You are on page 1of 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Histamin adalah suatu senyawa amina nabati yang disebut juga bioamina.
Pada berbagai jaringan tubuh, terutama pada usus halus, histidin akan diubah
menjadi histamin. Histamin juga bekerja sebagai neurotransmitter. Lokasi
Hampir semua organ dan jaringan memiliki histamin dalam keadaan terikat
dan inaktif, terutama dalam sel-sel tertentu. Contoh sel yang menimbun
histamin adalah sel mast. Sel mast ini banyak ditemukan pada bagian tubuh
yang terpapar dengan lingkungan luar, seperti kulit,
lapisan mukosa mata, hidung, saluran pernapasan, usus, dan juga terdapat
dalam leukosit basofil darah.
Manifestasi klinik karena pengaruh histamin terjadi akibat interaksi
histamin dengan reseptornya, yaitu H1, H2, H3. Reseptor H1 ditemukan
terutama pada otot polos saluran nafas dan sistem vaskular. Reseptor H2
ditemukan terutama pada sel parietal lambung, sedangkan reseptor H3 pada
terminal saraf. Perangsangan reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos,
peningkatan permeabilitas kapiler dan reaksi mukus. Perangsangan reseptor H2
terutama menyebabkan sekresi asam lambung. (Gapar RS, 2003).
Histamin mempengaruhi banyak proses fisiologis dan patologik, maka
dicarikan obat yang dapat mengantagoniskan efek histmain ini. Antihistamin
merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin. Antihistamin dan histamin
berlomba menempati reseptor yang sama. Blokade reseptor oleh antagonis H1
menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak
akibat histamin. Antagonis histamin raseptor H2 adalah senyawa yang dapat
menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor H2 sehingga
dapat menghambat sekresi asam lambung. Secara umum digunakan untuk
pengobatan tukak lambung akibat sekresi asam lambung dan tukak usus. Obat
2

obat dari golongan ini yang sekarang masih sering digunakan antara lain
simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin dan roksatidin. ( Pohan S, 2007).
Tukak peptik merupakan penyakit akibat gangguan pada saluran
gastrointestinal atas yang disebabkan sekresi asam dan pepsin yang berlebihan
oleh mukosa lambung. Rokok, minuman beralkohol, NSAID, dan H. Pylory.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyakit tukak. Helicobacter
pylori diketahui sebagai penyebab utama tukak lambung, selain NSAID dan
penyebab yang jarang adalah Syndrome Zollinger Ellisondan penyakit Chron
disease. Bakteri tersebut terdapat di mukosa lambung dan juga banyak
ditemukan pada permukaan epitel di antrum lambung (Hadi, 2013). Studi di
Indonesia menunjukkan adanya hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan
terhadap prevalensi infeksi H. Pylory dan diperkirakan 36-46,1 % populasi
telah terinfeksi H. Pylory (Alfiawati N, 2015).
Pengobatan tukak peptik ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien,menghilangkan keluhan, menyembuhkan tukak, mencegah kekambuhan
dan komplikasi. Pilihan pengobatan yang paling tepat untuk penyakit tukak
peptik tergantung pada penyebabnya. Terapi kombinasi obat diperlukan untuk
penyakit tukak peptik. Kombinasi dua jenis antibiotik dengan PPI (Proton
Pump Inhibitor) atau bismuth digunakan untuk terapi eradikasi H. pylory,
sedangkan kombinasi H2 reseptor antagonis, PPI atau sukralfat dapat
digunakan untuk terapi yang disebabkan NSAID. Penggunaan obat yang tidak
rasional masih sering dijumpai di pusat-pusat kesehatan seperti rumah sakit dan
puskesmas. Ketidaktepatan indikasi, obat, pasien, dan dosis dapat
menyebabkan kegagalan terapi. Gaya hidup yang kurang sehat seperti
merokok, konsumsi makanan dan minuman cepat saji serta minuman
beralkohol dapat meningkatkan terjadinya angka kekambuhan dan komplikasi
perdarahan pada saluran cerna, kanker bahkan kematian (Alfiawati N, 2015).
Kombinasi obat dapat menyebabkan interaksi, beberapa interaksi obat
yang terjadi memang sengaja digunakan untuk terapi. Tetapi lebih banyak
interaksi obat yang terjadi mempunyai efek yang merugikan (Gans, 2007;
Herfindal, 2000). Karena banyaknya efek yang merugikan akibat interaksi
3

maka instalasi farmasi di Rumah Sakit harus selalu memantau kejadian


interaksi obat dan juga sebagai sumber informasi, yang dalam hal ini sangat
berperan aktif untuk meningkatkan kepatuhan pasien demi menjaga mutu
pemberian obat yang lebih rasional. (Depkes, 2008).

A. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pengaruh pemberian Ranitidin HCl terhadap penderita
tukak peptik?

B. Tujuan
Mengetahui pengaruh pemberian Ranitidin HCl terhadap penderita tukak
peptik.

C. Manfaat Penulisan
1. Sebagai referensi bagi para dokter tentang pengaruh obat Ranitidin HCl
terhadap penyakit tukak peptik.
2. Dapat digunakan sebagai pertimbangan sebagai masukan dalam
penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan Ranitidin HCl untuk
terapi tukak peptik.
.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tukak peptik

1. Defenisi

Tukak peptik adalah lesi yang terjadi karena ketidakseimbangan antara


faktor agresif dan faktor defensif Tukak didefinisikan sebagai kerusakan
integritas mukosa lambung dan/atau duodenum yang menyebabkan terjadinya
inflamasi lokal Disebut tukak apabila robekan mukosa berdiameter 5 mm
kedalaman sampai submukosa dan muskularis mukosa atau secara klinis tukak
adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter
5 mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Robekan mukosa
<5 mm disebut erosi dimana nekrosis tidak sampai ke muskularis mukosa dan
submukosa (Suyono,2001 ;Anwar, 2000; Guyton, 2012, Harisson, 1994).

