You are on page 1of 1

2A.5.

1 Archeoseismology
The term archeoseismology refers to investigations related to the seismic effects on ancient structures,
uncovered by means of archeological excavations or pertaining to the monumental heritage (Galadini
et al., 2006). According to Stiros and Jones (1996, p. 1), archeoseismology focuses on individual seismic
events occurring at precise moments over relatively recent time (the last few millennia), whose action
affected precise locationshuman constructions and their environmentwhich in turn can be studied in
detail through the archaeological record. A lesser-used but related term is seismic archeology, which
according to Guidoboni (1996) is defined as understanding the effects of seismic activity on historic
buildings, ancient cities or archeologic sites by the use of archeological methods.
Istilah archeoseismology (arkeoseismologi) digunakan untuk menyatakan "penyelidikan terkait dengan efek
gempa pada struktur bangunan kuno, yang ditemukan dengan cara penggalian arkeologis atau yang berkaitan
dengan warisan monumental "(Galadini et al., 2006). Menurut Stiros dan Jones (1996, p.1), arkeoseismologi
"memiliki fokus pada peristiwa seismik tertentu yang terjadi pada waktu yang terbatas dan relatif di masa sekarang
(resen, beberapa ribu tahun terakhir), yang mempengaruhi lokasi-lokasi yang terbatas: konstruksi bangunan dan
lingkungan sekitarnya, hal tersebut kemudian dapat dipelajari secara rinci melalui jejak-jejak arkeologis yang
ditinggalkan". Istilah lain yang kurang umum digunakan namun masih relevan adalah arkeologi seismik, yang
menurut Guidoboni (1996) didefinisikan sebagai "memahami dampak dari aktivitas seismik pada bangunan
bersejarah, kota-kota kuno atau situs purbakala dengan menggunakan metode-metode arkeologis.
Archeoseismic damage falls into four general categories (Table 2A.6). First, ancient structures may be
deformed and displaced by surface fault rupture, or affected by rapid geodetic changes. Second, buildings,
walls and columns may collapse or topple from high ground accelerations during seismic ground shaking.
Third, sites can be damaged by secondary coseismic geologic processes such as landsliding or tsunamis.
Fourth, there may be evidence of human response to earthquake damage.

Readers interested in case histories are referred to the large compilation in Stiros and Jones (1996), and a smaller
but more current
collection in the Special Issue of Journal of Seismology, Archeoseismology at the beginning of the
twenty-first century (Galadini et al., 2006). To date, few archeoseismic studies have been performed in the
Western Hemisphere, but the effects of earthquakes on ancient cities in Central and South America is
discussed briefly by Kovach (2004). Recently, Nur and Burgess (2008) published a book on
archeoseismology written for nonscientists.
Tingkat kerusakan akibat archeoseismic dikelompokkan dalam empat kategori umum (Tabel 2A.6):
a. struktur bangunan kuno mengalami perubahan bentuk dan atau posisi akibat pergerakan muka bumi, atau
dipengaruhi oleh perubahan geodesi yang berlangsung cepat.
b. terjadi keruntuhan pada tubuh bangunan, dinding dan tiang akibat akselerasi getaran tanah yang tinggi selama
guncangan seismik terjadi.
c. situs terkena dampak kerusakan oleh dampak lanjutan akibat gempa seperti longsor atau tsunami.
d. keterdapatan bukti adanya respon manusia terhadap kerusakan yang ditimbulkan gempa.
Arkeoseismologi merupakan ilmu yang mulai populer pada awal abad dua puluh satu (Galadini et al.,
2006).Hingga saat ini, beberapa studi arkeoseismik telah dilakukan oleh negara-negara barat, seperti efek dari
gempa bumi di kota-kota kuno di Amerika Tengah dan Selatan yang dibahas secara singkat oleh Kovach (2004).
Belum lama ini, Nur dan Burgess (2008) menerbitkan sebuah buku tentang arkeoseismologi nonsaintifik.

You might also like