You are on page 1of 6

Hoing Temodok: Upacara Penyucian Diri Ibu Hamil Suku Lamaholot, Nusa

Tenggara Timur
Temodok adalah upacara pembersihan diri yang dilakukan oleh suami dan isterinya yang
sedang hamil, agar proses kelahiran bayinya dapat berjalan dengan lancar, tidak diganggu oleh
roh jahat, dan diberikan keturunan yang baik. acara Hoing temodok hingga kini masih
dilakukan oleh beberapa keluarga suku Lamaholot yang tinggal diFlores Timur,
provinsi Nusa Tenggara Timur.
1. Asal-usul
Upacara hoing temodok diselenggarakan oleh suku Lamaholot, yaitu sebuah suku bangsa yang
mayoritas tinggal di Flores
[1]Timur yang meliputi Flores Timur daratan, Pulau Adonara dan pulau Solor, provinsi Nusa
Tenggara Timur
(NTT) (http://www.nttprov.go.id). Dahulu kala, sebelum NTT dikuasai oleh Portugis (1558)
dan belum dimasuki oleh
penganjur agama Kristen,
[2] Upacara ini masih sering dilaksanakan. Namun sangat disayangkan, saat ini hanya beberapa
keluarga suku lamaholot saja yang masih setia menyelenggarakan upacara ini (Antonio Pinto
da Franca,2000).
Secara semantik, kata hoing berarti membersihkan dan temodok berarti benda penghalang
(batu atau kayu) yang menyebabkan kaki terantuk jika melawatinya. Arti ini di atas hanyalah
sebuah metafora, hoing temodok secara umum diartikan sebagai upacara pengakuan dosa yang
telah dilakukan oleh oleh suami dan isterinya yang sedang hamil selama hidupnya kepada
penguasa langit dan bumi, yakni Lera Wulan Tana Ekan.Upacara ini bertujuan untuk
membersihkan fisik dan jiwa suami isteri tersebut, agar dalam proses kelahirannya kelak tidak
diganggu oleh roh-roh jahat serta agar diberikan keturunan yang baik. Upacara ini digelar
ketika kandungan berusia sembilan bulan sambil menunggu saat-saat menunggu kelahiran
jabang bayi. Saat-saat kelahiran bayi dianggap sebagai saat sakral dan menegangkan, untuk itu
agar dapat berjalan lancar, perlu diadakan sebuah ritual upacara berupa pembersihan diri dan
persembahan kepada dewa (Munandjar Widiyatmaka dkk., 1981).Proses pembersihan ibu
hamil ini diwujudkan dalam bentuk pengakuan dosa suami isteri yang sedang hamil di sebuah
tempat keramat yang dipercaya sebagai tempat penguasa langit dan bumi yang bernama Lera
Wulan Tana Ekan. Kepercayaan kepada Lera Wulan Tana Ekan yang dianut masyarakat di
wilayah itu jauh sebelum Portugis Belum ada data - dalam proses Kepercayaan kepada Lera
Wulan Tana Ekan yang dianut masyarakat di wilayah itu jauh sebelum Portugis menginjakkan
kaki di Larantuka. Kepercayaan ini meluas di seluruh masyarakat Lamaholot dan menjiwai
seluruh kehidupan mereka, baik dalam pembacaan mantra, syair, maupun pantun tradisional
(Kompas, Senen, 12 April 2010).
Upacara hoing temodok diilhami dari ajaran tradisional suku Lamaholot yang terangkum dalam
falsafah Koda-kehirin. Falsafah ini mengajarkan agar manusia Lemaholot selalu menjaga
hubungan dengan lera wulan-tanah ekan (langitdan bumi: Tuhan), lewo tana (kampung
halaman beserta segala isinya yang kelihatan dan tidak kelihatan) serta langouma-suku ekan
(sesama saudara yang kelihatan dan tidak kelihatan) (Josep Lagodini Horin
dalamhttp://josniherin.wordpress.com).Upacara hoing temodok terdiri dari beberapa tahap,
yaitu pengakuan dosa kepada Lera Wulan Tana Ekan,pembersihan diri oleh imam upacara
(Marang), persembahan sesaji kepada roh-roh leluhur (huke), pelaksanaan upacara pemberian
motivasi jasmani dan rohani kepada isteri yang hamil (gelete geluwer), serta ditutup dengan
makanbersama. Tahap-tahap ini tidak boleh ditukar-tukar pelasaksanaannya karena jika hal itu
terjadi maka upacaradianggap tidak sah, tidak sakral, dan melanggar adat (Munandjar
Widiyatmaka dkk., 1981).