2. Patogenesa

Kerusakan pada mukosa gastroduodenum terjadi pada ketidakseimbangan


antara faktor-faktor yang merusak mukosa dengan faktor yang melindungi
mukosa tersebut. Oleh sebab itu, kerusakan mukosa tidak hanya terjadi apabila
terdapat banyak faktor yang merusakkan mukosa tetapi juga dapat terjadi
apabila mekanisme proteksi mukosa gagal.
Faktor pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus,
sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada
epitel serta regenerasi epitel. Di samping kedua faktor tadi ada faktor yang
merupakan faktor predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya tukak peptik antara
lain daerah geografis, jeniskelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-
obatan dan infeksi bakteria agresif. Pada pengguna NSAIDs,
contohnya, indomethacin, diclofenac, dan aspirin (terutamanya pada dosis
tinggi), kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase menyebabkan
sintesis prostaglandin dari asam arakidonat turut terhambat. Efek yang tidak
5

diinginkan pada penggunaan NSAIDs adalah penghambatan sistesis


prostaglandin secara sistemik terutama pada epitel lambung dan duodenum
sehingga melemahkan proteksi mukosa. Tukak dapat terjadi setelah beberapa
hari atau minggu penggunaan NSAIDs dan efek terhadap hambatan aggregasi
trombosit menyebabkan bahaya perdarahan pada tukak (Silbernagl, 2000).

3. Etiologi tukak peptik


Tukak peptik terjadi karena lesi yang timbul disebabkan oleh banyak
faktor maka pengobatannya membutuhkan beberapa jenis obat dengan
strategi terapi tertentu antara lain, obat untuk hipersekresi asam lambung, obat
pelindung mukosa, obat pencegah senyawa pencetus dan faktor penyebab,
obat pencegah kekambuhan dan komplikasi. (Anwar, 2000; Gans, 2007;
Herfindal, 2000).
a. Infeksi Helicobacter Pylori
Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung
berhubungan dengan infeksi Helicobacter Pylori. Helicobacter
Pylori adalah bakteri gram negatif, hidup dalam suasana asam pada
lambung/duodenum, ukuran panjang sekitar 3m dan diameter 0,5m,
punya 1 flagel pada salah satu ujungnya, terdapat hanya pada lapisan
mukus permukaan epitel antrum lambung, karena pada epithelium
lambung terdapat reseptor adherens in vivo yang dikenali oleh H.Pylori,
dan dapat menembus sel epitel/antar epitel.
b. Sekresi asam lambung
Normal produksi asam lambung kira-kira 20 mEq/jam. Pada penderita
tukak, produksi asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam.
c. Pertahanan Mukosa Lambung
NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain dapat menimbulkan
kerusakan pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida
menyebabkan kerusakan jaringan, khususnya pada pembuluh darah.
Penggunaan NSAIDs, menghambat kerja dari enzim siklooksigenase
(COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin.
6

Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada


penggunaan NSAIDs melalui 4 tahap yaitu : pertama, penurunkan sekresi
mukus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel pada lambung dan
duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan duodenum menurun.
Kedua, penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan
proliferasi sel-sel mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa.
Hal demikian terjadi akibat hambatan COX-1 akan menimbulkan
vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel
epitel. Tahap keempat berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang
diperberat oleh platelet dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX- 2
menyebabkan peningkatan perlekatan leukosit PMN pada endotel vaskuler
gastroduodenal dan mesentrik, dimulai dengan pelepasan protease, radikal
bebas oksigen berakibat kerusakan epitel dan endotel menyebabkan statis
aliran mikrovaskular sehingga terjadinya iskemia dan akhirnya terjadi
tukak peptik.

4. Klasifikasi tukak peptik


Tukak lambung memiliki beberapa tipe,yaitu :
Tipe 1, yang paling sering terjadi. Terletak pada kurvatura minor atau
proximal insisura,dekat dengan junction mukosa onsitik dan antral.
Tipe 2, lokasi yang sama dengan tipe 1 tapi berhubungan dengan tukak
duodenum.
Tipe 3, terletak pada 2 cm dari pilorus (pyloric channel ulcer).
Tipe 4, terletak pada proksimal abdomen atau pada cardia.

5. Tanda dan gejala tukak peptik


Gejala bergantung pada lokasi tukak dan usia penderita, khususnya
penderita usia lanjut sering mempunyai sedikit atau bahkan tanpa gejala. Nyeri
paling umum sering berupa nyeri epigastrium dan berkurang dengan adanya
makanan atau pemberian antasida. Rasa sakit dapat berupa rasa terbakar, atau
kadang-kadang sebagai sensasi rasa lapar. Rasa sakit ini biasanya kronik dan
7

berulang. Hanya sekitar setengah dari penderita datang dengan gejala khas.
Gejala tukak lambung sering tidak mengikuti pola yang konsisten. Hal ini
terutama berlaku untuk ulkus di saluran pilorus, yang sering dikaitkan dengan
gejala obstruksi misalnya, kembung, mual, muntah-muntah yang disebabkan
oleh edema dan parut.

B. Ranitidin
Ranitidin adalah salah satu senyawa yang mengantagonis reseptor
histamin H2 yang menghambat sekresi asam lambung. Selain digunakan
dalam terapi penyakit ulkus peptikum dan gastroesophageal refluks, ranitidin
juga dapat digunakan sebagai antihistamin pada berbagai kondisi alergi pada
kulit.
1. Farmasi- Farmakologi
a. Sifat fisiko kimia dan rumus kimia obat.

