Professional Documents
Culture Documents
LANDASAN TEORI
2.1 Poliester
2.1.1 Struktur Poliester
Salah satu serat sintetik yang sering digunakan sebagai bahan baku tekstil adalah
poliester. Poliester merupakan polimer ester yang terbentuk oleh reaksi kondensasi
dari asam tereftalat dan etilena glikol (Karmakar, 1999).
Sumber: Joonseok Koh, Textile Dyeing, Universitas Konkuk, Seoul, 2011, hal 205
Gambar 2.1 Reaksi Kimia Pembentukan Poliester
Kelebihan poliester yaitu memiliki sifat kembali dari lipatan yang baik sehingga kain
poliester tidak mudah kusut. Sifat tersebut menyebabkan serat poliester sering
digunakan sebagai serat campuran dengan serat alam seperti serat kapas dan
rayon. Serat ini juga memiliki modulus awal yang tinggi sehingga poliester tidak
akan mulur saat mengalami sedikit peregangan (Koh, 2011).
Serat poliester memiliki struktur yang rapat. Daerah kristalin pada sistem polimernya
adalah sekitar 65% hingga 85% (Karmakar, 1999). Rantai molekul poliester cukup
panjang dan berbentuk zig-zag serta tidak ada ikatan yang dapat
mengakomodasikan molekul zat warna, akibatnya rantai molekul sulit untuk
mengubah posisi dan partikel zat warna tidak dapat menembus serat dengan
mudah, dengan demikian adsorpsi berjalan lambat (Nugraheni, 1998).
5
6
Serat poliester tidak mudah terdegradasi oleh cahaya. Serat poliester juga tahan
terhadap zat-zat pereduksi dan pengoksidasi. Kelemahan poliester yaitu terhadap
alkali kuat pada temperatur tinggi yang dapat menyebabkan serat ini terhidrolisis
dan terdegradasi. Serat ini juga dapat larut dalam meta-kresol, asam tri-floro asetat,
dan orto-klorofenol (Karmakar, 1999).
Faktor penting pada proses pencelupan serat poliester dengan zat warna dispersi
adalah penambahan zat pendispersi pada larutan celup. Zat pendispersi merupakan
zat aktif permukaan yang berfungsi memecah partikel zat warna yang beragresi dan
melindungi sekeliling zat warna tersebut sehingga terjadi gaya elektrostatis yang
saling tolak menolak. Zat pendispersi juga berperan menstabilkan larutan dispersi
zat warna.
dalam serat. Partikel-partikel kecil zat warna dispersi molekul tunggal sangat mudah
terserap oleh serat (Lynn, 1981).
Pada umumnya terdapat tiga metode yang digunakan untuk mencelup serat
poliester dengan zat warna dispersi, yaitu:
1) Metode pencelupan dengan bantuan zat pengemban (carrier dyeing method)
2) Metode pencelupan dengan suhu dan tekanan tinggi (High Temperature
High Pressure)
3) Metode Termosol
Diantara ketiga metode tersebut, metode yang paling sering digunakan adalah
pencelupan dengan suhu dan tekanan tinggi. Penggunaan metode tersebut dapat
menghemat pemakaian zat warna dengan kerataan hasil pencelupan yang baik.
Kelebihan lain yang menjadi pertimbangan adalah waktu proses yang relatif lebih
singkat tanpa penggunaan zat pengemban yang harganya relatif mahal.
Beberapa keuntungan penggunaan metode suhu dan tekanan tinggi adalah dapat
mencelup warna tua, hemat penggunaan zat, waktu, dan biaya proses, adsorbsi
lebih cepat, kerataan lebih baik, ketahanan luntur baik, penetrasi zat warna ke
dalam serat lebih baik, dan dapat menggunakan zat warna dispersi dengan
ketahanan sinar yang lebih baik dan sukar menguap yang hanya terserap sedikit
pada pencelupan di bawah temperatur 100oC.
Pada tahap ini molekul-molekul zat warna dispersi berpindah dari keadaan
agregat dalam larutan celup masuk ke dalam serat sebagai bentuk molekuler.