2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan upacara hoing temodok dimulai pada pagi hari. Waktunya bertepatan
dengan saat usia kandungan perempuan sembilan bulan, ketika menunggu detik-detik
kelahiran. Jika telah tiba waktunya, keluarga, suami, sanak saudara, kepala suku dan imam
upacara (Marang), mulai sibuk mempersiapkan diri untuk menyelenggarakan upacara ini.
Waktu upacara ini tidak boleh dimajukan atau dimundurkan karena memang waktu inilah yang
sudah ditentukan oleh adat. Selanjutnya, dikarenakan upacara hoing temodok berisi ritual-ritual
yang dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pengakuan dosa kepada Lera Wulan Tana Ekan,
pembersihan diri oleh imam upacara (Marang), persembahan sesaji kepada roh-roh leluhur
(huke), pelaksanaan upacara pemberian motivasi jasmani dan rohani kepada isteri yang hamil
(gelete geluwer), serta ditutup dengan makan bersama, maka tempat pelaksanaan upacara juga
berbeda-beda.Tahap pengakuan dosa kepada Lera Wulan Tana Ekan dilaksanakan disebuah
tempat yang disebut korke. Di tempat tersebut terdapat sebuah tiang yang disucikan. Tiang ini
biasa digunakan untuk berdoa kepada Lera Wulan Tana Ekan.Tahap pembersihan diri oleh
Marang dilakukan di rumah kepala suku. Selanjutnya tahap persembahan sesaji kepada roh-
roh leluhur dilaksanakan di tempat-tempat keramat tahap pemberian motivasi kepada isteri
yang sedang hamil (gelete geluwer), dilakukan di rumah kepala suku. Sedangkan pada tahap
terakhir, yaitu makan bersama dilakukan ditempat-tempat yang keramat. Dalam upacara hoing
temodok ini, waktu dan tempat upacara tidak boleh ditukar-tukar. Jika hal itu terjadi,
makaupacara dianggap tidak sah dan harus diulang. Selain itu, penukaran waktu juga akan
menghilangkan nilai kesakralanu pacara ini.
3. Pemimpin dan Peserta Upacara
Meskipun upacara hoing temodok bersifat pribadi, yakni hanya dilakukan oleh suami dan
isterinya yang sedang hamil, namun pelaksanaan upacara ini menjadi upacara kolektif yang
melibatkan masyarakat suku Lahaholot. Dalam konteks ini, upacara adat selain menjadi ruang
spiritual pribadi juga menjadi ruang sosial.Upacara hoing temodok dipimpin oleh kepala suku
dan imam upacara yang disebut Marang. Kepala suku bertugas saat pembersihan diri di
rumahnya, dan Marang menjadi pemimpin saat pemberian motivasi pada isteri yang sedang
hamil dan persembahan sesaji untuk roh-roh leluhur di tempat-tempat keramat. Meskipun
memiliki tugas yang berbeda,namun kedua pemimpin tersebut harus ikut serta hadir dalam
setiap pelaksanaan tahap upacara. Hal ini dikarenakan keduanya yang memberi perintah pada
setiap tahap pelaksanaan upacara tersebut.Upacara hoing temodok disaksikan oleh masyarakat
dan sanak keluarga suami isteri yang sedang hamil. Masyarakat selain hanya sekedar
menyaksikan juga menjadi peserta yang ikut aktif dalam upacara. Hal ini terlihat ketika ikut
berdoa dan ikut mengantarkan sesaji ke tempat-tempat keramat serta ikut makan bersama.
Melihat banyaknya peserta, upacara ini satu sisi merupakan sebuah ruang meditasi dan
introspeksi suami isteri yang sedang hamil atas segala dosa yang pernah mereka lakukan, dan
dari sisi yang lain juga merupakan sebuah perayaan kegembiraan mereka berdua karena akan
diberi momongan. Maka dari itu, para peserta yang hadir ikut memberi doa sekaligus juga ikut
bersuka cita atas kebahagiaan yang dirasakan oleh suami isteri tersebut.
