You are on page 1of 194

1

Syari'ah dan Tafsr al-Qurn


Elaborasi Maqshid dalam tafsir Ibn syr

TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister
dalam Ilmu Agama Islam

oleh:
Abdul Aziz Muchammad
NIM: 06.2.00.1.14.08.0069

Pembimbing:
Dr. Yusuf Rahman, MA

KONSENTRASI ULM AL-QURN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
2

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Abdul Aziz Muchammad


NIM : 06.2.00.1.14.08.0069
Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 04 Pebruari 1979

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Syari'ah dan


Tafsr al-Qurn: Elaborasi Maqshid dalam tafsir Ibn syr
ini benar-benar merupakan karya asli saya kecuali kutipan-kutipan yang saya
sebutkan sumbernya. Segala kesalahan dan kekurangan di dalamnya sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya dengan konsekuensi pencabutan gelar.

Jakarta, 18 Desember 2008

Abdul Aziz Muchammad


3

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis saudara Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069


yang berjudul Syari'ah dan Tafsr al-Qurn: Elaborasi
Maqshid dalam tafsir Ibn syr telah diperiksa dan dinyatakan
layak untuk diajukan ke Sidang Ujian Tesis.

Jakarta, 18 Desember 2008

Pembimbing

Dr. Yusuf Rahman, MA


4

PENGESAHAN

Tesis saudara Abdul Aziz Muchammad NIM:


06.2.00.1.14.08.0069 yang berjudul Syari'ah dan Tafsr al-

Qurn: Elaborasi Maqshid dalam tafsir Ibn syr yang


diujikan pada tanggal 27 Desember 2008, dan telah diperbaiki sesuai
saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

Jakarta, 30 Desember 2008

1. Dr. Yusuf Rahman, MA 1..


Pembimbing/Ketua/Merangkap Penguji

2. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA 2..


Penguji I

3. Dr. Asep Saepuddin Jahar 3.


Penguji II
5

PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI

A. Konsonan

= b = th
= t = zh
= ts =
= j = gh
= h = f
= kh = q
= d = k
= dz = l
= r = m
= z = n
= s = w
= sy = h
= sh = `
= dh = y

B. Vokal

Vokal Tunggal : = a = I = u
Vokal Panjang : =
= =
Vokal Rangkap :
= ay = aw

C. Lain-lain

- Transliterasi syaddah atau tasydd ( ) dilakukan dengan menggandakan huruf


yang sama.
6

- Transliterasi ta` marbthah ( ) adalah h, termasuk ketika ia diikuti oleh kata


sandang al ( ) , kecuali dalam transliterasi ayat al-Qur`an.
- Nama-nama dan kata-kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan latin,
pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut.

D. Translasi
- Kecuali terjemahan al-Qur`an, dan kecuali dinyatakan sebaliknya, seluruh
terjemahan dalam tesis ini adalah milik penulis.
- Untuk terjemahan al-Qur`an, penulis mengutip Mushaf al-Qur`an Terjemah,
Departemen Agama RI, edisi tahun 2006, dengan beberapa penyesuaian.
7

ABSTRAK

Tesis ini membuktikan bahwa penafsiran dengan


menggunakan Maqshid al-Qurn akan membuahkan tafsiran
makna lafadz secara elastis. Karena ia merujuk kepada keumuman
dakwah, kandungannya mesti bisa dipahami oleh orang-orang yang
hidup di masa penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesimpulan diatas menguatkan gagasan Rasyd Ridh dalam
al-Wahyu al-Muhammady [Maktabah al-Islami], sebagaimana
kedua gurunya Muhammad Abduh dan al-Afghni yang
mewajibkan penerapan maqshid al-Qurn dalam penafsiran
[sebagaimana ditulis oleh al-Daghamin dalam karyanya manhaj al-
Taamul maa al-Qurn f fikri Syeikh Muhammad Rasyd Ridh.
Belakangan Muhammad Izzat Darwaza juga meformulasikan
Maqshid al-Quran dengan istilah al-Usus wa al-Wasail [pokok-
pokok/ fundamental dan instrumen].
Fokus utama penelitian ini bersumber dari prinsip-prinsip
tafsir yang dirumuskan oleh Ibn syr dalam dua buah karyanya,
Maqshid al-Syarah al- Islmiyyah dan al-Tahrr wa al-Tanwr.
Penelitian ini juga berupaya untuk melakukan penilaian terhadap
prinsip-prinsip tersebut berdasarkan kriteria rigiditas dan ortodoksi
penafsiran kontemporer.
Pendekatan struktural (analysis structure) digunakan diletakkan
dalam kerangka yang bersifat historis dan komparatif_historis karena
penelitian ini juga mengkaji kondisi-kondisi psikologis, sosial, politik,
dan intelektual yang memengaruhi pemikiran Ibn syr, dan
komparatif karena ia mencoba membandingkan pemikiran Ibn
syr itu dengan al-Sytib seputar Maqshid dan prinsip-prinsip
tafsirnya.
Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa gagasan Ibn syr sering
digunakan untuk menggugat tekstualisme/rigiditas dalam tafsir. Selain itu, hasrat
untuk mencari legitimasi dari masa lalu demi kepentingan masa kini bisa
menyebabkan distorsi pada sejarah. Pembacaan terhadap karya-karya Ibn syr
melalui konteks sosial dan intelektual pada zamannya menyiratkan dugaan bahwa
karya-karya tersebut sebetulnya diajukan sebagai kritik sosial-keagamaan bagi
masyarakat Tunisia pada khususnya, dan masyarakat muslim dunia secara makro.
8

ABSTRACT

This Thesis proves that interpretation by using Maqshid al-


Qurn will produce exegesis [lafadz] in elastic meaning. Because,
Maqshid al-Qur`n refers to generally principle of missionary
endeavors [umm al-dawah]. Consequently, al-Qur`n must
contain things that can be comprehended [understanding] by life
people in a period of science and technology spreading.
The Conclusion above strengthen of Rasyd Ridh ideas in al-
Wahyu al-Muhammady, as the same manner as both his teachers;
Mohammed Abduh and al-Afghni. They oblige applying Maqshid
al-Qurn in interpretation [as the same manner as written by al-
Daghamin in his works of manhaj al-Taamul maa al-Qurn f fikri
Syeikh Mohammed Rasyd Ridh. Latter Mohammed Izzat Darwaza
also formulates Maqshid al-Quran with the basic
specifics/fundamental media and instrument [al-Usus wa al-
Wasail].
Concerning the source of interpretation principles that formulated by Ibn
Asyr in two unit [of] his works there are; Maqshid al-Syarah al
Islmiyyah and al-Tahrr wa al-Tanwr. This Research also copes to
conduct assessment to principles referred [as] base criteria of rigidities
and orthodoxy contemporary interpretation.
Structural Approach (analysis structure) in this research puts down
in framework that has character of historical and
comparability_historical because this research also assesses
psychological set of circumstances, social, politics, and intellectual that
influence idea of Ibn Asyr, and comparability because he tries to
compare idea Ibn Asyr between/with al-Sytib around Maqshid and his
principles of interpretation/exegesis.
Finally, This research proves that Ibn syrs ideas are frequently used to
criticize orthodoxy in Quran exegesis. And also the contention of this study that
those criticisms can, perhaps, be adopted completely only if Ibn syr himself is
overstepped. In addition, the desire to seek legitimacy from the past for the sake of
the present time can cause distortions in history. The reading of Ibn 'syrs works
suggestion through his social and intellectual context in the period that indicate and
implies that those works are proposed primarily as suspected papers are actually filed
as a criticism of social-religious society for Tunisia especially, and the world
community as a whole.
9



.


. ) (

.

: .
.


;


.
.


.
10

KATA PENGANTAR

Tesis ini berutang kepada banyak orang yang tidak seluruhnya bisa disebutkan
di sini. Kepada mereka semua, penulis menghaturkan terima kasih, penghargaan,
serta permohonan maaf setulus-tulusnya. Pertama, Dr. Yusuf Rahman yang telah
membimbing penulis selama melakukan penelitian. Kritik, saran, dan bantuannya
membuat penulisan tesis ini menjadi sesuatu yang menghibur dan menggairahkan.
Juga Dr. Fuad Djabali dan Prof. Suwito Dengan cara masing-masing, mereka telah
membantu rencana penulisan tesis ini menjadi sedikit lebih distingtif dengan
beberapa kali work in progress .
Bahan-bahan penulisan tesis ini diperoleh dari pelbagai sumber di Jakarta,
Yogyakarta, dan Surabaya, terutama di perpustakaan-perpustakaan UIN Jakarta dan
Yogyakarta, PSQ Jakarta, Iman Jama Jakarta. Tesis ini rasanya tidak akan selesai
sesuai harapan tanpa kemudahan akses yang diberikan oleh seluruh staf dan pegawai
di perpustakaan-perpustakaan tersebut. Secara personal, penulis ingin berterimakasih
kepada Syukron, pegawai Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta, untuk segala
bantuan dan keramahannya. Juga kepada teman-teman Ulmul Qurn yang banyak
memberi atensi dan motivasi semangat dan bantuan literatur-literatur yang mereka
berikan, pinjamkan, atau kirimkan.
Ada momen-momen tertentu ketika penulisan tesis ini terasa melelahkan dan
menjemukan, terutama saat-saat ketika ia seakan-akan tiba pada sebuah cul-de-sac.
Tetapi selalu ada sesuatu yang membuat semua itu menjadi tertanggungkan:
kehadiran Ibuku Hj. Achmada Sholichah yang dengan tabah dan sabar dalam
membimbing putra putrinya sepeningal ayah sebagai Single Parent yang tak kenal
patah arang/semangat, selalu memotivasi dan mendoaakanku setiap saat dalam
meraih asa dan ridho-Nya, semoga segala kebaikannya dilipatgandakan oleh Allah
Tala dan mendapat ridho-Nya sebagai bekal menuju kebahagiaan Akhirat, amin.
Tidak lupa penulis persembahkan al-Ftihah kepada (almaghfurlah) H.M. Hidayat
11

Tauhid ayah saya sendiri, tujuh tahun yang lalu telah menghadap Ilahi Rabbi semoga
segala amal kebaikan dilipatgandakan dan dosa-dosanya diampuni Allah Azza wa
Jalla, semoga dikumpulkan kelak bersama orang-orang saleh. Untuk saudara-
saudaraku Mas Rosyid, Mbak Sita, adikku Isa dan Anis yang selalu memberikan
motivasi, semoga semuanya diberi kelancaran dalam segala hal atas motivasinya
kepada penulis. Yang selalu mendampingiku dan mendoakanku setiap saat istriku
tercinta; Yayuk Rachmawati dan anakku Salfa Salsabila Nadya Aziz, tetanggaku baik
di kost, maupun di rumah terima kasihku kepada kalian semuanya.
Bagian-bagian tertentu dari tesis ini dirumuskan, dipertajam, diperbaiki, dan
disempurnakan berdasarkan inspirasi, diskusi, saran, serta kritik dari beberapa pihak.
Selain Pak Yusuf, Pak Fuad Djabali, dan Pak Muchis Hanafi, dan mereka yang telah
disebutkan di atas.
Dalam satu dan lain hal, tesis ini juga harus dipandang sebagai bagian dari
proses perjalanan intelektual penulis selama masa studi di Program Khusus Ulm
al-Qurn Beasiswa Depag, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Karena itu, penulis juga ingin berterima kasih kepada Prof. Dr. Quraish Shihab, Dr.
Muchlis Hanafi, Dr. Sahabuddin, Prof. Dr. Zainun Kamal, Prof.Dr. Suwito, MA, Dr.
Lutfi Fathullah, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Dr. Fuad Jabali, Prof. Dr. Salman
Harun, Dr. Uka Tjandrasasmita, Prof. Dr. Matsna HS,MA, Prof. Dr. Tajuddin, Dr.
Yusuf Rahman, Dr. Romlah, Dr. Faizah Ali Syibramalisi, serta untuk kuliah-kuliah
yang inspiratif dan mencerahkan.
Terakhir, guru-guruku mulai dari waktu kecil sampai sekarang yang namanya
sudah hampir lupa semuanya semoga ilmu yang mereka berikan bermanfaat kelak.
Semoga Allah memperkenankan doa yang seetiap kita panjatkan dan semoga Allah
selalu mencurahkan Rahmat dan ridho-Nya untuk mereka dan kita semua khususnya
pembaca dan penyempurna tesis ini, amin.

Ciputat, 18 Desember 2008


12

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................. i


SURAT PERNYATAAN ........................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iii
PENGESAHAN PENGUJI
......................................................................................iv
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI .......................... v
ABSTRAK ........................................................................... vii
KATA PENGANTAR .............................................................. x
DAFTAR ISI ....................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN
A.................................................................................................... Lat
ar Belakang Masalah/Dasar Pemikiran
......................................1
B. Permasalahan ................................................... 20
1. Identifikasi Masalah
................................................................21
2. Pembatasan Masalah
...............................................................21
3. Rumusan Masalah
...................................................................22
C. Survei Literatur/Penelitian terdahulu yang relevan . 21
D. Tujuan Penelitian .............................................. 26
E. Signifikansi Penelitian ....................................... 27
F. Metodologi Penelitian ......................................... 27
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data ................... 27
2. Pendekatan Masalah ...................................... 28
13

G. Sistematika Penulisan ....................................... 29

BAB II MAQSHID DAN PEMBACAAN AL-QURN


.............................31..........................................
A. Ibn syr dan Penafsiran
kontemporer........................................33
B. Maqshid Perspektif Ulama Salaf dan
Khalaf.............................55
C. Kebebasan, Kemaslahatan, dan batasan-
batasannya.................... 63
D. Rigiditas dan Elastisitas Tafsir: Generalitas dan Pengujian
Teori 69
14

BAB III FORMULASI MAQSHID DAN PRINSIP-PRINSIP TAFSR IBN


SYR .. 79
A. Prinsip-prinsip dasar penafsiran Ibn syur
...................................79
B. Maqshid al-ashliyyah dalam tafsir Ibn
syr.............................107
1) Memperbaiki dan mengajarkan
akidah..................................107
2) Penanaman dasar
akhlak........................................................109
3) Menetapkan hukum-hukum syariat [Umum dan
Khusus].....110
4) Strategi Pemberdayaan Umat (siysah al-
ummah)................111
5) Maqshid al-ashliyyah al-Qasas al-Qurn
..........................112
6) Pengajaran Syariat sesuai dengan perkembangan
zaman.....113
7) Motivasi dan ancaman [al-targhb wa al-
tarhb]................. .114
8) Ijz al-Qurn sebagai bukti risalah
Kenabian.................... 114
C. Maqshid al-Qurn/asliyyah dan urgensitasnya
bagi ilmu al-Qurn
.................................................................... 117
15

BAB IV APLIKASI MAQSHID DALAM PENAFSIRAN DAN RESPON


AKADEMIK
....................................................................................
...123
A. Aplikasi Maqshid al-asliyah pada ayat-ayat
Hukum...................126
1) Perintah Shalat dan zakat dalam surah al-
Baqarah................133
2) Perintah Puasa dan Hikmahnya dalam surah al-
Baqarah .....145
B. Respon akademik terhadap gagasan Maqshid
dan penafsiran Ibn
syr............................................................150
C. Ibn syr dan ortodoksi penafsiran
Kontemporer........................154
16

BAB V PENUTUP
..........................................................................................
160
A. Kesimpulan ....160
B. Saran-saran ....163

DAFTAR PUSTAKA
........................................................................................ 164
17

BAB I
PENDAHULUAN
18

A. Latar belakang masalah


Kajian Maqshid pada umumnya mengikuti pada bagian kajian ilmu ushl
(fiqh), dan syarah. Seperti halnya al-Sytib (730 H/1388 M),1 dia membangun
kembali kerangka sistematika ilmu ushl (fiqh) yang konvensional dari arsitek
sebelumnya yaitu Al-Syfi'i (w.204 H).2 Kemudian al-Sytib menambahkan bahwa
Dasar dan tujuan diletakkannya syariat tidak lain, yaitu untuk kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat.3 Ruang lingkup Maqshid Syarah mencakup semua
hukum publik, individual, kesehatan, bahkan kesopanan serta moral dan akhlak.4
Kemaslahatan disini dipahami sebagai bentuk kemanfaatan yang dikehendaki
Allah yang Maha Bijak (Al-Hakm) bagi hambanya [umat manusia] agar senantiasa

1
Nama lengkapnya adalah Ab Ishq Ibrhm ibn Msa ibn Muhammad al-Lakhmi al-Garnati
al-Sytib . Lihat lebih lanjut Khayr al-Dn al-Dzirikli, Al-Alm: Qmus Tarjim li Asyhr al-Rijl wa
al-Nis` min al-Arb wa al-Mustaribin wa al-Mustsyriqn, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin,
cet. 9, 1990), hal. 75. Bandingkan dengan Umar Ridh Kahhalah, Mujam al-Mu`llifin: Tarjim
Musnnifi al-Kutub al-Arbiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, 1957), hal. 118. .
Sementara itu, Abd al-Mutal al-Sad bahkan membandingkan jasa al-Sythib dalam perumusan
maqshid al-syarah dengan jasa al-Syfi dalam perumusan ushul fiqh. Lihat Hammd al-Ubayd,
Al-Sythib wa Maqshid al-Syarah, hal. 132.
2
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir f Zhill al-Qurn yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun itibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhnahu wa Tala, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqdah Aqdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qurn (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb Alamn. Juz 4 hal. 26
3
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir f Zhill al-Qurn yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun itibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhnahu wa Tala, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqdah Aqdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qurn (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb Alamn. Juz 4 hal. 26
4
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir f Zhill al-Qurn yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun itibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhnahu wa Tala, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqdah Aqdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qurn (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb Alamn. Juz 4 hal. 26
19

agamanya, jiwa dan raganya, akal dan keturunannya serta hartanya [secara hirarkis]
terjaga dan terpelihara dalam pelbagai kondisi secara berkesinambungan."5
Selain itu, ketika Fahmi Huwaydi menyatakan bahwa pembacaan yang benar
(al-qir`ah al-shahhah) terhadap al-Qur`n harus mempertimbangkan aspek
Maqshid al-Syarah, selain aspek bahasa, dia menyandarkan pendapatnya itu
kepada pandangan Abdullah Darrz dalam pengantar untuk kitab al-Muwfaqt,
karya al-Sytibi.6

Al-Sytib (1388 M) tidak saja menandai pergeseran disiplin keilmuan di bidang


ushul fiqh, melainkan juga di bidang tafsir dan hermeneutika al-Qur`n.7 Ia
menjadikan penyangganya (Maqshid al-syarah) kokoh serta mencapai kemapanan
secara integral, hal tersebut terbukti bahwa substansi teori al-Sytib mampu
memberikan pemahaman kepada kita tentang konstruksi intelektual mengenai hukum
modern.8

5
Lihat lebih lanjut uraian Sa'id Ramadhn Al Bty dalam Dhawbit al-Maslahh fi syarah
Islmiyah (Muassasah Risalah, 1987) hal. 27-28, bandingkan dengan pandangan Mahmd Syaltt
dalam Islam 'Aqdatan wa Syaratan , dar-el Syuruq 1975, hal. 496. Lihat juga Abd. Salam 'Arif
mengeksplorasi pandangan hukum Syaltut dalam pembaruan pemikiran hukum Islam (pembaruan dan
fakta), LESFI Yoyakarta, cet-1 2003, hlm 177-181, lihat, Al-Qaradhwi, Dirsah f fiqhi Maqshid al
syarah bayna al Maqshid al kulliyah wa al-nushus al juzyiyyah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 )
hal 19-20
6
Lihat Fahmi Huwaydi, Al-Qur`n wa al-Sultn (Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 5, 2002), hal. 53-
56.
7
Lihat dalam David Johnston, A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth
Century Usul al-Fiqh, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004, hal. 252-253. Lihat
juga uraian Wael B. Hallaq tentang gagasan al-Sytib , A History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Ushl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 206. bid
al-Jbiri menyatakan bahwa al-Sytib telah memodifikasi atas asumsi-asumsi dasar epistemologi
baynisebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah penetapan aturan-aturan
interpretasi bagi al-Qur`an, al-khitb al-mubin. Lihat Muhammad Abid al-Jbiri, Bunyah al-Aql al-
Arabi: Dirsah Tahlliyyah Naqdiyyah li Nuzhm al-Marifah fi al-Tsaqfah al-Arabiyyah (Beirut:
al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 534-536.
8
Ahmad Al Risny, ia menegaskan bahwa al-Sytib belum memberikan definisi Maqshid
syarah secara jelas, sehingga Raisuny mengadopsi pandangan Ibnu syr, dengan penyematan gelar
al-Muallim al-Tsni. Lebih lanjut lihat Nazhriyyah ..hlm 17-18. Gagasan al-Sytib terlihat
jelas dalam hal perumusan konsep Maqshid al-syarah yang kemudian menisbatkan gelar al-
Mullim al-awwl, Abdullah Darraz, Muqaddimah, dalam al-Sytibi, Al-Muwfaqt fi Ushl al-
Syarah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), hal. 5; mengatakan Hujjah min hujaj al-syarah wa
alam min alm Maqshidih kepadanya. lihat juga Muhammad Thhir al-Misw dalam Maqshid
al Syarah al Islmiyah, Dr el Nafis- Urdun, 2001. hal. 139. Lihat al-Sytib , Al-Muwfaqt fi Ushl
20

Maqshid al-Syarah yang dibangun al-Syatibi sebagaimana disebut bid al-


Jbiri sebagai Idah tashl al-ushl (peletakan kembali dasar-dasar ilmu ushl),
kemudian pandangan ini diadopsi oleh muridnya yaitu Abdul Majd Turkiy, yang
mengataan bahwa pendasarannya [ilmu ushul] sebagai pondasi titik awal
bertumpunya dasar metodologi dalam [beristinbath] hukum.9

Berkaitan dengan pendasaran ilmu (ushl) inilah Ibnu syr mulai


mengelaborasi gagasan pendahulunya yang kemudian ia sebut dengan pendasaran
Ilmu Maqshid al-Syarah. Hal ini disinyalir, bahwa teori yang diusung Ibn syr
berusaha menggali dan menemukan cara pandang sejarah secara ilmiah dan
metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar ilmu Maqshid al-
Syarah yang komprehensif. Ibn syr melihat bahwa kajian ilmu Maqshid al-
Syarah ini memilki perbedaan yang signifikan dengan kajian ilmu ushul.10

Menurutnya muara kajian [ilmu ushul] tidak kembali pada esensi dan Hikmah
al-tasyr, namun ia hanya berputar pada permasalahan istinbath hukum dari nash
sharh melalui kaidah-kaidah yang digunakan pakar hukum (fuqah) dalam
beristinbath hokum, dari atau melalui cabang-cabang (fur) maupun sifat-sifat
(illat) hukum yang disarikan dari Al-Qurn, sebagai kajian untuk

al-Syarah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), (Tahqq 'Abdullah Darrz), dalam
Muqaddimah, hal. 5. Bandingkan, Abid al-Jbiri, dengan menyebut apa yang dilakukan al-Sytib
dalam al-Muwfaqt sebagai idah t`sil al-usul (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad
Abid al-Jbiri, Wijhh al-Nazhr (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyyah, 1994), cet. 4, hal.
547. Istilah ta`sil al-usul itu sebetulnya berasal dari al-Sytib sendiri. Lihat al-Sytib , Al-Muwfaqt
fi Ushl al-Syarah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70. Bandingkan pula dengan
Maribel Fierro, Al-Shatibi, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD
Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).
9
Lihat Thhir al-Misw dalam Maqshid al Syarah al Islmiyah, 2001. hal. 86-95
10
Lihat Abdul Majd Turk Manzharat f ushl al-Syarah bayna ibn Hazm dan al-Bj, oleh
Abdul al-Shabr Syhin, Beirut Dr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal. 361,484. lihat
Maqshid al-Syarah al-Islmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqq dirsah Muhammad Thhir al-Misw
dalam Maqshid al Syarah al Islmiyah, 2001. hal. 96-99. baca juga Abdul Azz bin Ali Abd ar-
Rahmn bin Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-Syri Maktabah Muluk Fahd al-Wathaniyyah
atsna al-Nasyr, hal. 41-43.
21

menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai kehendak Tuhan (tentunya


sebatas kemampuan seorang Fqih dalam berijtihad).11

Kajian ilmiah yang dilakukan Ibn syr (1878-1973 M) mengenai ilmu


Maqshid al-Syarah memiliki korelasi/hubungan erat dengan penelitian lain,
keduanya disinyalir mempunyai muara dan esensi tujuan yang sama, yaitu penelitian
tentang Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami (ushl an-Nizhm
al-Ijtim fi al-Islam/The rule of Islamic Civilization). Ibn syr menyatakan bahwa
pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidah-kaidah yang luas,
rinci dan mendetail dari kaidah-kaidah ushul fiqh yang ada selama ini. Menurutnya;
perihal-perihal yang ditampakkan lebih luas dan elastis yang tidak hanya sekedar
mengaplikasikan kaidah-kaidah syarah untuk menyelesaikan problematika hukum di
masyarakat, ia juga mengkonversikan dan mengelaborasikannya dengan qiys,
sebagaimana disinyalir memiliki persamaan muatan teori. Dengan menyingkap
rahasia (hikmah) dibalik (tasyr) tersebut, maka konsep yang dihasilkan dari kajian
Maqshid ini tidak hanya sebagai sebuah wacana atau paradigma dalam bingkai
kajian yang hampa [utopis].12

Sejatinya cara pandang Ibn syur (1878-1973 M), tentang nilai (ilmu
Maqshid) ini adalah mengulangi kembali pakar pendahulunya. Ahmad Raisny
menulis; bahwa Ibn syr mengulangi kembali peletakkan ilmu Maqshid sebagai
disiplin ilmu yang mandiri, pandangan ini dikuatkan oleh Abdul Azz bin Ali Abd
ar-Rahmn bin Ali bin Rabah dalam karyanya Ilm Maqshid al-Syri.

Tentunya dengan mengelaborasi cara pandang ilmiah dan metodologis guna


menjadikan intisari kajian sebagai dasar ilmu ushul fiqh, kemudian

11
Abdul al-Shabr Syhin Manzharat f ushl al-Syarah, hal. 361,484. lihat Maqshid al
Syarah al Islmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqq dirsah al-Misw dalam Maqshid al Syarah al
Islmiyah, 2001. hal. 96-99. baca juga Abdul Azz bin Ali, Ilm Maqshid al-Syri hal. 41-43.
12
Abdul Azz bin Ali,Ilm Maqshid al-Syri hal. 41-43. Lihat juga Muhammad Thhir Ibn
syr, ushl Nizhm al-Ijtimiy f al-Islam, al-Syirkah al-Tnsiyyah littawz (Tunis) dan Dr al-
Wathaniyah lilkitab (al-Jazir), 1985, hal. 21. Bandingkan dengan al-Misw dalam Maqshid al
Syarah al Islmiyah, 2001. hal. 90-91.
22

diimplementasikan pada kurikulum-kurikulum belajar mengajar pada Madrasah-


madrasah atau lembaga-lembaga pendidikan, sampai-sampai mereka (pengarang
buku) menjumpainya dengan rasa jemu, semantara siswa yang belajar (ilmu ushl
fiqh) juga semakin bosan (dengan materi ini), kecuali mereka yang dianugrahi Allah
kesabaran dalam mengkajinya secara terus menerus.13

Adapun tujuan yang hendak dicapai (dari kajian ilmu ushl) pada pengajaran
tingkat perguruan tinggi kulliyyah Islam; diharapkan mampu menyingkap petunjuk
jalan yang ditempuh para Mujtahid (dalam berijtihad), mereka senantiasa menjaga
stabilitas hukum syarah berjalan sesuai dengan rule (neraca syariat) dan
sunnatullah. Sehingga keniscayaan upaya (para mujtahid) sampai pada tingkat
kedudukan yang disebut Ibn syr sebagai
( Ibrah al-
Maghnts lirubbni al-Safnah)14

Keberadaan Syariah dan pemberlakuan hukum-hukum syarah pada abad


pertama hijriah ini masih dipertanyakan/dimentahkan oleh sarjana hukum barat
seperti Joseph Shacht dalam tesisnya, ia menyimpulkan kegelisahan pandangannya
ini dengan menyatakan bahwa; Nabi Muhammad saw. tidak mempunyai otoritas atas
hukum-hukum adat yang telah ada pada saat itu, demikian halnya hadits.
Menurutnya, hadits baru muncul pada awal abad kedua hijriah. Dan pondasi hukum
Islam dalam pandangannya baru diletakkan oleh para pakar Hukum Islam yang
diangkat pada masa pemerintahan Khalifah Umayyah.15

13
Lihat Ibn syr, Maqshid al-Syarah al Islmiyah, al-Syirkah al-Tnsiyyah littawz
(Tunis) dan Dr al-Wathaniyah lilkitb (al-Jazir), 1979, hal. 165. lihat juga tahqq dirsah al-Misw
dalam Maqshid al Syarah 2001. hal. 90-91 dan 128-129. Abdul Azz bin Ali Abd ar-Rahmn bin
Ali Ilm Maqshid al-Syri hal. 41-43
14
Lihat Ibn syr, ushl Nizhm al-Ijtimiy f al-Islam hal. 21. lihat juga Al-Misw dalam
Maqshid al-Syarah al Islmiyah, 2001. hal. 90-91.
15
Bertumpu pada ide-ide pendahulunya C.Snouck Hurgronje dan Ignaz Goldziher, Joseph
Shacht mengeksplorasi pandangannya dalam bukunya An Introduction to Islamic Law,
(oxford:clarendon, 1964) hal.23-27. lihat juga ulasan Faisar Ananda Arfa dalam, sejarah pembentukan
Hukum Islam, Pustaka Firdaus cet. Pertama 1996 hlm 5-27. dalam hal yang sama sarjana barat yang
mendukung keberadaan hukum Islam pada awal hijriah diantaranya, M.M. al-Azami, Noel J. Coulson.
SD. Goitein, dan Wael B. Hallaq. Lihat artikel Goitein yang diulas oleh Faisar dalam buku yang sama,
34-53.
23

Dalam konteks ini, Joseph Shact mengadopsi pandangannya ini dari Ignaz
Goldziher.16 Ia bertolak dari pandangan bahwa kehidupan dengan segala
problematika yang bertautan dengannya (ketika itu), nyaris tidak terdapat/ditemukan
persoalan yang signifikan pada masa hidup Nabi Muhammad saw. Terutama
persoalan yang menyangkut maksud/tujuan dan kandungan hukumnya, Muhammad -
shallawwah alaih wasallam dengan segala otoritasnya sebagai mubayyin langsung
memberikan penjelasan secara rinci dan mendetail.17

Bagaimanapun juga pandangan tesis Joseph Shact diatas perlu diuji dan
dibuktikan melalui literatur-literatur yang berkenaan dengan sejarah, tentunya dengan
data autentik pedoman hidup Al-Qurn dan Hadits, serta kajian kepustakaan yang
komprehensif, dalam penelitian ini penulis mencoba membuktikannya melalui
konstruksi teori ilm Maqshid dan prinsip-prinsip penafsiran Ibn syur (1973 M),
selanjutnya perdebatan ini akan penulis uraikan pada sub judul seputar Maqshid dan
pembacaan al-Qurn di bab dua.
Ahmad Raisuny memetakan dalam disertasinya, bahwa Maqshid al-Syarah
telah dilakukan (ditelaah) oleh Al-Turmudz (Abad III), Abu Mansur al-Mturid ( w.
333 H), Abu Bakar Al-Qffal ( w.365 H ), Abu Bakar Al-Abhry (w.375 H) al-
Baqilln (w.403 H) dilanjutkan Imm Al-Haramain [al-Juwaini] (w.478 H), Imam Al
Ghazali (w.505 H), Al Rz (w.606 H), Saifuddin Al-midy (w.631 H), Ibn Hjib
(646H) Izzuddin Abdul al-Salm ( 660H), al- Baidhw (w.685 H) Al-Asnawi (772H)
Ibn al-Subk (w.771 H), kemudian disinyalir mencapai kemapanan pada masa al-
Sytib. Pandangan ini didukung data dari Abdur Rahmn Kaylni, namun lanjutnya,
mereka baru meletakkan (Maqshid) pada tataran sebagai sub kajian dari ilmu
ushul/Syarah.18

16
Ignaz Goldziher, Madzhib al-Tafsr al-Islm, terj. Abd al-Halm al-Najjr (Kairo:
Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1955), hal. 73.
17
Abbs Mahmd al-Aqqd, al-Falsafah al-Qurniyyah (Mesir; Lajnah Bayn al-Arabi,
1974), hal. 27.
18
Ahmad Al Raisyni, Nazhriyyah ... hal 40-68. bandingkan dengan tulisan Abd al-Rahmn
Ibrhm al-Kayln, Qawid al-Maqshid Inda al-Imm al-Sythib Ardlan wa Dirsatan wa
24

Berangkat dari data diatas, penulis meyakini urgensi teori/konsep Maqshid


yang diusung Ibnu syr (1878-1973 M) akan nampak dan terlihat dalam peletakan
Dasar-dasar Ilmu Maqshid al-Syarah. Sebagaimana ditekankan bahwa ia
merupakan segala makna dan tujuan hukum (Tajwuz al-Manh al-Tajziy f
tafahhumi Ahkm al-Syarah bimurtabih al-muhtalifah) yang diletakkan dalam
pelbagai kondisi Tasyri, secara makro dalam pelestariannya, diaplikasikan dan
dimplementasikan secara khusus/partikular [tajziy] sesuai neraca hukum syariat.
Secara Inheren tujuan umum dan sifat-sifat syarah yang luas dapat
terimplementasikan secara menyeluruh, tidak hanya problematika yang berkaitan
dengan masalah hukum melainkan segala problematika kehidupan didalamnya
(dunia).19
Selanjutnya kajian diatas akan penulis sajikan dan paparkan uraian tentang
teori, konsep Ibnu syr tentang formulasi Maqshid dan prinsip-prinsip
komplementer dalam penafsiran Al-Qurn pada bab tiga.20
Setelah mengelaborasi teori dan konsep pendahulunya, Ibn syr juga
mengkritisi prinsip-prinsip tafsir al-Sytib (730 H/1388 M) dalam Muwfaqt nya
mengenai tiga hal: pertama, status al-Qur`n sebagai substansi ajaran Islam
(kulliyyah al-syarah); kedua, status al-Qur`n sebagai kitab berbahasa Arab; serta
ketiga, status al-Qur`n sebagai kitab yang diturunkan kepada seorang rasul yang
umm dan di tengah bangsa Arab yang juga umm.

Tahllan (Damaskus: Dr al-Fikr, 2000), hal. 14. lihat juga, Abid al-Jbiri dengan menyebutkan apa
yang dilakukan al-Sytib dalam al-Muwfaqt sebagai idah t`shl al-ushl (pendasaran kembali
ilmu usul fiqh). Muhammad Abid al-Jbiri, Wijhh al-Nazr (Beirut: Markaz Dirsat al-Wihdah al-
Arabiyyah, 1994), hal. 57. Istilah ta`sil al-Ushl itu sebetulnya berasal dari al-Sytib sendiri. Lihat
al-Sytib , Al-Muwfaqt fi Ushl al-Syarah (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70.
Bandingkan pula dengan Maribel Fierro, Al-Shatibi, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The
Encyclopedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Bandingkan
dengan tesis Ismal Hasani Nazhriyyah al Maqshid ind Imm Muhammad Thhir Ibn syr, dalam
penerbit yang sama hal. 60-73.
19
Baca kembali Ibn syr dalam, Maqshid syarah, 1979. hal. 51. lihat juga versi tahqq Al-
Maisawi, 2001, hal. 96-97.
20
Lihat Ibnu syr Muqddimah al-Thrr wa al-Tanwr Dr-el Tunsiyah linnasar. [T. th.
hal. 38-46
25

Senada dengan Abid al-Jabiri, pengarang al-Tahrr wa al-Tanwr [Muhammad


Thhir Ibn syr] mengcounter pandangan diatas, karena pandangan tersebut dapat
dibawa ke titik ekstrem untuk menyatakan bahwa petunjuk al-Qur`n hanya
diperuntukkan kepada bangsa Arab abad 7 Masehi. Selanjutnya ia menambahkan
bahwa ada hikmah-hikmah (hikmah al-Tasyr) di balik pilihan Allah untuk
menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`n. Walaupun demikian, kenyataan
bahwa al-Qur`n diturunkan kepada bangsa Arab itu tidak berarti hukum-hukum
syariat hanya diperuntukkan bagi mereka atau untuk kepentingan-kepentingan
mereka belaka, namun sebaliknya ia bersifat umum [general] dan abadi
[berkesinambungan], dan al-Qur`n sebagai mukjizat baik dari segi bahasa dan
makna (lafdzan wa manan) yang autentitas dan relevansinya diuji sepanjang masa,
dengan demikian ketidak sesuaian (kebenaran anggapan) tersebut akan tertolak.21
Delapan tujuan dasar (al-Maqshid al-asliyyah) yang dirumuskan Ibn syr
(1878-1973 M) kemudian disebut sebagai prinsip tafsirnya yaitu; pertama,
mengajarkan dan memperbaiki akidah; kedua, mengajarkan nilai-nilai akhlak yang
mulia; ketiga, menetapkan hukum-hukum syariat; keempat, menunjukkan jalan
kebenaran kepada umat Islam (Siysah al-Ummah); kelima, memberikan pelajaran
dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam, pengajaran syariat sesuai
dengan perkembangan zaman; ketujuh, al-Targhb wa al-Tarhb; kedelapan,
membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallawwh alaih wasallam.22
Sering dikatakan bahwa kajian tentang penafsiran tidak dapat dilepaskan dari
subyektifitas interpretasi dari penafsir dalam penafsirannya sampai akhir zaman. Hal
ini disebabkan muatan-muatan bahasa/lafal-lafal yang terdapat dalam Al-Quran
sangat kaya makna sehingga digambarkan dalam surah al-Kahfi [18:109-110];

21
Ibnu syr Muqddimah al-Thrr wa al-Tanwr Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th., vol. 1
[T. th. vol. 1] hal. 39.
22
Ibnu syr Muqddimah, hal. 39-41. lihat juga uraian Quraish Shihab, bahwa penolakan al-
Sytib terhadap tafsir saintifik merupakan antitesis dari pandangan al-Ghazli tentang al-Qur`n yang
mencakup seluruh jenis ilmu pengetahuan. Kedua pandangan tersebut, menurut Quraish Shihab, sama-
sama berlebihan dan sukar dipahami. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`n: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, cet. 19, 1999), hal. 102.
26

$u_ s9u n1u My=x. yxs? r& 7s% st69$# yus9 n1u My=s3j9 #Y#y st79$# t%x. 9 %

u!$s)9 (#_t t%x. ys ( nu s9) 3s9) !$yr& n<) #yr /3=Wi |o0 O$tr& !$y) % #Yyt &#W/

#Jtnr& n/u y$t7/ 8 u $[s=| Wut yu=s n/u

Pandangan Ahmad Ibn Hanbal sejalan yang menyatakan bahwa tafsir


(penafsiran) tidak memiliki pijakan ( ) karena ia tak mengenal henti, ia
seperti Malhim dan Maghaz.23
Sebagai catatan bahwa manusia dalam menafsirkan kalimat-kalimat Allah
hanya bisa sampai pada derajat pemahaman yang relatif dan tidak sampai pada posisi
absolut. Karenanya pesan Tuhan-pun tidak dipahami sama dari waktu kewaktu,
melainkan ia senantiasa dipahami selaras dengan realitas, kondisi sosial yang seiring
dengan berlalunya zaman, selaras dengan kebutuhan umat sebagai konsumennya.
Yang pada gilirannya menempatkan Exegesis sebagai disiplin keilmuan yang tidak
mengenal kering. Penggemar dan peneliti tafsir telah benyak menunjukkan pelbagai
model interpretasi semenjak awal kemunculan disiplin ilmu tersebut sampai ke era
kontemporer.24
Upaya pembacaan kritis terhadap teks keagamaan (Al-Qurn) tanpa didasari
Greget dengan kemampuan pemahaman akan khazanah klasik (at-turarts) secara
maksimal merupakan sesuatu yang ahistoris. Disamping itu dalam wilayah teks
keagamaan dan teladan salaf al-Shlih masih menjadi sebuah keniscayaan, maka dari
sinilah timbul celah-celah interpretasi dan pendefinisian dari interpretasi satu kepada
yang lain. Munculnya ortodoksi (selanjutnya disebut rigiditas) adalah sesuatu yang

23
Jall al-Dn Al-Suyti, al-Itqn f Ulm al-Qurn, hal. 87.
24
Lihat karya-karya kontemporer seperti adz-Dzahabi al-Tafsir wa al-Mufassirn, Amin al-
Khuli dengan Manhij al-Tajdd f al-nahw wa al-balghah wa al-tafsr wa al-adab (cairo 1976),
Hassan Hanafi dengan Manhij tafsir wa Mashlih al-Ummah dalam al-Dn wa al-Tsawra: al-Yamn
wa al-yasar f al-fikr al-dn (cairo 1989), Ignaz Goldziher, J.JG. Jansen dengan The Interpretation of
the Quran in Modern Egypt, (Leiden, E.J. Brill, 1974), John Wansbrough dengan Quranic Studies:
Sources an Methods of sriptural Interpretation (oxford University Press 1977). Lihat lebih lanjut
dalam Jurnal studi Al-Qurn (PSQ) vol. 1 Januari 2006, hal. 79-83
27

tidak asing dalam konteks Islam [Rahmatan lilalamin], karena tidak ada dalam Islam
sebuah institusi, [seperti lembaga gereja misalnya] yang memiliki otoritas [claim
mainded] untuk menentukan kriteria rigiditas tersebut.25
Tetapi kita bisa dengan cukup aman menggunakan konsep Rigiditas/ortodoksi
ini dalam kajian tafsir berdasarkan alasan-alasan berikut;
Pertama, Rigiditas penafsiran yang dipahami sebagai sebuah konsep ternyata
dapat ditemukan dalam karya para pemikir muslim awal, terutama di bidang teologi
dan heresiografi.26 Dalam konteks ini, rigiditas dipahami dalam kerangka pembedaan
antara yang benar dan yang salah. Kajian tafsir pun tidak luput dari kategorisasi
diatas. Sebagaimana dapat dilihat dengan jelas, literatur-literatur tafsir dan Ulm al-
Qur`n dipenuhi oleh kriteria-kriteria serta contoh-contoh deviasi dalam
penafsiran. Hal tersebut menyiratkan adanya sebuah konsep tentang ortodoksi dalam
tafsir.27
Kedua, proses standardisasi dalam disiplin keilmuan selalu berlangsung sampai
pemapanan ilmu yang dimaksud.28 Dalam disiplin keilmuan tafsir misalnya,
kecenderungan yang sama juga terjadi. Prinsip-prinsip, metode-metode serta
terminologi-terminologi tafsir dan Ulm al-Qur`n telah mengalami proses
pemapanan yang berlangsung sekian lama, yang mapan serta yang standar kemudian

25
Karena tidak adanya sebuah institusi dalam Islam yang bisa membuat sebuah doktrin menjadi
resmi dan ortodoks, maka Montgomery Watt lebih suka menggunakan istilah pandangan mayoritas
(the view of the main body) atau pandangan Sunni (the Sunnite view). Lihat W. Montgomery Watt,
The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 268.
26
Jika ortodoksi dipahami sebagai upaya untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan
keyakinan yang salah, maka orang-orang seperti al-Asyari, al-Ghazali, al-Syahrastan dan lain-lain
pernah mencoba mendefinisikan parameter keislaman yang benar dan mengkategorikan sikap-sikap
yang bertentangan dengannya sebagai pola keberagamaan yang salah. Parameter itu kemudian
menjadi acuan dasar untuk memapankan ortodoksi Sunni serta menegaskan heterodoksi kelompok-
kelompok lain di luarnya, seperti Syiah, Muktazilah, Khawarij dan lain-lain. Lihat Fauzan Saleh,
Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004),
hal. 77-78.
27
Lihat buku yang berjudul Al-Isriliyyt f al-Tafsr wa al-Hadits Majma Buhuts al-
Islmiyyah, terj. Didin Hafidhuddn, diterbitkan oleh Litera antar Nusa, cet.1 1989.
28
Ortodoksi adalah sebuah fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, tetapi juga
terjadi dalam banyak disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula Gnther,
Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought, dalam Suha Taji-Farouki [ed.],
Modern Muslim Intellectuals and the Quran (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 142.
28

menjadi arus-utama dan dianut oleh mayoritas ulama tafsir. Setiap pemikiran yang
berbeda dari mainstream tersebut cenderung dianggap sebagai penyimpangan dari
pemahaman yang sudah mapan tersebut.
Persoalannya, mungkinkah kriteria ortodoksi/rigiditas sebuah tafsir itu
didefinisikan dan dibatasi? Atas dasar apa serta mengapa sebuah teori penafsiran bisa
dikategorikan rigid dan bukan heterodoks/elastis? Para fuqah belum menggunakan
konsep Maqshid penafsiran? Bagaimana mungkin kita membatasi sebuah teritori
banyak orang, dengan pendapat masing-masing yang berbeda-beda, ingin dianggap
sebagai bagian darinya?
Berhadapan dengan problem-problem di atas, penelitian ini meyakini bahwa
adalah mungkin untuk membatasi dan mendefinisikan struktur dasar penafsiran yang
rigid seperti pembatasan terhadap ortodoksi Sunni yang dilakukan oleh Norman
Calder misalnya, dalam artikelnya, The Limits of Islamic Orthodoxy.29
Hanya saja, mesti diupayakan bahwa pembatasan itu, pertama; bersifat general
dan elastis; general dalam arti bahwa ia dituntut untuk mencari prinsip-prinsip yang
relatif permanen dan tidak berubah dari masa ke masa; elastis dalam arti bahwa ia
tidak dirumuskan berdasarkan asumsi yang rigid bahwa ortodoksi dibangun sekali
dan untuk selamanya serta tidak pula berpretensi untuk menengahi atau mereduksi
perdebatan-perdebatan yang mengemuka dalam kajian tafsir sepanjang beberapa abad
lamanya. Kedua; pembatasan itu juga diusahakan untuk lebih bersifat sosiologis
daripada normatif. Artinya, ia digunakan sekedar untuk menjawab pertanyaan
mengapa sebuah teori atau pandangan dalam tafsir diterima oleh komunitas mufassir
sementara teori atau pandangan lain ditolak.
Dengan cara yang sama, kriteria elastisitas tersebut berfungsi menjadi basis
untuk menganalisa mengapa Ibnu syr dalam hal ini penting. Apresiasi terhadap
karya dengan cara proporsional dari sudut pandang sebuah tafsir yang elastis,
sementara di sisi lain, pendapat-pendapatnya juga digunakan untuk mendukung dan

29
Norman Calder, The Limits of Islamic Orthodoxy, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual
Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86.
29

menjustifikasi penafsiran yang rigid. Ketiga; demi menghindari simplifikasi yang


berlebihan, upaya penilaian terhadap metode tafsir Ibnu syur akan dilakukan
kepada masing-masing bagiannya untuk menghasilkan kesimpulan bahwa, prinsip-
prinsip Maqshid dalam tafsir Ibn syur bertentangan atau tidak sesuai dengan
struktur ortodoksi/penafsiran yang rigid.
Norman Calder menambahkan; dalam penelitian tidak ada satu pun karya di
bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi apa yang disebut ortodoksi
/rigiditas penafsiran. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba melacak rigiditas tafsir
melalui pandangan atau karya seorang ulama tertentu, melainkan melalui pembatasan
terhadap struktur dasar ortodoksi, dari mana unsur-unsur deviasi dari rigiditas itu bisa
dinilai.30
Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini juga memilih untuk tidak terlalu
memusatkan perhatiannya kepada relasi antara rigiditas penafsiran dan elastisitas
tafsir, melainkan kepada proses diskursif yang berlangsung di antara para ulama
tafsir. Dan karena belum ada satu pun literatur yang menguraikan struktur dasar
rigiditas dalam tafsir secara utuh dan sistematis, maka struktur tersebut akan digali,
terutama, dari literatur-literatur tafsir dan ulm al-Qur`n, berdasarkan kerangka
teori yang akan diuraikan pada bagian mendatang.31
Sebuah penafsiran rigid agak sulit dibatasi, karenanya penelitian ini memilih
untuk mendefinisikan rigiditas dengan memotret perdebatan para teolog kelompok-
kelompok Syiah, Muktazilah, dan Khawrij. Pendekatan semacam ini dilakukan juga
oleh, misalnya, Wael B. Hallaq dalam karyanya, A History of Islamic Legal Theories:
An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh yang dimaksudnya dengan Sunni Usl al-

30
Norman Calder, The Limits of Islamic Orthodoxy, hal. 69-71.
31
Literatur-literatur tafsir dan Ulm al-Qur`n juga meliputi karya-karya tentang
heresiografi, perdebatan, serta tipologi tafsir (seperti al-Ittijht al-Munharifah f Tafsr al-Qur`n
al-Karm karya al-Dzahabi, Ikhtilaf al-Mufassirn: Asbbuh wa Dhawbituh, Madzhib al-
Mufassirn, dan lain-lain), serta karya-karya tentang kaidah dan aturan tafsir (seperti al-Qawid al-
Hisn li Tafsr al-Qur`n, Ushl al-Tafsr wa Qawiduh, dan lain-lain).
30

Fiqh adalah ushl fiqh yang dikembangkan oleh sebuah kelompok mayoritas
(Sunni) di luar Syiah.32
Sering dikatakan bahwa upaya memahami Al-Qurn sebatas kemampuan
manusia (tafsir) terus berkembang, dan klaim atas otoritas tafsir sampai hari ini masih
terbuka. Hanya saja prasyarat bagi mufasir sebelum menafsirkan al-Qurn
diperlukan kematangan pemahaman, dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan
Maqshid Al-Qurn secara komprehensif merupakan suatu kelaziman, disamping
kaidah-kaidah penafsiran dan tujuannya harus dikuasai. Konteks merupakan bagian
yang tidak dapat ditinggalkan guna mewujudkan elaborasi dan elastisitas makna
secara komprehensif. Konsep dan metode Maqshid yang ditawarkan dalam
penelitian ini diyakini penulis mampu menjawab problematika tersebut.33
Disiplin ilmu-ilmu tafsir sudah dimulai pada zaman Rasulullah, kemudian baru
pada akhir abad kedua Hijriah,34 dan mulai bermunculan tulisan-tulisan yang
mengarah kepada perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`n dalam bentuknya yang
sederhana, seperti al-Asybah wa al-Nazh`ir f al-Qur`n al-Karm, karya Muqtil
ibn Sulayman (w. 150 H.); Man al-Qur`n, karya al-Farr`(w. 207 H.); serta Majz
al-Qur`n, karya Abu Ubaydah Mamar ibn al-Mutsann (w. 215 H.).35 Tetapi orang

32
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hal. 7
33
Disinyalir oleh Mahmud Syahatah bahwa Rasyd Ridh (murid Abduh dan juga guru dari
Ibn syur) menggunakan Maqshid al-Quran dalam penafsiran sebagaimana kedua gurunya al-
Afghni dan Muhammad Abduh, Lihat Abdullah Mahmud Syahatah, dalam karyanya manhaj al-
Imm Muhammad Abduh fi tafsir al-Qurn al-karim (Kairo:al Majlis al alli Riyah alfunn wal
adab wa al- Ulm al Ijtim;iyyah 1963, hal. 33. dan karyanya yang berjudul ahdf kulli srah wa
maqsiduh f al-Qurn al Karm, (Mesir; Haiah al-Mishriyyah, 1986), hal. 93-94. dalam buku yang
terakhir yang disebut Mahmud Syahatah mulai menggunakan Istilah untuk tujuan-tujuan pokok Al-
Qurn antara lain Maqshid, ahdf, fikrah Ammah mabdi, yang selanjutnya ia lebih cenderung
memakai istilah ahdf sebagaimana judul bukunya.
34
Abid al-Jbiri, Bunyh al-Aql al-Arbi, hal. 16. lihat juga Khalid ibn Utsman al-Sabt,
Qawid al-Tafsr Jamn wa Dirsatan (Kairo: Dar Ibn Affan, 1421 H.), hal. 42; dan Khalid Abd
al-Rahman al-Akk, Ushl al-Tafsr wa Qwaiduhu, (Beirut: Dar al-Nafais, cet. 2, 1986), hal. 32-33.
35
Al-Jbiri, Bunyh al-Aql al-Arbi, hal. 16-17. Dengan karyanya di atas, Muqatil ibn
Sulayman dianggap sebagai salah seorang yang paling awal menulis karya di bidang ulm Al Qur'n.
Ulama-ulama belakangan, seperti al-Zarkasyi dan al-Suyuti, mengutip banyak hal dari karyanya itu.
Lihat Abdullah Mahmud Syahatah, Muqtil ibn Sulayman: Dirsah an al-Mu`allif dalam Muqatil
31

yang dianggap berperan paling penting dalam meletakkan pondasi bagi perumusan
kaidah-kaidah tafsir al-Qur`n adalah al-Syafii (w. 204 H.) melalui karyanya, al-
Rislah.36
Luay Shfiy mengadaptasi pandangan Syaikh Mahdi Syamsuddin sebagaimana
dipaparkan pertanyaan; bagaimana agar Al-Qurn (sebagai wahyu langit) membumi.
Luay Shafiy menggunakan pendekatan dua metodologi yang di pandang saling
melengkapi guna menjawab pertanyaan diatas. Pertama; metode istinbath (deduksi)
yang dibangun oleh Imam Al-SyafiI (w.204 H) yang selama ini digunakan dalam
perkembangan metode Ijtihad dalam Ushul fiqh dan fiqh, metode ini merupakan
metodologi nushshiyyah yang formulasi hukumnya berkembang seiring dengan
peradaban zaman dan keilmuan umat bertumpu pada rasionalitas (akal), didasari pada
perspektif Al-Qurn (dalil naqli) secara berangsur-angsur menghantarkan pada
pandangan (kaidah-kaidah) para Fuqah, yang jika ditarik pada titik ekstrem dapat
berimplikasinya pada penafsiran rigid dan kemudian menghasilkan konsep hukum
yang kaku. Kedua; ia mengemukakan metode qiys-nya dari pandangan partikular
menuju pada pandangan general (al-intiql min al-nadhri juziy il nadhri al-kulliy)
dengan formulasi Maqshid Al-Qurn untuk mencapai elaborasi dan elastisitas
makna teks, selanjutnya pemahaman metode ini biasanya digunakan oleh mujtahid.37

ibn Sulayman, Al-Asybah wa al-Nazh`ir f al-Qur`n al-Karm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al-
Ammah li al-Kitab, cet. 2, 1994), hal. 77.
36
Khalid Al-Akk, Ushl al-Tafsr wa Qawiduh, hal. 35. Khalid ibn Utsman al-Sabt
menambahkan Ahkm al-Qur`n sebagai karya lain al-Syafii yang memuat kaidah-kaidah interpretasi
al-Qur`an. Lihat Khalid al-Sabt, Qawid al-Tafsr, hal. 42. Al-Jbiri bahkan menyebut al-Syafii
dengan al-Rislah-nya sebagai peletak pertama aturan-aturan tafsir al-khitb al-bayni dan perintis
terbesar (al-musyarri al-akbar) bagi nalar Arab. Lihat al-Jbiri, Bunyh al-Aql al-Arb, hal. 17.
37
Luay Shofiy, Kinerja akal, min al- nadhrh tajzi'iyyah il al- Ru'yh al-Takmuliyyah (dari
yang partikular menuju yang general), Dar el Fikr, Damaskus, 1419 H / 1998 M, hal. 195. lihat juga,
Hammadi al-Ubaydi, Al-Sytib wa Maqshid al-Syarah (Tripoli: Kulliyyah al-Dawah al-
Islmiyyah, 1992), hal. 12-13.
32

Norman Calder menyatakan,38 bahwa metode yang digunakan seorang mufassir


dapat dianggap lebih penting dari produk tafsir yang dihasilkan, karena perbedaa
interpretasi tersebut lahir terutama akibat perbedaan metode yang digunakan oleh
masing-masing mufassir.39 Penjelasan diatas dimaksudkan untuk membangun
sebagian teori disiplin keilmuan yang berkaitan dengan 'Ulm Al-Qurn dan 'Ulm
al-Tafsir. Kajian terhadap keduanya berbeda, namun saling terkait satu sama lain,
karena muara keduanya sama yakni tujuan-tujuan ideal (Maqshid syarah)
diturunkannya syarah, yaitu kemaslahatan kehidupan umat manusia duniawi dan
ukhrawi (lil jil wa al-jil).40
Muhammad Thhir Ibn syr pakar tafsir dan Mufti berkebangsaan Tunisia
bermadzhab Maliki al-Asyari, lahir di Tunis pada tahun 1296 H / 1878 M, Ia
mengelaborasi pandangan Maqshid dari penggagas sebelumnya, kemudian
memberikan corak nuansa tersendiri dengan mendasarkan prinsip-prinsip tafsirnya
yang tertuang panjang lebar dalam mukaddimah penafsirannya,41 hal ini disinyalir
oleh Ahmad Raisuny sebagai penggagas ilmu Maqshid al-Syarah, apresiasi
Raisuny terhadap Ibn syr terlihat dengan menyematkan gelar penghormatan
[sebutan] kepadanya sebagai Al-Mullim al-Tsni.42

38
Norman Calder seperti yang dikutip oleh Nasr Hamid Abu Zaid dalam disertasinya, kemudian
Yusuf Rahman menganalisa melalui theory metode yang digunakan Nasr Hamid, ditulis bahwa
Kualitas-kualitas yang membedakan mufassir satu dengan lainnya terletak pada kesimpulan mereka
tentang makna teks al-Qur`an, melainkan pada bagaimana mereka mengembangkan dan menunjukkan
teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka terhadap sebuah disiplin literer.
Lihat Norman Calder, Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre,
illustrated with reference to the story of Abraham, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef
[ed.], Approaches to the Qurn (London dan New York: Routledge, 1993), hal. 106.
39
Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Ab Zayd: The Analytical Study
of His Method of Interpreting the Quran (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill
University, 2001), hal. 105-106.
40
Lihat lebih lanjut dalam tulisan Ahmad Al-Raisyni, Nazhariyyah al-Maqshid ind al-Imm
al-Sytibi cet IV th 1995 hal 255.
41
Abdul Qdir Muhammad Shleh " Al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-ashri al-Hadts" , Cet
ke-1; hal. 541, Dar-al Marifah Libanon 2003.
42
Ahmad Al Raisyni, Nazhariyyah al Maqshid ind al-Imm al-Sytibi, cet IV th 1995 hal.
335-341
33

Ismal Hasani dalam tesisnya dengan judul Nazhariyyah al-Maqshid ind


Muhammad Thhir Ibn syr, secara rinci mengeksplorasi gagasan pendasaran Ilm
Maqshid. Ia menekankan akan urgensi dari ilmu Maqshid al-Syarah sebagai
proyek ilmiah (masyr ilmiy) yang bertujuan (yataghayyan) membuka jalan/kran
pemahaman tentang syariat berdasarkan atas dasar-dasar tujuan Maqshid (ushl
maqshidiyyah), merupakan pengejawantahan suatu korelasi pendekatan metode
kajian ilmiah dengan ketauhidan (al-taqrb bayna al-Madrik al-ilmiyyah wa al-
tawhd) dalam gambaran pandangan para Fuqah (f al-tashawwurt al-Nazhariyyah
li al-Fuqah).43
Abdul Ghaffr Abdul Rahm mengelompokkan Ibn syr dalam Abn
madrsh Abduh, menurutnya corak pemikirannya dapat dikatakan sejalan dengan
Muhammad Abduh [dengan model berbeda/al namtin Jadd], menurutnya Ibn
Asyr telah meringkas pendapat dari mufassir klasik dan pandangan pakar tafsir
modern (jamaa fhi khulshah ri al- Sbiqn wa zubdatu afkri al-Musirn)
dituangkannya dalam penafsiran dengan gaya bahasa sastra (uslb adabiy) dan
keindahan susunannya (wa taqsm ala bad) semangat dalam pembumian Al Qurn
sebagai petunjuk umat manusia tercurahkan dalam tafsirnya secara komprehensif,
namun disisi lain penulis juga menemukan perbedaan-perbedaan yang mendasar, hal
ini akan penulis eksporasi dalam bab IV.44
Formulasi Maqshid dalam penafsiran yang ditawarkan Ibn syr sejatinya
memiliki kesamaan dengan apa yang ditulis oleh Rasyd Ridh dalam Al-Wahyu al-

43
Lihat Ismal Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqshid ind Ibn syr, (al Ma'had Al-'limiy
lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 113.
44
Abdul Ghaffr, Abdurrahm, Al-Imm Muhammad 'Abduh wa mnhjuhu f al-tafsr, Mesir:
Al markaz Al Arbi li ats tsaqfah wal ulm, 1980, hlm 354-359. Lihat corak penafsiran Ibnu Asyur
dalam tafsirnya al-Tahrr wa al-Tanwr juz 1 hal. 222. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh
Abdullah Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi tafsr al-Qurn
al-Karm (Kairo:al Majlis al alli Riyah alfunn wal adab wa al- Ulm al Ijtim;iyyah 1963, hal. 33.
dan karyanya yang berjudul ahdf kulli srah wa maqsiduh f al-Qurn al Karm, (Mesir; Haiah al-
Mishriyyah, 1986), hal. 93-94.
34

Muhammady, dimana dia merinci pokok pokok yang menjadi misi Al-Qurn itu
sendiri. Dan formulasi ini yang kemudian dielaborasi oleh Ibn syr.45
Selain gagasan metodologis yang ditawarkan oleh Ibn syr dalam kitab
Maqshid syarah al-Islmiyyah, pandangannya juga banyak berbeda dengan
formulasi yang dibangun penggagas sebelumnya al-Sytib, disisi lain Thhir Ibn
syr memiliki karya tafsr yang belum banyak mendapatkan perhatian selayaknya,
kalau kita kelompokkan dengan tipologi yang telah dipetakan Iffat Syarqwi dalam
corak penafsiran modern,46 yang secara umum maka akan memposisikannya kedalam
tafsir yang bercorak sosial kemasyarakatan (ittijh ijtihdi/adab ijtim'iy)
sebagaimana corak tafsir al-Manr karya Muhammad Abduh yang disusun oleh
Muridnya Rasyd Ridh. 47
Dalam telaah penulis seputar Al-Tahrr wa al-Tanwr, Ibn syr
48 49
mengkombinasikan tafsir Riwyat dan tafsir Diryat, yang sejatinya cara ini
hampir dipakai para pakar tafsir sebelumnya; seperti Fakhruddn Al-Rzi (1209 M)
dalam tafsir al-Kabr,50 Tafsir Jawhr karya Thntwi Jauhar, Tafsir al-Manr karya
Muhammad 'Abduh yang ditulis oleh muridnya Rasyd Ridh (1865-1935), yang
45
Rsyid Ridh, Al-Wahyu al-Muhammady, [Mesir: Al-Zahr lil Ilm al arby 1988] hal. 106 -
234
46
Iffat Syarqwi, Qdhya insniyyah fi ml al mufassirin, Mesir: maktabah Syabb, 1980
hal 80, lihat juga uraian Ali Iyzi tentang Ibnu syr dalam al-Mufassirun Haytuhum wa
manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an Nasyr wizrah al Islmi, cet-1. hal.240-246.
47
Rsyid Ridh, Tafsir Al-Manr, Kairo-Mesir: 1367 H juz I hal 7, Abd Hyy Farmawi, al
Bidyah fi Tafsr al Maudu'I Kairo, al- Haharah al-arabiah, cet. Ke-2, 1977, hlm 23-24. lihat lebih
lanjut uraian Quraish Shihab dalam Membumikan al-Qurn (Mizan, cet XXIX, 2006) hlm 111-123.
juga uraian tentang corak dan ciri-ciri penafsiran 'Abduh dan Rasyd Ridh dalam Rasionalitas al-
Qur'n (studi kritis atas tafsir al-Manr), Lentera hati 2006, hlm 24
48
Tafsir Riwayat atau bi al-matsur adalah tafsir yang dikutip dari al Quran, Hadits, atsar
sahabat dan tabiin. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al-Tafsr wa al-Mufassirn, Maktabah
Musab bin Umair al Islmiyah, juz I h.112
49
Tafsir Diryat atau bi al-Ryi adalah tafsir al Qurn yang didasarkan pada ijtihad. Lihat:
Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsr wa al-Mufassirn, juz I h.183.
50
Tafsir Maftih al Ghayb (al-Kabir) karya al-Imam Fakhruddn al-Rzi (544 H) tafsir ini
tergolong penafsiran bi al-Ray/diryah/maqul/bi al-ijtihad, tafsir ini mengutamakan penyebutan
hubungan antar surah-surah Al-Qurn dan ayat-ayatnya satu sama lain, dengan membubuhkan
pendapat para filosof, ahli ilmu kalam, sesekali menyimpang ke pembahasan tentang ilmu matematika,
filsafat, biologi dan lainnya. Secara global tafsir ar-Razy lebih pantas untuk dikatakan sebagai
ensiklopedia dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu-ilmu yang berhubungan secara langsung atau tidak
dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yangmenjadi sarana untuk memahaminya (tafsir Ilmi)
35

ketiganya disinyalir mengembangkan tafsir ilmi'.51 Kemudian Ibn syr mendasari


sumber penafsirannya dengan metode muqrin dan corak filologik (balaghiah) dalam
hal ini penulis menggaris bawahi perbedaannya dengan formulasi tafsir Muhammad
'Abduh sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Ghaffr Abdur Rahm. Ibn syr juga
memiliki kekhasan dengan menambahkan formulasi penjelasan pada makna-makna
mufradat (kata demi kata) dalam surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur'n dan
]keterpautan antar keduanya/munsbah], serta membatasi dan meneliti ulang dari
yang telah dilakukan sebagian mufassir sebelumnya.52
Kajian ini dilakukan untuk memetakan dan mengkomparasikan metodologi
penafsiran kontemporer. Berangkat dari hipotesis bahwa elaborasi Maqshid yang
ditawarkan sebagai metodologi penafsiran dirumuskan Thhir Ibn syr tidak
menyimpang dari rigiditas tafsir dalam tradisi penafsiran tekstual. Artinya, penelitian
ini meyakini bahwa proses interpretasi al-Qur`n yang sepenuhnya mengikuti konsep
elaborasi Maqshid yang kemudian akan menghasilkan pemahaman makna teks
secara lunak.

