Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Histamin adalah suatu senyawa amina nabati yang disebut juga bioamina.
Pada berbagai jaringan tubuh, terutama pada usus halus, histidin akan diubah
menjadi histamin. Histamin juga bekerja sebagai neurotransmitter. Lokasi
Hampir semua organ dan jaringan memiliki histamin dalam keadaan terikat
dan inaktif, terutama dalam sel-sel tertentu. Contoh sel yang menimbun
histamin adalah sel mast. Sel mast ini banyak ditemukan pada bagian tubuh
yang terpapar dengan lingkungan luar, seperti kulit,
lapisan mukosa mata, hidung, saluran pernapasan, usus, dan juga terdapat
dalam leukosit basofil darah.
Manifestasi klinik karena pengaruh histamin terjadi akibat interaksi
histamin dengan reseptornya, yaitu H1, H2, H3. Reseptor H1 ditemukan
terutama pada otot polos saluran nafas dan sistem vaskular. Reseptor H2
ditemukan terutama pada sel parietal lambung, sedangkan reseptor H3 pada
terminal saraf. Perangsangan reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos,
peningkatan permeabilitas kapiler dan reaksi mukus. Perangsangan reseptor H2
terutama menyebabkan sekresi asam lambung. (Gapar RS, 2003).
Histamin mempengaruhi banyak proses fisiologis dan patologik, maka
dicarikan obat yang dapat mengantagoniskan efek histmain ini. Antihistamin
merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin. Antihistamin dan histamin
berlomba menempati reseptor yang sama. Blokade reseptor oleh antagonis H1
menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak
akibat histamin. Antagonis histamin raseptor H2 adalah senyawa yang dapat
menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor H2 sehingga
dapat menghambat sekresi asam lambung. Secara umum digunakan untuk
pengobatan tukak lambung akibat sekresi asam lambung dan tukak usus. Obat
2
obat dari golongan ini yang sekarang masih sering digunakan antara lain
simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin dan roksatidin. ( Pohan S, 2007).
Tukak peptik merupakan penyakit akibat gangguan pada saluran
gastrointestinal atas yang disebabkan sekresi asam dan pepsin yang berlebihan
oleh mukosa lambung. Rokok, minuman beralkohol, NSAID, dan H. Pylory.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyakit tukak. Helicobacter
pylori diketahui sebagai penyebab utama tukak lambung, selain NSAID dan
penyebab yang jarang adalah Syndrome Zollinger Ellisondan penyakit Chron
disease. Bakteri tersebut terdapat di mukosa lambung dan juga banyak
ditemukan pada permukaan epitel di antrum lambung (Hadi, 2013). Studi di
Indonesia menunjukkan adanya hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan
terhadap prevalensi infeksi H. Pylory dan diperkirakan 36-46,1 % populasi
telah terinfeksi H. Pylory (Alfiawati N, 2015).
Pengobatan tukak peptik ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien,menghilangkan keluhan, menyembuhkan tukak, mencegah kekambuhan
dan komplikasi. Pilihan pengobatan yang paling tepat untuk penyakit tukak
peptik tergantung pada penyebabnya. Terapi kombinasi obat diperlukan untuk
penyakit tukak peptik. Kombinasi dua jenis antibiotik dengan PPI (Proton
Pump Inhibitor) atau bismuth digunakan untuk terapi eradikasi H. pylory,
sedangkan kombinasi H2 reseptor antagonis, PPI atau sukralfat dapat
digunakan untuk terapi yang disebabkan NSAID. Penggunaan obat yang tidak
rasional masih sering dijumpai di pusat-pusat kesehatan seperti rumah sakit dan
puskesmas. Ketidaktepatan indikasi, obat, pasien, dan dosis dapat
menyebabkan kegagalan terapi. Gaya hidup yang kurang sehat seperti
merokok, konsumsi makanan dan minuman cepat saji serta minuman
beralkohol dapat meningkatkan terjadinya angka kekambuhan dan komplikasi
perdarahan pada saluran cerna, kanker bahkan kematian (Alfiawati N, 2015).
Kombinasi obat dapat menyebabkan interaksi, beberapa interaksi obat
yang terjadi memang sengaja digunakan untuk terapi. Tetapi lebih banyak
interaksi obat yang terjadi mempunyai efek yang merugikan (Gans, 2007;
Herfindal, 2000). Karena banyaknya efek yang merugikan akibat interaksi
3
A. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pengaruh pemberian Ranitidin HCl terhadap penderita
tukak peptik?