4. Peralatan dan Bahan
Meskipun diselenggarakan dalam beberapa tahap yang berbeda, upacara hoing temodok secara
umum tidak memerlukan peralatan dan bahan yang sederhana. Hal ini dikarenakan upacara ini
hanya berpusat pada kesiapan (kebersihan jiwa) suami isteri yang sedang hamil untuk mengaku
dosa dan berjanji tidak mengulanginya.
Upacara hoing temodok hanya memerlukan dua alat sederhana, yaitu:
1. Adadah untuk tempat sesaji yang terbuat dari daun lontar
2. Wadah untuk tempat makanan yang nanti akan disantap bersama
Adapun bahan-bahan yang dibutuhan terbagi dalam dua hal, yaitu bahan yang harus ada dan
bahan yang hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara. Bahan-bahan yang harus ada tersebut
meliputi:Brika, yaitu benang merah yang dianggap simbol penenang jiwa ibu yang sedang
hamil Braha, yaitu kapas yang digulung kecil-kecil berbentuk lonjong. Braha berfungsi sama
dengan brika, yaitu penenang jiwa ibu yang sedang hamil. Seekor ayam jantan untuk
disembelih sebagai lauk makan bersama. Beberapa butir telur ayam yang hampir menetas
sebagai simbol bayi yang akan lahir. Anak ayam yang berumur satu atau dua hari sebagai
simbol bayi yang telah lahir. Sebuah kemiri untuk dihaluskan lalu dilumurkan ke badan suami
dan isterinya yang sedang hamil sebagai penolak roh jahat. Adapun bahan-bahan yang
fungsinya hanya sebagai pelengkap upacara meliputi:
Beras merah
Arak
Sirih pinang
Tembakau
5. Proses Pelaksanaan
Proses pelaksanaan upacara hoing temodok secara umum terbagi dalam tiga tahap, yaitu
persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Proses pelaksanaan upacara ini tidak boleh ditukar-tukar,
jika hal itu dilakukan maka upacara dianggap tidak sah dan harus diulang dari awal. Maka dari
itu, disinilah letak pentingya kepala suku dan imam upacara (Marang) sebagai pemberi
perintah.
a. Persiapan
Pada tahap persiapan ini biasanya diisi dengan menyiapkan segala alat dan bahan-bahan yang
diperlukan dalam pelaksanaaan upacara nanti. Aktivitas ini dilakukan sendiri oleh suami dari
isteri yang sedang hamil dan dibantu oleh sanak saudara dan gotong royong masyarakat.Setelah
alat dan bahan-bahan selesai dipersiapkan, sang suami dan kepala suku bertemu untuk
merundingkan kapan waktu yang tepat untuk melakukan upacara hoing temodok. Setelah
waktu selesai diputuskan, kemudian kepala suku menyampaikan kepada panitia upacara
(keluarga) agar mereka bersiap untuk melakukan upacara pada waktu yang telah disepakati.
Jika semua pihak, alat dan bahan sudah siap semua, pelaksanaan upacara hoing temodok segera
dimulai.
b. Pelaksanaan upacara
1. Tahap pengakuan dosa
Pelaksanaan upacara hoing temodok dimulai saat pagi hari. Ketika pagi menjelang, suami dan
isterinya yang hamil terlebih dahulu pergi ke korke untuk mengakui segala dosanya kepada
Lera Wulan Tana Ekan. Doa berupa permohonan agar Lera Wulan Tana Ekan mengampuni
semua dosa yang telah diperbuat oleh suami isteri tersebut selama hidup mereka. Pengakuan
dosa dilakukan di bawah tiang suci yang biasa dipakai oleh masyarakat Lamaholot berdoa
kepada Lera Wulan Tana Ekan. Tiang ini memang diciptakan oleh suku Lemaholot sebagai
simbol tuhan mereka.
