You are on page 1of 14

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Poliester
2.1.1 Struktur Poliester
Salah satu serat sintetik yang sering digunakan sebagai bahan baku tekstil adalah
poliester. Poliester merupakan polimer ester yang terbentuk oleh reaksi kondensasi
dari asam tereftalat dan etilena glikol (Karmakar, 1999).

Sumber: Joonseok Koh, Textile Dyeing, Universitas Konkuk, Seoul, 2011, hal 205
Gambar 2.1 Reaksi Kimia Pembentukan Poliester

2.1.2 Sifat-sifat Serat Poliester


Serat poliester merupakan serat yang sangat hidrofobik, oleh karena itu serat
tersebut memiliki daya serap yang rendah. Pada kondisi standar, yaitu pada
kelembaban relatif 65% dan temperatur 20oC, moisture regain poliester hanya
sekitar 0,4%. Serat poliester memiliki kekuatan tarik yang tinggi. Tidak ada
perbedaan signifikan pada kekuatan tarik poliester disaat basah maupun kering.
Serat poliester dapat mengkeret sekitar 6% pada air mendidih tapi hanya mengkeret
3% di udara panas pada temperatur yang sama. Sifat-sifat fisik serat poliester
disajikan pada Tabel 2.1 di halaman 7.

Kelebihan poliester yaitu memiliki sifat kembali dari lipatan yang baik sehingga kain
poliester tidak mudah kusut. Sifat tersebut menyebabkan serat poliester sering
digunakan sebagai serat campuran dengan serat alam seperti serat kapas dan
rayon. Serat ini juga memiliki modulus awal yang tinggi sehingga poliester tidak
akan mulur saat mengalami sedikit peregangan (Koh, 2011).

Serat poliester memiliki struktur yang rapat. Daerah kristalin pada sistem polimernya
adalah sekitar 65% hingga 85% (Karmakar, 1999). Rantai molekul poliester cukup
panjang dan berbentuk zig-zag serta tidak ada ikatan yang dapat
mengakomodasikan molekul zat warna, akibatnya rantai molekul sulit untuk
mengubah posisi dan partikel zat warna tidak dapat menembus serat dengan
mudah, dengan demikian adsorpsi berjalan lambat (Nugraheni, 1998).

5
6

Serat poliester tidak mudah terdegradasi oleh cahaya. Serat poliester juga tahan
terhadap zat-zat pereduksi dan pengoksidasi. Kelemahan poliester yaitu terhadap
alkali kuat pada temperatur tinggi yang dapat menyebabkan serat ini terhidrolisis
dan terdegradasi. Serat ini juga dapat larut dalam meta-kresol, asam tri-floro asetat,
dan orto-klorofenol (Karmakar, 1999).

Tabel 2.1 Sifat-sifat Fisik Poliester


Sifat-sifat Rentang
Kekuatan tarik 2,5 6,0 gram/denier
Mulur 12 15%
Elastisitas 90 96% pada penarikan 2%
Kekakuan rata-rata 8 25 gram/denier
Berat jenis 1,38
Moisture regain (kondisi standar) 0,4%
Sumber: Karmakar, Chemical Technology in The Pre-treatment Processes of Textiles, Elsevier
Science B.V, Amsterdam, 1999, hal 29

2.2 Proses Pencelupan


Berdasarkan sifat hidrofobnya, serat poliester hanya dapat dicelup dengan zat
warna yang merupakan bentuk dispers (aqueous), yaitu zat warna dispersi. Zat
warna dispersi yang juga bersifat hidrofob memiliki ukuran molekul yang relatif kecil
sehingga mampu menembus serat poliester yang memiliki struktur rapat (closed
packed).

Pencelupan serat poliester dengan zat warna dispersi merupakan peristiwa


distribusi zat padat dalam dua zat pelarut yang tidak dapat bercampur. Dalam hal ini
zat warna dispersi merupakan zat padat yang larut dalam medium serat. Adsorpsi
zat warna terhadap serat tersebut sering disebut solid solution (Djufri, 1976).

Faktor penting pada proses pencelupan serat poliester dengan zat warna dispersi
adalah penambahan zat pendispersi pada larutan celup. Zat pendispersi merupakan
zat aktif permukaan yang berfungsi memecah partikel zat warna yang beragresi dan
melindungi sekeliling zat warna tersebut sehingga terjadi gaya elektrostatis yang
saling tolak menolak. Zat pendispersi juga berperan menstabilkan larutan dispersi
zat warna.

