You are on page 1of 12

KEHAMILAN EKTOPIK

A. Pengertian
Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar
endometrium kavum uteri (Mansjoer, 2001).
Kehamilan ektopik adalah salah satu komplikasi kehamilan di mana ovum
yang sudah dibuahi menempel di jaringan yang bukan dinding rahim
(http://id.wikipedia.co.id).
Suatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di lokasi-
lokasi selain cavum uteri, seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen.
Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul
gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang
menyebabkan penurunan keadaan umum pasien (Bader, 2005).
Kehamilan ektopik (ectopic pregnancy) merupakan kehamilan yang terjadi
dimana telur yang telah dibuahi berimplantasi di luar endometrium kavum uteri.
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba, jarang yang berimplantasi di
ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, kornu terus yang rudimenter, dan
divertikel pada uterus (http://healthisforall.blogspot.com).
Kehamilan ektopik terganggu ( KET ) ialah kehamilan ektopik tuba yang
ruptur (http://shafamedica.wordpress.com).
Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah kegawatdaruratan obstetrik yang
mengancam nyawa ibu dan kelangsungan hidup janin, serta merupakan salah satu
penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada trimester pertama. Karena
manifestasinya yang cukup dramatis, sering kali KET dijumpai terlebih dahulu
bukan oleh dokter-dokter ahli kebidanan, melainkan dokter-dokter yang bekerja di
unit gawat darurat, sehingga entitas ini perlu diketahui oleh setiap dokter. Di masa
lampau KET hampir selalu fatal, namun berkat perkembangan alat diagnostik yang
canggih morbiditas maupun mortalitas akibat KET jauh berkurang. Meskipun
demikian, kehamilan ektopik masih merupakan salah satu masalah utama dalam
bidang obstetri. Perkembangan teknologi fertilitas dan kontrasepsi memang di satu
sisi menyelesaikan masalah infertilitas maupun KB, namun di sisi lain menciptakan
masalah baru. Kehamilan ektopik dapat terjadi sebagai akibat usaha fertilisasi in
vitro pada seorang ibu, dan kehamilan ektopik tersebut dapat menurunkan
kesempatan pasangan infertil yang bersangkutan untuk mendapatkan anak pada
usaha berikutnya. Masalah yang lain ialah masalah diagnosis. Tidak semua pusat
kesehatan di negara ini mempunyai fasilitas pencitraan, dan dalam menghadapi

0
pasien yang datang dengan keluhan maupun tanda KET, tidak semua dokter,
terutama primary-care physician, segera memikirkan KET sebagai salah satu
diagnosis banding. Hal ini mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan terapi yang
adekuat. Kehamilan ektopik yang belum terganggu juga menjadi masalah tersendiri,
karena seolah-olah menjadi bom waktu dalam tubuh pasien. Hal ini terjadi bila tidak
ada fasilitas diagnostik yang menunjang, seperti yang terjadi di berbagai daerah rural
di Indonesia. Dengan diagnosis yang tepat dan cepat kesejahteraan ibu, bahkan janin,
dapat ditingkatkan (http://id.wikipedia.co.id).

B. Etiologi
Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat
perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan
kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba
akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap
diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke
dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun
ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum
uteri. Selain itu ada pula faktor-faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba
yang berhubungan dengan faktor hormonal dan defek fase luteal. Dalam hal ini
gerakan peristalsis tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum
zigot mencapai kavum uteri. Dikatakan juga bahwa meningkatnya usia ibu akan
diiringi dengan penurunan aktivitas mioelektrik tuba. Teknik-teknik reproduktif
seperti gamete intrafallopian transfer dan fertilisasi in vitro juga sering menyebabkan
implantasi ekstrauterin. Ligasi tuba yang tidak sempurna memungkinkan sperma
untuk melewati bagian tuba yang sempit, namun ovum yang telah dibuahi sering kali
tidak dapat melewati bagian tersebut. Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini
dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang
mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR
tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi
kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan
tersebut adalah kehamilan ektopik (http://id.wikipedia.co.id).
Etiologi yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik yaitu bila perjalanan
menuju uterus telur yang sudah dibuahi di bagian ampula tuba mengalami hambatan,
yang dapat diakibatkan oleh endosalpingitis, hipoplasi uteri, pasca operasi tuba dan
sterilisasi yang tidak sempurna, endometriosis tuba, divertikel tuba, perlekatan
peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba, tumor yang menekan dinding tuba, atau
migrasi luar ovum.

