Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
1. Identitas
Nama : Nn.D
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 17 tahun
Alamat : Jl. Cangkring V/ RT4/2 Kanigaran- Probolinggo
Register : 1328xxx
Berat badan : 50kg
Dirawat di : Ruang 13
Jenis Pembedahan : Debridement + Craniotomy
Jenis Anastesi : GA Intubasi
:
2.3 Pemeriksaan Laboratorium (28 September 2013)
Laboratorium
Darah Lengkap
Leukosit :9600/ (4,3-10,3)
Hb :11,90 gr/dl (13.4-17,7)
Trombosit :193.000/l (142.000-424.000)
Hematokrit : 28,90% (40-47%)
Serum Elektrolit
Natrium : 135 mmol/L (136-145)
Klorida : 111 mmol/L (98-106)
Kalium : 4 mmol/L (3,5-5)
Faal Hemostasis
PPT : 11,6 detik (K:11 detik)
APTT : 30 detik (K:26,0 detik)
BGA
Ph : 7,51 (7,35-7,45)
Pco2 : 24,7 mmHg (35-45)
PO2 : 497,1 mmHg (80-100)
Bikarbonat (HCO3) :19,8 mmol/L (21-28)
Kelebihan Basa (BE) : -3,5 mmol/L (-3)-(+3)
Saturasi O2 : 99,8% (>95)
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka paien ini dikategorikan ke
dalam ASA 3
3. Planning
Tanggal dilakukan anastesi : 29 September 2013
Jenis Anastesi : General Anastesi Intubasi
Jenis Operasi : Debridement + Craniotomy + SDD
4. Persiapan Operasi
1. Di IGD
Surat izin operasi dan surat izin tindakan anastesi
Puasa minimal 10 jam sebelum operasi
Terapi cairan :
Kristaloid NS 0,9% : 2 x 500cc
3. Pemberian Cairan
Cairan masuk
Pre operatif : NS 0,9% 1000cc
Durante operatif : kristaloid 500 cc + koloid 500 cc + 2PRC
Cairan keluar :
Perdarahan : 725 cc
Urine : 275 cc
Estimate Blood Volume : 3250 cc
Allowed Blood Loss :-
Maintenance : 90 cc
O3 : 150 cc
1. Postoperatif
Laporan Anastesi Postoperatif di Ruang Pulih Sadar
Pasien masuk jam 04.30 (29 September 2013)
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1: Airway paten via ETT, RR 20x/menit RH(-),Wh(-),saturasi O2 92-96%.
B2: Nadi 100 x/menit, TD 100/60mmHg, akral hangat, kering, kemerahan.
B3: Dibawah pengaruh obat
B4: DC(+) PU 50cc kateter ukuran 16
B5: BU (+) normal
B6: edema pada tungkai (+), akral hangat
Monitoring
Cek tanda-tanda vital tiap 5 menit
Bila RR < 10 x/m 02 100% 10 lpm NRBM
Bila N < 50 x/m inj. SA 0,5 mg/iv/cepat
Bila TD <80/60 mmHg inf. NS 20 cc/kg BB dan efedrin 5 mg iv
Bila urine < 0,5 cc/kgBB/jam evaluasi
Keadaan pasien di R. 13
29/9/2013
B1: Airway paten,RR 20x/menit RH(-),Wh(-).
B2: akral hangat, Nadi 84 x/menit, TD 90/60 mmHg.
B3: GCS 4x6, isokor, reflek cahaya +/+
B4: kateter ukuran 16(+) Pu:2200 ml/24jam(-1200)
B5: luka Operasi bersih
B6: mobilitas terbatas, dipertahankan head elevation 30
Terapi
Inj.Nufiren 2x1 gr
Goutopril 3x1amp
Kutoin 3x1 amp
Santagesic 2x1 amp
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Ada dua bagian terbuka pada jalan nafas manusia: hidung, yang menuju ke arah
nasofaring (pars nasalis), dan mulut, yang menuju ke arah oropharynx (pars oralis). Saluran
ini dipisahkan secara anterior oleh langit-langit mulut, tetapi mereka bergabung secara
posterior di dalam pharynx. Pharinx adalah suatu bentuk-U fibromuscular struktur yang
meluas dari dasar tengkorak ke tulang rawan krikoid di pintu masuk ke esofagus. Pharinx
membuka secara anterior ke dalam rongga hidung, mulut, pangkal tenggorokan, dan
selanjutnya berturut-turut nasofaring, oropharynx, dan laryngopharynx (pars laryngea),
Nasopharinx terpisah dari oropharynx oleh satu garis khayal yang meluas ke posterior. Di
dasar dari lidah, epiglottis secara fungsional memisahkan oropharynx dari laryngopharynx
(atau hipofaring). Epiglotis mencegah aspirasi dengan menutup glottis selama menelan.
