You are on page 1of 14

Policy Brief

PERNIKAHAN DINI
PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH DAN PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

Aminullah, MM., Tubagus Adi Satria, ME; Ristya Murti, MAPS; Fajar Ajie Setiawan, M.Si.
Kelompok Kerja Sosial Ekonomi Direktorat Analisis Dampak Kependudukan BKKBN
Tahun 2012

Abstrak

Dampak dari fenomena pernikahan dini sangat terkait erat dengan kondisi ekonomi keluarga
dan berdampak pada kemiskinan perempuan yang mengalaminya. Penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran komprehensif sejauh mana dampak sosial ekonomi kependudukan yang
terjadi di daerah terkait dengan fenomena pernikahan usia dini dan sejauh mana peran pengambil
kebijakan dalam mencegahnya. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk memperoleh gambaran
kebijakan yang ada saat ini dan masukan rekomendasi kebijakan yang akurat terkait dengan upaya
pengendalian usia pernikahan di Indonesia. Data diperoleh secara cross sectional di 4 Provinsi yang
mengalami tingkat pernikahan tinggi berdasarkan data Riskesdas 2010 (Kalimantan Selatan, Bangka
Belitung, Sulawesi Tengah dan Jawa Barat). Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan
pendekatan eksploratif. Berdasarkan hasil kajian, akar masalah utama pernikahan dini di beberapa
Provinsi di Indonesia pada umumnya adalah disebabkan beberapa dimensi antara lain: modernisasi,
pendidikan, tekanan ekonomi maupun sosial budaya. Dari sisi peran kelembagaan dapat disimpulkan
bahwa peran lembaga adat dan agama sangat strategis sebagai alat kontrol sosial dalam
pengendalian pernikahan dini. Selain itu disimpulkan bahwa Lemahnya Koordinasi antar sektor dan
lemahnya perencanaan kebijakan Pemerintah dalam pengendalian pernikahan dini menjadi salah
satu simpul yang harus ditangani.

PENDAHULUAN

Berdasarkan data UNDESA (2011)1 Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia
muda tinggi di dunia (ranking 37). Posisi ini merupakan yang tertinggi kedua di ASEAN setelah
Kamboja. Pada kenyataannya menurut data Riskesdas (2010)2, perempuan muda di Indonesia
dengan interval usia 10-14 tahun yang telah menikah terdapat sebanyak 0.2 persen atau lebih dari
22.000 wanita muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah sebelum usia 15 tahun. Pada
interval usia yang lebih tinggi, perempuan muda berusia 15-19 yang telah menikah memiliki angka
11,7% jauh lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun sejumlah 1,6
%. Secara statistik konsentrasi tingkat nikah muda secara tinggi terjadi terutama dikawasan
Kalimantan (Kalteng, Kaltim, Kalsel) Jawa (Banten, Jabar, Jatim) serta Bangka Belitung dan Sulawesi
Tengah. Berdasarkan data Riskesdas 2010, Provinsi dengan persentase perkawinan dini (<15 th)
tertinggi adalah Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan Timur
dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen dan Banten 6,5 Persen. Sementara Provinsi
dengan persentase perkawinan dini untuk interval 15-19 tahun tertinggi adalah Provinsi
Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Selatan (48,4%), Bangka
Belitung (47,9%) dan Sulawesi Tengah (46,3%).

1
United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, Population Facts - 2011/1
2
Balitbang Kesehatan Kemkes RI, Riset Kesehatan Dasar, Kementerian Kesehatan 2011
Gbr. 1. Persentase Perempuan usia 10-59 tahun menurut umur perkawinan pertama,
Riskesdas 2010

Secara nasional pengendalian terhadap tingkat pernikahan dini menjadi krusial karena
keseluruhan penyebab dan akibatnya sangat memiliki keterkaitan dengan pencapaian MDGs antara
lain Goal 1. Eradicating poverty and hunger, Goal 2. Achieving universal primary education, Goal 3.
Promoting gender equality, Goal 4. Protecting childrens lives serta Goal 5&6. Improving Health.3 Pada
dasarnya landasan hukum untuk mengentaskan pernikahan dini ditingkat global telah diatur dalam
berbagai konvensi internasional antara lain Universal Declaration of Human Rights, Supplementary
Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to
Slavery, Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of
Marriages, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), hingga Convention on the Rights
of the Child (CRC).