51
Komentar Golziher dalam penafsiran 'ilmi bahwa; "Al Qur'n mencakup hal segala hakikat
ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), terutama pada
bidang filsafat dan sosiologi" lihat mazhhib al tafsir al Islamiy terj.dalam bahasa arab oleh 'Abd
Mun'im al Najjr, al Sunnah Muhammadiyyah, Kairo, 1955, h. 375. lebih lanjut lihat al-Sytibi dengan
komentarnya tentang tafsir ilmiy, muwfaqt,(Dar al Ma'rifah, Beirut t.th.) Jilid 2 hal. 80-2. dalam
penafsiran ilmiy Ibnu Taimiyah juga mengomentari tafsir Ar-Rzi dengan mengatakan mengandung
segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri. Kemudian belakangan komentar Ibnu Taimiyyah tersebut
diulangi oleh Manna' Al Qatthan yang dinisbatkan pada karya Thanthwi Jauhari. Lihat dalam
Mabhits fi Ulm al-Qurn Mann Khalil al-Qaththn (Studi ilmu-ilmu al-Qurn), al-mansyrat al-
ashr al-hadits) cet. 3 1973
52
Muhammad Thhir Ibnu syr Muqddimah al-Thrr wa al-Tanwr al-rbiah hal. 8-9
Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. ditulis :


..............
"saya tidak akan pernah meninggalkan sebuah surah sebelum menyingkap dan menjelaskan
maksud ayat sampai jelas dan rinci sehingga pembaca/pemerhati (tafsir) tidak mendapati tafsir Al-
Qurn yang terbatas pada penjelasan makna-makna per kalimat dan makna umum. seakan-akan
sebagai kesatuan yang terpisah dan tidak lagi ditemukan keserasian antar surah dan ayat sehingga
keindahan al-Qurn termahjub. Saya lebih memfokuskan orang lain dari kamus-kamus bahasa.........."
36

Lebih jauh lagi, penelitian ini juga menduga bahwa nuansa perbedaan
interpretasi dan cara pandang al-Sytibi dan Ibn syr antara keduanya berbeda.
Kompleksitas problematika yang dihadapi semakin berkembang, ia tidak hanya
membutuhkan reformulasi metode dan cara pandang terhadap teks secara
proporsional, relevansi penafsiran sesuai perkembangan zaman harus dikawal dengan
keilmuan dan penelitian secara berkelanjutan. Bagaimanapun juga al-Sytibi
dilahirkan lebih dulu, tentunya pandangannya sangatlah dominan dalam
mempengaruhi pemikiran Ulama dan Mufassir setelahnya, terbukti penelitian yang
banyak dilakukan pakar ushl mengedepankan pokok-pokok pikiran al-Sytibi.
Berikut contoh penafsiran Ibn syr dalam kitab tafsirnya Al-Thrr wa al-
Tanwr : Dalam Firman Allah (QS. Al-Baqarah [2]:43);

.....
yang artinya kurang lebih; "Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
kepada-Ku bersama orang -orang yang ruku. Adalah perintah melakukan syiar
Islam setelah perintah memeluk akidah Islam.
Jadi, ayat "Dan berimanlah (kamu: bani Israil) pada apa yang saya turunkan
.....([2] :41) maksudnya tidak lain adalah Iman kepada Nabi Muhammad
shallawwhu alaih wasallam juga kepada perantara wahyu dan tujuannya. Yang
menjadi pengantarnya adalah ayat; Dan ingatlah nikmatku..... .([2]:40), sampai ayat
.....maka takutlah kepadaku ([2]:48), yang sementara targetnya (ghyah) adalah ayat
Dan berimanlah pada apa yang saya turunkan karena membenarkan apa yang
bersamamu. Kemudian tujuannya adalah ayat dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat ([2]:43).
Dibalik itu juga terdapat larangan dari perbuatan merusak yang dan
menghalangi dari hal-hal yang telah diperintahkan, sesuai dengan bentuk
37

perintahnya.53 Firman Allah," " adalah perintah pada pondasi Islam yang
paling agung setelah perintah Iman dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Dan sebaliknya (taridl) sindiran kepada orang-orang Munafik, diterangkan
bahwasannya iman adalah perjanjian primordial (ahdun qalbiyyun) antara (hamba
dengan Tuhannya), indikator perjanjian tersebut dengan ucapan (l yadullu alaihi
illa al-nutqa). Ucapan lisan (iman) sesuatu yang mudah. Ia bisa saja diucapkan walau
hati tidak membenarkannya, sebagaimana halnya orang-orang munafik yang
dilukiskan oleh ayat 8 pada surah ini. Nah untuk membuktikan kebenaran ucapan itu
mereka dituntut agar melaksanakan shalat, karena shalat merupakan aktivitas yang
menunjukkan keagungan kepada Allah semata, dan sujud kepada-Nya merupakan
bukti pengingkaran terhadap berhala-berhala. 54

B. Permasalahan
1. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
permasalahan yang muncul dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1) Dimanakah perbedaan formulasi Maqshid al-syariah Ibn syr dan al-
Sytibi?.
2) Sejauh mana Urgensi Maqshid al-Qurn sebagai metode dalam penafsiran
al-Qurn?

53
(QS. Al-Baqarah [2]:40-48), lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Thrir wa al-
tnwr hlm 472-4
54
Lihat Ibn syr al-Tahrir wa al-Tanwr (QS. Al-Baqarah [2]:40-48), vol. 1 hal. 472-4, lihat
juga M. Qurasih Shihab dalam, Tafsir al-Misbh, cet-1 hal.171-172. lihat juga redaksi penafsiran
Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar yang menafsirkan setelah ajakan iman yakin kepada bani
isrl mereka diminta untuk menunaikanshalat dan membayar zakat sebagai bentuk solidaritas
kekeluargaan dan kemaslahatan diantara mereka (Muwsh liylihi wa musadahal mashlihihim
allat hiya malku mashlahatihi) bagi Abduh ketiga perintah diatas tertata rapi secara hirarkis;
menunaikan shalat sebagai berntuk pertama yang merupakan rhul ibadah dan ujian keikhlasan dalam
mengerjakannya, kemudian membayar zakat sebagai bentuk penyucian diri dan kekuatan iman,
berikutnya ruku bersama orang-orang yang ruku sebagai gambaran (surh) shalat/sebagiannya,
sebagai penghambaan diri secara khusu dihadapn keagungan-Nya. Lihat Muhammad Abduh dengan
talif Rsyid Ridh al-Tafsr al-Manr (Huqq thabaah wa al-tarjamah mahfdhah liwaratsatihi/ Dr
al-Manr 1948/1366 H) cet. 2, hal. 294.
38

3) Sinergikah prinsip tafsir dan teori Maqshid Ibn syr dengan


penafsirannya?
4) Bagaimana respon akademik terhadap teori Maqshid dan prinsip-prinsip
tafsir yang dirumuskan Ibn syr?

2. Batasan Masalah
Dari identifikasi permasalahan diatas, dalam penelitian ini penulis memusatkan
perhatiannya pada poin 1, 2, dan 3. Penelitian ini berupaya menguraikan teori
Maqshid dan prinsip-prinsip tafsir Ibn syr secara utuh, kemudian
membandingkannya dengan mufassir sebelum dan pada masanya, untuk melakukan
penilaian terhadap penafsiran Ibn syr berdasarkan komparasi tersebut. Hasil
penilaian itu akan dibawa ke dalam konteks yang lebih luas untuk melakukan analisis
terhadap gagasan Ibn syr dalam dua perspektif yang berbeda.

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan;
1) Bagaimana konsep pendasaran ilm Maqshid perspektif Ibn syr?.
2) Urgensi Maqshid al-Qurn dalam penafsiran Ibn Asyur.

C. Survei Literatur/Penelitian terdahulu yang relevan


Salah satu hal yang mendorong penulis untuk memilih judul diatas adalah,
bahwa kajian Maqshid selama ini masih berputar pada kaidah-kaidah ushul fiqh dan
Syariah. Pemetaaan yang dilakukan Ibn Asyur yaitu mendasarkanIlm Maqshid al-
syarah. Adapun prinsip-prinsip penafsirannya diintegrasikan secara integral dengan
gagasan Maqashid-nya.
Abdullah Muhammad Syahtah, Ziyd Khlil Muhammad al Dhaghmin,
Muhammad Husain Al-Dzahabi, Muhammad Ali Iyzi, Abdul Hayyi al-Farmwi,
Iffat Syarqwi dan Abdur Ghaffr Abdur Rahm, mereka menyimpulkan apa yang
dilakukan Ibn syr mempunyai kesamaan dengan penafsiran yang dilakukan oleh
39

Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyd Ridh dalam al-Manr, walaupun secara
eksplisit sebagian dari mereka tidak mencantumkan hal tersebut dan sebagian yang
lain mencantumkannya.55
Karya (Thesis) Ismal Hasani Nazhriyyah al-Maqshid ind al-Imm
Muhammad Thhir Ibn syr (the International Institute of Islamic Thought)
Herndo-Virginia U.S.A), dapat mewakili sumber primer karena dia membahas
panjang lebar tentang formulasi dan pendasaran ilmu Maqshid al-syarah. Pada
percetakan yang sama Ahmad Raysni dalam disertasinya (1995) Nazhriyyah al
Maqshid ind al-Imm al-Sytib (the International Institute of Islamic Thought) yang
kemudian dalam telaahnya dan penelitiannya ia menyematkan gelar kepada al-Sytib
(w. 790 H) Muallim awwal dan Muallim Tsni (Ibn syr). Perbedaan pandangan
antara mereka antara lain; formulasi Maqshid al-syarah al-Sytib dibangun di atas
hubungan dialektis antara prinsip-prinsip general (kulliyyt),56 dan unsur-unsur
partikularnya (juz`iyyt). Keduanya harus sama-sama dipertimbangkan karena siapa
pun yang mengambil unsur-unsur partikular tanpa menghiraukan prinsip general yang
menyatukannya, atau siapa pun yang mengambil prinsip general tanpa
mempertimbangkan unsur-unsur partikularnya, maka ia telah berbuat kesalahan al-

55
Meski mereka Muhammad Husain al-Dzahabi, Muhammad Ali Iyazi, dan Abdul Hayy al-
Farmawi tidak mencantumkan secara eksplisit itilah Maqshid al-Qurn di dalam karyanya, namun
mereka menyebutkan salah satu unsur penting dalam corak penafsiran madrasah Muhammad Abduh
secara umum dan penafsiran yang dilakukan Sayyid Rsyid Ridh secara khusus yakni unsur
Maqshid al-yah,lihat Husain al-Dzahabi, al-tafsir, vol.2, hal. 401; lihat juga, Abdul Hayyi al-
Farmwi dalam al-Bidyah f al-Tafsr al-Mawdhi (t.th 1977) cet. Ke-2 hal. 41; lihat juga
Muhammad Ali Ayzi, al- Mufassirn Haytuhum wa Manhijuhum (Thehran; Muassasah al-
Thabaah), hal. 49.
56
Kalimat kully pada umumnya diterjemahkan menjadi general atau universal. Penulis
mencoba menilik artikel Hallaq yang berjudul The Primacy of the Qur`an in Shatibis Legal Theory.
Pada sebuah kasus, Hallaq menerjemahkan kulliyyat menjadi general foundations. Sementara di
tempat lain, Hallaq menerjemahkan Ushl kulliyyah menjadi universal principles. Bahkan dia
juga tercatat menggunakan kedua kata itu secara bersama-sama seperti tampak dalam pernyataannya,
lay down the most general and universal legal principles. Lihat Hallaq, The Primacy of the
Qur`an in Shatibis Legal Theory, hal. 75-76. Dalam penelitian ini, padanan kata yang dipilih adalah
general, bukan universal, karena padanan pertama itu lebih tepat untuk dilawankan dengan
partikular sebagai padanan kata juz`i. Lihat Cambridge Advanced Learners Dictionary on CD-
ROM, versi 1.0 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), entri general.
40

Sytib sebagaimana disebut Abid al-Jbiri sebagai penyempurna kembali dasar-


dasar ilmu ushl (Idah Tashl al-Ushl).57
Perbedaan dan urgensi pandangan Ibn syr dari pendahulunya terkait dengan
problematika (Isykl al-qithau wa al-dzann f ilm al-ushl) esensi dari konsep dan
kajian yang ditawarkan Ibn syr ini sejajar/mirip dengan penelitian mencari konsep
Tatanan masyarakat Islam yang ideal (ushl al-Nizhm al-Ijtimi f al-Islmi).
Dijelaskan bahwa konsep tersebut bertolak lintas batas pemahaman hukum-
hukum syara yang partikular (Tajwaz al-manhiy tajziy) menuju kepada pandangan
atau prinsip-prinsip general (ruyah kulliyyah tanzilu al hull syariyyah) bertumpu
pada kondisi yang amat penting dan dibutuhkan bagi mayoritas umat dan
kemaslahatan manusia (Al al-waqii wa al-nawzil min haits hlah jamiyyah
tuhimmu al-ummah) bukan bertumpu pada sebaliknya. Hal ini sejalan dengan gerakan
ijtihad fikih Trikhiyyan.58
Literatur diatas tidak memusatkan dan mengintegrasikan perhatiannya kepada
penafsiran Ibn syr, sebagaimana yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.
Di sisi lain, prinsip-prinsip tafsir mencakup wilayah literatur yang sangat luas.
Hampir seluruh karya tentang tafsir dan ulm al-Qur`n mengandung pembahasan
tentang prinsip-prinsip tertentu yang harus dipatuhi dalam melakukan penafsiran al-
Qur`n. Hanya saja, belakangan muncul karya-karya yang mencoba mengkaji kaidah-
kaidah tafsir secara komprehensif, seperti apa yang ditulis oleh Abd al-Rahmn ibn
Nsir al-Sadi,59 Khalid Abd al-Rahmn al-Akk,60 Khlid ibn Utsman al-Sabt,61

57
al-Sytib, Al-Muwfaqt, vol. 3, hal. 5.
58
Ismal Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqshid ind Ibn syr, hal. 98-114. Lihat juga lebih
lanjut uraian Abd Majid Shaghir, dia murid dari bid al-Jbiri, dalamal-fikr ushliy wa isykliyyah
al-sulthah ilmiyyah fi al-Islam, Beirut Dar al-Muntakhab Arabiy 1994M / 1415H hal. 614.
bandingkan dengan ulasan guru dari Abd Majd Shaghr yaitu Muhammad bid Jbiri pandangan al-
Sytib mengenai Tasil al-ushl al-Syarah, dalam Bunyah al-aql al-arabiy Beirut markaz
dirsat wahdah al-arabiyyah1994 cet. 4 hal. 548.
59
Abd al-Rahman ibn Nasir al-Sadi, al-Qawid al-Hisan li Tafsir al-Qur`n (Riyad:
Maktabah al-Maarif, 1980).
60
Karya Khlid Abd al-Rahmn al-Akk, Ushl al-Tafsir wa Qawiduhu (Beirut: Dar al-
Nafa`is, cet. 2, 1986).
41

dan Abd al-Hdi al-Fadli.62 Berbeda dengan literatur-literatur di atas yang


mengelaborasi prinsip-prinsip tafsir tanpa mengaitkannya dengan tokoh tertentu,
prinsip-prinsip tafsir yang akan diuraikan dalam penelitian ini dibatasi oleh obyek
kajiannya, yaitu pemikiran dan karya-karya Ibn syr. Selain itu, penelitian ini juga
mencoba membawa konsep tentang prinsip-prinsip tafsir tersebut kepada persoalan-
persoalan yang lebih mendasar, seperti asumsi, pra-anggapan, serta aplikasi
Maqshid dalam penafsirannya.63
Abdullah Mahmud Syahatah, dalam bukunya ditulis bahwa Rasyd Ridh
(murid Abduh dan juga guru dari Ibn syr) menggunakan Maqshid al-Qurn
dalam penafsiran sebagaimana kedua gurunya al-Afghni dan Muhammad Abduh
[1905 M], Lihat Abdullah Mahmud Syahatah, dalam karyanya manhaj al-Imam
Muhammad Abduh fi tafsir al-Qurn al-Karm (Kairo:al Majlis al alli Riyah
alfunn wal adab wa al- Ulm al Ijtim;iyyah 1963) hal. 33. dan karyanya yang
berjudul Ahdf kulli srah wa Maqshiduh f al-Qurn al Karm, (Mesir; Haiah al-
Mishriyyah, 1986), hal. 93-94. dalam buku yang terakhir yang disebut Mahmud
Syahatah mulai menggunakan Istilah untuk tujuan-tujuan pokok Al-Qurn antara
lain Maqshid, ahdf, fikrah Ammah mabdi, yang selanjutnya ia lebih cenderung
memakai istilah ahdf sebagaimana judul bukunya.
Karya Muhammad al-Dhagmin dalam tulisannya yang berjudul Manhaj al-
Tamul maa al-Qurn f fikri al-Syaikh Muhammad Rasyd Ridh, dalam majalah
yang diterbitkan oleh Universitas Kuwait. Ia menekankan bahwa Rasyd Ridh
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap Maqshid al-Qurn, bahkan ia
menilai bahwa Rasyd Ridh mewajibkan penggunannya dalam menafsirkan al-
Qurn. Karya diatas terkait dengan kajian Maqshid al-Qurn yang dibangun oleh
Rasyid Ridha. Mengingat Ibnu syur adalah murid dari Abduh dan Rasyid Ridh

61
Khlid ibn Utsman al-Sabt, Qawid al-Tafsir Jaman wa Dirsatan (Kairo: Dar Ibn Affan,
1421 H.).
62
Abd al-Hadi al-Fadli, Al-Wasth fi Qawid Fahm al-Nushsh al-Syariyyah (Beirut:
Mu`assasah al-Intisyar al-Arabi, 2001).
63
Lihat lebih lanjut pripsip-prinsip tafsir Ibn syr, Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 39-43.
42

sehingga keterkaitan kajian diantara keduanya mengenai tafsir dan prinsip-prinsip


penafsiran sangatlah erat.
Karya Luay Shofiy, Kinerja akal (Iml al-Aql) min al- nazhrah tajzi'iyyah il
al- Ru'yah al-Takmuliyyah (dari yang partikular menuju yang general), dimana dia
mempunyai pandangan yang mengapresiasi gagasan Ibn syr tentang Maqshid al-
syarah. Dengan menggunakan metode qiyshiyyah yang menurutnya sebagai upaya
untuk memahami nushs syarah secara integral, dengan menemukan makna yang
tepat kemudian memberikan kesimpulan formulasi hukum-hukum secara
komprehensif.
Karya Thameem Ushama, Methodologies of The Quranic Exegesis telah
diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Hasan Basri dengan judul
Metodologi Tafsir al-Qurn, Kajian Kritis, Obyektif Dan Komprehensif (Jakarta:
Riora Cipta, 2000 M). Dalam buku ini dijelaskan beberapa kekeliruan madzhab-
madzhab penafsiran di abad-abad awal Islam, dan keganjilan-keganjilan yang
terdapat dalam penafsiran al Qurn serta syarat-syarat menafsirkan al Qurn.
Karya M.Quraisy Shihb; Tafsir al-Misbh (Jakarta: Lentera Hati 2000),
Membumikan al-Qurn, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan, 2006), dan Rasionalitas Al Qurn, Studi Kritis atas Tafsir al
Manr (Jakarta: Lentera Hati 1428 H/ 2007 M). Tafsir yang bernuansa sosial
kemasyarakatan ini benyak memuat pesan dan keserasian dari pelbagai keterangan
ayat beserta pandangan Ulama dan Mufassir baik Klasik maupun kontemporer
seperti Imm al-Ghazali, Fakhruddin al-Rz, Ab Hayyn, Ibn syr, al-Biq, dan
masih banyak lagi. Dan kedua buku setelahnya selain mengekplorasi pembumian al-
Qurn dengan pelbagai pandangan Ulama yang dirujuk, memaparkan keistimewaan
tafsir al Manr, serta mengungkap kekurangan-kekurangannya. Khususnya buku yang
kedua. Diantara kekurangan yang mendapat sorotan Quraish Shihab adalah bahwa
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyd Ridh masih belum mampu melepaskan
akidah dan madzhab mereka dalam menafsirkan al-Qurn. Asumsi ini diketahui dari
adanya sekian banyak penakwilan tanpa menggunakan alasan yang dianaut mayoritas
43

ulama, hanya dengan dalih bahwa tanpa penakwilan tersebut maka makna yang
dikandung ayat itu tidak dipahami berdasarkan ukuran akal penafsirannya, bukan
berdasarkan ukuran kekuasaan dan kudrat Allah.
Pada variabel kedua penulis menemukan dua tulisan yang keduanya berbentuk
tesis; pertama penelitian yang dilakukan oleh saudara Ghozi Mubarak tentang
prinsip-prinsip tafsir al-Imam al-Sytib dan ortodoksi tafsir Sunni, Penelitian ini
berangkat dari perdebatan mengenai posisi al-Sytib , dari sebuah pertanyaan:
apakah, secara sederhana, gagasan-gagasannya bisa digunakan untuk menentang
pandangan serta teori yang telah mapan dalam disiplin tafsir? Pertanyaan tersebut
bersifat kontemporer, dalam arti bahwa ia diajukan untuk merespons penilaian orang
lain di masa modern ini terhadap al-Sytib . Uraian tentang prinsip-prinsip tafsir
yang dikemukakan al-Sytib serta evaluasi terhadapnya berdasarkan kriteria-kriteria
ortodoksi memperlihatkan bahwa, secara umum, prinsip-prinsip tafsirnya tidak
bertentangan dengan, ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni.
Kedua, Duski. Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Sytib : Suatu
Kajian tentang Konsep al-Istiqr` al-Manaw. Disertasi pada Program Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006. dimana dia mengemukakan formulasi
penetapan hokum modern dengan metode yang dikembangkan Syatibi secara integral
dan Komprehensif.
Ketiga, Muh. Nurung Maqshid al-Qurn menurut Rasyd Ridha dalam
Karyanya Al-Wahyu al-Muhammady, seri Disertasi UIN Jakarta 2008, boleh jadi Ibn
syr terinspirasi dari gagasan Rasyd Ridh ini, namun perbedaan diantara
keduanya nampak sekali.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menguraikan formulasi Maqshid dan prinsip-prinsip tafsir Ibn syr.
2. Membuktikan prinsip-prinsip tafsir yang telah dirumuskan Ibn syr selaras
dengan penafsirannya, sesuai dengan konsep Ilm Maqshid dan pendasaran
norma-norma/aturan sosial kemasyarakatan Islami dalam karya-karyanya.
44

E. Manfaat/Signifikasi Penelitian
Realisasi penelitian ini akan bermanfaat / signifikan secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
a) Menggugah kesadaran terhadap urgensi Maqshid al-Qurn dalam
penafsiran.
b) Membangkitkan dan menstimulasi kepada upaya mengkaji bagian yang
fundamental dari struktur pemikiran dalam disiplin keilmuan tafsir al-
Qur`n.
c) Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan sebuah pola pandang
alternatif dalam membaca relasi antara rigiditas dan deviasi dalam
kajian-kajian tafsir serta Ulm al-Qur`n
Sedangkan secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
a) Memberi kontribusi ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al Qurn dan Tafsir
serta kajian ilmu ushul.
b) Memberikan arah bagi penelitian serupa yang lebih intensif dikemudian hari.
Kesinambungan antara penelitian ini dengan yang lain akan dapat
memperkuat formulasi dasar disiplin keilmuan Tafsir khususnya dan
mengelaborasi metodologi kajian ilmiah pada umumnya.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Sumber Data


Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research).
Data-data penelitian ini sepenuhnya diperoleh dari bahan-bahan pustaka tertulis yang
berupa buku, laporan hasil penelitian, makalah, jurnal ilmiah, atau literatur-literatur
lain. Sumber data primernya adalah beberapa buku karya Ibn syr, yaitu Al-Tahrir
wa al-Tanwr, al-Maqshid al-Syarah al-Islmiyyah, Al-Nizhm al-Ijtimiy, alaisa
shubhu biqarb dll. Masih banyak karya Ibn syr yang telah dicetak, namun dari
45

keempat buku ini terletak intisari pemikiran Ibn syr.64 Sedangkan data-data
sekunder akan digali dari sumber-sumber dalam empat kategori berikut. Pertama,
literatur-literatur tentang Ibn syr, terutama yang mengkaji pemikirannya tentang
Maqshid dan corak penafsirannya. Kedua, kajian-kajian tafsir dan ulm al-Qur`n
dan problematikanya. Ketiga, karya-karya tentang hukum-hukum Islam. Keempat,
literatur-literatur lain yang relevan, seperti tentang fiqh, usul fiqh, metodologi
penelitian, sejarah Islam, linguistik, ensiklopedi dll.
Dengan data penelitian yang tersebar di banyak literatur, penelitian ini menggunakan
teknik pengumpulan data dokumenter65 atau teknik elisitasi dokumen.66 Dengan teknik
tersebut, setiap keping informasi akan diperlakukan dan bernilai sama untuk
kemudian diklasifikasi, diuji, dan diperbandingkan satu sama lain.

2. Pendekatan Masalah
Karena penelitian ini ingin mengungkap Elaborasi Maqshid dalam penafsiran
pada karya Ibn syr, maka digunakan pendekatan struktural dalam kerangka yang
bersifat historis dan komparatif.
Pendekatan struktural (analysis structure) berangkat dari asumsi bahwa suatu
pemikiran merupakan sebuah struktur yang otonom dan dapat dipahami melalui relasi antar
unsur-unsurnya.67 Dengan pendekatan tersebut, karya-karya Ibn syr akan dipandang
sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terstruktur, dengan substruktur-substruktur yang

64
Karya Ibn syr berporos pada Ulm al-Islmiyah, dalam kedua kategori ini terletak ide
besarnya yaitu: tafsir dan Maqshid al-syarah al-Islmiyah, lihat dalam Muhammad Thhir Al-
Maiswi "Maqshid al syarah Al Islmiyah, [Dar al Nafais Urdun, cet-2 2001] hal. 48-77
65
Teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis. Lihat
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, cet. 12,
2002), hal. 206.
66
Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 73.
67
Tirto Suwondo, Analisis Struktural: Salah Satu Pendekatan dalam Penelitian Sastra, dalam
Jabrohim dan Ari Wulandari [ed.], Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Hanindita, 2001), hal.
54-56. Taufik Abdullah menilai bahwa pendekatan struktural sangat produktif untuk digunakan dalam
kajian teks. Lihat Taufik Abdullah, Agama Sebagai Kekuatan Sosial (Sebuah Ekskursi di Wilayah
Metodologi Penelitian), dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim [ed.], Metodologi Penelitian
Agama: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, cet. 2, 2004), hal. 45-46.
46

saling berhubungan, melalui mana Maqshid dan prinsip-prinsip tafsir yang


dirumuskannya akan dielaborasi dalam penafsirannya.
Pendekatan struktural (analysis structure) dalam penelitian ini diletakkan dalam
kerangka yang bersifat historis dan komparatif_historis karena penelitian ini juga
mengkaji kondisi-kondisi psikologis, sosial, politik, dan intelektual yang memengaruhi
pemikiran Ibn syr, dan komparatif karena ia mencoba membandingkan pemikiran
Ibn syr itu dengan al-Sytib seputar Maqshid dan prinsip-prinsip tafsirnya.
Sedangkan dalam teknik penulisan dan transliterasi, penulis mengacu kepada
buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), karya
Hamid Nasuhi, dan kawan-kawan. ( Jakarta: CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, cet.2, 2007).

G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan suatu bentuk tulisan yang sistematis sehingga tampak
adanya gambaran yang jelas, terarah, logis dan saling berhubungan antara bab satu
dengan bab berikutnya, maka tesis ini penulis klasifikasikan menjadi lima bab, yang
terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan dan satu bab kesimpulan.
Bab pertama, merupakan landasan umum penelitian dari tesis ini. Bagian ini
berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan
pembatasan masalah, tujuan dan guna dan tujuan penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, penulis akan membangun kerangka teoritis tentang Maqshid dan
pembacaan al-Quran, perspektif salaf dan khalaf. Pandangan kebebasan,
kemaslahatan dan batasannya. Kemudian komparasi pandangan seputar tema
tersebut, dan diakhiri dengan sub bab tentang pandangan sarjana barat seputar
rigiditas dan elastisitas tafsir.
Bab ketiga, dikhususkan pada formulasi Maqshid dan prinsip-prinsip tafsir Ibn
syr, elaborasi delapan Maqshid al-asliyyah dalam penafsiran Ibn syr, serta
47

pembahasan tentang prinsip-prinsip tafsirnya dalam mukaddimah kitab al-Tahrr wa


al-Tanwr.
Bab keempat, penulis mendeskripsikan aplikasi Maqshid dalam penafsiran
ayat-ayat hukum; khususnya mengenai ibadah; shalat, zakat dan puasa. Kemudian
penilaian dan respon akademik terhadap gagasan Ibn syr seputar Maqshid dan
penafsiran al-Qurn, Ibn syr dan ortodoksi penafsiran Al-Qurn Kontemporer
diperuntukkan untuk melihat sejauh mana relevansi gagasan Ibn Asyur dapat
diterapkan.
Bab kelima, bab penutupan, penulis menulis kesimpulan-kesimpulan dari isi
tesis secara keseluruhan sebagai penegasan jawaban atas permasalahan yang
dikemukakan sebelumnya, disertai dengan saran-saran yang dianggap penting
berkaitan dengan tema ilm al-Maqshid dan prinsip-prinsip penafsiran seputar
interaksi sosial kemasyarakatan.
48

BAB II
MAQSHID DAN PEMBACAAN AL-QURN

Maqshid dalam perspektif pakar linguistik seperti Ibn Manzhr, Fairuz


bad keduanya mensinyalir bahwa kalimat ini merupakan jama dari kata maqshad
yang terambil dari kata kerja qashada, yaqshudu, qashdan;68 yang mempunyai arti
lurusnya jalan, merupakan bentuk jamak dari maqshid69 yang berarti: Makn al-
Qashd (arah tujuan; maksud) juga dapat dipahami sebagai keadilan (lihat an-Nahl;
[16:9]).70 Namun yang sering dipakai oleh Fuqah dan pakar ilmu Ushl adalah arti
bersandar pada unsur dasar (al-umm) kesengajaan yang berjalan sesuai dengan arah
keinginan yang dicapainya. Seperti pandangan mayoritas mereka yang mengatakan
bahwa Maqshid terdapat pada hukum pertukaran (al-Tasharruft).71 Abdul Aziz bin
Ali dalam Ilm Maqshid al-Syri mendefinisikan al-Maqshid dalah apa yang
dikehendaki hukum-hukum syara [al-murd min tasyri al-Ahkm] dengan kata lain
tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum syara.72

68
Lihat lebih lanjut makna ini dalam Ibn Manzhr (Ab Fadl Jamluddn Muhammad ibn
Mukrim) (w. 117 H) dalam Lisan al-arab Dr Lisn al-Arab Beirut, jld. 3 hal. 96. bandingkan
dengan Fairuz bad dalam al-Qms al-Muhth,cet.1, Maktabah ar-Risalah, 1406 H/1986, Mesir hal.
396. terdapat beberapa makna juga yang sering dijadikan sandaran lihat juga Abdul Aziz bin Ali
dalam Ilm Maqshid al-Syri hal. 19-20. keterangan Ahmad Fayymi dalam al-Misbah mujam
Arab-arabi (Beirut Maktabah Lubnn, 1990), hal. 192; lihat juga, Munjid fi al-Lughah wa al-Alam
(Beirut Dr al-Masyriq, 1986) cet. Ke-28 hal. 632; lihat juga Hans Whr, a Dictionary of Modern
Written Arabic (Beirut Maktabah Lubnn, 1980), cet. Ke-3 hal. 767.
69
Lihat Ahmad Fayymi, al-Misbah hal. 192. lihat juga, Munjid fi al-Lughah wa al-Alam
(Beirut Dr al-Masyriq, 1986) cet. Ke-28 hal. 632; lihat juga Hans Whr, a Dictionary of Modern
Written Arabic (Beirut Maktabah Lubnn, 1980), cet. Ke-3 hal. 767.
70
Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia (Jakarta:Hidakarya, 1990), hal. 344.
71
Lihat lebih lanjut uraian ini dalam Syamsu al-Dn Ab Abdillah Muhammad bin Abi Bakar
Ibn Qayyim Ilm al-Muawwiqn an Rabb al-lamn, tahqq Abdu Rauf Sad, Maktabah Kulliyyah
al-Azhariyah 1967, juz 3 hal. 98, lihat juga al-Sytib dalam Muwfaqat f Ushl al-Syarah juz 2, Dr
al-Marifah 1395 H/ 1975 hal. 323.
72
Abdul Azz bin Ali,Ilm Maqshid al-Syri hal. 20. Bandingkan dengan al-Maysw dalam
Maqshid al Syarah al Islmiyah, 2001. hal. 90-91.
49

Menurut Ab Hamid al-Ghazli rahasia (sirr), hati (lubb), dan tujuan


(maqshid) al-Quran adalah menyeru hamba menuju Tuhan-nya yang Maha Kuasa.73
Sedangkan menurut Frid Wjidi dalam Tafsirnya, al-Mushhaf al-Mufassar,
Maqshid al-Qurn adalah mendidik manusia dengan didikan yang benar dan
menjadikan mereka manusia-manusia pada tingkat kesempurnaan, dimana
menemukan jati dirinya baik secara lahiriah maupun Batiniah.74
Pengertian yang lebih luas diberikan oleh pengarang Manhil al-Irfn f Ulm
al-Qurn Muhammad Abd al-Azhm al-Zarqni, menurutnya Allah dalam
menurunkan kitab-Nya (al-Quran) sebagai mujizat yang Mulia mempunyai tiga
Maqshid rasiyyah (tujuan-tujuan pokok): yakni sebagai petunjuk bagi manusia dan
jin, disisi lain sebagai bukti kebenaran risalah Nabi Muhammad saw. serta sebagai
sumber pahala karena membacanya.75
Pembacaan yang dimaksud disini adalah tafsir itu sendiri, yang secara
etimologis merupakan serapan dari bentuk tafl kata benda al-fasr76 yaitu kata kerja
fassara yufassiru dengan arti keterangan dan tawil77 yang satu-satunya ungkapan
dalam Al-Qurn terdapat pada surah al-Furqn (25):33:

73
Ab Hamid al-Ghazli, Jawhir al-Qurn wa Duraruhu (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah,
1988), cet. Ke-1, hal.11.
74
Lihat Mukaddimah tafsir Muhammad Farid al-Wjidi, al-Mushhaf al-Mufassar (Kairo:
Mathbi Dr al-Syab, 1977), hal. 95.
75
Muhammad Abdu al-Azhm al-Zarqni dalam karyanya Manhil al-Irfn f ulm al-Qurn,
(Kairo:Dr al-Hadits, 2001), vol.2 hal.104. bandingkan dengan pandangan Ibn Asyr yang
mengatakan bahwa penafsiran al-Qurn memiliki tiga tujuan-tujuan pokok yaitu; pertama sisi Al-
Qurn yang meliputi kemaslahatan umum [duniawi dan ukhrawi]; kedua sisi yang menerangkan
generalitas keilmuan [kulliyyt al-ulm] dan intisari kesimpulannya [maqid istinbtih]; ketiga; sisi
al-Quran yang sarat dengan filologik [balaghah] yang melekat pada redaksinya. Ismal Hasani dalam
Nazhariyyat al-Maqshid ind Ibn syr, hal. 90-91.
76
Menurut Ibn Manzhr, kalimat fasr berarti al-bayn yaitu keterangan yang memberikan
penjelasan, sedangkan tafsir dipahami dengan membuka sesuatu yang dimaksud oleh lafadz yang sukar
dipahami, Lisan Arab, Jilid 5, hal. 55.
77
Kata tawil berasal dari kata kerja awwala kata bendanya awl yang berarti kembali keasal)
yang berarti mengembalikan sesuatu kepada maknanya, lihat Al-Rzy, Muhtar shihhah , hal. 33. lihat
juga Mahmud Yunus, kamus arab-Indonesia (Jakarta- Hidakarya Agung, 1990) hal.316.ada juga yang
berpendapat bahwa tawil identik dengan tafsir. Lihat Majid al-Dn aal-Fairuzzabadi, al-Qms al-
Muhth (al-Mathbaah Misriyyah, 1933, jld II, hal. 110
50

#s? z|mr&u d,ys9$$/ y7o_ ) @sVy/ y7t?'t u

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang


ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya.

Sedangkan secara terminologis tafsir adalah penjelasan tentang arti atau


maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir). Yang
sementara tujuannya untuk mengklarifikasi sebuah teks. Dalam hal ini, tafsir selain
menjelaskan makna tersirat, Ia juga berfungsi secara simultan mengadaptsikan teks
pada situasi/konteks yang sedang dihadapi seorang Mufassir. Dengan kata lain,
kebanyakan penafsiran tidaklah murni teoritis, namun ia juga mempunyai aspek
praktis utnuk membuat teks dapat diterapkan dalam memantapkan keimanan dan
menjadi pandangan dan petunjuk orang-orang mumin.78

A. Ibn syr dan Penafsiran kontemporer


Muhammad Thhir Ibn syr adalah seorang reformis dan pembaharu
Tunisia yang hidup pada dua periode perubahan; pertama periode penjajahan Tunis
mulai tahun (1298 H/1881) sampai (1363 H/1956 M) kedua periode Kemerdekaan
Tunis tahun (1956 M-1973 M/1393 H) yang terakhir ini adalah tahun wafatnya,
demikian tulis Ismal Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr.79 Ia
lahir disaat gejolak pembaruan dan perubahan terhadap pandangan yang jumud dan
budaya taqlid yang sudah mengakar di seantero dunia khususnya pada generasi di
Timur Tengah, daerah kelahirannya adalah (al-Mars/) sekitar 20 kilo dari Ibukota
Tunisia pada tahun 1879 M/ 1296 H dimana kakek Ibn syr tinggal. Mulai itulah
Ibn syr diasuh kakeknya Muhammad al-Azz Battr, disebut demikian karena
di daerah tempat tinggalnya tersebut dijadikan tempat persinggahan kapal-kapal laut,

78
Al-Zarqni, Manhil al-Irfn f ulm al-Qurn, (Kairo:Dr al-Hadits, 2001), vol.2 hal.104.
79
Lihat Ismal Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqshid ind Ibn syr, (al Ma'had Al-'limiy
lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 75-82. lihat juga al-Mawsah al-Arabiyyah
al-lamiyyah (7357); dan al-Mawsah al-Arabiyyah (7/200).
51

kemudian jalan menuju tempat ini sekarang diabadikan dengan nama Syaikh Imm
Muhammad Thhir Ibn syr.80
Nama asli dari kitab ini adalah Tahrr al-Man al-Sadd wa Tanwr al-Aql
al-Jadd min tafsr al-Kitb al-Majd, dari judulnya menggambarkan ekspresi
penulis yang berupaya ingin melepaskan makna yang kaku dan mengelaborasinya
pada penafsiran yang elastis, disisi lain membentuk prinsip mainside [pola pikir]
muslim.81 Metodologi penafsiran Ibnu syr (w.1393H/1973) termasuk memakai
pola narasi pemikiran dalam menerapkan metode (muqrin) perbandingan antara lain;
perbandingan ayat Al-Qurn dengan yang lain, kemudian perbandingan ayat Qurn
dengan hadits, dan perbandingan mufasir satu dengan yang lainnya. Dalam tafsirnya
nuansa fiqh sangat dominan karenanya, upaya menafsirkan ayat dalam kaitannya
dengan persoalan hukum-hukum Islam banyak dijumpai, tidak heran tafsir ini
tergolong panjang lebar dalam pembahasan, aspek kebahasaan (filologik) juga terlihat
dominan karena penulisnya mahir bahasa juga ahli sastra.82
Pandangan-pandangannya mencerminkan revolusi terhadap taqlid dan
kemandegan berfikir, upaya tersebut dibuktikan dalam karya-karyanya setelah sekian
lama paradigma berfikir dan konsep tatanan masyarakat berperadaban yang selama
ini dipandang hanya sebagai wacana/paradigma dalam angan-angan atau hilang dari
peredaran kehidupan implementatif/praktis kaum Muslim. Ia dianggap sebagai Pioner
Mufassir di zaman modern. Karya tafsirnya al-Tahrr wa al-Tanwr dapat
dikelompokkan dalam penafsiran yang didalamnya memuat ringkasan pendapat-

80
Lihat juga dan baca lebih lanjut Ayd Khlid Thabb, Ulamu wa Mufakkirn Mushirn,
lanmahtu min haytihim wa marifatu bimuallaftihim, (Dr al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) hal.
25. Lihat juga karya Abdul Qdir Muhammad Shlih dalam al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-Ashri al-
Hadts, menurutnya, Ibn syr termasuk pakar tafsir umum kontemporer (tafsr al-m). Lihat Ismal
Hasani, Nazhariyyah hal. 75-82. diadopsi dari al-Shahabiy al-Atq, al-Tafsr wa al-Maqshid ind
Syaikh Muhammad Thhir Ibn Asyr (Dr Tnis al-Sanbil, 1410 H/1989 M) cet-1 hal. 11.
81
Ibnu syr al-Thrr wa al-Tanwr hal. 7-8, Lihat Ismal Hasani, Nazhariyyah hal. 90-91.
82
Ibnu syr al-Thrr wa al-Tanwr hal. 7-8, Lihat juga Mani Abdul Halim, Prof. Dr.
Metodologi Tafsir [terj. Raja Grafindo persada Jakarta 2006] hal. 314-315
52

pendapatnya yang bernuansa Ijtihad dan memperbaharui cakrawala berfikir global


dengan usaha dan upaya elaborasi paradigma penafsiran yang ada selama ini.83
Ia juga merupakan orang pertama yang menafsirkan al-Qurn di daerah
(Ifriqiiyah) Tunis, yang digelari pertama kali dengan sebutan Syaikh Islam dan
Syaikh Jmial-Azham, selanjutnya ia menghidupkan kembali Maqshid al-Syarah
setelah al-Izz ibn Abd al-Salm (w. 660 H) dan al-Syatibi (w. 790 H), dan
mendasarkan ilmu Maqshid Syarah Islmiyah sebagai kajian yang lebih luas dari
(ushul fiqh), sebagai pioner perubahan paradigma pengajaran dan manajemennya,
salah satunya memasukkan kurikulum pengajaran ilmu-ilmu eksakta (ilmu
Kimia,Fisika, al-Jabar dll). Ia menutup mata menghadap Ilahi Rabb di desanya (al
Marsa) dalam umur 94 pada hari Ahad bertepatan dengan 13 Rajab 1393/12 Agustus
1973, kemudian didedikasikan sebagai pioner bangsa Tunis pada abad 1400 Hijriah.84
Beberapa pertanyaan besar yang dapat diajukan sehubungan dengan penafsiran
Al-Qurn adalah; mengapa Al-Qurn perlu ditafsirkan? Apa hukumnya? Pra syarat
yang dipenuhi seorang mufassir? Untuk dapat menjawab secara tegas perlu
ditegaskan bahwa penafsiran dapat membantu manusia untuk mengungkap rahasia-
rahasia Allah dan alam semesta baik yang tampak maupun tidak. Penafsiran dapat
membebaskan manusia dari belenggu perbudakan baik oleh manusia maupun harta
serta membimbingnya untuk berkeyakinan penuh terhadap Allah yang maha adil.
Dengan demikian manusia dapat berhubungan baik secara vertikal maupun
horizontal. Dalam al-Qur`n tersirat segala petunjuk yang komprehensif mengenai
seluruh aktifitas kehidupan manusia mulai ajaran-ajaran beribadah, etika, transaksi,

83
Ismal Hasani, Nazhariyyah ........ hal. 75-82. Lihat juga Muhammad Khidr Husain, Tarjamah
Ibn syr dalam (Majalah al-Hidyah al-Islmiyyah 2/29) akses juga www.almostafa.com, (Tarjum
al-Muallifn al-Tunsiyyn). Lihat lebih lanjut tulisan Abdul Qdir Muhammad Shlih (Muhamad
Shalih al-Alsi) dalam al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-Ashri al-Hadts, (Dr al-Marifah Beirut
Libanon), cet-1. 2003 M-1424 H, hal. 109-152. lihat juga karya al-Fdhil Ibn Asyr dalam al-Tafsr
wa rijluhu, (Kairo; Dr al-Salm 2007) hal. 242. ia adalah putra dari Thahir Ibn syur yang
meninggal sebelum Ibn Asyur wafat (1973) yaitu sekitar tahun 1970.
84
Ismal Hasani, Nazhariyyah ..... hal. 113-128. lihat dan baca juga tulisan Ayd Khlid al-
Thabb, dalam Muhammad Thhir Ibn syr ..... hal. 78-87. bandingkan dengan Abdul Aziz ibn
Abd al-Rahman al-Rabah, Ilm Maqshid al-Syri, (Maktabah al-Mulk Mamlakah al-Arabiyah, cet
1 2002/1423), hal.73-85.
53

hukum, perang dan damai, sistem ekonomi utama yang diwahyukan Allah sebagai
anugrah bagi umat manusia.85
Terdapat dua istilah yang digunakan dalam penafsiran Al-Qurn yaitu tafsir
dan tawl. Dua istilah ini dapat dijelaskan perbedaannya. Menurut terminologi tafsir
berarti klarifikasi, eksplanasi, dan ilustrasi, seperti termaktub dalam Al-Qur`n
(QS.al-furqn:33).86 Kemudian kata tafsir mengacu kepada pemahaman secara
komprehensif tentang kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi SAW, adanya
keterpautan antar makna asli dan manql (yang tidak menjadikan ambiguitas) secara
ringkas didalamnya.87
Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa (ilmu) tafsir ilmu yang
mempelajari kitabullah dan menerangkan makna didalamnya dengan menggali
hukum-hukumnya dan mengambil hikmah dan pelajarannya bersandar pada ilmu
bahasa, nahwu, sharf, ilmu bayn, ushl fiqh, dan juga mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat serta tidak mengabaikan Nsikh manskh. Tafsir dapat disebut juga
dengan ilmu penelitian tentang al-Qurn kemudian disebut dengan penafsiran.88
Disiplin kajian ilmu tafsir memberikan kontribusi dan pengaruh besar
terhadap keilmuan Islam seperti jurisprudensi Islam, tasawuf, falsafah. Urgensi dan
relevansinya yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim sepanjang masa. Khlid abdul
Rahman al-Akk,89 dan Abdul Hayy Farmwi,90 keduanya disinyalir mengadaptasi

85
Lihat pengantar tafsir Thameem Ushama, Metodologies the Quranic Exegesis, terj. Hasan
Bashri dan Amroeni, Riora Cipta, Jakarta, 2000, hal. 3-4.
86
Mann Khll al-Qaththn, Mabhits f ulm al-Qurn, Muassasah al-Rislah, Beirut, 1983,
hal. 323. lihat redaksi ayat yang secara bahasa dalam (QS. 25 :33). Lihat juga Yusuf al-Qaradhwi,
berinteraksi dengan al-Qur`n, Gema Insani Press , Jakarta 1999, hal. 233.
87
Ibnu syur Muqaddimah al-l at-Tahrr wa at-Tanwr hal. 11-13
88
Khlid Abd al-Rahmn al-Akk, Ushl al-Tafsr wa Qwiduhu, hal. 32-40. pendekatan
nahwu dilakukan oleh Ab aswad As-Dualiy (w. 69 H), Nashr bin shim (w 89 H), yahya bin
Yamar (w. 129 H), Abu Amr bin al-Ila (w. 145), dan Isa bin Umar ats-Tsaqafy (w. 149 H).sayangnya
kitab tafsir yang muncul di abad awal sampai pertengahan abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai
kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan dibuku-buku Ulama yang muncul belakangan. Lihat juga
Badruddin Muhammad Abdullh az-Zarkasy, al-Burhn f ulm al-Qurn, Bb al-Halabi, jld 1, 1972,
hal., Muhammad Ali Shabniy, al-Tibyn f ulm al-Qurn, Maktabah al-Ghazli Damaskus, 1401 H,
hal. 61.
89
Khlid Abdur Rahmn al-akk, ia juga mengadaptasi dari karya al-Shabny, al-Tibyn f
ulm al-Qurn, lihat lebih lanjut dalam karya al-akk Ushl al-Tafsr wa Qawiduh, hal. 27.
54

pandangan as-Suythi,91 dan pandangan ini bersumber dari pendapat al-Asfahni


yang menyatakan bahwa hasil karya manusia yang paling mulia adalah tafsir al-
Qurn. Karena kemuliannya dapat dilihat dari tiga aspek berikut ini:
Pertama, dari sisi objek kajiannya, ilmu tafsir adalah kalam Allah Tala yang
merupakan sumber dari segala hikmah dan keutamaan (syaraf ilm syarafa al-
malm). Kedua, dari sisi tujuannya, ilmu tafsir berpegang teguh pada urwah al
wutsq (agama) untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Dengan ilmu tafsir
seseorang akan mengetahui maksud dan kehendak Allah Taala dalam kalam-Nya
yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., mengetahui perintah-perintah-
Nya, sehingga mampu mengerjakannya dengan baik, dan mengetahui larangan-
larangan-Nya sehingga ia mampu menjauhinya, bekal inilah (takwa) yang
menghantarkan seseorang kepada sadah didunia dan akhirat. Ketiga, sisi kebutuhan
terhadap ilmu tafsir ini dijelaskan bahwa kesempurnaan agama maupun dunia
sekarang dan yang akan datang pasti membutuhkan penjelasan ilmuilmu syaradan
pengetahuannya terhadapnya (agama) yang bertolak pada pengetahuan terhadap Al-
Qurn. Mujahid berkata: Makhluk yang paling dicintai Allah Taala adalah yang
paling mengetahui kitab Allah yang diturunkan.92
Urgensi ilmu tafsir ini terlihat jelas karena pertautannya dengan kalam Allah,
dan ilmu tafsir merupakan induk dari pelbagai ilmu; baik ilmu syara maupun umum.
Para ulama dari berbagai disiplin ilmu tidak dapat melepaskan diri dari ilmu tafsir ini.
Seperti halnya seorang Fakih mesti harus menguasai ilmu tafsir sebelum beristimbat
hukum. Begitu juga mutakallim harus mampu menguasai ilmu ini sebelum beristidll
untuk memperkuat ajarannya, demikian juga seorang muhaddits, sufi, dan seterusnya.

