengan hari ke-16 dari siklus berahi.
Sistem Perkawinan
Sistem perkawinan merupakan gambaran dari beberapa metode perkawinan untuk program
pengembakbiakan sapi. Masa berahi seekor sapi cukup singkat, untuk itu diperlukan pengamatan secara
teliti terhadap tanda-tanda berahi seekor ternak agar program perkawinan dapat berjalan sesuai rencana.
Sistem perkawinan ternak dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Perkawinan Alam
Perkawinan alam dilakukan oleh seekor pejantan yang langsung memancarkan sperma kedalam alat
reproduksi betina dengan cara kopulasi. Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina dengan
menjilati atau membau di sekitar organ reproduksi betina bagian luar setelah itu pejantan melakukan
penetrasi
2. Perkawinan Buatan
Perkawinan buatan sering dikenal dengan Inseminasi Buatan (IB) atau Artificial Insemination (AI)
yaitu dengan memasukkan sperma kedalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan peralatan
khusus (Blakely dan Bade, 1988).
Perlengkapan yang digunakan untuk perkawinan adalah (1). strawbeku pejantan unggul yang
diimpor dari Amerika dengan bangsa FH (Frisian Holstein), (2). gun IB yang diimpor dari New Zealand, dan
(3). plastic sheatberasal dari Perancis. Straw langsung didatangkan dari Amerika dengan harga sekitar Rp
350.000,00 Rp 400.000,00- dalam satu container dengan kapasitas kurang lebih 3024 dosis. Semen-
semen yang terdapat dalam satucontainer yang berisi 32-34 liter nitrogen terdiri dari 6-7 pejantan FH
(Friesian Holstein) dengan jumlah sperma minimal dua puluh lima juta dalam satustraw kapasitas setengah
milliliter (0,5 ml). Straw akan diambil sesuai kebutuhan dan disimpan dalam container kecil dengan
kapasitas nitrogen enam liter untuk di bawa ke lapangan. Pergantian straw biasanya dilakukan setiap 6
bulan dengan adanya berbagai pertimbangan. Penambahan nitrogen dilakukan saat batas nitrogen
dalam container kurang dari panjang straw, biasanya pada saat volume nitrogen tinggal 30-32 liter.
Straw yang berada di perusahaan tidak hanya diimpor dari Amerika saja, melainkan ada yang
diambil dari BIB (Balai Inseminasi Buatan) Singosari. Penggunaan straw yang berasal dari BIB Singosari
digunakan untuk sapi-sapi yang bersiklus normal. Jika sapi tersebut bunting dan melahirkan pedet jantan,
maka akan diserahkan kembali ke BIB. Tetapi jika pedet yang dilahirkan betina, maka akan menjadi milik
perusahaan Greenfields Indonesia.
Pelaksanaan IB dilakukan oleh inseminator yang sudah menguasai teknik inseminasi. Dimulai dari
pengambilan straw dari container, pencairan sperma dengan menggunakan air yang bersuhu 370C,
memasukkan straw ke dalam gun, perabaan cervic yang benar agar dalam menyuntikkan gun tepat dua
hingga tiga sentimeter di depan mulut cervic. Semua prosedur untuk IB dilakukan dengan sangat hati-hati.
Kriteria semen yang digunakan PT Greenfields Indonesia berdasarkan produksi susu yang tinggi, sedangkan
kriteria semen yang digunakan untuk heifer berdasarkan easy calving 6% (mudah beranak).
1. Kondisi betina, meliputi kesehatan dan anatomi organ reproduksi, Body Condition Score (BCS),
lingkungan dan pakan, ektoparasit dan endoparasit.
2. Spermatozoa, dilihat dari total sperma yang motil (% motilitas dan konsentrasinya)
Program Ovsynch
Keberhasilan dari program ovsynch departemen reproduksi dapat dilihat pada total sapi yang
bunting setelah disuntik PG3 diangka 80% (satatus tercapai). Pemberian GnRH2 + IB mempunyai target 8%
dari programovsynch. Selain dari program ovsynch perusahaan tersebut juga
melakukantreatment Chorulon (Chorionic gonadothropin) untuk sapi-sapi yang DIM < 200 dan sudah lebih
dari 3 kali di IB tidak bunting. Fungsi dari chorulontersebut biasanya diberikan pada kasus-kasus infertilitas
(tidak terjadinya pembuahan), sistik ovari (nimfomania), induksi ovulasi (delayed ovulasi).