Rumus Struktur Ranitidin

Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut :


Rumus molekul : C13H22N4O3S.HCl.
Berat molekul : 350,87.
Nama kimia : Ranitidin memiliki nama ilmiah NN-Dimethyl-5-
[2-(1-methylamino
nitrovinylamino)ethylthiomethyl]furfurylamine
Kandungan :Tidak kurang dari 97,5% dan tidak lebih dari
102,0% C13H22N4O3S.HCl, dihitung terhadap zat
yang telah dikeringkan.
8

Pemberian : Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat, praktis


tidak berbau, peka terhadap cahaya dan
kelembaban.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, cukup larut dalam
etanol dan sukar larut dalam kloroform.
Titik lebur :Melebur pada suhu lebih kurang 140, disertai
peruraian.

b. Farmasi Umum

1) Dosis
a) Dosis Ranitidin HCl adalah 150300 mg
b) Kondisi tukak lambung aktif ( ulkus peptikum) : Ranitidin 150 mg, 2 kali
sehari ( pagi dan malam ) selama dua minggu.
c) Terapi pemeliharaan pada penyembuhan tukak usus 12 jari dan tukak
lambung : Ranitidin 150 mg, malam sebelum tidur.
d) Keadaan hipersekresi patologis ( Zollinger Ellison, Mastositosis Sistemik)
: Ranitidin 150 mg, 2 kali sehari dengan nama pengobatan ditentukan oleh
dokter berdasarkan gejala klinis yang ada. Dosis dapat ditingkatkan sesuai
dengan kebutuhan masing-masing penderita. Dosis hingga 6 gram sehari
dapat diberikan pada penyakit yang berat.
e) Kondisi refluks gastro esofagitis ( gastroesophageal refluks, GER ) :
Ranitidin 150 mg, 2 kali sehari.

2. Farmakologi Umum
a. Indikasi
1) Pengobatan jangka pendek ulkus duodenum aktif. Kebanyakan pasien
sembuh dalam waktu 4 minggu.
2) Terapi rumatan untuk pasien ulkus duodenum dengan dosis yang
diturunkan setelah ulkus akut sembuh.
3) Pengobatan pada kondisi-kondisi hiperekresi patologis (Zollinger Ellison
syndrome dan systemic mastocytosis).
9

4) Terapi jangka pendek ulkus lambung aktif.

b. Kontra indikasi

1) Penderita yang hipersensitif terhadap Ranitidine.

2) Penderita gangguan fungsi ginjal - wanita hamil dan menyusui

c. Sediaan obat

1) Kapsul 75 mg, 150 mg, 300 mg

2) Tablet 150 mg, 300 mg

3) Sirup 15 mg /ml

4) Injeksi 25 mg/ml

a) Ranitidine oral
1) 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau 300 mg sekali sehari
sesudah makan malam atau sebelum tidur, selama 4 8 minggu.
2) Tukak lambung aktif 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) selama 2
minggu.
3) Terapi pemeliharaan pada penyembuhan tukak 12 jari dan tukak
lambung Dewasa : 150 mg, malam hari sebelum tidur.
4) Keadaan hipersekresi patologis (Zollinger - Ellison, mastositosis
sistemik) Dewasa : 150 mg, 2 kali sehari dengan lama pengobatan
ditentukan oleh dokter berdasarkan gejala klinik yang ada. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing penderita.
Dosis hingga 6 g sehari dapat diberikan pada penyakit yang berat.
5) Refluks gastroesofagitis Dewasa : 150 mg, 2 kali sehari.
6) Esofagitis erosif Dewasa : 150 mg, 4 kali sehari.
7) Pemeliharaan dan penyembuhan esofagitis erosif Dewasa : 150 mg,
2 kali sehari.
10

8) Dosis pada penderita gangguan fungsi ginjal bila bersihan kreatinin


< 50 mL / menit : 150 mg / 24 jam. Bila perlu dosis dapat
ditingkatkan secara hati-hati setiap 12 jam atau kurang tergantung
kondisi penderita.
9) Hemodialisis menurunkan kadar Ranitidine yang terdistribusi.

b) Ranitidine injeksi

Injeksi i.m. : 50 mg (tanpa pengenceran) tiap 6 8 jam.


Injeksi i.v. : intermittent.

1) Intermittent bolus : 50 mg (2 mL) tiap 6 8 jam. Encerkan injeksi 50


mg dalam larutan NaCl 0,9% atau larutan injeksi i.v. lain yang cocok
sampai diperoleh konsentrasi tidak lebih dari 2,5 mg/mL (total volume
20 mL). Kecepatan injeksi tidak lebih dari 4 mL/menit (dengan waktu
5 menit).
2) Intermittent infusion : 50 mg (2 mL) tiap 6 8 jam. Encerkan injeksi
50 mg dalam larutan dekstrosa 5% atau larutan i.v. lain yang cocok
sampai didapat konsentrasi tidak lebih besar dari 0,5 mg/mL (total
volume 100 mL).
3) Kecepatan infus tidak lebih dari 5 7 mL/menit (dengan waktu 15
20 menit).
4) Infus kontinyu : 150 mg Ranitidine diencerkan da 250 mL dekstrosa
atau larutan i.v. lain yang cocok dan diinfuskan dengan kecepatan
6,25 mg/jam selama 24 jam. Untuk penderita sindrom Zollinger-
Ellison atau hipersekretori lain, Ranitidine injeksi harus diencerkan
dengan larutan dekstrosa 5% atau larutan i.v. lain yang cocok
sehingga diperoleh konsentrasi tidak lebih dari 2,5 mg/mL. Kecepatan
infus dimulai 1 mg/kg BB/jam dan harus disesuaikan dengan keadaan
penderita.
11

3. Farmakodinamika
Ranitidin menghambat reseptor H2 secara kolektif dan reversible.
Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga pada
emberian ranitidin sekresi asam lambung dihambat. Pengaruh fisiologik ranitidin
terhadapa reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak sebaik
penekanan sekresi asam lambung pada keadaan basa, ranitidin dapat menghambat
sekresi asam lambung akibat perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau
gatrin. Ranitidin juga menggangu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
(Nafrialdi, Setawati, A, 2007.)