B. Tujuan
Mengetahui pengaruh pemberian Ranitidin HCl terhadap penderita tukak
peptik.
C. Manfaat Penulisan
1. Sebagai referensi bagi para dokter tentang pengaruh obat Ranitidin HCl
terhadap penyakit tukak peptik.
2. Dapat digunakan sebagai pertimbangan sebagai masukan dalam
penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan Ranitidin HCl untuk
terapi tukak peptik.
.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tukak peptik
1. Defenisi
2. Patogenesa
berulang. Hanya sekitar setengah dari penderita datang dengan gejala khas.
Gejala tukak lambung sering tidak mengikuti pola yang konsisten. Hal ini
terutama berlaku untuk ulkus di saluran pilorus, yang sering dikaitkan dengan
gejala obstruksi misalnya, kembung, mual, muntah-muntah yang disebabkan
oleh edema dan parut.
B. Ranitidin
Ranitidin adalah salah satu senyawa yang mengantagonis reseptor
histamin H2 yang menghambat sekresi asam lambung. Selain digunakan
dalam terapi penyakit ulkus peptikum dan gastroesophageal refluks, ranitidin
juga dapat digunakan sebagai antihistamin pada berbagai kondisi alergi pada
kulit.
1. Farmasi- Farmakologi
a. Sifat fisiko kimia dan rumus kimia obat.
b. Farmasi Umum
1) Dosis
a) Dosis Ranitidin HCl adalah 150300 mg
b) Kondisi tukak lambung aktif ( ulkus peptikum) : Ranitidin 150 mg, 2 kali
sehari ( pagi dan malam ) selama dua minggu.
c) Terapi pemeliharaan pada penyembuhan tukak usus 12 jari dan tukak
lambung : Ranitidin 150 mg, malam sebelum tidur.
d) Keadaan hipersekresi patologis ( Zollinger Ellison, Mastositosis Sistemik)
: Ranitidin 150 mg, 2 kali sehari dengan nama pengobatan ditentukan oleh
dokter berdasarkan gejala klinis yang ada. Dosis dapat ditingkatkan sesuai
dengan kebutuhan masing-masing penderita. Dosis hingga 6 gram sehari
dapat diberikan pada penyakit yang berat.
e) Kondisi refluks gastro esofagitis ( gastroesophageal refluks, GER ) :
Ranitidin 150 mg, 2 kali sehari.
2. Farmakologi Umum
a. Indikasi
1) Pengobatan jangka pendek ulkus duodenum aktif. Kebanyakan pasien
sembuh dalam waktu 4 minggu.
2) Terapi rumatan untuk pasien ulkus duodenum dengan dosis yang
diturunkan setelah ulkus akut sembuh.
3) Pengobatan pada kondisi-kondisi hiperekresi patologis (Zollinger Ellison
syndrome dan systemic mastocytosis).
9
b. Kontra indikasi
c. Sediaan obat
3) Sirup 15 mg /ml
4) Injeksi 25 mg/ml
a) Ranitidine oral
1) 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau 300 mg sekali sehari
sesudah makan malam atau sebelum tidur, selama 4 8 minggu.
2) Tukak lambung aktif 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) selama 2
minggu.
3) Terapi pemeliharaan pada penyembuhan tukak 12 jari dan tukak
lambung Dewasa : 150 mg, malam hari sebelum tidur.
4) Keadaan hipersekresi patologis (Zollinger - Ellison, mastositosis
sistemik) Dewasa : 150 mg, 2 kali sehari dengan lama pengobatan
ditentukan oleh dokter berdasarkan gejala klinik yang ada. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing penderita.
Dosis hingga 6 g sehari dapat diberikan pada penyakit yang berat.
5) Refluks gastroesofagitis Dewasa : 150 mg, 2 kali sehari.
6) Esofagitis erosif Dewasa : 150 mg, 4 kali sehari.
7) Pemeliharaan dan penyembuhan esofagitis erosif Dewasa : 150 mg,
2 kali sehari.
10
b) Ranitidine injeksi
3. Farmakodinamika
Ranitidin menghambat reseptor H2 secara kolektif dan reversible.
Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga pada
emberian ranitidin sekresi asam lambung dihambat. Pengaruh fisiologik ranitidin
terhadapa reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak sebaik
penekanan sekresi asam lambung pada keadaan basa, ranitidin dapat menghambat
sekresi asam lambung akibat perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau
gatrin. Ranitidin juga menggangu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
(Nafrialdi, Setawati, A, 2007.)
4. Farmakokinetika
a. Pola ADME
Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 -3 jam pada
orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pasien gagal ginjal. Pada
pasien penyakit hati masa paruh ranitidine juga memanjang meskipun tidak
sebesar pada ginjal.Padaginjal normal, volume distribusi 1,7 L/kg sedangkan
klirens kreatinin 25-35 ml/menit. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam
setelah penggunaan ranitidine 150 mg secara oral, dan terikat protein plasma
hanya 15 %. Ranitidine mengalami metabolism lintas pertama di hati dalam
jumlah yang cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidine dan matabolitnya
diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari
ranitidine yang diberikan IV dan 30 % yang diberikan secara oral diekskresi
dalam urin dalam bentuk asal. (Nafrialdi, Setawati, A, 2007.)
5. Toksisitas
a. Efek samping
1) Sakit kepala
12
b. Interaksi obat
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin. Nifedin, Warfarin, Teofilin dan Metoprolol dilaporkan berinteraksi
dengan ranitidin. Selain menghambat sitokrom P-450, Ranitidin dapat juga
menghambat absorbsi diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah
25%. Sebaiknya obat yang dapat berinteraksi dengan ranitidin diberi selang
waktu minimal 1 jam. Ranitidin dapat menyebabkan gangguan SSP ringan ,
karena lebih sukar melewati sawar darah otak dibanding simetidin. (Nafrialdi,
Setawati, A, 2007.)
13
c. Overdosis
Gejala-gejala overdosis antara lain, pernah dilaporkan : hipotensi, cara
berjalan yang tidak normal.
Penanganan overdosis :
1) Induksi dengan cara dimuntahkan atau bilas lambung.
2) Untuk serangan : dengan cara pemberian diazepam injeksi i.v.
3) Untuk bradikardia : dengan cara pemberian atropin.
4) Untuk aritmia : dengan cara pemberian lidokain.
14
BAB III
PENELITIAN LAIN
10 orang, mual 8 orang, muntah 5 orang, nafsu makan menurun 4 orang, dan perut
kembung 3 orang.
Hasil penelitian berdasarkan derajat gastritisnya pada penelitian ini jumlah
pasien yang menderita gastritis ringan sebanyak 5 orang dan gastritis sedang
sedang sebanyak 5 orang. Perbedaan antara gastritis ringan dan sedang dapat
dilihat dari gambaraan kemerahan atau erosi pada mukosa lambung pasien. Dari
gambaran mukosa lambung pasien pada esofagus terdapat mukosa hiperaemis
ringan sampai sedang dan pada gaster banyak ditemukan hiperaemis ringan
terutama pada bagian antrum yang disertai dengan hipersekresi cairan lambung
sedangkan pada duodenum tidak ditemukan adanya kelainan.
Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa kombinasi ranitidin dengan sukralfat
memberikan efek terapi yang baik dalam pengobatan gastritis dimana Ranitidin
berperan dalam mengurangi faktor agresif dengan cara menghambat histamine
pada reseptor H2 sel parietal sehingga sel parietal tidak terangsang mengeluarkan
asam lambung. Sedangkan sukralfat berperan dalam meningkatkan factor devensif
dengan cara melindungi mukosa lambung, sedangkan kombinasi ranitidin dan
antasida dimana antasida berperan dalam menetralkan asam lambung sehingga
dapat mengurangi keluhan nyeri yang dialami pasien (William dan Wilkins 2010).
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 100% dari
pasien yang menggunakan terapi kombinasi Ranitidin dengan Sukralfat
keluhannya hilang dan 80% pada pasien yang menggunakan Ranitidin dengan
Antasida.
Penelitian ini dilakukan oleh Hansen Nasif, Rajjudin Dahlan dan Ida Laida
Lingga Dari Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui profil dan mengoptimalkan penggunaan
kombinasi anti tukak peptik dengan antasida pada pasien tukak peptik di
ruang rawat inap SMF penyakit dalam RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi.
