You are on page 1of 24

BAB 1

LAPORAN KASUS

1. Identitas
Nama : Nn.D
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 17 tahun
Alamat : Jl. Cangkring V/ RT4/2 Kanigaran- Probolinggo
Register : 1328xxx
Berat badan : 50kg
Dirawat di : Ruang 13
Jenis Pembedahan : Debridement + Craniotomy
Jenis Anastesi : GA Intubasi

2. Persiapan Pre Operasi


2.1 Anamnesis (29 September 2013)
A : Tidak ada riwayat alergi obat-abatan dan makanan
M : Pasien tidak sedang dalam kondisi sakit yang membutuhkan
pengobatan rutin, sehingga tidak mengkonsumsi obat-obatan
terterntu
P : Riwayat penyakit jantung (-), sesak (-), asma(-), riwayat opname (-),
riwayat trauma (-)
L : Pasien terakhir makan pukul 15.00 wib (9 jam sebelum preop
E : Pasien mengalami KLL sepeda motor vs sepeda motor

2.2 Pemeriksaan Fisik Pre Operasi


B1 : Spontan, simetris, NRBM 10lpm, RR 20 kali/menit Rh | Wh |
B2 : HR ~80x/mnt TD 100/80mmHg, cor: SI-SII tunggal, reguler
B3 : GCS 356, Reflek cahaya +/+, Pupil Isokor, lateralisasi -/-
B4 : flat, soefl, Bising Usus (+)
B5 : Urine (+)
B6 : Normal, deficit neurologi extremitas bawah -/-

:
2.3 Pemeriksaan Laboratorium (28 September 2013)
Laboratorium
Darah Lengkap
Leukosit :9600/ (4,3-10,3)
Hb :11,90 gr/dl (13.4-17,7)
Trombosit :193.000/l (142.000-424.000)
Hematokrit : 28,90% (40-47%)
Serum Elektrolit
Natrium : 135 mmol/L (136-145)
Klorida : 111 mmol/L (98-106)
Kalium : 4 mmol/L (3,5-5)
Faal Hemostasis
PPT : 11,6 detik (K:11 detik)
APTT : 30 detik (K:26,0 detik)
BGA
Ph : 7,51 (7,35-7,45)
Pco2 : 24,7 mmHg (35-45)
PO2 : 497,1 mmHg (80-100)
Bikarbonat (HCO3) :19,8 mmol/L (21-28)
Kelebihan Basa (BE) : -3,5 mmol/L (-3)-(+3)
Saturasi O2 : 99,8% (>95)
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka paien ini dikategorikan ke
dalam ASA 3

3. Planning
Tanggal dilakukan anastesi : 29 September 2013
Jenis Anastesi : General Anastesi Intubasi
Jenis Operasi : Debridement + Craniotomy + SDD

4. Persiapan Operasi
1. Di IGD
Surat izin operasi dan surat izin tindakan anastesi
Puasa minimal 10 jam sebelum operasi
Terapi cairan :
Kristaloid NS 0,9% : 2 x 500cc

Premedikasi : tanggal 28 September 2013 (terapi di triage


Ketorolac 30mg IV
Ranitidin 50mg IV
Ondansentron 4mg IV
2. Di kamar Operasi
Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut (pulse
oxymetri), dan EKG
Scope : Stetoskop, laringoskop
Tubes : ETT ukuran 6.5 kingking dengan CUFF (+),fiksasi 18 cm di
pinggir bibir kanan.
Airway : Orofaringeal airway
Tape : Plester untuk fiksasi
Introducer : Untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector : Penyambung antara pipa dan alat anastesi
Suction : mematikan tidak ada kerusakan pada alat suction
Obat emergensi : Sulfas atropin, Lidokain, Adrenalin, Efedrin.

5. Laporan Anastesi Preoperatif


Assessment : ASA 3
Diagnosa pra bedah : CKS 356 dengan OF. Kompresi Temporoparietalis
Sinistra + Edema Cerebri
Keadaan pra bedah (28 September 2013, pukul
TB 150cm, BB 50 kg
TD 100/80, nadi 80x/mnt, RR 20x/mnt, suhu 36,5C
Hb 9,6gr/dl
Pasien puasa pre-operasi
Jenis pembedahan : Debridement + Craniotomy + SDD
6. Durante Operatif
1. Laporan Anastesi Durante Operatif
Jenis Anastesi : General Anastesi Intubasi
Tehnik Anastesi : Oral intubasi sleep apneu dgn ETT ukuran 6.5 kingking
dengan CUFF (+),fiksasi 18 cm di pinggir bibir kanan.
Lama Anastesi : 01.30 04.30
Lama Operasi : 02.30 04.30
Obat-obatan yang diberikan :
1. Inj Midazolam 3mg
2. Inj Propofol 80mg (induksi)
3. O2 dan isoflurance (maintanance)
4. Inj Fentanyl 100g (analgesia)
5. Inj Vacuronium 6mg
6. Inj Lidocaine 60mg