Larynx adalah suatu tulang rangka cartilaginous disatukan oleh ligament dan otot. Larynx
terdiri atas sembilan tulang rawan thyroid, cricoid, epiglottic, dan arytenoids (sepasang),
corniculate, dan cuneiform.
Persyarafan jalan nafas bagian atas berasal dari saraf kranium . Selaput mukosa dari
hidung di inervasi bagian ophthalmic (V1) dari nervus trigeminus anterior (anterior nervus
ethmoidal) dan oleh bagian maxillary (V2) posterior (nervus sphenopalatine). Saraf vagus
(saraf kranium yang kesepuluh) mempersyarafi jalan nafas di bawah epiglotis.
Suplai darah ke larynx berasal dari cabang dari arteri thyroid. Arteri cricothyroid
berasal dari Arteri Thyroid superior itu sendiri, cabang yang pertama keluar dari arteri
karotid luar, dan menyilang selaput cricothyroid yang bagian atas, yang meluas dari tulang
rawan krikoid ke tulang rawan the thyroid. Arteri Thyroid superior ditemukan sepanjang sisi
lateral dari selaput cricothyroid. Ketika merencanakan suatu cricothyrotomy, anatomi arteri
cricothyroid dan arteri thyroid harus dipertimbangkan tetapi jarang perlu mempengaruhi
praktek. Cara yang terbaik adalah tetap di dalam midline, di pertengahan antara cricoid dan
tulang rawan thyroid.
2. LISTEN:
Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas
setinggi larings (Stridor inspirasi) atau stinggin trakea (stridor ekspirasi)
Hoarnes, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang
membutuhkan napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal
napas
3. FEEL:
Aliran udara dari mulut/ hidung
Posisi trakea terutama pada pasien trauma, Krepitasi
- Laryngeal Mask
Laryngeal Mask Airway (LMA) semakin banyak digunakan sebagai pengganti
suatu mask atau TT selama administrasi dari suatu anesthetic, untuk
memudahkan ventilasi dan jalan lintasan dari TT pada pasien dengan sulit jalan
nafas, dan untuk membantu di dalam ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic
juga pada penempatan bronchoscope. LMA lebih mengungguli Combitube
sebagai suatu alat yang lebih disukai untuk mengatur jalan nafas yang sulit. Empat
jenis dari LMAs biasanya digunakan: Reusable LMA, improved disposable LMA,
ProSeal LMA yang mempunyai satu mulut dengan mana suatu nasogastric dapat
disisipkan dan memudahkan ventilasi tekanan positif, dan suatu Fastrach LMA
yang memudahkan intubasi pasien-pasien dengan jalan nafas yang sulit.
LMA terdiri dari satu lubang tube yang lebar/luas yang ujung proximalnya
disambungkan ke suatu sirkuit pernafasan dengan suatu konektor 15-mm yang
standar, dan ujung distalnya melekat cuff berbentuk lonjong yang dapat dipompa
melalui suatu Pilot tube. Cuff yang telah dikempeskan dilumasi dan disisipkan
secara blind ke dalam hipofaring sehingga, ketika dipompa, cuff membentuk suatu
segel yang bertekanan rendah di sekitar pintu masuk itu ke laringeal. Hal ini
memerlukan satu kedalaman anesthetic sedikit lebih besar dari yang diperlukan
untuk penyisipan dari oral airway. Meski penyisipan adalah secara relatif
sederhana, perhatian yang tepat kepada detil akan memperbaiki tingkat
kesuksesan. Cuff idealnya diposisikan pada perbatasan dari dasar superior lidah,
lateral sinus pyriform, dan otot sphincter esophageal yang bagian atas yang
inferior. Jika esophagus berada di dalam tepi dari cuff, distention dan regurgitasi
lambung bisa terjadi. Variasi-variasi Anatomi menyebabkan LMA tidak berfungsi
baik pada beberapa pasien. Bagaimanapun, jika satu LMA tidak berfungsi dengan
baik setelah usaha-usaha untuk memperbaiki "ketepatan" dari LMA gagal,
kebanyakan praktisi-praktisi akan mencoba LMA lain satu ukuran lebih kecil atau
lebih besar. Karena down-folding epiglottis atau distal cuff bertanggung jawab
atas banyak kegagalan, penyisipan LMA dengan visualisasi langsung dengan suatu
laringoskop atau bronchoscope fiberoptic membuktikan lebih menguntungkan di
dalam kasus-kasus yang sulit. Demikian juga, inflasi parsial cuff sebelum
penyisipan bisa sangat menolong. LMA dapat difiksasi dengan tape, sebagaimana
halnya dengan fiksasi TT.