Pigmen zat warna dispersi larut dalam air dalam jumlah yang sangat kecil, tetapi
bagian zat warna yang terlarut tersebut sangat mudah terserap oleh serat.
Bagian yang tidak larut merupakan sejumlah zat warna yang sewaktu-waktu
akan larut untuk mempertahankan keseimbangan.
c. Tahap difusi zat warna dari permukaan serat ke dalam inti serat
Tahap ini sangat bergantung pada kerapatan struktur serat, ukuran partikel zat
warna dan kondisi pencelupan. Tahap difusi merupakan tahap yang paling
lambat sehingga dipergunakan sebagai sebagai ukuran untuk menentukan laju
pencelupan. Ketuaan warna yang diperoleh dari proses pencelupan
dipengaruhi waktu yang ditempuh pada tahap ini. Pada umumnya, waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan celupan warna muda adalah 10-20 menit,
sedangkan untuk mencelup warna medium dibutuhkan waktu sekitar 20-30
menit, dan 30-35 menit untuk mencelup warna-warna gelap. Beberapa zat
warna dispersi mempunyai kecepatan difusi yang cukup besar sehingga
memungkinkan celupan akan muda atau sedang dalam waktu pencelupan yang
tidak terlalu lama.
Konsentrasi zat warna dalam larutan celup bergantung pada banyaknya zat
warna yang dipakai terhadap berat bahan yang akan dicelup. Semakin tinggi
konsentrasi zat warna di dalam larutan celup, semakin besar kecenderungan
zat warna beragregasi dan menimbulkan penggumpalan yang akan
mengakibatkan pencelupan menjadi tidak sempurna.
9
Pada Gambar 2.2 diilustrasikan bahwa zat pendispersi yang dimasukan ke dalam
larutan celup membentuk misel-misel zat warna. Ekor hidrofobik pada molekul zat
warna dispersi menghadap ke arah dalam sedangkan bagian hidrofilnya
menghadap ke arah luar sehingga molekul zat warna dapat larut dalam air. Zat
warna dari misel tersebut berpindah masuk ke dalam serat sehingga misel kosong
dari zat warna. Misel-misel tersebut terbentuk kembali dan melarutkan zat warna
dari partikel solid.
Sumber: Joonseok Koh, Textile Dyeing, Universitas Konkuk, Seoul, 2011, hal 214
Gambar 2.2 Mekanisme Pencelupan dengan Zat Warna Dispersi
Di dalam larutan pencelupan harus terdapat larutan zat warna dispersi yang jenuh
terus menerus dan sistem dispersi akan tetap jenuh selama masih terdapat partikel
tunggal. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kesetimbangan di dalam larutan
pencelupan setelah partikel molekul tunggal terserap oleh serat, maka timbunan zat
warna yang merupakan partikel besar akan pecah menjadi molekul tunggal. Dengan
demikian kesetimbangan antara distribusi zat warna di dalam serat dan zat warna di
dalam larutan dengan konsentrasi zat warna dalam serat selalu tetap (Koh, 2011).
Sumber: Gitopadmodjo, Isminingsih, Pengantar Kimia Zat Warna, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil,
Bandung, 1979, hal 158
Gambar 2.3 Struktur Zat Warna Dispersi Azo
Sumber: Gitopadmodjo, Isminingsih, Pengantar Kimia Zat Warna, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil,
Bandung, 1979, hal 158
Gambar 2.4 Struktur Zat Warna Dispersi Antrakinon
Zat warna dispersi merupakan senyawa aromatik dengan gugus fungsional (OH,
NH2. NHR, dan sebagainya). Gugus fungsional tersebut berfungsi sebagai gugus
pemberi hidrogen yang mengalami interaksi dwi-kutub dengan gugus karbonil
(C=O) atau gugus asetil (COCCH3=O) pada serat (Gitopadmojo & Djufri, 1979).
Merupakan zat warna organik yang cocok untuk pencelupan serat hidrofobik.
Mempunyai berat molekul yang relatif kecil dibanding zat warna lain.
memiliki sifat celup yang kurang baik. Zat warna tipe B dan tipe C memiliki sifat dan
ukuran molekul antara zat warna tipe A dan tipe D (Koh, 2011).
2. Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen merupakan ikatan sekunder yang terbentuk karena atom hidrogen
pada gugus hidroksi atau amina mengadakan ikatan yang lemah dengan atom
lainnya, misalnya molekul-molekul air yang mendidih pada suhu yang jauh lebih
tinggi daripada molekul senyawa alkana dengan berat molekul yang sama. Pada
umumnya molekul-molekul zat warna dan serat mengandung gugus yang
memungkinkan terbentuknya ikatan hidrogen (Djufri, 1976).
Sumber: Gitopadmodjo & Djufri, Pengantar Kimia Zat Warna. Institut Teknologi Tekstil, Bandung, 1979,
hal 155
Gambar 2.5 Ikatan Hidrogen Antara Serat dengan Zat Warna
Sumber: Joonseok Koh, Textile Dyeing, Universitas Konkuk, Seoul, 2011, hal 214
Gambar 2.6 Reaksi Kimia Selama Proses Cuci Reduksi
Efektifitas proses cuci reduksi berhubungan dengan kekuatan reduksi dari pereduksi
dan kestabilannya dalam larutan pencucian reduksi. Kain yang telah mengalami
proses cuci reduksi secara optimal akan memiliki ketahanan luntur warna terhadap
gosokan dan pencucian yang baik.
Sumber: Giptopadmojo, Dr. Isminingsih., Seri Kuliah Zat Pembantu Tekstil,STTT,slide 10.
2003.
Gambar 2.7 Misel Sferik
14
Sumber: Giptopadmojo, Dr. Isminingsih., Seri Kuliah Zat Pembantu Tekstil,STTT,slide 11.
2003.
Gambar 2.8 Misel Lamelar
2. Adsorpsi
Zat aktif permukaan pada umumnya teradsorpsi pada permukaan atau antar muka.
Apabila larutan mempunyai tegangan permukaan lebih kecil dari pelarut murni, zat
terlarut akan terkonsentrasi pada permukaan dan terjadi adsorpsi positif. Sebaliknya
adsorpsi negatif terjadi jika molekul-molekul zat terlarut lebih banyak terdapat pada
rongga larutan daripada permukaan.
2. Daya busa
Busa adalah dispersi gas dalam cairan, dan zat aktif permukaan akan dapat
memperkecil tegangan permukaan sehingga busa akan stabil, jadi zat aktif
permukaan mempunyai daya busa.
3. Daya emulsi
Emulsi adalah suspensi partikel cairan dalam fasa cairan yang lain yang tidak saling
melarutkan. Sama halnya dengan pembusaan, maka zat aktif permukaan akan
menurunkan tegangan permukaan sehingga akan terjadi emulsi yang stabil.
15
4. Daya dispersi
Dispersi adalah suspensi partikel padat dalam fasa cairan. Sama halnya dengan
pembusaan dan pengemulsian, maka zat aktif permukaan akan menurunkan
tegangan permukaan sehingga akan terjadi dispersi yang stabil.
Dispersi adalah suspensi partikel padat dalam fasa cairan. Sama halnya dengan
pembusaan dan pengemulsian, maka zat aktif permukaan akan menurunkan
tegangan permukaan sehingga akan terjadi dispersi yang stabil.
2. Menjaga supaya dispersi partikel zat warna homogen dan stabil dalam larutan
pencelupan.
Zat aktif jenis ini dapat menyetabilkan dispersi zat warna dalam larutan pada suhu
tinggi, tetapi kurang tahan terhadap air sadah dan tidak bekerja bila pH terlalu
rendah. Contoh struktur kimianya adalah sebagai berikut.
RSO3Na
RO(C2H4O)n H
- pH : 1 - 13
2.9 Pengaruh pH larutan Celup Terhadap kerusakan Zat Warna dan Serat
Poliester
Pencelupan dengan zat warna dispersi pada umumnya berlangsung dengan kondisi
larutan atau suasana asam. Hal ini dimungkinkan karena zat warna dispersi
memerlukan asam untuk menjaga kestabilan zat warna yang telah terdispersikan
kedalam larutan celup, karena sifatnya yang tidak larut di dalam air dan cenderung
terendapkan kembali bila larutan celup berubah suasananya.