Begitu pula di tingkat nasional landasan hukum sebenarnya sudah diatur dalam UU Perkawinan
nomor 1 / 1974, UU Perlindungan Anak no 23/2002, UU KDRT no 23/2004 serta UU HAM. Pada
kenyataannya, Indonesia masih belum dapat melindungi hal tersebut. Hingga saatini Indonesia
belum mengatur usia legal minimum menikah adalah 18 tahun ke atas padahal hingga tahun 2010
sudah terdapat 158 negara dengan usia legal minimum menikah adalah 18 tahun ke atas. Atas
dasar itu tersebut diatas maka pernikahan usia dini di Indonesia masih memiliki peluang untuk
tetap terjadi mengingat faktor legalitas yang belum diformulasikan secara penuh dan faktor kultur
kelembagaan dan karakteristik yang berbeda di masing-masing wilayah sehingga mendorong
terciptanya pernikahan dini. Akibat dari pernikahan dini ini sendiri sangat terkait erat dengan
pemiskinan perempuan yang mengalaminya. Mereka setelah menikah cenderung mengalami drop
out dari sekolah dan memperoleh tingkat pendidikan yang rendah, status sosial yang menurun atau
subordinasi dalam keluarga, hilangnya hak kesehatan reproduksi, tingginya peluang kematian ibu
akibat melahirkan di usia muda hingga kekerasan dalam rumah tangga (Erica Field, 2004).

Atas dasar latar belakang permasalahan diatas maka perlu dilakukan kajian dilapangan terhadap
penyebab dan dampak pernikahan usia dini terutama dari sisi sosial ekonomi kependudukan di
masing-masing daerah dengan judul Pernikahan Dini pada Beberapa Provinsi di Indonesia: Akar
Masalah dan Peran Kelembagaan di Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
komprehensif sejauh mana dampak sosial ekonomi kependudukan yang terjadi di daerah terkait
dengan fenomena pernikahan usia dini dan sejauh mana peran pengambil keputusan dalam
mencegahnya. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk memperoleh gambaran kebijakan yang

3
UNICEF, Child Marriage in Child Protection information Sheet, The Unicef, (2006)
ada saat ini dan masukan rekomendasi kebijakan yang akurat terkait dengan upaya pengendalian
usia pernikahan di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan eksploratif dengan melakukan


pengumpulan data primer berupa In-depth interview dan Focus Group Discussion serta
menggunakan beberapa pendekatan dalam metodologi case study interpretif (memahami fenomena
melalui pemaknaan dari orang-orang yang terlibat didalamnya) dan metodologi grounded theory
(membangun kesimpulan secara induktif berdasarkan data yang diperoleh untuk menjelaskan
suatu fenomena sosial). Selain itu dilakukan desk study untuk memperoleh data sekunder yang
disusun berupa deskripsi statistik dan analisis data literatur untuk kemudian dianalisis secara
kualitatif dengan menggunakan data lapangan.

Data diperoleh secara cross sectional di 4 Provinsi yang mengalami tingkat pernikahan tinggi
berdasarkan data Riskesdas 2010 antara lain Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Sulawesi
Tengah dan Jawa Barat. Studi dilakukan pada Keluarga dan Pengambil Kebijakan setempat. Selain
itu pemilihan lokasi dilakukan sebab Keempat Provinsi terpilih memiliki kecenderungan
overpopulated diatas laju pertumbuhan penduduk nasional (1,49%) dimana keempat provinsi
tersebut antara lain: Kalimantan Selatan (1,98%), Bangka Belitung (3,14) Sulawesi Tengah (1,94%)
dan Jawa Barat (1,89%). Selain itu secara lebih mendalam akan dilakukan studi pada satu
kabupaten setempat di masing masing Provinsi yang cenderung padat penduduk (overpopulated).
Antara lain Kab. Banjar (Kalsel), Kab. Bangka Selatan (Bangka Belitung), Kab Donggala (Sulteng)
dan Kab. Cianjur (Jabar).