2. Tindakan Anastesi Umum dengan intubasi


1. Pasien diposisikan pada posisi supine, head up 30.
2. Pemberian oksigen (preoksigenasi) 100% 10lpm dengan metode face mask
selama 5 menit.
3. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas yang normal
4. Propofol 80mg intravena untuk induksi (2-2,5 mg/kgBB)
5. Fentanyl dimasukkan 100g dimasukkan secara intravena pelan sebagai
analgetik (1-3g/kgBB)
6. Dipastikan apakah airway pasien paten dan ventilasi masuk.
7. Dimasukkan Vacuronium dan diberi bantuan nafas dengan ventilasi mekanik
8. Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan reflek jalan
nafas (-) untuk dilakukan intubasi ETT.
9. Menginjeksikan Lidocaine 60mg secara intravena pelan.
10. Dilakukan intubasi ETT Cuff dikembangkan, lalu cek suara napas pada
semua lapang paru dengan stetoskop, dipastikan sara napas dan dada
mengembang secara simetris ETT difiksasi agar tidak lepas dan
disambungkan dengan ventilator dilakukan ventilasi dengan oksigenasi.
11. Maintanance dengan inhalasi O2 2 liter dan isoflurance dan N20 2 liter.
12. Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saaturasi oksigen, tanda-
tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan napas).

3. Pemberian Cairan
Cairan masuk
Pre operatif : NS 0,9% 1000cc
Durante operatif : kristaloid 500 cc + koloid 500 cc + 2PRC
Cairan keluar :
Perdarahan : 725 cc
Urine : 275 cc
Estimate Blood Volume : 3250 cc
Allowed Blood Loss :-
Maintenance : 90 cc
O3 : 150 cc

1. Postoperatif
Laporan Anastesi Postoperatif di Ruang Pulih Sadar
Pasien masuk jam 04.30 (29 September 2013)
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1: Airway paten via ETT, RR 20x/menit RH(-),Wh(-),saturasi O2 92-96%.
B2: Nadi 100 x/menit, TD 100/60mmHg, akral hangat, kering, kemerahan.
B3: Dibawah pengaruh obat
B4: DC(+) PU 50cc kateter ukuran 16
B5: BU (+) normal
B6: edema pada tungkai (+), akral hangat

Terapi Pasca Bedah


MOV = Ps IMV
Nutrisi Parenteral = NS 90 cc/jam 24 jam
Antibiotika : sesuai TS Bedah
Inj:
Ranitidin 2 x 50 mg
Ondansentron 2 x 4 mg
Ketorolac 3x 30mg
Bila mual/muntah : -Inj.ondansetron 4 mg iv
-Kepala dimiringkan, k/p suction aktif, head down
Bila kesakitan : Inj. Tramadol 100 mg/i.v
Minum / makan : bertahap, bila pasien sadar penuh, mual (-), muntah (-)
Hubungi PPDS anastesi

Monitoring
Cek tanda-tanda vital tiap 5 menit
Bila RR < 10 x/m 02 100% 10 lpm NRBM
Bila N < 50 x/m inj. SA 0,5 mg/iv/cepat
Bila TD <80/60 mmHg inf. NS 20 cc/kg BB dan efedrin 5 mg iv
Bila urine < 0,5 cc/kgBB/jam evaluasi

Post op cek Darah lengkap dan Serum elektrolit

Keadaan pasien di R. 13
29/9/2013
B1: Airway paten,RR 20x/menit RH(-),Wh(-).
B2: akral hangat, Nadi 84 x/menit, TD 90/60 mmHg.
B3: GCS 4x6, isokor, reflek cahaya +/+
B4: kateter ukuran 16(+) Pu:2200 ml/24jam(-1200)
B5: luka Operasi bersih
B6: mobilitas terbatas, dipertahankan head elevation 30
Terapi
Inj.Nufiren 2x1 gr
Goutopril 3x1amp
Kutoin 3x1 amp
Santagesic 2x1 amp

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Ada dua bagian terbuka pada jalan nafas manusia: hidung, yang menuju ke arah
nasofaring (pars nasalis), dan mulut, yang menuju ke arah oropharynx (pars oralis). Saluran
ini dipisahkan secara anterior oleh langit-langit mulut, tetapi mereka bergabung secara
posterior di dalam pharynx. Pharinx adalah suatu bentuk-U fibromuscular struktur yang
meluas dari dasar tengkorak ke tulang rawan krikoid di pintu masuk ke esofagus. Pharinx
membuka secara anterior ke dalam rongga hidung, mulut, pangkal tenggorokan, dan
selanjutnya berturut-turut nasofaring, oropharynx, dan laryngopharynx (pars laryngea),
Nasopharinx terpisah dari oropharynx oleh satu garis khayal yang meluas ke posterior. Di
dasar dari lidah, epiglottis secara fungsional memisahkan oropharynx dari laryngopharynx
(atau hipofaring). Epiglotis mencegah aspirasi dengan menutup glottis selama menelan.
Larynx adalah suatu tulang rangka cartilaginous disatukan oleh ligament dan otot. Larynx
terdiri atas sembilan tulang rawan thyroid, cricoid, epiglottic, dan arytenoids (sepasang),
corniculate, dan cuneiform.

