You are on page 1of 12

Globalisasi Ekonomi dan Ancamannya Terhadap Hak Asasi Manusia1

Nisar Mohammad bin Ahmad2


Fakultas Hukum dan Syariah
Islamic Science University of Malaysia (USIM) Bandar Baru Nilai, 71800, Nilai
Negeri Sembilan Malaysia

Abstrak
Sepanjang akhir abad dua puluh hingga awal abad dua puluh satu ini, istilah
globalisasi sering digunakan dalam akademik kontemporer dan kuliah umum maupun
menjadi bahasan dalam debat ekonomi internasional. Globalisasi memiliki dampak
dalam kehidupan sehari-hari, dan debat mengenai dampak positif dan negatif masih
belum terselesaikan. Meskipun pada era ini telah terjadi peningkatan yang signifikan
pada berbagai elemen seperti teknologi, sosial, ekonomi, politik, budaya dan
sosiologi, pembahasan mengenai globalisasi ekonomi adalah yang lebih dominan dan
lebih sering ditemukan. Hal ini disebabkan karena proses globalisasi itu sendiri
direncanakan dan dilaksanakan oleh para petinggi perusahaan, serta yang disebut
perusahaan transnasional (transnational companies [TNC]). Hal ini menimbulkan
anggapan bahwa gobalisasi itu didorong oleh aktivitas untuk menghasilkan
keuntungan dengan tujuan bisnis. Meskipun telah didukung oleh ideologi
neoliberalisme dan didorong pasar, globalisasi masih tidak memiliki prinsip normatif
keadilan dan kemanusiaan. Untuk mencapai tujuan mendapat keuntungan maksimal,
tanggung jawab sosial dan hak asasi manusia terkadang diabaikan dan dipinggirkan.
Sebagai konsekuensi fenomena ini, muncul ancaman dan pelanggaran terhadap hak
asasi, seperti ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pelanggaran
terhadap hak asasi dasar, dan serangan terhadap kedaulatan negara. Mengingat
dampak negatif dari globalisasi, menyebabkan memuncaknya perhatian dan
permintaan adanya suatu mekanisme untuk mengatur globalisasi itu sendiri, dimana
prosesnya tidak dapat dihentikan. Hal ini termasuk usaha untuk meregulasi aksi TNC,
agar dipastikan mereka tidak melakukan pelanggaran terhadap prinsip hak asasi
manusia dalam aktivitasnya. Penulisan ini bertujuan mengeksplorasi evolusi
globalisasi, terutama globalisasi ekonomi dan dampak potensialnya terhadap hak asasi
manusia. Selain itu, juga memperhitungkan kemungkinan terbangunnya sebuah
peraturan rezim transnasional yang tidak menghambat globalisasi, tapi justru
membuat pemainnya lebih akuntabel dan bertanggung jawab secara sosial.

