Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
I.3 Tujuan
I.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan keratitis.
2
I.4 Manfaat
I.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit mata khususnya.
I.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit mata
3
BAB II
STATUS PASIEN
Pemeriksaan OD OS
AV
Tanpa koreksi 5/15 5/7,5
Dengan koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
TIO N/P N/P
Kedudukan Orthophoria Orthophoria
Pergerakan
Palpebra
- edema - -
- hiperemi - -
- trikiasis - -
Konjungtiva
- bulbi: injeksi konjungtiva + -
- hiperemi + +
- injeksi silier - -
- penebalan - +
Kornea
- warna Jernih Jernih
- permukaan Cembung Cembung
- infiltrate + -
COA
- kedalaman Dalam Dalam
- hifema - -
- hipopion - -
Iris / pupil
- warna iris Coklat Coklat
- bentuk pupil Bulat, central Bulat, central
- reflek cahaya + +
Lensa
- warna jernih jernih
- Iris shadow - -
Vitreus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Retina Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2.5 DIAGNOSIS
Working diagnosis : OD keratitis
OS Pterigium
Differential Diagnosis : Abrasi kornea
Keratokonjungtivitis
2.6 PENATALAKSANAAN
Planning Diagnosis : Slitlamp, Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.
5
Planning Therapy :
Non farmakologi
Istirahat cukup, menggunanakan obat teratur, tidak menggosok mata,
mencuci tangan setelah memegang mata yang sakit dan menggunakan kain
lap, handuk, sapu tangan baru.
Farmakologi
Flumetholon eye drop 4x1 tetes/hr OD
C. tobro eye drop 6x1 tetes/hr OD
2.7 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel
tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal
lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan
film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom
dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan
epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi (Ilyas,
2005).
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan
7
berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi
(Ilyas, 2005).
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan
tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar
sekitar 1 m yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat
kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama,
dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma (Ilyas, 2005).
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf
pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup
dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran
Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya
dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain (Ilyas, 2005).
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal
antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari
kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan
epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel
mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga
keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma
bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya
transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan
ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2005).
Keratitis
3.3 Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006).
9
3.6 Klasifikasi
Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena :
yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis
profunda apabila mengenai lapisan stroma.
Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah (Ilyas, 2006):
1. Keratitis punctata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh
sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat topical, sinar
ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.
2. Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan
untuk menyerang kornea.
3. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar
lakrimale atau sel goblet yang berada di konjungtiva.
4. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut
juga keratitis neuroparalitik.
10
5. Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan
banyak didapatkan pada petani.
Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah :
1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital
2. Keratitis sklerotikans.
3.8 Diagnosa
11
yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika
infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak
terlibat.
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit
Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk
mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan
pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk
histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat
waktu.
a. Keratitis Bakterialis
Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri
khusus keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap
bisa terjadi dalam 24 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus
kornea, pembentukan abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior
adalah karakteristik dari penyakit ini.
Patogen
Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah
Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter,
Serratia, and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis
jamur (terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri.
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi
dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri
oportunistik (mis., Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang menimbulkan
ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan superficial (Vaughan,
2009).
Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang
intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan
terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan
invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi.
Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur
non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi,
13
epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel
inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan
nekrosis lamella stroma.
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior,
menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon.
Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat
diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi
substansi kornea.
Temuan Klinis
a. Keratitis Pneumokokus
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi
pada kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas
tegas warna kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat
infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi
sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. (Efek merambat ini menimbulkan
istilah "ulkus serpiginosa akut".) Lapis superfisial kornea adalah yang pertama
terlibat, kemudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus sering bening.
Biasanya ada hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus
mengandung diplokokus berbentuk-lancet gram-positif (Vaughan, 2009).
Ulkus Pseudomonas
b. Keratitis Pseudomonas
Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di
tempat epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi ini
cenderung cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik yang
dihasilkan organisme ini. Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat
mengenai seluruh kornea. Umumnya terdapat hipopion besar yang cenderung
14
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan
kornea, dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis
dan hilangnya penglihatan.
Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah
ini, dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
- Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
- Luas dan lokasi ulkus kornea
- Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen
b. Keratitis Virus
Keratitis Herpes Simplek
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling
sering ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai
dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada
mata, virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita
keratitis herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan
jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus (Ilyas,
2006).
a. Temuan klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus
bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya
pada pasien-pasien atopic (Vaughan, 2009). Bentuk ini umumnya dapat sembuh
sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus
topikal dapat dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi
untuk penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya
antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir
oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas (American academy, 2006).
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.
Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik
17
atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion
n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat
berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi
kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional,
pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi
imunosupresi (Vaughan, 2009).
Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun
pertama, dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan
melaporkan angka yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh
dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta
mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu 6 bulan
pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut
dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan (American academy, 2007).
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa
kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua
jenis ini tidak dapat dibedakan.
b. Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat
yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya
timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang
berobat. Sering ada riwayat lepuh lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun
ulserasi kornea kadang kadang merupakan satu satunya gejala infeksi herpes
rekurens (Vaughan, 2009).
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna
lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis
herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia (Ilyas, 2000).
c. Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial,
profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial
dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan
18
proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus
dan menyebar sambil menimbulka kematian sel serta membentuk defek dengan
gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada
kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus
terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit,
namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang
lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial (Vaughan, 2009).
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit
dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan
demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit
dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah
keratitis epitelial blotchy, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa.
Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas
dalam satu dua hari (Vaughan, 2009).
d. Patogenesa
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel
epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang
menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik
untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini
penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan
terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan
reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma
kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
20
tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh
sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya
mungkin menahun dan dapat merusak (Vaughan, 2009).
e. Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil
efek merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena
virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus.
Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis
kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam
sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap
hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72
jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel.
Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi
keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi
berbagai keracunan obat (Vaughan, 2009).
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif
untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali
menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan
penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap
penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter
terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan
pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease study)
(Vaughan, 2009).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal
ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak.
Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang
meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid
21
topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti
virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus (Vaughan, 2009).
3. Bedah
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa
bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat
timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk
mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan
transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens (Vaughan, 2009).
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft petak
lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan
dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan
transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk
pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek (Vaughan, 2009).
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira kira sepertiga kasus
dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya.
Setelah denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat
dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan
terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan keadaan yang
dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum
menstruasi (Vaughan, 2009).
f. Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan
gejala sisa.
lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah
dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi (Vaughan,
2009).
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic
relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya
sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic
dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi
cabang-cabang Nervus Nasosiliaris (Vaughan, 2009).
Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel,
keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh
dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip
dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit
infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit
stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis
disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu
merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea
tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu
sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada
penyakit VZV mata (Vaughan, 2009).
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati
herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu.
Dosis oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya
23
d. Keratitis Fungi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan
berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus
keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan
keratitis jamur (Grayson, 1983).
Etiologi
Secara ringkas dapat dibedakan :
1. Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan cabang-cabang
hifa.
a) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp,
Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
b) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
2. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas : Candida
albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
Manifestasi Klinik
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur
dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut.
Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut ,
respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan
infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang
tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi
utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat
paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan
reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion
dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera
24
okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi
berwarna putih kekuningan.
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2. Lesi satelit.
3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti
hifa di bawah endotel utuh.
4. Plak endotel.
5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
7. Lesi kornea yang indolen (Duane, 1987).
Diagnosa Laboratorik
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan
diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan
biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta
India, dengan angka keberhasilan masing-masing 20-30%, 50-60%, 60-75% dan
80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan
Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar.
Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast
microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski)
yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar
Sabouraud atau agar ekstrak maltosa (Srinavan, 2006).
Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi
25
pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis
keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:
Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
Jamur berfilamen.
Ragi (yeast).
Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
1. Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10
mg/ml), Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
2. Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%,
Natamycin 5% (obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).
3. Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,
Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 % (Jack, 2009).
4. Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal.
Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk
mengurangi uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria
penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up)
dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya
infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik
biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit
menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-
kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis
diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua (Grayson, 1983).
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa OD keratitis.
Keratitis merupakan infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma. Etiologi, yaitu bisa
disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan faktor predisposisi bisa disebabkan karena
trauma, pemakaian kontak lens.
Gejala dari keratitis adalah: mata merah, keluar air mata yang berlebihan,
nyeri, penurunan tajam penglihatan, radang pada kelopak mata (bengkak, merah),
sensitif terhadap cahaya. Pengobatan pada keratitis tergantung dari penyebabnya jika
disebabkan oleh bakteri diberi antibiotika serta untuk mengurangi reaksi radang,
dengan steroid.
4.2 Saran
Pemberian KIE kepada masyarakat awam mengenai bahaya mengucek-
ngucek mata saat kelilipan yang bila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan
berbagai macam penyakit mata, sehingga dapat menggangu penglihatan atau
mengalami penurunan tajam penglihatan.
27
DAFTAR PUSTAKA