PENYEBAB PERNIKAHAN DINI

Periode remaja adalah sebuah periode persiapan menuju dewasa, salah satunya adalah
persiapan psikis terkait dengan pernikahan dan pembentukan keluarga (Hurlock, 1999). Periode
remaja ini kemudian menjadi periode penting di dalam pertumbuhan manusia mengingat
banyaknya proses, baik fisik maupun psikis, yang terjadi di dalamnya. Proses pertumbuhan ini
dapat terganggun oleh beberapa hal, salah satunya adalah pernikahan dini (early marriage).
Pernikahan adalah kemitraan yang mengikat yang disahkan oleh hukum antara dua orang dewasa
tanpa adanya paksaan.4 Terjadinya pernikahan di dalam periode remaja ini dapat mengganggu
beberapa proses pertumbuhan seperti dapat terganggunya proses pendewasaan diri dan belum
matangnya fisik pihak yang melakukan pernikahan, terutama bagi perempuan muda. Pernikahan
dini kemudian dinilai sebagai isu penting yang harus memiliki batasan yang jelas, tidak saja di
dalam skala nasional tetapi juga di dunia internasional.5 Hal ini dikarenakan pernikahan dini
seringkali berujung pada kerugian baik dari segi kesehatan maupun perkembangan bagi pihak
wanita, dan juga isu ini menjadi sebuah isu pelanggaran HAM yang paling terabaikan secara luas.6

4
Plan-Uk, Early and Forced Marriage facts, figures, and what you can do, diakses melalui http://www.plan-
uk.org/early-and-forced-marriage/ pada 28 Mei 2012.
5
Berbagai konvensi internasional telah dilangsungkan terkait dengan isu pernikahan dini dan hak asasi anak dan
wanita seperti Convention on the Elimination on All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tahun 1979.
6
IPPF, Ending Child Marriage: A Guide for Global Policy Action, International Planned Parenthood Federation and
the Forum on Marriage and the Rights of Women and Girls, 2006.
Gbr. 3. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian Choe, Thapa, dan Achmad (2001)7 terungkap bahwa pernikahan sebelum
usia 18 tahun pada umumnya terjadi pada wanita Indonesia terutama dikawasan pedesaan. Hal ini
dapat disebabkan oleh pendidikan yang rendah, menurut Choe, Thapa, dan Achmad (2001)8
pendidikan perempuan yang lebih tinggi terkait erat dengan usia pernikahan remaja yang lebih
lambat. Gap akses kesempatan baik dari sisi kesejahteraan maupun kesetaraan mempengaruhi
posisi perempuan dalam pengambilan keputusan dalam pernikahan usia dini. Berdasarkan
penelitian Jones dan Gubhaju (2008)9 dalam beberapa dasawarsa terakhir perubahan dalam tren
usia pernikahan lebih banyak terjadi di kawasan urban di beberapa provinsi yang semakin
memperlebar perbedaan antara kawasan perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

Selain itu pernikahan usia dini dapat pula disebabkan kultur yang masih sangat permisif mengatur
perkawinan sejak dini terutama bagi perempuan. Menurut penelitian Jones & Gubhaju (2008)10,
pernikahan dini di Indonesia secara frekuen merefleksikan pernikahan yang telah diatur atau
karena kehamilan di luar nikah. Pada pernikahan yang diatur ini perempuan selalu menjadi
pihak yang menikah dengan usia muda. Hal ini menunjukkan relasi gender secara asimetris sangat
terjadi pada perempuan usia muda dalam isu pernikahan dini. Berdasarkan beberapa variasi studi
kasus yang ditelaah oleh Vidhyandika Moeljarto (1997)11 menggambarkan bahwa relasi gender
yang asimetris amat dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi dan budaya.