Persyarafan jalan nafas bagian atas berasal dari saraf kranium . Selaput mukosa dari
hidung di inervasi bagian ophthalmic (V1) dari nervus trigeminus anterior (anterior nervus
ethmoidal) dan oleh bagian maxillary (V2) posterior (nervus sphenopalatine). Saraf vagus
(saraf kranium yang kesepuluh) mempersyarafi jalan nafas di bawah epiglotis.
Suplai darah ke larynx berasal dari cabang dari arteri thyroid. Arteri cricothyroid
berasal dari Arteri Thyroid superior itu sendiri, cabang yang pertama keluar dari arteri
karotid luar, dan menyilang selaput cricothyroid yang bagian atas, yang meluas dari tulang
rawan krikoid ke tulang rawan the thyroid. Arteri Thyroid superior ditemukan sepanjang sisi
lateral dari selaput cricothyroid. Ketika merencanakan suatu cricothyrotomy, anatomi arteri
cricothyroid dan arteri thyroid harus dipertimbangkan tetapi jarang perlu mempengaruhi
praktek. Cara yang terbaik adalah tetap di dalam midline, di pertengahan antara cricoid dan
tulang rawan thyroid.

2.2 Evaluasi Jalan Napas


Langkah-langkah dalam menilai jalan napas:
1. LOOK:
Kesadaran; the talking patient : pasien yang bisa bicara berarti airway
bebas, namun tetap perlu evaluasi berkala.
Agitasi
Nafas cuping hidung
Sianosis
Retraksi
Accessory respiratory muscle

2. LISTEN:
Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas
setinggi larings (Stridor inspirasi) atau stinggin trakea (stridor ekspirasi)
Hoarnes, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang
membutuhkan napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal
napas
3. FEEL:
Aliran udara dari mulut/ hidung
Posisi trakea terutama pada pasien trauma, Krepitasi

Mallampati mendeskripsikan mengenai klasifikasi penilaian jalan napas pada


1983. Menurutnya, lidah yang besar dapat menyebabkan kesulitan dalam
mengekspose laring, sehingga menyebabkan kesulitan laringoskopi. Karena lidah
yang besar juga menghalangi penglihatan dari uvula dan tonsil, ia menemukan 3
kelas yang dihubungkan dengan tingkat kesulitan laringoskopi. Dengan posisi pasien
yang duduk dan menjulurkan lidahnya maksimal, dapat terlihat faucial pillars, sof
palate dan uvula.
Skoring Mallampati:
1. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
2. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
3. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
4. Hanya terlihat palatum durum