2. Tahap pembersihan suami isteri
Setelah pengakuan dosa selesai dilaksanakan, suami isteri yang sedang hamil tersebut
kemudian pergi kerumah kepala suku. Pada mulanya, sebelum kedatangan suami isteri ini, di
rumah kepala suku sudah dilakukan beberapa persiapan, seperti memasak nasi. Nasi yang
sudah dimasak kemudian diambil sedikit untuk dijadikmati (sesaji). Beberapa ibu-ibu juga
sudah membuat wadah sesaji dari daun lontar dan menyiapkan telur ayam untuk sesaji sebagai
persembahan kepada roh-roh leluhur dan dewa. Upacara di rumah kepala suku diawali dengan
ucapan pengakuan dosa kembali oleh suami isteri kepada imam upacara (Marang). Setelah itu
Marang mengambil braha dan brika serta secara simbolis menyapukan keduanya (braha dan
brika) dari depan suami isteri tersebut berdiri hingga ke belakang mereka sambil mengucapkan
doa. Setelah pengucapan doa selesai, Marang kemudian membawa braha dan brika tersebut ke
luar kampung untuk dibuang. Pembuangan ini merupakan simbol pembuangan dosa suami
isteri tersebut.
3. Tahap pemberian sesaji persembahan ke roh-roh leluhur
Setelah Marang membuang braha dan brika ke luar kampung, Marang yang diikuti oleh suami
dan masyarakat kemudian membawa sesaji-sesaji yang sudah dipersiapkan ke tempat-tempat
yang dianggap keramat sebagai persembahan kepada roh-roh leluhur. Peletakan sesaji ini
diiringi doa oleh Marang. Doa yang dibaca berupa doa permohonan agar roh-roh jahat tidak
mengganggu ibu yang sedang hamil tersebut.
4. Tahap penguatan jasmani dan rohani istri yang sedang hamil (gelete geluwer)
Setelah Marang memimpin pesembahan sesaji dan doa di tempat-tempat keramat, Marang
kembali ke rumah kepala suku untuk melaksanakan upacara gelete geluwer, yaitu upacara yang
bertujuan memberikan kesegaran jasmani dan rohani ibu yang sedang hamil agar nantinya siap
dan kuat saat melahirkan. Upacara ini diawali dengan pemotongan seekor ayam jantan yang
telah disiapkan. Kemudian darah ayam dioleskan ke warada, yaitu tempat ibu melahirkan, serta
dioleskan juga pada kemiri yang telah disiapkan sebelumnya. Oleh Marang, kemiri tersebut
selanjutnya dipecah dan isinya dikunyah bersamaan dengan sirih dan pinang hingga hancur.
Hasil kunyahan tersebut selanjutnya dioleskan dengan bentuk tanda silang ke dahi dan
dilumurkan ke seluruh badan ibu yang sedang hamil. Hal ini merupakan simbol perlindungan
dan penolakan terhadap roh-roh jahat yang dapat mengganggi ibu yang sedang hamil saat
kelahiran kelak. Tahap ini diakhiri dengan mengantarkan sesaji berupa makanan yang sudah
dimasak ke tempat-tempatkeramat. Sesaji yang dibawa berupa beberapa potong daging dan
hati ayam, arak, sirih pinang, dan tembakau keramat. Sesaji yang dibawa berupa beberapa
potong daging dan hati ayam, arak, sirih pinang, dan tembakau.
c. Penutup
Upacara hoing temodok ditutup dengan makan sirih pinang bersama dan dilanjutkan dengan
makan nasi bersama dirumah suami isteri yang sedang hamil. Acara ini merupakan simbol
kebersamaan dan perayaan kebahagiaan bersama.
6. Doa-doa
Dalam upacara hoing temodok ini, banyak doa yang dipanjatkan. Namun salah satu doa yang
biasa disenandungkan tersebut berbunyi sebagai berikut.
Koda ekan rua telo, kiring ekan palima, go pate nuhut helo wowa, hue nuhu gie wewel, go gute
braha rera wulan pilebrika tana ekan, deink ala pate nuhu sadik kala helo wowa, nuhu peen bu
butung rera wulan, koda peen hapun rorantana ekan. Artinya: kalau anda sudah terlanjur bicara
mengakuilah kesalahanmu dengan jujur, mulutmu yang terlanjur bicara dan lidahmu yang bisa
berbohong, kubersihkan dengan kapas putihdari tuhan, karena tuhan menghendaki demikian,
semoga hati bersih seperti kapas sehingga kamu layak dihadapa-Nya.