Isu kemiskinan dan pendidikan yang rendah juga selalu menjadi salah satu penyebab diskriminasi
gender pada perempuan termasuk dalam isu pernikahan usia dini. Penelitian Klasen dan Wink
(2002)12 menunjukkan dimana wilayah dengan pendidikan dan kesejahteraan yang meningkat

7
Choe, Thapa, dan Achmad, Early Marriage and Childbearing in Indonesia and Nepal in East-West Center
Working Papers: Population Series No. 108-15, November 2001. East West Center (2001)
8
Ibid.
9
Jones & Gubhaju, Trends in Age at Marriage in Provinces of Indonesia, in Asia Research Institute Working Paper
no 105: 2008, Asia Research Institute NUS - Singapore (2008)
10
Ibid.
11
Moeljarto, Vidhyandika Gender dan Kemiskinan : menelaah posisi perempuan dalam pembangunan
pertanian, dalam Analisa CSIS XXVI (4) 1997: 372-385. (1997)
12
Klasen, S., Wink, C. A Turning Point in Gender Bias in Mortality? An Update on the Number of Missing Women
in Population and Development Review 28 (2) : 285-312 (June 2002).
mengalami penurunan dalam bias gender dan wilayah dengan pendidikan dan kesejahteraan yang
buruk menyebabkan bias gender tidak berubah bahkan memburuk.

PERNIKAHAN DINI, MODERNISASI DAN KEMISKINAN PADA KELUARGA

Jones & Gubhaju (2008)13 dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pernikahan dini di
Indonesia secara frekuen merefleksikan pernikahan yang telah diatur. Hal ini menunjukkan peran
keluarga sangat erat terkait dengan pernikahan dini khususnya dalam hal ekonomi. Lupin Rahman
dan Rao (2004)14 mengungkap bahwa keuntungan dari bias pertumbuhan ekonomi terhadap pria
memberikan dampak yang negatif bagi peran perempuan dalam pengambilan keputusan keluarga.
Mereka juga mengungkap bahwa terdapat bukti bahwa kekayaan rumahtangga sebenarnya
mengurangi peran perempuan dalam pengambilan keputusan rumahtangga.

Lalu bagaimanakah dampaknya terhadap kualitas keluarga pada pernikahan dini?


Vidhyandika Moeljarto (1997)15 mengungkap bahwa pengaruh hubungan gender yang asimetris
menyebabkan kurangnya akses wanita terhadap bermacam hal seperti pangan, kesehatan,
pendidikan dan skill yang dapat mendukung mereka agar dapat produktif. Kurangnya akses
tersebut secara langsung berakibat pada kemiskinan. Dengan dasar acuan Todaro, ia menjelaskan
bahwa bila wanita miskin, maka anak menjadi satu-satunya sumber yang dapat dikontrol untuk
mengurangi beban pekerjaan mereka. Hal itu berakibat lepasnya pendidikan dan kemiskinan
semakin menjadi.
Di negara dunia ketiga pada umumnya, menurut Ester Boserup (1990)16 keluarga di
pedesaan disusun dalam suatu autocratic age-sex hierarchies. Keluarga yang lebih muda harus
menunjukkan kepatuhan terhadap pihak yang lebih tua, dan pihak yang tertua merupakan
pengambil keputusan dalam keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan dapat
mengatur tenaga kerja dari anggota keluarga yang lebih muda dari jenis kelamin yang sama sesuai
dengan kebiasaan pembagian kerja pada umumnya apalagi pada pasangan perempuan yang
berusia dini. Hal tersebut diatas menggambarkan bahwa ekonomi berpengaruh besar dalam
pengambilan keputusan di keluarga.
Kebutuhan konsumsi keluarga yang makin tinggi mendorong keinginan untuk
meningkatkan daya beli sekaligus mengurangi beban tekanan ekonomi pada keluarga. Hal ini
menjadi tuntutan seiring dengan faktor arus modernisasi dan informasi yang masuk dengan cepat
hingga ke pedesaan. Hal ini pun mendorong arus konsumsi terjadi lebih cepat di pedesaan. Alvin
Toffler17 menyebut keadaan ini sebagai decision stress, keadaan dimana individu yang terjebak
dalam lingkungan yang yang berubah secara lambat dan tiba-tiba harus beradaptasi dalam
lingkungan baru yang menuntut perubahan secara cepat dan kompleks sehingga mereka