4. Farmakokinetika

a. Pola ADME
Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 -3 jam pada
orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pasien gagal ginjal. Pada
pasien penyakit hati masa paruh ranitidine juga memanjang meskipun tidak
sebesar pada ginjal.Padaginjal normal, volume distribusi 1,7 L/kg sedangkan
klirens kreatinin 25-35 ml/menit. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam
setelah penggunaan ranitidine 150 mg secara oral, dan terikat protein plasma
hanya 15 %. Ranitidine mengalami metabolism lintas pertama di hati dalam
jumlah yang cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidine dan matabolitnya
diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari
ranitidine yang diberikan IV dan 30 % yang diberikan secara oral diekskresi
dalam urin dalam bentuk asal. (Nafrialdi, Setawati, A, 2007.)

5. Toksisitas

a. Efek samping

1) Sakit kepala
12

2) Susunan saraf pusat, jarang terjadi : malaise, pusing, mengantuk, insomnia,


vertigo, agitasi, depresi, halusinasi.

3) Kardiovaskular, jarang dilaporkan : aritmia seperti takikardia, bradikardia,


atrioventricular block, premature ventricular beats.

4) Gastrointestinal : konstipasi, diare, mual, muntah, nyeri perut. Jarang


dilaporkan : pankreatitis.

5) Muskuloskeletal, jarang dilaporkan : artralgia dan mialgia.

6) Hematologik : leukopenia, granulositopenia, pansitopenia, trombositopenia


(pada beberapa penderita). Kasus jarang terjadi seperti agranulositopenia,
trombositopenia, anemia aplastik pernah dilaporkan.

7) Lain-lain, kasus hipersensitivitas yang jarang (contoh : bronkospasme,


demam, eosinofilia), anafilaksis, edema angioneurotik, sedikit peningkatan
kadar dalam kreatinin serum.

b. Interaksi obat
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin. Nifedin, Warfarin, Teofilin dan Metoprolol dilaporkan berinteraksi
dengan ranitidin. Selain menghambat sitokrom P-450, Ranitidin dapat juga
menghambat absorbsi diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah
25%. Sebaiknya obat yang dapat berinteraksi dengan ranitidin diberi selang
waktu minimal 1 jam. Ranitidin dapat menyebabkan gangguan SSP ringan ,
karena lebih sukar melewati sawar darah otak dibanding simetidin. (Nafrialdi,
Setawati, A, 2007.)
13

c. Overdosis
Gejala-gejala overdosis antara lain, pernah dilaporkan : hipotensi, cara
berjalan yang tidak normal.
Penanganan overdosis :
1) Induksi dengan cara dimuntahkan atau bilas lambung.
2) Untuk serangan : dengan cara pemberian diazepam injeksi i.v.
3) Untuk bradikardia : dengan cara pemberian atropin.
4) Untuk aritmia : dengan cara pemberian lidokain.
14

BAB III
PENELITIAN LAIN

A. EVALUASI PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN TUKAK PEPTIK


DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO
KLATEN TAHUN 2014.
Penelitian ini dilakukan oleh Nur Alfiawati fakultas farmasi universitas
muhammadiyah surakarta. Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk
mengetahui gambaran dan kerasionalan terapi penggunaan obat pada pasien
tukak peptik di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan bersifat non
eksperimental, dilakukan secara retrospektif, yaitu dengan melakukan
penelusuran catatan pengobatan dalam data rekam medis pasien tukak peptik
di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2014.
Teknik sampling dilakukan secara purposivesampling. Data yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif yang mengevaluasi kerasionalan pengobatan tukak
peptik.
Hasil penelitian ini adalah jumlah pasien terdiagnosa tukak peptik di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2014
sebanyak 45 pasien. Berdasarkan kriteria inklusi, jumlah sampel yang dapat
diambil yaitu sebanyak 25 sampel. Dan hasilnya sebagai berikut :
1. Gambaran terapi pada pasien tukak peptik di Instalasi Rawat Inap RSUD
Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2014 diperoleh penggunaan obat
omeprazol sebesar 68%, ranitidin 56%, dan sukralfat 56%.
2. Kerasionalan terapi pada pasien tukak peptik di Instalasi Rawat Inap
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2014 diperoleh tepat
indikasi 100%, tepat obat 88%, tepat pasien 76%, dan tepat dosis 4%.
15

B. Peran Antagonis Reseptor H-2 Dalam Pengobatan Ulkus


Penelitian ini dilakukan oleh Noval Aziz Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas SumateraUtara/ RSUP Haji Adam Malik. Ulkus
peptikum adalah kerusakan pada lapisan mukosa, submukosa sampai lapisan otot
saluran cerna yang disebabkan oleh aktivitas pepsin dan asam lambung yang
berlebihan. Ulkus peptikum dapat bersifat primer (akut dan kronis) atau sekunder
akibat adanya penyakit lain. Tujuan utama pengobatan ulkus peptikum adalah
untuk mengurangi rasa sakit, mempercepat penyembuhan ulkus dan mencegah
terjadinya residif ataupun komplikasi. Antagonis reseptor H2 berperan dalam
mengurangi sekresi asam lambung dengan menghambat pengikatan histamin
secara selektif pada reseptor H2 dan menurunkan kadar cyclic-AMP dalam darah.
Antagonis reseptor H2 yang paling banyak digunakan pada kelompok anak
sebagai pengobatan standar terhadap ulkus peptikum adalah simetidin dan
ranitidin. Simetidin dan ranitidin efektif untuk menghilangkan gejala nyeri pada
episode akut dan mempercepat penyembuhan ulkus dengan toksisitas relatif
ringan. Pada kasus ulkus peptikum kronik yang disertai infeksi oleh Helicobacter
pylori, diperlukan pemberian antibiotik amoksisilin dan atau metronidazol.
Pengobatan UP primer pemberian susu atau antasida dengan interval
pendek dapat menghilangkan gejala ulkus duodenum bila diminum secara teratur
dalam waktu 1-2 bulan pengobatan, namun hal ini selalu disertai dengan
timbulnya efek samping. Simetidin atau ranitidin memiliki potensi untuk menekan
sekresi asamhidroklorida pada kasus ulkus duodenum, menghilangkan gejala
selama episode akut dan mempercepat penyembuhan ulkus dengan toksisitas
relatif ringan.
Pengobatan UP sekunder pengobatan ulkus sekunder ditujukan pada
pengobatan penyakit dasar, disertai pemberian antasid dan ARH-2. Pemberian
ARH-2 sama dengan pengobatan ulkus primer. Pada kasus berat,
mempertahankan pH lambung > 3,5 sangat penting untuk pencegahan
pembentukan ulkus.
Berdasarkan patogenesis, pengobatan ulkus peptikum ditujukan untuk
menekan faktor-faktor agresif danatau memperkuat faktor defensif mukosa
16