Zat warna dispersi di dalam larutan pencelupan terdispersi menjadi partikel-partikel


dengan berbagai ukuran. Dalam larutan, partikel-partikel tersebut bergerak
membentuk zig-zag (gerakan Brown) sehingga dapat terjadi difusi zat warna ke
7

dalam serat. Partikel-partikel kecil zat warna dispersi molekul tunggal sangat mudah
terserap oleh serat (Lynn, 1981).

Pada umumnya terdapat tiga metode yang digunakan untuk mencelup serat
poliester dengan zat warna dispersi, yaitu:
1) Metode pencelupan dengan bantuan zat pengemban (carrier dyeing method)
2) Metode pencelupan dengan suhu dan tekanan tinggi (High Temperature
High Pressure)
3) Metode Termosol

Diantara ketiga metode tersebut, metode yang paling sering digunakan adalah
pencelupan dengan suhu dan tekanan tinggi. Penggunaan metode tersebut dapat
menghemat pemakaian zat warna dengan kerataan hasil pencelupan yang baik.
Kelebihan lain yang menjadi pertimbangan adalah waktu proses yang relatif lebih
singkat tanpa penggunaan zat pengemban yang harganya relatif mahal.

2.2.1 Pencelupan dengan Suhu dan Tekanan Tinggi


Pencelupan suhu tinggi adalah pencelupan dalam larutan celup menggunakan
tekanan, sehingga dapat diperoleh suhu yang tinggi yakni sekitar 120-130oC. Suhu
dan tekanan tinggi meningkatkan difusi zat warna dengan mengurangi gaya kohesi
antara rantai polimer dan meningkatkan energi kinetik molekul zat warna (Koh,
2011). Pada proses pencelupan suhu tinggi, energi panas menyebabkan terjadinya
gerakan-gerakan makro molekuler yang cepat sehingga terbentuk ruang antara
molekul serat yang memungkinkan zat warna terdifusi ke dalamnya. Setelah proses
pencelupan berakhir, serat kembali ke bentuk semula dengan zat warna terlarut
dalam serat. Ikatan yang terjadi antara zat warna dan serat dapat berupa ikatan
hidrogen maupun ikatan dwi kutub (Djufri, 1976).

Beberapa keuntungan penggunaan metode suhu dan tekanan tinggi adalah dapat
mencelup warna tua, hemat penggunaan zat, waktu, dan biaya proses, adsorbsi
lebih cepat, kerataan lebih baik, ketahanan luntur baik, penetrasi zat warna ke
dalam serat lebih baik, dan dapat menggunakan zat warna dispersi dengan
ketahanan sinar yang lebih baik dan sukar menguap yang hanya terserap sedikit
pada pencelupan di bawah temperatur 100oC.

2.2.2 Mekanisme Pencelupan


Mekanisme pencelupan yang disimpulkan oleh Vickerstaff berlangsung dalam tiga
tahapan sebagai berikut (Koh, 2011) (Djufri, 1976):
8

a. Tahap difusi zat warna dalam larutan.


Zat pendispersi dalam larutan celup berperan dalam pembentukan agregat
molekul-molekul zat warna. Pada suhu tinggi gerakan molekul-molekul zat
warna dalam larutan celup menjadi lebih cepat. Dalam larutan celup,
permukaan serat tekstil bersifat negatif sehingga dalam tahap dengan zat-zat
pembantu berperan mendorong molekul-molekul zat warna lebih mudah
mendekati permukaan serat.

b. Tahap adsorpsi zat warna kedalam serat.


Tahap adsorpsi merupakan tahap fase paling kritis yang menentukan kerataan
hasil celupan. Oleh karena itu laju kenaikan suhu penting untuk diperhatikan
agar adsorpsi zat warna terhadap serat dapat terkendali dengan baik.