7. Pantangan atau Larangan
Upacara hoing temodok memberikan pantangan dan larangan yang harus ditaati, baik untuk
suami maupun isteri yang sedang hamil. Larangan dan pantangan tersebut adalah sebagai
berikut.
a. larangan untuk suami
1. suami dilarang membawa tali pengikat bambu yang biasa dilingkarkan di leher untuk
mengikat bambu pada pohon lontar yang berfungsi sebagai tangga memanjat pohon nira.
Sebagai gantinya, tali tersebut diikatkan pada pinggang. Hal ini dimaksudkan agar tali pusar
bayi tidak melilit di lehernya.
2. Dilarang pulang larut malam, karena dikhawatirkan akan ada roh-roh jahat yang
mengikutinya
b. larangan untuk isteri yang sedang hamil
1. Dilarang makan gurita, baik gurita kecil maupun besar. Hal ini dimaksudkan agar saat
kelahiran, tali pusar tidak membelit badan atau leher bayi seperti halnya jari-jari gurita yang
melekat pada tangannya. Jika hal ini terjadi,maka akan menimbulkan bencana bagi si ibu
maupun bayi.
2. Dilarang makan daging kera (munak) agar jika dewasa bayi tersebut tidak seperti kera yang
suka mencuri.
3. Dilarang makan daging babi landak karena dikhawatirkan akan merepotkan ibunya ketika
melahirkan, seperti orang yang makan dan tenggorokannya tersangkut duri (seperti duri
landak).
4. Dilarang makan buah pisang yang buahnya berdempetan agar bayi yang lahir tidak cacat
seperti berdempet.
5. Dilarang duduk di depan pintu, karena pintu merupakan pintu masuk orang termasuk roh
halus. Larangan ini dikhususkan pada sore hari, karena saat itu merupakan waktu keluarnya
roh jahat mencari mangsa khususnya bayi.
6. Dilarang duduk di atas periuk (kenali), karena dikhawatirkan bayi akan lahir menjadi
abnormal seperti lumpuh atau kakinya terlipat.
7. Dilarang duduk dekat tungku api karena dikhawatirkan terbakar.
8. Dilarang mengambil kayu bakar yang masih terikat. Jika ingin diambil, ikatannya harus
dibuka terlebih dahulu. Hal ini dikhawatirkan tali pusar bayi melilit kaki, tangan, atau lehernya.
9. Dilarang keluar malam hari. Jika terpaksa keluar, perempuan yang hamil tersebut dianjurkan
menyelipkan kulit kapok pada pangkal konde rambutnya, agar tidak diganggu roh jahat.
10.Dilarang mengunjungi orang meninggal karena dkhawatirkan roh yang meninggal
mengganggu bayi yang dikandungan.
8. Nilai-nilai Bagi suku Lamaholot, upacara hoing temodok bukan hanya sekedar upacara
ritual, akan tetapi sebuah upacara yang memiliki nilai-nilai positif, baik bagi individu pelaksana
upacara maupun masyarakat. Nilai-nilai yang dapat dipetik dari pelaksanaan upacara hoing
temodok ini antara lain: Nilai spiritualitas dan sakralitas. Nilai tampak sekali pada tujuan dari
diadakannya upacara hoing temodok ini, yakni sebagai ruang untuk pembersihan diri suami
dan isterinya yang sedang hamil dari semua dosa yang pernah mereka lakukan agar yang
dikandung dapat lahir secara lancar dan diberikan keturunan yang baik. Mencermati tujuan ini,
maka satu hal ingin dicapai dari pelaksanaan upacara ini adalah bersihnya diri suami isteri yang
sedang hamil secara jiwa dengan cara mendekatkan diri kepada dewa Lera Wulan Tana Ekan.
Tentu ini bertujuan sebagia penguatan spiritual suami dan isterinya yang sedang hamil tersebut.