90
Abd Hyy Farmwi, al-Bidyah f Tafsr al Mawdh' [Kairo, al- Hadharah al-arabiah] cet.
Ke-2, 1977, hlm 12-13/ www.hadielislam.com
91
Al-Suythi, al-Itqn f ulm al-qurn, jld. 4, hal. 173.
92
Abd Hyy Farmwi, al Bidyah hal. 12/ www.hadielislam.com. Ia mengatakan setiap
kesempurnaan urusan agama dan dunia, baik jangka pendek maupun jangka panjang, tidak akan
sempurna kecuali dengan bantuan ilmu-ilmu syariat dan pengetahuan-pengetahuan tentang agama.
Ilmu dan pengetahuan tersebut haruslah diambil melalui hadits yang tidak dicampuri oleh kekeliruan
dan diambil pula dari kitab yang diturunkan kepada orang yang terpercaya (Muhammad saw.), yaitu
Al-Qurn.
55

Yusuf Qardhwi menekankan bahwa al-Qur`n diturunkan dengan bahasa arab yang
mengandung banyak kemungkinan arti, dari Sharh, Kinyah, hakikat, Majz, khs
m, mutlak dan muqayyad, Manthq- Mafhm, dan apa yang dipahami dengan
isyarat dan dengan ibarat. Kemampuan dalam memahaminya berbeda-beda. Ada yang
mampu memahami makna tampak (Zhhir) dan makna dibalik teks (Bthin) [ada juga
yang memahaminya dengan makna dasar dan relasional/leksikal], juga terdapat pula
yang berupaya memahaminya secara metaforis. Demikian juga keterpautan makna
dengan konteks sejarah sebab turunnya ayat [leksikal] dikorelasikan relevansinya
pada kehidupan kekinian. Karenanya, manusia sangat membutuhkan ilmu tafsir.93
Dalam hal ini Abdul Hyy Farmwi juga demikian, dalam karyanya ia
menyatakan bahwa ilmu tafsir memiliki urgensi yang tidak kalah yaitu; mengetahui
segi-segi kemujizatan Al-Qurn, sehingga ketika orang menelaahnya akan
mengimani kebenaran risalah kenabian Muhammad saw.94
Prasyarat bagi mufassir yang ditekankan Ibnu syr sebelum menafsirkan
adalah: pertama, definisi (terminology) lafadz, dan kedua; keterangan lazim yang
mendekati -makna ayat- (dallah iltizm). Poin terakhir ini didasari oleh karena
penelitian tentang tafsir ini pertama; akan Menarik kesimpulan dari pelbagai ilmu,
dan kaidah-kaidah yang general (umum). Kedua: Merupakan prasyarat dari
problematika penafsiran dan sebagai dasar generalitas keilmuan terutama ilmu-ilmu
eksakta. Ketiga; Menjadikan definisi lafadz (terminology) sebagai jawaban atas
pandangan sebagaian muhaqqiq dalam mengawali tulisannya. Keempat: Membuat
penelitian ilmu tafsir ini tidak dapat terlepas dari kaidah-kaidah general (umum).
Kelima; Menjadikan bahwa sesungguhnya penafsiran yang semestinya (haq) itu

93
Ysuf Qaradhwi, kaifa natamal maa al-Qurn, diterj. Oleh (gema Insani Press. Cet 1
1999) dengan judul berinteraksi dengan Al-Qurn, hal. 285-286. bandingkan al Imam Abdullah
Zarkasyi, al-burhn f ulm al-Qurn , (Mesir, Dr al- Ihy al-kutub al-arabiy), 1957, hal. 2-3. lihat
juga Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qurn (Bandung Mizan, 1994), hal. 83.
94
Abd Hyy Farmwi, al-Bidyah f Tafsr al Mawdh' hlm 12-13/ www.hadielislam.com.
Bandingkan dengan Khlid Abd al-Rahmn al-Akk, Ushl al-Tafsr wa Qwiduhu, hal. 27. lihat
juga Gamal al-banna, tafsir al-Qur`n al-Karim baina al-qudama wa al-muhadditsin, (terjemahannya,
evolusi tafsir, Qisthi Press 2004 hal 138).
56

terletak pada penjelasan yang komprehensif (yasytamila bayn), ushl tasyr dan
generalitas problematikanya. Keenam; Ilmu tafsir merupakan awal dari segala
penelitian tentang ilmu-ilmu lainnya yang cukup mendapat perhatian dari Ulama,
sebelum penelitian dari pelbagai ilmu dan teknologi era global menyibukkan
mereka.95
a. Syariah dan interpretasi al-Qurn
Secara etimologis; syarah berarti jalan menuju kesumber air, jalan ke arah
sumber (al-Mawrid al-adzb alladz turidhu al-Syribah wa yastaq minhu) pokok
bagi kelangsungan hidup manusia (idz kna adan lyanqathiu sahl al-Tanwul).96
Kata ini merupakan derivasi dari kata syaraa yang berarti menetapkan atau
mendekritkan. Dalam al-Qurn kata syarah muncul satu kali dalam (QS. 45:18)
dengan pengertian jalan yang mesti diikuti. Sedangkan kata syaraa muncul dua kali
dengan Tuhan sebagai subyeknya (QS.42;13), dan yang berkaitan dengan orang
membangkang kepada agama Tuhan (QS. 7:163). Karenanya kata tersebut lebih
populer dikenal dengan Dn (agama) yang secara harfiah berarti ketaatan atau
kepatuhan. Namun perbedaannya jika syarah adalah penentuan jalan yang
subyeknya adalah Tuhan, maka Dn adalah tindakan mengikuti jalan tersebut dan
subyeknya adalah manusia itu sendiri.
Jadi, syarah dalam pengertian awal yang dipakai hingga kini adalah jalan
yang ditetapkan oleh Allah dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk
merealisir kehendak Tuhan. Ia adalah konsep praktis yang menyangkut seluruh

95
Ibnu syur Muqaddimah al-l al-Tahrr wa al-Tanwr hal. 12-13.
96
Lihat Muhammad Ibn Yakb al-Fairuz Abad, al Qmus al-Muhth (Mathbaah al-Sadah,
Mesir 817 H) juz 3. hal. 44. bandingkan dengan Ibn Manzur, Lisan al-arab, (Dr Dr al-Shdir) juz.
8. hal. 175. nama aslinya Jamluddn Muhammad ibn Mukrim ibn Ali.... Ibn Manzr al-Anshr al-
Mishr ia lahir pada tahun 630 H, ia mempunyai karya yang banyak selain it ia juga mahir dalam
bahasa adab dan sastra dan lainnya, lihat, Jalluddn Abdur Rahmn al-Suythi Bughyah al-Wut f
thabaqt allughawiyyn wa al-Nuhat, tahqq Ab Fadl Ibrhm, (Isa al-Bb al-Halab 1384 H cet-1)
juz 1.hal. 248. lihat lebih lanjut Abdur Rahmn Abdur Rahm Ibn Abdullah al-Dirwisy, al-Syarial-
Sbiqh, (Huqq al-Thaba mahfdzah li al-Muallif, Riyadh) cet-1 hal. 17.
57

tingkah laku manusia, spiritual, mental, dan fisik untuk keberlangsungan hidup
sekarang dan yang akan datang.97
Kata syarah biasanya digunakan dengan dua pengertian; Pertama, ajaran
Islam secara umum yang meliputi akidah, ibadah, muamalat dan akhlak. Kedua;
ajaran Islam yang berkaitan dengan perbuatan manusia seperti ibadah dan
muamalat.98 Disisi lain syarah juga dipahami juga dengan suatu penekanan
terhadap absolutisme teks suci yang teraplikasikan dalam interpretasi-interpretasi atas
teks itu sendiri sebatas kemampuan manusia (tafsir), syarah merupakan suatu
konsep yang komprehensif, mencakup kebenaran spiritual Sufi (haqqah), kebenaran
rasional (aql), para filsuf dan teolog, serta hukum.99
Dalam pemikiran Islam kontemporer ia hanyalah kesimpulan logis yang
ditarik dari suatu pikiran bahwa teks adalah ucapan verbal Realitas Absolut
Ketuhanan yang pasti. Tetapi sekalipun konsep ini merupakan doktrin ekstrimis
dalam Kristen bahwa teologi berjalan dan tidak pernah melepaskan problematika
ekslusifis.100 Bahkan konsep ini juga merupakan doktrin esensial teologi Islam sejak
abad 3 H/ 8 M yang secara politis dilarutkan untuk memenuhi (doktrin) ortodoksi
bahkan heterodoksi.101

97
lihat juga Fazlur Rahmn dalam Islam terj. Bandung : Pustaka, 2003, cet. V, h. 140-141
Rifyal Kabah, penegakan syarah Islam di Indonesia, Jakarta Khairul Bayn, 2004, h. 3-4.
Bandingkan dengan; Zakaria al Anshri, al-Hudd al-anqah wa al-Tarfat al-daqqah, hal 14.
Bairut, Dr al Masyari cet. I 2004.
98
Al-Qaradhwi, Dirsah f fiqhi Maqshid al syarah baina al Maqshid al kulliyah wa al
nushs al juziyah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20.
99
Ibnu Taimiyyah, Muwfaqt al-sharh al-Maql li shahh manql, Cairo 1321 H, I, hal 48
(buku ini dicetak pada pinggiran kitab Minhj al-Sunn karangan Ibn Taimiyyah). Lihat juga uraian
Fazlur Rahman dalam Islam Bandung : Pustaka, 2003, cet. V, h.158-159
100
Sikap bertahan teologi ini dapat dipahami; bahwa filsafat fakta keagamaan itu tidak segera
mengantarkan pada tujuan (berbagai agama). Namun sebaliknya agama-agama yang sedang
ditransformasi dibawah tindakan yang merusak dari berbagai faktor yang cenderung menyisihkan
hingga pada (tingkat) kerisauan filosof (seperti yang disinyalir Al-Ghazli dalam Tahfut al-
Falsifah-penulis). Arkoen dalam Lectures du the Coran G.P. Maissoneuve et Larose, 1982, (terj.
Hidayatullah dalam kajian Kontemporer Al-Qurn) Pustaka, Bandung, 1998 hal. 66.
101
Ortodoksi atau pemahaman ekslusif merupakan fenomena yang tidak saja terjadi dalam
bidang agama, namun juga terjadi dalam pelbagai disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi.
Lihat Ursula Gnther, Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought, dalam
Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Quran (Oxford: Oxford University
58

Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas problematika


kehidupan di masyarakat, pakar tafsir kontemporer termotivasi untuk
merealisasikannya dalam penafsiran yang solutif dari pelbagai metode pendekatan
dan beragam corak penafsiran dijadikan tumpuan untuk mewujudkan penafsiran
tematik dengan nuansa sosial kemasyarakatan (adab Ijtimiy), corak ini disinyalir
menjadi rujukan pakar tafsir modern.102
Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Qurn yang keadaannya seperti
digambarkan oleh Abdulah Darrz dalam An-Naba al-Azhm; Bagaikan intan yang
setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari
sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain
memandangnya, maka akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.103
Dalam hal ini Muhammad Arkoun seorang pemikir Al-Jazair berpandangan
bahwa; Al-Qurn memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang terbatas. Kesan
yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat
wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi )

Press, 2004), hal. 142. lihat juga ulasan Norman Calder dalam, The Limits of Islamic Orthodoxy,
dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86
102
Rsyid Ridh, Tafsir Al-Manr, Kairo-Mesir: 1367 H juz I hal 7, Abd Hyy Farmawi, al
Bidyah fi Tafsir al Maudu'I Kairo, al- Haharah al-arabiah, cet. Ke-2, 1977, hlm 23-24. lihat lebih
lanjut uraian Quraish Shihab dalam membumikan al-Qurn (Mizan, cet XXIX, 2006) hlm 111-123.
juga uraian tentang corak dan ciri-ciri penafsiran 'Abduh dan Rasyid Ridha dalam Rasionalitas al-
Qur'n (studi kritis atas tafsir al-Manr), Lentera hati 2006, hlm 24Abdul Ghoffar, Abdurrohim, Al
Imam 'Abduh wa mnhjuhu f al tafsr, Mesir: Al markaz Al Arbi li ats tsaqfah wal ulum, 1980.
Lihat corak penafsiran Ibnu syr dalam tafsirnya al-Tahrr wa al-Tanwr juz 1 hal. 222. lihat juga
Iffat Syarqwi, Qdhya insniyyah fi ml al mufassirin, Mesir: maktabah Syabb, 1980 hal 80, lihat
juga uraian Ali Iyzi tentang Ibnu syr dalam al-Mufassirn Haytuhum wa manhjuhum, Mu'assah
[Thaba'ah wa an Nasyr wizrah al Islmi] cet-1. hal.109-151.
103
Abdullah Darrz, Al-Naba Al-Azhm, Dar al-Urubah Mesir, 1960, hal. 111. lihat uraian
J.J.G.Jansen dimana dia mensinyalir diantara tafsir modern yang perlu mendapat perhatian karena
dianggap mempunyai elaborasi konsep penafsiran seperi Izzat Darwaza dengan al-Tafsir al-Hadts,
Muhammad Abduh dengan Tafsir Juz Amma dan Muhammad Thhr Ibn syur dengan al-Tahrr
wa al-Tanwr, dalam The Interpretation of the koran in modern Egypt, (Leiden,: E.J.Brill 1974), h. 17.
Bandingkan dengan J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation S.A. Kamal, Abuk kalm azads
commentary on the Qurn, in The Moslem world, vol. 49, 1959; hal. 1-18. lihat juga Isa.J.Boullata
dalam modern Quran Exegesis A study of bint al-Syti method. The presents Status of Tafsir
Studies inth moslem world, vol. 72, 1982, hal.224-238. Bandingkan Abdul Fattah al-Khlidi, Tarf al-
Drisn b Manhij al-Mufassirn, (Damaskus; Dr al-Qalam, t.th), hal. 562-563. juga dengan
tulisanAbdul Hayy Farmwi al-Bidyah f al-Tafsr al-maudh, hal. 23.
59

baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal dan selalu
berkembang.104
Dalam kesempatan lain Jeffery menekankan bahwa apa yang kita butuhkan,
bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh
orientalis modern, sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern
untuk tafsir al-Quran.105
Sebenarnya, yang dimaksud dengan pendekatan modern oleh Jeffery adalah
metode kritis-historis (the historical-critical method). Metode tersebut memang
sangat mapan dalam studi Bibel. Metode tersebut diformulasi oleh para sarjana bibel
karena persoalan teks Bibel. Metode tersebut diformulasikan oleh para sarjana Bibel
karena persoalan teks Bibel. Berbagai jenis analisa muncul disebabkan problematika
teks Bible. Diantaranya: analisa teks (textual criticism), kajian filologis (philological
study), analisa sumber (source criticism) dan analisa sejarah (historical criticism).
Jeffery mengaplikasikan berbagai analisa Bibel tersebut untuk mengkaji sejarah al-
Qurn. Dalam perkembangannya metodologi tersebut juga sudah menyebar ke
sebagian kalangan cendekiawan Muslim kontemporer. Mohammad Arkoun,
misalnya, sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak kaum
Yahudi-kristen. Ia berkata: sayang sekali bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-
teks suci yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan perjanjian baru, sekalipun
tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu, terus ditolak oleh pendapat
kesarjanaan muslim.106
Mohammed Arkoun juga menegaskan bahwa studi al-Qurn sangat
ketinggalan dibanding dengan studi Bible (Quranic Studies lag considerably behind

104
Muhammad Arkoun, Algeria dalam shireen T.Hunter (ed.) the politics of Islamic
revivalism, Bloomigton Indiana University Press, 1988, h,182-183.
105
Arthur Jeffery, Proggerss in the Study of the Quran texts, The Moslem World 25 (1935), No
1, hal. 4., (What we needed, hoever, was a critical commentary which should embody the work done by
modern orientalists as well as apply the methods of modern research to the elucidation of the Koran).
106
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answer, pen robert D
Lee, hal. 25. dia menulis It is unfortunate that philosophical critique of sacred text which has been
applied to the hebrew bible. And to the new Testamen without thereby ergendering negatif
consequences for the notion of revelation-continues to be rejected by muslim scholary opinion.
60

biblical studies to which the must be compared).107 Menurutnya metodologi John


Wansbrough memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin ia kembangkan.
Arkoun berkata: Intervensi ilmiah Wansbrough menemukan tempatnya di dalam
framework yang saya usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada
metode-metode analisa sastra yangseperti bacaan antropologis-historis
menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan untuk disiplin-disiplin
lain dan tingkat refleksi yang tidak terbayangkan di dalam konteks fundamentalis saat
ini.108
John Wansbrough yang dimaksud oleh Arkoun adalah seorang orientalis
kontemporer (2002) yang menerapkan form criticism dan redaction criticsm kepada
al-Quran. Metodologi tersebut menggiring John Wansbrough untuk menyimpulkan
bahwa teks al-Qurn yang tetap itu tidak ada sehingga tahun 800 M. riwayat-riwayat
mengenai al-Qurn versi Utsmn adalah fiksi terkemudian yang direkayasa oleh
komunitas Muslim yang sedang muncul dalam usahanya untuk mengambarkan asal
mulanya dan melacak mereka ke Hijaz.109
Mohammed Arkoun juga memaparkan alasan mengapa kaum Muslimin
menolok pendekatan kritis-historis al-Qurn. Dalam pandanganya, alasan tersebut
sebernarnya bernuansa politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku,
karena kegagalan pandangan muktazilah, tegasnya, mengakibatkan kaum Muslimin
menganggap bahwa semua halaman yang ada di dalam mushaf adalah Kalam Allah.
Al-Qurn yang ditulis dan yang dibaca, dalam pandangan kaum Muslimin, adalah

107
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi
Books,2002), hal. 42.
108
Moh Arkoun, (Wansbroughs scientific intervention finds its place in the framework I
propose. It gives priority to method of literay criticism which, like the historical anthropological
reading, lead to questions left to other disciplines and a level of reflection unimagineabale in the
curren fundamentalist context).Contemporay critical Practices an the Quran, di Encyclopedia of the
Quran, Editor Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001), Jilid I, A-D hal. 430.
109
Issa J. Boullata, the traditions about the Utsmanic recension of the Quran are later
fiction desihgend by the emerging Muslim community in its effort to describe its origins and trace them
to the Hijaz, Books Reviews: Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation
The Muslim World 67 (1977), No 4, hlm 306-07.
61

emanasi langsung dari Lawh al-Mahfuz.110 Padahal, menurut Mohammed Arkoun,


mushaf Ustmni tidak lain adalah hasil sosial budaya masyarakat yang kemudian
dijadikan Unthinkable dan makin menjadi Unthinkable dikarenakan kekuatan dan
pemaksaan penguasa resmi.111 Istilah yang lebih tepat untuk menyebut Mushaf
Utsmani, sebut Mohamed Arkoun, adalah Mushaf Resmi Tertutup (Close Official
Corpus).112
Selain itu Mohammed Arkoun juga berpendapat apa yang dilakukannya sama
dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Ab Zayd, seorang intelektual asal
Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr
Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid yang mengaplikasika pendekatan sastra
kotemporer memang layak untuk diaplikasikan kepada al-Quran.113
Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Qurn adalah produk budaya (muntaj
tsaqafi). Artinya, teks al-Qurn, kata dia, terbentuk dalam realitas dan budaya,
selama lebih dari 20 tahun. Namun al-Qurn juga mengubah budaya, karena ia juga
produsen budaya (muntij li al-thaqfah). Al-Qurn menjadi teks yang hegemonik
dan menjadi rujukan bagi teks yang lain.114
Bagi Nasr Hamid, realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa. Oleh
sebab itu, al-Qurn juga merupakan teks bahasa (nash lughaw). Ketertarikan
realitas, budaya, dan bahasa, menjadikan al-Qurn sebagai teks historis sekaligus
teks manusiawi. Al-Qurn adalah teks manusiawi karena berada di dalam ruang dan
waktu tertentu. Kemanusiawiannya, bahkan sudah dimulai saat Rasulullah saw
menyampaikan wahyu itu ke para sahabat. Nasr Hamid berpendapat bahwasannya
teks sejak awal diturunkan ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi, ia berubah

110
Issa J. Boullata, Books Reviews: Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation The Muslim World 67 (1977), No 4, hal. 37.
111
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today dalam Mapping Islamic Studies, ed Azim
Nanji, 237 seterusnya di ringkas Islam
112
Arkoun, Rethinking Islam Today Mapping Islamic Studies, ed Azim Nanji, 238.
113
Mohammed Arkoun, The Unthought, hal. 60-61
114
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhm al-nash: Dirsah fi ulm al-Qurn (Beirut: al-Markaz al-
Tsaqafi al-Arabi, edisi II, 1994).
62

dari sebuah nash ilhiy (teks Ilahi) menjadi sebuah konsep atau nash insni (teks
manusiawi), karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad
atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal
manusia.115
b. Tafsir Tematis dan Metodologi Kontemporer
Agak sulit untuk menentukan secara pasti siapa yang pertama kali
merumuskan konsep tentang surah dalam al-Qur`n sebagai sebuah unit tematis.116
El-Thhir El-Maiswi menyebut nama Fakhruddn al-Rz sebagai salah satu yang
paling awal.117 Sonia Wafiq menyebut al-Sytib.118 Belakangan, konsep tersebut
dikembangkan secara elaboratif misalnya oleh, Burhn al-Dn al-Biq (w. 885 H.)
dalam dua karyanya: Nadzm al-Durar f Tansub al-yy wa al-Suwar dan
Mashid al-Nazhar li al-Isyrf al Maqshid al-Suwar;119 Sayyid Quthb (w.
1966) dalam F Zill al-Qur`n;120 serta banyak pemikir modern lainnya.121

115
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitb al-Dn (Kairo: Sina li al-Nashr, edisi Pertama,
1992).
116
Tafsir mawd bisa dilakukan terhadap sebuah surah, atau terhadap ayat-ayat tentang tema
yang sama dari pelbagai surah, atau kepada istilah dan lafaz tertentu dalam al-Qur`an. Lihat Shalh
Abd al-Fattah al-Khlid, Al-Tafsir al-Mawd bayna al-Nazariyyah wa al-Tatbq, hal. 52-59.
117
Mohamed El-Thhir El-Misawi, The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdi, hal. 128-129.
118
Sonia Wafiq, Manhaj al-Tafsir al-Mawdhi wa al-Hjah ilayh, dalam Buhts Mu`tamar
Manhij Tafsr al-Qur`n al-Karm wa Syarh al-Hadts al-Syarf, hal. 654. Selain dua nama tersebut,
ada pula yang menyebut nama al-Fayruzabd (w. 817 H.) dengan karyanya, Bash`ir Dzaw al-
Tamyz f Lath`if al-Kitb al-Azz. Lihat Abdullh Mahmd Syahtah, Ahdf Kulli Srah wa
Maqsiduh f al-Qur`n al-Karm (Kairo: al-Hay`ah al-Mis}riyyah al-mmah li al-Kitb, cet. 3,
1986), vol. 1, hal. 4.
119
Tentang kitab Nadzm al-Durar, Abd al-Fatth al-Khlid berkomentar, di dalam kitab
tafsir tersebut, [al-Biq] memusatkan perhatiannya kepada hubungan dan pertautan antara ayat-ayat
dalam satu surah yang sama. [Dengan cara tersebut], sebuah surah menjadi suatu kesatuan yang
[bagian-bagiannya] saling berhubungan, saling mendukung, dan terikat satu sama lain. Lihat al- al-
Khlid, Tarf al-Drisn bi Manhij al-Mufassirn (Jedah: Dr al-Basyr, 2002), hal. 450.
120
Musthaf Muslim, Mabhits f al-Tafsr al-Mawdh (Damaskus: Dr al-Qalam, 1989), hal.
26 dan Issa J. Boullata, Sayyid Qutbs Literary Appreciation of the Qurn, dalam Issa J. Boullata
[ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qurn (Surrey: Curzon Press, 2000), hal. 354-
371.
121
Di antara para pemikir tersebut, terdapat nama-nama seperti Asyraf Al Tsanwi, Hamid al-
Dn al-Farh, serta Amn Ahsan Islh di India dan Pakistan; Izzat Darwazah dan Sayyid Qutb di
Mesir; serta Muhammad Husayn al-Thabathab` di Iran. Lihat Mustansir Mir, The sra as unity: A
twentieth century development in Qurn exegesis, dalam dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A.
Shareef [ed.], Approaches to the Qurn (London dan New York: Routledge, 1993), hal. 211-224.
63

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: adakah perbedaan corak antara


pendekatan yang digunakan oleh Mufassir klasik dengan para mufassir modern dalam
memperlakukan surah al-Qur`n sebagai sebuah unit tematis?
Beragam definisi tafsir mawdh yang dikemukakan oleh banyak ulama dan
penulis.122 Berdasarkan eksposisi terhadap beberapa definisi tersebut, El-Thhir El-
Miswi merumuskan dua ciri utama dari pendekatan Mawdh dalam tafsir.
Pertama, perhatian kepada tema sebagai titik fokus dari kegiatan interpretasi al-
Qur`n. Kedua, gagasan tentang al-Qur`n sebagai sebuah kesatuan koheren yang
terbentuk dari bagian-bagiannya.123 Selain itu, meski sebagian besar literatur tafsir
yang menggunakan metode Mawdh tidak mengemukakan kerangka epistemologis
dan teoretis yang dibutuhkan untuk melakukan tafsir dengan cara tersebut, namun
semua literatur itu berangkat dari keprihatinan yang sama: bahwa tafsir tradisional
yang bersifat atomistik, yang menafsirkan al-Qur`n ayat perayat, dianggap tidak lagi
memuaskan.124
Dalam hal ini Ibnu syr termasuk dalam kategori diatas, beberapa buku
tafsir yang sering dijadikan rujukan dan studi kritisnya diantaranya tafsir al-Kasyf
karya Zamakhsari, al-Muharrar al-Wajz karya Ibn Atiyyah, Maftih al-ghaib karya

Menurut Quraish Shihab, ide tentang surah sebagai sebuah unit tematis baru diwujudkan pertama kali
dalam sebuah kitaf tafsir oleh Mahmd Syaltt pada tahun 1960. Lihat M. Quraish Shihab,
Membumikan al-Qur`an, hal. 113.
122
Salah satu definisi tafsir mawdhu yang diajukan oleh Mushtaf Muslim adalah Sebuah
ilmu yang mengkaji persoalan-persoalan tertentu sesuai dengan al-Maqshid al-Qur`niyyah, baik
yang dirumuskan dari sebuah surah atau lebih. Lihat Musthaf Muslim, Mabhits f al-Tafsr al-
mawdhu (Damaskus: Dr al-Qalam, 1989), hal. 15-16. Sementara itu, Sonia Wafiq
mendefinisikannya sebagai Sebuah metode (manhaj) dalam penafsiran al-Qur`an yang bertujuan
untuk memperlihatkan kesesuaian (munsabah) antara teks-teks al-Qur`an (al-nushsh al-
Qur`niyyah) dalam sebuah surah atau lebih berdasarkan kesatuan tematis yang jelas rambu-rambunya
guna menghasilkan sebuah teori, atau paling tidak sebuah pandangan qur`ani, yang membantu
tercapainya salah satu atau lebih dari maqshid al-Qur`n serta (digunakan untuk) menyelesaikan
problem-problem nyata (masykil wqiiyyah). Lihat, Sonia Wafiq, Manhaj al-Tafsr mawdhu wa
al-Hjah ilayh, dalam Buhts Mu`tamar Manhij Tafsr al-Qur`n al-Karm wa Syarh al-Hadits al-
Syarf, hal. 653-654.
123
Muhammad El-Thhir El-Misawi, The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdhi, hal.
128-129.
124
El-Misawi, hal. 125-126. Secara tersirat, hal senada juga diungkapkan oleh al-Khalid. Lihat
Shalh Abd al-Fatth al-Khlidi, Al-Tafsr al- mawdhu bayna al-Nadzariyyah wa al-Tatbq, hal. 42-
48.
64

Fakhrudn al-Rzi, tafsir al-Baidhwi yang merupakan ringkasan dari tafsir al-
Kasyf , dan Maftih al-Ghaib dengan tahqq yang indah dan tafsir Syihb al-Alsi.
Demikian pula dengan komentar-komentar at-Thibi, al-Qazwaini, al-Quthb, dan at-
Taftazni atas tafsir al-Kasyf, serta komentar al-Khafaji atas tafsir al-Baidhw. Di
samping tafsir Ibnu Saud, tafsir Qurthbi, dan yang dari tafsirnya Ibnu Atiyyah at-
Tunisi dari penulisan muridnya, al-Ubay. Meskipun sifatnya hanya komentar (talq),
tafsir Ibnu Atiyyah, karena tidak lengkapnya mereka dalam menafsiri semua ayat Al-
Qur`n maka tidak dapat dikatakan sebuah tafsir tersendiri. Berikutnya yang banyak
disoroti adalah tafsir al-Ahkm karya Al-Imam Muhammad Jarr at-Thabar dan kitab
Dzurrat at-tanzl yang diduga karya Imm Fakhrudn al-Rz (544 H) atau kadang
diklaim sebagai milik Rghib al-Asfahni.125
c. Metodologi penafsiran
Metodologi tafsir al-Qur`n secara umum terbagi kepada tiga macam, pertama
Tafsir bi al-Matsr kedua tafsir bi al-rayi dan ketiga tafsir bi al-Isyri (berdasarkan
isyarat/indikasi).126 Metode tafsir ini dipahami sebagai seperangkat pedoman dan
aturan yang dipilih oleh seorang penafsir untuk melakukan pendekatan terhadap ayat-
ayat al-Qur`n demi tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya.127
Dalam beberapa literatur, metode-metode tafsir yang kerap dibicarakan adalah
metode ijml (global), metode tahll (analitis), metode muqrin (komparatif), atau
metode mawd (tematik).128 Bila ditinjau secara menyeluruh, empat metode tafsir
diatas sejatinya lebih berurusan dengan bagaimana memilih ayat-ayat al-Qur`nserta
bagaimana mengolah dan menuliskan tafsir atasnya. Metode tafsir yang didefinisikan

125
Ibnu syr at-Thrr wa at-Tanwr hal. 6-7 Dar-el Tunsiyah linnasar. T. th.
126
Al-akk, ia mengadaptasi dari karya al-Shabny, al-Tibyn f ulm al-Qurn, lihat lebih
lanjut dalam karya al-akk Ushl al-Tafsr wa Qawiduh, Dr al-Nafis, Beirut-Libanon, hal. 35.
127
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`n(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hal. 2.
128
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, hal. 4. Al-Khlidi menyebut empat
kategori tersebut dengan bentuk-bentuk tafsir (anw al-tafsr)sesuatu yang didefinisikannya
sebagai rancangan-rancangan (khuthath), rincian-rincian (tafshlat), serta gaya-gaya penulisan
(aslb) yang digunakan oleh para mufassir dalam tafsir mereka dan yang kepadanya mereka
mengaplikasikan pendekatan (manhaj) mereka masing-masing. Lihat Salh Abd al-Fatth al-Khlid,
Al-Tafsr al-Mawd bayna al-Nazhariyyah wa al-Tatbq, hal. 27-28.
65

sebagai seperangkat pedoman dan aturan untuk menafsirkan al-Qur`n tentu saja
memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas dari empat kategori di atas.
Dalam hal ini Norman Calder menulis,129 bahwa metode yang digunakan
seorang mufassir dapat dianggap lebih penting daripada produk penafsiran yang dia
hasilkan, bahwa perbedaan interpretasi lahir terutama akibat perbedaan metode yang
digunakan oleh masing-masing mufassir.130
Pertama; Metode tafsir bi al-Matsur (riwyat); Tafsir yang menggunakan
metode ini merujuk pada penafsiran Al-Qurn dengan Al-Qur`n atau penafsiran Al-
Qurn dengan al-Hadits melalui penuturan sahabat. Metode ini merupakan dua tasir
tertinggi diantara penafsiran yang ada karena mereka (Sahabat) menyaksikan
turunnya al-Qur`n.131
Kedua; Metode tafsir bi al-rayi (diryat); Jenis tafsir ini juga disebut dengan
diryah (berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-maqul bagi para mufassir yang
mengandalkan ijtihad dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tbin.
Sandaran mereka adalah bahasa, budaya arab yang terkandung didalamnya, dan

129
Tulisan Norman Calder diadaptasi oleh Nashr Hamid Abu Zaid dalam disertasinya,
kemudian dianalisa kembali oleh Yusuf Rahman melalui teori metode yang digunakan Nasr Hamid,
ditulis bahwa Kualitas-kualitas yang membedakan mufassir satu dengan lainnya terletak pada
kesimpulan mereka tentang makna teks al-Qur`an, melainkan pada bagaimana mereka
mengembangkan dan menunjukkan teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka
terhadap sebuah disiplin literer. Lihat Norman Calder, Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in
the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham, dalam G.R. Hawting
dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Quran (London dan New York: Routledge,
1993), hal. 106.
130
Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The Analytical Study
of His Method of Interpreting the Quran (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill
University, 2001), hal. 105-106.
131
Tafsir Riwayat atau bi al matsur adalah tafsir yang dikutip dari al Quran, Hadits, atsar
sahabat dan tabiin. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsr wa al Mufassirn, Maktabah
Musab bin Umair al Islmiyah, juz I h.112, lihat juga Lihat Mann Khll al-Qaththn, Mabhits f
ulm al-Qurn, Muassasah al-Rislah, Beirut, 1983, hal. 347. lihat ruang lingkup tafsir bi al-Matsur
dalam Jalluddn Abdur Rahmn bin Ab bakar As-Suythi, al-itqn f ulm al-qurn, jld. 4, hal.
192. diadaptasi dari tafsir Ibn Katsir juz 1, hlm 3. Definisi tentang sahabat dapat dilihat di alm
muawwiqn, jld 4 hal. 116-157. Al-Burhn f ulm al-qurn, jld.2 hal.172., al-itqn, jld.4 hal. 174-
181, al-Muwfaqt, jld.3 hal.369.lihat juga muqaddimah Ibn Shalh wa mahsin istilh hal. 486.,
Muhammad Husain al Dzahabi, al-Tafsr wa al Mufassirn, Maktabah Musab bin Umair al Islmiyah,
juz I h.38-40.
66

pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains
(pengetahuan) yang diperlukan oleh mereka (mufassir). 132
Istilah rayun dekat maknanya dengan ijtihad (kebebasan menggunakan akal)
yang berdasarkan atas prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akalsehat dengan
persyaratan yang ketat. Tidak terikat pada pemikiran dan keinginan (hawa) nafsu dan
kecenderungan-kecenderungan lain. Seperti dinyatakan oleh al-qurtubi bahwa barang
siapa yang menucapkan sesuatu berdasarkan pikiran atau kesannya tentang Al-Qurn
atau memberikan isyarat dengan sengaja tentang prinsip-prinsip dasar maka ia patut
dicap sebagai penyimpangan dan melakukan kesalahan serta yang bersangkutan
adalah pembohong besar.133
Nabi Muhammad diutus oleh Allah bukan sekedar menyampaikan pesan-
pesan Al-Qurn, sekaligus ditugaskan untuk menjelaskannya kepada Umat manusia
sebagaimana ditegaskan dalam ayat [44 dan 64 surah 16:Nahl]:

) |=tG39$# y7n=t $u9tr& !$tu 3xtGt =ys9u s9) th $t $=9 tit7F9 t2e%!$# y7s9) !$u9tr&u

5s)j9 Zuquu Yu (#n=tGz$# %!$# m; tit7F9

Jadi berdasarkan ayat-ayat diatas dapat dipahami penjelasan yang diberikan


oleh Nabi sepanjang melalui periwayatan yang shahih harus diterima karena semua
yang disampaikan berasal dari wahyu dan bukan dorongan hawa nafsu [surah al-
Najm 53:3-4], dan sebaliknya penafsiran selain dari Nabi Muhammad saw. bukan
merupakan wahyu ia merupakan sebuah ijtihad yang boleh jadi benar dan tak
mustahil salah. Disinilah letak urgensitas penafsiran, dimana mufassir dituntut
menguasai ilmu-ilmu pengetahuan diniyyah terutama yang menyangkut
komponen/perangkat tafsir sebelum menafsirkan, tidak hanya itu, ia harus
mempunyai prinsip-prinsip tujuan penafsirannya sehingga apa yang dimaksud dengan

132
Muhammad Ali Shabniy, al-Tibyn f ulm al-Qurn, Maktabah al-Ghazli Damaskus
1401 H, hal. 153-155.
133
Muhammad Zafzaf, al-Tarf bi al-Qurn wa al-hadits, Maktabah alFalkh, Kuwait 1984,
hal178-180. hadits diriwayatkan oleh Turmdzi dan Nasi. Dengan redaksi makna barang siapa
yang menafsirkan al-Qurn berdasarkan fikirannya maka ia akan menempati neraka.
67

tujuan ideal (Maqshid al-Qurn) akan dapat tercapai secara maksimal, tentunya hal
tersebut sebatas kemampuan manusia, demikian Ibn syr dalam pengantar
tafsirnya.134
Dalam kitab Thabaqt al-kubr Ibn Saad (w. 230 H) diceritakan bahwa
sejarawan Msa bin Uqbah dititipi oleh Kuraiyb bin Muslim (w.97 H) sepikulan
onta karangan (tulisan) gurunya Ibnu Abbs (w. 68 H) Tarjman al-Qurn-.
kemudian disebutkan bahwa Ali bin Abdullh bin Abbs (w. 118 H) berkirim surat
berkali-kali kepada Msa bin Uqbah guna mendapatkan kumpulan karya ayahnya
guna ditulis ulang.135 Buah pikiran Ibn Abbs dalam tafsir banyak yang sampai
kepada kita melalui riwayat yang shahh, terutama melalui jalur Ali bin Ab Thalhah.
Dalam tafsir ath-Thabary misalnya terekam sekitar 1000 riwayat melalui jalur ini
walaupun, sebagian pakar melemahkannya karena Ali bin ab Thalhah tidak
meriwayatkannya secara langsung dari Ibn Abbs, namun belakangan diketahui
perantara keduanya melalui murid Ibn Abbas yang tsiqah yaitu Mujhid (w. 104 H)
dan Ikrmah (w. 105 H) sehingga tuduhan tersebut tidak relevan.136
Secara umum tafsir dengan pendekatan bahasa dan logika berkembang pada
murid-murid Ibn Abbs seperti Said bin Jubair (w. 95 H), Mujhid. Ikrmah, al-
Dhahhk (w. 105 H) dan Atha bin Rabah (w. 114 H). Belakangan pada akhir abad
kedua Hijriah mulai bermunculan tulisan-tulisan yang mengarah kepada perumusan
kaidah-kaidah tafsir al-Qur`n dan penafsiran secara sintaksis (pendekatan nahwu)
mulai diperkenalkan dalam bentuknya yang sederhana.137 Seperti al-Asybah wa al-

134
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 41-42. lihat juga penelitian yang dilakukan
oleh Dr. Muhammad Biltj dalam, Umar Ibn al-Khaththb f al-Tasyr, (Dr al-Salam li al-Thabaa
wa al-Nasyar wa al-Tawz wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H, hal. 35-39.
135
Ibn Saad Thabaqt al-Kubr, t.t. jld.5, hal. 216.
136
Ath-Thahw, Musykil Atsar, jld. 3, hal. 186. lihat juga komentar Fuat Sezgin dalam Trikh
Turats Arabiy, Jld I hal. 180.
137
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyh al-Aql al-Arbi: Dirsah Thlliyyah Naqdiyyah li
Nuzum al-Marifah f al-Tsaqfah al-Arbiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 16. lihat
juga Khlid ibn Utsmn al-Sabt, Qwaid al-Tafsr Jamn wa Dirsatan (Kairo: Dr Ibn Affn,
1421 H.), hal. 42; dan Khlid Abd al-Rahmn al-Akk, Ushl al-Tafsr wa Qwiduhu, (Beirut: Dar
al-Nafis, cet. 2, 1986), hal. 32-33. pendekatan nahwu dilakukan oleh Ab aswad As-Dualiy (w. 69
H), Nashr bin shim (w 89 H), yahya bin Yamar (w. 129 H), Abu Amr bin al-Ila (w. 145), dan Isa
68

Nazh`ir f al-Qur`n al-Karm, karya Muqtil ibn Sulayman (w.150 H); Man al-
Qur`n, karya al-Farr`(w. 207 H.); serta Majz al-Qur`n, karya Abu Ubaydah
Mamar ibn al-Mutsann (w. 215 H.).138 Tetapi orang yang dianggap berperan paling
penting dalam meletakkan pondasi bagi perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`n
adalah al-Syafii (w. 204 H.) melalui karyanya, al-Rislah.139
Penafsiran terhadap teks ayat yang dilakukan pada periode tersebut pada
dasarnya terbatas pada aspek-aspek harfiah dan dimana tempat ia diturunkan, yang
terkadang dilakukan dengan bantuan ayat lain. Jika ayat tersebut menuturkan tentang
peristiwa sejarah atau realitas penciptaan maupun kebangkitan, dan seterusnya,
maka dalam hal ini tak jarang digunakan sejumlah hadis Nabi saw agar menjadikan
arti ayat yang dimaksud menjadi terang dan gamblang. Pertanyaannya adalah; apakah
Nabi Muhammad saw. menjelaskan seluruh ayat Al-Qurn ?
Aktifitas penafsiran al-Qurn yang dilakukan oleh para intelektual Muslim,
dari generasi salaf hingga kontemporer, bahkan masa yang akan datang selalu berada
dalam satu bingkai teoritik yang sama, sebagaimana ditegaskan oleh Andrew Rippin,
yakni to explain the text and to explore its ramifications as fully as possible, as well
as to make the text understandable.140 Tetapi muncul sebuah persoalan, yakni
bagaimana seharusnya seorang muslim menafsirkan al-Qurn, sehingga pesan-pesan

bin Umar ats-Tsaqafy (w. 149 H).sayangnya kitab tafsir yang muncul di abad awal sampai pertengahan
abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan dibuku-buku
Ulama yang muncul belakangan.
138
Al-Jabir, Bunyh al-Aql al-Arbi, hal. 16-17. Dengan karyanya di atas, Muqail ibn
Sulayman dianggap sebagai salah seorang yang paling awal menulis karya di bidang ulm Al Qur'n.
Ulama-ulama belakangan, seperti al-Zarksy dan al-Suyti, mengutip banyak hal dari karyanya itu.
Lihat Abdullh Mahmd Syahtah, Muqtil ibn Sulayman: Dirsah an al-Mu`allif dalam Muqtil
ibn Sulayman, Al-Asybah wa al-Nazh`ir f al-Qur`n al-Karm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al-
Ammah li al-Kitab, cet. 2, 1994), hal. 77.
139
Khlid Al-Akk, Ushl al-Tafsr wa Qawiduh, hal. 35. Khalid ibn Utsmn al-Sabt
menambahkan Ahkm al-Qur`n sebagai karya lain al-Syfii yang memuat kaidah-kaidah interpretasi
al-Qur`n. Lihat Khlid Ustsmn al-Sabt, Qawid al-Tafsr, hal. 42. Al-Jbiri bahkan menyebut al-
Syafii dengan al-Rislah-nya sebagai peletak pertama aturan-aturan tafsr al-khitb al-bayni dan
perintis terbesar (al-musyarri al-akbar) bagi nalar Arab. Lihat al-Jabiri, Bunyh al-Aql al-Arb,
hal. 17.
140
Andrew Rippin, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York;
Routledge; 1995), hal. 85.
69

Ilahi yang terekam di dalamnya dapat ditangkap secara baik dan benar. Dalam
perkembangannya hingga saat ini, setidaknya ada tiga perbedaan pendapat di
kalangan Muslim dalam menafsirkan al-Qurn.141
Pertama, Pandangan Quasi - Obyektivis Tradisionalis. Menurut pandangan ini
ajaran-ajaran al-Qurn harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini,
sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana al-
Qurn diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada generasi
muslim awal.142 Umat Islam yang mengikuti pandangan ini, seperti Ikhwn al
Muslimn di Mesir dan kaum Salafi.
Pada beberapa negara Islam, berusaha menafsirkan al-Qurn dengan bantuan
berbagai perangkat metodologis ilmu tafsir klasik, seperti ilmu asbb al-nzl, ilmu
munsabt al - yt, ilmu tentang ayat-ayat muhkam dan mutasybih dan lain-lain
dengan tujuan dapat menguak kembali makna obyektif atau makna asal (objective
meaning/ original meaning) ayat tertentu. Seluruh yang tertera secara literal dalam al-
Qurn, menurut mereka, harus diaplikasikan juga di masa kini dan masa yang akan
datang. Bagi mereka pesan utamanya adalah tetap ungkapan literalnya.143
Kedua, Pandangan Quasi - Obyektivis Modernis. Pandangan golongan ini
hampir sama dengan pandangan golongan pertama, dalam hal, bahwa mufassir di

141
Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan penafsiran: 1) perbedaan bacaan (qiraat), 2)
adanya perbedaan macam-macam Irab meskipun ada kesepakatan bacaan, 3) perbedaan ahli bahasa
dalam memaknai sebuah kata, 4) adanya satu kata yang mempunyai makna ganda atau lebih, 5) adanya
ambiguitas lafadz; antara mutlaq atau muqayyad, 6) adanya ambiguitas lafadz; antara umum dan
khusus, 7) adanya ambiguitas lafadz; antara haqiqat dan majz, 8) adanya kemungkinan penambahan
kata, 9) adanya kemungkinan sebuah hukum itu manskh atau tidak, 10) adanya perbedaan riwayat
dalam penafsiran yang datang dari Nabi SAW dan generasi salaf al-shalih. Lihat Khlid Abd al
Rahman, Ushl al-Tafsir Wa Qawiduh, cet I, (Beirut: Dar al Nafais: 1986), hal 86.
142
Pada masa generasi muslim awal (sahabat) sumber yang digunakan dalam menafsirkan al-
Qurn adalah al-Qurn, Hadist Nabi, Ijtihd dan Quwat al Istinbt, dan ahli kitab; Yahudi dan
Nasrani. Hanya saja, banyak terjadi manipulasi riwayat yang disandarkan kepada Nabi oleh para
tukang cerita. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirn, juz I, (T.tp.: Mushab
bin Umar: 2004), hal. 31-38.
143
Golongan ini berpegang kepada pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Rasulullah
SAW telah menjelaskan seluruh makna al-Qurn kepada para sahabatnya, sebagaimana beliau telah
menjelaskan kepada mereka seluruh lafal-lafalnya. Lihat Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-
Tafsr, tahqiq Adnan Z., cet I, (Kuwait: Dar al-Qurn: 1971), hal 35.
70

masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan menggunakan, di
samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkat-perangkat metodis lain, seperti
informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan wahyu, teori-
teori ilmu bahasa, sastra modern dan hermeneutika. Hanya saja, aliran yang dianut
oleh Fazlurrahmn dengan konsepnya double movement, Muhammad al-Sytib
dengan konsepnya al-Tafsr al-Maqsid dan Nasr Hmid Ab Zaid dengan
konsepnya al-Tafsr al-Trkhi al-Siyqi, memandang makna asal (bersifat historis)
hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan al-Qurn di masa kini; makna asal
literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama al-Qurn. Bagi mereka, sajana-
sarjana Muslim saat ini harus juga berusaha memahami makna di balik pesan literal,
yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis, dinamakan oleh al-Sytib dengan al-
Maqshid (tujuan-tujuan ayat) atau disebut oleh Nasr Hmid Ab Zaid dengan
maghz (signifikansi ayat). Makna di balik pesan literal inilah yang harus
diimplementasikan pada masa kini dan akan datang.
Ketiga, Pandangan Subyektivis. Golongan ini menegaskan bahwa setiap
penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir, dan karena itu kebenaran
interpretatif bersifat relatif. Atas dasar inilah, setiap generasi mempunyai hak untuk
menafsirkan al-Qurn sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat
al-Qurn ditafsirkan.144

144
Lihat Sahiron Syamsuddin, Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu
Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qurn pada Masa Kontemporer,
Makalah dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan oleh Ditpertais
DEPAG RI pada tangal 26-30 November 2006 di Bandung. Masalah obyektifitas penafsiran, baik dari
ketiganya tidak ada yang mampu mencapai pada makna teks Al-Qurn secara obyektif, mengingat
keterbatasan potensi dan berbagai kekurangan yang dimiliki manusia, maka jauh dari memadai untuk
mengetahui maksud Tuhan Yang Maha Sempurna dan Obsolut. Lihat Nasr Hmid Ab Zaid, Al-
Qurn, Hermeneutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, cet I, (RQiS; Bandung; 2003), hal 36.
Oleh karena itu wajar ketika dikatakan bahwa hasil penafsiran seseorang hanyalah berupa prasangka-
prasangka. Untuk selanjutnya pandangan ini menjadi peluang bagi para ahli takwil untuk bergerak
lebih bebas dalam menyingkap dan megeksplorasi pesan makna al-Qurn. bandingkan dengan tulisan
Ahmad Syukri Shaleh dalam [Hermeunetika dan Tafsir al-Qurn], Metodologi Tafsir al-Qurn
Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Sulthan Thaha Press dengan Gaung Persada Press
Jakarta), cet-1. 2007. hlm 43-84
71

Golongan yang terakhir ini meyakini bahwa teks al-Qurn adalah rekaman
kalm Allah subhnahu wa Tala yang abadi dan universal, sehingga tak ada
keharusan untuk mempelajari asbb al-nzl (konteks turunnya ayat)145 dan sejarah
Rasulullah SAW. Bagi mereka cukuplah teks al-Qurn berbicara sendiri pada
pembacanya, jika sekiranya pembacaan146 harus selalu dikembalikan ke masa lalu;
situasi Arab ketika ia diturunkan, maka makna universalitasnya akan berkurang.147
Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh Muhammad Syahrr, yang mana
dia tidak lagi tertarik untuk menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan
ayat-ayat. Mufassir modern, menurutnya, seharusnya menafsirkan al-Qurn sesuai
dengan perkembangan ilmu modern, baik itu ilmu eksakta maupun non-eksakta.
Syahrr menegaskan bahwa kebenaran interpretatif terletak pada kesesuaian sebuah
penafsiran dengan kebutuhan dan situasi serta perkembangan ilmu pada saat al-
Qurn ditafsirkan.148
Ibn Taimiyyah mewakili kelompok pertama berpandangan bahwa Rasulullah
telah menafsirkan setiap lafadz dan makna-makna Al-Qurn kepada para sahabatnya
yang mana hal ini wajib untuk diketahui, sebagaimana firman Allah ;litubayyina
linnsi m nuzzila ilaihim149

145
Dalam hal ini Syahrr bukanlah orang pertama yang berpendapat bahwa asbb al-nzl tidak
penting dalam penggalian makna asal al-Qurn. Pendapat semacam ini sudah ada sejak lama.
Setidaknya hal ini terindikasi dari sanggahan para ulama ulmul qurn yang tersaji dalam bab asbb
al-nzl, yang kemudian menyajikan pendapat mereka tentang pentingnya mengetahui asbb al-nzl
dalam pembacaan al-Qurn. Lihat kitab-kitab ulmul qurn bab asbb al-nzl.
146
Muhammad Syahrr menggunakan istilah qiraah atau pembacaan mengacu pada wahyu
yang pertama kali turun. Menurutnya pembacaan adalah mencari dalil (istidll), merenungi
(tammul), menemukan (idrk), memaparkan (istiradl), dan menganalisa (tahlil), yang mana seorang
pembaca, setelah melakukan aktifitas pembacaan ini akan sampai kepada suatu pemahaman apa yang
ia baca. Lihat Muhammad Syahrr, Nahw Ushl Jaddah Li al-Fiqh al-Islmi, (Damaskus; Al Ahali:
2000), cet I, hal. 117. Al Ahali adalah media yang biasa digunakan Syahrr dalam mempropagandakan
pemikirannya di samping TV dan internet.
147
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 164.
148
Sahiron Syamsuddin hal 10. bandingkan dengan tulisan Ahmad Syukri Shaleh dalam
[Hermeunetika dan Tafsir al-Qurn], Metodologi Tafsir al-Qurn Kontemporer dalam pandangan
Fazlur Rahman, (Sulthan Thaha Press dengan Gaung Persada Press Jakarta), cet-1. 2007. hlm 41-84
149
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi ushl tafsr, hal 9.
72

Pandangan kelompok kedua menyatakan Rasulullah hanya menjelaskan


sebagian kecil dari makna Al-Qurn kepada sahabat. As-Suythi (w.911 H)
menguatkan pendapat Al-Khbi (w. 637 H), bahwa riwayat yang shahih dari Nabi
berkaitan dengan penafsiran Al-Qurn sangatlah sedikit, bahkan riwayat yang datang
dari Nabi tentang persoalan itu pun sangat sedikit.150 Pada periode kedua inilah sudah
mulai banyak berkembang dan bermunculan hadits-hadits palsu ditengah-tengah
masyarakat. Sementara itu perubahan-perubahan sosial semakin menonjol maka
timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah,
Sahabat dan Tabin.151
Sebuah penafsiran dianggap bernuansa rigid bermula pada studi kajiannya
yang mencakup segala sesuatu yang tak terlukiskan dalam wilayah kajian teolog yang
ruang lingkup pengetahuannya tidak bersifat mesti (dharriy), dan tak didapat
(muktasab).152

B. Maqshid Perspektif Ulama Salaf dan Khalaf


Terdapat dua pandangan dasar yang kemungkinan besar hal ini dijadikan
sandaran pemikiran al-Maqshid oleh para pakar ushul yaitu makna dibalik teks dan
dasar-dasar kemaslahatan (Man manshshah wa ushl Mashlahiyyah). Kedua
komponen disamping yang nampaknya terlihat dalam konsepsi yang ditawarkan
Imam al-Juwaini dan al-Ghazali.153

150
Al-Burhn f ulm al-Qurn, jilid I, hal. 16. lihat biografi al-Khbi dalam Syadzart adz-
Dzahb,, jilid V, hal. 183. lihat juga al-Itqn f ulm al-Qurn, jld II, hal. 228.
151
Quraish Shihab, membumikan Al-Qurn, Bandung Mizan. Cet. 19, hlm 72-73.
152
Tentang perdebatan ini lihat lebih lanjut dalam Abu Ishk Ibrahm bin Ali al-Shirzi syarh
Luma,ed. Abd Majd Turki, (Dr al-Gharb al-Islami, 1988 vol.I hal.148-152. Abu al-Wlid bin khalaf
al-Bji, Ihkm fushl f ahkm al-ushl, Abd Majd Turki,ed. (Beirut, Dar al-Gharb al-Islami, 1986
vol.I hal.170-171. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazli, al-Mankhl min talqt al-
Ushl edt. Muhammad Hasan Haytu (Dar al-Fikr Damaskus, 1980 hal. 42-46; lihat juga al-Mustasyf
min ilm al-Ushl, vol 2 (Kairo al-Mathbaah al-Amiriyya 1324/1906), I, hal. 10. Wael B. Hallaq, a
history of Islamic Legal Theories Cambrigde University Press, cet. 1, 1997, hlm 37-38
153
Lihat Ismal Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, (al Ma'had Al-
'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 41. lihat Maqshid al Syarah al
Islmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqq dirsah Muhammad Thhir al-Misw dalam Maqshid al
Syarah al Islmiyah, Dr el Nafis- Urdun, 2001. hal. 90-99.
73

Disiplin ilmu Maqshid telah dibahas oleh pakar ilmu ushl seperti Ab
Abdullh Muhammad ibn Ali (at-Tirmdz al-Hakm) pada Abad ke-3 hijriah, yang
disinyalir oleh al-Raisyni (laallah aqdamu man wadhaa) sebagai pengkodifikasi
pertama peneliti pertama khusus pada kajian Maqshid al-Syar'ah, juga pengguna
pertama kalimat Maqshid, hal tersebut tercermin dalam kitabnya as-Shalh wa
maqsidih yang sampai sekarang masih dapat diakses.154

Pakar ilmu Ushul dan Fuqah dalam memakai istilah Maqshid al-Syarah
ini mereka tidak membatasi makna secara (partikular), namun dengan menggunakan
makna general (kulliyat/al-mmah) yang inheren didalamnya makna partikular
(juziyyat) atau adalah tujuan yang akan dicapai dan rahasia-rahasia (hikmah tasyr)
yang ditetapkan Allah untuk hambanya dalam setiap cabang hukum dari segala
hukum-hukum-Nya (sunnatullah).155
Maqshid al-Syarah perspektif al-Imam Haramain/al-Juwayni (w.478 H)
dibagi menjadi dua, pertama; tujuan-tujuan ideal (Maqshid al-syaryyah) yang tidak
tersurat (al-mustaqraah ghair al-manshshah) yakni yang meliputi dasar-dasar
kemaslahatan dalam syariat, kedua; al-Maqshid al-Syariyyah al-Mushtafdah
yakni yang tersirat dan integrated dalam teks syariyyah (al-nushs al-syariyyah)
yaitu al-Qurn.156 Demikian juga dengan al-Ghazli dalam al-Mushtashf f ilm al-
Ushl, bahwa pandangannya tentang Maqshid al-syariah tidak lepas dari dua unsur:
pertama; Maqshid al-syarah sebagai dasar-dasar kemaslahatan (ka ushl al-
mashlahiyyah) dan yang kedua; Maqshid al-syariah sebagaimana penjelasan-

154
At-Tirmidz, bu Abdullah al-hakim, as-Shalh wa Maqshidih, tahqq Husni Nasrun
Zaidan, Dr el Kitb al-Arabiy Mesir, 1965. lihat ulasan Raisny dalam Nadhriyyat al Maqshid 'ind
al Imm al-Sytibi (The International Institute of Islamic Thought, Virginia-USA. 1995) hal. 40.
155
Lihat Abdul Azz bin Ali Abd ar-Rahmn bin Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-
Syri Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, cet. 1 1423 H/2002 M, hal. 19-20. lihat
juga al-Ustdz Alll al-Fs, Maqshid syarah Islmiyyah wa makrimuh, Maktabah Wihdah al-
Arabiyyah, al-Dr al-Baidh 1963, hal. 3.
156
al-Juwayni Ab al-Mal, al-Burhn f ushl al-fiqh, tahqiq Abd al-Azm al-Dayb,
(Mesir, Dr al-Anshar 1400) cet-2, juz 1, hlm 295. Ismal Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqshid
ind Ibn syr, hal. 41-45.
74

penjelasan/tujuan yang dimaksud. Nampaknya al-Ghazli memperkuat pandangan


gurunya.157
Maqshid perspektif al-Rzi (606 H) bertumpu pada dua landasan: pertama;
bertolak dari pemilahan illat hukum hukum syariat, kedua; fokus perhatiannya pada
hubungan dan keterpautan pada peralihan dalil-dalil naql (teks) dari dugaan (al
dzann) kepada yana pasti (al qathi).158 Al-midiy (w. 631 H) sebagaimana
pendahulunya, al-Juwayn dan al-Ghazli. Hal yang baru dalam Maqshidnya dengan
menekankan dasar-dasar kemaslahatan syariat dalam men-tarjih (menguatkan)
diantara analogi-analogi kemudian menjelaskan dan membatasinya pada (hifdz al-
nafs, al-aql, al-din, al ml, dan al nasl).159
al Maqshid al- syarah perspektif al-Izz Ibn abd al-Salm (w.660 H)
adalah penegakan maslahah dan menjauhkannya dari kerusakan (al mafsadah),
sebagaimana dikatakan;
Ketahuilah bahwa Allah tidak akan pernah memberlakukan hukum-hukum
syariatnya kecuali untuk kemaslahatan umat manusia yang diperuntukkan
sekarang maupun yang akan datang, sebagai bentuk keutamaan bagi
makhluknya (tafadldlulan minhu ala ibdihi) .160

157
Al-Ghazli al-Mustasyf min ilm al-Ushl, (Kairo al-Mathbaah al-Amiriyya 1324/1906), I
hal. 286-290. lihat juga Syifu al-Ghall f bayni al-Syibhi wa al-makhl wa maslik al-tall (Baghdad
Mathbaah Irsyd 1971/1390 M) tahqq Ahmad al-Kubays, hal.159. lihat juga Ismal Hasani dalam
Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, hal. 45-47. lihat Abdul Aziz bin Ali Abd ar-Rahmn bin
Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-Syri 60-61.
158
Fakhruddin al-Rz, al-Mahsl f ilm ushl al-fiqh, tahqiq Tah Jabiri Faydh Alwni
(Mathbat Jmiah al-Imam Muhammad Ibn Sad al Islmiyyah) cet-1 juz , hal. 388. lihat juga Ismal
Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, hal. 49. lihat Abdul Aziz bin Ali Abd ar-
Rahmn bin Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-Syri 61-62.
159
Syaifuddn al-midiy, al-Ihkm f ushl al-ahkm, (Beirut; Dr al-Kutub al-Ilmiyah 1983)
jld 4. hal. 376. lihat juga Ismal Hasani Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, hal. 49-50. baca
juga Abdul Aziz bin Ali Abd ar-Rahmn bin Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-Syri 62-63.
160
Redaksinya sebagai berikut:
:
:

. 401

Lihat juga pernyataan al-Qarfi yang menyatakan diletakkannya syariat atas dasar
kemaslahatan umum, dalam Syarh tanqh al-fushl, hal. 427
75

Poin-poin gagasan dan pandangan Tasyr Izz Ibn Abd al-Salm sebagai
berikut, pertama; fitrah manusia yang mampu mewujudkan dan menekankan
kemaslahatan, dan sebaliknya, kedua; batas-batas kemaslahatan dan kerusakan
(mafsadah) didunia yaitu segala problematika dalam kategori hukum
mendesak/penting untuk segera diwujudkan (dlarriyyt, Hjiyyat, al Tatimmt wa
al-Takammult), ketiga; klasifikasi/susunan kemaslahatan didunia (sebagaimana poin
kedua) dan akhirat juga demikian (amal wajib, sunah muakkadah, mandbt).161
Demikian halnya dengan al-Qarf (w. 685 H) yang juga murid dari al-Izz
Ibn abd al-Salam menekankan pada penegakan perbedaan dalam interaksi sosial
masyarakat yang egelitarian (al-tasharruft al-nabawiyyah), ia mendasarkan
pandangan Maqshid al-syarah-nya pada penjagaan (al-murt) maksud dan
tujuan (al-nushs) yang tidak sejalan dengan cara dan aplikasinya, implementasi
dalam penyampaiannya diupayakan menjelaskan perihal yang dikehendaki dan
(maqmt al-Qad wa al-Immah).162 al-Thf (w. 716 H) melihat bahwa menjaga
kelestarian maslahah lebih kuat dasarnya dari Ijma, dengan demikian ia menempati
posisi teratas (prioritas) dari ketentuan hukum syara (adillah al-syari), karena
[dasar] sesuatu yang lebih kuat dari yang kuat menghasilkan yang kuat (lianna al-
aqwmin al-aqw Aqw).163

45 :
427 "\ \" :
"\ \" :
. 47 48/20
161
Al-Izz Ibn abd al-Salm, Qawid al-Ahkm f Mashlih al-anm, (Beirut; Lubnn Dr al-
Jl 1980) cet-2. hal. 376. lihat juga Ismal Hasani Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, hal. 50-
53. baca juga Abdul Aziz bin Ali Abd ar-Rahmn bin Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-
Syri 63-64.
162
Lihat al-Qarfi, Syarh tanqh al-fushlf ikhtishri al-Mahsl, (Kairo Mesir; D al-Fikr
Lithabaah wa tawziwa al-nasyr 1973/1393 H) cet-1 hal. 397. Ismal Hasani Nazhariyyah al-
Maqshid ind Ibn syr, hal. 54-57.
163
Lihat lebih lanjut al-mashlahah f al-tasyr al-Islmi wa Najm al Dn alThf, hal. 71. 74,
120. baca juga Abdul Aziz bin Ali Abd ar-Rahmn bin Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-
Syri 65-66. Ismal Hasani Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, hal. 60-62. baca lebih lanjut
76

Ibn Taimiyah (w. 728 H) dalam karyanya Majm Fatw ia menekankan


bahwa mendasarkan ilmu dengan Maqshid al-Syarah merupakan pengkhususan
fiqh terhadap agama. Kemudian menekankan Maqshid al khamsah pada peribadatan
untuk kelangsungan dan kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi. Selanjutnya
Syaikh al-Islam memfokuskan pada urgensitas permasalahan pada sadd al-Dzarah,
solusi dari illat hukum-hukum (tall al-hukm) kemudian menjelaskannya secara
gamblang, selanjutnya memfokuskan pada nilai-nilai maslahah dalam kajiannya
(secara makro), dengan memperhatikan pertimbangan, kaidah-kaidah serta alasan
penguatannya (wayubayyin m yatarajjah wa sabab al-Tarjh), selanjutnya ia tidak
lupa menyebutkan tujuan-tujuan ideal dan hikmah darinya (Maqshid al-Syarah wa
Hikamihi).164
Demikian halnya dengan murid Ibn Taimiyyah, yaitu Ibn Qayyim al-
Jawziyyah (w.751 H) yang mendasarkan Maqshid al-Syarah pada empat prinsip
pokok: pertama; memfokuskan pada penetapan tujuan-tujuan syariat [secara umum],
penentuan sebab (illat) hukum dan cara penetapannya, kemudian menjelaskannya.
Kedua; memprioritaskan problematika yang berkaitan erat dengan Maqshid al-
Syarah, seperti permasalahan sebab hukum (tall), dan solusi [hukum] Hiyal, Sadd
al-Dzarah, yang dijelaskan secara luas dan mendetail. Ketiga; memperhatikan
kajiannya pada tujuan-tujuan mukallifn dan niat pelaksanaannya karena ia memiliki
korelasi hubungan yang kuat dengan tujuan-tujuan peletak syariat (maqshid al-
Syri). Keempat; ia memusatkan juga perhatian kajiannya terhadap problematika
hukum-hukum dan tujuan-tujuan ideal yang hendak dicapai.165

al-Fatwa Ibn Taimiyyah, ( al Ribath; Maktabah Marif) 32/324. baca juga al-Qiys f al Tasyral-
Islmi, (Beirut, Libanon,; Dr al-fq al-jaddah) cet-4 1980, hal. 55.
164
Lihat Abdul Aziz bin Ali Abd ar-Rahmn bin Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-
Syri 64. Ismal Hasani Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, hal. 58-60.
165
Lihat Ibn al-Qayyim, Mifth al-Dr al-Sadah wa Mansyrah wilyah al-Ilm wa al-
Idrah, (Mesir, Mathbaah al-Sadah) 1323 H cet. 1. hal. 2/2. lihat juga Ibn Taimiyyah, Ilm al-
Muwaqqin an Rabb al-Alamin, (Beirut Libanon, Dr al-Fikr, Mahbaah al-Sadah), tahqq
Muhammad Muhyiddin abd al-Hamd. Jld 3/14. Lihat Abdul Aziz bin Ali Abd ar-Rahmn bin Ali
bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-Syri 66-678. Ismal Hasani Nazhariyyah al-Maqshid ind
Ibn syr, hal. 62-65.
77

Setelah dikemukakan berbagai perspektif Maqshid al-Syarah diatas, pada


bab yang akan datang penulis melanjutkan dengan perbedaan pandangan al-Imam al-
Sytibi dengan Muhamamd Thhir Ibn syr dalam Maqshid al-Syarah,
kemudian akan dejelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.
1) Perbedaan Maqshid al-Sytib dengan Ibnu Asyr
Pandangan umum tentang Maqshid al-syarah, seperti diklaim sendiri oleh
Al-Sytibi,166 telah mencapai kemapanan secara sistematis dan metodologis.167 Al-
Sytibi (peletak kembali dasar ilmu ushl) dalam konsep Maqshid-nya
(induktif/istiqra) bertumpu general untuk mewujudkan konsep partikular, ia tidak
saja menandai pergeseran epistemologis di bidang usl fiqh, melainkan juga di
bidang tafsir dan hermeneutika al-Qur`n.168

166
Lihat al-Sytib, Al-Muwfaqt fi Ushl al-Syarah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.),
vol. 1, hal. 70. Bandingkan, Abid al-Jabiri, dengan menyebut apa yang dilakukan al-Sytib dalam al-
Muwfaqt sebagai idah t`sil al-usul (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad bid al-
Jbir, Wijhh al-Nazr (Beirut: Markaz Dirsat al-Wihdah al-Arabiyyah, 1994), hal. 57. Istilah ta`sl
al-Ushl itu sebetulnya berasal dari al-Sytib sendiri. Sebelum Ibn syr mengelaborasi kembali
konsep al-Sytibi, Maqshid al-syarah telah digunakan al-Tirmidz al-Hkim (w. 318 H.), Ab
Mansr al-Mturd (w. 333 H.), Ab Bakr al-Syasy (w. 365 H.), al-Bqilln (w. 403 H.), al-Juwayn
(w. 478 H.), al-Gazli (w. 505 H.), Izz al-Dn ibn Abd al-Salm (w. 660 H.), al-Tf (w. 716 H.), dan
lain-lain. Ada bermacam-macam pendapat tentang siapakah orang pertama yang mengenalkan konsep
Maqshid al-syarah. Hammd al-Ubaydi menyebut nama Ibrhim al-Nakha (w. 96 H.), seorang
tbi, sekaligus guru dari Hammad ibn Sulayman yang kemudian menjadi guru Ab Hanifah. Lihat
Hammadi al-Ubaydi, Al-Sytibi wa Maqshid al-Syarah, hal. 134. Sementara Abd al-Rahmn al-
Kayln menganggap al-Juwayn (w. 478 H.) sebagai orang pertama yang mengenalkan konsep
tersebut. Lihat Abd al-Rahmn Ibrhm al-Kayln, Qawid al-Maqshid Inda al-Imm al-Sytibi
Ardlan wa Dirsatan wa Tahllan (Damaskus: Dr al-Fikr, 2000), hal. 14, bandingkan dengan apa
yang ditulis oleh Ahmad Al-Raisny dalam nadhariyyt al-Maqshid Inda al-Imm al-Sytibi, al
Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy cet IV th 1995 hal 39-71.
167
Abd al-Rahmn al-Kayln menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama sebelum
al-Sytibi di bidang Maqshid al-syarah bernilai sama seperti sebuah pengantar (muqaddimah) jika
dibandingkan dengan apa yang ditulisnya dalam al-Muwfaqt. Lihat Abd al-Rahmn Ibrhm al-
Kayln, Qawid al-Maqshid Inda al-Imm al-Sytibi, al Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy 1421
H/2000 M hal. 14. Sementara itu, Abd al-Mutali al-Sadi bahkan membandingkan jasa al-Sytib
dalam perumusan Maqshid al-syarah dengan jasa al-Syfi dalam perumusan usul fiqh. Lihat
Hammdi al-Ubayd, Al-Sytib wa Maqshid al-Syarah, hal. 132.
168
David Johnston mensinyalir bahwa al-Sytibi membuka kran penafsiran dengan
menggunakan metode hermenetik. Lihat David Johnston, A Turn in the Epistemology and
Hermeneutics of Twentieth Century Usl al-Fiqh, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2,
Juni 2004, hal. 252-253. Al-Sytibi memang sering dianggap memberikan inspirasi bagi munculnya
orientasi non-tekstual dalam penafsiran al-Qur`n. Wael B. Hallaq, misalnya, menyatakan bahwa
metode induksi yang dirumuskan al-Sytibi, yang bergantung kepada penyerapan tujuan dan
78