Pada tahap ini molekul-molekul zat warna dispersi berpindah dari keadaan
agregat dalam larutan celup masuk ke dalam serat sebagai bentuk molekuler.
Pigmen zat warna dispersi larut dalam air dalam jumlah yang sangat kecil, tetapi
bagian zat warna yang terlarut tersebut sangat mudah terserap oleh serat.
Bagian yang tidak larut merupakan sejumlah zat warna yang sewaktu-waktu
akan larut untuk mempertahankan keseimbangan.

c. Tahap difusi zat warna dari permukaan serat ke dalam inti serat
Tahap ini sangat bergantung pada kerapatan struktur serat, ukuran partikel zat
warna dan kondisi pencelupan. Tahap difusi merupakan tahap yang paling
lambat sehingga dipergunakan sebagai sebagai ukuran untuk menentukan laju
pencelupan. Ketuaan warna yang diperoleh dari proses pencelupan
dipengaruhi waktu yang ditempuh pada tahap ini. Pada umumnya, waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan celupan warna muda adalah 10-20 menit,
sedangkan untuk mencelup warna medium dibutuhkan waktu sekitar 20-30
menit, dan 30-35 menit untuk mencelup warna-warna gelap. Beberapa zat
warna dispersi mempunyai kecepatan difusi yang cukup besar sehingga
memungkinkan celupan akan muda atau sedang dalam waktu pencelupan yang
tidak terlalu lama.

Konsentrasi zat warna dalam larutan celup bergantung pada banyaknya zat
warna yang dipakai terhadap berat bahan yang akan dicelup. Semakin tinggi
konsentrasi zat warna di dalam larutan celup, semakin besar kecenderungan
zat warna beragregasi dan menimbulkan penggumpalan yang akan
mengakibatkan pencelupan menjadi tidak sempurna.
9

Pada Gambar 2.2 diilustrasikan bahwa zat pendispersi yang dimasukan ke dalam
larutan celup membentuk misel-misel zat warna. Ekor hidrofobik pada molekul zat
warna dispersi menghadap ke arah dalam sedangkan bagian hidrofilnya
menghadap ke arah luar sehingga molekul zat warna dapat larut dalam air. Zat
warna dari misel tersebut berpindah masuk ke dalam serat sehingga misel kosong
dari zat warna. Misel-misel tersebut terbentuk kembali dan melarutkan zat warna
dari partikel solid.

Sumber: Joonseok Koh, Textile Dyeing, Universitas Konkuk, Seoul, 2011, hal 214
Gambar 2.2 Mekanisme Pencelupan dengan Zat Warna Dispersi

Di dalam larutan pencelupan harus terdapat larutan zat warna dispersi yang jenuh
terus menerus dan sistem dispersi akan tetap jenuh selama masih terdapat partikel
tunggal. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kesetimbangan di dalam larutan
pencelupan setelah partikel molekul tunggal terserap oleh serat, maka timbunan zat
warna yang merupakan partikel besar akan pecah menjadi molekul tunggal. Dengan
demikian kesetimbangan antara distribusi zat warna di dalam serat dan zat warna di
dalam larutan dengan konsentrasi zat warna dalam serat selalu tetap (Koh, 2011).

2.3 Zat Warna Dispersi


Zat warna dispersi adalah zat warna non-ionik yang tidak memiliki gugus pelarut dan
ukuran molekulnya relatif kecil. Kelarutan zat warna ini sangat rendah, oleh karena
itu ditambahkan zat pendispersi kedalam larutan celup untuk mempertahankan
stabilitas dispersinya dalam air. Zat warna dispersi memiliki daya afinitas tinggi
terhadap serat yang bersifat hidrofobik seperti poliester. Berdasarkan struktur
molekulnya, sebagian besar zat warna dispersi berupa senyawa dengan inti
kromofor azo atau antrakinon seperti pada contoh berikut:
10

Sumber: Gitopadmodjo, Isminingsih, Pengantar Kimia Zat Warna, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil,
Bandung, 1979, hal 158
Gambar 2.3 Struktur Zat Warna Dispersi Azo

Sumber: Gitopadmodjo, Isminingsih, Pengantar Kimia Zat Warna, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil,
Bandung, 1979, hal 158
Gambar 2.4 Struktur Zat Warna Dispersi Antrakinon

Zat warna dispersi merupakan senyawa aromatik dengan gugus fungsional (OH,
NH2. NHR, dan sebagainya). Gugus fungsional tersebut berfungsi sebagai gugus
pemberi hidrogen yang mengalami interaksi dwi-kutub dengan gugus karbonil
(C=O) atau gugus asetil (COCCH3=O) pada serat (Gitopadmojo & Djufri, 1979).