duodenum. Dalam mengurangi produksi asam lambung ARH-2 merupakan obat


standar karena efektivitas, keamanan dan kepraktisan penggunaannya dalam terapi
jangka pendek untuk menyembuhkan ulkus, maupun terapi jangka panjang untuk
mencegah kambuhnya UP.

C. GAMBARAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DENGAN SUKRALFAT


DAN RANITIDIN DENGAN ANTASIDA DALAM PENGOBATAN
GASTRITIS DI SMF PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH (RSUD) AHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI.

Penelitian penggunaan terapi kombinasi ranitidine dengan sukraflat dan


ranitidine dengan antasida ini dilakukan oleh Isna Wardanaiati yang berasal dari
Universitas Andalas Padang. Penelitian merupakan observasi secara prospektif
dengan tekhnik purposive sampling. Populasi penelitian adalah penderita Gastritis
yang memenuhi kriteria inklusi di SMF penyakit dalam RSUD Achmad Mochtar
Bukit tinggi mulai bulan November 2010 sampai Mei 2011.
Sampel penelitian adalah semua populasi yang memenuhi kriteria dalam
penelitian ini. Semua pasien yang menderita Gastritis, Pasien Askes, ada
gambaran gastritis yang dibuktikan dengan hasil endoscopy, tidak pulang paksa,
tidak meninggal selama penelitian ini. Pasien yang memenuhi syarat (kriteria
inklusi dan tidak ada criteria eksklusi) dicatat dalam lembaran penelitian. Pasien
yang positif menderita gastritis dibagi menajdi dua kelompok. Kemudian Pasien
diberikan terapi dengan (Ranitidin, Sukralfat) atau (Ranitidin, Antasida ) selama 2
minggu. Setelah 4 bulan setelah terapi diberikan dilakukan evaluasi terhadap
pasien. Yang diamati ialah : rasa sakit/nyeri di perut, rasa mual, muntah, pedih
sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di perut, lekas kenyang, kembung
Pada penelitian ini didapatkan gambaran mukosa hiperaemis ringan sampai
sedang pada esofagus dan gaster sedangkan pada duodenum tidak ditemukan
kelainan. Kemudian pada gaster terdapat mukosa hiperaemis terutama ditemukan
pada daerah antrum sebanyak 3 orang. Berdasarkan gejala klinisnya pada
penellitian ini pasien datang dengan mengalami keluhan nyeri ulu hati sebanyak
17

10 orang, mual 8 orang, muntah 5 orang, nafsu makan menurun 4 orang, dan perut
kembung 3 orang.
Hasil penelitian berdasarkan derajat gastritisnya pada penelitian ini jumlah
pasien yang menderita gastritis ringan sebanyak 5 orang dan gastritis sedang
sedang sebanyak 5 orang. Perbedaan antara gastritis ringan dan sedang dapat
dilihat dari gambaraan kemerahan atau erosi pada mukosa lambung pasien. Dari
gambaran mukosa lambung pasien pada esofagus terdapat mukosa hiperaemis
ringan sampai sedang dan pada gaster banyak ditemukan hiperaemis ringan
terutama pada bagian antrum yang disertai dengan hipersekresi cairan lambung
sedangkan pada duodenum tidak ditemukan adanya kelainan.
Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa kombinasi ranitidin dengan sukralfat
memberikan efek terapi yang baik dalam pengobatan gastritis dimana Ranitidin
berperan dalam mengurangi faktor agresif dengan cara menghambat histamine
pada reseptor H2 sel parietal sehingga sel parietal tidak terangsang mengeluarkan
asam lambung. Sedangkan sukralfat berperan dalam meningkatkan factor devensif
dengan cara melindungi mukosa lambung, sedangkan kombinasi ranitidin dan
antasida dimana antasida berperan dalam menetralkan asam lambung sehingga
dapat mengurangi keluhan nyeri yang dialami pasien (William dan Wilkins 2010).
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 100% dari
pasien yang menggunakan terapi kombinasi Ranitidin dengan Sukralfat
keluhannya hilang dan 80% pada pasien yang menggunakan Ranitidin dengan
Antasida.

D. EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIPEPTIK ULSER PADA


PENDERITA RAWAT TINGGAL DI RUMAH SAKIT ADVENT
BANDUNG.

