Professional Documents
Culture Documents
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa dan
Kuasa karena atas segala rahmat, berkat, pertolongan, anugerah serta bimbingan-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul EPILEPSI ini
dengan tepat waktu dan dengan sebaik-baiknya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang telah
memberikan arahan dalam menunjang pembutan makalah ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudari dan teman-teman yang telah
memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan makalah ini. Penulis
mengucapkan terima kasih pula kepada pihak-pihak yang sumbernya berupa
artikel dan tulisan yang telah penulis jadikan referensi dan bahan guna untuk
penyusunan makalah ini.
Penulis menyusun makalah ini guna untuk memberikan informasi
tambahan kepada para pembaca mengenai hal-hal- yang menyangkut dengan
PENYAKIT EPILEPSI. Kita tahu bersama bahwa penyakit Epilepsi atau sering
kita sebutkan penyakit AYAN adalah salah satu penyakit yang membahayakan
bagi tubuh manusia. Di era yang sangat modern ini, banyak sekali pengaruh-
pengaruh atau penyebab-penyebab yang dapat menimbulkan penyakit Epilepsi
tersebut. Banyak masyarakat yang seolah-olah tidak peduli dengan kesehatan
mereka.
Dalam makalah ini, kita akan mengetahui tentang penyakit Epilepsi mulai
dari definisi penyakit, penyebab penyakit, manifestasi klinik, patofisiologi atau
dengan kata lain perjalanan penyakit, penatalaksanaan, dan gejala-gejala penyakit
serta mencegah timbulnya penyaki Epilepsi.
Penulis berharap, semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat
berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya.
Penulis menyadari, tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan
makalah ini yang belum sempurna, masih perlu perbaikan, dan masih banyak
kekurangan serta kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis
harapkan agar dalam penyusunan makalah berikutnya akan lebih baik dan dapat
memenuhi keinginan para pembaca.
Semoga segala upaya berbagai pihak yang terlibat dalam penyusunan
makalah ini dapat memajukan pendidikan kesehatan di negara kita, khususnya
pendidikan kesehatan mengenai PENYAKIT EPILEPSI.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh
gangguan fungsi otak yang bersifat sementara dan paroksismal, yang
memberi manifestasi berupa gangguan, atau kehilangan kesadaran,
gangguan motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom, serta bersifat
episodik. Defisit memori adalah masalah kognitif yang paling sering terjadi
pada pederita epilepsy.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.
Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi.
Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan
narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun
sudah lepas dari narkotik.Di Inggris, satu orang diantara 131 orang
mengidap epilepsi.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua
bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi
dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi
seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%)
penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah
menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health
Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap
epilepsi (Smeltzer, 2012).
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa definisi dari penyakit epilepsi?
2. Apa penyebab epilepsi?
3. Bagaimana epidemiologi,etiologi, dan patofisiologi, dari epilepsi?
4. Bagaimana pengobatan epilepsi?
5. Apa contoh obat epilepsi ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.2. EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang
memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan
atau kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu penyebab
epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, infestasi
parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan,
umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2%
dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi
menunjukan pola bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak
dan usia lanjut.
H. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi.
Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan
menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis,
gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala
dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan
kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencernaan
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau
sinus. Sebab-sebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui
pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.25
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
STUDI KASUS
1. PENGKAJIAN
Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak
bicara.
Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
Riwayat penyakit dahulu:
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
Tumor Otak
Kelainan pembuluh darah
Demam.
Strok
gangguan tidur
penggunaan obat
hiperventilasi
stress emosional
Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit
ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab
terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor
keturunan.