2.3.1 Sifat-sifat Zat Warna Dispersi


Zat warna dispersi bersifat nonionik, sehingga tidak memiliki gugus ionik.

Kelarutan zat warna dispersi dalam air sangat rendah.

Merupakan zat warna organik yang cocok untuk pencelupan serat hidrofobik.

Mempunyai titik leleh sekitar 150oC.

Dapat menghasilkan dispersi yang stabil dalam larutan pencelupan dengan


ukuran partikel 0,5 2 mikron.

Mempunyai berat molekul yang relatif kecil dibanding zat warna lain.

Mempunyai tingkat kejenuhan 30 200 mg/g dalam serat

2.3.2 Penggolongan Zat Warna Dispersi


Zat warna dispersi diklasifikasikan berdasarkan sifat pencelupan, tahan luntur,
sublimasi, dan massa molekul zat warna tersebut. Secara umum terdapat empat
tipe zat warna, mulai dari tipe A hingga tipe D. Zat warna dispersi tipe A memiliki
massa molekul paling kecil dengan sifat ketahanan sublimasi yang rendah dan
memiliki sifat celup yang baik sehingga sangat baik untuk mencelup serat pada
suhu rendah (100oC) dengan bantuan zat pengemban. Sedangkan zat warna tipe D
mempunyai massa molekul besar sehingga ketahanan sublimasi yang tinggi dan
11

memiliki sifat celup yang kurang baik. Zat warna tipe B dan tipe C memiliki sifat dan
ukuran molekul antara zat warna tipe A dan tipe D (Koh, 2011).

2.4 Ikatan antara Serat dan Zat Warna


Ikatan yang terjadi antara zat warna dan serat poliester antara lain:
1. Ikatan Hidrofobik
Zat warna dispersi dan serat poliester merupakan senyawa hidrofob dan bersifat non
polar, ikatan yang terjadi antara senyawa hidrofob disebut ikatan hidrofobik. Gaya
yang berperan dalam terbentuknya ikatan hidrofobik antara serat poliester dan zat
warna dispersi adalah gaya dispersi london yang termasuk ke dalam gaya Van Der
Waals (gaya fisika). Ikatan dari gaya Van Der Waals sebenarnya terdiri dari dua
komponen yaitu ikatan dipol dan gaya dispersi london. Akan tetapi sifat zat warna
dispersi cenderung non polar, sehingga gaya yang berperan dalam terbentuknya
ikatan antara zat warna dispersi dan serat poliester adalah gaya dispersi london.

2. Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen merupakan ikatan sekunder yang terbentuk karena atom hidrogen
pada gugus hidroksi atau amina mengadakan ikatan yang lemah dengan atom
lainnya, misalnya molekul-molekul air yang mendidih pada suhu yang jauh lebih
tinggi daripada molekul senyawa alkana dengan berat molekul yang sama. Pada
umumnya molekul-molekul zat warna dan serat mengandung gugus yang
memungkinkan terbentuknya ikatan hidrogen (Djufri, 1976).

Sumber: Gitopadmodjo & Djufri, Pengantar Kimia Zat Warna. Institut Teknologi Tekstil, Bandung, 1979,
hal 155
Gambar 2.5 Ikatan Hidrogen Antara Serat dengan Zat Warna

2.5 Zat Warna Altracon Blue SR


Zat Warna Altracon Blue SR merupakan zat warna dispersi tipe D (SE) yang memiliki
ukuran molekul yang sangat besar dan biasanya digunakan untuk pencelupan warna
tua, adapun sifat sifat dari zat warna altracon blue SR adalah sebagai berikut :
- Tahan terhadap temperatur tinggi
- pH range 4-5
- Tahan lunturnya sangat baik
12

2.6 Proses Cuci Reduksi


Proses cuci reduksi (reduction clearing) dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa zat
warna yang tidak terfiksasi secara sempurna dan hanya menempel pada permukaan
serat. Zat warna yang berada di permukaan serat tersebut menyebabkan tahan
luntur menjadi rendah dan warna menjadi suram. Adanya proses cuci reduksi
diharapkan dapat diperoleh kenampakan yang cerah sesuai dengan arah warna
yang diharapkan dan tahan lunturnya menjadi lebih baik. Proses pencucian reduksi
dilakukan dengan menggunakan natrium hidrosulfit sebagai reduktor dan NaOH
yang berfungsi sebagai pengaktif kerja dari reduktor untuk mendekomposisi zat
warna tersebut.