Penelitian ini di lakukan oleh Aliya Nur Hasanah Fakultas Farmasi


Universitas Padjadjaran. Metode Pada penelitian ini terlebih dahulu dilakukan
studi pustaka tentang rumah sakit, pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
dan hal yang berkaitan dengan obat antipeptik ulser. Untuk penelitian ini
dilakukan penetapan kriteria penderita;pengumpulan data yang berkaitan
18

dengan obat antipeptik ulser; memasukkan nama obat yang digunakan


berdasarkan golongan farmakologi yang sesuai; penetapan kriteria/standar
penggunaan obat dari golongan farmakologi yang terdiri atas indikasi,dosis,
interaksi, kontraindikasi, waktu pemberian, kombinasi, dan duplikasi
penggunaan. Kemudian dilakukan pengorganisasian, analisis dan pengambilan
kesimpulan.
Hasil penelitian yaitu Obat antipeptik ulser banyak digunakan oleh
golongan usia dewasa karena pada saat pengamatan jumlah penderita
golongan usia dewasa yang dirawat di Rumah Sakit Advent lebih banyak
dibandingkan penderita golongan usia lansia dan anak. Faktor lain yang
menyebabkan antipeptik ulser banyak digunakan golongan usia dewasa
adalah adanya faktor stress yang berhubungan dengan pekerjaan dan
kewajiban keluarga. Penggunaan antipeptik ulser khususnya antasida pada
anak-anak perlu memperhatikan segi usia karena untuk anak-anak di bawah
usia enam tahun dapat terjadi resiko hipermagnesemia dan toksisitas
aluminium, terutama anak-anak yang dehidrasi dan gagal ginjal.
Penggunaan antipeptik ulser berdasarkan golongan antipeptik ulser
untuk pengamatan konkuren dan retrospektif menunjukkan bahwa golingan
obat antipeptik ulser yang paling banyak digunakan adalah antagonis
reseptor histamin H2 yaitu ranitidine. Ranitidine lebih banyak digunakan
dibandingkan simetidin karena ranitidine tersedia dalam berbagai bentuk
sediaan baik oral maupun parenteral; ranitidine relatif memiliki efek samping
yang lebih rendah dibandingkan dengan simetidin yang memiliki efek
antiandrogenik yang tinggi yaitu ginekomastia; ranitidine mempunyai
bioavaibilitas 90-100% setelah pemberian intramuskular, bioavaibilitas setelah
pemberian oral adalah 50% dan konsentrasi serum maksimal diperoleh 0,5-
1,5 jam setelah pemberian. Penggunaan ranitidine dibandingkan famotidin
dan nisatidin lebih besar karena ranitidine tersedia dalam berbagai bentuk
sediaan, harga relatif lebih murah, dan tersedia dalam bentuk generik
maupun non generik.
19

E. PROFIL DAN OPTIMALISASI PENGGUNAAN KOMBINASI ANTI


TUKAK PEPTIK DENGAN ANTASIDA PADA PASIEN TUKAK PEPTIK
DI RUANG RAWAT INAP SMF PENYAKIT DALAM RSAM BUKIT
TINGGI.

Penelitian ini dilakukan oleh Hansen Nasif, Rajjudin Dahlan dan Ida Laida
Lingga Dari Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui profil dan mengoptimalkan penggunaan
kombinasi anti tukak peptik dengan antasida pada pasien tukak peptik di
ruang rawat inap SMF penyakit dalam RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi.
Penelitian ini dilaksanakan di ruang rawat inap pada SMF penyakit dalam
RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 26 Februari - 25 April 2008.
Penelitian yang dilakukan secara observasi prospektif dengan
menggunakan kuisioner. Data diambil dari data primer pasien penderita tukak
peptik yang menggunakan obat kombinasi anti tukak peptik dengan antasida
di ruang rawat inap SMF penyakit dalam RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi
populasi adalah keseluruhan objek panelitian atau objek yang akan diteliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penderita tukak peptik yang
menggunakan kombinasi anti tukak peptik dengan antasida di ruang rawat inap
SMF penyakit dalam RSUD Achmad Mochtar bukittinggi.
Pemilihan kombinasi anti tukak peptik (ranitidin ) dengan antasida sebagai
objek penelitian dilakukan karena selama ini masyarakat menggunakan
kombinasi ini dengan cara diminum sekaligus tanpa dijarakkan dengan alasan
tidak tahu atau sangat merepotkan dan umumnya digunakan berdasarkan
pengalaman sendiri tanpa memperhitungkan efek samping dan akibat yang
ditimbulkan jika kombinasi anti tukak peptik dengan antasida ini digunakan
bersamaan. seperti terjadi penguraian, mengurangi aktifitas.
Hasil penelitian berdasarkan waktu pemberian obat, diperoleh persentase
pasien penggunan obat yang menggunakan obat dengan tepat atau yang di
20

jarakkan saat tanya jawab / sebelum diberikan informasi dan nasehat kepada
pasien adalah 19 pasien (35,185 %) dan yang tidak di jarakkan adalah 35
pasien (64,814 %), persentase pasien yang patuh setelah diberi informasi
dan nasehat adalah 53 pasien (98,15 %) dan yang tidak patuh adalah 1
pasien (1,85 %). Karena banyaknya jumlah pasien yang menggunakan
kombinasi obat yang tidak sesuai maka dicari solusi dengan cara
memberikan informasi dan nasehat kepada pasien tentang penggunaan obat
yang benar sehingga dengan demikian setelah dilihat kepatuhan terhadap pasien
ternyata hampir semua pasien tukak peptik diruang rawat inap SMF penyakit
dalam RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi menggunakan kombinasi obat
dengan benar. Walaupun ada sejumlah kecil yang \tetap tidak patuh karena
pasien tidak percaya terhadap informasi dan nasehat yang diberikan,
sehingga pasien tersebut lebih memilih penggunaan obat berdasarkan pengalaman
sendiri.
21