Riwayat psikososial :
Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita
Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau ayan yang lebih umum di
masyarakat).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah
di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- Memberi informasi pada
factor yang berpengaruh pada perasaan perawat tentang factor
isolasi sosial pasien yang menyebabkan
isolasi sosial pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan Dukungan psikologis
motivasi pada pasien dan motivasi dapat
membuat pasien lebih
percaya diri
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat
membantu mengatasi
perasaan terhadap
kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada Memberikan kesempatan
kelompok penyokong, seperti yayasan untuk mendapatkan
epilepsi dan sebagainya. informasi, dukungan ide-
ide untuk mengatasi
masalah dari orang lain
yang telah mempunyai
pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi Keluarga sebagai orang
motivasi kepada pasien terdekat pasien, sangat
mempunyai pengaruh
besar dalam keadaan
psikologis pasien
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, Memberi informasi pada perawat
factor- factor yang berpengaruh tentang factor yang menyebabkan
pada perasaan isolasi sosial isolasi sosial pasien
pasien
Mandiri
Memberikan dukungan Dukungan psikologis dan
psikologis dan motivasi pada motivasi dapat membuat pasien
pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat membantu
mengatasi perasaan terhadap
kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat Memberikan kesempatan untuk
pada kelompok penyokong, mendapatkan informasi,
seperti yayasan epilepsi dan dukungan ide-ide untuk
sebagainya. mengatasi masalah dari orang lain
yang telah mempunyai
pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk Keluarga sebagai orang terdekat
memberi motivasi kepada pasien pasien, sangat mempunyai
pengaruh besar dalam keadaan
psikologis pasien
Memberi informasi pada Menghilangkan stigma buruk
keluarga dan teman dekat pasien terhadap penderita epilepsi
bahwa penyakit epilepsi tidak (bahwa penyakit epilepsi dapat
menular menular)
4. EVALUASI
1. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak
menarik diri (minder)
4. Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5. Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari-
hari secara normal
6. Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan
normal
I. PENGOBATAN
a. Golongan Hidantoin
Pada golongan ini terdapat 3 senyawa yaitu Fenitoin, mefentoin dan
etotoin, dari ketiga jenis itu yang tersering digunakan adalan Fenitoin dan
digunakan untuk semua jenis bangkitan, kecuali bangkitan Lena.
b. Golongan Barbiturat
Golongan obat ini sebagai hipnotik- sedative dan efektif sebagai
antikonvulsi, yang sering digunakan adalah barbiturate kerja lama ( Long Acting
Barbiturates ).
Jenis obat golongan ini antara lain fenobarbital dan primidon, kedua obat ini dapat
menekan letupan di focus epilepsy
c. Golongan Oksazolidindion
Salah satu jenis obatnya adalah trimetadion yang mempunyai efek
memperkuat depresi pascatransmisi, sehingga transmisi impuls berurutan dihambat
, trimetadion juga dalam sediaan oral mudah diabsorpsi dari saluran cerna dan
didistribusikan ke berbagai cairan tubuh.
d. Golongan Suksinimid
Yang sering digunakan di klinik adalah jenis etosuksimid dan fensuksimid
yang mempunyai efek sama dengan trimetadion. Etosuksimid diabsorpsi lengkap
melalui saluran cerna, distribusi lengkap keseluruh jaringan dan kadar cairan liquor
sama dengan kadar plasma. Etosuksimid merupakan obat pilihan untuk bangkitan
lena.
e. Golongan Karbamazepin
Obat ini efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik
klonik dan merupakan obat pilihan pertama di Amerika Serikat untuk mengatasi
semua bangkitan kecuali lena.
Karbamazepin merupakan efek analgesic selektif terutama pada kasus
neuropati dan tabes dorsalis, namun mempunyai efek samping bila digunakan
dalam jangka lama, yaitu pusing, vertigo, ataksia, dan diplopia.
f. Golongan Benzodiazepin
Salah satu jenisnya adalah diazepam, disamping senagai anti konvulsi juga
mempunyai efek antiensietas dan merupakan obat pilihan untuk status epileptikus.
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium
yang abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan
tersebut sudah teratasi, maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika
penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka
diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan. Sekitar
sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasanya hanya
mengalami 1 kali serangan. Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang
mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat,
karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.
Obat anti-kejang sangat efektif, tetapi juga bisa menimbulkan efek
samping.
Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak
menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk
memantau fungsi ginjal, hati dan sel -sel darah. Obat anti-kejang diminum
berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain bersamaan dengan obat anti-
kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah jumlah obat
anti-kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika
terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita
tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang
bantal di bawah kepala penderita. Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya
posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan
sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal. Jika
ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan pembedahan untuk
mengangkat serat-serat saraf yang menghubungkan kedua sisi otak (korpus
kalosum). Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil mengatasi epilepsi atau
efek sampingnya tidak dapat ditoleransi (Elizabeth, 2001).