I. Pengelolaan jalan napas


Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan napas
yang terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan. Dalam kasus ini
lidah jatuh ke belakang dan menyumbat jalan napas pada bagian faring.
1. Pembukaan Jalan nafas secara manual
Teknik dasar pembukaan jalan napas atas adalah dengan angkat kepala-angkat
dagu (Head Tilt-Chin Lif). Teknik dasar ini akan efektif bila obstruksi napas disebabkan
lidah atau relaksasi otot pada jalan napas atas.
Bila pasien yang menderita trauma diduga mengalami cedera leher, lakukan
penarikan rahang tanpa mendorong kepala. Karena mengelola jalan napas yang terbuka
dan memberikan ventilasi merupakan prioritas, maka gunakan dorong kepala tarik dagu
bila penarikan rahang saja tidak membuka jalan napas (jaw thrust).
2. Pemeliharaan jalan napas atas
Agar pasien dapat bernapas secara spontan, maka jalan napas atas harus
dijaga agar tetap terbuka. Oleh karena itu, pada pasien yang dalam keadaan
tidak sadar tanpa adanya refleks batuk atau muntah, dapat diberikan
nasopharyngeal airway ataupun oropharyngeal airway untuk mengelola patensi
jalan napas.
Berikut beberapa alat bantu jalan napas dasar/sederhana dan lanjutan:
1. Oral ataupun nasal airway
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya, kelemahan dari otot
genioglossus) pada pasien-pasien yang di anestesi menyebabkan lidah dan epiglottis
untuk jatuh ke belakang dinding posterior dari faring. Reposisi kepala atau jaw thrust
adalah teknik yang lebih disukai untuk membuka jalan nafas. Untuk memelihara
pembukaan,satu jalan nafas tiruan dapat disisipkan melalui mulut atau hidung untuk
menciptakan satu jalan udara antara lidah dan dinding posterior pharingeal. Pasien
sadar atau pasien-pasien teranestesi ringan dapat batuk atau bahkan berkembang
menjadi laryngospasm selama penyisipan jalan nafas jika refleks laryngeal masih
intact. Penempatan dari suatu oral airway kadang-kadang dimudahkan dengan
supresi refleks jalan nafas dan, sebagai tambahan, kadang-kadang dengan
penekanan lidah dengan suatu spatel lidah. Oral airway orang dewasa pada
umumnya mulai dari yang kecil (80mm [Guedel No. 3]), medium (90 mm [Guedel No.
4]), dan yang besar (100mm [Guedel No. 5]).
Panjang suatu nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak dari ceruk
hidung ke meatus telinga, dan harus kira-kira 2-4 cm lebih panjang dibanding oral
airway. Oleh karena resiko dari epistaxis, nasal airway harus tidak digunakan untuk
pasien-pasien yang mendapat anticoagulan atau pada anak-anak dengan adenoid
yang menonjol. Juga, nasal airway tidak boleh digunakan pada setiap pasien yang
mempunyai fraktur basilar tengkorak.
2. Masker ventilasi
- Face Mask
Pemakaian suatu face mask dapat memudahkan pemberian oksigen atau gas
anestesi dari suatu sistim pernafasan ke pasien dengan menciptakan satu segel
yang kedap udara dengan muka pasien itu. Sisi dari face mask dibentuk untuk
dapat sesuai dengan bermacam bentuk wajah. Lubang facemask 22-mm
terhubung ke sirkuit pernafasan dengan konektor bersudut siku. Ada beberapa
desain facemask. Face mask transparan memudahkan pengamatan atas gas yang
dihembuskan dan mengetahui segera bila terjadi muntah. Face mask k dari karet
hitam bersifat cukup lembut untuk menyesuaikan diri dengan struktur-struktur
fasial yang tidak biasa. Face mask dapat dipertahankan dengan menyangkutkan
hook disekitar lubang facemask dengan tali pengikat kepala, sehingga facemask
tidaklah harus terus menerus dipegang. tempat. Beberapa mask anak secara
khusus dirancang untuk memperkecil dead space.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask, dan
nasal atau oral airway. Ventilasi dengan mask untuk periode lama dapat
mengakibatkan pressure injury kepada cabang dari trigeminal atau nervus fasialis.
Oleh karena tidak ada tekanan positif airway selama ventilasi spontan, hanya
dibutuhkan tekanan ke bawah minimal pada mask untuk menciptakan satu segel
yang cukup. Jika tali pengikat mask dan mask digunakan untuk periode-periode
yang lama, posisi itu harus secara teratur diubah untuk mencegah luka. Harus
diperhatikan juga tekanan di mata, dan mata harus ditutup plester untuk
memperkecil resiko dari abrasi kornea.

- Laryngeal Mask
Laryngeal Mask Airway (LMA) semakin banyak digunakan sebagai pengganti
suatu mask atau TT selama administrasi dari suatu anesthetic, untuk
memudahkan ventilasi dan jalan lintasan dari TT pada pasien dengan sulit jalan
nafas, dan untuk membantu di dalam ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic
juga pada penempatan bronchoscope. LMA lebih mengungguli Combitube
sebagai suatu alat yang lebih disukai untuk mengatur jalan nafas yang sulit. Empat
jenis dari LMAs biasanya digunakan: Reusable LMA, improved disposable LMA,
ProSeal LMA yang mempunyai satu mulut dengan mana suatu nasogastric dapat
disisipkan dan memudahkan ventilasi tekanan positif, dan suatu Fastrach LMA
yang memudahkan intubasi pasien-pasien dengan jalan nafas yang sulit.
LMA terdiri dari satu lubang tube yang lebar/luas yang ujung proximalnya
disambungkan ke suatu sirkuit pernafasan dengan suatu konektor 15-mm yang
standar, dan ujung distalnya melekat cuff berbentuk lonjong yang dapat dipompa
melalui suatu Pilot tube. Cuff yang telah dikempeskan dilumasi dan disisipkan
secara blind ke dalam hipofaring sehingga, ketika dipompa, cuff membentuk suatu
segel yang bertekanan rendah di sekitar pintu masuk itu ke laringeal. Hal ini
memerlukan satu kedalaman anesthetic sedikit lebih besar dari yang diperlukan
untuk penyisipan dari oral airway. Meski penyisipan adalah secara relatif
sederhana, perhatian yang tepat kepada detil akan memperbaiki tingkat
kesuksesan. Cuff idealnya diposisikan pada perbatasan dari dasar superior lidah,
lateral sinus pyriform, dan otot sphincter esophageal yang bagian atas yang
inferior. Jika esophagus berada di dalam tepi dari cuff, distention dan regurgitasi
lambung bisa terjadi. Variasi-variasi Anatomi menyebabkan LMA tidak berfungsi
baik pada beberapa pasien. Bagaimanapun, jika satu LMA tidak berfungsi dengan
baik setelah usaha-usaha untuk memperbaiki "ketepatan" dari LMA gagal,
kebanyakan praktisi-praktisi akan mencoba LMA lain satu ukuran lebih kecil atau
lebih besar. Karena down-folding epiglottis atau distal cuff bertanggung jawab
atas banyak kegagalan, penyisipan LMA dengan visualisasi langsung dengan suatu
laringoskop atau bronchoscope fiberoptic membuktikan lebih menguntungkan di
dalam kasus-kasus yang sulit. Demikian juga, inflasi parsial cuff sebelum
penyisipan bisa sangat menolong. LMA dapat difiksasi dengan tape, sebagaimana
halnya dengan fiksasi TT.

