Professional Documents
Culture Documents
Debi Irawan
Pagi ini cukup cerah untuk memulai beragam rutinitas yang aku jalani setiap hari.
Belajar di sekolah, bersenda gurau bersama sahabat, serta hal sepele lainnya yang dilakukan
murid-murid lain. Tapi entahlah, pagi ini aku sedang tidak begitu bersemangat seperti
biasanya, mungkin efek dari kebiasaanku begadang tiap malam sehingga membuatku lemas
seperti seorang uzur. Menyusuri koridor madrasah yang panjangnya hanya beberapa
meterpun rasanya pundakku seperti ditimpa puluhan kilo karung berisi batu kerikil yang tak
kasat mata.
TING-TONG. Bel tanda masuk pun berbunyi. Semua murid masuk ke ruang kelas,
mempersiapkan diri untuk belajar.
Pelajaran pertama yang ada pada hari ini adalah matematika, salah satu pelajaran
favoritku. Walaupun aku begitu menggemari pelajaran ini, aku tidak terlalu menyukai fakta
bahwa setiap soal matematika hanya memiliki satu jawaban yang benar.
Lah benar belum jawaban Deni, nih? Pak Rahmat menunjuk Ayu.
Salah pak. Bukan itu jawabannyo Lalu Ayu maju ke depan menulis jawaban yang
benar atas instruksi pak Rahmat.
Aku sangat tidak menggemari pelajaran bahasa Arab. Bahkan mungkin ini salah satu
yang paling aku tidak sukai. Juga bagiku pernyataan orang-orang kebanyakan yang berlagak
sok suci dengan menyebut bahwa bahasa Arab adalah bahasa surga, bahasa akhirat, bahasa
penyelamat manusia di alam kubur kelak, adalah bualan semata. Bukankah urusan akhirat itu
ditentukan oleh amal baik dan buruk manusia? Sejak kapan surga dan neraka ditentukan oleh
bahasa apa yang dikuasai manusia?
Sekarang kalian baca dulu tentang isim nakiroh dan isim mariat. Nanti saya
jelaskan. Pak Amran menginstruksikan dengan suara cemprengnya yang dengan mudah
membuat murid-murid tertawa.
Oke pak..!! Semua murid menjawab dengan suara yang tidak kalah cempreng.
Sering-sering ajolah pak Mulyo idak masuk! Seorang murid berteriak dengan gembira.
Suara azan zuhur membangunkanku dari tidur pulas. Segera saja dengan langkah yang
agak terhuyung-huyung aku bergegas ke masjid, namun baru saja aku akan keluar dari ruang
pepustakaan, aku berpas-pasan dengan bu Vina, yang entah kenapa menatapku benci dan
jijik. Aku segera meninggalkannya, meyakinkan diriku mungkin bahwa mungkin saja aku
hanya salah menginterpretasikan ekspresinya.
***
Selesai salat zuhur, semua murid diinstruksikan segera masuk ke kelas guna
melanjutkan kegiatan belajar.
Semua murid sudah berkumpul di dalam kelas. Wajah-wajah yang lesu dan tidak
bergairah memenuhi ruang kelas. Semua diperparah dengan terik matahari yang membuat
gerah seanero ruangan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan sepatu high heels yang sudah
sangat familiar bagi kami, aku teringat akan ekspresi kebencian yang terpampang di wajah bu
Vina kala berpas-pasan denganku sekitar satu jam yang lalu.
Bu Vina, guru geografi kami memasuki ruang kelas dengan kecantikan seorang janda
yang merindukan kekasih hati, yang hari ini malah ditutupi dengan dempul amarah yang
bahkan dengan mengintip sedikit dari balik bulu mataku saja sudah memeras keluar keringat
dingin dari pori-pori.
Aku sering kali menyebut bu Vina dengan julukan nyonya besar. Hal ini aku
dapatkan dari sebuah novel berjudul 1984 karya George Orwell, di mana dalam cerita
tersebut terdapat seorang tokoh pemimpin diktator yang ditakuti seantero negeri. Pemimpin
itu dipanggil dengan julukan bung besar. Sangat sesuai dengan karakteristik bu Vina yang
kegalakannya melegenda sehingga menjadi momok bagi seluruh murid.
Siapa yang mengadu ke kepala sekolah?! Bentak nyonya besar dengan nada tinggi.
Membuat semua murid terdiam.
Sejujurnya kami semua sudah tahu apa yang dimaksud oleh sang nyonya besar.
Pastilah dia menyinggung perihal sehari yang lalu. Aduan kami kepada kepala sekolah
mengenai kinerja buruk nyonya besar-lah yang menyulut kemarahannya.