Kebanyakan TT orang dewasa mempunyai suatu sistim inflasi cuff terdiri dari
suatu klep, balon pilot, tabung pompa, dan cuff. Klep mencegah udara bocor setelah
inflasi cuff. Balon pilot menyediakan suatu indikasi bruto inflasi cuff. Tabung pompa
menghubungkan klep ke cuff dan menyatukan dengan dinding tube menciptakan
suatu segel tracheal. TT dapat digunakan untuk ventilasi tekanan positif dan
mengurangi kemungkinan aspirasi. Tube uncuffed biasanya digunakan untuk anak-
anak untuk memperkecil resiko dari luka tekanan dan pasca intubasi batuk-sesak
pada anak-anak.
Ada dua jenis utama dari cuff: tekanan tinggi (volume rendah) dan tekanan
rendah (volume tinggi). Cuff tekanan tinggi dihubungkan dengan lebih ischemic pada
mukosa tracheal dan bersifat kurang cocok untuk intubasi-intubasi lama. Low-
pressure meningkatkan kemungkinan dari sakit tenggorokan (lebih besar kontak
dengan mukosa), aspirasi,, extubasi secara spontan, dan insersi sulit (oleh karena cuff
yang lunak). Meskipun begitu, oleh karena timbulnya kerusakan mukosa lebih
rendah, cuff dengan tekanan rendah lebih biasa direkomendasikan.
Tekanan cuff bergantung pada beberapa faktor-faktor: volume inflasi, garis
tengah dari cuff dalam hubungannya dengan trakea, tracheal dan cuff compliance,
dan tekanan intratoraks (tekanan cuff meningkat dengan batuk). Tekanan cuff boleh
naik selama anesthesia umum sebagai hasil difusi nitro oxida dari mukosa tracheal ke
dalam cuff TT.
II. Intubasi
Intubasi merupakan salah satu cara mengelola jalan napas dengan bantuan
alat tingkat lanjut. Pengelolaan jalan napas menggunakan alat tingkat lanjut terdiri
dari 2 macam: nonsurgical dan surgical. Nonsurgical terdiri contohnya intubasi
orotrakea, sedangkan surgical contohnya trakeostomi.
Intubasi, atau menempatkan tabung endotrakeal/endotracheal tube melewati
pita suara, dengan menggunakan berbagai teknik, direct ataupun indirect. Intubasi
biasanya dilakukan setelah laringoskopi direk dan melihat pita suara.
Menyisipkan suatu ETT ke dalam trakea sudah menjadi suatu rutinitas yang dilakukan
pada anestesia umum. Intubasi bukan suatu prosedur bebas risiko, dan tidak semua pasien
menerima anesthesia umum dan memerlukan ETT, tetapi suatu TT sering ditempatkan untuk
melindungi jalan nafas untuk akses jalan nafas.
Indikasi intubasi:
- Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
suplai oksigen melalui masker nasal.
- Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
- Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
- Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
- Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
- Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan,
karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan
face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
- Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang
dan tidak ada ketegangan.
- Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan
dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah
pengontrolan tekanan intra pulmonal.
- Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
- Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
- Tracheostomni.
- Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
- operasi dengan posisi miring/ tengkurap
- operasi dengan resiko tinggi
- operasi dengan lambung penuh
- terapi gangguan respirasi (obstruksi saluran nafas)
Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah
cricothyrotomy pada beberapa kasus. Selain itu, trauma servikal yang memerlukan
keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, menyebabkan sangat sulit untuk
dilakukan intubasi.
3. Laringoskop
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari sudut kiri
dan lapangan pandang akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke
dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat
uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan
kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang
tampak keputihan bentuk huruf V.
4. Pemasangan pipa endotrakheal
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai
balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan
pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara
akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut.
Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon
dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan blade
laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
5. Mengontrol letak pipa
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,
dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas
kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda
berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-
kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan
nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa
ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi
intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan
mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-
kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan
kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
6. Ventilasi
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan.
Kesuksesan intubasi sering kali bergantung pada posisi pasien yang benar. Kepala
pasien harus sejajar dengan pinggang anesthesiologist atau yang lebih tinggi untuk
mencegah ketegangan pada punggung yang tak perlu selama laryngoscopy. Laryngoscopy
kaku menggeser jaringan lunak faring untuk menciptakan visualisasi langsung dari mulut ke
pembukaan glottis. Elevasi kepala moderat (510 cm di atas meja operasi) dan ekstensi
persendian atlantooccipital untuk membuat pasien ke dalam sniffing position. Bagian yang
lebih rendah di tulang belakang cervical di fleksikan dengan meletakkan kepala di atas
bantal.
Komplikasi Intubasi Endotrakheal.
a. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
- Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta
malposisi laringeal cuff.
- Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau
mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi
retrofaringeal.
- Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
- Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
b. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
- Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke
endobronkial dan malposisi laringeal cuff.
- Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta
ekskoriasi kulit hidung.
- Malfungsi tuba berupa obstruksi.
c. Komplikasi setelah ekstubasi.
- Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau
trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara),
malfungsi dan aspirasi laring.
- Gangguan refleks berupa spasme laring.
Intubasi dapat susah dilakukan pada grade 1 ataupun grade 2 pada
penglihatan laringoskop jika terdapat faktor anatomi yang membuat jalan ETT sulit.
Stenosis subglotis, tumor yang mengkompresi trakea, ataupun posisi laring yang
anterior dapat menghambat keberhasilan intubasi. Tidak ada suatu alat yang paling
bagus yang dapat digunakan untuk menghindari kesulitan intubasi.
III. Trakeostomi
Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi
pasien dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan bagian atas.
Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi sedangkan t
BAB 3
PEMBAHASAN
Pada tanggal 29 September 2013, pasien Nn.D , Wanita berusia 17 tahun datang ke
Instalasi Rawat Darurat RSSA Malang dengan keluhan utama pusing setelah tabrakan
sepeda motor dengan sepeda motor. Pasien mengaku lupa kejadiannya seperti apa.
Operasi debridement kraniektomi dilakukan segera pada tanggal 29 September
2013, telah dilakukan visite pre-operasi pada pasien, dengan diagnosis Fraktur dekompresi
temporoparietal Sinistra dan edema serebri. Dari anamnesis didapatkan pasien tidak
memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan, pemakaian obat jangka panjang disangkal,
juga tidak memiliki riwayat DM, hipertensi maupun asma sebelumnya.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan penurunan kesadaran dengan keadaan GCS 356
denga airway yang patent. RR pasien saat itu 20x/mnt. Selanjutnya, dalam menilai jalan
napas, perlu dilakukan 3L (look, listen, feel), melihat pergerakan dada saat bernapas,
mendengar suara napas, dan merasakan hembusan napas. Pasien datang dalam keadaan
pergerakan dada yang simetris, pasien masih bisa bicara itu menunjukkan airway yang
bebas namun tetap evaluasi berkala, tidak didapatkan agitasi, pernafasan cuping hidung,
sainosis, retraksi ataupun penggunan otot-otot tambahan. Hembusan napas masih bisa
dievaluasi, tidak terdengar suara nafas tambahan (grugling, stidor, snoring, hoarnes, afoni),
sehingga dapat dikatakan tidak terjadi sumbatan jalan napas pada pasien ini . Breathing,
brain, bowel, bladder, dalam kondisi stabil namun pada bone didapatkan luka sobekan pada
regio temporoparietal S. Dan dari hasil laboratorium didapatkan kelainan berupa Hb senilai
9,60 g/dl, Dari seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai ASA 3 dengan
edema serebri.
Pada pasien direncanakan untuk dilakukan general anestesi intubasi. Pemilihan
general anestesi sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa
pasien terdapat peningkatan tekanan intrakranial sehingga diambil tindakan general
anestesi pada pasien fraktur depresi. Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang
adekuat yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu
yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada anestesi yang dicapai
dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya. Untuk mempertahankan jalan napas
agar tetap terbuka pada pasien ini, kami melakukan intubasi ETT (endotracheal tube).