Kontraindikasi untuk LMA termasuk pasien-pasien pharyngeal patologi


(misalnya, abses), Obstruksi pharyngeal, Abdomen penuh (misalnya, kehamilan,
hiatal hernia), atau low pulmonary compliance (misalnya, restrictive airway disease)
memerlukan tekanan inspiratory peak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara kebiasaan,
LMA dihindarkan pada pasien-pasien dengan bronkospasme atau airway resistance,
tetapi bukti baru menyatakan bahwa karena LMA tidak ditempatkan di dalam trakea,
penggunaan dari LMA lebih sedikit menyebabkan bronkospasme dibanding TT. Meski
jelas LMA bukan sebagai pengganti untuk tracheal intubasi. LMA sudah
membuktikan terutama sekali sangat menolong sebagai pengganti sementara pada
pasien-pasien dengan jalan nafas yang sulit (mereka yang tidak bisa diventilasi atau
diintubasi) oleh karena kemudahan insersi dan tingkat sukses tinggi secara relatif
(9599%).
3. Laringoskop
Laringoskopi terdiri dari 2 macam, yaitu langsung dan tidak langsung.
Tidak langsung menggunakan bantauan kaca laring, sedangkan laringoskopi
langsung adalah pemeriksaan laring secara visual langsung dengan
menggunakan laringoskopi atau alat lain sebagai laringoskop.
Laringoskop adalah satu instrumen yang digunakan untuk memeriksa laring
dan untuk memudahkan intubasi trakeal. Handle laringoskop biasanya berisi baterei
untuk menerangi suatu bohlam di ujung the blade atau sebagai alternative sumber
energy fiberoptic yang diletakkan di ujung blade. Lampu fiberoptic cenderung lebih
langsung dan lebih sedikit baur. Juga, laringoskop dengan lampu fiberoptic di
bladenya dibuat compatible untuk magnetic Resonance Imaging (MRI). Blade
Macintosh dan Miller adalah desain bengkok/lurus yang paling popular di Amerika
Serikat. Pilihan dari Blade bergantung pada anatomi pasien. Karena tidak ada blade
yang sempurna untuk semua situasi, dokter seharusnya menjadi lebih familiar
dengan bermacam desain blade.

Laringoskopi yang sulit didefinisikan menurut ASA (American


Association of Anesthesiology) sebagai ketidakmampuan untuk melihat
bagian dari pita suara dan bagian-bagian lain yang dapat dilihat dengan
laringoskop konvensional. Penglihatan laringoskop dibagi menjadi 4 tingkat
menurut Cormack dan Lehane pada 1984.

Grade 1 : terlihat seluruh glottis


Grade 2 : hanya terlihat bagian posterior dari glottis
Grade 3 : hanya terlihat epiglottis
Grade 4 : bahkan epiglottis tidak terlihat
Klasifikasi grade 3 dan 4 masuk ke dalam kategori yang sulit.
Kesulitan intubasi menurut ASA disebabkan kesulitan dalam
laringoskopi atau faktor lain yang memerlukan perangkat tambahan. Ada pula
yang mendefinisikan sebagai suatu kondisi di mana dibutuhkan elastic
bougie gum atau alat khusus.
4. Trakeal Tube
Tracheal tube dapat digunakan untuk menyalurkan gas-gas anesthetic
secara langsung ke dalam trakea dan menyebabkan kendali ventilasi dan oksigenasi
yang terbaik. Bentuk dan kekakuan TT dapat diubah dengan menyisipkan suatu stilet.
Ujung akhir dari tabung adalah bevel untuk membantu visualisasi dan insersi melalui
pita suara. Murphy tube mempunyai suatu lubang (Murphy eye) untuk mengurangi
risiko keadaan oklusi bila distal tube yang terbuka tertutup dinding karina atau
batang tenggorok.