Penyuntikkan chorulon ini menggunakan HCG (hormon chorionik gonadotropin) sebanyak 10 mililiter pada
bagian paha belakang kiri dan kanan.
Pemeriksaan Kebuntingan
Sapi yang diduga tidak berahi setelah dikawinkan kemungkinan bunting. Pemeriksaan
kebuntingan sapi dilakukan satu sampai satu setengah bulan setelah inseminasi terakhir.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara palpasi rektal yaitu memasukkan tangan pada bagian rektal,
jika ovarium terasa asimetris atau adanya pembesaran di salah satu ovari, bisa dikatakan sapi
tersebut bunting. Selain itu perabaan dapat dilakukan pada bagian fetalmembran (percabangan
uteri) yang terasa membesar, pemeriksaan ini dilakukan oleh dokter hewan atau veteriner yang
mempunyai keahlian dalam hal reproduksi.
Umur kebuntingan 1,5 bulan sangat muda dan dapat mengakibatkan pecahnya embrio
yang masih sangat kecil. Jika sapi tersebut positif bunting maka diberi tanda dengan chalking
green pada pangkal ekor. Sejarah perkawinan sapi yang bersangkutan termasuk tanggal
melahirkan, tanggal dan jumlah IB yang dilakukan pada seekor sapi harus tercatat dengan baik
sehingga dapat dipelajari terlebih dahulu. Catatan perkawinan dan reproduksi yang lengkap
sangat bermanfaat untuk menentukan umur kebuntingan secara tepat dan cepat (Toelihere,
1985).
Pemeriksaan kebuntingan dilakukan pada pagi hari saat sapi kembali ke kandang setelah diperah. Ini dapat
membantu seorang veteriner untuk memeriksanya, karena sapi dapat di lock up (jepit) pada bagian kepala,
sehingga mudah untuk di palpasi. Sebelum melakukan palpasi tangan dibungkus dengan gloves plastic, dan
mengambil sebagian feses yang ada sebagai pelicin. Mulanya memasukkan satu jari, dua jari dan
seterusnya hingga semua bagian masuk kedalam rektum. Jika kotoran terlalu banyak dapat dikeluarkan
sebagian, tidak perlu sampai habis. Saat tangan sudah masuk sapi akan berkontraksi (merejan), tangan
didiamkan beberapa saat, kemudian dapat dilanjutkan kembali.
Penanganan Kelahiran
Sapi-sapi yang sudah masuk dalam program pengeringan (dry off program) di pen DP
(dry pregnant) akan selalu dikontrol. Sapi dengan umur kebuntingan 8 bulan keatas akan
dipindahkan ke pen 8 (pen transisi). Begitu juga saat sapi menujukkan tanda-tanda melahirkan,
biasanya sangat terlihat pada bagian vulva yang mengendor dan adanya lendir berwarna
kekuningan yang menggantung. Sapi dapat langsung digiring menuju pen maternity (pen
beranak). Hal ini sangat penting dilakukan untuk menghindari sapi melahirkan di kandang
pen dry pregnant sehingga tidak membahayakan pedet yang akan lahir. Sapi yang mengalami
kesulitan dalam melahirkan akan mendapat bantuan dari veteriner.
Masalah yang sering terjadi adalah distokia dalam posisi posterior (posisi kepala pedet
menghadap kedalam). Jika sapi tersebut mengalami distokia maka dengan segera dokter hewan
ataupun veteriner membetulkan posisi pedet dalam kondisi normal. Setelah itu pedet akan
dikeluarkan dengan menarik pada bagian kaki yang diikat tali saat sapi merejan hingga semua
tubuh pedet keluar. Dalam kondisi normal proses kelahiran pedet terbagi kedalam beberapa
tahap atau fase, yaitu :
1. Fase pertama : sapi gelisah, vulva kendor, vulva mengeluarkan lendir, sapi merejan, amnion
terlihat dan amnion pecah.
2. Fase kedua : organ tubuh pedet sebagian terlihat, sapi merejan dan seluruh tubuh pedet
terlihat.