Pertimbangan kami melakukan intubasi antara lain selain untuk menjaga jalan napas tetap
terbuka, selain itu, pada pasien dengan rencana operasi di daerah kepala, leher, mulut,
hidung dan tenggorokan, dibutuhkan intubasi ETT karena pada kasus-kasus demikian
sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
Intubasi adalah menempatkan tabung endotrakeal/endotracheal tube melewati pita suara.
Sebelum dilakukan intubasi, perlu dinilai adanya kesulitan dalam intubasi, sehingga
perlu dilakukan penilaian mallampati pada pasien. Menurut tingkatannya, pasien termasuk
ke dalam Mallampati 1 dimana ketika muut terbuka maksimal dan lidah terjulur maksimal
terlihat struktur tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan sedangkan menurut
klasifikasi Cormack dan Lehanne, penampakan laring seperti pada pasien termasuk ke
dalam grade 1 di mana terlihat seluruh glottis. Dari kedua penilaian ini dapat disimpulkan
tidak ada peyulit dalam melakukan intubasi. Intubasi ETT dilakukan dengan alat dengan
ukuran yang sesuai. karena pasien dewasa, dipilih ukuran blade yang sesuai dengan ETT
berdiameter 6,5 mm kingking dengan CUFF (+),fiksasi 18 cm di pinggir bibir kanan.
Selama operasi berlangsung, pengawasan pada pasien haruslah ketat karena
komplikasi yang dapat ditimbulkan pada general anestesi, yaitu hipotensi,depresi
pernafasan, mual,muntah,nyeri kepala, aritmi, mengigil. Teknik anestesia intravena yang
seimbang meliputi : pemberian atau infus kontinyu, obat-obatan seperti barbiturat, narkotik,
transquilizers dan pelumpuh otot (dengan ataupun tanpa N2O). Waktu injeksi dan dosis
dipandu oleh kondisi klinis. Penurunan CBF dan kecepatan metabolisme karena narkotik
dan barbiturat penting untuk keamanan pasien dengan penurunan cadangan otak. Setelah
operasi berakhir, kondisi pasien kurang stabil GCS tidak dapat dievaluasi karena efek
anestesi, nafas stabil adekuat, suara nafas tambahan tidak didapatkan Dengan
diperbaikinya lesi massa intrakranial, banyak pasien yang langsung memperoleh
kesadarannya kembali. Segera setelah pasien mampu mengikuti perintah dan status
pernafasannya stabil, ekstubasi dini dapat menurunkan kecenderungan komplikasi
pneumonia dan memperbaiki kemampuan batuk. Untuk dicatat, bagaimanapun juga, pasien
yang diperkirakan mengalami edema otak preoperatif harus diobservasi dengan teliti agar
tidak hiperkapnea dan mengalami peningkatan TIK lebih jauh. Apabila kondisi ini terjadi,
reintubasi dan bantuan ventilasi harus segera dikerjakan.
Dari hasil monitoring didapatkan bahwa pasien stabil. Aldrete score pada pasien ini
adalah 7 , (kulit merah muda, dangkal dan pertukaran udara adekuat, tekanan darah tidak
menyimpang jauh, bangun namun cepat tertidur lagi, dua ekstremitas dapat digerakkan).
Maka pasien dipindahkan ke HCU (R. 13)
DAFTAR PUSTAKA
1. Berkow, L. 2004. Strategies of airway management. Best Practice & Research Clinical
Anaesthesiology. Vol. 18, No. 4, pp. 531548. Baltimore
2. FK Uninsula. 2012. Buku Panduan Skill Lab: Kegawatdaruratan Medis, Pengelolaan
Jalan Napas. Fakultas Kedokteran Universita Trisula
3. Mallampati S, Gatt S, Gugino L, Desai S, Waraksa B, Freiberger D, Liu P. 1985. "A
clinical sign to predict difficult tracheal intubation: a prospective study.". Can Anaesth
Soc J 32 (4): 42934
4. Morgan, G. Edward; Mikhail, Maged S.; Murray, Michael J. 2006. Clinical
Anesthesiology, Fourth Edition. United States: McGraw-Hill Companies, Inc.
5. Repositoria USU. 2010. Trakeostomi. FK Universitas Sumatera Utara.
6. Rosenbalt, W. 2009. Clinical Anesthesia, 6th Edition: Airway Management. Lippincott Williams
& Wilkins.
LAPORAN KASUS ANESTESI
Oleh:
Pembimbing:
dr. Ristiawan Muji L,
sp.An