Kebanyakan TT orang dewasa mempunyai suatu sistim inflasi cuff terdiri dari
suatu klep, balon pilot, tabung pompa, dan cuff. Klep mencegah udara bocor setelah
inflasi cuff. Balon pilot menyediakan suatu indikasi bruto inflasi cuff. Tabung pompa
menghubungkan klep ke cuff dan menyatukan dengan dinding tube menciptakan
suatu segel tracheal. TT dapat digunakan untuk ventilasi tekanan positif dan
mengurangi kemungkinan aspirasi. Tube uncuffed biasanya digunakan untuk anak-
anak untuk memperkecil resiko dari luka tekanan dan pasca intubasi batuk-sesak
pada anak-anak.

Ada dua jenis utama dari cuff: tekanan tinggi (volume rendah) dan tekanan
rendah (volume tinggi). Cuff tekanan tinggi dihubungkan dengan lebih ischemic pada
mukosa tracheal dan bersifat kurang cocok untuk intubasi-intubasi lama. Low-
pressure meningkatkan kemungkinan dari sakit tenggorokan (lebih besar kontak
dengan mukosa), aspirasi,, extubasi secara spontan, dan insersi sulit (oleh karena cuff
yang lunak). Meskipun begitu, oleh karena timbulnya kerusakan mukosa lebih
rendah, cuff dengan tekanan rendah lebih biasa direkomendasikan.
Tekanan cuff bergantung pada beberapa faktor-faktor: volume inflasi, garis
tengah dari cuff dalam hubungannya dengan trakea, tracheal dan cuff compliance,
dan tekanan intratoraks (tekanan cuff meningkat dengan batuk). Tekanan cuff boleh
naik selama anesthesia umum sebagai hasil difusi nitro oxida dari mukosa tracheal ke
dalam cuff TT.

II. Intubasi
Intubasi merupakan salah satu cara mengelola jalan napas dengan bantuan
alat tingkat lanjut. Pengelolaan jalan napas menggunakan alat tingkat lanjut terdiri
dari 2 macam: nonsurgical dan surgical. Nonsurgical terdiri contohnya intubasi
orotrakea, sedangkan surgical contohnya trakeostomi.
Intubasi, atau menempatkan tabung endotrakeal/endotracheal tube melewati
pita suara, dengan menggunakan berbagai teknik, direct ataupun indirect. Intubasi
biasanya dilakukan setelah laringoskopi direk dan melihat pita suara.
Menyisipkan suatu ETT ke dalam trakea sudah menjadi suatu rutinitas yang dilakukan
pada anestesia umum. Intubasi bukan suatu prosedur bebas risiko, dan tidak semua pasien
menerima anesthesia umum dan memerlukan ETT, tetapi suatu TT sering ditempatkan untuk
melindungi jalan nafas untuk akses jalan nafas.
Indikasi intubasi:
- Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
suplai oksigen melalui masker nasal.
- Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
- Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
- Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
- Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
- Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan,
karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan
face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
- Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang
dan tidak ada ketegangan.
- Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan
dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah
pengontrolan tekanan intra pulmonal.
- Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
- Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
- Tracheostomni.
- Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
- operasi dengan posisi miring/ tengkurap
- operasi dengan resiko tinggi
- operasi dengan lambung penuh
- terapi gangguan respirasi (obstruksi saluran nafas)
Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah
cricothyrotomy pada beberapa kasus. Selain itu, trauma servikal yang memerlukan
keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, menyebabkan sangat sulit untuk
dilakukan intubasi.

Alat-alat yang diperlukan untuk intubasi:


- Laringoskop
Terdiri dari : Blade (bilah) dan Handle (gagang).
Pilih ukuran blade yg sesuai. Dewasa: no 3 atau 4, Anak: no 2, Bayi: no 1
Pasang blade dengan handle, Cek lampu harus menyala terang
- Pipa endotrakheal (tracheal tube)
Pilih ukuran yang sesuai: (ID: Internal Diameter)
Dewasa : ID 6.5 , 7 atau 7.5 Atau sebesar kelingking kiri pasien
Anak : ID = 4 + (Umur : 4)
Bayi : Prematur : ID 2.5
Aterm : 3.0 3.5
Selalu menyiapkan satu ukuran dibawah dan diatas. Pilih ET yang High Volume
Low Pressure (ETT putih/ fortex). Bila memakai yg re-useable, cek cuff dan patensi
lubang ET
- Pipa orofaring atau nasofaring (orofaring atau nasofaring airways)
Berguna untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan
faring pada pasien.
- Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
- Stilet atau forsep intubasi. (McGill)
Untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat
insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi pipa
endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
- Alat pengisap atau suction.
Prosedur Tindakan Intubasi.
1. Persiapan.
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup
keras atau botol infus) kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan
laringoskop berada dalam satu garis lurus.
2. Oksigenasi
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2
menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan
tangan kanan.