Kelahiran harus sudah terjadi dalam waktu 8 jam, jika pedet belum juga keluar maka
perlu mendapat bantuan. Pertolongan diberikan dengan memastikan terlebih dahulu kondisi
pedet, setelah dirasa benar maka pedet siap dikeluarkan. Kaki depan akan diikat dengan tali yang
sudah dicelupkaniodine 7%. Begitu juga tangan yang akan dimasukkan ke dalam vulva
dicelupkan dengan iodine. Pada saat sapi merejan kaki akan ditarik. Pedet yang keluar segera
dibersihkan dari lendir-lendir yang tersisa terutama pada bagian hidung dan mulut untuk
membantu pernafasan. Induknya pun ikut menjilat-jilat tubuh pedet. Empat sampai lima jam
setelah melahirkanplasenta harus sudah keluar. Sapi yang sudah melahirkan segera diberikan
vitamin AD3E 5 ml lewat suntikkan di bagian leher (intravena), penstrep yang disuntikkan
melalui intravena bagian leher sebanyak 20 ml, dan pemberiancalcoral gel 400 ml melalui
mulut. Penanganan yang diberikan bertujuan agar kondisi sapi tidak melemah setelah melahirkan
(drop). Beberapa jam setelah itu sapi akan diperah untuk diambil kolostrumnya menggunakan
mesin perahportable.
GANGGUAN REPRODUKSI
Tinggi rendahnya produksi ternak tergantung bagaimana reproduksinya. Secara
keseluruhan penurunan daya reproduksi dan kematian merupakan masalah reproduksi yang
belum ditangani secara baik. Umur melahirkan pertama kali dapat dipengaruhi oleh pakan,
sehingga membuat siklus berahi selanjutnya tidak normal (lebih panjang/pendek). Beberapa
gangguan reproduksi secara umum dipengaruhi oleh lingkungan, hormonal, genetik (anatomi),
dan penyakit/infeksi.
Lingkungan
Khususnya dalam hal pemberian pakan, harus diupayakan dengan baik dan seimbang
terutama pada umur muda (Herwiyanti, 2006). Pakan yang kurang otomatis akan membuat
perkembangan alat reproduksi juga terhambat, dan sekresi hormon terganggu. Begitu juga saat
pakan yang berlebih menyebabkan obesitas, pada sapi dara akan mengganggu perkembangannya
sedangkan pada sapi dewasa mengganggu ovulasi.Defisiensi vitamin A menyebabkan abortus,
defisiensi vitamin AD3E menyebabkan anestrus. Saat defisiensi mineral Phosfor (P) akan terjadi
hipofungsi ovari, dan lambat untuk pubertas. Mineral Cuprum (CU), Ferum (FE), Cobalt (CO)
dapat menyebabkan kegagalan berahi, begitu juga dengan induk yang kekurangan Yodium maka
pedet akan premature dan kondisi lemah saat kelahiran. Saat sapi masuk dalam tahap menyusui
akan menghambat hormon GnRH. Iklim juga menjadi salah satu faktor, panas yang berlebih
dalam jangka waktu yang lama membuat sapi tidak menunjukkan tanda-tanda berahi.
Lingkungan juga berhubungan dengan senilitas/ketuaan, gigi yang aus sehingga sapi tidak nafsu
makan akibatnya defisiensi.
Hormonal
1. Sapi anestrus (adanya corpus luteum) fungsi CL itu sendiri mempertahankan kebuntingan.
2. Silent heat bisa disebabkan kekurangan hormon estrogen, sapi yang sudah tua, atau berahi
setelah melahirkan.
5. Cistik ovari, kurangnya hormon LH (Luteinizing Hormon) menyebabkan sapi mau menaiki
tapi tidak mau dinaiki.
Genetik/anatomi
Sifat hereditas (menurun): ovari kecil tidak berkembang, apabila terjadi pada keduanya
maka sapi harus diafkir; adanya saluran reproduksi yang tidak berkembang. Untuk sifat yang
tidak menurun: ovarium hanya satu, freemartin (kembar jantan dan betina).
Penyakit/infeksi
Dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan protozoa. Akibat yang ditimbulkan dari
bakteri salah satunya adalah Brucellosis sedangkan virus dapat menyebabkan IBR (Infectious
Bovine Rhinotracheitis). Beberapa gangguan reproduksi yang sering terjadi di PT Greenfields
Indonesia, yaitu sebagai berikut :
Penyebab dari nimfomania itu sendiri karena produksi susu yang tinggi tetapi tidak
diimbangi dengan nutrisi (intake nutrisi rendah) sehingga kekurangan hormon LH (Luteinizing
hormone). Jika dilakukan palpasi parental pada bagian ovarium maka akan terasa salah satu
ovarium atau kedua-duanya membesar dan terdapat cairan, dindingnya tipis, diameter lebih dari
2,5 cm serta gejala berahi terus menerus. Persentasi yang terhitung pada kasus seperti ini
menunjuk angka 5%, tetapi kejadiannya dalam kelompok berbeda-beda.