Ibn syr (w.1394 H) mengelaborasi konsep Maqshid yang telah dibangun


Al-Sytibi, namun ia bertolak dari yang konsep lintas batas partikular (tajwaz al-
manha al-tajziy...) untuk mewujudkan konsep-konsep yang partikular dalam
memahami hukum-hukum dan mencari solusi dari kompleksitas pelbagai
problematika sosial yang berkembang dimasyarakat, dengan mendasarkan
(mendahulukan) kepentingan umum atau mayoritas atas individu.169 Konsep ini
disinyalir mirip dengan model ijtihad fiqh Trkhiy seperti yang pernah dilakukan
oleh Baqr Shadr dan fazlur Rahmn.170

Maqshid syarah yang dibangun al-Sytibi disebut bid al-Jbiri sebagai


Idah tasl al-ushl (peletakan kembali dasar-dasar ilmu ushul) yang kemudian
diikuti oleh muridnya Abdul Majd Turkiy merupakan titik awal bertumpunya dasar
metodologi dalam beristinbath hukum.171

semangat hukumtanpa membatasi dirinya pada dalil tekstual tertentutelah membuat teori tersebut
menarik bagi sekelompok pemikir modern yang minat utama mereka adalah membebaskan pikiran
umat Islam dari belenggu yang terbentuk oleh makna-makna lahiriah yang terkadang bersifat
mengekang dari teks-teks yang diwahyukan. Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal
Theories: An Introduction to Sunni Ushl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
hal. 206. Abid al-Jbir bahkan menyatakan bahwa al-Sytibi melakukan modifikasi atas asumsi-
asumsi dasar epistemologi baynsebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah
penetapan aturan-aturan interpretasi bagi al-Qur`an, al-khitb al-mubn. Lihat Muhammad bid al-
Jbir, Bunyah al-Aql al-Arab: Dirsah Tahlliyyah Naqdiyyah li Nuzm al-Marifah f al-Tsaqfah
al-Arabiyyah (Beirut: al-Dr al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 534-536. Selain itu, ketika Fahmi Huwaydi
menyatakan bahwa pembacaan yang benar (al-qir`ah al-shahhah) terhadap al-Qur`an harus
mempertimbangkan aspek Maqshid al-syarah selain aspek bahasa, dia mendasarkan pendapatnya
itu kepada pandangan Abdullh Darrz dalam pengantar untuk kitab al-Muwfaqt, karya al-Sytibi.
Lihat Fahmi Huwayd, Al-Qur`n wa al-Sultn (Kairo: Dr al-Syurq, cet. 5, 2002), hal. 53-56.
169
Muhammad Thhir al-Mayswi, Maqshid al-syarah al-Islmiyah, Dr al-nafis-Urdun,,
1421 H/2001, hlm 96-100.
170
Seperti ditulis oleh Thhir al-Mayswi, bahwa tulisan ini disadur dari Muhammad Syaikh
Mahdi Syamsuddn dalam, al-Ijtihd f al-Islam, majalah Ijtihd (Dr al-Ijtihd Beirut)1411/1990 hal.
49-50. lihat lebih lanjut Ijtihd wa al-tajdd f fiqh al-Islmiy (Beirut: Muassasah al-Dauliyyah cet.1
1419 H/1999 ) hal. 73-74. lihat juga karya Baqr Shadr al-Sunan al-Trkhiyyah f al-Qurn (Beirut:
Dr al-Taruf li al-Mathbat. Lihat kemiripan ungkapan Fazlur Rahmn the Major Themes of The
Qurn, Minneapolis: Bibliotheca Islmamica, 1994. dan buku Rahmn sebelumnya Islam and
Modernity, Chicago:The University of Chicago Press, 1984). Bandingkan dengan Hammd Ubaidi
dalam Ibnu Rusyd wa al-ulm al-syarah al-Islmiyah,( Dar-el Fikr al-Arabiy, 1991) h. 99.
171
Lihat Abdul Majid Turki Mandharat f ushl al-Syarah bayna ibn Hazm dan al-Bj, oleh
Abdul al-Shabr Syhin, Beirut Dr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal 512. lihat juga, Abid
al-Jbiri, Muhammad bid al-Jbiri, Wijhh al-Nazr (Beirut: Markaz Dirsat al-Wihdah al-
79

Terkait dengan pendasaran kembali ilmu (ushl) inilah terlihat urgensi


gagasan Ibnu syr ketika hendak mengelaborasi pandangan pendahulunya yang
disebutnya dengan pendasaran Ilmu Maqshid al-Syarah. Hal ini disinyalir,
bahwa teori yang diusung Ibn syr berusaha menggali dan menemukan cara
pandang sejarah secara ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan
peletakan dasar ilmu Maqshid al-Syarah yang integral, karena lanjut Ibn syr
kajian ilmu Maqshid ini berbeda dengan kajian ilmu ushul, menurutnya penelitian
dari kajian ushl tidak kembali pada esensi hikmah al-tasyr. Namun sebaliknya, ia
hanya berputar-putar pada permasalahan istinbath hukum dari nash sharh melalui
kaidah-kaidah yang digunakan pakar (fuqah) untuk beristinbath hukum dari
cabang-cabang ataupun sifat-sifat (illat) hukum yang diambil dari Al-Qurn,
sebagai kajian untuk menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai
kehendak Tuhan (sebatas kemampuan seorang faqh dalam berijtihad).172

Pandangan dan gagasan Ibn syr (w. 1393 H) tentang ilmu Maqshid al-
Syarah baginya sangat berhubungan erat dengan penelitian lain, yang mempunyai
muara esensi tujuan yang sama yakni penelitian tentang Norma-norma/aturan sosial
Kemasyarakatan yang Islami (The rule of Islamic Civilization), dalam pandangan
Ibn syr bahwa pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidah-
kaidah yang luas, rinci dan mendetail dari kaidah-kaidah pakar ushul fiqh yang ada
selama ini. Karena menurutnya; perihal-perihal yang ditampakkan akan lebih elastis

Arabiyyah, 1994), cet. 4, hal. 547. baca Tahqq dirsah Muhammad Thhir al-Misw dalam
Maqshid al Syarah al Islmiyah, Dr el Nafis- Urdun, 2001. hal. 86-95
172
Lihat Abdul Majd Turk Mandharat f ushl al-Syarah bayna ibn Hazm dan al-Bj, oleh
Abdul al-Shabr Syhin, Beirut Dr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal. 361,484. lihat
Maqshid al Syarah al Islmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqq dirsah Muhammad Thhir al-Misw
dalam Maqshid al Syarah al Islmiyah, Dr el Nafis- Urdun, 2001. hal. 90-99. dikatakan bahwa
keterpautan antara kajian Maqshid al-Syariah dan pendasaran ilmu social kemasyarakatan yang
egeliter sangat ereat dan kajiannya membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara
kaidah-kaidah yang dipakai pakar ushl fiqh (ahwaju il qawid awsau min qawid ahl ushul) baca
juga Abdul Aziz bin Ali Abd ar-Rahmn bin Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-Syri
Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43. Lihat juga Ismal Hasani dalam
Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, (al Ma'had Al-'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA)
cet. I thn. 1995 hal. 98-102 dan 113-114.
80

dan tidak hanya sekedar mengaplikasikan kaidah-kaidah syarah untuk


menyelesaikan problematika hukum dimasyarakat, dengan mengkonversikan dan
mengelaborasikannya dengan qiyas yang disinyalir memiliki persamaan muatan teori,
namun dengan menyingkap rahasia (hikmah) dibalik itu tidak menjadi utopis.173
Tolok ukur yang menjadi esensi muara dari kajian ini adalah; sejauh mana
pencapaian kemaslahatan terealisasikan dalam kehidupan sosial berkemanfaatan
secara berkesinambungan?174 Sad Ramadhn Al-Bty menambahkan perbedaan
pandangan manfaat terjadi pada para filsuf dan psikolog, keduanya mempunyai tolok
ukur yang berbeda dengan pakar ushul. Ketika berbicara tentang filsuf dan psikolog
(Ulam al-falsafah wa al-akhlq), adalah mereka yang memforsir dan menguras
pikiran dan pencarian mereka pada materi oriented, dan hanya sebagian kecil dari
mereka mengkorelasikannya dengan semangat beragama (sosial kemasyarakatan).175

C. Kebebasan, Kemaslahatan dan batasan-batasannya


Hurriyah/ kebebasan secara etimologi sebagaimana ditegaskan Ibn syr
dalam karyanya Ushul al-Nidham al-Ijtimi al-Islmi ia berarti lawan dari

173
Lihat Muhammad Thhir Ibn syr, Ushl Nizhm al-Ijtimiy f al-Islam, al-Syirkah al-
Tnsiyyah littawz (Tunis) dan Dr al-Wathaniyah lilkitab (al-Jazir), 1985, hal.20-21. lihat juga
tahqq dirsah Muhammad Thhir al-Misw dalam Maqshid al Syarah al Islmiyah, Dr el
Nafis- Urdun, 2001. hal. 90-91.
174
Sa'id Ramadhn Al Bty dalam Dhawbit al maslahh f syarah Islmiyah (muassasah
Rislah, 1987) hal. 27-28,"Maslahah tidak lain adalah kemanfaatan yang dimaksudkan Allah yang
Maha Bijak (Al Hkim) untuk umat manusia, yang senantiasa dipelihara agamanya, jiwa dan raganya,
akal dan keturunannya serta hartanya, -ditetapkan secara hirarkis-, dan kemanfaatan itu adalah
ketentraman (keberkahan-penulis-) yang abadi atau menuju -kebahagiaan- yang abadi", lihat juga
uraian Al-Imm Izzuddin 'Abd Al-Salm seperti ditulis oleh Abdullh Yahya al-Kamli dalam
"Maqshid al syarah f dhau'I fiqh al Muwznh (Dar Ibn Hazm,cet 1 Beirut-Lebanon), hlm 10.
mempunyai pandangan "bahwa maslahah dan mudharat baik dunia maupun akhirat; dalam tingkatan
'l , dn,- mutwssit dan ketiganya terbagi dalam yang muttfaq (disepakati) dan mukhtlaf fh
(diperdebatkan). Dan al-ahkm f maslahah al anm tahqq 'Abdul Ghniy al Dhuqr (damaskus dar
athToba', 1992) hlm 27. bandingkan dengan pandangan Syaltt dalam Islam 'Aqdah wa Syarah , dar-
el Syurq 1975 ,hlm 496, lihat juga 'Abd. Salam 'Arif mengeksplorasi pandangan hukum Syaltut
pembaruan pemikiran hukum Islam (pembaruan dan fakta), LESFI Yoyakarta, cet-1 2003, hlm 177-
181, lihat, Al-Qaradhwi, Dirsah f fiqhi Maqshid al syarah bayna al Maqshid al kulliyah wa al
nushus al juzyiyah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20.
175
Sad Ramadhn Al Bty dalam Dhawbit al maslahh f syarah Islmiyah (muassasah
Risalah, 1987) hal. 29-30.
81

perbudakan dan penghambaan (al-Riqq wa al-Ubdiyyah), secara zhir lafadz ini


[mengandung arti] nisbi, karena ia terlepas (al-takhallash) dari unsur penghambaan
dan perbudakan. Disisi lain ia dapat dikatakan ia merupakan kebebasan keinginan
individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya tanpa ada yang menghalanginya
[kam yasu dna muridl]. Demikian juga Ustadz Alll al-Fsi melihat bahwa
kebebasan (al-Hurriyyah) bukan berarti manusia berbuat semaunya dan
meninggalkan apa yang diingininya (yatruk m yurd). Akan tetapi, berbuat sesuai
dengan keyakinan bahwa dirinya sebagai mukallaf [yang dibebani] dari yang
diperbuatnya mempunyai nilai kebaikan bagi kemaslahatan kemanusiaan secara
umum [lishlihi al-basyar ajman], Ustadz Alll juga mengklasifikasikan beberapa
bentuk kebebasan yakni; Hurriyyatu al-mn, Hurriyyatu al-Wathaniyyah,
Hurriyyatu al-Fardliyyah, Hurriyyatu al-Siysah, Hurriyyah al-Bahts al-Ilmiy, dan
Hurriyyatu al-amal.176
Sejatinya makna Hurriyyah telah dipakai dari tahun III Hijriah dengan
pemahaman segala pekerjaan yang mampu dikerjakan manusia/yang bersangkutan
dengan catatan [pekerjaan] tersebut tidak menghalangi urusan orang lain (amrun
ghairihi). Selanjutnya Ibn syr mengalihkan pembicaraan mengenai kebebasan
yang beredar dizaman kekinian, yaitu segala perbuatan/pekerjaan yang diinginkan
setiap individu [manusia] tanpa ada [kemungkinan] yang menghalangi
kenginginannya tersebut sesuai dengan ukuran keberadaannya (Bimiqdri
imknihi).177

176
Lihat Maqshid al-Syarah al-Islmiyah tahqq dirsah Muhammad Thhir al-Misw
dalam Maqshid al Syarah al Islmiyah, Dr el Nafis- Urdun, 2001. hal. 390-2. lihat juga Thhir
Ibn syr dalam ushlu al-Nidhm al-Ijtimi f al-Islam, (Syirkah alTunisiyyah littawz wa Dr al
wathaniyyah lilkitab, al-Jazair 1985, hal. 150-1. lihat juga Alll al-Fs, Maqshid al Syarah al
Islmiyah wa Makrimuh, (Maktabah al-Wihdah al-Arabiyyah, Dr al-Baidh)1963/1383, hal. 244-
256. dari sekian klasifikasi bentuk kebebasan diatas hendaknya berdasarkan keyakinan kepada wahyu
[al-Qurn], karena kesemuanya mempunyai konsekwensi pertanggung jawaban masing-masing kelak,
demikian Alll al-Fs. Baca juga Abdul Aziz bin Ali Abd ar-Rahmn bin Ali bin Rabah dalam
Ilm Maqshid al-Syri Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43.
177
Lihat juga Thhir Ibn syr dalam ushlu al-Nizhm al-Ijtimi f al-Islam, (Syirkah
alTunisiyyah littawz wa Dr al wathaniyyah lilkitab, al-Jazair 1985, hal. 150-1. Lihat Maqshid al-
Syarah al-Islmiyah tahqq dirsah Muhammad Thhir al-Misw dalam Maqshid al Syarah al
82

Dalam perjalanannya, problematika kajian hukum Islam (syarah) yang telah


disinggung diatas dituntut mampu menyesuaikan konteks, sehingga dalam konteks
inilah ia mempunyai muara/tujuan ideal yang hendak dicapai dari Maqshid al-
syar'ah (maksud-maksud/tujuan hukum) yaitu kemaslahatan manusia secara makro
di dunia dan akhirat, dalam entitas tujuannya Ibn syur juga menyebutnya sebagai
membangun tujuan-tujuan ideal/utama dalam frame norma-norma hukum ( Maqshid
ala washafi al-Syarah al-Adham ), ia merupakan fitrah.178 Kemudian Ibn syur
mendefinisikannya fitrah itu sendiri sebagai aturan-aturan/norma yang dibuat oleh
Allah diperuntukkan untuk setiap makhluk hidup. Definisi ini bersumber dari (surah
ar-Rm [30:30]) yang kemudian ditafsirkan.179

Islmiyah, Dr el Nafis- Urdun, 2001. hal. 390-1. bandingkan dengan Alll al-Fs, Maqshid al
Syarah al Islmiyah wa Makrimuh, (Maktabah al-Wihdah al-Arabiyyah, Dr al-
Baidh)1963/1383, hal. 244-256., demikian Alll al-Fs. baca juga Abdul Aziz bin Ali Abd ar-
Rahmn bin Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-Syri Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah
atsna al-Nasyr, hal. 41-43.
178
Lihat keterangan ini dalam Maqshid al-Syarah al-Islmiyyah, (tahqq Muhammad Thhir
al-Maisawi, Dr-el-Nafis-Beirut 2001) hal. 259-261.
179
Lihat penafsiran al-Rz yang dikutip Ibn Asyur dalam Tafsr al-Kabr/ Mafth al-Ghayb,
(Beirut, (Dr al-Kutub al-ilmiyyah, 1990) Jld 13, Juz 25, hlm 105. ia menafsirka fitrah Allah yaitu
ketauhidan-Nya, karena Allah Jualah yang menjadikan adanya fitrah manusia, dan ciptaan Allah tidak
akan pernah tergantikan (L tabdla likhalqillh), keesaan yang melekat pada sifat wajib bagi Allah.
Bandingkan dengan penafsiran yang dilakukan oleh al-Baidhwi dalam, Anwr al-Tanzl wa asrr al-
Tawl, ia menafsirkannya dengan penciptaannya, dan kemampuan makhluk penciptannya untuk
menangkap kebenaran akan agama Islam, dan tidak mampu seseorangpun untuk merubah ciptaan-Nya
ini...lihat (Beirut, Dr al-Kutub al ilmiyyah 1993/ 1413 H) jld-2, hal. 220. Ibn Atiyah dalam
Muharrar al-Wajz f tasr al-Kitb al-Azz, tahqq Abdul al-Salm Abd al-Syf Muhammad
dinyatakan banyak perbedaan pandangan dengan kalimat fitrah ini, yang menurutnya ia dinisbatkan
kepada (Beirut, Dr al-Kutub al ilmiyyah 1993/ 1413 H) juz 4, hal 336
83

Senada dengan Al-Ghazli dan al-Sytibi,180 Ibnu 'syr berpandangan


bahwa tujuan utama syariat adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori
hukum, yang disebutnya sebagai Al-Dharriyyat (primer), Al-Hjiyyat (sekunder) dan
Al-Tahsniyyat-(terrier), namun baginya belum cukup untuk membuka kran/jalan
berijtihad dan menempatkannya/memposisikan dalam kajian yang tepat (wa tuqmuh
al ass makn) atau hematnya (khssah) penelitian yang memfokuskan tegaknya
norma-norma agama untuk memprioritaskan kemaslahatan umat secara general
dengan pelbagai problematikanya secara global yang berkaitan dengannya, ini
ditekankan kalaupun tujuan umum diletakkannya Syarah untuk memelihara norma-
norma kemasyarakatan (hifdzu nidhm al-ummah).181
Maksud/tujuan yang hendak dicapai dari masing-masing kategori tersebut
adalah untuk memastikan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat.
Karena dasar dan asas syariat tersebut sudah barang tentu/semestinya mengandung
keadilan dan hikmah yang terbaik bagi umat manusia182.

180
Imam Al-Sytibi pemilik nama asli Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lkhumi al-
Ghrnti, Ab Ishq, dia membagi dua model Ijtihad yaitu istinbti dan tatbqi, dalam memahami al-
Qurn pandangan as-Sytibi hendaknya maksud/tujuan Syarah dari bahasa arab, uslub-uslubnya,
'am dan khs, munsabah ayat dan srah, I'jz, dengan mengetahui dialektika arab maka akan dapat
memahami Al-Qur'n, karena dialektika arab merupakan terjemahan dari Maqshid as-Syari' itu
sendiri (lihat lebih lanjut al-Muwfaqt 2:65-66 dan 4:324) tahqq Abdullh ad-Darrz dar-el Ma'rifah
Beirut.
Karena kepiawaiannya dalam berbagai bidang keilmuan ia banyak memperoleh gelar kebesaran
seperti al-Hfidz, al- Jall al-Mujtahid. Penulis al-Muwfaqt dikenal dengan sebutan Bapak Maqshid
Syarah, kepiawaianya dalam materi fiqh, sampai ada suatu ungkapan peletak Ilmu Ushl Fiqh itu
Imm Syfi'I dan pengembangannya dilakukan oleh Al-Sytibi-lihat lebih lanjut dalam Ensiklopedia
Hukum Islam, Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta cet VII h. 1699-0.
181
Lihat kembali dalam A-Muwfaqt tahqq dirsah Abdullh Darrz wa I'dd Ibrahm
Ramadhn, (Beirut, dar el-Ma'rifah cet-2 1416 H/1996) juz 1, hal. 30. , dan lihat kembali Ibnu 'syr
Maqshid al-Syar'ah al-Islmiyah (Dar al-Nafais Linnasar, Urdun 2001) tahqq M. Thhir al-Maiswi
hal. 92, 93, 300-2. bandingkan dengan Muqaddimah Ibn Khaldn tahqq Durwaeisy al-Juwayd,
(Beirutal-Maktabah al-Ashriyyah cet-2 1997/1416 H), hal. 43. ditulis bahwa Maqshid al-Syarah F
al-Ahkm kulluh mabniyyatun ala al-Muhfazah Ala al-Umrn. Lihat juga Dirsat f fiqh
Maqshid al-Syar'ah karya Yusuf al-Qaradhw.(Dr-el-Syurq, 2006), lihat juga tulisan Hammd
Ubaidi dalam Ibnu Rusyd wa al-ulm al-syarah al-Islmiyah,( Dar-el Fikr al-Arabiy, 1991) h. 99.
182
Ibnu syr Maqshid al-Syarah al-Islmiyah, (tahqq Muhammad Thhir al-Maisawi,
Dr-el-Nafis-Beirut 2001) h. 301, Lihat lebih lanjut al-Ghazli dalam karyanya al-Mustasf fi 'ilmi al-
'ushl tahqq Dr. Muhammad Sulaiman Asyqar (Beirut Muassasah ar-Risalah 1417 H/1997) jld. 1 h.
417-421. lihat lebih lanjut uraian Maqshid syarah dalam sejarah teori hukum Islam terj. Dari A
84

Dharriyyat (secara bahasa berarti kebutuhan yang medesak/primer),


Pandangan Ibnu syr mirip dengan taksonomi al-Ghazli (w.505) dalam al-
Mustasf-nya, dan al-Syatibi (w.1388 H) terhadap kebutuhan primer yang harus
dipelihara sejalan dengan kemaslahatan yaitu; hifdzu ad-Dn, an-Nufs,wa al-'uql,
wa al-amwl, wa al-ansb, kemudian al-Qarfi dan Tajuddin as-Subk
menambahkan al-a'rdh sebagai sub kategori dharriyyat, penambahan tersebut
ditolak oleh Ibnu 'syr karena menurutnya (kehormatan/harga diri) termasuk dalam
kategori hjiyyat (sekunder), sebagaimana al-Ghazli tidak menempatkan a'rdh
dalam kategori dharriyat, menurutnya harga diri telah ditanamkan sejak dini dan
telah tertancap kuat dalam kebiasaan, yang kemudian pada perkembangannya dengan
memanfaatkan syariat semaksimal mungkin untuk dapat mencapai keutamaannya
(harga diri).183
Hjjiyat (secara bahasa berarti kebutuhan/sekunder), adalah merupakan aspek
hukum yang meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat
dilaksanakan tanpa beban, tertekan dan terkekang, dan harus ditunaikan/dilaksanakan
sesuai karena kebutuhan. Seperti; nikah, kebolehan jual beli dengan cara 'araya yang

history a Islamic legal Theories karya Wael B. Hallaq (oleh E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin
Wahid, Raja Grafindo, 2001) hal. 247-256.
183
Ibnu syr , Maqshid al-syarah al-Islmiyah 306, Hammd Ubaydi menambahkan Ibnu
Rusyd (lahir 520H/1126M), Ibnu Rusyd wa al-Ulm al-Syarah al-Islmiyah,(Dr-el Fikr al-Arabiy,
1991) h.99-101, bahwasannya :"keberlangsungan kehidupan manusia tidak stabil apabila kelima hal
diatas tidaklah tercukupi (terselamatkan). Demikian Ibnu Rusyd mengutip pernyataan al-Sytibi dalam
Muwfaqtnya juz 1,hal. 13. disisi lain Ibn Rusyd seperti yang ditulis Hammd Ubayd (tahqq
Maqshid al-Syarah al-Islmiyah, hal.17) mengadaptasi Ibn syr yang mengatakan bahwa seorang
fakih tentu membutuhkan pemahaman Maqshid al-Syarah dan belum cukup kalau hanya memiliki
keahlian dalam ilmu ushul untuk melakukan penafsiran karena secara global ia hanyalah kumpulan
dari segenap kaidah-kaidah yang mengartikulasikan makna lafadz-lafadz dan pemahamannya serta
menyingkap makna dibalik teks dengan menggunakan metode qiys.
85

menimbulkan resiko,184 kemudian dengan memperingan pelaksanaan ibadah dalam


keadaan sakit.185
Tahsniyyat (secara bahasa berarti sebagai hal penyempurna/terrier) dengan
menyempurnakan keadaan dalam berkehidupan yang bermasyarakat, sehingga hidup
dengan aman, tentram dan sentausa. Saling bahu-membahu sebagai makhluk sosial
yang berperadaban dan berbudi luhur, dengan menciptakan lingkungan yang
kondusif. Seperti bersedekah, memerdekakan budak, dll.186

184
Araya merupakan jual beli dimana buah belum masak (masih dipohon) namun dijual dengan
harga yang sudah masak. Meskipun hukum Islam melarang transaksi jual beli yang mengandung
resiko ini, jual beli 'araya diakui tanpa mengabaikan resiko dan ketidak pastian yang meliputinya,
Lihat kembali as-Subki, takmlt al-majm'; XI hal. 2
185
Lihat kembali Hammdi Ubayd, hal.100. seperti dikutip dari Maqshid al-syarahnya Ibnu
'syr, hlm 306, ia mengadopsi pandangan al-Syatibi dalam Muwfaqt hal.326.
186
Ibnu 'syr Maqshid al-syarah al-islmiyah 307, lihat juga Al-Ghazali al-mustasf juz 1
hal. 418.lihat lebih lanjut sejarah teori hukum Islam terj. Dari A history a Islamic legal Theories karya
Wael B. Hallaq (oleh E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, Raja Grafindo, 2001) hal. 247-
256.
86

D. Rigiditas dan Elastisitas penafsiran: Generalitas dan Pengujian Teori


1) Pandangan Sarjana Barat tentang Ortodoksi/Rigiditas
Sering dikatakan bahwa ortodoksi (selanjutnya disebut rigiditas penafsiran)
adalah sesuatu yang asing dalam konteks Islam Rahmatan lillamn, karena tidak
ada dalam Islam sebuah institusi, seperti lembaga gereja misalnya, yang memiliki
otoritas untuk menentukan kriteria ortodoksi.187 Tetapi kita bisa dengan cukup aman
menggunakan konsep ortodoksi dalam kajian tafsir berdasarkan alasan-alasan berikut.
Pertama, Rigiditas penafsiran yang dipahami sebagai sebuah konsep ternyata
dapat ditemukan dalam karya para pemikir muslim awal, terutama di bidang teologi
dan heresiografi.188 Dalam konteks ini, rigiditas dipahami dalam kerangka pembedaan
antara yang benar dan yang salah. Kajian tafsir pun tidak luput dari kagtegorisasi
diatas. Sebagaimana dapat dilihat dengan jelas, literatur-literatur tafsir dan ulm al-
Qur`n dipenuhi oleh kriteria-kriteria serta contoh-contoh deviasi dalam
penafsiran. Hal tersebut menyiratkan adanya sebuah konsep tentang ortodoksi dalam
tafsir (tafsir yang rigid).
Kedua, proses standardisasi dalam disiplin keilmuan selalu berlangsung
sampai pemapanan ilmu yang dimaksud.189 Dalam disiplin keilmuan tafsir misalnya,

187
Karena tidak adanya sebuah institusi dalam Islam yang bisa membuat sebuah doktrin
menjadi resmi dan ortodoks, maka Montgomery Watt lebih suka menggunakan istilah pandangan
mayoritas (the view of the main body) atau pandangan Sunni (the Sunnite view). Lihat W.
Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1973), hal. 268.
188
Jika ortodoksi dipahami sebagai upaya untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan
keyakinan yang salah, maka orang-orang seperti al-Asyar, al-Gazl, al-Syahrastn dan lain-lain
pernah mencoba mendefinisikan parameter keislaman yang benar dan mengkategorikan sikap-sikap
yang bertentangan dengannya sebagai pola keberagamaan yang salah. Parameter itu kemudian
menjadi acuan dasar untuk memapankan ortodoksi Sunni serta menegaskan heterodoksi kelompok-
kelompok lain di luarnya, seperti Syiah, Muktazilah, Khawarij dan lain-lain. Lihat Fauzan Saleh,
Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004),
hal. 77-78.
189
Ortodoksi adalah sebuah fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, tetapi juga
terjadi dalam banyak disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula Gnther,
Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought, dalam Suha Taji-Farouki [ed.],
Modern Muslim Intellectuals and the Quran (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 142.
87

kecenderungan yang sama juga terjadi. Prinsip-prinsip, metode-metode serta


terminologi-terminologi tafsir dan ulm al-Qur`n telah mengalami proses
pemapanan yang berlangsung sekian lama. Standar kemapanan inilah kemudian
menjadi arus-utama dan dianut oleh mayoritas ulama tafsir. Adapun setiap pemikiran
yang berbeda dari mainstream tersebut cenderung dianggap sebagai deviasi/takhrf
dari pemahaman yang sudah mapan tersebut.
Persoalannya, mungkinkah kriteria ortodoksi/rigiditas sebuah tafsir itu
didefinisikan dan dibatasi? Atas dasar apa serta mengapa sebuah teori penafsiran bisa
dikategorikan ortodoks/rigid dan bukan heterodoks/elastis? apakah fuqah belum
menggunakan konsep Maqshid dalam penafsiran? Bagaimana mungkin kita
membatasi sebuah teritori banyak orang, dengan pendapat masing-masing yang
berbeda-beda, ingin dianggap sebagai bagian darinya?
Berhadapan dengan problem-problem di atas, penelitian ini meyakini bahwa
adalah mungkin untuk membatasi dan mendefinisikan struktur dasar
ortodoksi/penafsiran yang rigid seperti pembatasan terhadap ortodoksi Sunni yang
dilakukan oleh Norman Calder misalnya, dalam artikelnya, The Limits of Islamic
Orthodoxy.190
Hanya saja, mesti diupayakan bahwa pembatasan itu, pertama, bersifat
general yang elastis; general, dalam arti bahwa ia dituntut untuk mencari prinsip-
prinsip yang relatif permanen dan tidak berubah dari masa ke masa; elastis dalam
arti bahwa ia tidak dirumuskan berdasarkan asumsi yang rigid bahwa ortodoksi
dibangun sekali dan untuk selamanya serta tidak pula berpretensi untuk menengahi
atau mereduksi perdebatan-perdebatan yang mengemuka dalam kajian tafsir
sepanjang beberapa abad lamanya. Kedua, pembatasan itu juga diusahakan untuk
lebih bersifat sosiologis daripada normatif. Artinya, ia digunakan sekedar untuk
menjawab pertanyaan mengapa sebuah teori atau pandangan dalam tafsir diterima
oleh komunitas Mufassir sementara teori atau pandangan lain ditolak. Dengan cara

190
Norman Calder, The Limits of Islamic Orthodoxy, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual
Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86.
88

yang sama, kriteria elatis tersebut berfungsi menjadi dasar untuk menganalisa
mengapa Ibnu syr dalam hal ini penting dan diapresiasi dengan cara yang
proporsional dari sebuah tafsir yang rigid, sementara di sisi lain, pendapat-pendapat
Ibn syr juga digunakan untuk mendukung dan menjustifikasi ortodoksi. Ketiga,
demi menghindari simplifikasi yang berlebihan, upaya penilaian terhadap prinsip-
prinsip Maqshid dalam tafsir Ibnu syur akan dilakukan kepada masing-masing
bagiannya untuk menghasilkan kesimpulan bahwa, prinsip-prinsip Maqsid dalam
tafsir Ibn syur bertentangan atau tidak sesuai dengan struktur ortodoksi/penafsiran
yang rigid.
Norman Calder,191 penelitian ini berpendapat bahwa tidak ada satu pun karya
di bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi apa yang disebut
ortodoksi /rigiditas penafsiran. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba melacak
ortodoksi tafsir melalui pandangan atau karya seorang ulama tertentu, melainkan
melalui pembatasan terhadap struktur dasar ortodoksi dengan mana deviasi dari
ortodoksi/rigiditas itu bisa dinilai. Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini juga
memilih untuk tidak terlalu memusatkan perhatiannya kepada relasi antara
ortodoksi/penafsiran yang rigid dan pilihan politik penguasa, melainkan kepada
proses diskursif yang berlangsung di antara para ulama tafsir. Dan karena belum ada
satu pun literatur yang menguraikan struktur dasar ortodoksi dalam tafsir secara utuh
dan sistematis, maka struktur tersebut akan digali, terutama, dari literatur-literatur
tafsir dan ulm al-Qur`n,192 berdasarkan kerangka teori yang akan diuraikan pada
bagian mendatang.
Sebuah penafsiran yang rigid agak sulit dibatasi, karenanya penelitian ini
memilih untuk mendefinisikan rigiditas dengan memotret munculnya ortodoksi,

191
Norman Calder, The Limits of Islamic Orthodoxy, hal. 69-71.
192
Literatur-literatur tafsir dan ulm al-Qur`n juga meliputi karya-karya tentang
heresiografi, perdebatan, serta tipologi tafsir (seperti al-mufassirn haytuhum wa manhajuhum, al-
Ittijht al-Munharifah f Tafsr al-Qur`n al-Karm, Ikhtilaf al-Mufassirn: Asbbuh wa
Dawbituh, Madzhib al-Mufassirn, dan lain-lain), serta karya-karya tentang kaidah dan aturan tafsir
(seperti al-Qawid al-Hisn li Tafsr al-Qur`n, Ushl al-Tafsr wa Qawiduh, dan lain-lain).
89

dengan menelusuri tafsir Sufi klasik, dan perdebatan para teolog kelompok-kelompok
Syiah, Muktazilah, dan Khawarij. Pendekatan semacam ini dilakukan juga oleh,
misalnya, Wael B. Hallaq dalam karyanya, A History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Usul al-Fiqh yang dimaksudnya dengan Sunni Usul al-
Fiqh adalah ushl fiqh yang dikembangkan oleh sebuah kelompok mayoritas
(Sunni) di luar Syiah.193
Selain itu, terma ortodoksi/rigiditas tafsir menyiratkan bahwa terdapat juga
sejenis ortodoksi tafsir dalam kelompok-kelompok lain seperti terlihat pada tafsir Sufi
klasik.194
Pada seminar XV diselenggarakan di Al Jazair pada september 1981, kongres
tersebut mengerahkan kajiannya pada Al-Qurn, kajian tersebut diharapkan dapat
membantu untuk merumuskan strategi pengkajian dan berbagai arahan dari yang
terpikir yang dipaksakan wacana Islam secara makro.195 Dalam hal ini Arkoen
mencatat bahwa metode filologis yang dipraktekkan di barat sejak abad XVI
sekalipun, dengan kekayaan (metode) yang luas dipertahankan dalam yang terpikir
dan yang tak dipikirkan begitu berkaitan dengan berbagai sumber-sumber (ushl)
wacana islami umum, terutama barkaitan dengan al-Qurn dan hadits. Berbagai
penolakan itu tidak pernah menggunakan argumen filologis dan historisis dalam
pengertian modern. Tetapi senantiasa menonjolkan wewenang naskah-naskah yang
sebernarnya menjadi obyek pembahasan ; al-Qurn dab Hadits, skema historiografis
yang telah dibekukan sejak abad IV/X dibawah tekanan teologi ortodoks.
Demikianlah kita melihat cara kerja semua nalar keagamaan.196

193
Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hal. vii.
194
Lihat Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi, (Sufisme
Klasik; menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, hal. 88 sampai akhir.
195
Lihat Arkoun Lectures du Coran terj. Hidayatullah Kajian Kontemporer al-Qurn (Penerbit
Pustaka Bandung 1998) hal.20-21.
196
Diadaptasi dari Lectures du Coran terj. Hidayatullah Kajian Kontemporer al-Qurn
(Penerbit Pustaka Bandung 1998) hal.20-21., lihat juga berbagai kontroversi yang dilancarkan tanpa
henti terhadap karya-karya Joseph Shact An Introduction to Islamic Law,(oxford:clarendon, 1964) dan
Ignaz Galdziher. Lihat lebih lanjut ulasannya dalam Faisar Ananda Arfa, sejarah pembentukan Hukum
Islam, Pustaka Firdaus cet. Pertama 1996 hlm 5-27. dalam hal yang sama sarjana barat yang
90

2) Tekstualisme dan Problematika Linguistik


Adalah menarik bahwa lukisan pengalaman-pengalaman mistik kerasulan
dalam periode Makkah dan Madinah seperti disinggung dalam Al-Qurn (QS. 17:1 ;
53: 1-12 dan 13-18; 81 : 19-25) terlihat adanya ungkapan yang progresif dari cita
religio-moral dan pendasaran tata kemasyarakatan dari komunitas muslim yang baru
terbentuk, namun kita hampir tak menemukan alusi-alusi apapun dalam Al-Qurn
tentang pengalaman-pengalaman batin. Hal ini sejalan degan orientasi kesadaran
Kenabian dimana pengalaman spritual tidak untuk dijadikan tujuan akhir atau dengan
kata lain dinikmati sendiri, tetapi yang utama untuk memberi makna pada tindakan
dalam sejarah.197
Dalam spiritualitas Islam dan Syarah-lah bermula dari munculnya gerakan
pembaharuan Sufi (ortodoks) bertujuan mengintegrasikan kesadaran mistik dengan
syarah Nabi, hal tersebut bermula dari pertengahan kedua abad ke-3 H/9 M dengan
kegiatan tokohnya, seperti al-Kharrz mengemukakan subsistensi/survival
(kelanggengan/baq) untuk memperluas dan memperbaiki doktrin al-Bustam tentang
annihilasi (fana). Apa yang nampaknya ingin diartikulasian dari pencipta doktrin
adalah bahwa subsistensi adalah suatu perkembangan spiritual dimana Yuhan
mengenugrah manusia dengan penemuan kembali dirinya.198 Dalam Islam setidaknya
terdapat Empat fase Spiritualitas Islam; pertama; Fase pra Sufistik yang meliputi Al-
Qurn, elemen-elemen ritual yang utama dalam Islam, dan peristiwa Miraj Nabi.
Kedua; Fase Sufisme periode pertama seperti Hasan Al-Bashr (w.110 H/728 M),
Dzunnn al-Mishr (w. 246 H/861 M), Rabiah Adawiah (w. 185 H/801 M), Ab
Yazd al-Bisthmi, al-Muhsibi (w. 243 H/875 M), dan al-Junayd al-Baghddi.

mendukung keberadaan hokum Islam pada awal hijriah diantaranya, M.M. al-Azami, Noel J. Coulson.
SD. Goitein, dan Wael B. Hallaq. Lihat artikel Goitein yang diulas oleh Faisar dalam buku yang sama,
34-53
197
Fazlur Rahmn, Islam, terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997,
hal. 183-184.
198
Lihat Kasyf al-Mahjb, oleh Abu Ali al-Hujwir, karya yang berharga tentang doktrin-
doktrin Sufi, terj. Inggris R.A Nicholson (Gibb Memorial Studies), hal. 242 dst. Lebih lanjut lihat
uraian Rahman dalam Islam, 198-199.
91

Warisan mereka sampai kepada kita melalui sekumpulan ucapan yang terdapat pada
karya tulis ulama sesudahnya. Tahapan ini berawal dari Hasan Al-Bashr hingga
masa al-Niffri (w. 354 H/965 M). Ketiga; Fase pembentukan kepustakaan Sufistik
yang menunjukkan Sufisme sebagai satu modus kesadaran diri spiritualitas yang
meliputi semua aspek kehidupan dan masyarakat. Fase ini bermula dari al-Sarrj (w.
465 H/ 988 M); hingga masa al-Qusyairi(w. 465 H/ 1074 M). Keempat; Karya-karya
gabungan dari para Sufi abad tujuh Hijriah seperti Attar, Rm (w. 672/1273 M) dan
Ibn Arabi (w. 638/1240 M).199

Kemudian pada abad 4 H/10 M, al-Kalabadz (w. 385 H/ 995 M) dengan


mengutip seorang otorita Sufi (Hallj) mengatakan; subsistensi (baqa) adalah
maqamt (station) Nabi-nabi yang dianugrahi Tuhan kedamaian dan itegritas
(sakinah),karena apapun yang mereka peroleh tidaklah menghalangi mereka untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan Tuhan.200

Klaim-klaim kaum Sufi diatas yang dijadikan Junaid al-Baghddi sebagai


sasaran kritik baik dalam batas esoterik maupun praktek lahiriah mereka. Ia tidak
menolerir dan menolak konsep Sufi tentang tahapan-tahapan dalam kesadaran
manusia, dan mengatakan mereka telah mati dalam keadaan menjadi tawanan dari
buah khayalan mereka. Sebagai konsekwensinya Ia menjawab dengan
mengemukakan prinsip bahwa pengetahuan (ilmu) mempunyai prioritas atas gnosis
(marifah) dan larangan memiliki prioritas terhadap pembolehan.201 Hasil dari proses
doktrin Sufi mengasilkan kategorisasi yang berpasangan antara lain; (1)
199
Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi,(Sufisme Klasik;
menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, 22-25.
200
Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi,(Sufisme
Klasik; menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, 22-26 diadopsi dari kitab
Taarruf oleh Kalabdz Lihat Rahman dalam, Islam, , terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka,
Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199..
201
Diadopsi dari kitab Taarruf oleh Kalabdz, Rahman menguraikannya kembali dalam,
Islam, terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.
Penafsiran-penafsiran yang dilakukan Massignon harus dilakukan dengan hati-hati, sebab lanjut
Rahman terkadang subyektifitasnya masih terasa kental. Lihat Rahman dalam, Islam, , terj.oleh Ahsin
Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.
92

ketidaksadaran dan sadar (2) unitas dan perbedaan (3) absensi dan presensi(dari
diri, dihadapan Tuhan, dan pengalaman mistik). Walaupun para Sufi belum dan tidak
mampumerumuskan secara ekslplisit hubungan organis antara kategori-kategori
dialektis mereka, namun doktrin mereka secara material memberikan sumbangan
kepada penyelamatan hubungan mereka dengan ortodoksi (kompromi adoks) seperti
yang dilakukan oleh Ibnu Khfif (w. 371 H/981 M).202

Tafsir Sufi disinyalir sudah muncul pada akhir abad ke-2, dengan gaya tutur
yang tidak linear dan bentuk bahasanya pada awal-awal munculnya diawali dengan
kata kunci dari Al-Qurn, sebut saja sekumpulan ujaran yang dinisbahkan kepada
Imam Jafar al-Shdiq (w. 148 H/765 M), tafsir ini memunculkan kontroversial
seputar hubungan sufsime dengan syiah yang bermula dari Ali (sebagai
pemimpin).203
Simbolisme huruf dalam Tafsir Jafar diawali dengan frase: Dengan nama
Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang,frase ini dianggap bagian integral
dari surah tersebut. Seperti bismi (dengan nama). Kemudian huruf pertama pada
potongan frase tersebut; ba, sn, mm, dan setiap huruf akan dikaitkan dengan satu
kata kunci dengan kata dasar dari ketiga huruf itu.204
Kemudian generasi selanjutnya seorang Sufi yang berdisiplin tinggi; Shal ibn
Abdullh al-Tustari (w.283 H/986 M).205 Karyanya merupakan ucapan-ucapannya
yang dikumpulkan oleh muridnya yaitu Muhammad ibn Slm (w. 297 H/ 909 M),
pengaruh Sahl terhadap karya-karya Sufi pada masa berikutnya sangatlah dominan
202
L.Masignon dalam recoil de texts inedits, hal. 80. dalam Rahman dalam, Islam terj.oleh
Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.
203
Diadaptasi dari naskah Paul Nwyia dalam Le tasr Mysticue Attribute a Jafar Shdiq Edition
critique, Melanges de Unicersite Saint Joseph 43 (Beirut, 1968) hal. 181- 23. Nwyia mengumpulkan
beberapa karya tafsir yang disandarkan pada Jafar al-Shdiq (w. 148/765 M) dari Haqiq at-Tafsr
karya al-Sulami (w. 412 H/ 1021 M) yang diteliti oleh Nwyia bahwa Jafar hidup di Madinah selama
masa peralihan dari kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus kepada Bani Abbsiyyaah di Baghdad.
204
B untuk bahasa arab ba: S untuk bahasa arab Sn, M untuk bahasa arab Mm .
205
Muhammad Shal ibn Abdullah al_Tustari, Tafsr al-Qurn al-Adzm (Cairo: Dr al-Kutub
al-Gharbiyyah al-Kubr, 1329 H/ 1911). Lebih lanjut lihat Gerhard Bowering, The Mystical Vision of
existence in Classical Islam: The Quranic Hermeneutics of the Sufi al-Tustari (w. 283 H/ 896 M)
(Berlin:Walterde Gruyter, 1980)
93

sehingga ia dipuji karena telah mengungkapkan tema-tema Sufi yang cukup penting
diantaranya; perjanjian primordial antara Tuhan dengan manusia (kalimat tauhid),
pancaran yang abadi dari cahaya Muhammad (al-Nr Muhammad), pandangan yang
menyatakan bahwa hanya Tuhan yang berhak untuk mengatakan Aku dan
pandangan bahwa akhirnya setan akan dibebaskan. Sejatinya al-Tustar banyak
dipengaruhi oleh Sufi periode awal yang cukup terkenal yaitu Dz al-Nn al-Mishr
(w. 246 H/861 M). Pada gilirannya, ia banyak mempengaruhi pemikiran beberapa
Sufi penting dalam sejarah Sufi seperi al-Junayd, al-Hallj, dan Muhammad ibn
Salim (w. 297 H/ 909 M).206
Penerimaan kepada mukjizat dan kewalian pun disinyalir tumbuh sangat luas
pada abad 4 H/10 M, dan bahkan filosof rasional sekaliber Ibnu Sina memberikan
ruang dan tempat kepadanya dalam sistem anti-atomisnya, walaupun ia menerangkan
mukjizat tersebut sebagai efek alamiah dari kelebihan kekuatan pikiran (mind) atas
benda (matter). Gerakan pembaharuan Sufisme bermula dari mulai beredarnya
hadits-hadits baru pada abad ini 3 dan 4 H/ 10 M ini yang bermuara ganda untuk
menggalakan Sufisme dan menariknya pada wilayah ortodoks. Hal ini terlihat
semenjak munculnya karya-karya Sufi pada perempat akhir abad 4 H/10 M seperti al-
Luma oleh al-Sarrj (w. 377 H/987 M) dan pengantar menuju jalan Sufi oleh
Kalabdz untuk menggalakan Sufisme moderat dengan struktur ide-ide yang
konsisten yang menunjang langgengnya ortodoksi/pemahaman rigid atas teks.
Kegiatan ini kemudian diikuti pada tahun 438 H/1047 M oleh al-Qusyair (w.465

206
Lingkungan tempat al-Tustar hidup dan mengajar telah dijelaskan oleh Bowering (Mystical
Vision, hal. XX); adalah al-Tustari seorang penduduk Persia, Privinsi Khurasan, meninggal di Bashrah,
kota metropolitan arab yang terletak didataran rendah Irak. Tustari hidup dalam satu wilayah yang
selama beberapa abad peradaban Iran dan dinasti Susian tela membatasi dan membuat garis tradisi
cultural sepanjang Mesopotamia Utara. Hidupnya sendiri dihabiskan didua wilayah terebut ketika
kekhalifahan Abasiyah (abad ke-3 sampai 9 H) menguasai dan menyerap tradisi Iran dan Hellenis
kedalam pengaruhnya, kemudian mencampurkannya dengan kebudayaan arab dari peradaban Islam
yang baru berkembang.
94

H/1073 M) dengan bukunya Utusan (Risalah) Qusairiyyah yang masyhur, sebagai


manifesto sintesa antara Sufisme dan theologi ortodoks.207
Kemudian gerakan ini mencapai puncaknya pada masa al-Ghazli (w. 505 H)-
Hujjatul Islm- penulis, Ia tidak hanya membangun kembali (reorientasi) Islam
ortodoks, namun juga pembaharu Sufisme, dengan membersihkannya dari unsur-
unsur tak Islami serta mengabadikannya kepada paham Islam yang ortodoks. Melalui
pengaruhnya Sufisme memperoleh restu dai Ijma(konsensus masyarakat).208
Apabila ilmu ushul fiqh dianggap sebagai metode yang bertanggung jawab
atas (dasar) dalam berijtihad untuk memahami Nash al-Qurn dan istinbath hukum,
maka sedikit sekali celah kesalahan dari ilmu ini yang akan menyebabkan mandegnya
Ulama dalam berijtihad karena ia merupakan Induk dari ilmu Maqshid Syarah
yang mempunyai tatanan kokoh, sebagai dasar asli dan tumpuan awal penyangga dari
sesuatu yang berada diatasnya. Dengan kata lain pengejawantahan integral/general
atas konsep-konsep yang partikular dari kaidah-kaidah fiqhiyyah secara khusus.
Dengan demikian celah-celah kesalahan diatas berawal/bersumber dari keinginan
untuk memperluas cakupan ilmu ushul dengan memasukkan hal-hal yang tidak
diperlukan oleh Mujtahid dalam beristinbat hukum.209
Kalupun al-Sytib (1388 M) dipandang sebagai pendobrak gagasan kembali
Ilmu Ushul menjadi kokoh dengan Maqshid al-Syarah, seperti yang disinyalir
beberapa pakar dan peneliti diatas. Lain halnya dengan Ibn syr dia meletakkan
Maqshid al-Syarah sebagai ilmu tersendiri tidak lagi menginduk pada ilmu Ushul
Fiqh, karena ilmu Maqshid al-Syarah baginya sangat berhubungan erat dengan

207
Fazlur Rahman, Islam terj. Ahsin Muhammad (Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 200-203.
208
Fazlur Rahman, Islam hal. 202-205. dari sinilah kemudian lahir organisasi Sufi, sampai pada
perkembangan sekte dan gerakan pembaharuan modern dan perkembangan modern serta neo
modernisme seperti yang diklaim Fazlur Rahmn bahwasanya ia masuk dalam kategori ini.
209
Lihat Ibn Mandzr (Ab Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim (w. 117 H) dalam Lisan
al-arab Dr Lisn al-Arab Beirut, jld. 3 hal. 128., lihat juga Ab Jafar Muhammad ibn Jarr ath-
Thabar (w. 310 H), tafsir ath-Thabar Jmi al-Bayn an tawl ayy al-Qurn, tahqiq Ahmad
Mahmd Muhammad asyakir Dr al-Maarif, Mesir, jld. 3 hal.57. dan Ibn Atiyyah, Muharrar al-
Wajz f tafsr al-kitb al-azz tahqiq Abdullah al-Anshari dan Sayyid abdul ali Ibrahm, cet. 1, jld 1
Qatar 1409 H/1988, hal. 487.
95

penelitian lain, yang mempunyai muara esensi tujuan sama yakni penelitian tentang
Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami (The rule of Islamic
Civilization), yang menurut kaca mata Ibn syr, pemerhati penelitian tentang tema
besar ini dan (Maqshid Syarah) membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas (tidak
terikat dengan konversi persepadanan dengan qiyas), rinci dan detail dari kaidah-
kaidah ushul fiqh.

BAB III
96

PRINSIP-PRINSIP TAFSR DAN FORMULASI MAQSHID IBN SYR

Aktifitas penafsiran al-Qurn yang dilakukan oleh para intelektual Muslim,


dari dulu hingga kini, bahkan masa yang akan datang selalu berada dalam satu
bingkai teoritik yang sama, sebagaimana ditegaskan oleh Andrew Rippin, yakni to
explain the text and to explore its ramifications as fully as possible, as well as to
make the text understandable.210 Tetapi muncul sebuah persoalan, yakni bagaimana
seharusnya seorang muslim menafsirkan al-Qurn, sehingga pesan-pesan ilahi yang
terekam di dalamnya dapat ditangkap secara baik dan benar.