3. Laringoskop
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari sudut kiri
dan lapangan pandang akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke
dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat
uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan
kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang
tampak keputihan bentuk huruf V.
4. Pemasangan pipa endotrakheal
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai
balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan
pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara
akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut.
Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon
dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan blade
laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
5. Mengontrol letak pipa
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,
dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas
kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda
berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-
kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan
nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa
ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi
intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan
mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-
kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan
kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
6. Ventilasi
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan.

Kesuksesan intubasi sering kali bergantung pada posisi pasien yang benar. Kepala
pasien harus sejajar dengan pinggang anesthesiologist atau yang lebih tinggi untuk
mencegah ketegangan pada punggung yang tak perlu selama laryngoscopy. Laryngoscopy
kaku menggeser jaringan lunak faring untuk menciptakan visualisasi langsung dari mulut ke
pembukaan glottis. Elevasi kepala moderat (510 cm di atas meja operasi) dan ekstensi
persendian atlantooccipital untuk membuat pasien ke dalam sniffing position. Bagian yang
lebih rendah di tulang belakang cervical di fleksikan dengan meletakkan kepala di atas
bantal.
Komplikasi Intubasi Endotrakheal.
a. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
- Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta
malposisi laringeal cuff.
- Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau
mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi
retrofaringeal.
- Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
- Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
b. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
- Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke
endobronkial dan malposisi laringeal cuff.
- Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta
ekskoriasi kulit hidung.
- Malfungsi tuba berupa obstruksi.
c. Komplikasi setelah ekstubasi.
- Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau
trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara),
malfungsi dan aspirasi laring.
- Gangguan refleks berupa spasme laring.
Intubasi dapat susah dilakukan pada grade 1 ataupun grade 2 pada
penglihatan laringoskop jika terdapat faktor anatomi yang membuat jalan ETT sulit.
Stenosis subglotis, tumor yang mengkompresi trakea, ataupun posisi laring yang
anterior dapat menghambat keberhasilan intubasi. Tidak ada suatu alat yang paling
bagus yang dapat digunakan untuk menghindari kesulitan intubasi.
III. Trakeostomi
Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi
pasien dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan bagian atas.
Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi sedangkan t