i. Pendahuluan
Pada beberapa tahun terakhir, globalisasi telah menjadi sebua isu yang sering
didebatkan pada semua level masyarakat di seluruh dunia. Meskipun tidak ada
definisi spesifik dan akurat yang dapat menjelaskan fenomena ini, semua manusia
mengetahui tentang karakter berdasar bisnis ini yang memberikan kesan luar biasa
dan mampu membentuk tren global ke budaya homogen yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Lebih lanjut, hal ini menggambarkan keseharian kita sebagai makhluk
yang hidup di dunia dimana interaksi tanpa batas dapat dilakukan secara signifikan,
lebih besar dan lebih cepat dibandingkan di masa lalu, dan dapat dikaitkan dengan
kemajuan pada teberapa bidang teknologi, sosial dan organisasi ekonomi.3 Terlepas
dari berbagai karakter yang dimilikinya, globalisasi secara dominan berhubungan
dengan konteks ekonomi yang ditunjukkan dari evolusi ekonomi global baru-baru ini
tercermin pada perkembangan pesat pada tingkat dan kecepatan transaksi ekonomi,
terutama, melintasi batas geografi dan batas-batas wilayah. Evolusi ini telah
membawa berbagai faktor diantaranta mencakup, kemajuan di teknoligi dan
liberalisasi.4 Memang, terlalu banyak fenomena globalisasi pada dimensi ekonomi,
seakan dimensi ekonomi globalisasi mendapatkan sebuah status yang lebih tinggi
dibandingkan nilai manusia atau bahkan diatas dari hak dasar manusia, yang akan
terkena dampak serius oleh tren global saat ini.
Isu ekonomi bersifat mendominasi cabang sosial, budaya dan politik
globalisasi.5 Oleh karena itu, patut untuk dicatat bahwa globalisasi ekonomi dan
munculnya TNC cenderung untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap hak
asasi. Klaim pertumbuhan yang diantisipasi, atau, paling tidak pengurangan angka
kemuskinan dan peningkatan kemakmuran selalu disebarluaskan oleh para
pendukungnya, masih belum terjadi pada sebagian besar penduduk dunia. Khususnya
pada sebgaian besar negara berkembang masih belum merasakan klaim keuntungan
ini atau keuntungan nyata lainnya dari serbuan globalisasi.6 Seperti mempunyai kue
yang besar, namun bagian-bagiannya tidak dibagi secara rata untuk semua, namun
didominasi oleh beberapa orang kuat. Inilah yang terjadi ketika yang kaya semakin
kaya dan miskin makin miskin. Tentu saja, pada beberapa kasus, selama
maksimalisasi keuntungan menjadi tujuan utama bisnis TNC, hak asasi manusia tidak
lagi relevan.
Merupakan suatu bukti bahwa hak asasi manusia memiliki peran penting
untuk memastikan kelangsungan TNC dan tujuan bisnis mereka. Seseorang mungkin
bertanya, mengapa peduli dengan dampak globaisasi, khususnya globalisasi pasar,
terhadap has asasi manusia, dibandingkan dengan dampak tren internasional lainnya?
Hal ini karena kami menganggap bahwa hak asasi manusia, berkaitan secara dengan
makhluk hidup, yang mudah dipengaruhi oleh suatu perubahan dalam pemahaman
diri dan aktivitas sosial, seperti prinsip hak asasi manusia. Persis, PBB Komisi HAM,
Mary Robinson, pernah ditanya; mengapa bisnis peduli tentang hak asasi?.8
Alasannya, bedasarkan dia, adalah dua hal; pertama, suatu bisnis tidak dapat
berkembang dalam lingkungan dimana hak asasi manusia tidak dihormati dan, kedua,
perusahaan atau bisnis yang bukan perorangan mengamati hak asasi manusia
pegawainya, atau individual atau komunitas yang mereka pekerjakan, hal ini akan
dimonitor dan reputasinya akan dinilai.
Oleh karena itu, isu mengenai hak asasi manusia seharusnya tidak dilihat
secara sebelah mata oleh pembisnis dan perusahaan sebagai sebuah penyesuaian
terhadap prinsip hak asasi manusia, karena hal ini akan menggambarkan reputasi
mereka. Satu pertanyaan untuk ditanya, oleh karena itu bagaimana cara kita untuk
mengatur globalisasi? Pertanyaan ini akan membawa kita pada diskusi selanjutnya,
yaitu solusi dan penghitungan untuk menyelesaikan dampak negatif hak asasi manusia
yang disebabkan karena globalisasi. Dalam hal ini, TNC harus merevisi imej
tradisional dari perusahaan private unuk dikenali sebagai bagian terintegrasi dari suatu
masyarakat. Mereka harus memiliki kode etik sendiri yang menggarisbawahi aturan
perilaku yang harus mereka ikuti, sehingga memastikan ini adalah wujud tanggung
jawab sosial mereka dalam masyarakat tempat mereka beroperasi. Terpisah dari kode
perilaku, kemungkinan pengukuran lain adalah dengan menerapkan aturan yang
mengikat secara hukum pada TNC. Rute langsung untuk menerapkan kewajiban pada
TNC dapat ditambah dengan alasan bahwa negara memiliki kewajiban untuk
mengontrol operasi TNC yang beroperasi dalam yuridiksi negara tersebut dan/atau
anak perusahaan yang beroperasi diluar negeri. Alasan ini bedasarkan tanggung jawab
negara untuk melindungi hak asasi manusia, contohnya mencegah pelanggaran hak
oleh individu swasta.9 Sebagai tambahan, terdapat juga perjanjian dan guidelines
internasional lainnya seperti OECD guielines dan UN Global Compact yang dapat
menjadi referensi yang bagus dan bimbingan bagi TNC untuk menanamkan prinsip
hak dasar manusia didalam lingkungan kerja mereka.
Yang terpenting, mengatur globalisasi adalah mengenai mengidentifikasi,
membangun dan mengadopsi kebijakan dan iniasiatif untuk meminimalisasikan efek
negatof globalisasi serta pada saat yang sama memanfaatkan efek positifnya. Pada
berbagai acara, fokus pada mengatur globalisasi juga menunjukkan kesadaran lain,
yaitu, apapun pandangan seseorang akan globalisasi, hal ini jelas tak terelakkan dan
ada dalam kehidupan kita, karenanya perlu dilakukan pengembangan strategi efektif
untuk melawan konsekuensinya.10 Tulisan ini mencoba untuk memberikan sedikit
latar belakang sejarah dan evolusi globalisasi ekonomi melalui muncunya TNC. Lalu
dilanjutkan dengan analisis dampak negatif signifikan terhadap hak asasi manusia
yang disebabkan karena globalisasi ekonomi. Pada akhirnya, tulisan ini akan
menyimpulkan dengan berbagai proposisi, secara sukarela dan mengikat hukum, yang
dapat digunakan sebagai pengukuran terbaik untuk menghadapi dampak negatif
globalisasi ekonomi, sejauh hak asasi manusia menjadi perhatian. Tulisan ini tidak
bertujuan untuk menghambat cepatnya kemajuan globalisasi, melainkan untuk
memastikan bahwa para pemainnya lebih akuntabel dan bertanggungjawab sosial.