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik
GABAergik. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium
berperan dalam memblok loncatan listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa
obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan
obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat
banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat
yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada
kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai
aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-
4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan
AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa
menstimulasi kematian dari sel.
J. PRINSIP TERAPI
Sasaran Terapi : Mengontrol supaya tidak terjadi kejang dan
meminimalisasi adverse effect of drug
Strategi Terapi : Mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik syaraf yang
berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan
neurotransmitter.
Prinsip Umum Terapi:
monoterapi lebih baik mengurangi potensi adverse effect, meningkatkan
kepatuhan pasien, tidak terbukti bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi dan
biasanya kurang efektif karena interaksi antar obat justru akan mengganggu
efektivitasnya dan akumulasi efek samping dg politerapi
hindari atau minimalkan penggunaan antiepilepsi sedatif toleransi, efek pada
intelegensia, memori, kemampuan motorik bisa menetap selama pengobatan
jika mungkin, mulai terapi dengan satu antiepilepsi non-sedatif, jika gagal baru
diberi sedatif atau politerapi
berikan terapi sesuai dgn jenis epilepsinya
Memperhatikan risk-benefit ratio terapi
Penggunaan obat harus sehemat mungkin dan sedapat mungkin dalam jangka
waktu pendek
mulai dengan dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai dg kondisi klinis
pasien penting : kepatuhan pasien
ada variasi individual terhadap respon obat antiepilepsi perlu pemantauan ketat
dan penyesuaian dosis
jika suatu obat gagal mencapai terapi yang diharapkan pelan-pelan dihentikan
dan diganti dengan obat lain (jgn politerapi)
lakukan monitoring kadar obat dalam darah jika mungkin, lakukan
penyesuaian dosis dgn melihat juga kondisi klinis pasien.
TERAPI FORMOL
Untuk optimalisasi terapi farmakologi epilepsi, dibutuhkan individualisasi
pengobatan, artinya tidak setiap orang mendapatkan obat anti-epilepsi yang sama.
Contohnya, pemberian obat untuk anak anak berbeda dengan obat untuk wanita
hamil dan orang tua, hal ini berhubungan erat dengan efek samping obat yang
mungkin tidak dapat ditoleransi oleh masing masing grup (anak, wanita,orang tua)
tersebut.
Pemilihan obat utama untuk epilepsi bergantung pada tipe epilepsi yang
diderita, efek samping yang mungkin terjadi, dan pilihan pasien itu sendiri. Maka
dari itu, untuk memilih obat anti-epilepsi yang tepat, kita tidak hanya harus
mengerti mekanisme kerja obat dan spektrum kerjanya, akan tetapi kita juga harus
mengetahui aktivitas farmakokinetiknya dan efek samping yang mungkin muncul
dari penggunaan obat tersebut.
Pada umumnya, mekanisme kerja obat antiepilepsi dapat dikategorikan sebagai
berikut :
1. Mempengaruhi ion channel
Obat anti epilepsi jenis ini diduga bekerja dengan cara mempengaruhi ion channel
Ca dan Na yang memegang peranan penting dalam transmisi sinyal sistem saraf.
2. Meningkatkan konsentrasi inhibitor neurotransmitter
Obat tipe ini umumnya mengamplifikasi kadar GABA yang dikenal sebagai
inhibitor neurotransmitter di dalan sistem saraf pusat.
3. Modulasi / mengatur pengeluaran neurotransmitter pengeksitasi
Obat jenis ini bekerja dengan cara mengganggu atau mengantagonis
neurotransmitter pengeksitasi seperti aspartat dan glutamat. Obat obatan
antiepilepsi yang efektif terhadap seizure GTC dan parsial umumnya mengurangi
aktivasi repetitif potensial aksi dengan cara memperlambat proses aktivasi ion
channel Na. Sementara itu obat obatan yang mereduksi ion channel kalsium tipe T
umumnya efektif.
B. SARAN
Bahwa setelah membaca makalah ini, para pembaca dapat mengetahui dan
menghindari hal-hal apa yang dapat menyebabkan epilepsi dan bagaimana cara
pencegahan dan perawatan bagi penderita.
DAFTAR PUSTAKA