BAB 3
PEMBAHASAN

Pada tanggal 29 September 2013, pasien Nn.D , Wanita berusia 17 tahun datang ke
Instalasi Rawat Darurat RSSA Malang dengan keluhan utama pusing setelah tabrakan
sepeda motor dengan sepeda motor. Pasien mengaku lupa kejadiannya seperti apa.
Operasi debridement kraniektomi dilakukan segera pada tanggal 29 September
2013, telah dilakukan visite pre-operasi pada pasien, dengan diagnosis Fraktur dekompresi
temporoparietal Sinistra dan edema serebri. Dari anamnesis didapatkan pasien tidak
memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan, pemakaian obat jangka panjang disangkal,
juga tidak memiliki riwayat DM, hipertensi maupun asma sebelumnya.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan penurunan kesadaran dengan keadaan GCS 356
denga airway yang patent. RR pasien saat itu 20x/mnt. Selanjutnya, dalam menilai jalan
napas, perlu dilakukan 3L (look, listen, feel), melihat pergerakan dada saat bernapas,
mendengar suara napas, dan merasakan hembusan napas. Pasien datang dalam keadaan
pergerakan dada yang simetris, pasien masih bisa bicara itu menunjukkan airway yang
bebas namun tetap evaluasi berkala, tidak didapatkan agitasi, pernafasan cuping hidung,
sainosis, retraksi ataupun penggunan otot-otot tambahan. Hembusan napas masih bisa
dievaluasi, tidak terdengar suara nafas tambahan (grugling, stidor, snoring, hoarnes, afoni),
sehingga dapat dikatakan tidak terjadi sumbatan jalan napas pada pasien ini . Breathing,
brain, bowel, bladder, dalam kondisi stabil namun pada bone didapatkan luka sobekan pada
regio temporoparietal S. Dan dari hasil laboratorium didapatkan kelainan berupa Hb senilai
9,60 g/dl, Dari seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai ASA 3 dengan
edema serebri.
Pada pasien direncanakan untuk dilakukan general anestesi intubasi. Pemilihan
general anestesi sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa
pasien terdapat peningkatan tekanan intrakranial sehingga diambil tindakan general
anestesi pada pasien fraktur depresi. Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang
adekuat yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu
yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada anestesi yang dicapai
dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya. Untuk mempertahankan jalan napas
agar tetap terbuka pada pasien ini, kami melakukan intubasi ETT (endotracheal tube).
Pertimbangan kami melakukan intubasi antara lain selain untuk menjaga jalan napas tetap
terbuka, selain itu, pada pasien dengan rencana operasi di daerah kepala, leher, mulut,
hidung dan tenggorokan, dibutuhkan intubasi ETT karena pada kasus-kasus demikian
sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
Intubasi adalah menempatkan tabung endotrakeal/endotracheal tube melewati pita suara.
Sebelum dilakukan intubasi, perlu dinilai adanya kesulitan dalam intubasi, sehingga
perlu dilakukan penilaian mallampati pada pasien. Menurut tingkatannya, pasien termasuk
ke dalam Mallampati 1 dimana ketika muut terbuka maksimal dan lidah terjulur maksimal
terlihat struktur tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan sedangkan menurut
klasifikasi Cormack dan Lehanne, penampakan laring seperti pada pasien termasuk ke
dalam grade 1 di mana terlihat seluruh glottis. Dari kedua penilaian ini dapat disimpulkan
tidak ada peyulit dalam melakukan intubasi. Intubasi ETT dilakukan dengan alat dengan
ukuran yang sesuai. karena pasien dewasa, dipilih ukuran blade yang sesuai dengan ETT
berdiameter 6,5 mm kingking dengan CUFF (+),fiksasi 18 cm di pinggir bibir kanan.
Selama operasi berlangsung, pengawasan pada pasien haruslah ketat karena
komplikasi yang dapat ditimbulkan pada general anestesi, yaitu hipotensi,depresi
pernafasan, mual,muntah,nyeri kepala, aritmi, mengigil. Teknik anestesia intravena yang
seimbang meliputi : pemberian atau infus kontinyu, obat-obatan seperti barbiturat, narkotik,
transquilizers dan pelumpuh otot (dengan ataupun tanpa N2O). Waktu injeksi dan dosis
dipandu oleh kondisi klinis. Penurunan CBF dan kecepatan metabolisme karena narkotik
dan barbiturat penting untuk keamanan pasien dengan penurunan cadangan otak. Setelah
operasi berakhir, kondisi pasien kurang stabil GCS tidak dapat dievaluasi karena efek
anestesi, nafas stabil adekuat, suara nafas tambahan tidak didapatkan Dengan
diperbaikinya lesi massa intrakranial, banyak pasien yang langsung memperoleh
kesadarannya kembali. Segera setelah pasien mampu mengikuti perintah dan status
pernafasannya stabil, ekstubasi dini dapat menurunkan kecenderungan komplikasi
pneumonia dan memperbaiki kemampuan batuk. Untuk dicatat, bagaimanapun juga, pasien
yang diperkirakan mengalami edema otak preoperatif harus diobservasi dengan teliti agar
tidak hiperkapnea dan mengalami peningkatan TIK lebih jauh. Apabila kondisi ini terjadi,
reintubasi dan bantuan ventilasi harus segera dikerjakan.
Dari hasil monitoring didapatkan bahwa pasien stabil. Aldrete score pada pasien ini
adalah 7 , (kulit merah muda, dangkal dan pertukaran udara adekuat, tekanan darah tidak
menyimpang jauh, bangun namun cepat tertidur lagi, dua ekstremitas dapat digerakkan).
Maka pasien dipindahkan ke HCU (R. 13)

DAFTAR PUSTAKA

1. Berkow, L. 2004. Strategies of airway management. Best Practice & Research Clinical
Anaesthesiology. Vol. 18, No. 4, pp. 531548. Baltimore
2. FK Uninsula. 2012. Buku Panduan Skill Lab: Kegawatdaruratan Medis, Pengelolaan
Jalan Napas. Fakultas Kedokteran Universita Trisula
3. Mallampati S, Gatt S, Gugino L, Desai S, Waraksa B, Freiberger D, Liu P. 1985. "A
clinical sign to predict difficult tracheal intubation: a prospective study.". Can Anaesth
Soc J 32 (4): 42934
4. Morgan, G. Edward; Mikhail, Maged S.; Murray, Michael J. 2006. Clinical
Anesthesiology, Fourth Edition. United States: McGraw-Hill Companies, Inc.
5. Repositoria USU. 2010. Trakeostomi. FK Universitas Sumatera Utara.
6. Rosenbalt, W. 2009. Clinical Anesthesia, 6th Edition: Airway Management. Lippincott Williams
& Wilkins.
LAPORAN KASUS ANESTESI

PENGELOLAAN JALAN NAPAS


PADA PASIEN YANG DILAKUKAN TINDAKAN OPERASI
DEBRIDEMENT CRANIOTOMY DENGAN GENERAL
ANESTHESI

Oleh:

Seravina Adila Izzati


0810713037

Pembimbing:
dr. Ristiawan Muji L,
sp.An

LABORATORIUM SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

You might also like