You are on page 1of 2

Perilaku Agresif dalam Pendidikan

Perilaku agresif siswa di sekolah sudah menjadi masalah yang universal (Neto, 2005), dan
akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat. Berita tentang terlibatnya para siswa dalam
berbagai bentuk kerusuhan, tawuran, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya semakin sering
terdengar. Perilaku agresif siswa di sekolah sangat beragam dan kompleks. Persoalan perilaku
agresif siswa semakin kompleks manakala perilaku agresif akhir-akhir ini juga dipertontonkan
oleh guru, ada guru yang memukul siswanya, bahkan ada yang sampai
menganiaya/membunuh siswanya.Contoh yang lebih konkrit adalah:

Agresivitas di dalam dunia pendidikan yang paling fenomenal mungkin adalah


agresivitas yang dilakukan senior kepada junior di IPDN Bandung. Cliff Muntu meninggal dunia
akibat tendangan bebas ke dada dan pukulan bertubi-tubi ke uluhati dari senior-seniornya
(www.atmajaya.ac.id. Namun, agresivitas di dunia pendidikan yang menghebohkan bukan itu
saja. Di kalangan pelajar, agresivitas antar pelajar telah lama menjadi persoalan, salah satu di
antaranya adalah peristiwa tawuran antar pelajar. Sebagai contoh, puluhan siswa SMK Bhakti
sedang nongkrong di kampus Universitas Kritsen Indonesia (UKI) Jakarta. Tiba-tiba puluhan
siswa SMK Penerbangan menyerang mereka dengan senjata tajam. Akibatnya, seorang siswa
menderita luka bacok di kepala dan pahanya dalam tawuran tersebut (Tempointeraktif, 18
Februari 2007).
Perilaku agresif yang terjadi di lingkungan pendidikan jika tidak segera ditangani, di
samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung
untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Situasi demikian akan membentuk siswa
untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap
biasa dan akan semakin meluas.
Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan
sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given), tetapi merupakan perilaku yang
terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan. Dengan demikian, siswa yang mempunyai
perilaku agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku
yang lebih positif. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif
terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan
rendahnya kemampuan anak dalam mengatur/ mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui
pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan
dapat direduksi.
Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, tempat yang aman dan
sehat, tempat di mana para siswa dapat mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki
dengan sepenuhnya. Namun, masuk ke dalam lingkungan sekolah bagi seorang siswa ternyata
tidak selalu menyenangkan, mungkin malah sebaliknya bisa membuat mereka stress, cemas
dan takut. Bayangan akan terjadinya tindak kekerasan saat memasuki lingkungan sekolah
sering menghantui siswa.
Menurut Todd, Joana, dkk. (dalam Nataliani, 2006), kekerasan dalam bentuk fisik
maupun verbal di kalangan siswa telah menjadi sebuah masalah serius yang ada di berbagai
negara di seluruh dunia. Perilaku agresif siswa telah menimbulkan dampak negatif, baik bagi
siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami
masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan juga kehidupanya.
Sehubungan dengan perilaku agresif siswa di sekolah, Wilson, et al. (2003: 136)
menyatakan: These behaviors, even when not overtly violent, may inhibit learning and create
interpersonal problems for those involved.Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Goldstein,
Harootunian, & Conoley, (1994), Wilson, et al. (2003) menyatakan: In addition, minor forms of
aggressive behavior can escalate, and schools that do not effectively counteract this
progression may create an environment in which violence is normatively acceptable. Dengan
demikian, jika perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah tidak segera ditangani, di
samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung
untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Semakin sering siswa dihadapkan pada
perilaku agresif, siswa akan semakin terbiasa dengan situasi buruk tersebut, kemampuan siswa
untuk beradaptasi dengan perilaku agresif akan semakin tinggi, dan akan berkembang pada
persepsi siswa bahwa perbuatan agresif merupakan perbuatan biasa-biasa saja, apalagi jika
keadaan ini diperkuat dengan perilaku sejumlah guru yang cenderung agresif pula ketika
menghadapi murid-muridnya. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan
berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan
semakin meluas.

You might also like