1
Karena tuba bukan merupakan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi,
sebagian besar kehamilan di tuba terganggu pada usia kehamilan 6-10 minggu. Hasil
konsepsi dapat mati dini dan direabsorpsi. Abrtus dapat terjadi ke dalam lumen tuba,
dimana terjadi perdarahan karena pembentukan pembuluh-pembuluh darah oleh vili
korialis pada dinding tuba di tempat implantasi sehingga melepaskan mudigah dari
dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Ruptur dinding
tuba dapat pula terjadi karena terjadi penembusan vili korialis ke dalam lapisan
muskularis tuba hingga ke peritoneum atau karena trauma ringan seperti saat koitus
dan pemeriksaan vagina. Hal itulah yang disebut sebagai kehamilan ektopik
terganggu (KET) (http://healthisforall. blogspot.com).
Faktor yang menyebabkan terjadinya persalinan ekstopik terganggu :
1. Faktor tuba, yaitu salpingitis, perlekatan tuba, kelainan kongenital tuba,
pembedahan sebelumnya, endometriosis, tumor yang mengubah bentuk tuba, dan
kehamilan ektopik sebelumnya
2. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom dan malformasi
3. Faktor ovarium, yaitu migtrasi luar ovum (perjalanan ovum dari ovarium kanan
ke tuba)
4. Penggunaan hormon eksogen (estrogen) seperti pada kontrasepsi oral
5. Faktor lain, antara lain aborsi tuba dan pemakaian IUD (Mansjoer, 2001).

C. Patofisiologi
Ovum yang telah dibuahi berimplantasi di tempat lain selain di endometrium
cavum uteri.
Prinsip patofisiologi : gangguan / interferensi mekanik terhadap ovum yang
telah dibuahi dalam perjalanannya menuju cavum uteri (http://healthisforall.
blogspot.com).
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi
tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga
abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel
kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot
melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai
darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar,
zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup
oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua, yang disebut pseudokapsul.
Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan
miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut.
Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi

2
oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi dan
banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas (Bader, 2005).
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami
hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda
kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun
berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium
menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya
bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella.
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk
berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah: 1)
hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi, 2) abortus ke dalam lumen tuba, dan 3)
ruptur dinding tuba.
Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars
ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada
abortus tuba, bila pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka
perdarahan akan terus berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit,
terbentuklah mola kruenta. Tuba akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan
darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga
berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel retrouterina.
Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal,
karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars
interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada
di dalam kavum uteri yang lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars
interstitialis disangka sebagai kehamilan intrauterin biasa. Perdarahan yang terjadi
pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena suplai darah berasal
dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah
kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan
kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan. Ruptur, baik pada
kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara
spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila
setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion
dan dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di rongga
abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan
implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen
(http://id.wikipedia.co.id).

3
D. Patogenesis
Kehamilan ektopik dapat berupa kehamilan tuba, kehamilan ovarial,
kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal dan kehamilan intraabdominal. Yang
paling sering terjadi adalah kehamilan tuba. Kehamilan tuba dapat terjadi pada pers
interstisialis, pars ismika, pars ampularis, dan infundibulum tuba
(http://id.shvoong.com).
Kehamilan intrauterin dapat terjadi bersamaan dengan kehamilan ektopik.
Disebut comined ectopic pregnancy bila terjadi bersamaan dan compound ectopic
pregnaney bila kehamilan ektopik terjadi lebih dahulu dengan janin sudah mati dan
menjadi litopedion (Mansjoer, 2001).
Hasil konsepsi bernidasi komunar atau interkolumnar dan biasanya akan
terganggu pada kehamilan 6-10 minggu, berupa :
1. Hasil konsepsi mati dan diresorpsi
2. Aortus ke dalam lumen tuba
3. Rupur dinding tuba
Uterus menjadi besar dan lembek, endometrium dapat berubah menjadi desidua
karena pengaruh estrogen dan progesteron dari korpus luteum gravidatatis dan
trofoblas. Pada endometrium juga dapat ditemukan fenomena Aria-Stella (Mansjoer,
2001).