Untuk penanganan kasus ini sapi akan diberikan injeksi hormon LH (Lutenizing
Hormon) sebanyak 3 ml. Hormon tersebut akan disuntikkan secara intrauteri menggunakan gun
plastik.
Secara fisiologik selaput fetus tanggal dalam waktu 3 sampai 8 jam postpartum. Apabila selaput
tersebut menetap lebih lama dari 8 sampai 12 jam, kondisi ini dianggap patologik dan
terjadilah retensio secundinae(Toelihere, 1985).
Penyebabnya adalah kegagalan lepasnya vilia kotiledon fetus dari kripta karankula
maternal karena dorongan myometrium yang lemah. Uterus akan terus berkontraksi dan
sejumlah besar darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karankula maternal
mengecil karena suplai darah berkurang dan kripta karankula berdilatasi. Retensio
secundinae sebenarnya adalah suatu proses kompleks yang meliputi pengurangan suplai darah
diikuti oleh penciutan struktur-struktur plasenta maternal dan fetal, perubahan-perubahan
degeneratif dan kontraksi uterus yang kuat (Toelihere, 1985). Plasenta tersebut harus keluar,
karena akan mempengaruhi proses reproduksi selanjutnya. Bakteri yang menepel pada plasenta
akan masuk kedalam organ reproduksi. Jasad-jasad renik seperti Brucella
abortus,Tuberculosis, Campylobacter fetus dan berbagai jamur menyebabkanplacentitis.
Gejala yang cukup jelas yaitu sebagian selaput fetus menggantung keluar dari vulva 12
jam atau lebih sesudah kelahiran normal, abortus atau distokia. Sekitar 20 sampai 25 persen
memperlihatkan gejala-gejala metritis dengan suhu badan yang tinggi, produksi susu dan berat
badan menurun.Pada kasus ini angka kematian sangat sedikit dan tidak melebihi satu sampai dua
persen. Apabila ditangani dengan cepat dan baik maka kesuburan sapi tidak banyak terganggu.
Pada kasus ini kerugian yang diderita peternak bersifat ekonomis.
Berbagai cara dan sarana telah dipakai untuk menangani Retensio secundinae. Cara yang
masih popular dikalangan dokter hewan adalah menyingkirkan selaput fetus secara manual dan
memberikan antibiotik. Pelepasan plasenta manual dapat dilakukan dengan menempatkan tangan
pada endometrium dan chorion di ruang interkotiledoner dan kotiledon fetal serta karankula
dipegang secara individual, ditekan, dan dengan ibu jari serta jari telunjuk memisahkan secara
hati-hati. Semua selaput fetus harus dikeluarkan secara keseluruhan tanpa meninggalkan sisa di
dalam uterus yang sangat berpotensi terjadinya infeksi. Dapat juga dilakukan irigasi (pencucian)
dengan iodine povidone sebanyak 200 ml intravagina. Antibiotik yang dipakai oleh veteriner
departemen reproduksi mencakup Oxytetracyclinsebanyak(<<<)
Penyakit pada uterus yang terinfeksi setelah kelahiran pada alat kelamin betina kebanyakan terjadi dari saat
melahirkan sampai 3 hari sesudahnya, pada saat cervic, vagina, dan vulva masih mengalami dilatasi. Pada
saat tersebut kuman dapat leluasa masuk ke alat kelamin. Terjadinya infeksi tergantung dari virulensi
kuman maupun daya tahan yang dimiliki oleh saluran kelamin. Kejadian ini mencapai angka 19% pada
tahun 2007.
Infeksi endometrium merupakan peradangan pada bagian uterus yang paling ringan. Pada umumnya
disebabkan oleh infeksi jasad renik yang masuk ke dalam uterus melalui cervic dan vagina. Kuman-kuman
yang sering masuk melalui cervic dan vagina adalah Strepthococcus, Staphylococcus, Coli(berasal dari
feses, mungkin pada waktu inseminasi buatan, atau pertolongan distokia maupun retensio). Endometritis
penyebab utama kemajiran (Toelihere, 1985). Masih dapat dipahami bahwa dalam alat kelamin betina yang
mempunyai uterus menderita endometritis masih dapat terjadi fertilisasi, kecuali jika endometritis itu
menghasilkan sekresi nanah atau lendir lain yang volumenya banyak sekali hingga menyebabkan perjalanan
semen terganggu.