A. Prinsip-prinsip dasar penafsiran Ibn syur


Dalam kesempatan lain Ibnu syr menyatakan bahwa terdapat dua karakter
mufassir dalam menyikapi tafsir sebelumnya. Pertama; mereka cenderung mengekor
(taqlid) pada apa yang didapat dari pendahulunya. Kedua; mereka yang menolak
bersikap apriori terhadap tafsir-tafsir yang telah ada sekian abad sebelumnya.
Menurut Ibn syr satu karakter lagi bagi mufassir yang mencoba menjembatani
dua karakteristik diatas. Bagi mereka yang masih bertali pada mufassir diatas maka
kami akan membersihkan dan menambahkan (melengkapinya), dan hampir tidak
pernah kami membuang atau menganulir dari tafsir sebelumnya. Karena lanjut Ibn
syr dengan membuang karya-karya umat yang terpuji berarti telah mengingkari
nikmat dan keistimewaan sebelumnya, segala puji bagi Allah Rabbul lamin yang
telah menunjukkan dan mengukuhkan harapan dan mempermudah jalan kebaikan
ini.211
Sebagai pengantar untuk kitab tafsirnya, Ibn syr menulis sebuah
mukaddimah yang dibaginya menjadi 10 bagian, antara lain;

210
Andrew Rippin, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York;
Routledge; 1995), hal. 85. lihat Bab II hal 5.
211
Ibnu syr al-Thrr wa al-Tanwr hal. 7-8
97

Pengantar Pertama Ibnu syr (1973 M) berbicara tentang tafsir dan tawil,
dia menegaskan tafsir merupakan ilmu Islam yang pertama, menurutnya orang
pertama yang mengkodifikasi tafsir yaitu Abdul Mlik ibn Juraij (80-149 H). Banyak
dari riwayat Ibnu Juraij diambilkan dari Ibn Abbas walaupun figur sekaliber Ibnu
Abbas (sahabat) banyak juga yang mengklaim dengan riwayat-riwayat yang tidak
jelas jluntrungnya (israiliyyt), hal saling mengklaim dan melegitimasi tafsir dan
tawl kelompok ini sudah terjadi pada Ibnu Abbs.212
Perhatian kepada persoalan-persoalan linguistik itu bermuara pada upaya
penetapan pola relasi antara teks dan maknanya. Secara umum, relasi tersebut bersifat
tekstualis, dalam arti bahwa pemaknaan apa pun terhadap al-Qur`n tidak boleh
bertentangan dengan teks (al-Qur`n dan hadits).213 Pada praktiknya kemudian,
prinsip tentang tekstualisme dalam tafsir ini bersinggungan dengan, paling tidak, dua
hal: takwil dan pembatalan teks (tatl al-nash).214
Menurut sebagian ulama klasik tawil sepadan (makna) dengan tafsir, dimana
tawil dianggap sebagai tafsir Al-Qurn, sama dengan tawl Al-Qurn.215 Ta'wl
merupakan sisi lain dalam memotret dan memahami- cakrawala teks al-Qur'n,
selain ta'wl terdapat beberapa istilah yang menunjukkan pada pengungkapan makna
al-Qur'n seperti tafsr, bayn, syarh, dan terjemah. Dari beberapa term tersebut, term

212
Ibnu syr at-Thrr wa at-Tanwr hal. 10-17
213
Teks al-Qur`n bahkan ditempatkan di atas bahasabukan bahasa yang menjadi kriteria
benar atau tidaknya teks, melainkan teks yang menentukan apakah sebuah kaidah dalam bahasa Arab
bisa dianggap benar atau tidak. Lihat G.E. von Grunebaum, Idjz, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.],
The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Bandingkan dengan al-Suyuti, Al-Itqn, vol. 1, hal. 9.
214
Istilah tatl al-nash berasal dari Ysuf al-Qardw. Lihat al-Qardw, Dirsah fi Fiqh
Maqsid al-Syariah: Bayna al-Maqshid al-Kulliyyah wa al-Nushs al-Juz`iyyah (Kairo: Dr al-
Syurq, 2006), hal. 4.
215
Muhammad Al Shabniy, al-Tibyn f ulm al-Qurn, Maktabah al-Ghazli Damaskus
1401 H, hal. 62-63. seperti Mujahid (w.104 H) murid dari Ibnu Abbs (w. 68 H) Tarjman al-
Qurn-, yang berpandangan bahwa mayoritas ulama memahami tawil sebagai tafsir al-Qurn,
namun demikian sebagaian ulama mempunyai perspektif berbeda antara tafsir dan tawl terdapat
perbedaan yang jelas dikalangan mufassir khalaf (kontemporer) kedua istilah ini. Menurut mereka
tafsir mengacu pada arti dhhir ayat-ayat Al-Qurn. Sementara tawl mengacu pada bermacam-
macam kemungkinan makna yang dikandung ayat Al-Qurn.
98

yang popular atau mendominasi saat ini adalah term tafsir dibanding dengan term
ta'wl dalam memahami makna al-Qur'n.
Meskipun istilah yang mendominasi saat ini adalah istilah tafsir, akan tetapi
dalam catatan sejarah istilah ta'wl yang lebih dahulu muncul dari pada istilah tafsir.
Rasulullah Saw. pernah mengungkapkan lafadz tersebut ketika mendo'akan Ibn
Abbas (w. 68 H) agar Allah Swt. Memberikan pemahaman dalam hal ta'wl kepada
Ibn Abbas (allhumma faqqihhu f ad-dn wa 'allimhu at-ta'wl). Pada masa tbi'
at-tbi'in, istilah ta'wil lebih populer. Di zaman Imam at-Thabari misalnya -pengarang
kitab Jmi' al-Bayn fi Ta'wil Ayy al-Qur'n- diterangkan, bahwa lafadz ta'wl lebih
banyak di ulang daripada lafadz tafsir. Ini di buktikan bahwa kata tafsir hanya
disebutkan sekali (al-Furqn ayat 33), sedangkan lafadz ta'wl terulang lebih dari
sepuluh kali.216
Tawl dengan segala perdebatan mengenai definisi dan pembatasannya
menganut asumsi tentang dua level makna: zhhir -btin, haqq-majz, qarb-bad,
muhkam-mutasybih, jzim-muhtamil, atau ma`tsr-manzr.217 Dalam pandangan
ortodoksi Sunni, pembagian dua level makna ini bersifat biner, dalam arti bahwa
kategori yang kedua harus merujuk kepada, dan dibatasi oleh, kategori pertama.
Lebih jauh lagi, perumusan makna pada kategori kedua harus selalu dilakukan dalam
wilayah yang diizinkan oleh kaidah-kaidah bahasa Arab. Dengan demikian, makna
btin, majz, bad, mutasybih, muhtamil, dan manzhr hanya bisa diterima apabila
ia tidak bertentangan dengan makna zhhir , haqq, qarb, muhkam, jzim, dan
ma`tsr serta tidak menyimpang dari aturan-aturan bahasa.218

216
Lihat Mann Khll al-Qaththn, Mabhits f ulm al-Qurn, Muassasah al-Rislah,
Beirut, 1983, hal. 327. lihat redaksi ayat yang secara bahasa dalam (QS. 25 :33). Lihat juga Yusuf al-
Qaradhwi, berinteraksi dengan al-Qur`n, Gema Insani Press , Jakarta 1999, hal. 233.
217
Tentang konotasi takwil dengan dua level makna ini, lihat al-Dzahab, al-Tafsr wa al-
Mufassirn, vol. 1, hal. 13-16 dan Musid al-Thayyr, Mafhm al-Tafsr wa al-Ta`wl wa al-Istinbt
wa al-Tadabbur wa al-Mufassir (www.ahlalhadeeth.com), hal. 52-60.
218
Menurut al-Jbir, bahkan kelompok Sunni dan Muktazilah sebetulnya sepakat bahwa takwil
tidak boleh melanggar batasan-batasan yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Perbedaan di antara kedua
kelompok tersebut sebetulnya terletak hanya dalam penentuan ayat-ayat mutasybiht. Lihat al-Jbir,
Bunyah al-Aql al-Arabi, hal. 59-60. Sementara itu, menurut al-Dzahab, untuk menerima takwil
99

Tawl dalam perspektif Ibnu syr menyerupai pandangan yang pernah


diusung pendahulunya seperti al-Zamakhsyari dan Ali Shabuny, , termasuk al-
Qaththn, sedangkan al-Tsalabiy, Ibn Araby, dan Ab Ubaidah, ketiga terakhir ini
mereka mengadopsi pandangan Rghib al-Asfahny yang menyatakan persamaan
antara tafsir dan tawl dalam mukaddimah kitab tafsirnya Tahrr wa al-Tanwr,
sebagian Ulama berpandangan bahwa tafsir menerangkan makna Zhhir (tersurat)
sedangkan Tawl menjelaskan makna mutasybih (tersirat), mereka berpandangan
bahwa tawl adalah dengan membalikkan makna lafadz dari makna yang tersurat
kepada makna lain yang tersirat didalamnya sebagai keterangan atas ayat tersebut
dalam hal ini Ibnu syur menyatakan sebagai man ushliy.219
Seperti halnya penafsiran firman Allah dengan makna
mengeluarkan seekor burung dari telur (menetaskan telur) penafsiran seperti inilah
yang kemudian disebut tafsir, adapun dengan menafsirkannya mengeluarkan seorang
muslim dari lembah kekufuran hal ini merupakan tawl , dan masih banyak
kemungkinan/ibarat yang lain dalam tawl ini, dikarenakan tawl menyerupai makna
awal (tafsir) dan merupakan awal sumber jika dikembalikan kepada tujuan yang
dimaksud (ghyah maqshdah) dari sebuah lafadh, dan tujuan yang dimaksud dari
lafadh ini adalah makna itu sendiri dan makna diatas (tawl) bergantung kepada apa
yang dikehendaki oleh Mutakallim (Allah), begitu halnya dengan tafsir, daripadanya
tidak disandarkan kecuali terdapat makna yang rinci (logis) yang tersembunyi.220

makna batin, para ulama telah menetapkan dua syarat. Pertama, makna batin itu sesuai dengan makna
zahir yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Kedua, ada teks yang dengan tegas mendukung keabsahan
makna batin tersebut. Lihat al-Dzahab, Al-Ittijht al-Munharifah, hal. 82.
219
Ibnu syur, al-Tahrr wa al-Tanwr hal. 15-17.
220
Ibnu syur al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 16-17, Lihat perbedaan pandangan Ibn syr
dengan Al-Sytib dalam penafsiran al-kitb dalam penafsirannya terhadap ayat m farratn fil-
kitbi min syay, dengan tiga kategori prinsipnya Pertama, argumen berdasarkan ayat-ayat al-Qur`n
sendiri, seperti Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu. (al-M`idah [5]: 3),
Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam al-kitb (al-Anm [6]: 38), serta Dan
Kami turunkan al-kitb kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu (al-Nahl [16]: 89), dalam Al-
Sytib, Al-Muwfaqt, vol. 3, hal. 276; dan vol. 4, hal. 10. Al-Sytibi menyatakan bahwa al-Qur`n
mengandung prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, seluruhnya tanpa terkecuali. Memiliki pengetahuan
tentang al-Qur`n sama seperti memiliki pengetahuan tentang syariat Islam secara general, al-Rz
mendukung prinsip tersebut dengan argumen-argumen yang nyaris sama dengan argumen-argumen al-
100

Selanjutnya Tawl disinonimkan dengan interpretasi atau memalingkan


makna (reklamasi). Yaitu seseorang mufassir memalingkan makna ayat al-Qurn
dari berbagai kemungkinan makna yang lain.221 Sebagian Ulama menganggap bahwa
Tawl sinonim dari tafsir.222 Pada kesempatan yang lain tawil juga disebut sebagai
tadbr (meditasi), taqdr (kontemplasi), dan tafsir (interpretasi).223............ adapun
terkait dengan hal ini, ditegaskan dalam Al-Qurn bahwa tidak ada yang (mampu)
mengetahui Tawl nya kecuali Allah beserta al-Rsikhn fi al-ilm (QS. 3:7).
Sebuah kutipan dari al-Dzahab berikut ini memperlihatkan bagaimana dua
level makna itu diperlakukan dalam kegiatan interpretasi al-Qur`n. Setiap makna
bahasa Arab yang pemahaman al-Qur`n tidak bisa dibangun kecuali di atasnya
adalah termasuk kategori zhhir . Maka untuk memahami zhhir al-Qur`n, tidak
diperlukan syarat tambahan selain menaati kaidah-kaidah bahasa Arab. Setiap makna
yang ditarik dari al-Qur`n secara tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab
sama sekali bukanlah termasuk tafsir al-Qur`nSiapa pun yang memiliki pendapat
di luar hal itu, maka pendapatnya tidak dapat diterima. Sedangkan [untuk memahami]
makna btin, pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab saja tidak memadai.
[Selain kaidah-kaidah bahasa], dibutuhkan juga cahaya yang diletakkan Allah ke
dalam hati manusia agar ia bisa memiliki pandangan yang terbuka serta pemikiran
yang jernih. Artinya, tafsir bthin bukanlah sesuatu yang berada di luar kandungan
lafadz al-Qur`n.224
Akan tetapi orientasi tekstual dalam tafsir itu tidak sama dengan literalisme
yang kaku. Ortodoksi Sunni menolak penafsiran yang terlampau literal seperti apa

Syatib. Lihat Fakhr al-Dn al-Rz, Mafth al-Gayb (Beirut: Dr al-Fikr, cet. 3, 1985), vol. 12, hal.
225-228. Ibn syr lebih menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa makna pada ayat di atas
adalah ketentuan Allah di zaman azali, bukan al-Qur`an. Dia juga menyatakan bahwa pilihannya itu
berseberangan dengan pilihan al-Rz dan al-Syatibi. Lihat Muhammad al-Thhir ibn syr, Al-
Tahrr wa al-Tanwr (Tunis: al-Dar al-Tunisiyyah li al-Nasyr, 1984), vol. 7, hal. 217. Al-Sytib, Al-
Muwfaqt, vol. 3, hal. 276; dan vol. 4, hal. 10.
221
Muhammad Ali Shabniy, al-Tibyn f ulm al-Qurn, hal. 62-63.
222
Muhammad Ali Shabniy, al-Tibyn f ulm al-Qurn, hal. 62-63.
223
Muhammad Ali Shabniy, al-Tibyn f ulm al-Qurn, hal. 62-63.
224
Al-Dzahab, Al-Ittijht al-Munharifah, hal. 82.
101

yang dilakukan oleh kelompok Zhhiriyyah.225 Artinya, memang ada pengakuan


terhadap konteks, namun pengakuan tersebut hanya dibatasi pada konteks linguistik
yang tidak melampaui teks, seperti siyq al-kalm dan munsabah, atau konteks
historis yang juga didasarkan pada teks, seperti asbb al-nuzl. Sedangkan
kontekstualisasi yang melampaui teks cenderung tidak diterima kecuali jika ada teks
lain, seperti dalam konsep naskh, yang menguatkannya.
Perdebatan tentang teks dan konteksnya itu juga terlihat dalam persoalan tatl
al-nash. Perubahan-perubahan di bidang sosial dan budaya, terutama pada masa
modern ini, melahirkan perdebatan mengenai hubungan antara teks al-Qur`n dengan
realitas kehidupan. Pertanyaannya adalah: bagaimana menafsirkan beberapa ayat al-
Qur`n yang terkesan bertolak belakang dengan perkembangan sosial? Beberapa
pemikir muslim modern, seperti Muhammad bid al-Jbir226 di Maroko, Nasr
Hmid Ab Zayd227 di Mesir, Mohammed Arkoun228 di Prancis, dan A. Muqsith
Ghazali229 di Indonesia, berpendapat bahwa lafaz teks bisa dibatalkan berdasarkan

225
Al-Dzahab, Al-Ittijht al-Munharifah, hal. 19. Bandingkan dengan Ysf al-Qaradhw,
Dirsah fi Fiqh Maqshid al-Syarah, hal. 45-50. Bahkan R. Brunschvig menyatakan bahwa jika
dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain dalam Islam, Zhiriyyah berada di batas terjauh dari
ortodoksi (at the furthest limit of orthodoxy). Lihat Abdel-Majid Turki, al-Zhiriyya, dalam C.E.
Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.
226
Secara tersirat, al-Jbir menekankan perlunya hukum waris yang terdapat dalam al-Qur`an
untuk ditafsirkan dengan mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, dan sejarah yang terus berubah.
Lihat Muhammad bid al-Jbir Al-Turats wa al-Hadatsah: Dirsat wa Munqasyat (Beirut: al-
Markaz al-Tsaqaf al-Arab, 2001), hal. 54-56.
227
Untuk analisis tentang penafsiran Nasr Hmid Ab Zayd terhadap ayat-ayat yang berbicara
mengenai posisi kaum wanita dalam Islam, termasuk tentang hukum waris, lihat Yusuf Rahman, The
Hermeneutical Theory of Nasr Hmid Ab Zayd, hal. 181-189.
228
Al-Qaradhwi, Dirsah fi Fiqh Maqshid al-Syarah, hal. 87. Untuk kajian yang lebih
terperinci tentang posisi Arkoun dalam penafsiran ayat-ayat mrts, lihat Jilani Ben Touhami Meftah,
Al-Fahm al-Hadatsi li al-Nash al-Qur`n: yata al-Mrats Namdzajan Tatbqiyyan dalam Buhts
Mu`tamar Manhij Tafsir al-Qur`an al-Karim wa Syarh al-Hadts al-Syarf (Kuala Lumpur: Dept. of
Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hal. 887-894
229
Menurutnya, Maqshid al-syarah merupakan sumber hukum pertama dan primer dalam
Islam, di atas al-Qur`n dan hadits. Dengan demikian, jika teks sebuah ayat dalam al-Qur`an
bertentangan dengan maqshid, maka yang harus didahulukan dan diberi prioritas adalah maqshid,
bukan teks. Jika prinsip ini diterapkan dalam tafsir al-Qur`an, maka kontradiksi-kontradiksi antar ayat
akan dengan mudah diatasi tanpa harus memaksakan interpretasi yang sewenang-wenang. Lihat A.
Muqsith Ghazali, A Methodology of Qur`anic Text Reading, dalam ICIP Journal, vol. 2, no. 4,
Agustus 2005.
102

maslahat tertentu. Sebagai rujukan, salah satu ulama masa lalu yang sering dikutip
mendukung pendapat tersebut adalah Najm al-Dn al-Tfi, seorang juris abad 7-8
Hijriah yang bermazhab Hanbali.230
Dengan sruktur Rigiditas yang dibangun di atas prinsip sentralitas teks al-
Qur`n, tentu saja pandangan tentang keabsahan pembatalan teks al-Qur`n demi
sesuatu di luarnya itu ditolak keras oleh para ulama ortodoks.231 Teks hanya bisa
dibatalkan (di-naskh) oleh teks yang lain, baik berupa ayat al-Qur`n yang lain
maupun hadits Nabi, bukan oleh sesuatu di luarnya dan bukan pula oleh maslahat
yang tidak memiliki landasan tekstual.
Dalam pengantar Kedua Ibnu syr memaparkan tentang istimdd
(perangkat pengetahuan sebagai alat bantu) penafsiran yang sudah ada sebelum ilmu
itu ada. Seperti ilmu gramatikal, linguistik arab, ushl al-fiqh, ilmu kalam, ilmu
man dan bayn, ilmu bad, peran (majz), dan syair-syair arab untuk mengenalkan
beberapa kosakata al-Qur`n, al-Qirt, akhbr al-arab, Ibn syr juga
menggunakan pendekatan salaf (atsar) yang mementingkan sisi nukilan.
Selengkapnya lihat kembali pada bab 2 tesis ini.232
Pada pengantar Ketiga Ibnu syr menerangkan tentang keabsahan tafsir
tanpa nukilan (matsr) dan makna tafsir berdasarkan nalar (bi ar-rayi). Ibnu syr
menghindari penafsiran dengan akal yang pernah dilarang langsung oleh Nabi
Muhammad Shallawwahu alaih wasallam, Abu Bakar r.a pernah juga melarang
mereka-reka makna al-Qur`n. Namun disisi lain dia membolehkannya, dengan dasar
bahwa; bahwa keajaiban Al-Qurn tidak akan pernah habis
untuk dikaji sampai hari akhir (kiamat), dan tafsir dalam hal ini juga mempunyai

230
Najm al-Dn al-Thf lahir pada tahun 675 H. di Tfah, sebuah desa yang tidak jauh dari
Baghdad, dan meninggal dunia di Hebron pada tahun 716 H.. Karyanya yang kontroversial tentang
maslahah adalah Kitab al-Tayn fi Syarh al-Arban, atau juga dikenal dengan Rislah al-Imam al-
Tf f Taqdm al-Maslahah f al-Mumalat ala al-Nash. Lihat W.P. Heinrichs, al-Thf, dalam
C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.
231
Al-Qaradhw menyebutnya sebagai Tatl al-nash bi ism al-mashlih wa al-maqshid. Lihat
al-Qaradhw, Dirsah fi Fiqh Maqshid al-Syarah, hal. 85.
232
Ibnu syr al-Thrr wa al-Tanwrhal. 18-27.
103

peranan dalam menyingkap kandungan-kandungan makna didalamnya seiring dengan


berkembangnya metode-metode penafsiran al-Qurn.233
Dalam hal ini Muhammad Thhir Ibn syr memaparkan ungkapan Imam
al-Ghazli dan Al-Qurthbi yang menyatakan ketidaktepatan dengan mengatakan dari
setiap apa yang diutarakan Sahabat dalam tafsir kesemuanya bersumber dari
pendengaran langsung atas ungkapan Nabi Muhammad saw. dengan dua alasan;
pertama; Nabi Muhammad saw. belum pernah menafsirkan ayat-ayat Al-Qurn
kecuali hanya sedikit seperti yang disinyalir dari hadits Aisyah yang menyatakan;




;Yang dimaksud oleh
Ibnu syr dengan gagasan yang tercela yaitu ketika bersifat betikan ide (khtir)
tanpa dilandasi oleh argumen gramatikal dan linguistik arab yang valid, atau hanya
bersifat kecenderungan madzhab saja. Kedua; mereka berbeda pandangan dan
pendapat dalam tafsir dalam pelbagai/banyak hal, yang tidak mungkin untuk
disatupadukan antar (keduanya). Ibnu syr mempertegas bahwa tafsir tidak hanya
beroperasi pada nukilan (matsr), hal tersebut akan mempersempit makna dan
sumber penafsiran Al-Qur`n. Sebab nukilan dari sahabat juga tidak banyak
melainkan hanya (sedikit).234 Lain halnya dengan pandangan al-Dzahabi Pertama,
penafsir meyakini sesuatu lalu membawa lafaz al-Qur`n untuk mendukung
keyakinannya itu. Dengan kata lain, penyimpangan ini terjadi akibat perhatian yang
terlampau besar kepada makna dengan mengabaikan lafaz. Kedua, penafsir
menginterpretasi al-Qur`n hanya memperhatikan lafaznya tanpa memperhatikan
konteks [kronologis] untuk menyingkap makna leksikal.235
Selanjutnya, Ibn syr mengadopsi pandangan Syarifuddn ath-Thiby dalam
syarh al-Kasyf kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai makna tafsir
berdasarkan nalar (bi al-rayi). Dikatakan bahwa pra syarat penafsiran yang shahh
diantaranya; bahwa penafsiran hendaknya sesuai redaksi lafadz dengan tidak

233
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, hal. 28
234
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr hal. 29-37
235
Al-Dzahabi, Al-Ittijht al-Munharifah, hal. 17-19.
104

membebani lafadz / bebas dari pembebanan (makna lafadz), serta hendaknya


penafsiran tidak berkecenderungan condong terhadap salah satu pandangan/madzhab
(partikular) namun harus bersifat general, dan bagi Fakhrudin al-Rzi (shhib al-
Kasysyf) mereka yang tidak sependapat dengan pandangan diatas termasuk dalam
golongan yang menyimpang /bidaat-tafsr.236
Setidaknya terdapat lima jawaban, mengenai syubhat tentang kekhawatiran
atas penafsiran berlandaskan nalar perspektif Ibn syr diantaranya; pertama; yang
dimaksud dengan nalar tersebut hanya sebuah ide yang terbersit (khtir) tanpa
landasan dari ketentuan hukum-hukum syariat dan tujuannya (maqshid al-
Syariah), kedua; nalar/ide tersebut tidak melihat kesinambungan makna antar ayt
yang satu dengan yang lain, ketiga ide/nalar tersebut berkecenderungan pada satu
kelompok/madzhab yang mengakibatkan tawil dengan nalar yang tidak terkait
dengan makna ayat tersurat. keempat; yaitu penafsiran ayat dengan nalar yang
berlandaskan redaksi lafadz kemudian mengklaimnya bahwa hasil penafsirannya
tersebut tepat tanpa menghiraukan (penafsiran/makna) yang lain dan hal ini sama
saja dengan mereduksi ruang dari pentawil al-Qurn itu sendiri, kelima; tujuan dari
penalaran tafsirnya (bi al-rayi) menafikan kekhawatiran dan kehati-hatian dalam
menelaah dan menawilkan terkesan dipaksakan (tergesa-gesa), disnilah kelengahan
subyektifitas Ulama terkait dengan hal ini.237
Pada pengantar Keempat Ibn syr menjelaskan bahwa penafsir harus
mengerti tentang unsur-unsur pembentuk perubahan (baik level individu maupun
sosial).238 Diantaranya: pertama, reformasi keyakinan; kedua reformasi etika; ketiga,
reformasi legislasi hukum; dan keempat, reformasi politik penyelenggaraan umat.
Kemudian dia memaparkan bahwa diantara mufasir ada yang membatasi diri pada hal
yang lahiriah saja dari teks, sebagian yang lain mencari kesimpulan dari apa yang
berada dibalik teks yang lahiriah itu. Hal inilah yang memungkinkan para pendahulu
236
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr hal. 30.
237
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr hal. 31-37, lihat selengkapnya pada bab 2. lihat juga
Abdul Qdir Muhammad Shlih, al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-ashr al-Hadts, hal. 110-119.
238
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr hal. 38.
105

kita untuk membuat detil-detil hukum. Ibnu syr juga menerangkan tentang
hubungan antara Al-Qur`n dan ilmu pengetahuan. Pada pengantar keempat secara
khusus ditulisnya untuk mengkaji tujuan seorang mufassir dalam menafsirkan al-
Qur`n (fm yahiqqu an yakna garadh al-mufassir).239
Ibn syr menyatakan bahwa ada hikmah-hikmah tertentu di balik pilihan
Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`n. Namun demikian,
kenyataan bahwa al-Qur`n diturunkan kepada bangsa Arab itu tidak berarti, tulisnya;
Bahwa hukum-hukum syariat hanya diperuntukkan bagi mereka atau bahwa ia
ditetapkan demi kepentingan-kepentingan mereka belaka. Kenyataan bahwa syariat
bersifat umum dan abadi, serta bahwa al-Qur`n adalah mukjizat yang berlaku terus-
menerus sepanjang masa, menolak [kebenaran anggapan] itu.240
Ibn syr kemudian merumuskan delapan tujuan dasar (al-Maqshid al-
ashliyyah) dari diturunkannya al-Qur`n, yaitu pertama; memperbaiki dan
mengajarkan akidah; kedua; mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga;
menetapkan hukum-hukum syariat; keempat; menunjukkan jalan kebaikan kepada
umat Islam (siysah al-ummah); kelima; memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah
bangsa-bangsa terdahulu; keenam; pengajaran syariat sesuai dengan perkembangan
zaman; ketujuh; al-targhb wa al-tarhb; kedelapan; membuktikan kebenaran risalah
Nabi Muhammad saw.241
Dengan demikian maka tujuan seorang mufassir adalah; dengan menjelaskan
apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`n dengan
penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayn), selaras dengan apa yang
dikandung oleh maknanya (yahtamiluh al-man) dan tidak bertentangan dengan
lafaznya (wal ya`bhu al-lafdz). [Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang
dapat menjelaskan maksud dari Maqshid al-Qur`n, atau segala sesuatu yang

239
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, hal. 38-39.
240
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, hal. 38-39
241
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, hal. 40-41
106

menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa
memerinci dan menjabarkan Maqshid tersebut.242
Tentang tafsir saintifik atau tafsir yang menghimpun persoalan-persoalan
keilmuan dari berbagai disiplin yang berhubungan dengan tujuan-tujuan al-Qur`n,
menurut Ibn syr, adalah salah satu dari tiga cara dalam melakukan tafsir atas al-
Qur`n.243
Ibn syr mengakui bahwa al-Sytib termasuk salah satu penentang paling
keras dari tafsir semacam ini, dan bahwa seluruh argumen al-Sytib berpusat pada
satu prinsip: status al-Qur`n sebagai sebuah kitab yang diturunkan kepada bangsa
yang umm sehingga pemaknaan apa pun terhadapnya tidak boleh keluar dari batas-
batas ke-ummi-an itu.244
Pandangan diatas oleh Ibn syr dikritisi dengan mengatakan bahwa;
prinsip ini lemah karena enam alasan. Pertama, ia didasarkan pada anggapan bahwa
al-Qur`n tidak bermaksud melakukan transformasi bangsa Arab dari satu kondisi ke
kondisi yang lain. Anggapan ini batal berdasarkan apa yang telah kami kemukakan
pada bagian sebelumnya. Allah sendiri berfirman, Itulah sebagian dari berita-berita
gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau
mengetahuinya dan tidak [pula] kaummu sebelum ini. (Hd [11]: 49).245
Kedua, Maqshid al-Qur`n merujuk kepada [prinsip] keumuman dakwah
serta bahwa ia merupakan mukjizat yang abadi. Karena itu, al-Qur`n mesti

242
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr hal. 40-43
243
Dua cara lainnya adalah, pertama, penafsiran yang membatasi diri pada makna-makna dasar
(al-Dzhir min al-man al-ashl) dan, kedua, penafsiran yang menguraikan persoalan-persoalan
hukum, akhlak, teologi, dan sebagainya. Lihat Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 42.
244
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 44.
245
Redaksi ayatnya;
st6)y9$# ) ( 9$$s ( #xy 6s% y7s% u |Mr& !$yn=s? |M. $t ( y7s9) !$pm =t9$# !$t7/r& =?

)F=9
107

mengandung hal-hal yang bisa dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa
penyebaran ilmu pengetahuan.246
Ketiga, ketika generasi terdahulu (salaf) menyatakan bahwa keajaiban-
keajaiban al-Qur`n tidak ada habis-habisnya (al-Qur`n l tanqad aj`ibuh),
maka yang mereka maksud adalah makna-maknanya. Jika pendapat al-Sytib benar,
maka keajaiban al-Qur`n akan berakhir karena jenis-jenis maknanya juga terbatas.
Keempat, salah satu mukjizat al-Qur`n adalah bahwa ia, dengan lafadznya yang
singkat (maa jz lafdzih), mampu memuat makna-makna yang tidak mampu
dicakup oleh sangat banyak buku. Kelima, kadar pemahaman orang-orang [Arab]
yang menjadi objek pertama dari khitb al-Qur`n memang hanya terbatas pada
makna-makna dasarnya. [Tetapi] di luar makna-makna dasar tersebut, terdapat
makna-makna lain yang bisa dipahami oleh orang-orang tertentu dan tidak bisa
dipahami oleh orang-orang yang lain. Keenam, tentang anggapan bahwa generasi
salaf sama sekali tidak membicarakan hal-hal [di luar batas-batas ke-umm-an] itu;
jika [yang dimaksud dengan hal tersebut adalah] apa pun yang tidak merujuk kepada
Maqshid al-Qur`n, maka kami sepakat dengan al-Sytib. Tetapi, menyangkut hal-
hal yang merujuk kepada Maqshid al-Qur`n, kami tidak sepakat bahwa generasi
salaf itu hanya berhenti pada makna-makna zhhir ayat al-Qur`n.247
Mereka justru memberikan penjelasan, perincian, dan penjabaran tentang
ilmu-ilmu yang mereka geluti. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengikuti
jejak mereka dalam disiplin-disiplin ilmu lain yang bertujuan untuk mengabdi pada
Maqshid al-Qur`n atau untuk menunjukkan luasnya ilmu-ilmu keislaman (al-ulm
al-Islmiyyah). Apa yang berada di luar tujuan tersebut, jika digunakan untuk
menjelaskan makna al-Qur`n, maka ia pun termasuk tafsir (tbi li al-tafsr) dengan
alasan bahwa ilmu-ilmu rasional (al-ulm al-aqliyyah) mengkaji hal-ihwal sesuatu
sebagaimana adanya (al m hiya alayhi). Sedangkan sesuatu yang melebihi hal itu
246
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 44-45. Lihat juga Rasyd Ridh dalam
Tafsr Al-Qurn, vol. 11. hal. 243.
247
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 44-45. Lihat juga Rasyd Ridh dalam
Tafsr Al-Qurn, vol. 11. hal. 243.
108

[yakni yang tidak digunakan untuk menjelaskan makna al-Qur`n] tidak dapat
dianggap sebagai tafsir, namun ia [bisa menjadi] pelengkap bagi pembahasan-
pembahasan akademis serta menjadi pembelokan (istithrd) ilmu pengetahuan demi
kepentingan-kepentingan tafsir dengan tujuan agar sumber-sumber pengambilan
(mutat) tafsir menjadi lebih luas dan mencakup berbagai disiplin ilmu
pengetahuan.248
Kemudian dalam pengantar Kelima, Ibn syr mengkhususkan berbicara
soal konteks turunnya ayat (asbb an-nuzl), Ibn syr mengutip pandangan Ulama
ushul yang mengatakan;
" " dinsinyalir bahwa tidak semua ayat-ayat Al
Qurn memiliki kronologi sebab-sebab turunnya ayat, hal ini perlu ditekankan
karena seringkali membuat ragu serta praduga-praduga bahwa Al Qurn diturunkan
dengan sebab-sebab tertentu, walaupun dimaklumi sebagiannya diketahui melalui
proses kronologi sebab-sebab turunnya ayat (tsabatat binnaql), yang kemudian dapat
membantu penafsiran dalam memahami pesan-pesan moral Al Qurn melalui pintu
masuk kronologi tersebut, dari sinilah Ibn syr mulai mengkritik para Mufassir
sebelumnya yang gandrung (berlebihan) dengan konteks turunnya ayat. Dia
mengibaratkan bagai mengulur tali kepada orang orang yang tak dikenal, maka akan
berakibat fatal. Hal ini disebabkan mereka (mufassir) tidak memilah mana diantara
riwayat-riwayat yang dijadikan sandaran kronologis turunnya ayat lemah atau kuat,
kategori Perawinya dapat dipercaya atau tidak, sampai pada taraf inilah Ibn syr
menjadikan pertimbangan untuk menfokuskan perhatiannya pada asbb nuzl ini.249

248
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 44-45. coba bandingkan pandangan ini
dengan gagasan yang dikemukakan oleh Rasyd Ridh yang mengatakan bahwa tidak masuk akal
seorang Nabi yang Ummi yang kita kenal sejarah hidupnya, mampu dengan akalnya atau bisikan
hatinya untuk membuat prinsip-prinsip ilmiah itu, yang mana melampaui seua jenis kitab, baik kitab-
kitab samawi sebelumnya maupun buku-buku karya ilmiah dizaman yang paling maju/global
(teknologi), filsafat dan perundang undangan, sekalipun. Yang masuk akal adalah hal tersebut
merupakan wahyu dari Allah yang dilimpahkan kepada Nabi terakhir, sehingga tidak dibutuhkan lagi
wahyu sesudahnya. Lihat Rasyd Ridh dalam Tafsr Al-Qurn, vol. 11. hal. 243.
249
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 46-.47
109

Al-Sytib (W.1388 M)250 mengatakan dalam kitabnya al-Muwfaqt bahwa


mengetahui asbb al-nzl (historical context) adalah wajib bagi orang yang ingin
mengetahui makna Al-Qurn.251 Artinya mengetahui sebab berarti mengetahui
muqtad al-hl.252 Sedangkan mengabaikan asbb al-nzl, akan berimplikasi pada
pemaknaan subyektif dan keluar dari apa yang menjadi pesan dan maksud ayat-ayat
al-Qurn.253 Oleh karena itu, adalah sangat penting harus bagi orang yang ingin
menyelami ilmu al-Qurn untuk mengetahui adat kebiasaan -secara makro-
masyarakat Arab; baik itu kebiasaan dalam gaya bicara maupun aktifitas, dan
mengetahui situasi-kondisi sosial kemasyarakatan saat wahyu diturunkan, walaupun
di sana tidak ada sebab khusus yang mengiringi turunnya wahyu tersebut. Jika hal ini
diabaikan, tentu hal yang sulit dihindari adalah hasil penafsiran yang rancu.254
Dalam hal ini Syahrr mengcounter pandangan al-Sytibi, dalam buku
pertamanya; al-Kitb wa al-Qurn; Qirah Mushirah ia sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa asbb al-nzl tidak berlaku bagi al-Qurn,255 namun, ia hanya
berlaku pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum dan tafsl al-kitb (ayat-ayat
muhkamt dan mutasybiht).256

250
Ia adalah Ab Ishq Ibrahm b. Msa b. Muhammad al-Lakhmi al-Garnati Al-Sytib. Lihat
lebih lanjut Khayr al-Din al-Zirikli, Al-Alm: Qms Trjim li Asyhr al-Rijl wa al-Nis` min al-
Arb wa al-Mustaribn wa al-Mustsyriqn, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, cet. 9, 1990),
hal. 75. Bandingkan dengan Umar Ridh Kahhalah, Mujam al-Mu`llifin: Trjim Musnnifi al-
Kutub al-Arbiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, 1957), hal. 118.
251
Lihat al-Sytib, Al-Muwfaqt F ushl al-Syarah, juz III, jil, II, (Beirut: Dar al Kutub al
Ilmiyah: tth), hal. 258. Ulama-ulama lain yang menyatakan pentingnya pengetahuan terhadap Asbb
al-nzl dalam penafsiran al-Qurn - dengan gaya bahasa yang mirip dan bahkan sama- bisa
ditemukan dalam buku-buku ulm al-Qurn, yang mana tidak terlepas dari pendapat al Whidi, Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Daqq al Aid.
252
Lihat al-Sytib, Al-Muwfaqt Fi ushl al-Syarah, hal. 258.
253
Lihat al-Sytib, Al-Muwfaqt Fi ushl al-Syarah, hal. 261.
254
Lihat al-Sytib, Al-Muwfaqt Fi ushl al-Syarah, hal. 258..
255
Istilah Al-Qurn dalam pandangan Syahrr tidak sama dengan yang umumnya dipahami
kebanyakan orang. Menurutnya al-Qurn adalah kalam Allah yang diturunkan satu kali waktu dengan
bentuk bahasa Arab pada bulan Ramadlan, sesuai dengan ayat al-Qurn al Baqarah: 185 dan al Qadr:
1. Lihat Muhammad Syahrr, Al-Kitb wa al-Qurn; Qirah Musirah, cet VI, (Lebanon: Syirkt
al-Matbat: 2000) hal. 93. Sementara itu ayat-ayat yang turun secara gradual selama 22 tahun lebih,
oleh Syahrr disebut sebagai Tanzl al-hakm.
256
Muhammad Syahrr, Al-Kitb wa al-Qurn; Qirah Musirah, cet VI, (Lebanon: Syirkt
al-Matbat: 2000) hal. 93.
110

Nashr Hamid Ab Zaid menilai bahwa bagi Syahrur; al-Qurn adalah sebuah
teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan
dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan. Nabi hanyalah
seorang penerima, dia tidak memiliki peran selain menerima dan menyampaikan.
Perannya hanya terbatas pada cara yang dijalaninya dalam kehidupan sebagai contoh
pertama, atau sebagai variasi pertama dari beragam variasi perwujudan al-Qurn
lainnya. Teks ilahi yang independen secara mutlak semacam ini menentukan aturan
penafsirannya hanya didasarkan pada struktur linguistik.257
Dalam perkembangan selanjutnya, yakni dalam bukunya yang keempat; Nahw
Usul Jaddah Li al-Fiqh al-Islmi, Syahrr, sebagaimana juga gurunya, mengajak
kepada umat Islam untuk menjauhkan asbb al-nzl dari ilmu-ilmu al-Qurn.258
Dia juga menganggap bahwa konsep asbb al-nzl dan naskh merupakan cacat
terbesar dalam ulm al-qurn, sebagaimana ilmu tajwd dan ilmu qir'at.259
Ia berpendapat bahwa asbb al-nzl, yang jadi pegangan itu, sebenarnya
hanyalah menjelaskan sejarah bentuk penafsiran atau pemahaman pada abad ketujuh
dan proses interaksi manusia dengan ayat-ayat al-Qurn pada saat itu. Sedangkan
saat ini, pemahaman atau penafsiran itu sudah tidak diperlukan lagi, karena makna al-
Qurn itu eksis pada dirinya sendiri (kainnah), sehingga ia tidak terikat pada proses
perjalanan sejarah (sairrah). Sementara asbb al-nzl, sebagaimana telah
diketahui, terkait erat dengan ruang, waktu dan personal saat itu (terkait proses
perjalanan sejarah). Jika berpegang teguh kepada asbb al-nzl dalam memahami
Tanzl al-Hakm (al-Qurn), maka akan menghasilkan suatu pandangan adanya
hubungan antara ayat dan sebabnya, sebagai hubungan antara peristiwa sebagai akibat
(al-mall) dan penyebabnya (al-illah). Maka, ketika alasan dan sebab ini hilang,
maka ayat dan hukum yang ada di dalamnya berubah menjadi ayat yang harus

257
Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhm al-nash: Dirsah fi ulm al-Qurn (Beirut: al-Markaz al-
Tsaqafi al-Arabi, edisi II, 1994).
258
Muhammad Syahrr, Nahw Usl Jaddah Li al-Fiqh al-Islmi, hal.93-94.
259
Muhammad Syahrr, Nahw Usl Jaddah Li al-Fiqh al-Islmi, hal. 230.
111

dipahami secara histories-temporal belaka, sehingga al-Qurn tidak lagi Shlih likulli
zamn wa makn.260
Disamping mengabaikan Asbb al-Nuzl dalam pembacaan al-Qurn,
Syahrur juga mengritik asbb al-nzl yang biasa dijadikan pegangan oleh umumnya
sarjana muslim dalam menafsirkan al-Qurn. Keseriusannya itu, ia wujudkan dalam
sub bab khusus yang berisi tentang bukti-bukti kelemahan dan ketidaklayakan asbb
al-nzl dimasukkan sebagai bagian dari ulmul qurn. Bukti-bukti itu antara lain; a)
adanya doktrin keadilan sahabat yang ditanamkan dalam jiwa umat Islam, dan 2)
adanya fanatisme madzhab dan golongan dalam transmisi periwayatan. Hal ini
didasarkan pada riwayat-riwayat yang disajikan dalam kitab asbb al-nzl karya al-
Whidi dan al-Suyti. Lebih-lebih karya al-Suyti merupakan pelengkap kitab karya
al-Whidi.261
Pandangan Ibn syr tentang asbb al-nuzl ini ia mengadopsi pandangan
UlamaUshl yang menyatakan "" , begitu juga ia
mengadopsi pandangan al-Whid yang menyatakan bahwa tidak diperkenankan
perkataan (penjelasan) mengenai asbb nuzl Al-Qurn kecuali dengan riwayat
(shahih) dan pendengaran langsung dari mereka yang meyaksikan langsung turunnya
(ayat-ayat) Al-Qurn.262
Ibn syr memetakan keshahihan sanad riwyat yang dapat dipakai dalam
menggunakan Asbb nuzl menjadi lima bagian: Pertama: bahwasannya maksud dari
sebuah ayat bergantung pada pemahaman tujuan/sasaran yang hendak dicapai dan
mengetahuinya sesuai pengetahuan ilmu asbb nuzl adalah wajib bagi setiap

260
Muhammad Syahrr, Nahw Ushl Jaddah Li al-Fiqh al-Islmi, hal. 230. Bandingkan
dengan pandangan bid al-Jbiri dalam Takwn Aql al-Arabi, ia menegaskan bahwa jika al-Quran
dikaji dengan kacamata metodologi ilmiah modern, maka harus meposisikannya sebagaimana teks-teks
lainnya. Namun lanjutnya, ia lebih menekankan pada pembacaan atas asbb al-Nuzl dan mencari
makna ideal sebuah teks Maqshid al-Syarah, karena kedua istilah disamping menekankan pada
pembacaan sekitar teks dan motif-motif dari sebuah teks, bukan makna literal teks, tetapi apa yang
menjadi tujuan dari teks yang sebenarnya. Kedua istilah ini terkait erat dengan konsep asl dan far
dalam bahasa yang kemudian metodologinya diaplikasikan al-Jbiri dalam menafsirkan al-Qurn.
Lihat Takwn Aql al-Arabi ( Beirut: Markaz Dirsat al-Wihdah al-Arabiyah, 1989), hal. 123.
261
Al-Suythi, Lubb al-Nuql F Asbb al-Nzl, (Beirut: Dar Ihya al Ulum; tth), hal. 13.
262
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr hal. 46-48.
112

mufassir. Seperti penafsiran ayat-ayat yang mubhamt (samar-samar kejelasannya)


dibawah ini;
" " " " dengan
redaksi ayat yang didalamnya terdapat .
Kedua, kejadian-kejadian yang menyebabkan diberlakukannya hukum-hukum
syariah dan bentuk-bentuk kejadian tersebut tidak menunjukkan globalitas pesan
ayat yang kontradiktif dengan keterangan ayat baik dalam kekhususanayat,
keumuman dan keterikatan (muqayyad) sebuah ayat, sinkronisasi keterangan sebuah
ayat dengan prosesi sebab-sebab turunnya ayat. Ketiga, kejadian-kejadian yang
banyak dicontohkan dalam Al-Qurn akan tetapi dikhususkan/diperuntukkan pada
individu/personal yang dikemudian diterangkan dasar-dasar hukumnya dan balasan
bagi mereka yang melanggarnya. Keempat, kejadian-kejadian yang diperbincangkan
dalam Al-Qurn yang bertautan dengan ayat sebelum dan sesudahnya
menggambarkan apa yang telah terjadi pada zaman dahulu para salaf yang maksud
ayat tidak lain adalah kejadian-kejadian para salaf tersebut. Dalam hal ini Ibn syr
merujuk pada al-Itqn karya Jalluddn al-Suythi keterangan didalamnya terdapat
banyak contoh tentang hal diatas. Kelima, penjelasan tentang perihal yang global,
dengan menerangkan yang mutasybihat.263
W. Montgomery Watt berpandangan bahwa kitab al-Whidi memiliki banyak
cacat, tidak lengkap dan tidak konsisten264. Bahkan hanya memuat riwayat-riwayat
yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang tanggal kejadiannya tidak diketahui.
Agaknya Watt dalam hal ini mengadopsi pandangan al-Suyti.265
Demikian juga dengan Kenner dalam penelitiannya ia menulis tentang tafsir;
bahwa Tuhan menurunkan wahyu dalam konteks yang tidak hampa dari sejarah

263
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. hal. 47-50.
264
W. Montgomery Watt, Bells Introduction to the Quran, terj. Lillian D. Tedjasudhana
(Jakarta: INIS, 1998), hal. 95.
265
W. Montgomery Watt, Bells Introduction to the Quran, hal. 95.
113

manusia, dan interpretasi. Interpretasi terhadap wahyu merepresentasikan unsur


kesejarahan yang berlaku di saat itu.266
Belakangan Izzat Darwaza mengelaborasi pandangan pendahulunya dengan
menyatakan Al-Qurn dan seluruh bagiannya (surat, ayat, dan juz) merupakan satu
rangkaian yang sistematis, stilistik,dan kronologis. Makna yang benar, baik temporal
maupun siruasional, hukum khusus dan umum menurutnya tidak akan dapat dicapai
secara baik/sempurna tanpa mempertimbangkan konteks al-Qurn. Dengan
melepaskan konteks ayat akan mendistorsi yang bukan hanya makna bahkan tujuan
(maqshid) al-Qurn. Disisi lain ia menjelaskan bahwa terkadang rasionalisasi
terhadap pewahyuan ayat-ayat tertentu tidak seirama dengan konteksnya. Kepada
pembaca ia memperingatkan untuk tidak menerima riwayat secara sembrono. Karena
jika asbb nuzl itu benar, boleh jadi ada rujukan pada peristiwa yang terjadi sebelum
ayat turun. Dan itu tidak berarti bahwa peristiwa tertentu merupakan satu-satunya
sebab turunnya ayat.267
Oleh karena itu wahyu tidak saja memiliki transendental yang bersifat abadi
dan melampaui peristiwa-peristiwa, tetapi juga mengandung nilai-nilai transhistoris,
artinya wahyu diturunkan oleh Tuhan dalam sejarah, karena itu wahyu Tuhan adalah
respon yang konkrit terhadap sejarah, terhadap kurun waktu tertentu.268
Pengantar Keenam, Ibnu syr berbicara panjang soal aneka ragam bacaan
(al-qirat), diterangkan bahwa soal perbedaan ini mengandung dua implikasi.
Pertama, bacaan yang tidak terkait dengan pemaknaan Al-Qur`n. Kedua, yang
terkait dengan pemaknaan dari beberapa sisi. Pada perbedaan pertama seperti
perbedaan dalam pembacaan huruf, harakat, kadar mad, pelembutan (takhlif),

266
Kenner Cragg, The Event of The Quran; Islam and Its Scipture, (London: George Allen and
Unwin; 1971), hal 17.
267
Setelah menyebutkan asbab nuzul Q.S. al-Midah [9]:79 dan Fushilat [41]:22. pada bab
empat sambil menunjukkan kelemahan Mufassir awal, dengan bersungguh-sungguh Darwaza
menyatakan bahwa banyak riwayat yang sesuai dengan asbb al-Nuzl yang diwarnai oleh konflik
konvensional dalam masyarakat Muslim, dan karenanya, tidak dapat diterapkan, Lihat Izzat Darwaza,
al-Qurn al-Majd (Dr Gharb al-Islmi, cet- 2000/1421 H). 217-224. lihat lebih lanjut tulisan Ismail
K. Ponawala dalam, Jurnal PSQ (Pusat Studi al-Qurn) Vol.1.No.1, Januari 2006 hal. 125-148.
268
Kuntowijoyo, Iman dan Realitas, (Yogyakarta: Shalahuddin Press; 1985), hal 21.
114

penekanan (jahr), dan lainnya. Kesemuanya itu tidak terkait dengan tafsir, inilah yang
menjadi anutan pendahulu, diantaranya Abu Ali al-Farisi, penulis al-Hujjah fi al-
qirat. 269
Adapun perbedan yang kedua mencakup perbedaan dalam soal membaca
huruf dalam satu kalimat, seperti kalimat maaliki yaumi ad-din (dengan bacaan
panjang di huruf mim), dan maliki yaumi ad-din(pendek diawal) disini Ibnu
syr tidak menegaskan secara gamblang perbedaan tersebut, hanya menekankan
bahwa semua itu merupakan keinginan Allah agar tercipta kekayaan makna. Mungkin
juga hal tersebut menambah kelenturan struktur kalimat dalam Al-Qur`n. Seperti
halnya cerita Hisyam Ibn Hakim ibn Huzm dan Sayyidina Umar dalam Shahh
Bukhri mendengarkan bacaan Hisyam surat al furqn, selesai shalat keduanya
mengadu kepada Rasulullah maka setelah keduanya membacakan ayatnya Rasulullah
tidak menyalahkan keduanya kemudian Beliau bersabda;
"
.....

Sesungguhnya Al-Qur`n itu diturunkan dalam tujuh dialek (sabat ahruf) dan
bacalah dengan apa yang termudah menurut (lidah) kalian!.270

Kemudian pada pengantar Ketujuh, Ibnu syr memaparkan tentang kisah-


kisah dalam Al-Qur`n. Menurutnya (Maqshid Qasas Al-Qurn) itu semua
berfungsi bagi kaum muslim untuk menguasai wawasan global tentang dunia, dan
memotivasi mereka untuk menjadi penguasanya, sekalipun mereka itu dalam kondisi
memmprihatinkan dan berpecah-pecah. Kisah juga mengandung pengertian bahwa

269
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 55.
270
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 56. diterangkan juga bahwa redaksi hadits
diatas hanya penulis cantumkan sebagian saja, terdapat dua pendapat tentang hadits ini sebagian
memandang hadits ini mansukhan dan sebagian Ulama melihatnya muhakkaman mereka yang
memandang mansukh dari mayoritas Ulama antara lain; Ab Bakar Bqillni, Ibn Abd al Barr, Ab
Bakar Ibn Araby, al Thabar dan al Thahwiy, kemudian Ibn Uyainah dan Ibn Wahab keduanya
berpandangan bahwa hal tersebut (qirat) merupakan rukhsah dari Allah untuk bangsa arab pada masa
keemasan Islam (shadr Islam), dan dihapusnya dialektika mereka dengan dialek Quraisy, ini jiga
didukung pendapat Ibn Arabi pengarang kitab Ahkm al Qurn. Lihat lebih lanjut hal. 57-59.
115

kekuatan Allah Taala diatas semua kekuatan dan keilmuan Allah diatas segala-
galanya.271
Secara etimologi qisas jamak dari kalimat qissah, menurut pakar bahasa al-
azhar al-Qashash (kisah) adalah masdar (kata benda) dari - yang berati
mengisahkan/ sebagai cerita dari suatu kejadian yang sudah diketahui sebelumnya.
Menurut al-Laits al-Qashash berarti mengikuti jejak.272
Musthaf Sulaiman memberi pengertian tentang kisah ini dari aspek bahasa
berdasarkan redaksi al-Qurn (surah Yusuf 12;3) pada redaksi ayat naqushshu
disana diartikan dengan kami jelaskan kepadamu dengan sebaik-baik penjelasan,
sedang pendefinisiannya adalah suatu kepercayaan atas kebenaran sebuah sejarah
yang jauh dari kebohongan atau khayalan.273
Demikian juga Sayyid Quthb dalam karyanya Tashwr al-Fanni f al-Qurn,
diterangkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qurn bukanlah karya seni yang terpisah
dalam hal subyek, metode penyajian, dan pengaturan-pengaturan kejadiannya,
sebagaimana yang terdapat pada kisah seni bebas yang bertujuan menunaikan
penyajianseninya tanpa ikatan tujuan. Kisah adalah satu sarana al-Qurn diantara
sekian banyak sarananya mempunyai berbagai tujuan kekagamaan. Al-Qurn adalah
kitab dakwah sebelum segala sesuatunya. Dengan demikian kisah merupakan salah
satu sarana al-Qurn untuk menyampaikan dakwah ini dan mengokohkannya.
Kedudukan kisah dalam hal ini sama dengan gambaran-gambaranyang disajikan
tentang hari kiamat, nikmat surga dan azab neraka. Sama dengan bukti-bukti yang
diketengahkannya tentang hari berbangkit, untuk menunjukkan kekuasaan Allah.
Juga sama halnya dengan syariat-syariat yang dirincinya serta tamtsil-tamsil yang
dibuatnya, dengan tema-tema lain yang disebutkan dalam al-Qurn. Kisah dalam al-
Qurn baik temanya, metode penyajiannya, hingga pengaturan-pengaturan

271
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 64-69.
272
Ibn Mandzr, Lisn al-Arab, hal.345.
273
Musthaf Muhammad Sulaiman, al-Qishash f al-Qurn al- Karm, (Qhirah; Mathba;ah al-
manah, 1994), cet. Ke-1, hal.16 dan 18. bandingkan dengan Muhamed Ahmad Khalafullah alfann al-
qashashisy f al-Qur al karm (Muassasah al-intisyr al-Arabiy) edisi ke IV 1999, hal. 147.
116

kejadiannya tunduk kepada tuntutantujan-tujuan agama, pengaruh dari ketundukan ini


terlihat menonjol melalui ciri-ciri tertentu. Meski begitu, ketundukan total kepada
tujuan agama ini tidak akan menghalangi keberadaan karateristik seni dalam
penyajiannya, terutama keistimewaan al-Quran yang terbesar dalam
menyampaikanungkapan, yaitu tashwr atau gambaran.274
Dalam karya Mohamed Ahmad Khalafullah yaitu Stories in the holly Qurn275
ditegaskan bahwa; esensi tujuan dari kisah-kisah al-Quran adalah pengarahan dan
penjelasan (taujht al-dniyyah) dari risalah kenabian (m ja bih al-Islm) dari
dasar-dasar aqdah dan membersihkan dari segala bentuk pengingkaran terhadap
pandangan, perkiraan-perkiraan serta pemikiran dan akidah yang melenceng
(bthilah).276
Kisah-kisah dalam perspektif Ibn Asyur adalah suatu informasi mengenai
kisah-kisah dalam al-Qur`n masa lampau (ghibah) yang terjadi. Kisah-kisah
tersebut dijelaskan, bahwasannya ia berfungsi bagi kaum muslim untuk menguasai
wawasan global tentang dunia, dan memotivasi mereka untuk menjadi penguasanya,
sekalipun mereka itu dalam kondisi memmprihatinkan dan berpecah-pecah. Kisah
juga mengandung pengertian bahwa kekuatan Allah Taala diatas semua kekuatan
dan keilmuan Allah diatas segala-galanya.277
Tujuan utama (ghardh al-asliy) dari kisah-kisah dalam al-Qurn perspektif Ibn
syr antara lain:

274
Sayyid Quthb, Tashwr al-Fanni f al-Qurn terj. keindahan al-Qurn yang menakjubkan,
(Jakarta, Rabbni Press), 2004), cet. Ke-1, hal. 275-276.
275
Lihat karya Muhamed Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashiy f al-Quran al-karm,
(Muassasah al-intisyr al-Arabiy) edisi ke IV 1999, hal. 149.
276
Muhamed Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashiy hal.225
277
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 64-69.
Redaksi ayat-ayat yang menunjukan tentang kisah-kisah dalam Al-Qurn;
{ ]





[3 :
.[76 : {]


} :
117

a. Keterabatasan pengetahuan ahli kitab (yahudi dan nasrani) ketika itu, tentang
informasi mengenai Nabi-nabi dan kaum-kaum bersama mereka merupakan suatu
tantangan yang dahsyat bagi mereka (yahudi dan nasrani) dan sebagai bukti
mujizat al-Qurn bahwa argumentasi mereka lemah atas kaum muslimin,
pengecualian bagi mereka yang memiliki pengetahuan yang dalam (al-Rskhn f
al-ilm), (surah Hd; 49) 278 keterangan tentang inilah yang diklaim Ibn syur
bahwa mufassir sebelumnya belum menyebut dan menerangkan manfaat dari
kisah-kisah dalam al-Qurn.
b. Kemanfaatan yang kedua yaitu etika syariah (adab al-syariah) adalah
pengetahuan tentang sejarah masa lalu (syariat pada masa Nabi-nabi sebelum
nabi Muhammad) bahwa disebutkannya kisah-kisah mereka sebagai urgensi
syariat islam dengan disebutkannya para pelaku syariat (bidzikri trikh al-
musyarrin), (surah Ali Imrn 3;146)279
c. Diantara urgensi dari kisah-kisah al-Qurn, adalah kemanmanfaatan atas
pengetahuan mengenai hirarki sejarah secara berurutan (tarattub al-musabbabt)
sesuai dengan sebab-musabab diturunkannya al-Qurn (asbbih), mengenai
baik buruk (suatu urusan), penghancuran dan perubahan (pembangunan) melalui
proses, sebagai peringatan dan contoh ( untuk ditiru (litaqtadliya al-ummah wa
tahazhzhuri), kemudian ia kutip (surah an-Naml;52)280
d. Diantara manfaat kisah adalah sebagai nasehat diperuntukkan orang-orang
musyrikin (ketika itu), bagi mereka yang hidup dan bertemu dengan
kaum/golongan yang membangkang terhadap utusan Allah (rasul-rasul) kepada

278
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 65.
Redaksi ayatnya adalah;









279
Redaksi ayatnya;










(146)

280
Redaksi ayatnya sebagai berikut: [52- 50 : { ]

118

mereka. Pembangkangan (mereka) terhadap perintah Allah, dan mereka saling


menasehati untuk menentang kepada pendahulu mereka. Bagaimana mungkin
bumi ini (dapat) diwarisi oleh orang-orang yang shalih? Kemudian Ibn syur
mengutip ayat (surah al-arf 7: 176, surah yusuf 12: 111, surah al anbiy
21:105), pada surah terakhir kisah-kisah yang disebut Ibn syr yaitu para
pembohong-pembohong utusan-utusan Allah (rusul), seperti dalam kisah
kaumnya Nabi Nh dan kaum Ad (yang membangkang tidak mempercayai
risalah kenabian), ashbul aikah dan ahl al-rassi.281
e. Dalam hikayah kisah-kisah terdapat sulk uslb al-taushf dan perbincangan
(uslb) masih asing bagi penduduk arab ketika itu, hal baru bagi ilmu balaghah
yang banyak mempengaruhi penyair-penyair arab, yang merupakan Ijz al-
Qurn, juga sebagai inspirator ilmu badi, mereka tidak akan mampu
mendatangkan semisalnya (uslub badi) kecuali dengan (kebiasaan menelaahnya
secara mendalam), hal ini terdapat pada kisah-kisah (yang diceritakan al-Qurn)
seperti keadaan manusia penghuni surga dan neraka kelak, dan mereka yang
berada di antara pagar surga (ashbul arf), hal ini terdapat pada surah al-Arf ,
sebagaimana telah diterangkan pada mukaddimah sebelumnya mengenai
peringatan atas kelemahan mereka (bangsa arab), dari pertentangan-
282
pertentangan.
f. Manfaat dari kisah-kisah selanjutnya bahwasannya keadaan bangsa arab yang
ummiy dan kebodohan, hal tersebut yang menyebabkan petunjuk al-Qurn belum
mampu mereka tangkap secara logika (rasio)/ mencerahkan mereka, kecuali
dengan hal-hal yang kongkrit/ terdeteksi oleh indra manusia (bim yaqa tahta al-
hiss).termasuk dari manfaat disebutkannya kisah-kisah ini untuk memperluas
pengetahuan (taws li ilm muslimin) mereka orang-orang muslim karena
keberadaan mayoritas umat dan keadaan (mereka sebagai itibar-penulis),

281
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 66.
282
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 66.
119

sebagaimana firman Allah menunjukkan kelalaian mereka sebelum Islam (surah


Ibrhm :14;45).
g. Kemanfaatan ketujuh dari kisah al-Qurn yaitu menekankan kepada umat
muslimin atas pengetahuan atas keluasan (pengetahuan alam), keberagaman
(kelebihan) mereka (umat-umat terdahulu) dampai terhindar dari teka-teki tipu
daya mereka. Sebagaimana Allah dalam al-Qurn menasehati kaum Ad, dalam
(surah fushshilat 41:18).
h. Faedah dari kisah ini diharapkan agar tumbuh dalam benak kaum muslimin
keinginan kuat (himmah) untuk menguasai alam, sebagaimana umat sebelumnya,
dengan tujuan mereformasi dekadensi moralitas orang-orang arab dimana mereka
mengorbankan satu sama lain dalam pencapaian suatu kemulyaan(idz radl minal
izzah biightiyli al-arab, liyakhruj minal khumli alladz kna alaihi al-
arab). 283
i. Manfaat yang kesembilan dari kisah-kisah al-Qurn, sebagai penekanan
pengetahuan bahwa kekuatan mutlak hanya milik Allah, dan pertolonganAllah
bagi mereka yang menolong (agama) Allah, dan jiak mereka berpegang teguh
pada persiapan yang matang dan bersandar hanya kepada Allah (untuk menerima
petunjuk Allah), maka mereka (makhluk) akan terhindar dari
penguasaan/eksploitasi orang lain. Sebagaimana al-Quran (surah al-anbiy
21:88).284
j. Dengan megelaborasi qasas al-Qurn ini, akan bermanfaat pada signifikansi
sejarah peradaban dan syariah, yang kesemuanya itu dapat menjadikan
pengetahuan tersendiri bagi umat muslim dari kebutuhan primer (yuftaqq adzhn

283
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 66-67. bandingkan dengan gagasan
Muhammad Izzat Darwaza tentang formulasi al-Qasas dalam [al-Qurn al-Majd] f Muqaddimah al-
Tafsr al-Hadits,[Kairo; Isa al-Babiy al-Halabiy wa syurakauh, 1964/Dar al-Gharb al-Islamiy, 2000
M] cet.2. jilid 1. juz.1 hal. 162-178.
284
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 67.
120

muslimn liilmm bifawid al-madaniyyah) maupun sekunder.-penulis-, kemudian


Ibn syr mengutip al-Qurn (surah ysuf 12:76)285
Kemudian pengantar Kedelapan, Ibnu syr berbicara tentang nama, jumlah
ayat, susunan, dan nama-nama lain Al-Qurn, diterangkannya secara rinci. Dia juga
menjelaskan bahwa ayat terpanjang dalam al-Qurn adalah ayat surah al-Fath;[48
25] dan surah al-Baqarah; [2:102]. agaknya penulis kitab ini memfokuskan di
pengantar kedelapan ini soal susunan atau runtutan ayat. Ibn syr mengatakan;
bahwa itu semua sudah ditentukan oleh Nabi langsung, sesuai dengan turunnya
wahyu. Sebagaimana maklum Al-Qurn diturunkan secara bertahap (munajjaman)
dalam kurun waktu 23 tahun.286
Dalam perspektif Ibn syr pengertian al-yat berarti suatu maksud/ukuran
dari redaksi al-Qurn yang tersusun (Miqdrun min al-Qur-n murakkabun),
misalnya yang maksud darinya adalah bersumpah dengan dengan waktu
fajar (uqsimu bi al-fajri). Atau disebutnya sebagai sambungan/pertautan (ilhqan)
seperti huruf-huruf muqaththaah dalam setiap pembukaan surah (fawtih al-suwar) .

hal disamping bersifat tawqf juga merupakan sunnah yang diikuti


kebenarannya dengan tidak membedakan satu dengan yang lainnya. Bagian ini
dinamakan dengan yt karena ia temasuk bagian dari al-Qurn (min mubtakirti al-
Qurn) dalam al-Qurn ayat 7 dari surah Ali Imran [3] redaksinya adalah:





dan pada ayat 1 dari surah Hd [11] yang
redaksinya adalah:









disebutkan
dalam kedua surat disamping (Ali Imran [3:7] dan Hud [11:1]) redaksi yang
menerangkan tentang yt, dinamakan ayat sebagai bukti bahwa redaksi tersebut
merupakan wahyu dari sisi Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
shallawwah alaih wasallam, karena ia juga mencakup dari batasan paling tinggi
dalam kajian balaghah Nazhm al-kalm. Sebagai bukti bahwa al-Qurn bukan buatan

285
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 67.
286
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 70-92.
121

manusia, sebagaimana ketidakmampuan pakar balaghah dan pakar sastra arab ketika
ditantang oleh Nabi untuk mendatangkan surah semisal seperti redaksi al-Qurn
mereka tidak mampu mendatangkannya, maka dilemahkannya mereka (faajaz an
talfi mitsla srah min srah).287
Sedangkan al-Saythi berpandangan bahwa diantara kesesuaian antara ayat-
ayat dan surat-suratnya serta hubungan yang kuat, keterkaitan dan keterikatan yang
kokoh antara ayat-ayatnya dan surat-suratnya merupakan bagian dari tiga puluh lima
bentuk ke ijz-an al-Qurn, kekunikan susunan dan keharmonisan kalimatnya juga
termasuk bagian dari Ijz al-Qurn.288
Selanjutnya atas dasar inilah Ibn syr (w. 1973) menekankan bahwa
keterangan tentang ayat redaksinya tidak ditemukan dalam al-Taurah, al-Injl, ini
merupakan kekhususan yang tidak terdapat pada bahasa Ibrniyyah dan rmiyyah.
Berkata Ab Bakar Ibn al-Arabi pembatasan-pembatasan ayat termasuk dari
mudhalti al-Qurn, ada yang panjang dan pendek, terdapat juga yang
disela/diputus sebelum akhir, dan ada pula habis sampai konteks pembicaraan selesai
(wa minhu m yanqathiu wa minhu m yantah il tammi al-Kalm), demikian juga
al-Zamakhsyari ayat-ayat dalam al-Qurn merupakan masalah tawqf.289
Kemudian Ibn syr menambahkan agaknya tidak terlampau jauh (l
yabadu) penetapan ukuran ayat (an yakna tayn miqdru al-yah) mengikuti pada
kronologis turunnya (tabaan liintih i nuzliha) dan permasalahan yang berkaitan
dengannya (wa ammratihi wuqi al-fshilah).290

287
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 74.
288
Lihat al-Saythi, Mutarak al-aqrn f IJz al-Qurn (Dr al-Fikr al-Arabi, tt), juz I-III.
Ibn al-Hashar dan Ibn al-Anbari juga demikian. keduanya meyakini bahwa susunan letak surat-surat
dan ayat-ayatnya (urutan surat sama dengan hubungan ayat dan huruf saling melekat) dan sepenuhnya
merupakan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw. Berdasarkan wahyu.
289
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 75.
290
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 74. keterangan tentang al-fawshil ia
merupakan kalimat-kalimat yang redaksinya menyerupai atau mendekati/mirip dengan jatuhnya huruf
yang terakhir ( tatamtsalu f awkhiri hurfiha aw tataqraba), dengan dibarengi kemiripan shighat
al-nutq, yang kemudian redaksinya diulangi dengan penekanan pengulangan yang merupakan bentuk
nadham dalam pelbagai redaksi ayat-ayat yang banyak, yang kebanyakan qarb min al-asj f kalmi
al-Masj. Thhir Ibn syr menyimpulkan bahwa sesungguhnya al-fawshil itu kesemuanya sampai
122

Dalam (mukaddimah kedelapan); ditulis bahwa al-Srah merupakan suatu


bagian dari al-Qurn (qitatun min al-Qurn) yang ditandai dengan permulaan dan
pengakhiran (muayyanatun bimabdain wa nihyatin) yang keduanya tidak akan
pernah berubah, al-srah tersebut dinamai dengan nama-nama yang khusus
(musammtun biismin makhssin) yang terdiri dari 3 ayat atau lebih yang memiliki
tujuan global dengan membawa pesan-pesan makna ayat-ayat dalam surah tersebut.
al-srah tersebut berkaitan ereat dengan kronologi turunnya ayat (Nsyiun an asbb
al-Nuzl), dan juga mengandung keserasian makna-makna antar surah di balik teks
(muqtadlayt m tasytamilu alaihi min al-man al- mutansibati). Kemudian
penulis juga mengemukakan pandangan mufassir tentang tema tersebut sebagai
perbandingan, karena hal tersebut dapat menyingkap urgensi gagasan maqashid dan
prinsip tafsirnya, khususnya pada surah al-Baqarah.291
Dalam pengantar Kesembilan, Ibn syr berbicara tentang makna-makna
yang dikandung oleh kalimat-kalimat Al-Qurn,. Dia menegaskan, bahwa itu semua

pada akhir ayat, walaupun perbincangan (al-kalm) yang terjadi (al-ladz taqau fhi) belum sempurna
dari maksud dan tujuan (al-ghard) dari konteks pembicaraan tersebut (al-masq ilahi). Dan jika telah
sampai pada tujuan yang dimaksud dari konteks ayat yang diperbincangkan (al-kalm), dan belum
terjadi (sampai tujuannya) ketika habisnya al-fshilah (rima) maka, pada konteks perbincangan ayat
tersebut belum selesai (fal yakna muntah al kalm) dan belum menjadi akhir konteks ayat tersebut
(nihyata yah). Seperti dalam srah (Shd [38:1]): Keterangan jumlah (Adu) ayat
disamping menunjukan ukuran ayat yang belum selesai (konteks pembicaraannya) karena penyebab
berhentinya adalah al-fshilah, hal ini sangat jarang ditemukan dalam al-Quran.290 Dalam kasus
disamping al fawshil ayatnya terjadi pada pembukaan/ permulaan surah, yang terbangun atas satu
huruf terbuka (uqmat al harfin mafthin) yang disusul dengan alif sebagai bentuk mad kemudian
datang setelahnya huruf (badah alif maddin badah harfun), seperti bentuk misal berikut:
, dan masih banyak bentuk fawshil misalnya yang terbangun (buniyat) dari huruf
yang madhm musyabba bi al-wwi,ataupun dari huruf berkasrah musyabba bi al-Yi al-skinah,
yang datang setelahnya satu huruf contohnya; , dan apabila
tujuan yang dimaksud (al-ghardh) sampai pada konteks ayat yang terakhir sedangkan al-fshilah
datang setelahnya maka ayat tersebut belum dapat dikatakan selesai (takna al-yah ghaira
muntahiyah) meskipun ayat tersebut masih terlalu panjang, seperti contoh berikut:
"" , dari rangkaian ayat disamping menunjukkan jumlah
satu ayat.
291
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 84. terdapat redaksi hadits yang menguatkan
pandangan ini diriwayatkan Ab Dawd dari Zubair:












{
}


















123

menyangkut sebagian hubungan antara struktur kalimat, makna dan beberapa


persoalan bahasa.292
Bangsa arab diciptakan dengan diberi kemampuan sastra yang tinggi dan
pemahaman [otak] cerdas. Sehingga pujangga-pujangga mereka banyak
menggunakan istilah-istilah (majz) dalam berkomunikasi. Seperti Majaz, Istirah,
Tamtsl, Kinyah, al- tardl, wa al-Amtsl, Isytirk wa al-Tasmuh f al-istiml, al-
istifhm f al-Taqrr aw al-Inkr dll. 293
Pengantarnya Kesepuluh, dalam karya tafsirnya mengulas panjang lebar
tentang kemujizatan Al-Qur`n. Kemujizatan merupakan dasar universal bahwa
Al-Qur`n merupakan mujizat Islam dengan menantang para penentangnya, dan
memepersilahkannya untuk menandinginya apabila mampu untuk membuat surat
semisal Al-Qur`n, namun Al-Qur`n pun menjelaskan bahwa manusia tidak akan
pernah mampu walaupun diantara mereka terdapat para ahli syair, pakar-pakar bahasa
waktu diturunkannya Al-Qur`n sampai detik ini dan sampai hari dibangkitkannya
manusi kelak, tidak akan yang ada yang menandinginya. Inilah konsep yang agaknya
banyak dilupakan oleh para ahli tafsir menurut Ibn 'syr. Yang mana mereka dibuat
sibuk oleh detil-detil mujizat sembari melupakan pangkal dan akarnya. Ini pula yang
menyebabkan mereka berbeda-beda dalam menunjukkan sisi kemujizatan Al-
Qur`n.
Sumbangan terpenting dari Ibnu syr diantara para mufasir ialah ulasannya
yang sekilas merangkum tentang bagaimana Al-Qur`n menjadi pelopor dalam
keistimewaan struktur kalimatnya (jz). Dia tidak terikat pada satu bahasa, tapi
berbeda-beda dalam satu surah. Bahkan dalam tiap-tiap surah terdapat dialek
tersendiri. Sebagian bersifat sinambung dan bagian yang lain tidak sinambung, begitu
juga pada variasi awal surahnya.294

292
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 93-100.
293
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 93-100.
294
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 101-121.
124

Dalam pandangan Ali Iyzi dalam karyanya pengantar tentang penafsiran Al-
Qur`n dan ulmul Quran dalam karya monumental Ibnu syr ini setara dengan
pengantar Ibnu Khaldun (bapak sosiologi) tentang sejarah dalam karyanya Al-
Muqaddimah.295
B. Maqshid al-ashliyyah dalam tafsir Ibn syr
Delapan tujuan dasar (al-Maqshid al-ashliyyah) dari diturunkannya al-
Qur`n dalam pandangan dan rumusan Ibn syr antara lain; pertama, memperbaiki
dan mengajarkan akidah [yang benar]; kedua, mengajarkan nilai-nilai akhlak yang
mulia; ketiga, menetapkan hukum-hukum syariat; keempat, menunjukkan jalan
kebaikan kepada umat Islam (siysah al-ummah); kelima, memberikan pelajaran dan
hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam, menyiapkan umat Islam untuk
menerima dan menyebarkan ajaran-ajaran agamanya; ketujuh, al-targb wa al-tarhb;
kedelapan, membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw.296 Maqshid al-
asliyah (8 tujuan dasar) penafsiran dalam tafsir a
a. Memperbaiki dan Mengajarkan dasar-dasar Aqdah
Ketika berbicara tentang Aqidah Ibn syr memulainya dengan
menyatakan; bahwa hendaknya Aqidah harus diajarkan dan doktrin dengan benar
karena ini merupakan sebab yang paling utama untuk menghiasi serta memperbaiki
akhlak umat (li islhi khalq), karena aqidah yang benar mampu membantu untuk
menghilangkan ketidak patuhan diri dari perihal yang tidak berdasar, aqidah juga

295
Gamal al-banna, tafsir al-Quran al-Karim baina al-qudama wa almuhadditsin, versi
terjemahan dari judul ini oleh Novriantoni dkk. Dalam evolusi tafsir hal 138 Qisthi Press 2004.
296
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 39-41. bandingkan dengan konsep
maqashid al- assiyyah (tujuan pokok) al-Qurn yang dikemukakan oleh Rasyd Ridha yang
kemudian ia membagi maqshid al-Quran tersebut menjadi sepuluh bagian; pertama; perbaikan tiga
sendi agama, yakni iman kepada Allah, iman kepada hari akhirat, dan perbuatan baik (amal shaleh).
Kedua; perbaikan pemahaman tentang wahyu dan kerasulan. Ketiga; pemberdayaan potensi diri
manusia.keempat; perbaikan hubungan sosial kemasyarakatan dan politik. Kelima; penegasan
karakteristik ajaran Islam. Keenam; penjelasan prinsip-prinsip dasar pemerintahan Islam. Ketujuh;
perbaikan sistem pengelolaan harta. Kedelapan; perbaikan aturan perang dan perjanjian damai.
Kesembilan; pemenuhan hak-hak perempuan. Kesepuluh; pembebasan budak. Lihat lebih lanjut dalam
Tafsir al-Qurn, vol. 11, hal. 186-255. lihat juga al-Wahyu al-Muhammady (Maktabah al-Islm),
hal. 29,30, dan 166-340.
125

mampu mensucikan qalb dari gejala-gejala keragu-raguan yang tumbuh (dalam diri)
seperti indikasi syirk kepada Allah subhanah wa Tala dan penyakit hati (al-isyrk
wa al-duhriyyah) dan segala bentuk penyakit yang berkaitan dengan keduanya.297
Dalam hal ini Ibn syr mengutip surah [QS. Hd 11:101];











Gharad/maksud dan tujuan dari tafr [klasifikasi] ini yaitu menjelaskan
keadaan kaum musyrikin arab (ketika itu) yang menyembah dan mengharap
kemanfaatan pada patung dan berhala. Mereka kaum (musyrikin) mengira bahwa
dalam beribadah, pendahulu mereka juga menyembah berhala, kemudian dugaan-
dugaan tersebut semakin kuat karena faktor peninggalan dan pengaruh mereka
terhadap kaum musyrikin arab setelahnya masih sangat dominan.298
Disandarkannya lafadz kepada Tuhan-tuhan yang mereka (kaum
Musyrikin) sembah dan berharap kemanfaatan dari berhala dan patung-patung
sesembahan mereka, sebagai sebab-sebab kerugian mereka bertambah, hal tersebut
disebabkan pengaruh dari kepercayaan (Itiqd) mereka terhadap berhala dan patung-
patung yang mereka jadikan sandaran dan harapan kemanfaatan dari benda yang
mereka buat sendiri, walhasil kerugian yang mendalam disebabkan ketamakan
mereka dalam menyembah dan mengharap kepada berhala-berhala itu keselamatan
dari musibah-musibah yang menimpanya, kemudian ketika mereka mendengarkan
peringatan dan ancaman siksa, mereka tidak menghiraukannya dan mereka tidak
bertaubat.299
Dalam karya Ibn syr ushl al Nizhm al-IjtimI f al-Islm ditulis; bahwa
penelitian yang mengkaji tentang hakikat ketuhanan mampu ditangkap oleh fitrah
yang terdapat pada setiap individu manusia, hal ini diabadikan dalam al-Qurn surat
al-Arf 7:172].300 Diterangkan; manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan

297
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 40.
298
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 12, hal. 158-159.
299
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 12, hal. 159-160.
300
Ibn syr, Ushl al-Nizhm al-Ijtimi fi al-Islm, hlm 42-45. redaksi ayatnya sebagai
berikut;
126

sempurna [dari makhluk lain], telah diletakkan [integrated] dalam setiap fitrah
[kemanusiaan] suatu power [fikir] untuk menyatakan kebenaran. Yang apabila
tumbuh pada perkembangan akidah yang benar maka akal sehatnya akan menerima
dan ridha pada norma-norma [al-fikr al mushb]. Dan sebaliknya apabila tumbuh
dengan mainside yang salah, akan mengukuti jalan fikiran yang salah.301
Pada penanaman akidah yang benar akan menumbuhkan pada pola fakir yang
positif, dan akan membuahkan perbuatan/ perilaku yang terarah sehingga akan
tercapai sebuah kesuksesan duniawi dan ukhrawi.302

b. Penanaman dasar Akhlak


Akhlak dalam definisi kamus umum bahasa Indonesia berarti budi pekerti,
watak dan tabiat.303 Keterangan mengenai akhlak dalam al-Qurn terdapat pada [QS.
al-Qalam 68:4] ;




ketika Sad ibn Hisyam bertanya kepada Aisyah
istri Nabi Muhammad shallawwahu alaih wasallam tentang akhlak Nabi, Aisyah
istri Nabi menjawab bahwasannya akhlak Nabi adalah Al-Quran. Terdapat pula
keterangan dalam kitab Muwatha karangan Imam Mlik;304 sebagai perawi haditsnya
dengan redaksi;





maksud dan tujuan diutusnya Nabi
Muhammad shallawwahu alaih wasallam dapat dimaklumi oleh mayoritas bangsa
arab pada masa Nabi Muhammad saw. Khususnya Sahabat-sahabatnya.305

!$tx 4n?t/ (#9$s% ( 3n/t/ Ms9r& r& #n?t ypr&u tJh ty#u _t/ . y7/u xs{r& )u

t,#x #xy t $2 $) yu)9$# tt (#9)s? r&

301
Ibn syr, Ushl al-Nizham, hal. 42-57.
302
Ibn syr, Ushl al-Nizham, hlm 45-73. lihat juga Ismail Hasani, Nazariyyah...hal. 263-
272.
303
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1995 hal. 25.
304
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 12, hal. 159-160.
305
Lihat penafsiran Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 29, hal. 63-65.
127

Akhlak [mulia] sebagaimana ditegaskan oleh ustadz Alll al-Fsi ia dapat


dijadikan ukuran [miqys] setiap kemaslahatan dan sebagai dasar/pondasi
tujuan/maksud dari sekian tujuan-tujuan ideal dalam agama Islam.306

c. Penetapan dan Penjelasan Hukum-hukum Syariat


Penetapan hukum-hukum syariat ini dibagi menjadi dua; pertama;
hukum-hukum yang bersifat General (mmah) dan kedua; Hukum-hukum yang
Partikular (khshshah). Kaitannya dengan ini Ibn syr mengutip surah [QS. an-
Nis 4:105] dengan surah [QS.al-Midah 5:48].307 Yang bersifat umum yaitu segala
interpretasi tentang makna-makna hukum yang diberlakukan/diaplikasikan pada
setiap hukum-hukum syariat atau yang melingkupinya, mempunyai target dan
tujuan-tujuan ideal secara general. Ia juga merupakan tumpuan dasar pelestarian
norma-norma sosial kemasyarakatan guna mewujudkan kemaslahatan umum.308
Berbeda dengan Maqshid al-Khshshah dalam perspektif Ibn syr adalah segala
interaksi sosial manusia satu dengan yang lain untuk mewujudkan kemaslahatan
umum, dan bermanfaat bagi mereka secara berkesinambungan.309
Pada dasarnya al-Qurn telah mengkodifikasi segala bentuk perundang-
undangan syariat pada secara global dan general, juga tidak ketinggalan keterangan
partikular/juziy yang memiliki urgensitas untuk menjelaskan (hukum-hukum
syariat) secara detail. Dalil yang menyatakan keterangan secara general dan

306
Alll al-Fs, Maqshid al-Syarah wa makrimuha, hal. 189. baca juga Ibn syr, ushl
al-Nizhm, hlm 74-82. lihat juga Ismail Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqshid, hal. 263-272.
307
Lihat, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 5 hal. 190-193 dan vol 6 hal. 222-225.
308
Ibn syr, Ushl al-Nizhm, hlm 45-73. lihat juga Ismail Hasani dalam Nazhariyyah al-
Maqshid, hal. 231-254. bandingkan dengan Izzat Darwaza berpandangan bahwa makna hukum
umum dan khusus, serta keadaan temporal dan situasional dapat dicapai dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan konteks/kronologis. Disebabkan konflik konvensional yang terjadi dan riwayat
yang ditunjukkan mufassir awal banyak yang tidak sesuai dengan relevansi dan kronologis ayat maka
tidak dapat diterapkan. Al-Qurn al-Majd, hal. 217-224
309
Ibn syr, Maqshid al-Syarah al-Islmiyah, hlm 51. lihat juga Ismail Hasani dalam
Nazariyyah al-Maqshid, hal. 249-255. bandingkan dengan pendapat Abdul Aziz ibn Abd al-
Rahman al-Rabah, ilm Maqshid al-Syri. Hal. 193-196.
128

perjelasan secara detail termaktub dalam surah [QS. an-Nahl 16:89] dan [ al-Midah
5:30];310
Maksud dari kedua ayat yang bergaris diatas adalah penyempurnaan (petunjuk)
hukum-hukum syariat secara global yang inheren sebagai pemahaman dan
penjelasan didalamnya dengan istinbath hukum dan metode qiyas. Al-Sytibi berkata;
karena al-Qurn memang membawa pesan yang mencakup segalanya, dan hukum-
hukum syariah telah sempurna dengan datangnya al-Qurn, tidak menjelaskan
secara detail perihal hukum-hukum sebelumnya sebelum al-Qurn secara detail akan
tetapi pesan-pesan yang terdapat didalamnya menunjukkan generalitas.311

d. Strategi Pemberdayaan Umat (Siysah Ummah)


Pada etape keempat ini hendaknya mufassir mempunyai pandangan bahwa
diturunkannya Al-Quran (syariah) tidak lain mempunyai tujuan utama/agung yakni
kemaslahatan baik secara individu, kelompok, umat (ahwl fardiyyah, al-jamiyyah,
wa al-umrniyyah) serta menjaga kestabilan norma-norma syariat (hifdzu
nidzmih), hal inilah yang menjadi pesan utama (maqshid syariah), agar maksud
dan tujuan ideal yang hendak dicapai dapat maksimal dan sesuai dengan apa yang
dikehendaki ar-Rahmn ar-Rahm, maka manusia sebagai khalifah dibumi harus
mempunyai strategi/konsep (siyasah) mengatur umat. Seperti petunjuk al-Qurn
untuk menyatukan umat manusia [QS.AliImrn 3:103], dan [QS.al-anm 8:159],

310
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 14 hal. 250-254, vol. hal. 102-108;

| Gt 3
= 9 #$
=n
t $u 9 t u 4
I
y
4 ?n
t #
y
/ $u _
u (


&r
i
=n
t #


x 7 &
e . ]
y 7 t t t u

-89:-
t
=

= 9
3 u
0 u Z
y m
u u u &
Y
x
e 3
9j $Y u ; ?

u
x >
| u x

#$ y s 4 $Y
z =n
}
M #$
3
9s M

u u L
y
3
=n
t M

o C &r u
3
o
3
9s M
=
y . &r t u 9 #$ 4

-3:- m x !$# *s 5O\b} 7#$yftG


311
Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 40.
129

kemudian diintegrasikan dengan surah [QS.al-anfl 8:46] dan [QS. Al-syr


42:38].312
Alll al-Fsi membagi Siysah menjadi dua yaitu pertama; Siysah Zlimah
yaitu yang diharamkan syariat, sementara yang kedua adalah Siysah dilah yakni
yang mengeluarkan kebenaran [al-haq] dalam jurang kezaliman. Banyak mencegah
kezaliman, mencegah kerusakan guna mencapai pada tujuan-tujuan syariat yang
ideal (maqshid al-syarah).313

e. Al-Maqshid al-Ashliyyah al-Qasas al-Qurn


Mengenai Qasas al-Qurn sebagai pelajaran dan hikmah umat-umat
terdahulu Ibn syr menyitir [QS.Yusuf 12: 3];


=
t 9 #$
z
9s & # 7 %s M
| 2
) u
t #u )
9 #$ #
x
y 7
y 9s ) $! u m
y &r $!
y /

| )
s 9 #$
z
| m
&r 7
y =n
t
)
t
t
w

Dan kisah-kisah Al-Qurn sebagai peringatan umat setelahnya yang (berbuat)


seperti mereka, selain peringatan dan hikmah, terdapat juga pelajaran [bagi mereka
yang berfikir].314 [QS. Al-Anm 6: 90 dan QS. Ibrhm 14:45];

312
Lihat penafsiran Ibnu syr, al-Thrr wa al-Tanwr, vol. 4, hal. 29-36; vol. 8, hal. 191-
194; vol. 10 hal. 29-32; vol. 25 hal. 111-113; Redaksi ayatnya sebagai berikut;

s
7t
'r s
3
/ = %
t /t #
y 9 'r s [ #! y
&r . )
3
=n
t !
#$ M
|
y #( . #$ u 4 #( %
x ?s
u $Y
_
y !
#$
7 tp 2 #(

Gt
#$ u


t
Gt Es / 3
= y 9s G t #u
3
9s !
#$
i 6t 7 x .x 3 $p ] i . x)
y 9 s 'r s $ 9#$
z i ; t
m
$
x
x
4 ?n
t . u $Z u z
)
F u /


t = y
t #( %.x $o 3 6m t
O !
#$ <n )
y ) 4 >
&r $!
x
] M
|
9 $Y u #( %.x u
]s #( % s
t %
! #$
)
[159:]


t )


u
u % y u $ u /t
3 u


&r u n 4 =n
9#$ #( $%s &r u
5h t 9 #( / $f
y Gt
#$
t %
! #$ u

313
Alll al-Fs, Maqshid al-Syarah wa makrimuha, hal. 54-55. baca juga Ibn syr,
ushl al-Nizhm, hal. 208 .
314
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 7 hal 354-361; vol. 13 hal. 248-249. bandingkan
dengan Izzat Darwaza dalam al-Tafsr al-Hadits pandangannya tentang narasi patriarkhi, nabi-nabi dan
bangsa-bangsa kuno yang disebutkan dalam al-Qurn dijelaskan; pertama; bahwa hal tersebut
tidaklah asing bagi orang-orang arab, kedua; bukan sebagai model penuturan sejarah, akan tetapi untuk
130



=n y = 9
3 t .
) u

) ( # _
&r =n
t
3
= t
&r
H % 3
Ft % #$

1
y
6 s ( !
#$
y
y
t %
! #$ 7
y 9s ' &


t $Vs {
F #$
3 u
9s $o / u
/ $u = y s y# .x
6
9s
6t ?s u


|
&r #( =n
s
t %
! #$
6

| t
G 3
s
y u

f. Pengajaran syariat sesuai dengan perkembangan zaman

Urgensitas pendasaran ilmu syariah dan informatika sebagai ikon dua


keilmuan yang saling berkaitan, karena keduanya menjadi mainstream bangsa Arab
dari golongan ahlu kitab. Al-Qurn menambahkan dengan pengajaran hikmah
sebagai barometer rasio/akal dalam berdebat (mujdalah), dan penjelasan yang benar
(shihhatu istidll), dari pelbagai dimensi akademis dialogis (bagi mereka yang
melenceng/tersesat dari neraca syariat) dan seruan agar melakukan penelitian yang
diniatkan untuk menyingkap hikmah dibalik (al-nadhr).315

Dalam hal ini Ibn syr mengutip [QS. Al Baqarah 2:269]; bab ini
memerlukan perhatian dan kajian yang mendalam karena, mampu menyingkap
kearifan dalam dalam berpengetahuan (uynul marif), dan membuka tabir mata
(hati) pada kebutaan kepada ilmu pengetahuan. Dan sebagai peringatan dan
introspeksi atas ilmu yang dianugrahi dengan kemanfaatan untuk orang lain, karena
hal ini tidak dimiliki komunitas orang pintar bangsa arab ketika itu. Mereka hanya
terpukau dengan kemahirannya yang bersifat eksakta, sedangkan orang-orang bijak
diantara mereka juga dianugrahi kecerdasan ilmu-ilmu eksakta dan mereka (orang

menggambarkan moral, mempertajam fokus perhatian dan mendukung pesan-oesan dasarnya, untuk
mendukung argumenntasinya ia mengutip surah QS.[ar-Rm [30]; 9, al-Qashash; [28];58], al-Shafft
[37]; 137-138 dll. Lihat jugaAshr al-Nabi, [Dr al-Yaqshah al-Arabiyyah, Damaskus 1960, hal.
466.lihat juga pandangan Aisyah Abd al-Rahmn bint al-Sythi, al-Tafsr al-Bayni li al-Qurn al-
Kar, (Cairo, 1986), hal. 11-12.
315
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, berkaitan dengan ini Izzat menekankan bahwa dalam
menyingkap makna yang benar, hukum umum dan khusus, serta keadaan temporal dan situasional
dapat dicapai dengan memperhatikan dan mempertimbangkan konteks. Banyak konflik konvensional
yang terjadi dan riwayat yang ditunjukkan mufassir awal tidak sesuai dengan kronologis ayat maka
tidak dapat diterapkan. Al-Qurn al-Majd, hal. 217-224
131

bijak) bijak dan rendah diri (al-urafu)... dalam al-Qurn (QS. Al-Ankabt 29:43,
dan QS. Az-Zumar 39:9]; serta dengan menyebut [QS. Al Qalam sebagai peringatan
atas kelebihan (orang-orang yang melakukan penelitian) dengan menulis.316

g. Motivasi dan Ancaman (Al-Targhb wa al-Tarhb)


Pada bab ini ibn syr menekankan, agar mufassir mampu menjelaskan dan
merinci nasehat-nasehat, peringatan-peringatan; mengenai ancaman dan kabar
gembira, kesemuanya termasuk dalam ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman
(alwadu wa al-wad) Allah bagi umat-Nya. Dan sebagai balasan dan
hambatan/tantangan bagi mereka yang membangkang.317
h. Ijz al-Qurn sebagai bukti risalah Kenabian
Kebenaran risalah Kerasulan Muhammad saw. Selaras dan didukung oleh
bukti-bukti yang melemahkan/melumpuhkan lawan dengan tantangan dan bantahan
secara langsung (yatawaqqaf al dallati mujizah bada al-tahaddiy). 318
Al-Qurn merupakan mujizat baik lafadz maupun maknanya, yang terbukti dengan
bantahan dan tantangan secara langsung. Mufti Tunis dan syaikh Zaitunah (yang
didedikasikan kepada Muhammad Thhir Ibn syur pada tahun 1932), ketika
menjelaskan mengenai kemujizatan al-Qurn ia menyitir surah [QS. Ynus 10:38]

t %

| . ) !
#$
i F
s Gt
#$
t #(
#$ u & # V i ; u
/ #( ? ' s
% ( 1u It #$
t 9 )
t &r

Dan untuk mengetahui kemujizatan ini secara detail, pengetahuan mengenai asbb
an-Nuzl memiliki urgensi sebagai pintu masuk keterangan tentang suasana/keadaan

316
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 3 hal 60-64; vol. 20 hal. 255-256; vol. 23 hal 348-
351; vol. 29 hal. 57-59 [surah 109:1].
317
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 40-41.
318
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir f Zhill al-Qurn yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun itibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhnahu wa Tala, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqdah Aqdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qurn (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb Alamn. Juz 4 hal. 26
132

turunnya al-Qurn pada zaman Nabi Muhammad saw. Ketika itu. Pandangan /
konsep induktif (istiqriy) ini seiring dengan pendapat al-Ghazli dalam karyanya
Ihy ulmuddn.319
Ayat diatas diturunkan di Makkah begitu juga surah al-Baqarah 23 dan 24,
sebagian tantangan juga dilontarkan kepada mereka (orang kafir) ketika di Madinah,
dan mereka dibikin oleh Allah terpukau dengan datangnya Al-Qurn, baik dari segi
ilmu balaghah, dan hikmah dari hukum-hukum syariat didalamnya. Tak seorangpun
mampu mendatangkan redaksi surat walaupun mereka memanggil pakar-pakar sastra
diantara mereka ketika itu atau sampai hari kiamat, bahkan mereka mendatangkan
sihir dan tandingan-tandingan yang membahayakan dan menjerumuskan mereka
sendiri. Dalam hal ini Nabi berpesan;
- -

} { - -
. . .

Dalam tafsir Malim al-Tanzl karya Al-Baghaw, dengan mengadopsi pandangan


al-Farr diterangkan bahwa surah Ynus 38 menerangkan kemujizatan al-Quran
yang ditampakkan langsung oleh Allah Rabb lamn kepada kaum yang
membangkang dan menentang risalah kenabian, dan kemujizatan al-Quran tidak
dapat dilepaskan dari Kekuasaan Allah subhanahu wa Tala.
Ia juga mengadopsi pandangan Ab Ubaidah yang menafsirkan sebagai atau

, kemudian ia tafsirkan dengan akhlak Nabi Muhammad yang mecerminkan


isi Al-Qurn, dan kalimat

sebagai bentuk tantangan atas

319
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir f Zhill al-Qurn yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun itibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah Subhnahu wa Tala, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqdah Aqdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qurn (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb Alamn. Juz 4 hal. 26
133

kemampuan mereka untuk menandingi al-Qurn, selanjutnya





ditafsirkan dengan mintalah pertolongan kepada mereka yang


menyembah selain Allah (untuk mendatangkan semisal surah Al-Qurn),

kalau kalian memang termasuk golongan orang-orang yang dapat dipercaya.320

320
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir f Zhill al-Qurn yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun itibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhnahu wa Tala, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqdah Aqdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qurn (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb Alamn. Juz 4 hal. 26
134

C. Maqshid al-Qurn/Asliyyah dan Urgensitasnya bagi ilmu al-Qurn


Maqshid al-Qurn sebagaimana yang dikemukakan Rsyid Ridh dalam
karyanya al-Wahyu al-Muhammady, ditulis bahwa ia menguraikan Maqshid al-
Qurn kedalam penafsiran (tafsir al-Manr dan tafsir al-Qurn al-Hakm), dalam
bentuk kaidah-kaidah (qawid), dan prinsip-prinsip dasar [Ushl], bagi setiap surah
dan di akhir penasiran masing-masing surah, setelah lebih dahulu menguraikan
kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip pada setiap ayat-ayat yang terdapat pada surah.321
Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Khalil al-Daghmin tentang
wajibnya berupaya mewujudkan Maqshid al-Qurn ketika mufassir hendak
menafsirkan al-Qurn. Disini terlihat bahwa Ziyd Khlil al-Daghmin menilai
Rasyd Ridh yang sejalan dengan kedua gurunya al-Afghni dan Muhammad
Abduh, mereka mewajibkan penerapan Maqshid al-Qurn dan penafsiran al-
Qurn. 322
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud ilmu al-Qurn diistilahkan dengan
ulm al-Qurn bimana idhfi, yakni ilmu al-Qurn yang menunjukkan sejumlah
pengetahuan yang berkaitan dengan al-Qurn ilmu-ilmu al-Qurn tersebut antara

321
Rsyid Ridh berbicara panjang lebar mengenai Maqshid al asasiyyah (tujuan pokok)
sebab yang menjadi sasaran semua kekacauan dan kerusakan, yang mana dikeluhkan oleh intelektual
saat ini. Adapun mebahasnya secara lengkap maka tentu tidak tercapai kecuali dalam buku besar atau
beberapa buku yang menghimpun kesemua Maqshid al-Qurn yang dilengkapi dengan uraian
tentang urgensinya bagi (kajian ilmiah) dan umat manusia, baik didunia maupu akhirat kelak. Hal ini
saya uraikan dalam tafsir al-Manr dengan menampilkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar
setiap surah secara global-general, diakhir penafsirnannya masing-masing setelah terlebih dahulu
menguraikannya ketika menjelaskan ayat-ayatnya). Lihat lebih lanjut Muhammad Rasyid Ridh,
alwahyu al Muhammady (Maktabah al-Islami), hal.29 dan 3.
322
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir f Zhill al-Qurn yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun itibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhnahu wa Tala, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqdah Aqdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qurn (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb Alamn. Juz 4 hal. 26
135

lain: ilmu tafsr, ilmu al-qirt, ilmu al-rasm, ilmu al-asbb nuzl, ulm al-dn wa
al-lughah. 323
Perbincangan dari kajian Maqshid al-Qurn perspektif Ibn syr (1296-
1393 H- 1879-1973 M),324 dan perkembangan penelitiannya ini bukan saja
mengedepankan cara kerja akal dan pemenuhan rasionalitas yang integral, namun
dibalik itu juga terbersit ide-ide besarnya untuk mewujudkan kemurnian penafsiran,
dan menghindari mereka mufassir yang tidak mengetahui tujuan penafsirannya (min
al-Inhi man yufassiru al-Qurn bim yaddah btinan yunf maqshdu al-
Qurn), yang membedakan diantara mereka (al mufassir) adalah konsep dan prinsip-
prinsip yang mendasari penafsiran (al-Maqshid allat nazala al-Qurn libaynih)
untuk menyingkap tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penafsirannya.
Selanjutnya dapat kita diketahui dan dijangkau korelasi suatu penafsiran (al mufassir)
dengan tujuan (al-ghyah) yang hendak dicapai. Dengan cara mengukurnya melalui
prinsip-prinsip penafsirannya (miqdru m awf min al-Maqshad wa m
tajwazahu). Dari sinilah pembaca dapat membedakan mereka yang keluar dari
koridor prinsip-prinsip dan tujuan penafsirannya, dan perbedaan dari uraian dan

323
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir f Zhill al-Qurn yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun itibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhnahu wa Tala, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqdah Aqdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qurn (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb Alamn. Juz 4 hal. 26
324
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir f Zhill al-Qurn yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun itibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhnahu wa Tala, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqdah Aqdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qurn (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb Alamn. Juz 4 hal. 26.bandingkan
dengan Izzat Darwaza dengan gagasannya bahwa al-Qurn dibagi dengan al-Ushl wa al-Wasil, Al-
Qurn al-Majd, hal. 5-275
136

rincian makna tiap-tiap penafsirannya, yang kemudian mengutarakan kesimpulan


beberapa pendapat Ulama yang menguasai dari pelbagai disiplin keilmuan. 325
Al-Qurn yang diturunkan sebagai kitab petunjuk umat Manusia, demi
tercapainya kemaslahatan umat manusia (amra al-Ns kfatan) dan sebagai
kesejahteraan bagi mereka (rahmatan lahumlitablghihim murdullh minhum).
Sebagaiman firman Allah dalam (surah an-Nahl [16:89]).326
Dalam karya tafsirnya at-Tahrr wa at-Tanwr Ibn syr mencoba
mengaitkan dan mengelaborasi pokok-pokok prinsip teori Maqshid-nya dengan
penelitian lain yang mempunyai esensi dan muara tujuan yang sama, yakni penelitian
tentang Peletakan Dasar Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami
(the rule of Islamic Civilization/ushl al-Nizhm ijtimi al-Islmiy). Menurutnya,
Hal ini disebabkan karena kajian-kajian teori Maqshid yang diaplikasikan dalam
penafsiran akan mencerminkan dan menghasilkan tujuan-tujuan ideal (Maqshid al
syariah al Islmiyah) yang dimaksud/hendak dicapai. Demikian halnya dengan
kajian yang mendasarkan norma/aturan pada tatanan kehidupan sosial
kemasyarakatan yang sesuai dengan neraca syariat Islam.327
Dengan demikian, tujuan seorang mufassir hendaknya; menjelaskan apa yang
mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`n dengan penjelasan
sesempurna mungkin (bi atamm bayn), selaras dengan apa yang dikandung oleh

325
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir f Zhill al-Qurn yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut
merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun itibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad
saw. Yang diutus Allah subhnahu wa Tala, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad
saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqdah Aqdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan
yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qurn (akhlak Nabi
Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb Alamn. Juz 4 hal. 26
326
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr hal. 38. redaksi ayatnya sebagai berikut:
|=tG39$# n=t $u9tu 4 Iy 4n?t #y / $u_u ( r& i n=t #x 7& e. ]y7t ttu

t==9 3u0u Zymuu Yu &x e3j9 $Yu;?

327
Ibn syr, Ushl Nizhm al-Ijtimiy f al-Islam hal. 21. lihat juga al-Misw dalam
Maqshid al Syarah al-Islmiyah, hal. 90-91.
137

maknanya (yahtamiluh al-man) dan tidak bertentangan dengan lafadznya (wal


ya`bhu al-lafdz). [Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang dapat menjelaskan
maksud dari Maqshid al-Qur`n, atau segala sesuatu yang menjadi dasar bagi
pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa memerinci dan
menjabarkan Maqshid tersebut. 328

Bagi Ibn syr (w. 1973) metode-metode penafsiran yang digunakan pakar
tafsir diklasifikasikan menjadi tiga bagian; pertama; penafsirannya hanya
memperhatikan sisi yang tampak (al- iqtishr ala dhahir), dari keaslian makna segi
susunannya (min al-man al-ashliy littarkb), dengan penjelasan dan keterangan, hal
ini disebutnya sebagai al-ashliy.329 Kedua; perhatian/fokus penafsirannya dengan cara
menyingkap makna dibalik teks (istinbth makn min wari al-dhhir) berdasarkan
lafadz-lafadz/susunannya sesuai dengan diksi (dallah al lafdz awi al-Maqm), dan
tidak menafikan penggunaan susunan kalimatnya beserta tujuan al-Qurn (wa l
yujfh al-istml wa l al-Maqshad al-Qurn). Hal ini seperti susunan-susunan dan
termasuk dari khashish al-lughah al-arabiyyah yang termasuk didalamnya kajian
mengenai ilmu balaghah seperti takd (penekanan) suatu lafadz yang menjelaskan
tentang pengingkaran (lawan dialog) (inkr al-mukhaththab) atau keragu-raguannya.
Ketiga; dimana penafsirannya berupaya menyingkap masalah-masalah
(problematika) (an yajlib al-masil) kemudian menarik dan mengaitkannya antara al-
masil dan makna (limunsabati baynah wa bayna al-man), atau bertambahnya
pemahaman mengenai makna lafadz yang mendukung, atau sebagai pendukung
antara makna al-qurniy dengan disiplin ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengannya, sebagai bagian tujuan dari tujuan-tujuan syariat (maqshid al-tasyr)
sebagai tambahan bentuk peringatan darinya, dan juga sebagai bantahan bagi mereka
yang mengabaikan (aw liraddi mathin) dan tidak mengakui keberadaan peringatan
tersebut (man yazamu annahu yunfhi) sebagai esensi hukum syariat dan sebagaian

328
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 41- 42.
329
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 42.
138

kehendak Allah dari keterangan ayat tersebut, namun hanya sebagai tujuan
memperluas sebagaimana dikemukakan pada mukaddimah ke -2 pada prinsip tafsir
Ibn syr.330

Pada metode/cara yang kedua telah banyak diklasifikasikan oleh Ulama


dalam kajian-kajian hukum, demikian juga dalam ilmu akhlak, al dab (etika),
sebagian besar telah dilakukan penelitiaannya oleh Hujjah al-Islm al-Ghazali (w.505
H), mufasir belum dapat dikatakan ilmunya mendalam walaupun ia
mengklasifikasikan pelbagai keilmuan namun tidak mengintegrasikannya tujuannya
dengan Maqshid al-Qurniyyah, karena didalamnya terdapat keterpautan yang erat
dengan pelbagai problematika (al-umr Islmiyyah) seperti penafsiran firman Allah
Wa kallamallh Ms taklm disebutkan pakar/ahli ilmu kalam dalam penetapan
Kalm al Nafsidengan berbagai keterangan dan alasannya, dan pandangan dari
beberapa kalangan madzhab dalam kasus tersebut. Demikian halnya dengan
menafsirkan hikayat dalam al-Qurn mengenai Nabi Musa dengan Nabi Khidr yang
syarat dengan segenap etika antara Muallim dan Mutaallim sebagaimana tindakan
al-Ghazali. Sejalan dengan ini Ibn syr mengutip pandangan Ibn al-Arabi yang
mengatakan; ia mendiktekan (aml alaih) pada hikayah tersebut lebih dari 800
problematika (masalah).331

Dalam cara yang ketiga berusaha menyingkap persoalan ilmiah dari pelbagai
disiplin keilmuan yang bertautan dengan keterangan ayat. Baik dari sebagiannya yang
menumbuhkan makna ayat dengan bitalwhimm (apa yang dimaksud ayat).

330
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 42. bandingkan dengan formulasi
penafsiran komprehensif yang dikemukakan Izzat Darwaza dalam al-Tafsr al-Hadits [Dr al-Gharb
al-Islmiy] hal. 5, ia juga meneliti suatu istilah yang disebutnya dengan metodologi percontohan
[exemplary methods] dalam memahami al-Quran dan tafsirnya sebagai evaluasi atas kontribusinya
terhadap hermeneutika al-Qurn. Lihat juga Abdullah Saeed mengenai pendekatan penafsiran secara
kontemporer dalam Interpreting the al-Qurn; towards acontemporary approach,[Routledge; taylor
and Francis group] london and Newyork] cet-1 2006, hal.8.
331
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 42. lihat juga prinsip-prinsip yang mendasari
Izzat Darwaza dalam penafsiran al-Qurn komprehensif dan bernuansa modern, Al-Qurn al-Majd,
hal. 5-275
139

Sebagaimana penafsiran Wa man yuti al hikmata faqad tiya khairan


katsrdisebutkan bahwa klasifikasi ulm al-hikmah dan kemanfaatannya termasuk
pada keterangan ayat yang menyatakan khairan katsran. Hikmah disini bukanlah
merupakan makna ashli walaupun ia merupakan disiplin ilmu yang mandiri
(istilhiyyan), makna aslinya tidak terjangkau (la yaftu), adapun
klasifikasi/tingkatan ilmu hikmah inilah sebagai akselerasi untuk memahami hikmah
tersebut. sebagaimana dalam ayat yang berbunyi kayl yakna dlatan bayna al-
aghniyi minkum cabag-cabang/klasifikasi ilmu perekonomian (ilm iqtishdi al-
siysiy) dan pembagian harta secara umum, seperti syariat zakat, harta peninggalan
(al-mawrts), dan muamalah al murakkabah/ interaksi sosial yang melibatkan harta
dan pekerjaan (min rasi mlin wa amalin) keterangan disamping menunjukkan
keterangan ayat yang bersifat menumbuhkan (tmiu ilahi al-yah m).332

Urgensi Maqshid al-Qurn akan nampak apabila penafsiran seorang


mufassir dibarengi dengan mendasarkan prinsip-prinsip general [keumuman dakwah],
selanjutnya prinsip-prinsip tersebut terefleksikan pada aplikasi penafsirannya secara
konsekwen. Disinilah keunikan gagasan Ibn syr terjawab, disisi lain keunikan
penelitian ini dalam mengintegrasikan gagasan Maqshid dan prinsip tafsirnya akan
menjadi sebuah kajian tersendiri. Pada bab selanjutnya akan diuraikan tenatng
aplikasi maqshid dalam penafsiran yang dibatasi penulis padaayat-ayat hukum
shalat, puasa dan zakat.

332
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 43.
140

BAB IV
APLIKASI MAQSHID DALAM PENAFSIRAN
DAN RESPON AKADEMIK TERHADAPNYA

Setelah dikemukakan gagasan Maqshid dan prinsip-prinsip penafsirannya


yang tertuang dalam sepuluh pengantar yang tidak kurang dari 130 halaman,
kemudian Ibn syr (1297-1394 H) -mengkritisi para mufassir- yang tidak
mendasari penafsirannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pada
penafsirannya. Ia menulis; hendaknya seorang mufassir berupaya menjelaskan
tentang apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`an, dengan
penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayn), selaras dengan apa yang
dikandung oleh maknanya (yahtamiluh al-man) dan tidak bertentangan dengan
lafaznya (wal ya`bhu al-lafzh). Penjelasannya bisa berupa segala sesuatu yang
dapat menjelaskan maksud dari Maqshid al-Qur`n, atau segala sesuatu yang
menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa
memerinci dan menjabarkan Maqshid tersebut.333
Urgensi dipilihnya sub judul ayat-ayat hukum karena penulis ingin
mengungkap dan membuktikan sejauh mana teori yang dibangun Ibn syr dalam
pengantar tafsirnya pada bab IV mengenai prinsip tafsirnya teraplikasikan secara
utuh. Kemudian dikomparasikan dengan penafsiran sebelum dan sesudahnya sebagai
dasar untuk memotret sejauh mana perbedaan dan keunikan penafsirannya dengan
mufassir lain secara gradual.
Selanjutnya penulis memilih dan membatasinya pada bidang ibadah shalat dan
zakat dalam surah al-Baqarah. Sebagaimana dititiktekankan Ibn syr dalam
beberapa karyanya, dalam mengungkap kajian ilm Maqshid al-Syarah, memiliki

333
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 41-42. Maqshid al-Syarah al-Islmiyah,
(Dr al-Nafes Urdun 2001), hal. 390-392. juga Ushl Nizhm al-Ijtimi f al-Islmi,(Dr al-Suhnn li
al-Nasr wa al-Tawz) 2006. hal. 150-158. lihat juga penelitian yang dilakukan oleh Muhammad
Baltj dalam, Umar Ibn al-Khaththb f al-Tasyr, (Dr al-Salam li al-Thabaa wa al-Nasyar wa al-
Tawz wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H, hal. 35-39.
141

korelasi dan keterpautan yang erat penelitian mengenai pendasaran norma-norma


sosial Islam [Ushl Nizhm al-Ijtim f al-Islam], penelitiannya tidak saja
membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dan elastis (mimma yajalu min al-
dlarr al-bahts an qawid awsau), upaya memposisikan manusia secara egaliter
(hurriyyah) juga mempunyai porsi dan peluang yang sama, yaitu dalam kebebasan
sesama makhluk sosial [publik]. Adapun hukum yang dimaksud disini hukum Islam
itu sendiri dalam artian Seperangkat norma hukum dari Islam sebagai Agama, yang
berasal dari wahyu Allah, Sunah Nabi, tentang tingkah laku manusia mukallaf yang
diakui dan diyakini mengikat bagi agama Islam.334
Upaya-upaya untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia ini terekam dan
diabadikan dalam (surah an-Nahl 16:89).335 Tujuan utamanya (Qashdu al-Al) yakni
untuk mempertahankan dan memperjuangkan perbaikan secara individu (shalh al-
ahwl al fardiyyah) yang bersandar pada perilaku/tabiat dan upaya menjaga kesucian
diri (tahdzb al-nafs wa tazkiyatuha). Targetnya perbaikan keyakinan (shalh al-
Itiqd), karena itiqd sebagai sumber (masdhar) perbaikan tumpuan dasar etika (al-
db) dan berfikir (al-tafkr). selanjutnya, kesalehan individu tersebut diupayakan
semaksimal mungkin untuk memperbaiki perilaku diri (al-sarrah al-khshshah)
dengan ibadah yang (al-dhhirah) seperti shalat, dan tidak nampak (al-Bthinah)
seperti; meninggalkan hasud, dengki dan sombong. Perbaikan secara kelompok (al
Jamiyyah) memprioritaskan kemaslahatan individu karena ia (fardiyyah)

334
Lihat Amir Syarifuddn, Ushl Fiqh, (penerbit Logos, cet-1 1997) hal. 4-5. lihat juga uraian
Said Agil Husin, Al-Qurn membangun Tradisi Kesalihan Hakiki, (Ciputat Pers Jakarta, cet-1 2002),
hal. 230-238.
335
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 38-39. lihat karyanya Ushl al-Nizhm al-
Ijtimi f al-Islmi, hal. (terbitan Tunis hal. 21/terbitan kerjasama Dar al-Salam Mesir, hlm 38). lihat
juga Maqshid al-Syarah (Dr al-Nafis Urdun) cet-2. 2001-1241 H) hal. 113. lihat juga tulisan putra
Thhir Ibn syr yaitu al-Fdhil Ibn syur dalam al-Tafsr wa Rijluhu, hal. 228., redaksi ayatnya
sebagai berikut;
|=tG39$# n=t $u9tu 4 Iy 4n?t #y / $u_u ( r& i n=t #x 7& e. ]y7t ttu

t==9 3u0u Zymuu Yu &x e3j9 $Yu;?


142

merupakan bagian dari kelompok. Kemudian kemaslahatan umum secara


berkelanjutan (pembangunan) [al-umrniyyah], dengan menjaga stabilitas keamanan
dan melestarikan ketentraman norma-norma Islam secara gradual, dan upaya
mengawal kemaslahatan umum (al-jamiyyah) serta menghindarkannya dari
pertentangan yang bersifat temporal, hal ini oleh Ibn syur disejajarkan dengan ilmu
umrn dan al ilm al-Ijtim.336
Sebagaimana dijelaskan bahwa tujuan pembumian al-Qurn untuk
menjelaskan, merinci dan melestarikan tujuan-tujuan agama (m yarji il hifdz
maqshid al al-dn) sebagaimana termaktub dalam (surah Shd 38:29). Ibn syr
memandang bahwa penyingkapan atas kehendak Tuhan (murdullh) secara
sempurna sangatlah mustahil (karena keterbatasan manusia), namun baginya tujuan
dari penelitiannya bersifat mungkin terjadinya (al-imkn al-Wuqiy) dengan segala
kemampuan dan kompetensi pengetahuan dan bukan atas dasar rasio (al-aqly).
Walaupun pada akhirnya penelitian (tafsir) tersebut tidak dapat maksimal/sempurna
dalam menyingkap kehendak Allah.337
Pembuktian akan kebenaran risalah Nabi Muhammad menjadi prioritas utama
dalam kajian penelitian ini, berikut akan penulis kemukakan prinsip-prinsip tafsir
(Maqshid al-ashliyyah) Ibn syr (1978 M) yang diaplikasikan sebagai landasan
dasar dalam penafsirannya.

336
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 38. lihat juga karyanya Ushl al-Nizhm al-
Ijtimi f al-Islmi, keterangan dan korelasi prinsip-prinsipnya tertuang dalam buku ini sehingga
hampir seluruh dari isi buku ini adalah pikiran-pikiran pokok Ibn Asyur dalam mensinergikan dengan
karya tafsirnya yang disusunnya selama kurang lebih 40 tahun sehingga dalam rihlahnya tersebut Ibn
syr banyak menjumpai problematika umat yang kemudian memotivasi dirinya untuk menggagas
konsep-konsep/aturan masyarakat Islam yang egaliter dan berperadaban yang dikorelasikannya dengan
gagasan Maqshid nya, (Dr al-Salm li al-thabah wa al-Nasyar wa al-tawz wa al-tarjamah dengan
Dr al-Suhn li al-Nasyar wa al-tawz) cet-2. 2006, hal. 41-114. lihat dan baca juga tulisan Ayd
Khlid al-Thabb, dalam Muhammad Thhir Thhir Ibn syr Allmah al-Fiqhi wa Ushlihi wa al-
Tafsr wa ulmihi, (Dr al-Qalam, Damaskus) cet-1 2005
337
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 38-39, lihat dan bandingkan; tentang
Maqshid al-Qurn dalam Rasyd Ridh Tafsir al-Qurn, vol. 11, hal. 256; lihat juga Rasyd Ridh
dalam, al-Wahyu Muhammady, hal. 342-343.
143

A. Aplikasi Maqshid al-ashliyah pada ayat-ayat Hukum


Ismal Hasani dalam tesisnya (1993) pada bab Taqshd al-Nushsh wa al-
Ahkm al-Syariyyah mensinyalir bahwa al-Sytib dan Ibn syr menggunakan
lafadz taqshd, maksud dan tujuan yang akan dihasilkan adalah; pertama;
menyingkap makna dibalik teks dari kehendak peletak Syariat (Maqshid al-Syri),
kedua; mengungkap sisi kemaslahatan dari hukum-hukum syariat [yang
diberlakukan].338
Tujuan-tujuan dasar (Maqshid al-asliyah) pada ayat-ayat hukum (Shalat dan
zakat) perspektif Ibn syur didasarkan pada; pertama; menutup batas aurat (satr
al-wrah) bagi mereka yang menunaikan shalat (f khalwatihi) guna memotivasi diri
dan berupaya tidak meremehkan kebiasaan (adami al-istikff bi al-dt al-
Shlihah) sebagai pembiasaan dan penekanan atas kehormatan/wibawa [diri]. Kedua;
penekanan atas perintah shalat ini (al-Ankabt: [29;45]), dimaksudkan untuk
kemashlahatan diri (al-Shalh al-Nafsn), klasifikasi pembagian waktu shalat dari
pagi hingga petang guna memperbaharui aktifitas dzikr (yatajaddadu al-tadzkr),
sedangkan pengulangannya untuk menancapkan ketakwaan dan menjauhkan diri dari
berbagai bentuk kemaksiatan sehingga ketakwaan [diri] menjadi miliknya, hendaknya
aktifitas shalat [mulai subuh-Isya] mampu mengeliminir (mamhuwwah) kemaksiatan
[diantara waktu shalat subuh dan isya] dengan kebaikan [yang meliputi] pada waktu-
waktu tersebut (Hd: [11;114]).339
Ketiga; perintah shalat berjamaah [diutamakan di Masjid], selain menegakkan
syiar-syiar Allah serta memerangi dan menjauhi kesyirikan, juga dapat
menumbuhkan rasa persaudaraan dan perasaan aman, tentram dan kemaslahatan yang
menaungi [mereka], sebagai upaya untuk mengeliminir dan mencegah suatu bahaya

338
Lihat Ismal Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, (al Ma'had Al-
'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 133. lihat juga karya Abdul Qdir
Muhammad Shlih dalam al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-Ashri al-Hadts,(Beirut; Dral-Marifah,
2003, T.th) hal.133-141.
339
Lihat Ismal Hasani, Nazhariyyah al-Maqshid hal. 136-138. lihat dan baca karya Abdul
Qdir Muhammad Shlih dalam al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-Ashri al-Hadts,(Beirut; Dral-
Marifah, 2003, T.th) hal. 133-141.
144

(dafu al-dlarar). Penekanan tujuan ini persatuan dan persaudaraan umat muslim
tercermin kesehariannya pada waktu (shalawat al-khams), setiap minggu sekali pada
hari jumat (shalat al-jumuah), setiap tahunnya [shalat idul fitri dan Qurban), sebagai
aplikasi dan implementasi (inqidlu) sunnah: (al-Hajj).340
Keempat; keterangan dua rakaat shalat jumat (al-Jumuah:[62;9]), dan duduk
diantara dua khutbah boleh jadi dapat menggantikan dua rakaat, sebagaimana
Mayoritas pakar fikih. Demikian juga dengan peniadaan bacaan surah pada dua
rakaat terakhir merupakan bentuk keringanan/kemudahan yang diberikan Allah
(qasd al-Syri) pada hambanya dalam penyelesaian [penyempurnaan] sholat (al-
Baqarah [2:185]). Kemudian Ibn syr juga menitik beratkan perhatiannya [dalam
perintah shalat] dengan [rahasia pembangunan Kabah sebagai Kiblat umat Muslim
dalam shalat], bahwa dijadikan-Nya umat Islam sebagai penduduk pribumi (takwn
ummah ashlah), dari anak cucu Nabi Ismal as. Yang memiliki sifat kesempurnaan
selaku umat yang memiliki kesiapan secara potensial untuk menerima/mengemban
(allat tuahhilah litalaqqya) syarah terakhir (syarah al-Khtimah). Tujuan-
tujannya diantaranya; memperbaiki perilaku (shlih al-srah, al-Kabah sebagai
simbol (rumzun) ketauhidan, penisbatan dan pengutamaan (umat ashilah) penduduk
pribumi dan pengutamaan tempatnya dari yang lain, bukti Kekuasaan Allah sebagai
jawaban atas panggilan dan doa mereka (Taskhrullh Tala ijbata al-Ns
lidawatih).341

340
Lihat Ismal Hasani, Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, hal. 140-142. lihat dan
baca kembali tulisan Abdul Qdir Muhammad Shlih dalam al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-Ashri
al-Hadts,(Beirut; Dral-Marifah, 2003, T.th) hal. 109-152.
341
Sifat disini oleh Ibn syr dibagi menjadi empat yaitu; otak yang cemerlang (jdatu al-
Adzhn), kuatnya hafalan (quwwah al-tahfz), peradaban yang gemilang serta cemerlang (bisthah al-
hadlrah), dari norma-norma hukum, dan dijauhkan dari pengaruh sejarah-sejarah umat terdahulu (wa
al-bud an al-ikhtilth baqiyyah umam al-lam). Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 7, hal. 57, Maqshid
al-Syariah al-Islmiyah, hlm 93. Lihat lebih lanjut dalam tesis Ismal Hasani, Nazhariyyah al-
Maqshid ind Ibn syr, hal. 140-141. lihat dan baca juga tulisan Abdul Qdir Muhammad Shlih,
al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-Ashri al-Hadts hal. 109-152.
145

Selanjutnya Ibn syr juga menekankan bahwa zakat tidak diberikan kepada
golongan kafir, tujuannya adalah memprioritaskan umat muslim guna menumbuhkan
kebiasaan rasa kekeluargaan dan kesetaraan status sosial.342
Sebagaimana Rsyid Ridh, ia menggunakan dan menerapkan Maqshid al-
Qurn dalam penafsiran al-Qurn, prinsip-prinsip Maqshidnya dirumuskan dalam
bentuk kesatuan tema (Wihdah al-Mawdhal-Suwar) atau tafsir tematik dalam
konteks surah-surah al-Qurn.343 Demikian halnya yang dilakukan oleh Al-Biq
dalam Nadzm al-Durar f Tansub al-yah wa al-Suwar,344 belakangan Sad Hawwa
juga mengeksplorasi gagasan ini dalam karya monumentalnya al asas fi al-Tafsr.345
Dalam konteks penafsiran al-Qurn al-Wahdat al-mawdhiyyah diartikan
sebagai langkah yang ditempuh oleh mufassir untuk menyingkap tema-tema yang
terdapat pada suatu surah dalam perspektif ayat-ayatnya yang tersusun secara
sistematis, serasi, stylistik, dan memiliki karakter Ijz guna menghantarkan kepada

342
Yang dimaksudnya kafir disini adalah mereka yang bercampur [kehidupannya] dengan
umat muslim sementara tidak diizinkan [agama] (ghayr al-muadzdzna lahum) mereka termasuk yang
konsekwen terhadap janji dan bertanggung jawab dan para tetangga dekat (wa al-Jrn). Lihat Ismal
Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, (al Ma'had Al-'limiy lil fikri al Islamiy,
Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 142. lihat dan baca kembali tulisan Abdul Qdir Muhammad
Shlih dalam al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-Ashri al-Hadts, (Beirut; Dr al-Marifah, 2003, T.th)
hal. 109-152.
343
lihat lebih lanjut dalam Tafsr al-Qurn,vol.5, hal. 269, bandingkan mereka yangmenyebut
Rasyid Ridha menafsirkan secara tematik diantaranya Muhammad Ziyad al-Dhaghmin dalam
manhaj hal. 202. dan Mahmud Syaltt , an Mahmud Syaltt, Tafsir al-Qurn al-Karim (Kairo: Dr
al-Syurq, 1988), cet. Ke-11. lihat juga tulisan Ahmad al-Syirbasi pandagnannya tentang metodologi
tafsir, Qishshah al-Tafsr, (Kairo: Dr al-Kalm, 1962), hal. 164.
344
Nama lengkapnya Burhnuddn Ibrhm bin Umar al-Biq, Nazhm al-Durar f Tansub al-
yah wa al-Suwar, (Kairo: Dr al-Kitab al-Islmi, tt) juz 1. hal. 5-6. bandingkan dengan Mustansir Mir
The Sra as Unity dalam, Approaches to the Qurn, dengan mengadopsi gagasan yang dibangun oleh
Izz Abd al-Salm (1181-1262) that the Qurn, revealedas it was under extremely diverse circumtances
and in period of more than twenty years, could not possibly have continuity an coherence (irtibt).
G.R. Hawting and Abdul Kader A. Sharef, Approaches to the Qurn, (London and Newyork), hlm
.211.
345
Nama lengkapnya Sad Muhammad Daib Hawwa, lahir pada tahun 1935 di Hamat Suriah.
Pada tahun 1987 ia terkena penyakit stroke yang tidak kunjung membaik kemudian pada 1987 ia
meninggal dunia di rumah sakit Islam Ammn Yordania. Lihat Sad Hawwa, hdzih tajribat wa
hdzih syahdat, hal. 7 dan 119, lihat juga Ass f tafsr, (Dr al-Salm li al-Thabah wa al-Nasyar
wa al-tawz) cet.6, 1424 H-2003 M, Jld I. hal.11, lihat juga al-Musytasyar Abdullah al-Aqil, mereka
yang telah pergi,Tokoh-tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer,(Jakarta al-Itishm cahaya
umat, 2003) hal. 409. bandingkan dengan Muhammad Ali Iyzi, al-Mufassirn Haytuhum wa
manhajuhum, hal. 136.
146

muara tujuan dan maksud akhir yang hendak dicapai (bulghan il maqshid al-
nihiyyah).346
Tema-tema dalam al-Qurn yang terkesan berserakan tidaklah kontradiktif
dan bertentangan, hal ini sejalan dengan pandangan Mahmd Hijzi dalam al-Wahdat
al-Mawdhiyyah f al-Qurn al-Karm, ia merupakan kesatuan tema yang koheren,
padu, dan komprehensif. Kemudian tema-tema yang berkaitan tersebut dikumpulkan
pada dari berbagai tempat surat, untuk mengungkap makna dan korelasinya dengan
tema umum yang dibahas, guna mewujudkan tujuan yang hendak dicapai.347 Al
Dhagmin berpendapat bahwa al-Wahdat al-Mawdhiyyah f al-Srah merupakan
suatu integrasi seluruh orientasi yang dalam surah dalam penetapan dan pengukuhan
satu tema/topik tertentu dalam surah tersebut, setiap surah yang memuat pikiran
pokok menjadi ciri utama surat yang ditetapkan oleh tujuan yang terkonsep
didalamnya.348
Alasan penulis mengemukakan sub judul ayat-ayat hukum dalam surat al-
Baqarah karena surat ini selain merupakan surah terpanjang, ia juga mencakup segala
problematika kehidupan seperti temanya yang memprioritaskan pondasi keimanan,
dan kriteria orang beriman dengan yang tidak. Kemudian aplikasi konsep dan

346
Imrn Sumaih Nazzl, al-Wahdat al-Trkhiyyah li al-suwar al-Qurnyyah, (Ammn:Dr
al-Qurr 1427 H/2006 M), h. 92. bandingkan dengan penafsiran Muhammad Syaltut ia
mengelompokkan ayat ayat yang ada dalam surah menurut tujuan poko dan tema-temanya. Kemudian
baru ia tafsirkan ayat-ayat sesuai kelompok tujuan atau tema pokoknya masing-masing lihat tafsir al-
Qurn al-Karm, (Kairo: Dr al Syurq, 1988), cet-11. pandangan Ahmad al-Syirbashi dalam,
Qisshah al-Tafsr, mengatakan ada metode lain dalam tafsir yaitu dengan mengungkapkansecara
global tema-tama, daksud-maksud dan tujuan-tujuan pokok sura, dan diantara orang yang menonjol
dalam menggunakan metode ini adalah Syeikh Syaltt, baik dalam kuliah-kuliahnya maupun tulisan-
tulisannya. (Qisshah Tafsir, (Kairo: Dr al-Kalam, 1962), hal. 164.
347
Muhammad Mahmud Hijzi, al-Wahdat al-mawdhiyyah f al-Qurn al-Karm, (Zaqziq:
Dr al-tafsir, 1424 H/ 2004),h. 28-29. bandingkan dengan Ahmad Syarqwi bahwa Wahdat al
mawdhu adalah keberadaan satu tema tertentu dalam al-Quran yang terebar dalam berbagai tenpat,
dalam ragam bentuk yang variatif, yang mengacu pada prinsip-prinsip kesesuaian, sikron, dan
harmonis, hubungan antara komponen yang terdapat didalamnya. Seandainya ayat- ayat yang
mengusung satu tema tersebut diintegrasikan, akan membentuk struktur bangunan yang kokoh dan
akan tercipta satu rajutan simponik yang indah dan mempesona. Lihat Ahmad Muhammad Syarqwi,
al-wahdat al-mawdhiyyah li al-Qurn al-Karm, http://www.saaid.net/bahoth/65.zip
348
Ziyd Khlil Dhaghmin, al-Tafsr al-mawdhi wa manhajiyyah al-bahtsi Fhi
(Ammn:Dr al-Ammr 2007 M), hal. 205
147

formulasi penafsirannya (Maqshid ashliyah) dikomparasikan dengan gagasan


penafsiran sebelum dan sesudahnya untuk melihat dan menemukan urgensi/Maqshid
al-ashliyah dalam penafsirannya.