Umumnya proses pencucian reduksi dilakukan setelah proses pencelupan warna


tua. Proses pencucian reduksi hanya terjadi pada permukaan serat saja dan tidak
sampai merusak molekul zat warna yang sudah terfiksasi ke dalam serat (Djufri,
1976). Proses pencucian reduksi yang optimal menyebabkan zat warna dispersi
tereduksi sempurna dimana partikel zat warna yang tereduksi menjadi partikel kecil
yang tidak berwarna dan lebih mudah larut dalam air (karena semakin polar)
sehingga tidak dapat menempel kembali pada permukaan serat poliester.

Sumber: Joonseok Koh, Textile Dyeing, Universitas Konkuk, Seoul, 2011, hal 214
Gambar 2.6 Reaksi Kimia Selama Proses Cuci Reduksi

Efektifitas proses cuci reduksi berhubungan dengan kekuatan reduksi dari pereduksi
dan kestabilannya dalam larutan pencucian reduksi. Kain yang telah mengalami
proses cuci reduksi secara optimal akan memiliki ketahanan luntur warna terhadap
gosokan dan pencucian yang baik.

2.7 Zat Aktif Permukaan


2.7.1 Tinjauan Umum
Zat aktif permukaan terdiri dari gugus hidrofil dan gugus hidrofob. Gugus hidrofil
(suka air) akan menarik air dan gugus hidrofob (tidak suka air) akan mengarah pada
zat warna. Dengan demikian, zat aktif permukaan akan berfungsi sebagai koloid
pelindung terhadap partikel zat warna yang terlepas dari molekul zat warna.
13

Berdasarkan penggunaanya zat aktif permukan dapat digolongkan sebagai :


Pembasah (wetting agent)
Zat penetrasi (penetrating agent)
Zat pengemulsi (emulsing agent)
Zat pendispersi (dispersing agent)
Zat pencuci (detergent), dan lain - lain

2.7.2 Sifat-sifat Zat Aktif Permukaan


2.7.2.1 Sifat sifat umum
1. Sebagai sistem larutan koloid
Larutan zat aktif permukaan merupakan larutan koloid. Molekul-molekul ZAP terdiri
atas gugus hidrofil dan gugus hidrofob. Bagian yang hidrofil menghadap ke air,
sedangkan bagian hidrofob menghadap ke udara atau ke fasa minyak. Pada
konsentrasi tinggi partikel koloid ini akan menggumpal dan gumpalan ini disebut
dengan misel.
Menurut Mc. Bain ada dua jenis misel yaitu misel sferik dan misel lamelar. Misel
sferik memiliki daya hantar listrik yang tinggi, sedangkan misel lamelar dengan
susunan gugus hidrofob yang sejajar berpasang-pasangan memiliki daya hantar
listrik yang kecil. Misel ini mulai terbentuk pada daerah konsentrasi tertentu yang
sangat kecil, yang disebut dengan Konsentrasi Kritik Misel (KKM). Di bawah
konsentrasi kritik misel hanya ada ion-ion bebas dalam larutan yang pada daerah
tersebut terjadi penggumpalan ion-ion. Untuk lebih jelasnya misel sferik dan misel
lamelar dapat dilihat pada Gambar 2.8 dan Gambar 2.9 berikut ini di halaman 13
dan 14.

Sumber: Giptopadmojo, Dr. Isminingsih., Seri Kuliah Zat Pembantu Tekstil,STTT,slide 10.
2003.
Gambar 2.7 Misel Sferik
14

Sumber: Giptopadmojo, Dr. Isminingsih., Seri Kuliah Zat Pembantu Tekstil,STTT,slide 11.
2003.
Gambar 2.8 Misel Lamelar

2. Adsorpsi
Zat aktif permukaan pada umumnya teradsorpsi pada permukaan atau antar muka.
Apabila larutan mempunyai tegangan permukaan lebih kecil dari pelarut murni, zat
terlarut akan terkonsentrasi pada permukaan dan terjadi adsorpsi positif. Sebaliknya
adsorpsi negatif terjadi jika molekul-molekul zat terlarut lebih banyak terdapat pada
rongga larutan daripada permukaan.