ii. Evolusi Globalisasi Ekonomi


Seperti yang dijelaskan di awal, dimensi ekonomi globalisasi telah menyatu kedalam
semua dimensi lainnya: mengontrol teknologi baru, memperkuat kepentingan
geopolitik dan akhirnya mempertemukan budaya ke dalam ekonomi dan ekonomi ke
dalam budaya.11 Hal ini untuk menekankan bahwa globalisasi ekonom merupakan
kekuatan utama pada proses globalisasi. Bagaimanapun, mungkin kita bertanya-tanya,
kapan dan dimana asal semua pergerakan ini? Secara teori, proses ini bukanlah hal
baru, seiring dengan adanya peningkatan integrasi melalui perdagangan dan investasi,
hal ini telah menjadi fitur dari ekonomi global sejak perang dunia ke-2. Lalu,
runtuhnya Berlins wall pada tahun 1989 dan runtuhnya komunisme Soviet
menyebabkan integrasi cepat atas apa yang selanjutnya diketahui sebagai ekonomi
transisi dari Uni Soviet lampau menjadi sebuah model kemenangan pasar yang
mendorong perubahan ekonomi. Perkembangan ini telah menandai tren signifikan
dalam globalisasi, yaitu pergeseran kekuasan dari negara, didorong oleh tren
ekonomi global yang mengikis kemampuan pemerintah untuk mengelola
perekonomian mereka.
Tren kedua adalah kebangkitan hak baru (new right) dimana pada awal
1980an, pasar dilihat telah memenangkan kemenangkan definitif terhadap negara,
mengarah pada bangkitnya kembali ideologi pasar bebas. Perkembangan politik ini
membantu mendorong ekspansi cepat pada alur perdagangan dan investasi.
Globalisasi menjadi cara pintas untuk model ekpansi ini, campuran yang kompleks
dan sengit perubahan teknologi, ekonomi, politik dan budaya.12 Memang, era
globalisasi menggambarkan perkembangan hebat pada transformasi ekonomi.
Perusahaan modern dan TNC besar dianggap sebagai pemain global dalam
menentukan arah masa depan dunia. TNC atau multinasional pada tahun 1970an
merupakan gejala dan tanda utama perkembangan kapitalis baru, meningkatkan
ketakutan politik akan kemungkinan kekuatan dual baru, kekuatan besar para raksasa
supranasional melawan pemerintahan nasional.13 Tidak mengejutkan untuk
mengatakan hal tersebut, saat ini dan masa depan, sektor ekonomi memainkan
peranan penting di kehidupan kita. Nama besar seperti IBM, General Motors, Toyota
dan Microsoft (hanya beberapa) adalah yang terbaik dalam menggambarkan bagian
dari perusahaan terkemuka di planet ini. Keuntungan mereka bernilai mungkin sama
dengan kombinasi dari produk domestik bruto (PDB) 50 negara dunia ketiga.
Mengambil General Motors sebagai contoh, penjualan totalnya sebanding
dengan empat puluh persen total produk nasional Rusia, yang kira-kira kasarnya total
semua ekonomi sipil pada tahun 1980an.14 Oleh karena itu, sulit untuk menyangkal
fakta bahwa TNC memberikan pengaruh signifikan dan mungkin memiliki kekuatan
terhadap arah kebijakan ekonomi dan sosial. Meskipun tidak dapat dikatakan
menggantikan negara sebagai sebuah kesatuan politik dengan kekuatan resmi, namun
dapat dimengerti bahwa keputusan dan aktivitas TNC dapat dianggap berefek
terhadap pembuatan kebijakan nasional dan internasional.15 Peningkatan keterlibatan
TNC dalam wilayah publik telah membawa mereka menjadi fokus perhatian publik.
Dampak kebijakan dan aktivitas perusahaan dapat dirasakan langsung oleh publik
sebagai pemakai produk dan layanan mereka atau dirasakan oleh masyarakat lebih
luas melalui konsekuensi lingkungan atau alasan lain yang terkait sosial. Peningkatan
dampak langsung terhadap manusia akibat kebijakan tradisional dan aktivitas
perusahaan telah mengubah pertanyaan mengenai peraturan perusahaan ke yang baru
terjadi. Berbagai dampak TNC akan dijelaskan secara detil pada bagian selanjutnya.