13
Jones & Gubhaju (2008), Trends in Age at Marriage in Provinces of Indonesia, Asia Research Institute Working
Paper no 105
14
Rahman, Lupin, Rao, V. (2004), The Determinants of Gender Equity in India: Examining Dyson and Moores
Thesis with New Data in Population and Development Review 30 (2) : 239-268 (June 2004).
15
Moeljarto, Vidhyandika (1997), Gender dan Kemiskinan : menelaah posisi perempuan dalam
pembangunan pertanian, dalam Analisa CSIS XXVI (4) : 372-385.

16
Boserup, Ester (1990), Population, the Status of Women, and Rural Development in McNicoll, G. and Mead
Cain (1990), Rural Development and Population: Institutions and Policy, New York: Oxford University Press.

17
Toffler, Alvin, (1971), Future Shock, Bantam Books, New York . Hal. 355.
mengalami future shock. Yang harus diwaspadai dalam isu pernikahan dini adalah ketika adalah
keluarga terjebak menjadi korban future shock. Menurut Toffler18 respon yang paling umum
dilakukan masyarakat terhadap perubahan sosial seperti ini adalah strategi reversionis, dimana
para korban terobsesi untuk mengulang rutinitas atau kebiasaan yang sudah pernah sukses
beradaptasi atau sukses dilakukan sebelumnya tetapi sebenarnya tidak relevan dan tidak cocok
dilakukan pada keadaan saat ini. Kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga secara
cepat termasuk dalam memenuhi keinginan memiliki daya beli yang tinggi atau mengurangi beban
ekonominya, mendorong pengambilan keputusan, kepala keluarga untuk segera menikahkan
anaknya, padahal itu belum tentu solusi yang tepat.

STUDI KASUS PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA

Untuk memberikan gambaran fenomena pernikahan dini secara lebih komprehensif maka
perlu ditinjau kondisi di beberapa daerah dengan tingkat pernikahan dini yang cenderung tinggi.
Sebagai gambaran, untuk memberikan gambaran yang berbeda maka diambil studi kasus pada tiga
provinsi di wilayah geografis di luar Jawa yakni Kalimantan Selatan, Bangka-Belitung dan Sulawesi
Tengah dan sebagai pembanding dilakukan pula studi di Provinsi Jawa Barat untuk mewakili
wilayah Jawa. Secara umum dapat diuraikan sebagai berikut:

Akar Masalah Utama

Akar Masalah Kalsel Bangka Sulteng Jabar


(Banjar) (Bangka Selatan) (Donggala) (Cianjur)
Modernisasi Ya Ya Ya Ya
Pendidikan Ya Ya Ya Ya
Tekanan Ekonomi Tidak Ya Ya Ya
Sosial Budaya Ya Tidak Ya Ya

Berdasarkan uraian tersebut maka akar masalah utama pernikahan dini di beberapa Provinsi
di Indonesia pada umumnya adalah disebabkan beberapa dimensi antara lain: modernisasi,
pendidikan, tekanan ekonomi maupun sosial budaya. Secara rinci dapat digambarkan sebagai
berikut:

I. Gejala Modernisasi dan Perubahan Perilaku masyarakat.

Jika dibandingkan pada dasarnya keempat Provinsi memiliki kesamaan latar masalah yang
dihadapi dalam mengatasi pernikahan dini yakni isu modernisasi. Fenomena modernisasi ini telah
semakin meluas dan berdampak pada perubahan perilaku penduduk di seluruh Provinsi yang dikaji
dan mendorong kebiasaan hidup konsumtif khususnya dalam satu dasawarsa terahir. Dorongan
globalisasi, teknologi informasi maupun otonomi daerah yang begitu pesat dapat dijadikan salah
satu penyebab timbulnya fenomena modernisasi hingga di daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya
culture shock pada masyarakat, Peningkatan kesejahteraan akibat pertumbuhan ekonomi tidak
dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup secara jangka panjang melainkan gaya hidup yang
lebih menjadi pusat perhatian masyarakat. Hal ini sangat kentara terjadi di seluruh Provinsi yang
diamati khususnya di Kalimantan Selatan dan Bangka-Belitung yang mengalami booming
perekonomian paling pesat akibat pertambangan.