Latar belakang dinamakannya surat al-Baqarah secara umum didalamnya


diceritakan kisah al-Baqarah dimana Allah memerintahkan Ban Isrl ketika itu
untuk menyembelihnya sebagai bentuk pengabdian atas perintah Allah, karena buruk
sangka mereka kepada Allah dengan pemahaman yang konotatif (su fahmihim)
sebagaimana dikisahkan (al baqarah [2;67-71]), dalam pandangan Ibn syr cerita
tentang kisah al Baqarah sebagai pengkhususan yang membedakan (tamyzan) dari
surah-surah yang lain karena terdapat . dari beberapa huruf al-muqaththaah
karena bisa jadi huruf-huruf muqaththaah tersebut dijadikan/sebagai nama surat
yang diceritakan sebagaimana: , berkaitan dengan ini sabda Nabi
Innah sinmu al-Qurn sesungguhnya surah al-Baqarah merupakan
keistimewaan/puncak al-Qurn, dan keistimewaan dari setiap sesuatu (benda)
menunjukkan kelebihan, dan ini (surah al baqarah) tidak demikian karena itu ia
termasuk pengutamaan (tasyrf).349

Secara garis besar tujuan dari surah al Baqarah perspektif Ibn syr dibagi
menjadi dua; pertama; bagian yang menerangkan bahwa agama Islam yang tinggi
dan melangit (sumuww) menjadi agama yang terpilih dari agama-agama sebelumnya
(sebagai rahmat alam semsesta-penulis), terdapat luhurnya petunjuk didalamnya
(uluww hadiyyah) dan norma-norma (ushl) yang mengatur guna perbaikan diri
(tathhrih al-nufs), kedua; bagian yang menerangkan serta menjelaskan syariat-
syariat (norma) agama agar diikuti (liatbihi) sebagai upaya mewujudkan
kemaslahatan sosial masyarakat secara makro (wa ishlhi mujtamaihim). Pada
349
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 203. Muhammad Abduh dan Rsyid Ridh
dalam Tafsur al-Manr ditulis bahwa; surah al baqarah merupakan surah yang terpanjang, ia diletakkan
setelah alfatihah merupakan keutamaan terendiri. Kemudian disimpulkan didalamnya terdapat;
Dakwah al-Islm wa ahkmuhu, wa qawiduhu, lihat Muhammad Abduh Talf Rsyid Ridh Tafsir
al-Manr (Dr al-Manr, cet-2 1366 H 1947 M) Jld. 1, hal. 105-111.
148

keterangan terakhir penulis menemukan konteks kesamaan dengan karya-karya Ibn


syr dalam peletakan dasar Ilmu Maqshid dan Norma-norma sosial
kemasyarakatan yang egaliter.350

Surah ini turun setelah Nabi Hijrah ke Madinah. Ayat-ayatnya berjumlah 286
ayat. Begitu banyak persoalan yang dibicarakannya, tidak heran, karena mengingat
masyarakat Madinah ketika itu sangat heterogen, baik dalam suku, agama maupun
kecenderungan. Misalnya peristiwa yang terekam didalamnya pengalihan kiblat [ayat;
142], atau perintah puasa [ayat; 183], dijadikan sebagai masa awal turunnya surat ini,
dan [ayat; 281] sebagai akhir ayat al-Quran yang diterima oleh Nabi Muhammad

350
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 203. lihat juga Abdul Ghaffar Abdur Rahm,
al-Imm Muhammad Abduh wa Manhajuhu fi al-Tafsir,(Kairo:Dr al-Anshr, T.th.) hal. 354-357.
lihat tahqq dirsah Muhammad Thhir al-Misw dalam Maqshid al Syarah al Islmiyah, Dr el
Nafis- Urdun, 2001. hal. 90-99. dikatakan bahwa keterpautan antara kajian Maqshid al-Syariah
dan pendasaran ilmu social kemasyarakatan yang egaliter sangat ereat dan kajiannya membutuhkan
kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara kaidah-kaidah yang dipakai pakar ushl fiqh (ahwaju il
qawid awsau min qawid ahl ushl), juga karyanya Ushl Nizhm al-Ijtim f al-Islmi,(Dral-
Suhn lo al_nasyar wa al-Tawz, 2006) hal.38- baca juga Abdul Aziz bin Ali Abd ar-Rahmn bin
Ali bin Rabah dalam Ilm Maqshid al-Syri Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-
Nasyr, hal. 41-43.
bandingkan dengan pendahuluan penafsiran Rasyd Ridh dalam Tafsr al-Manr (Dr al-
Manr, cet-2 1366 H 1947 M) Jld. 1, hal. 112-121, dia mengatakan dalam kaidah-kaidah yang terdapat
dalam surat al-baqarah tidak kurang dari 33 kaidah ditulisnya sebelum mulai menafsirkan surat al
baqarah. Kemudian Rsyd Ridh mengatakan:


Bandingkan juga dengan apa yang ditulis oleh Sayyid Thanthawi dalam al-Tafsr al-Wasth, ia
menegaskan tujuan-tujuan global dari al-Baqarah dibagi menjadi tiga; pertama; mengenai pondasi
keimanan dan kemanfaatan petunjuk-Nya (mana bihi wantafaa bihidyatihi) yang mengakibatkan
kebahagiaan (dunia dan akhirat), kedua: bagian yang ingkar lagi menyombongkan diri (qismun jahada
wa istakbara) dan menyukai kejahilan daripada petunjuk-Nya, mereka menjadi menyesal karena tidak
mendapatkan kebaikan dan Iman kepada Allah), kemudian bagian ketiga yaitu umat yang diuji oleh
Allah mereka adalah golongan buruk kaum Munafik yang menampakkan pertentangan langsung
kepada Allah, tidak kuang dari 13 ayat yang menyebutkan kebohongan-kebohongan dan penyakit
yangmelekat di hatimereka, kepicikan mereka tersurat dalam surat ini. Lihat lebih lanjut dalam
Muhammad Sayyid Thanthwi, al-Tafsr al-Wasth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1 Januari 1997) hal.
27-36. demikian juga Quraish Shihab, ditulis bahwa al-Baqarah merupakan al-Sinm yang berarti
puncak karena tiada lagi puncak petunjuk setelah kitab suci ini, dan tiada puncak setelah kepercayaan
kepada Allah Yang maha Esadan keniscayaan hari kiamat. Ia dinamai juga az-Zahr berarti terang
benderang karena kandungan surah ini menerangi jalan dengan benderang menuju kebahagiaan dunia
dan akhirat, serta menjadi penyebab bersinar terangnya wajah siapa yang mengikuti petunjuk-petunjuk
surah ini kelak di kemudian hari. Lihat Quraish Shihab, Tafsr al-Misbh, Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qurn. (Jakarta, Lentera Hati, 2000, cet-1, hal. 82.
149

saw. (dalam sejumlah riwayat disebutkan). Ini berarti bahwa surah al-Baqarah secra
keseluruhan turun dalam masa sepuluh tahun. Karena perintah pengalihan kiblat
terjadi setelah sekitara 18 bulan Nabi Muhammad saw. berada di Madinah, sedang
ayat terakhir yang turun beberapa saat/hari sebelum beliau wafat, tepatnya tanggal 12
rabiul awwal tahun 13 Hijriah.351

Al-Zamakhsari (467-538 H) dalam tafsirnya al-Kasysyf mensinyalir bahwa


pada akhir-akhir Surah al-Baqarah merupakan harta benda (kanzun) dibawah
singgasana (Arsy), sebagaimana hadits dari Ibn Abbs yang menyatakan; bahwa
barang siapa yang membaca surat al-Baqarah pada dua ayat terakhir ini [2:284-287]
kafathu (dijaga-Nya dari godaan setan dan bencana), dalam redaksi hadits yang lain
diterangkan ia (surah al-Baqarah) merupakan sebuah harta benda dari bawah
singasana yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad tidak kepada yang lain,
berikutnya juga diterangkan dalam hadits yang lain ia juga merupakan harta dari
surga, barang siapa yang membacanya setelah (shalat) Isya ia akan diganjar seperti
shalat malam. yang terakhir ini riwayatnya matruk.352

Muhammad Sayyid Thantwi melihat bahwa selain merupakan surat


terpanjang, ia mempunyai Munsabah dengan surah al-Fatihah yang isinya
merupakan dasar-dasar mengenai hukum-hukum ketuhanan dan nilai-nilai ubudiyah
sebagai perunjuk jalan yang lurus secara global dan general, kemudian berikutnya
surah al-Baqarah menjelaskan dengan memerinci tujuan-tujuan tersebut, sehingga
bahasan yang terdapat pada surah al-Fatihah sebagai petunjuk dan pengarahan
petunjuk tersebut menjadi jelas. Keutamaan surat ini menjadi ketara disebabkan

351
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr, vol. 1, hal. 203. bandingkan dengan Rasyd Ridh
dalam Tafsir al-Manr (Dr al-Manr, cet-2 1366 H 1947 M) Jld. 1, hal. 112-121
352
Lihat penafsiran al-Zamakhsari dalam al-Kasysyf, (Dr al-Kotob al-Ilmiyyah, 1995-1415
H) cet-1.hal.329-329. redaksi haditsnya sebagai berikut;















.


:




150

beberapa hadits yang menguatkan keistimewaan dari surah yang lain dalam al-
Qurn, seperti hadits yang menjelaskan bahwa Rumah yang dibacakan surah ini (al
baqarah) tidak akan dimasuki oleh setan, dan sebaliknya rumah yang tidak pernah
dibacakan al-Qurn didalamnya digambarkan seperti kuburan. Diriwayatkan oleh;
Ahmad, Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasi dari Ab Hurairah; kemudian terdapat
pula hadits oleh Ibn Hibbn dalam shahh , dari Sahl Ibn Saad yang menerangkan
keistimewaan surat ini.353
1) Perintah shalat dan zakat dalam surah al-Baqarah
Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat
dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi
ayat tersebut. karena tujuan (ghardun) ini memiliki nilai tambah dalam keterpautan
dalam kajian kequranan dan memiliki korelasi yang kuat (ittishlu al-matn) dengan
dengan penafsiran. Disebabkan instrumen-instrumen yang terkait dengannya (m
yatahqqaqu fhi) sangat diperlukan (yuntafau bihi) dalam mayoritas tema-tema pada
pembuka-pembuka surah (fawtihu al-suwar) al-Qurn, dan ketertautan munsabah
antara satu (ayat/surah) dengan yang lain, sebagai bekal yang cukup bagi mufassir
dalam penafsiran.354

353
Lihat Muhammad Sayyid Thanthwi, al-Tafsr al-Wasth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1
Januari 1997) hal. 27-28. bandingkan dengan pandangan Mutawalli al-Syrw dalam Tafsir al-
Syarwi, (Dr akhbr al-Yaum, Mesir 1991), hlm 91-97) karena ketawadhuannya al-Syarwi
menyatakan karyanya bukan sebagai tafsir namun dia menyebut sebagai khawtir
(betikan/interpretasi), dalam surah al-bawarah terdapat pijakan Iman atas risalah (al-Imn bi al-bats),
pendasaran metode Dawah di Makkah, ayat ayat yang turun di Madinah disinyalir sebagai sumber
hokum-hukum social Islam, dan hokum Mumalah, disebutkan hikmah al-Qurn dan ilmu yang
dianugrahkan Allah kepada Nabi Muhammad shallawwah alaih wasallam, kisah penciptaan manusia
pertama Adam,kisah Nabi Ibrahim dalam kontemplasinya mencari Tuhan (pengokohan keimanan, dan
kisah peletakan bat pertama kabah, dan penyampaian tentang musuh Islam yang nyata selain Syetan
yaitu Yahudi). Lihat juga Sayyid Quthb dalam tafsirnya F Dhill al-Qurn, (Dr al-arabiyyah-
Beirut, tt), hlm 24. Sayyid Quthb menyatakan didalamsurah ini digambarkan pondasi keimanan
kepadaNabi-Nabi yang diutus kepada mereka dan kitab-kitab yang diturunkannya, dan kaitan
pembukaanya dan penutupan terdapat dua sifat yaitu sifat orang-orang mu;min dan Khashish Iman.
354
Ibn syr, Al-Tahrr wa al-Tanwr Muqaddimah al-Tsminah, vol. 1, hal. 70. baca dalam
mukaddimah sebelumnya (hal. 8) ia mengatakan amma al-bahtsa an Tansub mawqi al-suwar
badlah itsri badlin fal arh haqqan al al-mufassir. bandingkan dengan pandangan Abdullah
Dirz dalam, Al-Naba al Adzm, Nazhart al-Jaddah f al-Qurn,hal. 211. Ia menyatakan bahwa
setiap hal dalam al-Quran merupakan bentuk kemujizatan, kebalaghahan ungkapannya juga mukjizat,
151

Perintah shalat dan zakat sebagai pondasi agama ayat 43 dalam surah Al-
Baqarah [2]:43);

.....
yang artinya kurang lebih; "Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
kepada-Ku bersama orang -orang yang ruku. Adalah perintah melakukan syiar
Islam setelah perintah memeluk akidah Islam.355

pola pendidikannya termasuk dari mukjizat, validitas informasinya merupakan mujizat, formulasi
syariatnya yang abadi adalah mukjizat, ilmu-ilmu didalamnya nafsiyah maupun kauniyah mengenai
keduanya adalah mujizat, dalam keserasian dan sistematisasi ayat-ayat al-Quran dalam bentuk yang
kita kenal ini merupakan bentuk kemukjizatan diatas mukjizat. Al-Saythi, Tansuq al-Durar f
Tansub al-Suwar, hal. 69.
Lihat juga pandangan Sad Haww (w.1989) misalnya, mufassir berkebangsaan Siria ini
mengatakan bahwa kesatuan dalam dalam ayat atau kelompok ayat adalah keberadaan satu ayat atau
satu kelompok ayat dalam surah-surah al-Qurn yang memiliki kerunutan dan ketertautan konteks
yang sistematis yang terikat dalam satu hubungan yang kuat antara bagian-bagian dalamstruktur ayat
atau kelompok ayat tersebut. kemudian Sad Hawwa berusaha mengelaborasi hubungan bagian satu
ayat dengan bagian lainnya. Seperti ketika menafsirkan ayat 148 dari surah al-Nis [4] yang berbunyi:
$=t $x !$# t%x.u 4 z= t ) s)9$# z 9$$/ tyf9$# !$# =t *
Kalimat klausa yang mengiringi lafal dalam ayat tersebut. Sad Hawwa melihat
bahwa kata mengacu kepada pengaduan kepada pihak yang terdzalimi (syakw al-madzlm), dan
kata sebagai bentuk yang mengacu pada kedzaliman yang dilakukan oleh pihak yang berbuat
dzlim (zulm al-mazlm). Sad HawwaAss f tafsr, (Dr al-Salm li al-Thabah wa al-Nasyar wa al-
tawz) cet.6, 1424 H-2003 M, Jld II. hal.1217
355
Lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Thrir wa al-tnwr vol 1. hal. 472.
bandingkan dengan penafsiran Musthaf al-Margh yang menafsirkan ayat ini dengan gambaran (rh
al-shalh), setelah ajakan Iman kepada bani Isral telah disampaikan, kemudian mereka diperintah
mengerjakan shalat sebagai amal shlih dan pondasi iman, dan untuk membersihkan kepribadian
mereka (litutahhir nufsahum) sebagaimana mereka diminta untuk membayar zakat sebagai bentuk
syukur dan mempererat hubungan sosial kemasyarakatan, dengan mengeluarkan sebagian hartanya,
sebagai bentuk solidaritas kepada sesama (limuwsh iylullh wa hum al-fuqar) (antara yang kaya
dan miskin saling bergotong royong, dan memberi perlindungan satu dengan yang lain), kemudian al-
Marghi menyebutkan hadits al muminu lil mumini kal bunyn yasyuddu badlahum badlan lihat
Ahmad Musthaf al-Margh, Tafsr al-Marghi, (Syirkah maktabah wa mathbaah musthaf libb al
hilabi Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H, hal. 99.
lihat juga redaksi penafsiran Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manr yang menafsirkan
setekah ajakan iman yakin kepada bani isrl mereka diminta untuk menunaikan shalat dan membayar
zakat sebagai bentuk solidaritas kekeluargaan dan kemaslahatan diantara mereka (muwsh liylihi
wa musadahal mashlihim allt hiya malku mashlahatihi) bagi Abduh ketiga perintah diatas
tertata rapi secara hirarkis; menunaikan shalat sebagai berntuk pertama yang merupakan rhul ibadah
dan ujian keikhlasan dalam mengerjakannya, kemudian membayar zakat sebagai bentuk penyucian diri
dan kekuatan iman, berikutnya ruku bersama orang-orang yang ruku sebagai gambaran (srah)
shalat/sebagiannya, sebagai penghambaan diri secara khusu dihadapn keagungan-Nya. Lihat
Muhammad Abduh dengan talif Rsyid Ridh tafsr al-Manr (Huqq thabaah wa al-tarjamah
mahfdhah liwaratsatihi/ Dr al-Manr 1948/1366 H) cet. 2, hal. 294.
152

Dalam tafsir ayat ini Mahmd syukr al-Alsi (w. 1270 H) menafsirkan dalam
karya monumentalnya Rh al-Man diterangkan bahwa shalat dan zakat sudah
menjadi maklum (lm lilahdi awi al-jinsi) sebagaimana dilakukan kaum muslimin.
Didahulukan perintah shalat karena tujuannya yang utama (lisyumli wujbih), yaitu
dituntut dengan ikhlas dan senantiasa mengharap ridha Allah (al-tadlarru
lilhadrah), dan ia merupakan aktifitas tubuh/badan (ibadah) yang paling utama, dan
membayar zakat merupakan pembersihan harta dari kotoran dan diri dari sifat
kikir.356
Perintah bertunduk (ruku) setelah perintah zakat, karena shalat orang-orang
Yahudi berbeda dengan shalatnya orang-orang Muslim, mereka (Yahudi) tidak
menggunakan ruku sebagaimana orang muslim. Keterangan selanjutnya tentang
al-Rkin ada pendapat yang menyatakan mereka adalah para Sahabat Nabi,
disisi lain diartikan sebagai isyarat (jins al dhhir), ruku/ketundukan merupakan
tanda-tanda keridhaan dan meumbuhkan sifat mulia. Sebagai bukti keikhlasan dalam
beribadah atas kecintaan kepada sang Khliq.357
Jadi, ayat "Dan berimanlah (kamu: bani Israil) pada apa yang Aku (Allah)
turunkan .....([2] :41) maksudnya (al-maqshadu) adalah Iman kepada Nabi
Muhammad shallawwhu alaih wasallam juga kepada perantara wahyu dan
tujuannya. Yang menjadi pengantarnya adalah ayat; Dan ingatlah nikmatku.....
.([2]:40), sampai ayat .....maka takutlah kepadaku ([2]:48), yang sementara targetnya
(ghyah) adalah ayat Dan berimanlah pada apa yang saya turunkan karena
membenarkan apa yang bersamamu. Kemudian impementasi tujuannya adalah ayat
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat ([2]:43). Dibalik itu juga terdapat larangan
dari perbuatan merusak yang dan menghalangi dari hal-hal yang telah diperintahkan,
sesuai dengan bentuk perintahnya.358

356
Lihat Syihabuddn Sayyid Mahmud al-Alsi, Rh al-Mani wa sab al-Matsni, (idrah
thabah al-munriyyah wa dr al-Turats al-rabiy Beirut Libanon), hlm 248.
357
Al-Alsi, Rh al-Mani wa sab al-Matsni, hlm 248-9.
358
Lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Thrir wa al-tnwr vol 1. hal. 472. lihat dan
bandingkan juga perbedaan penafsiran Ibn syr dengan Abu Bakar al-Arabi mengenai syarat
153

Firman Allah," " adalah perintah pada pondasi Islam yang paling
agung setelah perintah Iman dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan
sebaliknya (taridl) sindiran kepada orang-orang Munafik, diterangkan bahwasannya
iman adalah perjanjian primordial (ahdun qalbiyyun) antara (hamba dengan
Tuhannya), indikator perjanjian tersebut dengan ucapan (l yadullu alaihi illa al-
nutqa). Ucapan lisan (iman) sesuatu yang mudah. Ia bisa saja diucapkan walau hati
tidak membenarkannya, sebagaimana halnya orang-orang munafik yang dilukiskan
oleh ayat 8 pada surah ini. Nah untuk membuktikan kebenaran ucapan itu mereka
dituntut agar melaksanakan shalat, karena shalat merupakan aktivitas yang
menunjukkan keagungan kepada Allah semata, dan sujud kepada-Nya merupakan
bukti pengingkaran terhadap berhala-berhala. Demikian juga dengan zakat, karena
dengan menyisihkan secara tulus sebagian harta yang dimiliki tidak akan dilakukan
kecuali oleh mereka yang percaya kepada hari kemudian, lebih-lebih bila disalurkan
kepada upaya pengukhan agama atau menghadapi musuh-musuh Allah dan Rasul-
Nya. sebagaimana ayat yang menyebutkan wa idz laqlladzna man ql
mann.........(al Baqarah 2:14).359

Seseorang yang tidak menghubungkan ayat tentang perintah shalat dan zakat
dengan ayat sebelumnya yaitu tentang ayat yang menunjukkan syukur atas nikmat
(udzkur nimatiya allat anamtu alaikum.....) dan pelaksanaan janji (promise)
antara hamba dengan tuhannya, tidak akan dapat menyingkap tujuan-tujuan ayat
(aghrdh al-yt), untuk mewujudkannya juga memerlukan instrumen hubungan

wudhu sebelum diturunkannya penjelasan dalam surah al-Midah [5:6], Abu Bakar al-Arabi
menafsirkan bahwa wudhu merupakan kebiasaan orang Makkah sebelum adanya ayat yang
menjelaskan tentang kewajiban wudhu ini sebelum shalat, karenanya ia ada dan sedah diwajibkan
sebelum ayat ini turun, hal ini dibantah oleh Ibn syur yang menyatakan bahwa ditetapkannya
ightisl sebelum wudhu, dan Nabi tidak melakukan shalat kecuali mengambil wudhu sebelumnya.
Disebutkannya hukum wudhu oleh al-Qurn saat itulah mulai diberlakukannya [kewajiban] wudhu
sebelum shalat. Lihat perbedaan ini dalam, Ab Bakar Ibn al-Arabi, ahkm al-Qurn, tahqq Ali
Mumammah al-Bajw,(Dr al-Marifah) jld. 2. hal. 558. dan Thhir Ibn syr, al-Tahrr wa al-
Tanwr, (Dr Tnsiyyah linnasar, t.th) juz1. hlm 331.
359
Lihat Thhir Ibn syr al-Thrir wa al-Tnwr (QS. Al-Baqarah [2]:40-48), vol. 1 hal. 472-
4,
154

kronologis (asbb al nuzl), karena dengan menggunakan instrumen tersebut akan


menghasilkan makna dan rangkaian pemahaman yang jelas dan terperinci.360
Al-Rzi (544-604 H)361 menafsirkan ayat aqm al-shalh bahwa Allah
menyeru kepada mereka (yahudi) mereka beriman kemudian melarang untuk berbuat
keji dan mencampuradukkan yang haq dan bthil (lubsu al-haq bi al-bthil) dengan
menyembunyikan keterangan risalah kenabian (wa kitmnu dalil al-nubuwwah ),
kemudian disebutkan perintah syariat dengan suatu keharusan (lazamahum) syariat
bagi mereka seperti shalat ia merupakan ibadah yang paling utama (adham al-
Ibdt al-badaniyah) dan zakat yang merupakan ibadah kekayaan yang paling utama
(adham al-Ibdt al-Mliyah).362
Terdapat beberapa keterangan/penjelasan mengenai hal ini: pertama tidak
diperbolehkan mengakhirkan keterangan yang global dari waktu
diturunkannya/diwajibkannya (khitb), setelah keterangan yang disampaikan Nabi
Muhammad tentang rukun-rukun shalat, seakan Allah berfirman dirikanlah shalat
seperti yang kalian ketahui. Kedua; pandangan golongan mutazilah bahwa shalat
adalah jenis-jenis syariah (asm syariyyah), ia merupakan hal baru dalam ajaran
syariat maka mustahil keberhasilan atas perintah tersebut berhasil sebelum
ditetapkannya syariat. Kemudian mereka berbeda pandangan pada definisi shalat;
ada yang berkata secara etimologi shalat berarti doa (al-Du) berkata al-Asy ;363
yang lain mengatakan shalat berarti suatu keharusan (alluzm)364, ketiga; firman

360
Lihat Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr vol 1. hal. 472. lihat juga Muhammad Ahmad al-
Gharmawiy, al-Islm f ashr al-ilmiy, Dr al-Kutub al-haditsah al-Sadah, Kairo, 1978, h. 405.
361
Nama yang dikenal adalah Fakhruddn, Allmah alkabir dz al-Funn Muhammad ibn
umar ibn al Husain ibn Hasan ibn Ali al-Taym al-Bakr al-Tihbri al-Ashl, al-Rz lihat dalam sair
alm Nubal (16/54/t.5411), juga dalam Bidyah wa al- Nihyah (8/560). Tafsr al-Fakhru al-Rzi ,
jld.1.juz 1, hal. 5.
362
Muhammad al-Rzi Fakhruddn, Tafsr al-Fakhru al-Rzi, (maktabah al-tawtsq wa al-
dirst f Dr al-Fikr, cet. 1, 2005) jld.1. juz 3, hal. 44.
363
Muhammad al-Rzi Fakhruddn, Tafsr al-Fakhru al-Rzi, (maktabah al-tawtsq wa al-
dirst f Dr al-Fikr, 1426 H) cet.1, jld.1. juz 3. hal. 44. redaksi syairnya;


364
Muhammad Fakhruddn al-Rzi, Tafsr al-Fakhru al-Rzi, (maktabah al-tawtsq wa al-
dirst f Dr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 44 redaksi syair
155

Allah dalam surah al-baqarah [2;43] kepada orang Yahudi, menunjukkan


bahwasannya mereka tidak mengimani syariat-syariat yang dibawa oleh Nabi.365
Berbeda dengan pandangan Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsr al-Munr ia
menafsirkan ayat (al Baqarah [2:40-43]) khitb/redaksi ayat diperuntukkan kepada
keturunan Nabi Shalih Yakb as. (putra Nabi Ishak) agar mereka mengikuti jejak
orang tua mereka dalam penunaian hak-hak Allah, dan diseru untuk berfikir dan
mensyukuri nikmat Allah atas keselamatannya dari provokasi Firaun dan bala
tentaranya (min al-anji min firaun), dan mereka diseru agar bersyukur atas nikmat
yang telah dianugrahkan Allah dengan mengaplikasikan perintah-Nya dengan taat
(wasysyukrllh al niamihi biimtitsli al-awmirihi wa ithatihi), (dan tidak lupa
menjauhi larangan-larangan-Nya-penulis).
Larangan untuk berkhianat terhadap perjanjian primordial antara hamba dan
Khliq dengan Iman kepada Allah dan Rasulnya. Selanjutnya dalam perintah shalat
al-Zuhaili menulis shalat digambarkan dengan ruku, ini disebabkan shalatnya
Yahudi tidak menggunakan ruku (sebagaimana al-Rzi, Abduh dan Rsyid Ridh,
Ibn Asyr), dan perintah zakat perintah yang berkaitan langsung dengan shalat.
Korelasi antar keduanya shalat sebagai tiang agama untuk menyucikan diri (dari keji
dan munkar-penulis)(tazkiyatun nafs), dan zakat sebagi bentuk (amal) untuk

berkata yang ain redaksi shalat diambil dari al mushall yang berarti kuda (al-faras) yang diikuti
sesamanya.
365
Muhammad al-Rzi Fakhruddn, Tafsr al-Fakhru al-Rzi, (maktabah al-tawtsq wa al-
dirst f Dr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 45. bandingkan dengan pandangan Ab Hayyn (w. 745
H) dalam, al-Bahru al-Muhth,(Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, cet-1 2001/1422 H) juz 1. hal. 325-337. Ab
Hayyn (w.745 H) menafsirkan bahwa ketiga ayat tersusun sedemikian tepat dan serasi. Hal ini terlihat
jelas dengan perintah-Nya pertama kali kepada Bani Israil untuk mengingatkan nikmat Allah yang Dia
anugrahkan kepada mereka, karena ini akan mengantar mereka untuk mencintai-Nya dan taat kepada-
Nya, selanjutnya untuk memenuhi perjanjian primordial yang telah dijalin antara mereka dengan Allah
swt. Yang didorong dengan janji Allah untuk untuk memenuhi pula janji-Nya kepada mereka,
kemudian diperintahkan-Nya agar takut terhadap mereka takut akan siksa-Nya jika mereka tidak
memenuhi janjinya tersebut. dengan demikian perintah untuk memenuhi janji diapit oleh perintah
mengingat nikmat anugrah-Nya dan perintah agar takut kepada-Nya. Perintah beriman merupakan
perintah meninggalkan kesesatan dan larangan mencampur adukan yang hak dan yang bathil serta
menyembunyikan kebenaran dan sekaligus merupakan perintah untuk meninggalkan penyesatan
terhadap orang lain.
156

penyucian harta kekayaan, dan keduanya sebagai bentuk syukur atas nimat yang
telah dianugrahkan Allah.366
Zakat disini mampu menstimulasi tumbuhya asuransi bersama (al-takful al-
ijtimiy) diantara sesama manusia sebagai (makhluk sosial), si Kaya membutuhkan
pertolongan si miskin dalam (suatu hal), demikian juga simiskin membutuhkan
bantuan secara materi dari si kaya. Berkata al-Jashshsh dalam ahkm al-Qurn;
bahwa yang dintisarikan dari perintah ayat diatas tidak lain adalah; penunaian shalat-
shalat fardhu dan mengeluarkan/membayar zakat-zakat yang wajib.367
Perintah shalat dan penunaian zakat adalah perbuatan/amal yang mulia disisi
Allah yang menunjukkan keagungan dengan bersujud kepada-Nya, serta berserah diri
kepada-Nya. Perbuatan demikian ini tidak dilakukan oleh kalangan musyrik
dikarenakan mereka berbuat syirk (yang tampak dengan perbuatannya), sementara
ahlu al-kitb tidak melakukannya (menunaikan ibadah ini) karena kebiasaan (ibadah)
mereka berbeda. Diterangkan juga bahwa esensi dari zakat adalah dengan berinfak
sebagai pencitraan diri (azzun ala an-nafs), bagaimana seseorang melakukan hal ini
sementara dirinya tidak meyakini akan kemanfaatan ukhrawi dari tindakan/perbuatan
baik ini, lebih-lebih zakat tersebut dapat sampai kepada kalangan musuh (tawanan)
yang dimaksud dalam agama.368

366
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsr al-Munr f al-Aqdah wa al-Syarah wa al-Manhaj, (Dr al-
Fikr Musir, Beirut Libanon) juz. 1.jld 1-2, hal. 149-152. lihat juga Ahkm al-Qurn juz 1/24.
367
al-Zuhaili, al-Tafsr al-Munr juz. 1.jld 1-2, hal. 149-152.
368
Thhir Ibn syr dalam al Thrir wa al Tnwr vol. 1 hal. 473. lihat penafsiran Quraish
Shihb dalam Tafsr al-Mishbh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qurn, ( Lentera Hati, cet-1 2000
M) Juz. 1. hal. 165-173. ayat 43 dalam surah al-Baqarah ditafsirkan setelah mengajak untuk memeluk
Isam dan meninggalkan kesesatan dan penyesatan, maka perintah utama yang disampaikan setelah
larangan itu adalah shalah yakni dengan melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun dan saratnya
secara bersinambung dan mnunaikan zakat dengan sempurna tanpa mengurangi dan menangguhkan
serta menyampaikan dengan baik kepada yang berhak menerimanya. Dua kewajiban pokok ini
merupakan rangakaian hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Keduanya ditekankan,
sedangkan kekwajiban lainnya dicakup oleh penutup ayat ini, yaitu rukulah bersama orang-orang
yang ruku dalam arti tunduk dan taatlah pada ketentuan-ketentuan Allah sebagaimana dan bersama
orang-orang yang taat dan tunduk. Penampilan ayat diatas merupakan susunan yang serasi, yang pada
awalnya mengingatkan nikmat-nikmat Ilahi, kemudian guliran akhirnya berisi perintah untuk tunduk
dan patuh kepada-Nya.
157

Oleh karena itu perintah menunaikan pondasi (untuk) penguatan agama Islam
yaitu shalat dan menunaikan zakat yang targetnya (ghyah) adalah penunaian
perintah beriman. Perbuatan amal/ibadat (shalat dan zakat) tidak akan dapat
ditunaikan secara maksimal (l yatajasysyamahuma) kecuali mereka benar-benar
memiliki integritas dan kualitas keimanan yang benar-bebar kokoh kepada Allah.369
Keterangan ayat mengenai (ketidakseriusan dan faktor kemalasan) orang-
orang munafik dalam beribadah terekam pada (surah al-Nis [4:142], surah al-Mn
[107:3-5]), ditegaskan juga dalam redaksi hadits shalat isya merupakan shalat yang
paling berat (penunaiannya) bagi kalangan munafik Pada keterangan ayat
dijelaskan bahwa mereka yang meninggalkan shalat tanpa udzur syari dari waktu-
waktu yang telah ditetapkan sampai habis masa/waktu shalat, merupakan bukti bahwa
mereka meninggalkan shalat (tariku al-Shalh) sebagai bukti nyata robohnya (intif)
iman dalam diri mereka, namun menurut madzhab Maliki (sebagaimana Ibn syr-
penulis) apabila mereka masih mengklaim dirinya beriman maka; boleh diperangi
sebatas dan/ sampai (mereka menunaikan shalat), sebagai bentuk pencegahan hal
yang berimplikasi pada keburukan dan menjaga stabilitas pemeluk agama itu sendiri.
(manan li-Dzarah hazm al millah).370
Kemudian keterangan ayat selanjutnya menyebutkan

merupakan penekanan (takd) makna shalat, karena praktek shalat orang-orang
Yahudi tidak memakai ruku, sehingga tidak ada alasan/bantahan bagi mereka
(yahudi) yang mengaku shalat sebagaimana shalat orang-orang muslim dengan dalil
diatas. Kalimat rkin adalah isyarat dan penjelasan agar prasyarat shalat (rukun,

369
(QS. Al-Baqarah [2]:40-48), lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al thrir wa al tnwr
vol. 1 hal. 473
370
lihat l penafsiran ayat ini dalam Ibnsyr, al-Thrir wa al-Tnwr vol. 1 hal. 473, redaksi
ayatnya;
.
t
u t #! t
} $ 9#$ 4 <n $
| . #( $%s 4 =n
9#$ <n ) #( $%s #s ) u



z
y u
u !
#$
t

s

t )

u
9 #$
)


t
$
y
E

|
t


t %
! #$
,#j
| u s dan ayat:
= 9j W = %s
) !
#$
158

syarat sah) suatu kelaziman yang harus dilakukan sebelum menunaikan ibadah shalat
ini.371
Penafsiran ayat berikutnya (ayat [2:44]) adalah mengecam pemuka-pemuka
agama Yahudi yang sering kali memberi tuntunan tetapi melakukan sebaliknya. Kata
(al birr) berarti kebajikan dalam segala hal, baik dalam keduniaan dan akhirat,
maupun interaksi. Sementara mayoritas pandangan Ulama menyatakan bahwa al-
birr mencakup tiga hal; kebajikan dalam beribadah kepada Allah swt. Kebajikan
dalam melayani keluarga, dan kebajikan dalam melakukan interaksi dengan orang
lain. Namun apa yang dikemukakan diatas belum mencakup semua kebaikan, karena
agama menganjurkan hubungan yang serasi dan seimbang dengan Allah, sesama
manusia, lingkungan dan siri sendiri. Segala sesuatu yang berkaitan dan
menghasilkan keserasian dalam keempat unsur tersebut adalah suatu kebajikan,
demikian Quraish Syihab menambahkan.372
Pada ayat (45:2)







diterangkan bahwa tujuan utama (al-maqshdu al-ashliy) ayat ini ditujukan pada Bani
371
Bandingkan dengan penafsiran Muhammad al-Rzi Fakhruddn, Tafsr al-Fakhru al-Rzi,
(Maktabah al-tawtsq wa al-dirst f Dr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 45, yang menafsirkan
bahwa ayat yang berbunyi warka maa al Rkin disebutkan oleh Allah redaksi ruku disini karena
shalat Yahudi tidak memakai ruku sebagaimana shalat muslimin.disebutkan dua kali perintah pertama
menunjukkan penunaian shalat itu sendiri, dan kedua perintah berjamaah dalam shalat, tujuan dan
maksud dari perintah ruku adalah ketundukan dan kepatuhan (ruk dan khudl) dalam definisi
bahasa sama.
372
lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al thrir wa al tnwr vol. 1 hal. 474-5.

t=Gs? Fr&u 3|r& t|s?u h99$$/ }$9$# t's?r& t.9$# yt (#x.$#u n4x.9$# (#?#uu n4n=9$# (#%r&u

(#)n= r& tt t%!$# ts:$# n?t ) u7s3s9 $p)u 4 4n=9$#u 99$$/ (#tF$#u t=)s? sr& 4 |=tG39$#

t_u s9) r&u h5u


Bandingkan dengan Mushtaf al-Marghi menafsirkan (al Baqarah 2:44-46) khitab ini kepada
ahl kitab dari golongan (al-ahbr wa Ruhbn) dimana mereka memberikan nasehat namun mereka
tidak melaksanakannya sendiri, menyerukan taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mencegah
kemaksiatan namun mereka tidak melaksanakan seruannya sendiri. Lihat lebih lanjut Ahmad Musthaf
al-Margh, Tafsr al-Marghi, (Syirkah maktabah wa mathbaah musthaf libb al hilabi wa aulduh
Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H, hal. 101. bandingkan dengan gurunya Muhammad Abduh tafsr al-
Manr talif Rasyid Ridh (Huqq thabaah wa al-tarjamah mahfdhah liwaratsatihi/ Dr al-Manr
1948/1366 H) cet. 2, hal. 296. lihat juga Quraish Syihab, Tafsr al-Misbh, 174-5.
159

Israil sebagai petunjuk guna membantu mereka melaksanakan segala apa yang
diperintahkan oleh ayat-ayat yang lalu. Petunjuk yang dikandung ayat ini sungguh
pada tempatnya, karena setelah mereka diajak disertai dengan janji dan ancaman,
maka dapat diduga keras bahwa tidak ada lagi jalan masuk bagi setan kedalam hati
mereka, tidak ada juga tempatnya untuk mundur bahkan kini mereka telah bersiap
siap untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Namun demikian, kebiasaan lama
masih memberatkan langkah mereka. Ayat ini menyodorkan resep yang amat ampuh
agar mereka dapat melangkah maju menuju kebajikan. Kandungan resep ini adalah
shalat dan sabar.
Al-Shabr dalam pandangan IbnAsyur yaitu menahan diri dari sesuatu yang
tidak berkenan dihati, ia juga berarti ketabahan. Imam al-Ghazali dalam karyanya
ihya ulmuddn mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan tuntunan
agama menghadapi rayuan nafsu. Secara umum kesabaran dibagi menjadi dua bagian
pokok: pertama; kesabaran jasmani yang berarti menerima dan melaksanakan
perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh seperti sabar dalam
melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan, atau sabar dalam menerima
ujian dan cobaan penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Kedua adalah sabar
Rohani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar
kepada kejelekan, seperti sabar dalam menahan amarah, ataupun menahan nafsu
seksual yang bukan pada tempatnya.373
Kemudian as-shalah dari segi bahasa adalah doa, dari segi syariat islam ia
adalah suatu ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam ia juga mengandung pujian atas limpahan dan anugrah karunia-
Nya.mengingat Allah dan karunia-Nya akan dapat mengantar seseorang terdorong
untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Serta dapat mengantarnya
tabah dalam menerima cobaan atau tugas yang berat. Demikian juga shalat akan dapat
373
Ibn syr, al Thrir wa al Tnwr vol. 1 hal. 474. Bandingkan dengan penafsiran al-Imm
Ab Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshri al-Qurtbi (671 H) dalam, al-Jmiu al-Ahkmi al-
Qurn,(Dr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon), hal. 252-255.
160

membantu manusia menghadapi segala tugas dan bahkan petaka dengan tegar, tenang
dan tabah.
Penegasan ayat ini bermakna Mintalah pertolongan dengan mengukuhkan
jiwamu dengan sabar yakni menahan diri dari segala tantangan dan ujian hidup-
penulis- dan dengan shalat yakni dengan mengaitkan jiwa dengan Allah swt. Serta
mermohon kepada-Nya guna menghadapi segala kesulitan serta memikul segala
beban karena sesungguhnya yang demikian itu (shalat dan sabar).374
Sesungguhnya ia sungguh berat atau beban yang akan kamu pikul sungguh
berat kecuali bagi orang-orang yang khusu yaitu orang-orang yang tunduk dan yang
hatinya merasa tenteram dengan berdzikir kepada Allah. Ia juga berarti sabar dan
shalat harus menyatu sebagaimana diisyaratkan oleh penggunaan bentuk tunggal
untuk menuju keduanya (innah - sesungguhnya ia, bukan innahum - -
sesungguhnya keduanya). Ini berarti ketika kita shalat atau bermohon, kita haruslah
bersabar dan ketika menghadapi kesulitanpun harus bersabar, dan kesabaran itu harus
dibarengi dengan Doa kepada-Nya.375
Pada penafsiran ayat ini al-Qurtbi memulainya dengan keterangan; pertama
sabar adalah menahan diri (al habsu fi al lughah) dari sesuatu yang tidak berkenan
dihati; kedua; Allah memerintah hambanya untuk bersabar dalam melaksanakan
ketaatan (al-shabru ala al-Thah) sebagaimana pandangan al-Ghazali (w.505 H)
tentang sabar penulis. Dan apabila seseorang yang telah bersabar tidak melakukan
kemaksiatan maka ia telah bersabar dalam ketaatan. Namun al-Nuhs menambahkan
dengan mengatakan orang yang bersabar atas musibah tidak dikatakan kepadanya
sebagai penyabar (shbirun), namun diakatakan kepadanya bersabar dalam hal ini

374
Lihat Ibnsyr, al-Thrir wa al-Tnwr vol. 1 hal. 474. lihat juga al-Qurtbi (671 H) dalam,
al-Jmiu al-Ahkmi al-Qurn, hal. 252-255.redaksi ayatnya:
5>$|m t/ t_r& t99$# u $y)

375
Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr, vol. 1 hal. 474. Bandingkan dengan penafsiran al- al-
Qurtbi (671 H) dalam, al-Jmiu al-Ahkmi al-Qurn, (Dr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon),
hal. 252-255.
161

(shbirun al kadz), adapun sabar dalam arti yang mutlak seperti tertuang dalam
surah al Zumar [39:10].376
ketiga; penyebutan shalat disini adalah pengkhususan ibadah shalat dari ibadah
yang lain dari segi penekanan/pengulangan, disisi lain ia padu dengan kesabaran-
penulis- dan shalat disini dalam ari tawil menurut al-Qurtbi adalah al-syariyyah,
sebagaimana dalam surah al-anfl [8:45], al-tsabt dalam ayat tersebut adalah sabar,
dan al-dzikr pada ayat tersebut adalah doa. Keempat; sabar dari segala keburukan
(al-adz) dan ketaatan menahan hawa nafsu dari pelbagai ujian dan problematika
hidup, ini merupakan akhlaqpara Nabi dan orang-orang shaleh. Berkata al-Thabari
sesungguhnya iman itu keyakinan dalam hati dan diucapkan oleh lisan dan
diimplementasikan seluruh anggota tubuh, bagi mereka yang belum mampu bersabar
dalam perbuatan dengan segala konsekwensinya,iman mereka belum kokoh (lam
yasthiqq al-mn bi al-ithlq). Sabar dalam melaksanakan syariat-syariat agama
merupakan pancaran sinar pada tubuh (nadhr al-ras min al-jasadi li al-insni) tidak
akan dapat sempurna kecuali dengan penunaian syariat tersebut.377
Sementara khusyu merupakan (sifat) ketenangan hati dan keengganannya
mengarah kepada kedurhakaan (sukn wa inqibdl an tawajjuhi il al-ibyah aw al-
isyn). Yang dimaksud orang yang khusyu dalam ayat ini adalah mereka yang
menekan hawa nafsunya (dzullila nafsuhu wa kasru sratih) dan membiasakan
dirinya menerima dan merasa tenang menghadapi ketentuan Allah (serta selalu
mengharapkan kesudahan yang baik (wa tathlubu husnu al-awqib) (ber-
khusnuzhzhan kepada Allah-penulis-). Ia bukanlah orang yang terpedaya oleh nafsu
(an l taghtarr bim tuzayyinuh al-syahwah), namun senantiasa mempersiapkan
dirinya untuk menerima dan mengamalkan kebajikan.
Orang yang khusu dimaksud oleh ayat adalah mereka yang senantiasa takut
lagi mengarahkan pandangannya kepada kesudahan segala sesuatu sehingga dengan

376
Al-Qurthbi, al-Jmiu al-Ahkmi al-Qurn, hal. 252-255.
377
Al-Qurthbi, al-Jmiu al-Ahkmi al-Qurn, hal. 252-255.
162

mudah ia meminta bantuan sabar yang membutuhkan tekanan gejolak nafsu dan
mudah juga baginya melaksanakan shalat kendati kewajiban ini mengharuskan
disiplin waktu serta kesucian jasmani, padahal boleh jadi ketika itu ia sedang
disibukkan oleh aktifitas (al-isytighl) yang menghasilkan (bim yahw aw bima
yuhashshilu) harta atau kelezatan (mlan aw ladzdzah).378
Urgensitas penafsiran pada perintah shalat dan zakat ini terlihat ketika tujuan-
tujuan ideal dari shalat diterangkan secara mendetail dan rinci oleh Ibn syr,
sebagaimana dia mengklasifikasikan shalat, sabar, dan khusu sebagai pondasi
keimanan dalam meraih kesuksesan duniawi maupun ukhrawi. Intisari penafsiran dari
ayat diatas sebagai berikut ; penekanan atas pentingnya ibadah shalat dan
keutamaannya karena ia merupakan hubungan dialog (shilah wa liq) antara hamba
dan Pencipta (al-Khliq), iringan kesabaran juga merupakan satu kesatuan dengan
shalat yang tidak dapat dipisahkan, khusu adalah dengan membiasakan untuk
mendahulukan kewajiban kepada Allah dan memperbarui niat untuk selalu
mengharap ridha-Nya.379

2) Perintah puasa dan hikmahnya dalam surah al-Baqarah


Setelah dikemukakan panjang lebar pada sub judul pertama tentang al-Sinm
keistimewaan/ (puncak/zahr/terang benderang) surah al-Baqarah, perintah puasa
berikut ini juga terdapat pada surah al-Baqarah [2:183-186],
perintah/ajakan/panggilan mesra ini Kepada setiap orang yang memiliki iman walau
seberat apapun.380

378
lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr vol. 1 hal. 478-
80. Bandingkan al-Qurtbi (671 H) dalam, al-Jmiu al-Ahkmi al-Qurn,(Dr al-kutub al-Ilmiyyah,
Beirut Libanon), hal. 254-5.
379
Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr, vol. 1 hal. 474.
380
Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr, vol. 2, hal. 154-160 bandingkan dengan lihat penafsiran
Quraish Shihb dalam Tafsr al-Mishbh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qurn, ( Lentera Hati, cet-
1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376.
163

Kemudian Ibn syr (w. 1393 H) menjelaskan kewajiban puasa ia


merupakan Ibadah (al-rmiyah) untuk melatih dan menyucikan diri. Redaksi perintah
Diwajibkan atas kamu ini agaknya tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan.
Ini untuk mengisyaratkan apa yang diwajibkan ini sedemikian penting dan
bermanfaat pagi setiap orang/individu bahkan kelompok, yang seandainya bukan
Allah yang mewajibkannya niscaya manusia sendiri yang mewajibkannya, demikian
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbh.381
Para pakar mendefinisikan puasa sebagai menahan diri, sebagaimana maklum
penetapan waktunya, ayat pertama menjelaskan secara global kemudian penjelasan
rinci pada redaksi ayat berikutnya sampai [2:87]. Menahan diri dibutuhkan semua
orang, kaya miskin, muda tua, lelaki perempuan, sehat atau sakit, orang modern atau
primitif masa lalu, bahkan perorangan maupun kelompok, selanjutnya ayat ini
menerangkan bahwa kewajiban yang dibebankan itu adalah, sebagaimana diwajibkan
pula atas umat terdahulu sebelum kamu. Puasa orang-orang muslim berbeda dengan
puasa orang Yahudi dan Nasrani, Budha dalam batasan dan prakteknya tidak sama.
Mereka berpuasa berdasar kewajiban yang ditetapkan oleh tokoh-tokoh agama
mereka, bukan melalui wahyu Ilahi atau petunjuk Nabi.
Pakar-pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang-orang Mesir
kuno pun sebelum mereka mengenal agama samawi-telah mengenal puasa. Dari
mereke preaktek puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga

381
Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr, vol. 2, hal. 154-160 lihat penafsiran Quraish Shihb
dalam Tafsr al-Mishbh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qurn, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz.
1. hal. 375-376. lihat juga Lihat Ismal Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, (al
Ma'had Al-'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 142-146, ditulis bahwa
tujuan-tujuan puasa perspektif Ibn syr ada dua; pertama adalah Nafsn [ruhani] dapat mewujudkan
manfaat dalam berperilaku (al-takhalluq) menahan keinginan-keinginan yang disukai, bersabar atas
kelezatan [makanan] untuk perut dan al-farj, mengingatkan pada keadaan fakir, memantapkan
spiritualitas ruhani diri, menguatkan instink untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah, kedua; Jismn
guna membiasakan dalam penyesuaian manajemen hidup (anzimat al-Masy), mengistirahatkan pola
makan (irhah Jihz al-Hadlm/metabolisme tubuh)guna membangun kesehatan secara optimal.
164

dikenal dalam agama-agama penyembah bintang. Agama Budha, Yahudi, dan kristen
demikian juga.382
Ibn Nadhim dalam karyanya al-Fahrasat menyebutkan bahwa agama
penyembah bintang berpuasa tiga puluh hari dalam setahun, ada pula puasa sunnah
sebanyak 16 hari ada juga yang 27 hari. Puasa mereka sebagai penghormatan kepada
bulan, kepada bintang Mars yang mereka percayai sebagai bintang nasib, dan
demikian juga kepada matahari. Agama Budha dikenal puasa sejak terbit sampai
terbenamnya matahari, dan puasa empat hari dalam sebulan, mereka menamainya
uposatha (hari pertama, sembilan, ke lima belas, dan kedua puluh. Bagi Ibn syr
penafsiran min qablikum sebagaiman umat sebelum kalian (Islam datang) seperti
Yahudi Puasa orang Yahudi 40 hari, dan dikenal beberapa macam puasa sebagai
bentuk penghormatan pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah mereka, seperti
mereka menamai puasa peleburan dosa dengan kabbr, pada hari kesepuluh bulan
ketujuh mereka sebut dengan tisr dll. Demikian juga dengan agama kristen.383
Ibn syr (w. 1973) melihat perbedaannya bukan hanya pada praktek,
terdapat beberapa tujuan-tujuan (aghrdlan) dari perbedaan ini: pertama;
memperhatikan perintah ibadah ini dengan niat sungguh-sungguh (dalam
pelaksanannya/ al-tanwhi bih), yang telah diwajiban Allah sebelum umat muslim
tidak lain karena kemanfaatan dan kemaslahatan, serta ganjaran yang besar, karena
(ganjaran dan kebaikan didalamnya) sehingga menumbuhkan keinginan yang kuat
untuk bertemu/melaksanakan ibadah puasa ini, agar mereka tidak membeda bedakan
dengan umat sebelumnya -karena berbeda jauh-.
Tujuan kedua; kemiripan/kesamaan perintah puasa dengan umat terdahulu
sebagai bentuk peringanan terhadap (tahwnan al) kaum muslimin (al mukallifin)

382
Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr, vol. 2, hal. 154-160 lihat penafsiran Quraish Shihb
dalam Tafsr al-Mishbh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qurn, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz.
1. hal. 375-376.
383
Quraish Shihb dalam Tafsr al-Mishbh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qurn, ( Lentera
Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376. bandingkan dengan Thhir Ibn syr dalam al Thrir wa al
Tnwr vol. 2, hal. 157.
165

pada pelaksanaan perintah ibadah puasa ini. Tujuan yang ketiga; pengaruh yang kuat
atas (kewajiban puasa sebagaimana umat terdahulu) untuk menunaikan perintah
puasa ini dengan optimistis ( dengan doa harapan) (biquwwah tafawwuq),
sebagaimana dilakukan umat terdahulu.384
Penjelasan tentang hikmah dari puasa ini sebagaimana redaksi yang terakhir
pada ayat [2:183], keterangan mafl liajlih pada kalimat , dan kalimat

merupakan bentuk istirah untuk makna ataupun bentuk tamtsliyyah untuk
menggambarkan hikmah dari kehendak Allah atas perintah puasa yaitu menjadi
golongan orang-orang yang bertakwa. Taqwa berarti meninggalkan segala bentuk
kemaksiatan, terdapat dua kategori kemaksiatan yang harus dijauhi dalam perspektif
Ibn Asyur pertama menjauhi hal-hal yang sudah maklum yang menjadikan
ketenangan/jernih dalam berfikir (yanja fi tarkihi al-tafakkur) seperti; minum khamr,
judi, mencuri, ghasb dll. Maka akan bermuara pada hasil yang telah dijanjikan Allah
yaitu menjadi orang yang beruntung-penulis-, dan ancaman bagi mereka yang
melakukan perbuatan tersebut. yang kedua; hal ini tumbuh dalam tabiat/karakter
manusia yaitu tumnbuhnya syahwat nafsu yang menjadikannya marah, syahwat
makan dan yang lain, yang menumbuhkan kekuatan hawa nafsu untuk berbuat
maksiat. Karenanya seorang muslim mumin hendaknya menjaga dan melindungi
dirinya dari kekuatan kadar-kadar hewani ini muncul dengan melakukan puasa

384
Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr, vol. 2, hal. 156-157, bandingkan dengan penafsiran al-
Qurtbi (671 H) dalam, al-Jmiu al-Ahkmi al-Qurn,(Dr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon) juz
2, hal. 183-184. dengan mengutip hadits Qudsi diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah:
























Kemudian ia menjelaskan dikhususkannya ibadah puasa ini karena ia milik Allah walaupun
semua Ibadah dinisbahkan kepada-Nya, terdapat penekanan pada ibadah puasa ini, dari sekian ibadah
yang lainnya. Rahasia tersebut diantaranya; pertama; puasa dapat mencegah dan menahan kelezatan
pada diri beserta syahwatnya, hal ini tidak terdapat pada ibadah yang lain. Kedua; adanya rahasia
antara (hamba dan Tuhannya) dibalik penunaian ibadah ini yang tidak ditampakkan kecuali bagi-Nya.
Karenanya puasa dikhususkan dari sekian ibadah, yang boleh jadi dikerjakannya karena riya dan
dibuat-buat, sekali lagi terdapat pengkhususan ibadah puasa dari yang lain.
166

sebagaimana mestinya, lebih-lebih seperti puasanya Nabi Dawud alaihi al-shalah wa


al-salam.385

Kemudian Ibn syr menekankan dengan mengutip hadits Nabi al-Sawmu


Junnah bahwa target yang hendak idcapai adalah ketakwaan, menurut para pakar
terdahulu dari golongan (al mliyyn dan al-Hukamu al- Isyrqiyyn) hikmah puasa
menurut mereka yakni meminimalisir dengan upaya penyucian dan menghindarkan
dari sifat-sifat Hewani dalam diri semaksimal mungkin (biqadri al-imkn), atas
dasar/dikarenakan dalam diri manusia mempunyai dua kekuatan; pertama ia bersifat
rohani yang melekat (rhniyyah munbatstsah) yaitu perasaan yang meliputi indra
manusia, kedua; Hewani yang juga melekat (hayawniyyah munbatstsah) pada setiap
jasmani/anggota tubuh manusia. Karenanya akibat-akibat yang ditimbulkan
bersumber dari keduanya karena ketidak seimbangan antara ruhani dan jasmani,
untuk mencapai tujuan puasa yang dimaksud hendaknya menyeimbangkan makanan
(al-ghidu). Kalaupun kekuatan ruhani yang dipupuk dengan menyedikitkan
makanan yang masuk, maka sifat-sifat kemalaikatan dalam diri manusia akan muncul
bahkan mencapai pengetahuan marifat (mengetahui hal-hal yang tidak mampu
dicapai oleh nalar).386

385
Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr, vol. 2, hal. 157. bandingkan dengan Quraish Shihb
dalam Tafsr al-Mishbh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qurn, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz.
1. hal. 377. ditulis bahwa kewajiban puasatersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa yakni terhindar
dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi. Jangan diduga ia
diwajibkan kepadamu sepanjang tahun. Tidak! Malainkan hanya beberapa hari tertentu, dan
itupunmasih meliha kondisi kesehatan dan keadaan kalian, karenanya barang siapa diantara kamu
yang sakit yang memberatkan baginya puasa, atau menduga kesehatannya akan terlambat pulih bila
berpuasa atau benar-benar dalam perjalanan bukan perjalanan yang biasa yang mudah, sehingga ia
berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa pada hari-hari yang lain, baik berturut-turut maupun tidak,
sebanyak hari yang ditinggalkan itu.
386
Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr, vol. 2, hal. 159
167

B. Respon akademik terhadap gagasan Maqshid dan penafsiran Ibn syr

Sebelum penulis mengemukakan pandangan dan penilaian terhadap gagasan


Ibn syr, penulis menemukan satu tulisan tentang pengarang al-Tahrr wa al-
Tanwr secara komprehensif, dia adalah Ismal Hasani dengan judul Nadhariyyatu al-
Maqshid ind Muhammad Thhir Ibn syr, dimana ia memaparkan sejarah
hidupnya, rihlah ilmiahnya, mulai dari gagasan pendasaran Ilm Maqshidnya dan
prinsip-prinsip penafsirannya, teman dan keluarganya, serta berbagai problematika
tentang perjalanan hidupnya, selama masa peralihan (al-Istimr il al-Istiqll al-
Siys).387
Ibn syr (1296-1394 H/1879-1973 M) dikelompokkan Abdul Ghoffr
Abdul Rahm dalam Abn madrsh Abduh, disebutkan dalam pandangannya corak
pemikirannya dan penafsirannya sejalan dengan Muhammad Abduh, Ibn Asyr
telah meringkas pendapat dari mufassir klasik dan pandangan pakar tafsir modern
(jamaa fhi khulshah ri al- Sbiqn wa zubdatu afkri al-Musirn) yang
kemudian dituangkannya dalam penafsiran dengan gaya bahasa sastra (uslb adabiy)
dan keindahan susunannya (wa taqsim ala bad). Abdul Ghofar Abdur al-Rahm
(guru besar tafsir di Universitas al-Muluk Jeddah) membagi gagasan Ibn syr
menjadi dua kesimpulan besar; pertama bahwa tujuan-tujuan (aghrduh)
penafsirannya dipusatkan pada titik tolak dari petunjuk agama yang agung (al-
Qurn) sebagai petunjuk, sumber hukum dan sebagai upaya penyucian diri (samm
hdz al-dn m sabaqah wa uluww hadiyyati wa ushl tathhri al-nufs). Kedua;

387
Lihat Ismal Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqshid ind Ibn syr, (al Ma'had Al-
'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 75-82. dikutip dari al-Shahabiy al-
Atq, al-Tafsr wa al-Maqshid ind Syaikh Muhammad Thhir Ibn Asyr (Dr Tnis al-Sanbil,
1410 H/1989 M) cet-1., hal. 11. Lihat juga dan baca lebih lanjut, Ayd Khlid Thabb, Ulamu wa
Mufakkirn Mushirn, lanmahtu min haytihim wa marifatun bimuallaftihim, (Dr al-Qalam,
Damaskus, cet-1, 2005) hal. 7. lihat juga karya Abdul Qdir Muhammad Shlih dalam al-Tafsr wa
al-Mufassirn f al-Ashri al-Hadts, ia mengelompokkan Ibn syr dalam deretan pakar tafsir umum
kontemporer (tafsr al-m), disejajarkan dengan beberapa Mufassir diantaranya Muhammad
Jamaluddin al-Qsim dengan karyanya Mahsin al-Twl, dan shafwatu al-Tafsr karya monumental
Ali al-Shbn.
168

bagian yang menerangkan pokok-pokok syariat agama sebagai pengawal dalam


implementasi kehidupan (liatbihi) dan memperbaiki aturan-aturan masyrakat secara
luas untuk mewujudkan kemaslahatan umum.388
Pandangan Abdul Ghaffr diatas tidak seluruhnya diamini oleh penulis,
terutama pada prinsip-prinsip penafsiran, dan dasar pemikiran antara keduanya
terdapat perbedaan yang signifikan, terlihat pada aplikasi Maqshid al-Qurn pada
ayat-ayat hukum surah al-Baqarah sebelum sub bab ini.389
Iffat Syarqwi menyimpulkan bahwa metode yang digunakan Thhir Ibn
syr dengan karya tafsrnya ia kelompokkan dalam corak penafsiran dengan
nuansa modern,390 dimana Ibn syr berupaya mengkombinasikan tafsir Riwyat391
dan tafsir Diryat,392 cara ini dipakai pakar tafsir sebelumnya seperti; Fakhruddn Al-
Rzi (1209 M/554 H) dalam tafsir al-Kabr,393 Tafsir Jawhr karya Thntwi
Jauhar, Tafsir al-Manr karya Muhammad 'Abduh (w.1905 M) yang ditulis oleh