iii. Dampak Globalisasi Terhadap Hak Asasi Manusia


Sudah menjadi rahasia umum bahwa, bukannya mengembangkan
pertumbuhan ekonomi dan kekayaan, globalisasi malah membawa berbagai pengaruh
negatifnya; ketidakadilan, kemiskinan dan keputusasaan besar. Hal ini telah
meretakkan masyarakat sepanjang jalur patahan kelas, jenis kelamin, dan secara
internasional semakin memperlebar jarak antara bangsa kaya dan miskin.
Perkembangan ini, distimulasi dengan adanya TNC, yang meningkatan perhatian
ancamannya terhadap prinsip mayor hak asasi manusia. TNC menjadi subyek boikot
konsumen kalangan atas karena dugaan keterlibatan dalam pelanggaran hak asasi
manusia.
Perusahaan ekstrasi sumber daya, sebagai contoh, telah dituduh menyediakan
bantuan logistik dan finansial pasukan keamanan negara yang represif dan
mengandalkan kekuatan mereka untuk perlindungan di negara seperti Burma,
Kolombia, Nigeria dan Sudan.17 Bedasarkan Nicola Jagers, TNC memainkan tiga
buah bagian mengenai hak asasi manusia. Pertama, mereka dapat menjadi pelanggar
langsung contohnya, kerja paksa. Kedua, mereka secara tidak langsung menjadi
pelanggar dengan mendukung suatu rezim yang melanggar hak asasi manusia. Contoh
nyata untuk menggambarkan hal ini adalah pelanggaran hak asasi manusia oleh The
Royal Dutch/Shell di Delta Niger, Nigeria. Ketiga, disamping fakta TNC dapat
mengancam hak asasi, mereka juga dapat menjadi pengaruh positif, walaupun sangat
kecil, dengan meningkatkan standar kehidupan dan menghormati hak ekonomi, sosial
dan budaya. Ancaman besar dari globalisasi ekonomi dapat dibagi menjadi sebagai
berikut;
a. Memperluas Jarak Antara yang Kaya dan Miskin
Efek primer dari globalisasi ekonomi adalah eksaserbasi jarak antara yang
kaya dan miskin. Statistik menunjukkan bahwa jarak ini melebar baik
didalam dan antar bangsa serta pada banyak negara kemiskinan semakin
meningkat pada jumlah dan kedalamannya.19 Beberapa studi meragunakn
perusahaan transnasional raksasa memiliki peranan dalam membuat
kemiskinan global,20 khususnya karena penerimaan mereka terhadap
teori ekonomi pasar bebas klasik, yang mendasari banyak aktivitas
perusahaan. Kekurangan aturan internasional, buruknya kebijakan dan
pemerintahan yang lemah pada negara berkembang dan praktek
perusahaan yang memprioritaskan keuntungan jangka pendek
dibandingkan perkembangan manusia jangka panjang adalah penyebab yag
meruntuhkan negara dan warga miskin untuk mendapatkan keuntungan
dari perdagangan internasional.21 Pada beberapa kaus, liberalisasi ekonomi
telah ditemani dengan ketidakadilan besar dan masyarakat yang tertinggal
terjebak dalam kemiskinan. Human Development Report pada tahun 1997
mengungkapkan bahwa negara miskin dan warga miskin terlalu sering
menemukan bahwa keuntungannya diabaikan sebagai hasil dari
globalisasi.

b. Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Dasar Manusia


Globalisasi ekonomi menghasilkan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia internasional yang ditekankan oleh Universal Declaration of
Human Right (UDHR). Hak-hak yang dilanggar oleh TNC besar
kemungkinan adalah termasuk tidak ada diskriminasi, hak wanita, hidup,
kebebasan dan intergritas fisik manusia, kebebasan sipil, hak pegawai,
buruh anak, perbudakan, kerja paksa dan ijon, hak untuk makanan,
kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal, terakhir hak lingkungan.22 Pada
sisi lain, dalam keinginannya untuk mendapat keuntungan, TNC TNC
telah merestukturisasi pekerjaan mereka pada skala global. Hal ini
menghasilkan pengangguran besar-besaran dan pekerja yang dibayar
dibawah kemampuan yang dimilikinya, situasi terburuk sejak tahun
1930an. Hampir sama di banyak negara industi, jumlah pengangguran
telah meningkat hingga ke tingkat yang belum pernah dilihat dalam
beberapa tahun terakhir dan disparitas pendapatan ke tingkat yang tidak
tercatat sejak abad terakhir. Runtuhnya ekonomi macan asia adalah contoh
dari hal ini. Karena hal ini, banyak masyarakat yang melewati batas dalam
mencari pekerjaan dan dalam banyak kondisi masyarakat dipaksa untuk
bekerja dalam kondisi tidak berperikemanusiaan untuk gaji rendah.