2.7.2.2 Sifat sifat Khusus


1. Pembasahan
Pembasahan pada proses tekstil dapat diartikan sebagai suatu kejadian ketika
cairan diteteskan pada permukaan benda padat, maka cairan tersebut dapat
menutupi permukaan zat padat serta dapat mengusir udara atau kotoran. Misalkan
zat padat ditetesi dengan cairan dan terjadi pembasahan, maka bidang antarmuka
yang pada awalnya adalah padat-gas akan berganti menjadi padat-cair.

2. Daya busa
Busa adalah dispersi gas dalam cairan, dan zat aktif permukaan akan dapat
memperkecil tegangan permukaan sehingga busa akan stabil, jadi zat aktif
permukaan mempunyai daya busa.

3. Daya emulsi
Emulsi adalah suspensi partikel cairan dalam fasa cairan yang lain yang tidak saling
melarutkan. Sama halnya dengan pembusaan, maka zat aktif permukaan akan
menurunkan tegangan permukaan sehingga akan terjadi emulsi yang stabil.
15

4. Daya dispersi
Dispersi adalah suspensi partikel padat dalam fasa cairan. Sama halnya dengan
pembusaan dan pengemulsian, maka zat aktif permukaan akan menurunkan
tegangan permukaan sehingga akan terjadi dispersi yang stabil.

Dispersi adalah suspensi partikel padat dalam fasa cairan. Sama halnya dengan
pembusaan dan pengemulsian, maka zat aktif permukaan akan menurunkan
tegangan permukaan sehingga akan terjadi dispersi yang stabil.

2.7.3 Zat Pendispersi


Zat pendispersi termasuk golongan zat aktif permukaan terdiri dari gugus hidrofil dan
gugus hidrofob. Gugus hidrofil (suka air) akan menarik air dan gugus hidrofob (tidak
suka air) akan mengarah pada zat warna. Dengan demikian, zat pendispersi akan
berfungsi sebagai koloid pelindung terhadap partikel zat warna.
Peranan zat pendispersi dalam pencelupan kain poliester dengan zat warna dispersi
adalah sebagai berikut :

1. Memecah agregat zat warna menjadi terdispersi monomolekuler.

2. Menjaga supaya dispersi partikel zat warna homogen dan stabil dalam larutan
pencelupan.

3. Mencegah terjadinya penggabungan kembali partikel zat warna menjadi partikel


partikel yang lebih besar (agregat).

Berdasarkan jenisnya zat pendispersi dibedakan menjadi

1. Zat aktif anionik

Zat aktif jenis ini dapat menyetabilkan dispersi zat warna dalam larutan pada suhu
tinggi, tetapi kurang tahan terhadap air sadah dan tidak bekerja bila pH terlalu
rendah. Contoh struktur kimianya adalah sebagai berikut.

RSO3Na

2. Zat aktif nonionik


Zat aktif jenis ini kelarutannya lebih besar dibanding zat aktif anionik, sehingga dapat
diperoleh kerataan warna yang lebih baik. Akan tetapi pemakaian zat aktif jenis ini
pada suhu tinggi akan menyebabkan penurunan kemampuannya dalam
menyetabilkan zat warna dalam larutan.
16

Contoh struktur kimianya adalah sebagai berikut.


RO(C2H4O)n H

3. Campuran zat aktif anionik dan nonionik


Zat aktif anionik dan nonionik ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.
Dalam pencampuran ini yang banyak berperan dalam proses perataan pencelupan
zat warna dispersi adalah zat aktif nonioniknya, yaitu dengan menghambat
penyerapan zat warna dan meningkatkan migrasi zat warna . Penambahan zat aktif
anionik dimaksudkan untuk menigkatkan titik keruh untuk menghindari terjadinya
endapan yang dapat menodai bahan apabila suhu pencelupan melebihi titik keruh
zat aktif nonionik. Contoh struktur kimianya adalah sebagai berikut.
RO(SO3Na)n digabung

RO(C2H4O)n H

4. Zat aktif anionik khusus


Zat aktif ini memiliki daya dispersi yang lebih kuat dibanding zat aktif anionik biasa,
tahan air sadah dan dapat bekerja pada pH asam maupun alkali. Contoh struktur
kimianya adalah sebagai berikut.
RO(C2H4O)n SO3Na