18
Ibid Hal. 359.
Arus modernisasi dalam masyarakat ditunjukkan oleh pola konsumsi dan pola pemakaian jasa
anggota masyarakat secara tinggi, salah satunya oleh pemanfaatan jasa arus informasi yang masuk
dengan sangat pesat. Fenomena modernisasi telah semakin meluas dan berdampak pada
perubahan perilaku penduduk di seluruh Provinsi yang dikaji dan mendorong kebiasaan hidup
yang semakin konsumtif. Dorongan globalisasi informasi maupun otonomi daerah yang begitu
pesat dapat dijadikan salah satu penyebab timbulnya fenomena modernisasi secara cepat.

Hal ini sangat jelas terlihat pada Provinsi Bangka Belitung khususnya di Bangka Selatan. Latar
belakang masalah pernikahan dini di wilayah Bangka Selatan pada umumnya banyak terjadi di
pedesaan dan lebih karena faktor modernisasi. Jika dahulu budaya merupakan penyebab terjadinya
pernikahan dini, saat ini justru faktor modernitas yang menjadi akar utama dan kontrol sosial
justru melemah karena budaya setempat yang cenderung sangat cair terhadap nilai-nilai baru.
Selain itu meningkatnya aktivitas pertambangan timah inkonvensional (tambang TI) di Bangka
Selatan semakin mendorong daya beli generasi muda dalam jangka pendek dan berdampak pada
sikap konsumtif mereka.

II. Rendahnya minat masyarakat atas pendidikan.

Pada dasarnya keempat Provinsi memiliki kesamaan latar masalah dalam mengatasi pernikahan
dini yakni tingkat pendidikan dan minat bersekolah yang rendah. Peningkatan kesejahteraan akibat
pertumbuhan ekonomi yang terjadi serta arus modernisasi di beberapa Provinsi yang diamati tidak
dibarengi dengan minat masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, hal ini tampak
pada pelaku pernikahan dini yang keluar sekolah justru masih di usia SMP. Pendidikan seringkali
dikaitkan dengan pernikahan dini karena anak yang putus sekolah cenderung lebih rentan untuk
dinikahkan melalui kawin siri untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.

Pendidikan pada kenyataannya belum menjadi prioritas perbaikan kesejahteraan penduduk. Disisi
lain peningkatan kebutuhan konsumsi yang semakin tinggi malah mendorong tekanan ekonomi
yang semakin meningkat pada keluarga. Hal ini menyebabkan keluarga baik orang tua maupun
anak lebih memilih bekerja untuk memperoleh pendapatan dan memenuhi kebutuhannya ataupun
menikahkan segera anak untuk mengurangi beban keluarga ketimbang berpikir kesejahteraan
jangka panjang melalui kualitas pendidikan yang baik.

Rendahnya perhatian masyarakat pada pendidikan sangat kentara terjadi di seluruh Provinsi yang
diamati. Di Sulawesi Tengah, Seringkali pernikahan ini terjadi di pedesaan dimana banyak anak
perempuan tidak bersekolah karena akses yang rendah dan mindset bahwa pendidikan bukan
prioritas dalam keluarga. Begitu pula di Kalimantan Selatan dan Bangka-Belitung yang mengalami
booming perekonomian paling pesat dalam satu dasawarsa akibat pertambangan. Pertumbuhan
ekonomi yang pesat maupun fasilitas pendidikan yang telah disediakan tidak dibarengi minat
masyarakat khususnya generasi muda pada pendidikan. Aktualisasi diri pada generasi muda
setempat masih pada peningkatan pendapatan dan daya beli serta kemampuan untuk segera
menikah ketimbang memilih pendidikan. Hal ini sering menjadi penyebab terjadinya siswa putus
sekolah karena mereka sudah bekerja di Tambang dan melakukan pernikahan di usia dini.