Symptom endometritis sangat tergantung kepada derajat penyakitnya. Endometritis ringan secara klinis
sulit diketahui gejalanya. Mungkin diketahui bila dalam keadaan estrus dan lendir berahi yang keluar tidak
terang tembus seperti kaca, dimana lendir yang dihasilkan oleh bagian-bagian yang meradang bersifat
jernih seperti air (Partodiharjo, 1987). Untuk endometritis yang tergolong lebih berat biasanya
menghasilkan sekresi yang mudah dilihat mata dan dikenal secara klinis. Misalnya
endometritis mucopurulent yang ditandai dengan keluarnya nanah melalui vagina dan tertinggal di ujung
rambut (Partodiharjo, 1987).
Endometritis subklinis di PT Greenfields Indonesia ditandai dengan sapi yang siklus berahinya normal, hanya
saja saat dikawinkan sulit bunting, sedangkan pada gejala endometritis klinis ditunjukkan dengan adanya
leleran (lendir) yang berwarna keruh atau keputihan. Berbagai kriteria infeksi ditandai oleh tingkat
kekentalan lendir tersebut. Beberapa kriteria lendir yang terlihat di lapang :
Banyak
Sebelum terjadinya endometritis, biasanya sapi-sapi tersebut mengalami distokia saat melahirkan, atau
RFM. Diagnosis endometritis pada umumnya disusun menurut pemeriksaan rektal, vagina, anamnese, dan
biopsi (Partodiharjo, 1987). Menurut anamnese biasanya sapi yang endometritis tidak bunting saat
dikawinkan. Untuk pemeriksaan pravaginal didapatkan adanya sedikit lendir dalam vagina. Volume sekresi
biasanya tidak banyak, lendir akan mengalir menuju vulva. Untuk pemeriksaan rektum umumnya
didapatkan kedua uterus sedikit membesar dibandingkan uterus yang tidak bunting dan didapatkan juga
penebalan pada dinding uterus. Diagnosa yang sempurna ialah bila diadakan biopsi. Dengan biopsi,
pewarnaan dan pemeriksaan mikroskopik akan dapat gambaran yang jelas dan pasti tentang endometrtis,
karena sifat peradangan pada jaringan endometrium dengan jelas terlihat dibawah mikroskop.
Banyak sekali macam dan cara pengobatan yang dilakukan dan pada umumnya berhasil baik. Pengobatan
yang dilakukan dengan menyutikkan OTC (Oxytetracyclin). Larutan OTC dibuat dari campuran Aqudest 60
ml + Alamycin LA 6 ml secara intrauteri atau dengan menggunakan metricure 10 ml melalui intrauteri (gun
plastik). Antibiotik yang dimasukkan kedalam uterus bertujuan untuk menstimulir organ reproduksi betina
lalu membasmi jasad renik yang meradang dalam uterus. Untuk kasus endometritis yang menyerang pada
tahun 2007 sebesar 20% yang diperoleh dari data sapi-sapi transisi.
4. Metritis
Metritis atau peradangan seluruh bagian uterus meliputi semua lapisan dinding uterus. Kejadiannya
berlangsung dua minggu setelah beranak. Sifat toksiknya terjadi dalam waktu 3-5 hari setelah melahirkan.
Metritis umumnya disertai septicemia berat atau toksemia (metritis septika). Penyebab infeksi yang paling
banyak ditemukan adalah kuman-kuman koliform seperti, E.coli, Strepthoccocus, Staphiloccocus dan
defisiensi mineral.
Gejala yang sering timbul biasanya tampak lesu, menahan rasa sakit, produksi susu akan
menurun, tidak mampu untuk berdiri, anoreksia, dan keluarnya discharge (cairan) encer
berwarna coklat dan berbau amis. Pada saat dilakukan palpasi rektal menunjukan uterus
membesar (tidak normal),cervic teraba lebih besar dari biasanya, dan kadang-kadang bila uterus
ditekan maka akan mengeluarkan leleran yan bersifat mucopurulent. Keadaan ini memungkinkan
tidak teraturnya siklus berahi (Subronto dan Tjahajati, 2001). Kerugian yang akan diterima oleh
peternak dalam kasus ini dapat menyebabkan penurunan angka kelahiran, penurunan produksi,
penurunan berat badan, munculnya reapet breeder, pyometra dan majir (Hardjopranjoto, 1995).