c. Mengancam Kedaulatan dan Demokrasi Negara


Terdapat hal yang bisa disebut sebagai kendala normatif pada kedaulatan
negara. Hal ini telah melalui poses globalisasi, yang sebagian besar adalah
bentuk westernisasi.23 Beberapa orang menamai proses ini sebagai
Amerikanisasi atau McDonaldisasi karena besarnya partisipasi TNC
dari Amerika Serikat. Proses ini berdampak pada masyarakat non-western
dibandingkan dengan masyarakat western. Globalisasi telah membuat
sebuah situasi dimana peran dan kepentingan suatu bangsa menjadi tidak
relevan. Sebagai tambahan, globalisai pada dekade saat ini bukanlah
merupakan pilihan demokrasi oleh masyarakat dunia. Prosesnya didorong
bisnis, oleh strategi dan taktik bisnis, untuk sebuah tujuan bisnis.
Globalisasi juga melemahkan demokrasi, sebagian akibat hasil dari efek
yang tidak terencana, namun juga akibat penahanan biaya tenaga kerja dan
memotong kesejahteraan negara diperlukan oleh minoritas bisnis untuk
memiliki kontrol kuat terhadap suatu negara dan menghapus kapasitasnya
untuk menanggapi permintaan mayoritas. Beberapa kekuatan anti-
demokratik yang terkenal dan penring adalah kekuatan pasar finansial
global untuk membatasi pilihan politik. Pasar finansial berefek terhadap
pertukaran dan laju bunga sehingga secara ekstrim dan cepat dapat
merusak perekonomian.

iv. Mengatur Globalisasi


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, globalisasi ekonomi secara terus
menerus berevolusi melalui aktivitas TNC. Namun, banyak suara dan perhatian dari
berbagai tempat meminta adanya pembatasan dari tanggungjawab TNC untuk
mempertimbangkan akan pengaruhnya dalam masyarakat. Gagasan tradisional yang
menyatakan hanya negara dan wakil rakyat yang dapat bertanggungjawab atas
pelanggaran hak asasi manusia kini ditantang seiring dengan kekuatan ekonomi dan
sosial TNC muncul karena peningkatan integrasi ekonomi global yang telah mereka
bantu.24 Permintaan untuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas perusahaan telah
diketahui selama perkembangan TNC, sejauh Cicero pada 44 SM.25 Hal ini
meyakinkan bahwa tidak ada keterlibatan dalam pelanggaran hak asasi manusia yang
dapat terjadi apabila tidak terdapat standar hak asasi manusia yang diterapkan. Secara
umum, terdapat dua cata utama bagaimana TNC dapat bertanggungjawab terhadap
hak asasi manusia; melalui kewajiban hukum dibawah hukum nasional atau
internasional, dan secara sukarela melalui kode etik dan regulasi sendiri.

a. Peraturan Rezim Transnasional


Terdapat nilai keuntungan terhadap pendekatan hukum, sebagaimana yang
ditekankan oleh International Council on Human Right Policy26 ;
Kode sukarela mengandalkan seluruhnya pada kebijaksanaan bisnis
atau kesadaran suatu perusahaan untuk keefektivitasannya. Secara
kontras, rezim hukum menekankan pada prinsip pertanggungajawaban
dan mengganti rugi, melalui kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
untuk kerusakan yang diperbuat. Mereka meyediakan dasar yang lebih
baik untuk konsistensi dan keadilan (untuk semua pihak, termasuk
perusahaan)

Kode legal internasional dapat membuat suatu standar universal koheren


dan juga dapat menyediakan tingkat bermain lahan untuk seluruh bisnis; sesuatu
yang tidak dapat dilakukan oleh aturan kode etik. Pada akhirnya, terdapat
beberapa bukti bahwa pemimpin bisnis lebih menyukai kewajiban dan kejelasan
dibandingkan sukarela dan kebingungan.27 Sementara masih ada kerangka hukum
internasional memberlakukan kewajiban hukum untuk menghormati hak asasi
manusia terutama pada negara-negara dan Intergovenrmental Organisations
(IGOs), tidak terdapat alasan logis bahwa TNC tidak mampu menahan kewajiban
yang berkaitan dengan hak asasi manusia.28 Hal ini karena pembukaan UDHR
ditujukan bukan hanya kepada negara namun juga kepada semua individu dan
setiap organisasi masyarakat. Oleh karena itu, tidak mungkin terdapat aktor non-
negara termasuk TNC yang aksinya memiliki dampak besar terhadap pelaksanaan
hak asasi manusia, bisa membebaskan diri mereka sendiri terhadap kewajibannya
untuk memegang standar hak asasi manusia internasional. Pada tingkat nasional,
terdapat beberapa tanda awal yang dapat disadari berkenaan derajat tanggung
jawab pelanggaran langsung hak asasi manusia pada bagian TNC. Pada kasus
yang baru saja terjadi, United States District Court of Doe v. Unocal29, TNC
tersebut, secara prinsip, bertanggung jawab langsung terhadap pelanggaran hak
asasi manusia dibawah Alien Tort Claims Act.30 Meskupun kasus tersebut gagal
karena kurangnya bukti dan tunduk banding, prinsip bahwa aktor swasta bukan
negara dapat dituntut oleh pengadilan US karena dituduh melakukan pelanggaran
HAM tidak perlu dipertanyakan lagi.31
Sebagai tambahan untuk pemerintahan nasional, IGO mungkin
menyediakan sebuah dasar unruk membuat suatu kewajiban hukum TNC.
Contohnya, Komite Hak Asasi Manusia PBB menemukan proyek turis Prancis di
Tahiti melanggar International Covenant on Civil and Politic Right (ICCPR).
Terlepas dari IGO, integrasi ekonomi regional dapat juga berkontribusi dalam
mengembangkan standar internasional terhadap perilaku dan mekanisme
pelaksanaan untuk menuntuk pelanggaran hak asasi manusi oleh TNC. European
Union, sebagai contohnya, telah membuat usaha terbaik mereka, melalui sebuah
resulisi pada parlemen European, dinamakan EU Standard for European
Enterprises: Toward a European Code of Conduct, untuk memperpanjang
ketentuan hukum yang sudah ada untuk menutupi aksi TNC. Bagaimanapun,
terdapat keterbatasan umum untuk pendekatan hukum dalam mengatur perilaku
perusahaan.
Seperti pendapat Michael Addo32, harapan masyarakat dari perilaku
perusahaan saat ini jauh melebihi apa yang hukum butuhkan pada mereka.
Peraturan hukum memiliki peran beharga dalam mengatur perilaku perusahaan.
Keterbatasan terhadap pendekatan hukum, bagaimanapun, berati adanya jarak
akan tersisa antara apa yang masyarakat harapkan dari perusahaan dan apa yang
hukum butuhkan secara tegas dari mereka.33