E. Manifestasi klinis
1. Amenore
2. Gejala kehamilan muda
3. Nyeri perut bagian bawah. Pada ruptur tuba nyeri terjadi tiba-tiba dan hebat,
menyebabkan penderita pingsan syok. Pada aortus, tuba nyeri mula-mula pada
satu sisi dan bila terjadi hematokel retrouterina terdapat nyeri defekasi
4. Perdarahan pervaginam berwarna coklat tua.
5. Pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digerakkan, nyeri
pada perabaan dan kavum Donglasi menonjol karena ada bekuan darah
(Mansjoer, 2001).

F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium : kadar hemoglobin, leukosit, tes kehamilan bila baru
terganggu
2. Dilatasi kuretase
3. Kuldosentesis, yaitu suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah di dalam
kavum douglasi terdapat darah. Teknik kuldosentesis :
a. Baringkan pasien dalam posisi litotomi

4
b. Bersihkan vulva dan vagina dengan antiseptik
c. Pasang spekulum dan jepit bibir belakang porsio dengan cunam serviks,
lakukan traksi ke depan sehingga forniks posteior tampak
d. Suntikkan jarum spinal ke kavum Douglasi dan lakukan pengisapan dengan
smprit 10 ml
e. Bila pada pengisapan keluar darah, perhatikan apakah darahnya berwarna
coklat sampai hitam yang tidak membeku atau berupa bekuan kecil yang
merupakan tanda hematokel retrouterina.
4. Ultrasonografi berguna pada 5-10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar
uteus
5. Laparoskopi atau laparotomi sebagai pendekatan diagnosis terakhir

G. Diagnosis
Penegakkan diagnosis pada kehamilan ektopik belum trganggu sulit sehinga
memerlukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis, yaitu USG, laparoskopi,
atau kuldoskopi

Penegakkan diagnosis pada kehamilan ektopik terganggu dapat didapatkan


dari :
1. Anamnesis : amenore dan kadang terdapat tanda hamil muda, nyeri perut bagian
bawah, nyeri bahu, tenesmus, dan perdarahan pervaginam setelah nyeri perut
bagian bawah
2. Pemeriksaan umum : penderita tampak kesakitan dan pucat : pada perdarahan
dalam rongga perut dapat ditemukan tanda-tanda syok
3. Pemeriksaan ginekologi : ditemukan tanda-tanda kehamilan muda, rasa nyeri
pada pergerakan serviks ; uterus dapat teraba agak membesar dan kadang teraba
tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan : kavum/Douglasi
menonjol, berisi darah dan nyeri bila diraba.
4. Pemeriksaan laboratorium : hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel
darah merah dapat meningkat (Mansjoer, 2001).

H. Diagnosis banding
Infeksi pelvik, abortus iminens atau insipiens, kista ovarium, ruptur korpus
luteum, kista folikel dan apendisitis (Mansjoer, 2001).

I. Penatalaksanaan
Tatalaksana KET pada umumnya laparotomi dengan mempertimbangkan
kondisi pasien, fungsi reproduksi, lokasi KET, kondisi anatomi rongga pelvis, dan

5
fasilitas yang ada. Apabila kondisi pasien buruk atau syok, dapat dilakukan
salpingektomi. Jika fungsi reroduksi ingin dipertahankan biasanya hanya dilakukan
salpingostomi atau reanastomosis tuba. KET dapat juga ditatalaksana dengan
melakukan laparoskopi, fimbrial evacuaton, dan partial salpingectomy.
Pada kasus kehamilan ektopik di tuba pars ampularis yang belum terganggu
(pecah) dapat menggunakan kemoterapi dengan syarat: kehamilan di tuba pars
ampularis belum pecah, diameter kantong gestasi kurang atau sama dengan 4 cm
pada pemeriksaan USG, perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 mL, tanda
vital dalam kondisi stabil. Obat yang digunakan adalah Metrotrexat 1 mg/kg BB IV
dan Citovorum Factor 0,1 mg/kg BB, berselang-seling selama 8 hari
(http://healthisforall.blogspot.com).
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain
lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan
tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan
pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan
ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang
belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik
terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam
kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi
(expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
1. Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75%
pasien -hCG. Padadengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar
-hCG yangpenatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar
stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien
dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini.
Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan
-hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3) tidak adaektopik dengan kadar
perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak -
hCG awal harus kurangmelebihi 3.5 cm. Sumber lain menyebutkan bahwa
kadar dari 1000 mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm.
Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan
tuba.
2. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak
integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima
tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan

6
hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung
janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus
teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4
bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak
menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal,
hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap
pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi
kehamilan ektopik secara medis (http://id.wikipedia.co.id).

J. Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik cenderung turun dengan diagnosis dini
dan persediaan darah yang cukup. Sebagian wanita menjadi steril setelah mengalami
kehamilan ektopik atau mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi lain. Angka
kehamilan ektopik berulang dilaporkan 0-14% (Mansjoer, 2001).

K. Varian-Varian Kehamilan Ektopik


1. Kehamilan Abdominal
Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik
sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga
abdomen. Implantasi primer di dalam rongga abdomen amatlah jarang.
Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih tinggi daripada
kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamila intrauterin.
Morbiditas maternal dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi
intravaskular diseminata (DIC), emboli paru atau terbentuknya fistula antara
kantong amnion dengan usus. Pada kehamilan abdominal yang khas, plasenta
yang telah menembus dinding tuba secara bertahap membuat perlekatan baru
dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun juga mempertahankan
perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta
mengadakan implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga
abdomen. Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi
seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik plika
vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks kecurigaan
yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut, meskipun tidak
patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan suatu kehamilan
abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus antara kandung kemih dengan
janin, 2) plasenta terletak di luar uterus, 3) bagian-bagian janin dekat dengan
dinding abdomen ibu, 4) letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion

7
antara plasenta dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan visualisasi yang
jauh lebih baik daripada USG.
Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup sebesar
10-25%, namun angka malformasi kongenital pada bayi ekstrauterin cukup
tinggi akibat oligohidramnios, dan hanya 50%-nya dapat bertahan hidup lebih
dari satu minggu. Kelainan kongenital yang ditemukan umumnya berupa
abnormalitas wajah, kranium dan ekstremitas. Kehamilan abdominal pula
memberikan ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi
sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk
diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena
letak janin yang sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan
mudah mencapai janin dan berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin
akan mengalami supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur
sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat merusak organ-organ
ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin yang
mati mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam
rongga abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal
sangat berisiko tinggi. Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan
ketidakmampuan tempat implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi
seperti miometrium. Sebelum operasi, cairan resusitasi dan darah harus tersedia,
dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur intravena yang cukup besar.
Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula. Plasenta boleh
diangkat hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta tersebut
dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu dapat
dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering mengakibatkan perdarahan hebat,
umumnya plasenta ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta
yang lepas sebagian terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat
dihentikan dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan in
situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan. Komplikasi-
komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis, pembentukan abses
intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta, serta preeklamsia
persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan -hCG serum. Pemberianpencitraan
ultrasonografi dan pengukuran kadar methotrexate untuk mempercepat involusi
plasenta tidak dianjurkan, karena degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat
akan menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik, yang selanjutnya dapat
mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-arteri yang mendarahi
tempat implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik

8
2. Kehamilan Ovarium
Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun 1878,
Spiegelberg merumuskan criteria diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba pada sisi
ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi harus menempati posisi ovarium, 3)
ovarium dan uterus harus berhubungan melalui ligamentum ovarii, dan 4)
jaringan ovarium harus ditemukan dalam dinding kantong gestasi. Secara umum
faktor risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan tuba.
Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada
daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada
tahap awal. Manifestasi klinik kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik
kehamilan tuba atau perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan ovarium
pada awalnya dicurigai sebagai kista korpus luteum atau perdarahan korpus
luteum. Kehamilan ovarium terganggu ditangani dengan pembedahan yang
sering kali mencakup ovariektomi. Bila hasil konsepsi masih kecil, maka reseksi
parsial ovarium masih mungkin dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan
untuk terminasi kehamilan ovarium yang belum terganggu
3. Kehamilan Serviks
Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup
jarang. Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah
diajukan. Burg mengatakan bahwa kehamilan serviks disebabkan transpor zigot
yang terlalu cepat, yang disertai oleh belum siapnya endometrium untuk
implantasi. Dikatakan pula bahwa instrumentasi dan kuretase mengakibatkan
kerusakan endometrium sehingga endometrium tidak lagi menjadi tempat nidasi
yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan serviks mengindikasikan
adanya hubungan antara kehamilan serviks dengan kuretase traumatik dan
penggunaan IUD pada sindroma Asherman. Hubungan serupa juga tercermin
pada fakta bahwa Jepang, di mana angka kuretase juga tinggi, memiliki angka
kehamilan serviks yang tertinggi di antara negara-negara lain. Kehamilan serviks
juga berhubungan dengan fertilisasi in-vitro dan transfer embrio. Pada kehamilan
serviks, endoserviks tererosi oleh trofoblas dan kehamilan berkembang dalam
jaringan fibrosa dinding serviks. Lamanya kehamilan tergantung pada tempat
nidasi. Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis, semakin besar
kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin besar pula tendensi perdarahan
hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa sakit dijumpai pada 90% kasus, dan
sepertiganya mengalami perdarahan hebat. Kehamilan serviks jarang melewati
usia gestasi 20 minggu. Prinsip dasar penanganan kehamilan serviks, seperti
kehamilan ektopik lainnya, adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang
melewati usia gestasi 20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan

9
dievakuasi dengan kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada kehamilan
serviks sering kali mengakibatkan perdarahan hebat karena serviks mengandung
sedikit jaringan otot dan tidak mampu berkontraksi seperti miometrium. Bila
perdarahan tidak terkontrol, sering kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini
menjadi dilema, terutama bila pasien ingin mempertahankan kemampuan
reproduksinya. Beberapa metode-metode nonradikal yang digunakan sebagai
alternatif histerektomi antara lain pemasangan kateter Foley, ligasi arteri
hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina, embolisasi arteri dan terapi
medis. Kateter Foley dipasang pada kanalis servikalis segera setelah kuretase,
dan balon kateter segera dikembangkan untuk mengkompresi sumber
perdarahan. Selanjutnya vagina ditampon dengan kasa. Beberapa pakar
mengusulkan penjahitan serviks pada jam 3 dan 9 untuk tujuan hemostasis
(hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi angiografik arteri
uterina adalah teknik yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan hasil
yang baik, seperti pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks di Italia24.
Sebelum kuretase dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau
kolagen dengan bantuan angiografi. Pada kasus tersebut, perdarahan yang terjadi
saat dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti pada kehamilan tuba,
methotrexate pun digunakan untuk terminasi kehamilan serviks. Methotrexate
adalah modalitas terapeutik yang pertama kali digunakan setelah diagnosis
kehamilan serviks ditegakkan. Namun pada umumnya methotrexate hanya
memberikan hasil yang baik bila usia gestasi belum melewati 12 minggu.
Methotrexate dapat diberikan secara intramuskular, intraarterial maupun
intraamnion
4. Kehamilan Ektopik Heterotipik
Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan
intrauterin. Kehamilan heterotipik ini sangat langka. Hingga satu dekade yang
lalu insidens kehamilan heterotipik adalah 1 dalam 30,000 kehamilan, namun
dikatakan bahwa insidensnya sekarang telah meningkat menjadi 1 dalam 7000,
bahkan 1 dalam 900 kehamilan, berkat perkembangan teknik-teknik reproduksi.
Kemungkinan kehamilan heterotipik harus dipikirkan pada kasus-kasus sebagai
berikut: 1) assisted reproduction technique, 2) bila hCG tetap tinggi atau
meningkat setelah dilakukan kuretase pada abortus, 3) bila tinggi fundus uteri
melampaui tingginya yang sesuai dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari
2 korpus luteum, 5) bila terdeteksi pada USG adanya kehamilan ektra- dan
intrauterin (Bader, 2005).

10
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Buku 1, Media Aesculapius, FKUI
http://id.wikipedia.co.id/2009/12/2/kehamilan-ektopik-terganggu.html
http://healthisforall.blogspot.com/2008/01/kehamilan-ektopik-terganggu.html

http://shafamedica.wordpress.com/2008/05/09/kehamilan-ektopik-terganggu.html

http://en.wikipedia.org/wiki/ectopic-pregnancy.html

11

You might also like