5. Campuran zat aktif anionik khusus dan carrier


Adanya carrier sebagai zat pengemban dapat menggelembungkan dan
memperbesar pori - pori serat sehingga dapat meningkatkan difusi zat warna ke
dalam serat, tetapi adanya carrier dapat menurunkan ketahanan luntur warna.
Contoh struktur kimianya adalah sebagai berikut.
RO(C2H4O)n SO3Na + carrier

2.8 Permulsion DNMS extra


Permulsion DNMS extra merupakan zat pendispersi anionik untuk pencelupan kain
poliester dengan zat warna dispersi pada suhu tinggi, zat pendispersi ini
memberikan daya migrasi yang kuat.
Ciri ciri umum yang dimiliki oleh zat pendispersi ini adalah :
- Kenampakan : berupa cairan coklat kekuningan transparan

- Komposisi kimia : sodium salt of condensed naphthalane sulfonic acid

- Sifat Ionik : anionik

- Kelarutan : segera larut dalam air hangat


17

- pH : 1 - 13

- Kestabilan kimia : stabil terhadap temperatur tinggi sampai 1500C

stabil terhadap air sadah sampai 400dH

stabil terrhada elektrolit

2.9 Pengaruh pH larutan Celup Terhadap kerusakan Zat Warna dan Serat
Poliester
Pencelupan dengan zat warna dispersi pada umumnya berlangsung dengan kondisi
larutan atau suasana asam. Hal ini dimungkinkan karena zat warna dispersi
memerlukan asam untuk menjaga kestabilan zat warna yang telah terdispersikan
kedalam larutan celup, karena sifatnya yang tidak larut di dalam air dan cenderung
terendapkan kembali bila larutan celup berubah suasananya.

pH dalam larutan pencelupan akan memengaruhi hasil pencelupan melalui sebab


sebab berikut :

1. Hidrolisa zat warna oleh alkali


Semakin tinggi pH yang digunakan, maka kemungkinan zat warna terhidrolisa
semakin besar. Reaksi hidrolisa zat warna oleh alkali dapat dilihat pada Gambar
2.10 berkut ini.

Gambar 2.9 Reaksi Hidrolisa Zat Warna Dispersi Oleh Alkali


2. Ionisasi zat warna pada suasana alkali
Reaksi ionisasi yang terjadi

Gambar 2.10 Reaksi Ionisasi Zat Warna Oleh Alkali


Sumber : Technical Information Sumikaron Color Basics, Sumikaron Chemical Co.Ltd, Japan, hal 155
18

3. Hidrolisis serat poliester oleh alkali


Serat poliester merupakan serat sintetik yang merupakan hasil polimersasi
secara kondensasi antara etilena glikol dengan asam tereftalat. Pada proses
polimerisasi kondensasi, kedua gugus reaktif monomer ada yang bereaksi
sendiri membentuk senyawa baru dengan berat molekul yang lebih rendah
daripada serat poliester yang disebut dengan oligomer. Selain berasal dari
proses polimerisasi kondenasi, senyawa cincin ini juga dapat berasal dari proses
pengerjaan dengan menggunakan alkali.
Oligomer mempunyai sifat sifat sebagai berikut :
Berbentuk kristal dan mempunyai titik leleh sekitar 3150C
Larut dalam air panas suasana alkali dan mengendap dalam suasana
asam.
Oligomer yang terlarut dapat mengendap pada permukaan kain poliester
dengan ion ion logam (kalsium dan magnesium) membentuk agregat.
Oligomer larut dalam pelarut organik seperti dioksan, ksilena, kloroform dan
karbon tetraklorida pada titik didihnya dan tidak larut dalam dieter dan
aseton dingin.
Kelarutan dalam air bertambah diikuti oleh kenaikan temperatur.
Oligomer tidak berwarna, tetapi dapat terwarnai oleh zat warna dengan
warna yang lebih tua.
Oligomer yang terbentuk akan terdeposisi pada permukaan kain membentuk
agregat dengan ion ion logam Ca2+ dan Mg2+. Jika endapan ini tidak
dihilangkan maka ketika dicelup dengan zat warna dispersi akan menghasilkan
warna yang tidak rata. Zat warna akan diadsorpsi lebih banyak oleh oligomer
yang mempunyai berat molekul lebih rendah dari poliester dan terdeposisi
secara amorf.

You might also like