Tetapi saat itu kepala sekolah bertanya kepada kami mengenai kinerja nyonya besar,
dan tentu saja itu menjadi kesempatan yang berharga bagi kami untuk meluapkan kekesalan
kami, terutama kekesalanku, karena sudah cukup lama aku menahan lidahku untuk tidak
mengadukan kinerja nyonya besar yang buruk. Sangat buruk, bahkan. Sampai-sampai
rasanya ingin kutanggalkan saja lidah ini dari dalam mulut karena merasa tidak berguna.
Wajar saja emosi nyonya besar tumpah ruah tak terbendung seperti ini. Pastilah
kepala sekolah telah memanggilnya dan memberikan teguran atau hukuman. Itu semua toh
salahnya sendiri, buah yang harus nyonya besar makan dari pohon ketidakbecusan yang
disiraminya selama ini.
Gak ada yang mau ngaku sama ibu? Teriaknya lagi. Dan kami semua terdiam pucat
pasi.
Tidak ada yang berani menatap mata nyonya besar, apalagi memandangi wajahnya.
Terpikir sedetik olehku mungkin saja di kepalanya sudah muncul tanduk dan taring di
giginya. Lengkap sudah kengerian itu, layaknya sesosok iblis. Namun di detik berikutnya
terpikir olehku bahwa setidaknya sau dari kami harus membacakan mantra pengusir iblis
yang dalam situasi ini, aku namai dengan jawaban, atau mungkin juga pelajaran. Aku tidak
bisa membiarkan wanita yang telah menggugurkan kecintaanku kepada geografi hanya
karena ketidakbecusannya dalam mengajar, dengan leluasa menyalahkan kami atas semua
omong kosong ini.
Kami cuma menceritakan tentang jawaban nomor satu ulangan kemaren kok bu.
Terdengar suara yang goyah dari sisi kiri depan ruangan.
Yang kami ceritakan cuma itu saja. Lanjut Rian, masih dengan suara yang gemetar.
Dia pasti merujuk ke saat dimana nyonya besar menyalahkan kami sekelas karena
kami menjawab pertanyaan tentang organisasi kehidupan dalam ekosistem dari urutan yang
terkecil sampai terbesar. Tapi anehnya ketika mengoreksi jawaban bersama, nyonya besar
menyebut bahwa yang ia tanyakan adalah organisasi kehidupan dalam ekosistem dari yang
terbesar sampai terkecil, dan lucunya lagi ia menyalahkan telinga kami sekelas. Bayangkan,
ada 28 pasang telinga yang disebutnya tidak beres. Padahal jelas-jelas dari soal yang
dibacakan, dia meminta kami mengurutkan macam organisasi kehidupan dalam ekosistem
dari yang terkecil sampai terbesar. Aneh.
Kan saya sudah bilang kalo yang saya minta itu dari yang terbesar sampai terkecil.
Teriaknya. Membuatku muak saja. Kalian itu yang salah dengar...!!
Selain itu kami juga mengadukan tentang kualitas mengajar ibu yang rendah, bu.
Potongku. Keringat dingin mengalir deras dari sekujur tubuhku. Tanpa sadar tanganku telah
tarangkat dengan gemetar.
Kami menyampaikan keluhan kami tentang cara mengajar ibu yang membosankan.
Cuma membaca buku terus-terusan. Nyandarkan bokong montok di meja. Tambahku dalam
hati. Tidak ada penjelasan tambahan. Tidak bisa memberikan contoh yang nyata dari
lingkungan sekitar. Tapi terus-terusan memberikan tugas.
Kami tidak perlu dibacakan teks yang jelas-jelas udah ada di buku kami masing-
masing, bu. Lanjutku, kali ini dengan amarah. Kalo cuma membaca buku aja, ya kami juga
bisa. Apa susahnya jadi guru kalo kayak gitu? Kami semua toh butuh penjelasan lebih.
Nyonya besar terdiam. Mungkin hatinya hancur mendengar kalimat yang begitu
ofensif keluar dari mulut salah satu muridnya.
Selain itu, saya pribadi berpendapat bahwa tugas ini sangat tidak masuk akal untuk
diberikan kepada kami kelas 11 IPS. Aku tidak bisa berhenti. Apalagi membayangkan saat
ketika kami disuruh mengetik makalah seratus nama hewan dan menghafalkannya dibagi
dengan anggota kelompok.
Kami bukan anak TK bu, mau ngapain ngasih tugas ini ke kami? Lanjutku.