b. Basis Sukarela
Pendapat untuk memperpanjang standar tanggungjawab sosial terhadap
perusahaan telah banyak diketahui. Cukup diikatakan, utuk tujuan saat ini, TNC
telah diharapkan dalam waktu lama untuk mengamati standar tanggung jawab
sosial dari perilaku yang diungkapkan dalam berbagai kode etik yang disusun
IGO, yang paling signifikan adalah ILO Triparte Declaration od Principle
Concerning Multinational Enterprises and Social Policy 1977,34 dan OECD
Guidelines for Multinational Enterprises 1976.35 Meskipun begitu, instrumen ini
bersifat tidak mengikat, dan karena itu membuat tidak adanya kewajiban hukum
untuk mengamati standar.36 Lebih lanjut, pendekatan sukarela untuk mengubah
etik perusahaan telah dilakukan pada tingkat kolektif dan individual. Secara
kolektif, terdapat proliferasi pendekatan sukarela pada beberapa tahun terakhir.
PBB, sebagai contoh, telah mengembangkan Global Compact yang meliputi
sepuluh prinsip dasar hak asasi manusia, standar pekerja, lingkungan dan anti-
korupsi yang diharapkan untuk diterima oleh perusahaan-perusahaan.37 Prinsip ini
diambil dari dokumen sebelumnya seperti UDHR, Declaration of ILO on
Fundamnetal Principle and Right, Rio Declaration 1992 UN Conference in
Enviroment Development dan UN Convention Against Corruption.
Pada sisi lain, banyak perusahaan individual juga menetapkan kode
etik pegawai dan pekerjaan bisnis masing-masing. Beberapa temuan oleh OECD
sebagai contoh, daftar 246 kode etik individu.38 Meskipun begitu, semua inisiatif
sukarela ini memiliki berbagai kelemahan. Pertama, peraturan diri hanya dapat
diterapkan pada perusahaan kecil.39 Kedua, komitmen kepada publik tidak selalu
diartikan kepada perubahan perilaku perusaahan dan ketiga usaha sukarela untuk
mentaati peraturan tersebut bergantung kepada pengawasan masyarakat yang
perhatian, konsumen, NGO dan investor. Kesimpulan, ketidakmampuan yang
terbukti dari TNC untuk mentaati kode etik tidak jelas, sulit diterapkan dan
burukpada banyak laporan kolektif, seperti Global Compact, menggambarkan
keterbatasan terhadap pendekatan sukarela. Dalam keterbatasan ini, sebuah kode
etik sukarela memiliki beberapa keuntungan dibandingkan kode yang mengikat.
Alex Wawryk40 berpendapat bahwa pada negara dimana mekanisme penegakan
hukum lemah, pengaturan sendiri oleh TNC dibawah kode etik mungkin jauh
lebih efektif dibandingkan kode nasional atau internasional yang diterapkan ke
TNC yang berlawanan dengan harapan mereka. Kedua, seperti halnya dengan
tradisi deklarasi pada hukum internasional, tradisi deklarasi perusahaan sebaiknya
berevolusi dan berkembang terus tiap tahunnya.