BAB IV
PEMBAHASAN

Tukak peptik adalah lesi yang terjadi karena ketidakseimbangan antara


faktor agresif dan faktor defensif (Suyono,2001 ;Anwar, 2000; Guyton, 2012,
Harisson, 1994) Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada beberapa penelitian
ditemukan antara 6-15 % terutama pada usia 20-50 tahun (Suyono, 2001). Tukak
peptik merupakan lesi yang hilang timbul dan paling sering didiagnosis pada
orang dewasa usia pertengahan sampai usia lanjut, tetapi lesi ini mungkin sudah
muncul sejak usia muda. (Robinson, 2004). Karena lesi yang timbul disebabkan
oleh banyak faktor maka pengobatannya membutuhkan beberapa jenis obat
dengan strategi terapi tertentu antara lain, obat untuk hipersekresi asam lambung,
obat pelindung mukosa, obat pencegah senyawa pencetus dan faktor penyebab,
obat pencegah kekambuhan dan komplikasi. (Anwar, 2000; Gans, 2007;
Herfindal, 2000)

Obat-obat tukak peptik adalah obat-obat yang bertujuan menghilangkan rasa


nyeri / keluhan, menyembuhkan tukak, mencegah kekambuhan dan mencegah
komplikasi. (Suyono,2001; Anwar, 2000 ). Obat-obat tukak peptik yang
digunakan adalah Golongan Antasida, Zat penghambat sekresi asam, dan zat
pelindung mukosa(Anwar,2000)

Penggunaan obat-obat ini sangat sering digunakan dengan kombinasi karena


mengingat banyaknya faktor penyebab tukak peptik tersebut. Kombinasi obat
digunakan karena hasil yang diperoleh dari terapi tunggal kurang memuaskan
untuk tujuan pengobatan yang diinginkan. Perkembangan terapi kombinasi ini
sangat mendukung kepatuhan pasien, karena selain efektifitas yang tinggi
kemungkinan efek samping menjadi lebih kecil walaupun relatif lebih mahal.
Terapi kombinasi dapat menekan angka kekambuhan dalam jangka panjang.
(Suyono, 2001) Kombinasi obat dapat menyebabkan interaksi, beberapa interaksi
obat yang terjadi memang sengaja digunakan untuk terapi. Tetapi lebih banyak
interaksi obat yang terjadi mempunyai efek yang merugikan (Gans, 2007;
22

Herfindal, 2000) Karena banyaknya efek yang merugikan akibat interaksi maka
instalasi farmasi di Rumah Sakit harus selalu memantau kejadian interaksi obat
dan juga sebagai sumber informasi, yang dalam hal ini sangat berperan aktif untuk
meningkatkan kepatuhan pasien demi menjaga mutu pemberian obat yang lebih
rasional. (Depkes, 2008).

Penelietian pertama yang berjudul evaluasi penggunaan obat pada pasien


tukak peptik di instalasi rawat inap RSUD Dr. Soeradji tirtonegoro klaten tahun
2014 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut : Gambaran terapi pada pasien tukak peptik di Instalasi Rawat
Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2014 diperoleh penggunaan
obat omeprazol sebesar 68%, ranitidin 56%, dan sukralfat 56%. Kerasionalan
terapi pada pasien tukak peptik di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten Tahun 2014 diperoleh tepat indikasi 100%, tepat obat 88%,
tepat pasien 76%, dan tepat dosis 4%.

Penelitian kedua gambaran terapi kombinasi ranitidin dengan sukralfat


dan ranitidin dengan antasida dalam pengobatan gastritis di smf penyakit dalam
rumah sakit umum daerah (rsud) ahmad mochtar bukit tinggi. hasil penelitian
kombinasi ranitidin dengan sukralfat memberikan efek terapi yang baik dalam
pengobatan gastritis dimana Ranitidin berperan dalam mengurangi faktor agresif
dengan cara menghambat histamine pada reseptor H2 sel parietal sehingga sel
parietal tidak terangsang mengeluarkan asam lambung. Sedangkan sukralfat
berperan dalam meningkatkan faktor devensif dengan cara melindungi mukosa
lambung, sedangkan kombinasi ranitidin dan antasida dimana antasida berperan
dalam menetralkan asam lambung sehingga dapat mengurangi keluhan nyeri yang
dialami pasien.

Penelitian ketiga Peran Antagonis Reseptor H-2 Dalam Pengobatan


Ulkus Berdasarkan patogenesis, pengobatan ulkus peptikumditujukan untuk
menekan faktor-faktor agresif dan atau memperkuat faktor defensif mukosa
duodenum.Dalam mengurangi produksi asam lambung ARH-2 merupakan obat
23

standar karena efektivitas, keamanan dan kepraktisan penggunaannya dalam terapi


jangka pendek untuk menyembuhkan ulkus, maupun terapi jangka panjang untuk
mencegah kambuhnya UP.
Penelitian ke empat evaluasi penggunaan obat antipeptik ulcer pada
penderita rawat tinngal di rumah sakit advent bandung dari hasil penelitian
yaitu obat antipeptik ulser banyak digunakan oleh golongan usia dewasa
karena pada saat pengamatan jumlah penderita golongan usia dewasa yang
dirawat di Rumah Sakit Advent lebih banyak dibandingkan penderita
golongan usia lansia dan anak. Faktor lain yang menyebabkan antipeptik
ulser banyak digunakan golongan usia dewasa adalah adanya faktor stress
yang berhubungan dengan pekerjaan dan kewajiban keluarga. Penggunaan
antipeptik ulser khususnya antasida pada anak-anak perlu memperhatikan
segi usia karena untuk anak-anak di bawah usia enam tahun dapat terjadi
resiko hipermagnesemia dan toksisitas aluminium, terutama anak-anak yang
dehidrasi dan gagal ginjal.
Penggunaan antipeptik ulser berdasarkan golongan antipeptik ulser
untuk pengamatan konkuren dan retrospektif menunjukkan bahwa golingan
obat antipeptik ulser yang paling banyak digunakan adalah antagonis
reseptor histamin H2 yaitu ranitidine. Ranitidine lebih banyak digunakan
dibandingkan simetidin karena ranitidine tersedia dalam berbagai bentuk
sediaan baik oral maupun parenteral; ranitidine relatif memiliki efek samping
yang lebih rendah dibandingkan dengan simetidin yang memiliki efek
antiandrogenik yang tinggi yaitu ginekomastia; ranitidine mempunyai
bioavaibilitas 90-100% setelah pemberian intramuskular, bioavaibilitas setelah
pemberian oral adalah 50% dan konsentrasi serum maksimal diperoleh 0,5-
1,5 jam setelah pemberian. Penggunaan ranitidine dibandingkan famotidin
dan nisatidin lebih besar karena ranitidine tersedia dalam berbagai bentuk
sediaan, harga relatif lebih murah, dan tersedia dalam bentuk generik
maupun non generik.
24