388
Disebutkan dalam pengelompokannya Musthaf al-Margh, Syaikh Muhammad Syaltt,
Abdullah Darrz, Muhammad Bhi, Syaikh Muhammad Muhamamad al-Madan dll. Lihat Abdul
Ghoffr, Abdurrahm, Al Imam Muhammad 'Abduh wa mnhjuhu f al tafsr, Mesir: Al markaz Al
Arbi li ats tsaqfah wal ulm, 1980, hlm 357. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Abdullh
Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi tafsir al-Qurn al-karim
(Kairo:al Majlis al alli Riyah al funn wal adab wa al- Ulm al Ijtim;iyyah 1963, hal. 33. dan
karyanya yang berjudul ahdf kulli srah wa maqsiduh f al-Qurn al Karm, (Mesir; Haiah al-
Mishriyyah, 1986), hal. 93-94.
389
Lihat prinsip-prinsip penafsiran Ibnsyr dalam al-Thrir wa al-Tnwr vol. 1 hal. 38-41.
dan lihat gagasan Ibn Asyur dalam peletakan dasar ilmu Maqshid al- syarah karyanya berjudul
Maqshid al-syarah al-Islmiyyah, tahqq Thhir al-Maiswi, Dr al-Nafis-Urdun 2001, hal. 90-93.
bandingkan dengan tafsir al-Manr juz.1. hlm 36, lihat foot note ke-14.
390
Iffat Syarqwi, qdhya insniyyah fi ml al-mufassirin, Mesir: maktabah Syabb, 1980
hal 80, lihat juga uraian Ali Iyzi tentang Ibnu syr dalam al mufassirun haytuhum wa
manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an Nasyr wizrah al Islmi, cet-1. hal. 240-246.
391
Tafsir Riwayat atau bi al matsur adalah tafsir yang dikutip dari al Quran, Hadits, atsar
sahabat dan tabiin. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al-Tafsr wa al-Mufassirn, Maktabah
Musab bin Umair al Islmiyah, juz I h.112
392
Tafsir Diryat atau bi al-Ryi adalah tafsir al Qurn yang didasarkan pada ijtihad. Lihat:
Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsr wa al-Mufassirn, juz I h.183.
393
Tafsir maftih al-Ghayb (al-Kabir) karya al-Imam Fakhruddin al-Razi (544 H) tafsir ini
tergolong penafsiran bi al-Ray/diryah/maqul/bi al-ijtihad, tafsir ini mengutamakan penyebutan
hubungan antar surah-surah Al-Qurn dan ayat-ayatnya satu sama lain, dengan membubuhkan
pendapat para filosof, ahli ilmu kalam, sesekali menyimpang ke pembahasan tentang ilmu matematika,
filsafat, biologi dan lainnya. Secara global tafsir ar-Razy lebih pantas untuk dikatakan sebagai
ensiklopedia dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu-ilmu yang berhubungan secara langsung atau tidak
dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yangmenjadi sarana untuk memahaminya (tafsir Ilmi)
169

muridnya Rsyid Ridh (1865-1935), yang ketiganya disinyalir mengembangkan


tafsir ilmi, demikian juga Ibn syr (f istinah bi al-nadhariyyh wa al-kusyft
al-ilmiyyah al-haditsah f tawdhidallah wa mani al-yh) namun urgensi dari
penelitian ilmiah ini memprioritaskan bahwa pengetahuan al-Qurn merupakan
pengantar sebagai kitab hidayah bagi akal kepada ketauhidan dan petunjuk hati
kepada pemantapan Iman.394
Kemudian Ibn syr mengelaborasi sumber penafsirannya dengan metode
Muqrin dan corak filologik (balghiah) penulis melihat bahwa gagasan Ibn syr
berbeda dengan pandangan 'Abduh sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Ghoffr
Abdur Rahm. Tafsir Ibn syr juga memiliki kekhasan dengan menambahkan
penjelasan pada makna-makna mufradat (kata demi kata) dalam surah-surah dan ayat-
ayat Al Qur'n, serta membatasi, meneliti ulang, dan menambahkan/melengkapi dari
yang telah dilakukan sebagian mufassir sebelumnya.395
Ahmad Raisuny dalam disertasinya (1995) Nazhariyyah al-Maqshid ind al-
Imm al-Sytibi menyebutkan bahwa Ibn syr tidak hanya mengelaborasi
gagasan al-Sytibi, (laisa mujarrada taqdm tanbht jaddah wa amtsilati jaddah,
ia juga memberikan terobosan baru bagi disiplin keilmuan tentang Maqshid.
Kemudian gelar Al-Muallim al-Tsni disematkan kepadanya oleh Ahmad al-

394
Komentar Golziher dalam penafsiran 'ilmi bahwa; "Al Qur'n mencakup hal segala hakikat
ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), terutama pada
bidang filsafat dan sosiologi" lihat mazhib al tafsir al Islamiy terj.dalam bahasa arab oleh 'Abd
Mun'im al Najjr, al Sunnah Muhammadiyyah, Kairo, 1955, h. 375. lebih lanjut lihat al-Sytibi dengan
komentarnya tentang tafsir ilmiy, muwafaqt,Dar al Ma'rifah, Beirut t.th. Jilid 2 hal. 80-2. dalam
penafsiran ilmiy Ibnu Taimiyah juga mengomentari tafsir Ar-Rzi dengan mengatakan mengandung
segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri. Kemudian belakangan komentar Ibnu Taimiyyah tersebut
diulangi oleh Manna' Al Qatthan yang dinisbatkan pada karya Thanthwi Jauhari. Lihat dalam
mabhits fi ulm al-Qurn Mann Khalil al-Qaththn (Studi ilmu-ilmu al-Qurn), al-Mansyrat al-
ashr al-hadits) cet. 3, 1973.
395
Ibnsyr, al-Thrir wa al-Tnwr al-rbiah hal. 8-9 Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. .
perbedaan terebut seperti prinsip dan penafsiranya pada ayat-ayat hokum sebagaimana penulis uraikan,
Ibn syur mengeksplorasi dengan teori gradual dan sementara Muhammad Abduh dan Rasyd Rih
menggunakan prinsip-prinsip kaidah yang tidak kurang dari 33 (kaidah) yang dituangkanya sebelum
menafsirkan sinm al-Qurn atau surat al-Baqarah. Lihat foot note. 14.
170

Raisyni, karena gagasannya dipandang menjembatani pengkajian maqshid sebagai


pendasaran ilmu Maqshid al-syarah.396

Ibn syr (w.1973 M) sebagaimana dikatakan oleh Murid Abid al-Jabiri


yaitu abdul Majd al-Shaghr bahwa ia telah mengumumkan (yulinuh) cara pandang
sejarah ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar
ilmu Maqshid al-Syarah yang berbeda dengan kajian ilmu ushul al-syarah
(ushlul fiqh) yang banyak dipengaruhi pendapat al-Syatibi (w.1388 M), gagasan ini
mengelaborasi pandangan al-Sytibi mengenai Maqshid yang selama ini menginduk
pada ilmu ushul fiqh dengan ilmu Maqshid al-Syarah. Ibnu syr melihat bahwa
peneliti yang berkecimpung pada ilmu ini membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih
luas dari sekedar kaidah yang selama ini digunakan pakar ushul (ahwaju il qawid
awsa min qawid ahl ushl fiqh). Mereka yang menggunakan kaidah-kaidah ushul
dalam dalam memberikan solusi kemaslahatan dengan memberikan contoh-contoh
illat kemaslahatan problematika hukum-hukum kemudian dengan menggunakan
metode qiyas untuk mengukur kesamaan (illat), namun tidak memperhatikan esensi
dari kesimpulan hukum-hukum (hikmah al-tasyr) yang memungkinkan
bertumbuhnya problematika (illat-illat) hukumnya berkembang.397
Setelah melihat beberapa respon akademik dan penilaian terhadap gagasan
dan konsep yang dibangun Ibn syur dari konstruksi pemikiran Islam dan tafsirnya,
paling tidak dalam prinsip-prinsip tafsirnya telah dituangkan sebelum menafsirkan
dalam mukaddimah bab IV (fm yahiqqu an yakna gharad al-mufassir) hampir dari

396
Ahmad Al Raisyuni, cet IV th 1995 hal 335-341. bandingkan dengan gagasan yang dibangun
oleh ustadz Alll al-Fsi dalam Maqshid al-syarah al- Islmiyah wa makrimuha, Muassasah
Alll al-Fsi, wa mathbaah al-Najh al- hadtshah (Dr al-Baidh, cet-4) 1411 H/1991 M, hlm 5.
lihat juga al-Mayswi Maqshid al-Syarah al-Islmiyah , hal. 139.
397
Abdul Majd Turk Manzharat f ushl al-Syarah bayna ibn Hazm dan al-Bj, oleh Abdul
al-Shabr Syhin, hal. 361,484 dan 511. lihat Maqshid al-Syarah al-Islmiyah hal. 5-6. lihat juga
tahqq dirsah al-Mysw dalam Maqshid al Syarah al Islmiyah, hal. 96-99. baca juga Abdul
Aziz bin Ali Abd ar-Rahmn bin Ali Ilm Maqshid al-Syri hal. 41-43. lihat juga Ibn syr
dalam ushlu al-Nizhm... hal. 21.
171

setiap bagiannya Ibn syur mengkritik terhadap pemikiran, keyakinan, dan realitas
kemasyarakatan yang menyimpang dari petunjuk Al-Qurn.398

C. Ibn syr dan ortodoksi penafsiran Kontemporer


Sebagaimana tulisan Abdul Ghaffr Abdur Rahm mengelompokkan Ibn
syur dalam Abn Madrasah Abduh, namun setelah penulis menelaah dengan
seksama dari metode, corak, dan aplikasi Maqshid al-Qurn dalam penafsirannya
memiliki perbedaan sebagaimana penulis sampaikan pada bab sebelumnya, namun
penulis juga menguatkan pandangan Abdul Ghaffr disisi lain, penulis mensinyalir
bahwa Muhammad Abduh dan Rsyid Ridh selain pernah menjadi guru Ibn Asyr
mereka [berdua] juga pioner dalam mengenalkan pendekatan metode penafsiran yang
bercorak sosial kemasyarakatan (adab al-Ijtimiy), yang nampaknya dalam tafsir Ibn
syr juga demikian.399
Demikian juga dengan Abdul Qdir Muhammad Shlih dalam al-Tafsr wa
al-Mufassirn f al-Ashri al-Hadts, ia mengelompokkan Ibn syr dalam deretan
pakar tafsir umum kontemporer (tafsr al-m), disejajarkan dengan beberapa
Mufassir diantaranya Muhammad Jamaluddin al-Qsim dengan karyanya Mahsin
al-Twl, dan shafwatu al-Tafsr karya monumentalnya Ali al-Shbn.400

398
Lihat prinsip-prinsip penafsiran Ibnsyr dalam al-Thrir wa al-Tnwr vol. 1 hal. 38-41.
bandingkan dengan prinsip-prinsip Muhammad Rasyd Ridh dalam tafsir al-Manr juz.11. hlm 104.
lihat juga tilisan Mahmud Syahatah, Manhaj al-Imm Muhammad Abduh f Tafsr al-Qurn al-
Karm, (Kairo:al-Majlis al-Al li Riyah al-Funn wa al-adab aw al-Ulm al-Ijtimiyyah, 1963),
hal.45; lihat juga Quraish Shihab, Studi Kritis, hal. 74.
399
Disebutkan dalam pengelompokannya Musthaf al-Margh, Syaikh Muhammad Syaltt,
Abdullah Darrz, Muhammad Bhi, Syaikh Muhammad Muhamamad al-Madan dll. Lihat Abdul
Ghoffr, Abdurrahm, Al Imam Muhammad 'Abduh wa mnhjuhu f al tafsr, Mesir: Al markaz Al
Arbi li ats tsaqfah wal ulm, 1980, hlm 357. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Abdullh
Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imm Muhammad Abduh fi tafsir al-Qurn al-Karm
(Kairo:al Majlis al alli Riyah al funn wal adab wa al- Ulm al Ijtim;iyyah 1963, hal. 33. dan
karyanya yang berjudul ahdf kulli srah wa maqsiduh f al-Qurn al Karm, (Mesir; Haiah al-
Mishriyyah, 1986), hal. 93-94.
400
Lihat lebih lanjut tulisan Abdul Qdir Muhammad Shlih (Muhamad Shalih al-Alsi) dalam
al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-Ashri al-Hadts, (Dr al-Marifah Beirut Libanon), cet-1. 2003 M-
1424 H, hal. 109-152. lihat juga karya al-Fdhil Ibn Asyr dalam al-Tafsr wa rijluhu, (Kairo; Dr
172

Pembahasan terpenting untuk diperhatikan mengenai rigiditas/ortodoksi


adalah bahwa ortodoksi/rigiditas kerap dihubungkan dengan dinamika sosial, politik,
dan budaya pada masa tertentu. Dengan kata lain, sebuah teori, pendekatan, atau
asumsi yang pada suatu masa tidak menjadi bagian dari ortodoksi bisa menjadi
bagian darinya pada masa yang berbeda; begitu pula sebaliknya. Pada masa mihnah
(218-234 H./833-848 M.),401 misalnya, pendapat bahwa al-Qur`n merupakan sesuatu
yang diciptakan (makhlq) dianggap sebagai bagian dari ortodoksi.402 Sementara
pada masa-masa berikutnya, pendapat sebaliknyalah yang dianggap ortodoks.
Demikian pula dengan metode tafsir mawdh. Pada tahun 1967, ketika Muhammad
Mahmd Hijz menulis disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul al-
Wihdah al-Mawdhiyyah f al-Qur`n al-Karm, metode tafsir Mawdh masih
ditolak oleh banyak petinggi Universitas al-Azhar.403 Belakangan, metode ini menjadi
legitimasi ortodoks tafsir Sunni.
Karya Muhammad Husayn al-Dzahab al-Ittijht al-Munharifah f Tafsir al-
Qur`n al-Karim: Dawfiuh wa Dafuh, Analisis terhadap karya ini untuk
menarik garis pembatas antara ortodoksi/rigiditas dengan deviasi dalam tafsir.

al-Salm 2007) hal. 242. ia adalah putra dari Thahir Ibn syur yang meninggal sebelum Ibn Asyur
wafat (1973) yaitu sekitar tahun 1970.
401
Mihnah adalah sebuah prosedur yang digunakan untuk menguji pendirian teologis seseorang
menyangkut persoalan: apakah al-Qur`an diciptakan (makhluq) atau tidak. Prosedur ini diberlakukan
oleh khalifah al-Ma`mn serta dua khalifah lain setelahnya (al-Mutashim dan al-Wtsiq). Untuk detail
yang lebih rinci, lihat M. Hinds, Mihna, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of
Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Pencabutan dekrit mihnah oleh al-
Mutawakkil pada tahun 234 H./848 M., berikut persekusi balasan yang dilakukan kaum tradisionalis
Sunni terhadap kaum rasionalis Muktazilah, kerap dianggap sebagai momentum paling penting bagi
terbentuknya ortodoksi Sunni. Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 253-254. Bandingkan dengan G.H.A. Juynboll,
Sunna, dalam C.E. Bosworth dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Sejak saat itu,
lawan politik dan ideologis terkuat kelompok Sunni praktis tinggal kelompok Syiah. Dan tidak berapa
lama kemudian, apa yang disebut kelompok Sunni, secara sederhana, menjadi identik dengan sebuah
kelompok mayoritas di luar Syiah. Lihat Jonathan P. Berkey, The Formation of Islam: Religion and
Society in the Near East, 600-1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hal. 141.
402
J. R. T. M. Peters, Gods Created Speech: A Study in the Speculative Theology of the Mutazil
Qdh l-Qudht Ab l-Hasan Abd al-Jabbr bn Ahmad al-Hamadn (Leiden: E. J. Brill, 1976), hal.
1-3.
403
Mohamed El-Thhir El-Misawi, The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdui: A
Comparative Historical Analysis dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and
Sunnah: Methodologies of Interpretation, hal. 126-127.
173

Melalui penafsiran-penafsiran yang dianggap menyimpang, kita bisa mengetahui di


mana batas-batas terluar dari ortodoksi sekaligus menilai apakah penyimpangan-
penyimpangan itu telah cukup terliput dalam pemetaan yang telah dilakukan pada
bagian sebelumnya.
Al-Dzahab membagi tafsir menjadi dua: bi al-ma`tsr dan bi al-ra`y.
Penyimpangan dalam tafsir bi al-ma`tsur terjadi akibat kesalahan pada sanadnya.
Sementara itu, sebagian besar penyimpangan dalam tafsr bi al-ra`y terjadi dalam dua
hal berikut. Pertama, penafsir meyakini sesuatu lalu membawa lafaz al-Qur`n untuk
mendukung keyakinannya itu. Dengan kata lain, penyimpangan ini terjadi akibat
perhatian yang terlampau besar kepada makna dengan mengabaikan lafaz. Kedua,
penafsir melakukan interpretasi terhadap al-Qur`n dengan hanya memperhatikan
lafaznya dan mengabaikan konteksnya.404
Dari sini, dapat kita lihat bahwa al-Dzahab mengembalikan sebagian besar
penyimpangan tafsir kepada kegagalan sang penafsir untuk mengapresiasi prinsip
orientasi tekstual (prinsip pertama) dalam tafsir al-Qur`n. Maka ketika al-Sulam (w.
412 H.) menyatakan bahwa perintah uqtul anfusakum dalam surah al-Nis` [4]:
66 bermakna memerangi hawa nafsu,405 al-Dzahab menganggapnya sebagai makna
yang tidak dikehendaki (gayr murdah) oleh teks al-Qur`n.406
Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan di atas, orientasi tekstual itu tidak
sama dengan literalisme. Karena itu, penafsiran kata mubsirah dalam surah al-Isr`
[17]: 59 dengan makna [unta yang] bisa melihat, meski sah secara literal, dianggap
salah oleh al-Dzahab lantaran ia tidak memperhatikan konteks ayat (siyq al-
kalm)konteks yang sepenuhnya digali dari relasi antar bagian teks itu sendiri.
Kata mubsirah dalam ayat tersebut seharusnya dimaknai sebagai bukti yang jelas
tentang kebenaran kenabian.407

404
Al-Dzahabi, Al-Ittijht al-Munharifah, hal. 17-19.
405
Al-Sulami, Haq`iq al-Tafsr (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), hal. 154.
406
Al-Dzahab, Al-Ittijht al-Munharifah, hal. 19.
407
Al-Dzahab, Al-Ittijht al-Munharifah, hal. 22. Bandingkan dengan al-Qurthubi, Al-Jmi
li Ahkm al-Qur`n (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.) vol. 1, hal. 27.
174

Selanjutnya, al-Dzahab menguraikan penyimpangan-penyimpangan tafsir


yang dilakukan oleh tujuh kelompok, yaitu para penutur dongeng dan kisah (al-
akhbriyn wa al-qushsuas), para ahli nahw yang berafiliasi kepada mazhab nahw
tertentu, orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa
Arab, kelompok Muktazilah dan Syiah, kelompok Khawrij dan para sufi, para
pendukung tafsir saintifik (al-tafsir al-ilm), serta para penyokong gerakan
pembaharuan dalam tafsir.
Penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok al-akhbriyyn wa al-qushas
sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa asumsi-asumsi teologis yang terkandung
dalam penafsiran mereka itu bertentangan dengan apa yang dirumuskan dalam teologi
Sunni (bertentangan dengan prinsip ketiga. Maka ketika al-Khzin (w. 741 H.)
mengutip sebuah kisah panjang tentang penderitaan Nabi Ayyb dalam tafsirnya atas
surah al-Anbiy` [21]: 73-74,408 al-Dzahab menyangkal kandungan kisah tersebut
dengan menulis, Al-Qur`n dan hadits (al-naql) telah menyatakan dengan tegas
bahwa para pemimpin pasti memiliki sifat-sifat fisik yang istimewa, yang bisa
melekatkan wibawa pada diri mereka.409
Para penganut mazhab nahw yang fanatik, menurut al-Dzahab, seringkali
mengorbankan riwayat yang sahih demi teori linguistik yang mereka yakini
(bertentangan dengan prinsip pertama). Al-Zamakhsyar (w. 538 H.) dan Ibn
Athiyyah (w. 546 H.), dalam tafsir mereka berdua terhadap surah al-Anm [6]:
137,410 menolak sebuah qir`ah yang mutawtir dengan anggapan bahwa qir`ah

408
Al-Khzin, Lubb al-Ta`wl f Mani al-Tanzl (ttp.: Dr al-Fikr, tt.), vol. 3, hal. 268-273.
409
Untuk mendukung pernyataannya ini, al-Dzahab mengutip surah al-Baqarah [2]: 247,
Dan nabi mereka berkata kepada mereka, Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thlut menjadi
raja kalian. Mereka menjawab, Bagaimana mungkin Thlut memperoleh kerajaan atas kami,
sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang
banyak? [Nabi] menjawab, Allah telah memilihnya [menjadi raja] kalian dan memberikan kelebihan
ilmu dan fisik. Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Allah
Maha luas, Maha Mengetahui. Lihat al-Dzahab, Al-Ittijht al-Munharifah, hal. 35-36.
410
Lafadz ayat tersebut adalah sebagai berikut.
!$2t s9r& Fs% 29$# i 9Wx69 y 9x2u
175

tersebut bertentangan dengan mazhab nahw yang mereka anut.411 Terhadap


kecenderungan tersebut, al-Dzahab menyatakan, Tidaklah layak bagi al-
Zamakhsyar maupun bagi orang lain untuk menjadikan mazhab nahw yang dia anut
sebagai penilai kitbullh. [Sebaliknya], kitbullh adalah sumber yang harus dirujuk
dan dijadikan argumen untuk menghakimi setiap pertentangan yang terjadi di antara
para ahli nahw.412
Diskursus penelitian tafsir yang mengkaji Maqshid sebagai metodenya
dengan tujuan dan maksud menyingkap kehendak al-Syri dibalik makna teks
perspektif Ibn syr (w.1393 H), sejajar dengan pengkajian pendasaran norma-
norma hukum-hukum syariah dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, dalam
pandangan Ibn syr dibagi menjadi dua tingkatan; pertama; Tujuan-tujuan ideal
yang hendak dicapai dalam interaksi sosial kemasyarakatan (Maqshid), dengan
senantiasa melestarikan dan menjaganya serta mengaplikasikannya dalam konteks
kehidupan sekarang dan akan datang. Kedua sebagai aspek perantara (waslah) yang
selalu mengiringi dan mengikuti keadaan dari aspek pertama (Maqshid) diatas.413
Penafsiran dan prinsip-prinsip yang dibangun Ibn syr berupaya
mewujudkan esensi dari problematika kehidupan sosial dengan tujuan-tujuan
idealnya (Maqshid) dengan (waslah) sebagai perantara pada kajian selanjutnya.
Kajian muamalah (tujuan dan segala aspeknya) diatas belum ada yang membahasnya
secara mendalam dan rinci, kecuali yang telah diadopsi, seperti kajian yang pernah
dilakukan oleh Izz al-Dn bin Abd al-Salm dengan kaidah-kaidah-nya, dan
mengelaborasinya dengan kajian al-Qarf. Kemudian Ibn syr menyederhanakan
kajiannya, nampaknya disejajarkan dengan kajian Sadd Dzarah (menutup celah
yang memungkinkan terbukanya pintu kedurhakaan), karena terdapat

411
Al-Zamakhsyar, Al-Kasysyf, vol. 2, hal. 66-67 dan Ibn Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajz f
Tafsir al-Kitab al-Azz (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), vol. 2, hal. 349-350.
412
Al-Dzahab, Al-Ittijht al-Munharifah, hal. 43.
413
Lihat Muhammad Thhir Ibn syr, ushl Nizhm al-Ijtimiy f al-Islam, al-Syirkah al-
Tnsiyyah littawz (Tunis) dan Dr al-Wathaniyah lilkitab (al-Jazir), 1985, hal. 21. lihat juga tahqq
dirsah Muhammad Thhir al-Misw dalam Maqshid al Syarah al Islmiyah, Dr el Nafis-
Urdun, 2001. hal. 413.
176

kemiripan/kesamaan, dan disebut demikian karena pencegahan bahaya sebagai


perantara dan titik awal bertumpunya untuk mencapai tujuan-tujuan ideal yang
dimaksud.414
Bagaimanapun juga Ibnsyr memiliki kekurangan sebagai mufassir disalah
satu sisi, dan tegas dalam artian tidak menolerir misalnya pada mereka yang
mengklasifikasikan ketidakrunutan tata letak surah sebagaimana dituangkannya pada
mukaddimah, salah satu sisi ini ia dapat dikategorikan pada sebuah pandangan yang
rigid, karena Ibn syr tidak mengemukakan alasan-alasannya kenapa hal itu tidak
layak diperbincangkan, disisi lain merupakan kontribusi pada kajian kequranan
dalam wilayah tidak perlu diperdebatkan (tawqifi).415
Pada akhirnya elaborasi metode kontemporer/kontekstual dalam memahami
al-Quran terus berkembang sejalan dengan berkembangya informatika dan
globalisasi, mulai dengan mengklasifikasi tema-tema secara objektif, kemudian
menata, melacak, (waktu maupun tempat) dengan memotret urgensitas asbb al-nuzl
dalam melikat konteks turunnya ayat, (baik keumuman lafadznya maupun
kekhususan sebabnya), penelusuran kemurnian/keaslian arti linguistik, yang
kemudian dikonfirmasikan dengan karya-karya tafsir sebelumnya, sementara faham
sektarian, dan riwayat berbau isriliyyt harus dihindarkan.416

414
Lihat tahqq dirsah Muhammad Thhir al-Misw dalam Maqshid al-Syarah al-
Islmiyah, Dr el Nafis- Urdun, 2001. hal. 413.
415
Ibnsyr al-Thrir wa al-Tnwr, vol. 1, hal. 8. lihat juga uraian Ayd Khlid Thabb, ,
Ulamu wa Mufakkirn Mushirn, lanmahtu min haytihim wa marifatun bimuallaftihim, (Dr
al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) hal. 7
416
Lihat isyah Abd Al-Rahmn Bint al-Sythi, al-Tafsr al-Bayni li al-Qurn al-Karm,
(Kairo, Dr al-Marif , 1968), cet-2, Jld. 1, hal.10. lihat juga Issa J. Boulatta dalam Modern Exegesis:
A Study of Bint Shthis Methods, The Moslem World, vol. 64 (1974), hal. 107. baca juga disertasi
Ahmad Syukri Shaleh dalam, Tafsir al-Qurn Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahmn (GP
Press dengan Sultan Thaha Press 2007) cet-1, hal. 1-7.
177

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Elaborasi Maqshid yang dibangun Ibn syr (1296-


1393H/1879-1973 M) tertuang dalam beberapa karyanya
dinyatakan bahwa keterpautan antara kajian Maqshid al-Syarah
dan Pendasaran ilmu sosial kemasyarakatan Islam yang egaliter
(ushl Nizhm al-Ijtimi f al-Islmi) sangat erat, kajiannya-pun
membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara
kaidah-kaidah yang digunakan pakar ushl fiqh (ahwaju il qawid
awsau min qawid ahl ushl). Berbeda dengan kajian ilm ushl
yang disinyalir pembahasannya tidak kembali pada esensi Hikmah
al-Tasyr, ia hanya berputar-putar pada problematika Istinbath
hukum dari Nash Sharh melalui kaidah-kaidah yang digunakan
pakar (fuqah) untuk beristinbath hukum, bersumber dari cabang-
cabang ataupun sifat-sifat (illat) hukum yang diambil dari Al-
Quran. Hal inilah yang disinyalir penulis mempunyai korelasi dan
keterpautan erat antara konsep Maqshid al-Syariah dengan
prinsip-prinsip penafsirannya [Maqshid al-Ashliyyah].
Secara makro, karakter/cirikhas dasar-dasar penjelasan
fiqhiyyah (yatamayyaz mudhami ushl al-istidlliyyah) bersandar
pada dugaan (al-dzann). Problematika al-Qathiy dan al-dzanny
sebagai dasar [parameter] perbedaan dari argumentasi-
argumentasi (Hujjiyyah), pengaruhnya terefleksi pada kajian fiqh
(alladz inakasa atsaruhu f fiqh). Bertolak dari penjelasan tersebut,
Ulama fikih berupaya mengeliminir perbedaan-perbedaan
(argumentasi) sebagai dasar penegasan kaidah-kaidah/bukti-bukti
178

(al-istidll) pada kerangka reformulasi ilmu ushl (f ithri


amalihim al-Tajdd).
Bagi Ibn syr, pendasaran ilmu Maqshid sebagaimana proyek ilmiah
yang membuka kran/jalan pada orientasi al-syar (Maslik al-tafaqquh) pada
pendasaran tujuan ideal sebagai penyatuan pandangan dan gagasan teoritis para
Fuqah (al-tawhd f al-tashawwurt al-nazhariyyah li al-Fuqah).
Kemudian Ibn syr merumuskan delapan tujuan dasar (al-
Maqshid al-ashliyyah) dari diturunkannya al-Qur`n, yaitu
pertama; memperbaiki dan mengajarkan akidah; kedua;
mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga; menetapkan
hukum-hukum syariat; keempat; menunjukkan jalan kebaikan
kepada umat Islam (siysah al-ummah); kelima; memberikan
pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu;
keenam; menyiapkan umat Islam untuk menerima dan
menyebarkan ajaran-ajaran agamanya; ketujuh; al-Targhb wa al-
Tarhb; kedelapan; membuktikan kebenaran risalah Nabi
Muhammad saw.
Melalui penilaian terhadap prinsip-prinsip tafsir Ibn syur dan gagasan
elaborasi Maqshid-nya dapat diinferensikan, secara lebih spesifik beberapa poin
berikut ini; Pertama, Ibn syr merupakan pioner mufassir kontemporer, karya
tafsirnya bersifat Umum dalam artian karyanya dapat dikelompokkan pada pelbagai
jenis penafsiran klasik dengan resep modern, hal tersebut
tercermin dari segi pembahasannya yang fleksibel. Kajian
penafsirannya secara teoritis berupaya mewujudkan elastisitas
makna, dengan menghindari penafsiran yang rigid hal ini dapat
ditangkap dari asal judul kitab ini [Tahrr mana al-sadd wa Tanwr
al-aql jadd] . Pendasaran dan upaya penafsirannya (disejajarkan
179

sebagaimana membangun tatanan norma-norma sosial/ushl al-


Nizhm al-Ijtimi) guna merealisasikan pencapaian kemaslahatan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan berkemanfaatan secara
berkesinambungan.
Kedua, Ibn Asyr mengingatkan dengan menekankan;
hendaknya tujuan dan maksud seorang mufassir [dalam
penafsirannya] didasari pelbagai disiplin keilmuan mengenai
penafsiran kemudian diaplikasikan; dengan menjelaskan apa yang
mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`n dengan
penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayn), selaras dengan
apa yang dikandung oleh maknanya (yahtamiluh al-man) dan
tidak bertentangan dengan lafaznya (wal ya`bhu al-lafdz).
[Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang dapat
menjelaskan maksud dari Maqshid al-Qur`n, atau segala sesuatu
yang menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya,
atau apa pun yang bisa memerinci dan menjabarkan Maqshid
tersebut.
Ketiga, Maqshid al-Qur`n merujuk kepada [prinsip]
keumuman dakwah serta bahwa ia merupakan mukjizat yang
abadi. Karena itu, al-Qur`n mesti mengandung hal-hal yang bisa
dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa penyebaran ilmu
pengetahuan, relevansi Al-Qurn sebagai kitab petunjuk umat
Manusia (shlih likulli zamn wa makn) semakin kokoh dengan
pelbagai pendekatan dan pemahaman [tafsir]. Kesemuanya itu
guna tercapainya kemaslahatan umat manusia (amra al-Ns
kfatan), sebagai manifestasi ketentraman dan kesejahteraan
hidup yang diperuntukkan mereka [umat Muhammad] sesuai
180

dengan skenario kehendak Allah [terhadap makhluk-Nya],


(Rahmatan lahum litablghihim murdullh minhum).
Pada akhirnya, kajian Maqshid al-Qurn dalam perspektif Ibn
syr, dan perkembangan penelitiannya ini bukan saja
mengedepankan cara kerja akal dan pemenuhan rasionalitas yang
integral, namun dibalik itu juga terbersit ide-ide besarnya untuk
mewujudkan kemurnian penafsiran, dan menghindari mereka
mufassir yang tidak mengetahui tujuan penafsirannya (min al-Inhi
man yufassiru al-Qurn bim yaddah btinan yunf maqshdu
al-Qurn), hematnya, bahwa yang membedakan diantara mereka
(al mufassir) adalah konsep dan prinsip-prinsip yang mendasari
penafsiran (al-Maqshid allat nazala al-Qurn libaynih) untuk
menyingkap tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam
penafsirannya.
Selanjutnya, suatu penafsiran (al-Mufassir) dapat kita
jangkau dan diketahui penjelasannya dari korelasi dengan tujuan
(al-ghyah) inheren dan integrated yang hendak dicapai [mufassir]
dalam penafsirannya tersebut. Dengan kata lain, mengukurnya
melalui prinsip-prinsip penafsirannya (miqdru m awfmin al-
Maqshad wa m tajwazahu). Dari sinilah pembaca dapat
membedakan mereka yang keluar dari koridor prinsip-prinsip dan
tujuan penafsirannya, dan perbedaan dari uraian dan rincian makna
tiap-tiap penafsirannya, yang kemudian mengutarakan kesimpulan
beberapa pendapat Ulama yang menguasai dari pelbagai disiplin
keilmuan.

B. Saran-saran/Implikasi penelitian
181

Kontribusi Ibn syr bagi kajian-kajian ilmu tafsir dan pendasaran ilmu
Maqshid masa depan tidaklah terletak pada persoalan apakah dia ortodoks atau
heterodoks, tetapi pada konsep dan gagasan teoretis yang guna mewujudkan tatanan
disiplin metodologi keilmuan yang integral. Kajiannya mampu mempengaruhi
pandangan dan pemahaman komunal cenderung primitive menjadi terbuka, elastis,
dan liberal dalam artian [tidak alergi pada disiplin keilmuan & aplikasi metode
produk barat], guna mencapai suatu kesimpulan general. Tentunya sejalan dengan
upaya mewujudkan kemaslahatan umum/makro, berkesinambungan pada tatanan
masyarakat madani, egaliter dan berperadaban secara Islami. Apa yang dilakukan
dalam penelitian ini barulah pada tahap elaborasi terhadap beberapa konsep rumusan
teoritis tersebut, dan mulai pada tahap pengembangan dan aplikasi.
Salah satu yang menarik dari gagasan Ibn syr adalah konsepsinya tentang
keharusan mempertimbangkan kemaslahatan, kebebasan (Hurriyyah) dalam aplikasi
teoritisnya. Ia bertitik tolak dari lintas batas yang particular, untuk mewujudkan
makna elastis, tidak sekedar menggunakan kaidah-kaidah pakar [ahl] fiqh namun juga
mengkorelasikannya pada sebuah nilai atau dengan kata lain hikmah al-Tasyr.
Akan sangat berharga apabila dilakukan penelitian tentang bagaimana menafsirkan
sebuah tema dalam al-Qur`an melalui, pertama, pengurutan ayat-ayat tentang tema
tersebut secara kronologis, lalu, kedua, kategorisasi ayat-ayat yang bersifat general
untuk dijadikan dasar bagi penafsiran ayat-ayat lain yang lebih partikular, untuk
kemudian menghasilkan, ketiga, perumusan pandangan al-Qur`an tentang tema yang
bersangkutan melalui sebuah analisa interpretatif yang sistematis. Dengan cara
tersebut, teori Ibn syr tentang tajwaz al-manh al-Tajz dalam memahami
norma-norma hukum syarah dengan susunan yang berbeda-beda, yang kemudian
dapat diaplikasikan, dinilai, serta diuji.
Dapat dilakukan penelitian lain yang lebih aplikatif, empirik dengan model
bentuk kajian atas pengaruh gagasan Ibn syr terhadap penafsiran ayat-ayat hukum
oleh para ilmuwan dan pemikir Indonesia di masa modern. Kajian tersebut menarik,
182

sebab, Indonesia posisinya [sebagai Negara berkembang], dengan masyarakatnya


yang heterogen; mulai agama, ras, suku, gerakan-gerakan dan aliran tertentu
didalamnya terakomodir dibawah naungan Republik. Karenanya, hukum Islam dapat
diterapkan lebih fleksibel, elastis dan liberal (tentunya tidak menafikan prinsip-
prinsip Hikmah Tasyr) melalui konsep ilmu Maqshid al-syarah. Namun perlu
pencermatan dan evaluasi [korelasi] dari pandangan Ibn syr tentang gagasan dan
pemahaman teks al-Qur`an (penafsiran), kemudian diinterpretasikan dan digunakan
dalam konteks gerakan toleransi dan pengembangan keberagamaan di Indonesia.
Mengingat Indonesia mayoritas pemeluknya adalah Islam. Agaknya tidak berlebihan
penulis mengutip pandangan Shabbir Akhtar dalam Qurn and The Secular Mind,
(British Library 2008, hlm. 164). Ia optimis bahwa Indonesia -dengan mayoritas
pemeluk agama Islam terbesar di dunia-, disinyalir satu-satunya Negara dan
penduduknya [diprediksi] mampu berkembang secara proaktif sinergis sejalan dengan
misi dan tujuan-tujuan Syara (Maqshid al-Syarah).
183

DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Salam, al-Imam Izzuddin, Abdullah Yahya al-Kamali "Maqshid al syariah


fi dhu'I fiqh al Muwzanah (Dar Ibn Hazm,cet 1 Beirut-Lebanon)

--------, Qawid al-Ahkm f Mashlih al-anm, (Beirut; Lubnn Dr al-Jl 1980)


Abduh, Muhammad, Rasalah tawhd, (Dar al-Ihya al-ulum) cet.2 1977

Abdur, Rahmn, Abdur Rahm Ibn Abdullah al-Dirwisy, al-Syarial-Sbiqh,


(Huqq al-Thaba mahfdzah li al-Muallif, Riyadh)

Abdurrhim, Abdul Ghaffar, Al-Imm Abduh wa manhajuhu f Tafsr, Mesir: Al


Markaz Al-Arbi li ats tsaqfah wal ulum, 1980

Abu Zayd, Naqd al-Khitb al-Dn (Kairo: Sina li al-Nashr, edisi Pertama, 1992).
Abu Zayd, Nashr Hamid, Mafhm al-nash: Dirsah fi ulm al-Qurn (Beirut: al-
Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, edisi II, 1994)
.
Al-Akk, Khlid Abd al-Rahmn, Usul al-Tafsir wa Qawiduhu, (Beirut: Dar al-
Nafais, cet. 2, 1986)

Ali, al-Shirzi Abu Ishk Ibrahm bin syarh Luma,ed. Abd Majd Turki, (Dr al-
Gharb al-Islami, 1988 vol.I

Al-Alsi, Syihabuddn Sayyid Mahmud, Rh al-Mani wa sab al-Matsni, Idrah


thabah al-munriyyah wa dr al-Turats al-rabiy Beirut Libanon

Al-midiy, Syaifuddn, al-Ihkm f ushl al-ahkm, (Beirut; Dr al-Kutub al-


Ilmiyah 1983)

Al-Anshari, Zakariya, Al-Hudd al Anqah wa al Tarift al Daqqah, Beirut: Dar al


Masyari,1425 H/ 2004 M.

Arkoun, Mohammed, Rethinking Islam Today dalam Mapping Islamic Studies,


[ed] Azim Nanji

Al- Atq, al-Shahabiy, al-Tafsr wa al-Maqshid ind Syaikh Muhammad Thhir Ibn
Asyr (Dr Tnis al-Sanbil, 1410 H/1989 M)

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur`an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2000.
184

Al-Baidhwi dalam, Anwr al-Tanzl wa asrr al-Tawl, (Beirut, Dr al-Kutub al


ilmiyyah 1993/ 1413 H)

Al-Bji, Abu al-Wlid bin khalaf, Ihkm fushl f ahkm al-ushl, Abd Majd
Turki,ed. (Beirut, Dar al-Gharb al-Islami, 1986)

Balbs, L. Torres dan G.S. Colin. Al-Andalus, dalam Bosworth, C.E., dkk. [ed.].
The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Leiden: Brill Academic
Publishers, 2003.

Baltj, Muhammad, Umar Ibn al-Khaththb f al-Tasyr, (Dr al-Salam li al-


Thabaa wa al-Nasyar wa al-Tawz wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H

Al-Banna, Gamal, tafsir al-Qur`n al-Karim baina al-qudama wa almuhadditsin,


(terjemahannya, evolusi tafsir, Qisthi Press 2004 hal 138).

Al-Bashri, Abu al-Husayn. Kitab al-Mutamad fi Ushl al-Fiqh. Damaskus: al-


Mahad al-Ilmi al-Faransi li al-Dirasat al-Arabiyyah, 1964.

Bausani, A. Bab, dalam The Encyclopedia of Islam, WebCD Edition, 2003.

Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of


Muslim Literature from the Formative Period. Richmond: Curzon Press, 2000.

Berkey, Jonathan P. The Formation of Islam: Religion and Society in the Near East,
600-1800. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Al-Biqi, Burhn al-Din Ab al-Hasan Ibrahim ibn Umar. Nazm al-Durar fi Tansub
al-Ayat wa al-Suwar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995.

Boullata, Issa.J. [ed.]. Sayyid Qutbs Literary Appreciation of the Quran, Literary
Structures of Religious Meaning in the Quran. Surrey: Curzon Press, 2000.

--------, Books Reviews: Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural


Interpretation The Muslim World 67 (1977)
--------, Modern Quran Exegesis A study of bint al-Syti method. The presents
Status of Tafsir Studies in The Moslem World, vol. 72, 1982

Al-Bty, Sad Ramadhn, Dhawbit al-Maslahah f Syar'ah Islmiyah (muassasah


Risalah, 1987)

Calder, Norman, Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a
genre, illustrated with reference to the story of Abraham, dalam G.R.
185

Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Quran


(London dan New York: Routledge, 1993)

Calder, Norman, The Limits of Islamic Orthodoxy, dalam Farhad Daftary [ed.].
Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000)

Dahlan, Abdul Aziz (editor) Ensiklopedia hokum Islam (PT. Ichtiar baru van
hoeve cet-7 2006)

Darrz, Abdullah, al-Muwfaqt f Ushl al-Syarah. Beirut: Dar al-Kutub al-


Ilmiyyah, T.th.

Dirrz, Al-Naba` al-Azim: Nazarat Jadidah fi al-Qur`n. Kuwait: Dar al-Qalam, cet.
4, 1977.

Darwaza, Izzat Muhammad, al-Tafsir al-Hadts, Beirut Dr al-Gharb al-Islmi, 2000,


cet-2
Dhaghmin Ziyd Khlil, al-Tafsr al-mawdhi wa manhajiyyah al-bahtsi Fhi
(Ammn:Dr al-Ammr 2007 M)

--------, manhaj Taamul maa al-Qurn fi fikri syeikh Rasyd Ridh,(Universitas


Kuwait, dalam Majalah al-syarah wa dirsat al-Islmiyyah).

Duski. Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syatibi: Suatu Kajian tentang
Konsep al-Istiqr` al-Manaw. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006.

Al-Dzahabi, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassirn, juz I, (T.tp.: Mushab


bin Umar: 2004)

Dzirikli, Khayr al-Din Al-Alam: Qmus Tarjim li Asyhar al-Rijl wa al-Nis` min
al-Arb wa al-Mustaribin wa al-Mustasyriqin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ilm li
al-Malayin, cet. 9, 1990)

Al-Farmawi, Abd Hayy, al Bidyah fi Tafsir al Maudu'I Kairo, al- Haharah al-
arabiah, cet. Ke-2, 1977

Al-Fs, Ustadz Alll, Maqshid Syarah Islmiyyah wa Makrimuh, Maktabah


Wihdah al-Arabiyyah, al-Dr al-Baidh 1963

Fayymi, Ahmad dalam al-Misbah mujam Arab-arabi (Beirut Maktabah Lubnn,


1990
Fierro, Maribel. Al-Shatibi, The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition, 2003.
186

Gtje, Helmut. The Qur'n and Its Exegesis: Selected Texts with Classical and
Modern Muslim Interpretations, terj. Alford T. Welch. Oxford: Oneworld
Publications, 1997.

Al-Gharmawiy, Ahmad, al-Islm f ashr al-ilmiy, Dr al-Kutub al-haditsah al-


Sadah, Kairo, 1978

Ghazali, A. Muqsith. A Methodology of Qur`anic Text Reading, dalam ICIP


Journal, vol. 2, no. 4, Agustus 2005.

Al-Ghazli, Abu Hmid, Al-Mustashf min Ilm al-Ushl, Beirut: Mu`assasah al-
Risalah, 1997.
--------, al-Mankhl min talqt al-Ushl edt. Muhammad Hasan Haytu (Dar al-Fikr
Damaskus, 1980)
--------, Jawhir al-Qurn wa Duraruhu (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988),
cet. Ke-1
--------, Syifu al-Ghall f bayni al-Syibhi wa al-makhl wa maslik al-tall tahqq
Ahmad al-Kubays (Baghdad Mathbaah Irsyd 1971/1390 M)

Al-Ghazli, Muhammad, Nahw Tafsr Mawdhi li Suwar al-Qur`n al-Karim.


Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 3, 1997.

Goldziher, Ignaz. Madzhib al-Tafsir al-Islami, terj. Abd al-Halim al-Najjar. Kairo:
Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1955.

Grunebaum, G.E. von. Idjaz, dalam The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition,
2003.

Gnther, Ursula. Mohammed Arkoun: Towards a radical rethinking of Islamic


thought, dalam Suha Taji-Farouki [ed.]. Modern Muslim Intellectuals and the
Quran. Oxford: Oxford University Press, 2004.

Al-Hafanawi, Muhammad Ibrahim. Dirsat fi al-Qur`n al-Karm Kairo: Dar al-


Hadits, T.th.
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul
al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Hamadah, Farq, Madkhal il ulm al-Qurn wa al-tafsr, Maktabah al-Marif,
Rabat Marroco, 1997
Hammdi Al- 'Ubaidi, Ibn Rusyd wa 'ulm al-Syarah al Islmiyah, (Dar el Fikr al-
'Arabi-Beirut).
Hans Whr, a Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut Maktabah Lubnn, 1980),
cet. Ke-3
Hasan, Muhammad Ali, al-Manr f ulm al-Qurn, Dr al-Arqm, cet-I, amman
187

Hasani, Ismail. Nadzriyyah al Maqshid ind imm Muhammad Thhir Ibn syr,
cet-1 th 1995

Hawwa, Sad, al-Ass f tafsr, (Dr al-Salm li al-Thabah wa al-Nasyar wa al-


tawz) cet.6, 1424 H-2003 M

Hayyn, Ab (w. 745 H) dalam, al-Bahru al-Muhth,(Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, cet-1


2001/1422 H)Hawting, G.R dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to
the Quran (London dan New York: Routledge, 1993)

Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Teraju Jakarta) cet.II 1996

Hijzi, Muhammad Mahmud, al-wahdat al-mawdhiyyah f al-Qurn al-Karm,


(Zaqziq: Dr al-tafsir, 1424 H/ 2004

Ibn syr, (tahqiq) Muhammad Thhir Al-Maiswi, Maqshid al syaria'h Al


Islmiyah, (Dar al Nafais Urdun, cet-2 2001)
--------, Alaisa al-Shubhu Biqarb, (Dar-el Tunisiyah li al-Nasyar dan Dr al-Salm,
cet-1 2006 M/1428).
--------, al-Harakah adabiyyah wa al-Fikriyyah f Tunis, (Kairo; Nasyr Mahad al-
Dirsah al-Arabiah)
--------, Al-Tahrr wa at-Tanwr (Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th).
--------, Ushl Nidhm al-Ijtim, (Dr al-Suhnn li al-Nasyar wa al-Tawz 2006)

Ibn syr, Muhammad al-Fdhil, al-Tafsr wa Rijluhu, (Dr Tnisiyyah li al-


Nasyr)
--------, Tarjum al-alm (Dr Tunisiyyah li al-Nasyr)
--------, Kasyfu al-Mught an al-Man wa al- alfdz al-Wqiah f al-
Muwatha(Syirkah al-Tunisiyyah li al-Tawz, 1976

Ibn Atiyah, Muharrar al-Wajz f al-Tafsr al-Kitb al-Azz, tahqq Abdul al-Salm
Abd al-Syf Muhammad (Beirut, Dr al-Kutub al ilmiyyah 1993/ 1413 H)

Ibn al-Arabi, Ab Bakar, Ahkm al-Qurn, (tahqq Ali Muhammad al-Bajw,


(Beirut; Dr al-Marifah)

Ibn al-Qayyim, Mifth al-Dr al-Sadah wa Mansyrah wilyah al-Ilm wa al-


Idrah, (Mesir, Mathbaah al-Sadah) 1323

Ibn al-Qayyim, Syamsu al-Dn Ab Abdillah Muhammad bin Abi Bakar, Ilm al-
Muawwiqn an Rabb al-lamn, tahqq Abd Rauf Sad, (Maktabah
Kulliyyah al-Azhariyah 1967)
188

Ibn Khaldn , al-Muqaddimah (Beirut; Dr al-Fikr T.th)


Ibn Manzhr (Ab Fadl Jamluddn Muhammad ibn Mukrim) (w. 117 H) Dr Lisn
al-Arab (Beirut:Libanon)

Ibn Rabah, Abdul Azz bin Ali Abd ar-Rahmn Ilm Maqshid al-Syri
(Riyadh, Maktabah Muluk Fahd al-Wathaniyyah atsn al-Nasyr, cet-1 2002 )

Ibn Taimiyyah, al-Fatawa ( al Ribath; Maktabah Marif) 32/324. baca juga al-Qiys
f al Tasyral-Islmi, (Beirut, Libanon,; Dr al-fq al-jaddah) cet-4 1980

Ibn Taimiyyah, Ilm al-Muwaqqin an Rabb al-Alamin, tahqq Muhammad


Muhyiddin abd al-Hamd (Beirut Libanon, Dr al-Fikr, Mahbaah al-
Sadah).

Ibn Taimiyyah, Muwfaqt al-sharh al-Maql li shahh manql, Cairo 1321.

Ibn, Saad, Thabaqt al-Kubr, t.th. jld.5

Ikhwan, Muhammad Nur Kritik Kontemporer Atas Pemikiran Islam: Wacana Baru
Filsafat Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003)

Iyazi, Ali, Al-Mufassirun Haytuhum wa Manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an


Nasyr wizrah al Islmi, cet-1,1373 H.

J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation Leiden,: E.J.Brill 1968

Al-Jbiri, Abid, Nahnu wa al-Turats Qirah Musirah f turtsin al-Falsaf,


(Casablangka:al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1986)
--------, Abid, Bunyh al-Aql al-Arbi: Dirsah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum
al-Marifah fi al-Tsaqfah al-Arbiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7,
2000)
--------, Abid, Muhammad bid al-Jbiri, Wijhh al-Nazr (Beirut: Markaz Dirsat
al-Wihdah al-Arabiyyah, 1994), cet. 4
--------, Abid, Turats wa al-Hadatsah Dirsah wa al-Munqasah (Beirut, Markaz al-
Tsaqaf al-Arabi, 1991)

Jansen, J.J.G, Diskursus Tafsir al-Qurn Modern, Tiara wacana, Yogyakarta, 1997
--------, The Interpretation of the koran in modern Egypt, Leiden,: E.J.Brill 1974)

Johnston, David, A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth


Century Usl al-Fiqh, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni
2004
189

Al-Juwayni Ab al-Mal, al-Burhn f ushl al-fiqh, tahqiq Abd al-Azm al-Dayb,


(Mesir, Dr al-Anshar 1400) cet-2

Kahhalah Umar Ridha, Mujam al-Mu`allifin: Tarjim Musnnifi al-Kutub al-


Arbiyyah, vol. (Beirut: Dar Ihy` al-Turts al-Arbi, 1957)

Kamal, S.A.Abu Kalm Azads Commentary on The Qurn, in The Moslem world,
vol. 49, 1959

Al-Kayln, Abd al-Rahmn Qawid al-Maqshid Inda al-Imm al-Sytibi, al


Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy 1421 H/2000 M

Khlid, ibn Utsman al-Sabt, Qaw id al-Tafsir Jaman wa Dirsatan (Kairo: Dar
Ibn Affan, 1421 H.)

Al-Khlid, Shalh Abd al-Fattah, Al-Tafsir al-Mawd bayna al-Nazariyyah wa al-


Tatbq

Makhluf, Husain, Syajarat al-Nr al-Zakiyyah f thabaqt al-Mlikiyyah, (Beirut:Dr


al-Kitab al-Arabiy, cet, 1, 1349 H

Makhlf, Louis, Munjid fi al-Lughah wa al-Alam (Beirut Dr al-Masyriq, 1986) cet.


Ke-28

Al-Margh, Tafsr al-Marghi, (Syirkah maktabah wa mathbaah musthaf libb al


hilabi wa aulduh Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H

Meftah, Jilani Ben Touhami, Al-Fahm al-Hadatsi li al-Nash al-Qur`n: yata al-
Mrats Namdzajan Tatbqiyyan dalam Buhts Mu`tamar Manhij Tafsir al-
Qur`an al-Karim wa Syarh al-Hadts al-Syarf (Kuala Lumpur: Dept. of
Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006)

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, [Yogyakarta: Rake Sarasin2000] .


Al-Munawwar, Said Agil Husain, Al-Qurn membangun Tradisi Kesalihan Hakiki,
(Ciputat Pers Jakarta, cet-1 2002)

Naim, Abdullah Ahmed versi (terj.) "Dekonstruksi Syariah" (LKis Yogyakarta cet.
IV 2004)

Nasuhi, Hamid, Dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan
Disertasi), Jakarta: CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, ,
2007 M.
190

Al-Qaradhwi, Yusuf, Dirsah f fiqhi Maqshid al syarah baina al Maqshid al


kulliyah wa al nushs al juziyah ( Kairo, Dr al Syurq cet. I 2006 )

--------, Kaifa natamal maa al-Qurn, diterj. Oleh (gema Insani Press. Cet 1 1999)
Al-Qarfi, Syarh tanqh al-fushlf ikhtishri al-Mahsl, (Kairo Mesir; D al-Fikr
Lithabaah wa tawziwa al-nasyr 1973/1393 H) cet-1

Al-Qaththn Mann Khll, mabhits f ulm al-Qurn, Muassasah al-Rislah,


Beirut, 1983

Qutb, Sayyid, F Zill al Qurn, (Dar Ihya al Kutub al Arabiyah, t.th).

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity (University of Chicago Press, 1984)


--------, the Major Themes of The Qurn, Minneapolis: Bibliotheca Islmamica, 1994.

Al-Raisyuni, Ahmad. Nadzriyyah al Maqshid ind imm Al Syatiby, cet IV th 1995

Al-Rzi, Muhammad Fakhruddn, al-Mahsl f ilm ushl al-fiqh, tahqq Tah Jbiri
Faydh Alwni (Mathbat Jmiah al-Imam Muhammad Ibn Sad al
Islmiyyah) cet-1.
--------, Tafsr Maftih al-Ghayb (al-Fakhru al-Rzi) , (maktabah al-tawtsq wa al-
dirst f Dr al-Fikr, cet. 1, 2005)

Ridh, Muhammad, Rasyid, Al-Wahyu al Muhammady, (Mesir: Az zahro li al-Ilam


al-Araby 1988)
--------, Tafsir al Manr, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1420 H/ 1999 M.
--------, Tafsir al-Qurn al-Hakim, (Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1999) cet. 1

Rippin, Andrew, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York;
Routledge; 1995)

SG.Vesey- Fitzgerald, "Nature and Sources of the Shari'a" dalam Law in the middle
East, Khadduri- Liebensny, T.th.

Al-Shabniy, Muhammad Ali, al-Tibyn f ulm al-Qurn, Maktabah al-Ghazli


Damaskus 1401 H

Shadr, Baqr, Ijtihd wa al-tajdd f fiqh al-Islmiy (Beirut: Muassasah al-Dauliyyah


cet.1 1419 H/1999 )
--------, al-Sunan al-Trkhiyyah f al-Qurn (Beirut: Dr al-Taruf li al-Mathbat)

Shlih, Abdul Qdir Muhammad, al-Tafsr wa al-Mufassirn f al-Ashri al-


Hadts,(Beirut; Dral-Marifah, 2003, T.th)
191

Shihab, M. Quraish, Membumikan al Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2006)
--------, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000
--------,Rasionalitas Al Quran, Studi Kritis atas Tafsir al Manar, Jakarta: Lentera
Hati1428 H/ 2007 M.

Sumaih, Imrn Nazzl, al-wahdat al-Trkhiyyah li al-suwar al-Qurnyyah,


(Ammn:Dr al-Qurr 1427 H/2006 M)

Al-Suythi, Jalluddn Abdur Rahmn al-itqn f ulm al-qurn (Beirut; Maktabah


al-Tsaqafiyyah, 1973 )
--------, Bughyah al-Wut f thabaqt al-lughawiyyn wa al-Nuhat, tahqq Ab Fadl
Ibrhm, (Isa al-Bb al-Halab 1384 H cet-1)
--------, Lubb al-Nuql fi asbb al-Nuzl (Dar Tunisiyyah li al-Nasyr Tunis 1981)

Al-Syfi'I, Abu Abdullah Muhammad bin Idris, al-Rislah tahqq Ahmad


Muhammad Sykir, (Kairo, cet-2 1979)
--------, Al-Umm, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariah 1961)

Syahtah, Abdullh Mahmd Bash`ir Dzaw al-Tamyz f Lath`if al-Kitb al-Azz,


Ahdf Kulli Srah wa Maqsiduh f al-Qur`n al-Karm (Kairo: al-Hay`ah
al-Mishriyyah al-mmah li al-Kitb, cet. 3, 1986)
--------, Muqtil ibn Sulayman: Dirsah an al-Mu`allif, Al-Asybah wa al-Nadh`ir
f al-Qur`n al-Karm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al-Ammah li al-Kitab,
cet. 2, 1994)

Syahrr, Muhammad, al Kitab wa al Quran: Qirah Muasirah ( Damaskus: al


ahali li al Tibaah wa al Nasyr wa al Tawzi, 1990)

Syaltt, Mahmud tafsir al-Qurn al-Karm, (Kairo: Dr al Syurq, 1988), cet-11.


--------, al-Islam Aqidah wa al-Syari'ah (Matbaah al-Azhar-Kairo 1951)
--------, min Hadyi al-Qurn (Dar al-Kutub al-arabiy li al-Thabaah wa al-Nasyr)
--------, il al-Qurn al-Karm (Kairo; al-Idarah al-Ammah li al-Tsaqafah al-
Islamiyyah, t.th.)

Syamsuddn, Muhammad Syaikh Mahdi, al-Ijtihd f al-Islam, majalah Ijtihd (Dr


al-Ijtihd Beirut)1411/1990

Al-Syrw, Mutawalli, Tafsir al-Syarwi, (Dr akhbr al-Yaum, Mesir 1991)

Syarifuddn, Amir, Ushl Fiqh, (penerbit Logos, cet-1 1997)

Syarqwi, Ahmad Muhammad, al-wahdat al-mawdhiyyah li al-Qurn al-Karm,


192

Syarqwi, Iffat, Qdhy Insniyyah fi amal al mufassirin, mesir: maktabah Syabb,


1980

Al-Sytib, Ab Ishk, al-Itishm tahqq Muhammad Rasyd Ridh.


--------, al-Muw^afaqt f ushl al-Syarah, dhabt wa talq Abdullh Darrz, (Beirut;
Dr al-Marifah t.th)

Al-Syirbashi Ahmad, Qisshah al-Tafsr, (Qisshah Tafsir, (Kairo: Dr al-Kalam,


1962)

Al-Thabar, Ab Jafar Muhammad ibn Jarr Jmi al-Bayn an tawl ayy al-
Qurn, tahqiq Ahmad Mahmd Muhammad asyakir (Dr al-Maarif, Mesir)

Thabb, Ayd Khlid, Ulamu wa Mufakkirn Mushirn, lanmahtu min


haytihim wa marifatun bimuallaftihim, (Dr al-Qalam, Damaskus, cet-1,
2005)

Al-Thahw, Musykil Atsar, jld. 3, hlm. 186. lihat juga komentar Fuat Sezgin dalam
Trikh Turats Arabiy

Thanthwi, Muhammad Sayyid, al-Tafsr al-Wasth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1


Januari 1997)

Al-Tirmidz, bu Abdullah al-Hakim, as-Shalh wa Maqshidih, tahqq Husni


Nasrun Zaidan, Dr el Kitb al-Arabiy Mesir, 1965.

Turkiy, Abdul Majid, Mandharat f ushl al-Syarah bayna ibn Hazm dan al-Bj,
(Beirut Dr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994)

Ubaidi, Hammd dalam Ibnu Rusyd wa al-ulm al-syarah al-Islmiyah,( Dar-el


Fikr al-Arabiy, 1991)
Ursula Gnther, Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic
thought, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the
Quran (Oxford: Oxford University Press, 2004)

Ushama, Thameem, Metodologies the Quranic Exegesis, terj. Hasan Bashri dan
Amroeni, Riora Cipta, Jakarta, 2000

Wafiq, Sonia, Manhaj al-Tafsir al-Mawdhi wa al-Hjah ilayh, Buhts Mu`tamar


Manhij Tafsr al-Qur`n al-Karm wa Syarh al-Hadts al-Syarf

Al-Wjidi, Muhammad Farid, al-Mushaf al-Mufassar (Kairo: Mathbi Dr al-Syab,


1977), hal. 95.
193

Watt, W. Montgomery, Bells introduction to the Qurn, (Edinburgh University


Press, Edinburgh, 1977)

Yunus Mahmud, Kamus Arab- Indonesia (Jakarta:Hidakarya, 1990)

Yusuf Hamid Al-Alim, Al-Maqshid al-mmah li al-syariah Islmiyah, (Darul


Hadits, Cairo)

Zafzaf, Muhammad, al-Tarf bi al-Qurn wa al-hadits, Maktabah al-Falkh, Kuwait


1984

Al-Zamakhsari al-Kasysyf, (Dr al-Kotob al-Ilmiyyah, 1995-1415 H)

Al-Zarkasyi, Imam Abdullah, al-burhn f ulm al-Qurn , (Mesir, Dr al- Ihy al-
kutub al-arabiy), 1957

Zarqni Al-, Muhammad Abdu al-Adhm Manhil al-Irfn f ulm al-Qurn,


(Kairo:Dr al-Hadits, 2001)

Al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsr al-Munr f al-Aqdah wa al-Syarah wa al-Manhaj,


(Dr al-Fikr Musir, Beirut Libanon)

http://www.saaid.net/bahoth/65.zip
http://www.hadielislam.net
http://www.tafseer.com
http://www.waqfeya.com
http://www.dar el-nafaes.com
194

You might also like