v. Kesimpulan
Dari analisa terdahulu, cukup jelas bahwa fenomena globalisasi, terutama
melauli dimensi ekonomi memiliki berbagai keterlibatan terhadap promosi dan
proteksi seluruh hak asasi manusia. Hal ini berarti bahwa dibutuhkan suatu
rekonseptualisasi kritis mengenai kebijakan dan aturan perdagangan internasional,
investasi dan keuangan. Rekonseptualisasi tersebut harus menghentikan perlakukan
terhadap isu hak asasi manusia dianggap sebelah mata terhadap perencanaan dan
pengerjaannya. Mekanisme instutisonal mengembangkan untuk membuat norma dan
menyelesaikan sangketa dalam konteks kekuasaan hukum yang tumpang tindih dan
nilai-nilai yang bertentangan dalam praktek akan mementukan apakah globalisasi
terbukti sebagai teman atau musuh terhadap hak asasi manusia. Sebagai tambahan,
yang dibutuhkan adalah pendekatan yang lebih seimbang, yang memastikan bahwa
prinsip hak asasi manusia terintegrasi dalam proses pembuatan peraturan sejak dari
awal.
Keutamaan dari hukum hak asasi manusia pada semua rezim hukum
internasional adalah hal dasar dan prinsip fundamental yang tidak boleh dipisahkan.
Untuk tambahan, TNC juga dapat menyesuaikan kemampuannya untuk
mempromosikan hak asasi manusia dengan megembangkan suatu kebijakan
perusahaan yang jelas terhadap hak asasi, menyediakan pelatihan efektif untuk para
manajer dan staf sesuai standar hak asasi manusia internasional, berkonsultasi dengan
organisasi non pemerintah, termasuk Amnesty International mengenai pelanggaran
hak asasi manusia di berbagai negara, dan membuat suatu kerangka yang jelas untuk
menilai dampak potensial terhadap hak asasi manuasi terhadap perusahaan dan anak
perusahaan. Sebagai salah satu isu yang selalu diperbincangkan pada milenium baru,
fenomena globalisasi telah menangkan perhatian dunia dalam berbagai cara. Terdapat
debat yang masih terus terjadi apakah globalisasi ekonomi dan kebijakan struktural
penyesuaian adalah terapi ekonomi dan sosial yang bagus untuk jangka panjang. Poin
disini adalah bukan untuk memasuki debat yang lebih besar, tapi untuk
mengobservasi pentingnya kebebasan hak asasi manusia, pemerintah nasional tidak
lagi seperti yang dulu. Kapasitasnya sebegai kendaraan pengirim dikurangi.42
Pencapaian hak asasi manusia dan keadilan sosial memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan pelindungan pasar bebas. Dengan prinsip-prinsip ini diingat, kita dapat
membantu memastikan bahwa globaliasi akan mementingkan hak asasi manusia.
Tentu saja globalisasi dengan tanggung jawab akan menjadi rekan cerdas
terhadap hak asasi dibandingkan menjadi musuh. Globalisasi memiliki pemenangnya
dan siapa yang kalah. Dengan ekspansi perdangan, pasar, investasi asing, negara-
negara berkembang telah melihat jarak antar mereka semakin melebar. Desakan untuk
meliberaliasi menuntut menyusutnya keterlibatan negara dalam kehidupan nasional,
mengahsilkan gelombang privatisasi, pemotongan pekerjaan, menyayat kesehatan,
pendidikan dan makanan bersubsidi dan lain-lain, mempengaruhi warga miskin di
masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mengemukakan kembali bahwa isu paling
krusial dengan tujuan untuk mengatur globalisasi dari sudut pandang ekenomi
berkembang adalah menghindari terpinggirkan dan eradikasi kemiskinan.44 Pertama
harus ditekankan kembali bahwa pemerintah di negara berkembang menanggung
andil tanggung jawab dengan aktos swasta, terutama dengan tujuan pemerintahan
yang baik dan tanggungjawab demokratis dalam mengembangkan ekonomi dan
kemakmuran akibat globalisasi tanpa melupakan kewajiban untuk menghormati hak
asasi manusia.
REFERENSI

1. Gbenga Bamodu, Managing Globalization: UK initiatives and a Nigerian perspective,


Human Rights and Capitalism. Edward Elgar Publishing, UK. (2006) .
2. Globalization and Its Impact on the Full Enjoyment of Human Rights UN Press Release,
E/CN.4/Sub.2 /2000/13,
3. http://www.globalpolicy.org/socecon/un/wtonite.htm 28 USC s. 1350.
4. 963 F.Supp. 880 US Dist Ct, C.D. Cal, 25 March 1997, noted in AJIL 92, 1998. pp. 309-14.
5. Alex Wawryk, Regulating Transnational Corporations through Corporate Codes of Conduct
In Jedzej George Frynas and Scott Pegg (ed.) Transnational Corporations and Human Rights
(Palgrave Macmillan, New York, 2003), p. 1.
6. Andrew G. McGrew, Human Rights in a Global Age: Coming to Terms with Globalization, in
Human Rights Fifty Years On: A Reappraisal 188 (Tony Evans ed., 1998).
7. Duncan Green and Matthew Griffith, Globalisation and its discontents (2002) International
Affairs 78 (1) p. 51
8. Frank J. Garcia, The Global Market and Human Rights: Trading Away the Human Rights
Principle. 25 Brook. J. Int'l L. (1999). p. 1.
9. Fredric Jameson, Globalization and Political Strategy (2000) New Left Review 4. p. 53.
10. Gereffi, Gary, Ronie Garcia-Johnson and Erika Sasser, The NGO-Industrial Complex,
Foreign Policy (July/August 2001). p. 56-65.
11. http://www.unglobalcompact.org