Mendengar kalimat itu nyonya besar lantas tersulut emosi yang semakin besar. Tugas
yang kumaksud kebetulan berada di tangannya, dan sekarang sudah remuk digenggam oleh
kemarahan yang menjadi-jadi.
Jadi menurut kamu tugas ini gak ada gunanya? Air matanya mengalir, namun
amarahnya tetap menguap di seantero ruangan. Lalu dilemparkannya makalah yang ada di
tangannya ke arahku dengan emosi yang meledak. Mungkin saja jika ia tadi memegang
sebuah golok, pastilah golok itu sudah menancap di tengkorakku. Namun untung saja
makalah itu tidak mengenaiku. Terima kasih tuhan.
Kalo ngomong itu pake otak nak. Kamu punya otak, kan? Dia menatapku marah
dibalik air matanya. Saya masih punya hati. Tangisannya kali ini semakin menjadi-jadi,
tapi tampak dia mencoba menahan tangisnya sekuat tenaga agar guru atau murid lain di luar
kelas tidak dapat mendengarnya.
Di ujung tangisnya yang perlahan sirna, kulihat nyonya besar mengambil satu tarikan
nafas dalam-dalam. Mungkin berancang-ancang melepaskan amunisi berikutnya.
Ya sudah, kalian gak mau saya ngajar kelas kalian lagi, kan?! Mulai hari ini, saya
tidak akan pernah mengajar kelas kalian lagi! Sejurus kemudian nyonya besar membereskan
buku-buku yang ia bawa dan pergi meninggalkan kelas.
DUAAARR... Pintu kelas pun tak luput menjadi korban amarahnya.
Tengoklah ibu Vina dak ndak ngajar kito lagi kan katonyo!
Semua cacian menguap menyesakkan hati. Seolah aku baru saja menyeret mereka ke
dalam lubang neraka yang dapat diasumsikan bu Vina sang nyonya besar sebagai penjaganya.
Norma seperti itu seharusnya tidak pernah ada. Tetapi faktanya, di saat modern seperti
sekarang masih saja orang-orang seperti itu bebas menindas murid-murid di dalam kelas
seperti seorang diktator. Padahal mulai dari aku belajar di jenjang pendidikan dasar, SMP,
sampai saat ini, selalu ada saja orang-orang demikian. Dan selama ini aku hanya diam. Tapi
norma itu telah kuhancurkan, setidaknya di dalam kelas ini. Semua orang, bahkan guru
sekalipun layak dikritisi meskipun betapa pahitnya itu. Apalagi kritikan itu keluar dari
seorang murid bertubuh kurus dan pendek yang mungkin selama ini dia anggap tidak
berdaya.
Aku hanya duduk terdiam di bangkuku. Dalam pikiran terus terngiang akan tangisan
dan amarah yang diluapkan oleh nyonya besar, bu Vina tepatnya, wanita yang baru saja aku
lukai hatinya. Apakah aku merasa bersalah? Ya, sedikit. Namun semakin aku mengingat
betapa remuknya perasaan bu Vina tadi, malah semakin aku merasakan dalam hatiku diriku
adalah orang yang kotor.
Di sudut hatiku yang lain, aku merasakan kecemasan yang bergejolak secara masif.
Bagaimana jika aku nanti dipandang buruk? Bagaimana jika murid-murid yang diwalikan
oleh bu Vina nanti membalas perbuatanku dengan kekerasan? Bagaimana jika bu Vina
menaruh dendam padaku dan membuat citra buruk tentang diriku? Semakin aku memikirkan
semua itu, semakin aku frustrasi.
Mulai hari ini, saya tidak akan pernah mengajar kelas kalian lagi
Tengah Malam
Dalam Suasana Nostalgia
Bulan Oktober 2016
Tentang Penulis
Debi Irawan, pria yang kerap dipanggil Debi ini lahir
di Bengkulu pada 16 Januari 1996. Terlahir dari orang tua
yang berdarah Lembak, penulis acap kali menggunakan
kalimat yang frontal dalam penulisan cerpen-cerpennya. Hal
ini diklaimnya sebagai pengaruh dari sifat etnis lembak
yang cenderung frontal dan blak-blakan. Saat ini penulis
merupakan seorang mahasiswa aktif di program studi adris
bahasa Inggris IAIN Bengkulu. Penulis juga aktif dalam
organisasi mahasiswa dan menjadi tutor divisi writing yang diselenggarakan oleh himpunan
mahasiswa tadris bahasa Inggris IAIN Bengkulu setiap hari sabtu. Penulis dapat dihubungi
melalui telepon: 085268424945 dan e-mail: debiirawan16@gmail.com.