Tuhan dianggap sebagai sandaran puncak yang dapat memberi pertolongan kepada mereka
berdua pada saat kelahiran kelak. Kedua nilai ini, juga terefleksi dari doa-doa yang dipanjatkan
serta persembahan sesaji untuk roh-roh leluhur ditempat-tempat yang dikeramatkan.Nilai
ketaatan pada aturan adat. Upacara hoing temodok dilaksanakan karena masyarakat Lamaholot
mentaati aturan yang telah ditetapkan oleh adat. Dalam konteks ini, adat dianggap dapat
menjadi pengatur kehidupan mereka sesuai dengan aturan yang dimaui oleh Lera Wulan Tana
Ekan. Melalui kepala suku dan imam upacara, pelaksanaan upacara hoing temodok memiliki
nilai tertentu bagi suami isteri yang sedang hamil sebagai bahwa mereka mentaati adat. Nilai
kebersamaan. Nilai ini tampak sekali dalam pelaksanaan upacara yang disaksikan oleh
masyarakat dan masyarakat ikut aktif dalam upacara tersebut. Selain sebagai peserta,
masyarakat satu sisi terlihat juga ikut serta masyarakat ikut aktif dalam upacara tersebut. Selain
sebagai peserta, masyarakat satu sisi terlihat juga ikut serta dalam perayaan kebahagiaan yang
dirasakan oleh suami dan isterinya yang sedang hamil. Mereka berdua berbahagia karena
sebentar lagi mereka akan dikaruniai keturunan. Upacara yang penuh kebersamaan tentu saja
akan berpengaruh terhadap menguatnya solidaritas dan kebersamaan serta menguatkan
identitas kekeluargaan mereka sebagai sebuah suku besar.
Nilai kasih sayang suami terhadap isteri dan penghormatan terhadap kaum perempuan.
Pelaksanaan upacara hoing temodok jika dicermati juga memuat nilai ini. meskipun sudah
menjadi aturan adat, pelaksanaan upacara ini sangat bergantung pada kesiapan suami untuk
ikut mengakui dosanya agar anak yang dikandung isterinya dapat lahir selamat dan menjadi
anak yang baik. Hal ini dapat dibayangkan jika suami tersebut tidak ikut terlibat, tentu saja
berdasar kepercayaan suku Lamaholot proses kelahiran akan tidak berjalan lancar dan anak
yang dilahirkan akan menjadi anak yang tidak baik. Maka dari itu, suami yang mau ikut terlibat
dalam upacara ini merupakan suami yang sayang kepada isterinya.
9. Penutup
Sebagai sebuah upacara yang bertujuan untuk mendoakan isteri yang akan melahirkan dan
penghormatan terhadap kaum perempuan, upacara hoing temodok telah mengajarkan bahwa
perempuanlah yang sebenarnya melahirkan kehidupan manusia. Berdasar realitas ini,
tampaknya sadar gender telah dipahami oleh suku Lamaholot sejak lama.Realitas ini juga
menyadarkan kepada kita bahwa adapt istiadat suku zaman dahulu tidak kalah dengan apa yang
didengungkan oleh orang modern. Dalam konteks ini, kajian terhadap adat istiadat suku-suku
zaman dahulu penting untuk terus dilakukan.
Yusuf Efendi (bdy/23/04-10)

Referensi
Buku Hans J Daeng, 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Anropologis.
Yogyakarta: PustakaPelajar.
Stephanus Osias Fernades, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini.
Ledalero: Sekolah
Tinggi Filsafat Katolik. Jhon Ghono, 1992. Nilai Religius Budaya NTT Sebelum dan Sesudah
Masuknya Pengaruh Kristianitas. Makalah Diskusi Panel Sehari Pelestarian Budaya Lokal.
Yogyakarta: Forum Studi Eureka.
Antonio Pinto da Franca, 2000. Pengaruh Portugis di Indonesia. Diterjemahkan oleh Pericles
Katoppo dari Portuguese Influence in Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Yoseph Yapi Taum, 2002. Rasa religiositas orang Flores: Sebuah Pengantar ke Arah
Inkulturisasi Musik Liturgi.Makalah Sarasehan Rasa Religiositas Orang Flores yang
diselenggarakan oleh Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, tanggal 15 Januari 2002.
Munandjar Widiyatmaka dkk., 1981. Adat-istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta
: Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud.
Kornelis Kewa Ama/Arbain Rambey. Kompas, Minggu, 11 April 2010. Berita tentang Jejak
Silang Budaya

You might also like