Penelitian kelima profil dan mengoptimalkan penggunaan kombinasi


anti tukak peptik dengan antasida pada pasien tukak peptik di ruang rawat
inap SMF penyakit dalam RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi. Hasil
penelitiannya adalah hasil penelitian berdasarkan waktu pemberian obat,
diperoleh persentase pasien penggunan obat yang menggunakan obat dengan
tepat atau yang di jarakkan saat tanya jawab / sebelum diberikan informasi
dan nasehat kepada pasien adalah 19 pasien (35,185 %) dan yang tidak di
jarakkan adalah 35 pasien (64,814 %), persentase pasien yang patuh setelah
diberi informasi dan nasehat adalah 53 pasien (98,15 %) dan yang tidak
patuh adalah 1 pasien (1,85 %). Karena banyaknya jumlah pasien yang
menggunakan kombinasi obat yang tidak sesuai maka dicari solusi dengan
cara memberikan informasi dan nasehat kepada pasien tentang penggunaan
obat yang benar sehingga dengan demikian setelah dilihat kepatuhan terhadap
pasien ternyata hampir semua pasien tukak peptik diruang rawat inap SMF
penyakit dalam RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi menggunakan kombinasi
obat dengan benar. Walaupun ada sejumlah kecil yang \tetap tidak patuh
karena pasien tidak percaya terhadap informasi dan nasehat yang diberikan,
sehingga pasien tersebut lebih memilih penggunaan obat berdasarkan pengalaman
sendiri.
25

BAB IV
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Dari penelitian makalah ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan
ranitidin pada tukak peptik menunjukan perbaikan secara klinis Namun
penggunaan kombinasi antara ranitidin dengan sukralfat maupun dengan
antasida juga menunjukan peningkatan efek terapi pada ulkus peptik.
Omeprasol juga bisa untuk pilihan terapi pada ulkus peptik dan menunjukan
keberhasilannya dalam mengobati ulkus peptik.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis yaitu:
Pembahasan lebih lanjut pada penelitian-penelitian lainnya untuk mendapat
informasi yang lebih akurat.
26

BAB VI

CONCLUSION

A. Conclusion

From research of this paper can be concluded that the use of


ranitidine in peptic ulcer showed clinical improvement , however
the use of a combination of ranitidine with sucralfate or with
antacids also showed an increase in the therapeutic effect on peptic
ulcer . Omeprasol also for the choice of therapy in peptic ulcer and
show success in treating peptic ulcers.
27

DAFTAR PUSTAKA

Alfiawati nur. 2015. evaluasi pengunaan obat pada pasien tukak peptik di
instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun
2014. Fakultas farmasi. Universitas muhammadiyah Surakarta.

Anwar.J. 2000. Farmakologi dan Terapi Obat Obat Saluran Cerna.


Hipokrates. Jakarta.

Aziz, Noval, dr. Sp.A. 2002. Peran Antagonis Reseptor H-2 Dalam
Pengobatan Ulkus Peptikum. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/ RSUP Haji Adam
Malik.

Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


(1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Hal.1083, 1084.

Gans.S., 2007. Farmakologi dan Terapi, Ed V, Bagian Farmakologi


Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Gapar Soetiono dr. R. 2003 .farmakologi obat-obat antihistamin non


sedatif pada penyakit alergi: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Guyton & hall. 2012. Fisiologi dan Mekanisme Penyakit, Ed XI,


Terjemahan Petrus Adianto, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Harrison, 1994. Gangguan Saluran Cerna, Terjemahan H.Ahmad, Penerbit


Buku Kedokteran, Jakarta.

Herfindal. E.T.,2000. Therapeutics Drug and Disease Management,


Seventh Edition, Dick R, Gourley, Lippincott Williams & Wilkins.

Http // www. Binfar. Depkes. go. Id/def-menu.php, Pelayanan informasi,


2008.
28

Nasif Hansen, Dahlan Rajjudin, Lingga Ida Laida. 2009. profil dan
optimalisasi penggunaan kombinasi anti tukak peptik dengan
antasida pada pasien tukak peptik di runagn rawat inap SMF
penyakit dalam RSAM Bukittinggi. Fakultas Farmasi Universitas
Andalas Padang.
Nafrialdi, Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Pohan saut S. 2007.Mekanisme Antihistamin pada Pengobatan Penyakit


Alergik : Blokade ReseptorPenghambatan Aktivasi Reseptor
.Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Dr. Soetomo
Surabaya.

Robinson, 2004.. Buku Ajar Patologi, Ed 7, Vol 2, Penerbit Buku


Kedokteran, EGC, Jakarta.

Suyono.S.,2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Ed III, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.

Silbernagl S., Lang F., 2000, Color atlas of Pathophysiology [e-book],


Germany: Thieme (152-155).

Wardaniati Isna. 2011.gambaran terpai kombinasi ranitidin dengan


sukralfat dan ranitidin dengan antasida dalam pengobatan gastritis
di SMF penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ahmad
Mochtar Bukittinggi.

You might also like