12. ILO, A Fair Globalisation: The Final Report of the World Commission on the Social
Dimension of Globalisation (ILO, Geneva , 2004) .
13. ILO, Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work (Geneva: ILO, 18 June
1998).
14. International Council on Human Rights Policy. 2002. Beyond Voluntarism: Human Rights
and the Developing International Legal Obligations of Companies Summary, Versoix,
Switzerland. International Council on Human Rights Policy. p. 5.
15. J.Bradford DeLong. 1997. The Corporation as a Command Economy. p.1.
16. Janet Dine, Companies, International Trade and Human Rights. Cambridge University
Press (2005), p. 168.
17. Jeffrey L. Dunoff, Does Globalisation Advance Human Rights? Brooklyn Journal of
International Law, April 1999.
18. Jessica Woodroffe, Regulating Multinational Corporations in a World of Nation States, in
Michael K. Addo, ed., Human Rights Standards and the Responsibilities of Transnational
Corporations, (1999) pp. 131-42. The Hague: Kluwer Law International.
19. Joanne Ciulla, Why is Business Talking About Ethics? Reflections on Foreign
Conversations, 1991 California Management Review, p. 67.
20. Mary Robinson, The business case for human rights, in Financial Times Management,
Visions of Ethical Business (London: Financial Times Professional, 1998). p. 14.
21. Michael K. Addo, Human Rights and Transnational Corporations: An Introduction in M.
Addo (ed.), Human Rights and Transnational Corporations (Kluwer, The Hague, 1999), p. 4.
22. Michael D. Pendleton, A New Human Right--The Right to Globalization, 22 Fordham Int'l
L.J. p. 2056.
23. Nicola Jagers, The Legal Status of the Multinational Corporations under International Law
in M. Addo (ed.), Human Rights and Transnational Corporations (Kluwer, The Hague,
1999), p. 260.
24. OECD Guidelines for Multinational Enterprises, 27 June 2000 (Paris: OECD, 2000) and on
www.oecd.org/daf/investment/guidelines/mnetext/htm
25. Oxfam, Gigged Rules, p. 175.
26. Peter Thomas Muchlinski, Globalization and Legal Research, 37 Intl L. (2003) p. 221.
27. Peter Thomas Muchlinski, Human Rights and Multinationals: Is there a problem? , 77(1)
International Affairs (2001) p. 31.
28. Scott Pegg, An Emerging Market for the New Millennium: Transnational Corporations and
Human Rights in Jedzej George Frynas and Scott Pegg (ed.) Transnational Corporations
and Human Rights (Palgrave Macmillan, New York, 2003), p. 1.
29. UNCTAD Report, The Least Developed Countries Report 2002 (UN, 2002).
30. United Nations Development Programme, Human Development Report 1992 (Oxford
University Press, 1992).
31. Michael Addo, Human Rights and Transnational Corporations: An Introduction (n15) (p.
13)
32. Scott Pegg, An Emerging Market for the New Millennium: Transnational Corporations and
Human Rights (n 17) (pp. 20-1)
33. ILO, Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work (Geneva: ILO, 18 June
1998).
34. OECD Guidelines for Multinational Enterprises, 27 June 2000 (Paris: OECD, 2000) and on
www.oecd.org/daf/investment/guidelines/mnetext/htm
35. Peter Thomas Muchlinski, Human Rights and Multinationals: Is there a problem? (n 24)
(pp. 36-7)
36. Available at http://www.unglobalcompact.org
37. Gereffi et al. The NGO-Industrial Complex, Foreign Policy (July/August 2001). p. 57.
38. Jessica Woodroffe, Regulating Multinational Corporations in a World of Nation States, in
Michael K. Addo, ed., Human Rights Standards and the Responsibilities of Transnational
Corporations, (1999) . The Hague: Kluwer Law International. p. 132.
39. Alex Wawryk, Regulating Transnational Corporations through Corporate Codes of Conduct
In Jedzej George Frynas and Scott Pegg (ed.) Transnational Corporations and Human Rights
(Palgrave Macmillan, New York, 2003), p. 1.
40. Michael D. Pendleton, A New Human Right--The Right to Globalization, 22 Fordham Int'l
L.J. p. 2056.
41. Globalization and Its Impact on the Full Enjoyment of Human Rights UN Press Release,
E/CN.4/Sub.2/2000/13, http://www.globalpolicy. org/socecon/un/wtonite.htm
42. Andrew G. McGrew, Human Rights in a Global Age: Coming to Terms with Globalization, in
Human Rights Fifty Years On: A Reappraisal 188 (Tony Evans ed., 1998).
43. Jeffrey L. Dunoff, Does Globalisation Advance Human Rights? Brooklyn Journal of
International Law, April 1999.
44. Gbenga Bamodu, Managing Globalization: UK initiatives and a Nigerian perspective (n 4)
(p. 163)

You might also like