Penelitian ini dilaksanakan di ruang rawat inap pada SMF penyakit dalam
RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 26 Februari - 25 April 2008.
Penelitian yang dilakukan secara observasi prospektif dengan
menggunakan kuisioner. Data diambil dari data primer pasien penderita tukak
peptik yang menggunakan obat kombinasi anti tukak peptik dengan antasida
di ruang rawat inap SMF penyakit dalam RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi
populasi adalah keseluruhan objek panelitian atau objek yang akan diteliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penderita tukak peptik yang
menggunakan kombinasi anti tukak peptik dengan antasida di ruang rawat inap
SMF penyakit dalam RSUD Achmad Mochtar bukittinggi.
Pemilihan kombinasi anti tukak peptik (ranitidin ) dengan antasida sebagai
objek penelitian dilakukan karena selama ini masyarakat menggunakan
kombinasi ini dengan cara diminum sekaligus tanpa dijarakkan dengan alasan
tidak tahu atau sangat merepotkan dan umumnya digunakan berdasarkan
pengalaman sendiri tanpa memperhitungkan efek samping dan akibat yang
ditimbulkan jika kombinasi anti tukak peptik dengan antasida ini digunakan
bersamaan. seperti terjadi penguraian, mengurangi aktifitas.
Hasil penelitian berdasarkan waktu pemberian obat, diperoleh persentase
pasien penggunan obat yang menggunakan obat dengan tepat atau yang di
20
jarakkan saat tanya jawab / sebelum diberikan informasi dan nasehat kepada
pasien adalah 19 pasien (35,185 %) dan yang tidak di jarakkan adalah 35
pasien (64,814 %), persentase pasien yang patuh setelah diberi informasi
dan nasehat adalah 53 pasien (98,15 %) dan yang tidak patuh adalah 1
pasien (1,85 %). Karena banyaknya jumlah pasien yang menggunakan
kombinasi obat yang tidak sesuai maka dicari solusi dengan cara
memberikan informasi dan nasehat kepada pasien tentang penggunaan obat
yang benar sehingga dengan demikian setelah dilihat kepatuhan terhadap pasien
ternyata hampir semua pasien tukak peptik diruang rawat inap SMF penyakit
dalam RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi menggunakan kombinasi obat
dengan benar. Walaupun ada sejumlah kecil yang \tetap tidak patuh karena
pasien tidak percaya terhadap informasi dan nasehat yang diberikan,
sehingga pasien tersebut lebih memilih penggunaan obat berdasarkan pengalaman
sendiri.
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Herfindal, 2000) Karena banyaknya efek yang merugikan akibat interaksi maka
instalasi farmasi di Rumah Sakit harus selalu memantau kejadian interaksi obat
dan juga sebagai sumber informasi, yang dalam hal ini sangat berperan aktif untuk
meningkatkan kepatuhan pasien demi menjaga mutu pemberian obat yang lebih
rasional. (Depkes, 2008).
BAB IV
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian makalah ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan
ranitidin pada tukak peptik menunjukan perbaikan secara klinis Namun
penggunaan kombinasi antara ranitidin dengan sukralfat maupun dengan
antasida juga menunjukan peningkatan efek terapi pada ulkus peptik.
Omeprasol juga bisa untuk pilihan terapi pada ulkus peptik dan menunjukan
keberhasilannya dalam mengobati ulkus peptik.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis yaitu:
Pembahasan lebih lanjut pada penelitian-penelitian lainnya untuk mendapat
informasi yang lebih akurat.
26
BAB VI
CONCLUSION
A. Conclusion
DAFTAR PUSTAKA
Alfiawati nur. 2015. evaluasi pengunaan obat pada pasien tukak peptik di
instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun
2014. Fakultas farmasi. Universitas muhammadiyah Surakarta.
Aziz, Noval, dr. Sp.A. 2002. Peran Antagonis Reseptor H-2 Dalam
Pengobatan Ulkus Peptikum. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/ RSUP Haji Adam
Malik.
Nasif Hansen, Dahlan Rajjudin, Lingga Ida Laida. 2009. profil dan
optimalisasi penggunaan kombinasi anti tukak peptik dengan
antasida pada pasien tukak peptik di runagn rawat inap SMF
penyakit dalam RSAM Bukittinggi. Fakultas Farmasi Universitas
Andalas Padang.
Nafrialdi, Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Suyono.S.,2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Ed III, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.