Di PT Greenfields Indonesia kondisis ini sudah mencapai angka 20% pada tahun 2007. Berikut
adalah gambar sapi yang terserang metritis.
5. Pyometra
Pyometra merupakan penyakit yang ditandai dengan teririsnya rongga uterus oleh eksudat purulent dan
biasanya tanpa diikuti oleh gejala-gejala penyakit sistemik (Subronto dan Tjahajati, 2001). Kejadian
pyometra korpus luteum (CL) dapat diraba pada salah satu ovariumnya. Mungkin saja CL tidak ada, atau
melekat dan tidak dapat dipalpasi. Korpus luteum yang terdapat pada pyometra terjadi karena adanya
ovulasi post-partum. Pada umumnya pyometra terlihat lebih kurang 3 minggu setelah kelahiran sampai
sepanjang masa laktasi. Pyometra biasanya diawali oleh kelahiran yang abnormal. Beberapa keadaan
pyometra yang sering dijumpai dalam sifat tertutup (tanpa leleran) maupun terbuka (adanya eksudat dari
vagina). Uterus terasa jauh lebih besar dari normal. Eksudat dapat bersifat kuning sampai bercampur darah.
Pengamatannya melalui lendir yang sangat kental dengan banyaknya gumpalan-gumpalan putih keluar dari
vulva. Kebanyakan pyometra dapat disembuhkan dengan sekali pengobatan. Untuk pengobatan, tujuan
utamanya adalah mengosongkan uterus dengan meningkatkan kontraksi atau menghilangkan CL (Corpus
Luteum).
Obat-obatan yang dapat digunakan meliputi estrogen, oxytocin, prostaglandin atau analognya (Subronto
dan Tjahajati, 2001). Terapi pyometra yang dilakukan oleh bagian veteriner dengan menyuntikkan hormon
PGF2, Oxytocin, atau menggunakan Metricure (Cefapirin benzhatine) 500 mg intrauteri. Berikut adalah
beberapa peralatan yang digunakan untuk mendukung kegiatan reproduksi, dapat dilihat pada tabel 6.
PT Greenfields Indonesia
(kapasitas 3000)
Container nitrogen cair (34-36 l) 1 Nitrogen (stock)
Container kapasitas (180 straw) 1 Menyimpan straw
Gun stainless 2 Inseminasi Buatan
Gun plastik 50 buah Penanganan antibiotik
Plastik sheet 1000 buah Inseminasi Buatan
Pen stick orange 12/Kotak Chalking
Tell tail green 1 liter/Botol Chalking
Thawing aki 1 set Pengenceran sperma
dengan suhu stabil
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis mengenai manajemen reproduksi dan gangguan reproduksi sapi
perah PT Greenfields Indonesia, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Manajemen reproduksi yang meliputi deteksi berahi, sistem perkawinan, program sinkronisasi
(penyerentakkan berahi) dan pemeriksaan kebuntingan dapat dikatakan baik.
2. Rekording yang dilaksanakan di PT Greenfields Indonesia dengan menggunakan sistem Dairy Comp 305
dan catatan reproduksi di lapang seperti pencatatan sapi berahi, pencatatan sapi yang dikawinkan,
pengamatan lendir infeksi dilakukan secara teratur, baik dan lengkap dalam memuat data.
3. Evaluasi reproduksi dapat dilihat melalui data sekunder dengan menggunakan parameter reproduksi
seperti service per conception,conception rate dan calving interval dapat dikatakan sudah baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bakely J dan Bade P.H. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi keempat. Terjemahan Srigandono B. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta
Hardjopranjoto, W. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press: Surabaya
Herwiyanti, E.M.P, drh. 2006. Makalah Seminar Pelatihan Inseminator pada Sapi/Kerbau BIB Singosari:
Malang
Ihsan, N. 1992. Diktat Inseminasi Buatan. Program Studi Inseminasi dan Pemuliaan Ternak. Animal
Husbandry Project. Universitas Brawijaya: Malang
Lindsay D.R, Enwistle K.W dan Winantea A. 1982. Reproduksi Ternak di Indonesia. Fakultas Peternakan dan
Perikanan Universitas Brawijaya: Malang
Lubis, O.P drh. 2006. Makalah Seminar Pelatihan Inseminator pada Sapi/Kerbau BIB Singosari: Malang
Nuryadi. 2006. Dasar-Dasar Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya: Malang
Partodihardjo, S drh. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya: Jakarta
Subronto dan Tjahajati, I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Toelihere M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas Indonesia Press: Bogor