III. Tekanan Ekonomi dan Kemiskinan di Tingkat Keluarga.

Pada beberapa Provinsi, dimensi tekanan ekonomi khususnya akibat kemiskinan sangat kentara
terjadi kecuali di Kalimantan Selatan, Peningkatan kebutuhan konsumsi yang semakin tinggi satu
dasawarsa terakhir malah mendorong tekanan ekonomi yang semakin tinggi pada keluarga. Hal ini
pada akhirnya menyebabkan keluarga baik orang tua maupun anak lebih memilih bekerja untuk
segera memperoleh pendapatan dan memenuhi kebutuhannya ataupun menikahkan segera anak
untuk mengurangi beban keluarga (tekanan ekonomi) ketimbang berpikir kesejahteraan jangka
panjang melalui penciptaan kualitas pendidikan yang baik. Dimensi tekanan ekonomi inilah yang
sangat mewarnai pengambilan keputusan orang tua dalam menikahkan anaknya, hal ini terjadi di
seluruh provinsi kecuali di Kalimantan Selatan. Hal yang tidak jauh berbeda tampak pula di Jawa
Barat yang sebenarnya lebih mendapatkan perhatian pusat dalam isu-isu kesejahteraan termasuk
ekonomi. Berdasarkan gambaran permasalahan di setiap Provinsi umumnya dapat dilihat bahwa
akar permasalahan pernikahan dini di kawasan tersebut adalah alasan ekonomi yang bertujuan
untuk menggeser beban keluarga.

Tekanan ekonomi ini pun sangat terkait dengan perubahan sosial akibat pertumbuhan ekonomi
yang sangat pesat dan tuntutan konsumsi akibat arus modernisasi. Menurut Toffler19 respon yang
paling umum dilakukan masyarakat terhadap kondisi future shock seperti ini adalah strategi
reversionis, dimana para korban terobsesi untuk mengulang rutinitas atau kebiasaan yang sudah
pernah sukses beradaptasi atau sukses dilakukan sebelumnya tetapi sebenarnya tidak relevan dan
tidak cocok dilakukan pada keadaan saat ini. Kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan
keluarga secara cepat termasuk dalam memenuhi keinginan memiliki daya beli yang tinggi atau
mengurangi beban ekonominya, mendorong pengambilan keputusan, kepala keluarga untuk segera
menikahkan anaknya, padahal itu belum tentu solusi yang tepat. Yang menarik akar masalah
ekonomi ini seringkali berjalan seiring pula dengan faktor budaya. alasan budaya pernikahan dini
di pedesaan seringkali berjalan seiring dengan kebutuhan ekonomi, sebagaimana dijelaskan dalam
akar masalah budaya sebagai alasan dasar pernikahan dini berikut.

IV. Budaya sebagai alasan dasar pernikahan dini.

Dimensi sosial budaya masih sangat kuat terjadi di beberapa provinsi kecuali Bangka. Dimensi
budaya memang masih kuat terjadi sejak dulu hingga saat ini. Jika dilihat secara parsial, latar
belakang masalah pernikahan dini khususnya di wilayah Banjar sangat terkait dengan dimensi
sosial budaya dan agama yang sangat melekat di mindset masyarakat (kebiasaan) dan peran
modernisasi yang tumbuh secara pesat beberapa waktu terakhir di sisi lain yang juga
mempengaruhi mindset masyarakat setempat. Dari sisi budaya, sudah sejak lama pernikahan dini
dilakukan pada anak perempuan pada usia muda untuk menghindari anggapan perawan tua dan
biasanya dikawinkan dengan yang lebih tua. Namun yang menarik, dimensi budaya semakin
memupus pengaruhnya pada beberapa Provinsi dan bahkan menghilang di Provinsi Bangka
Belitung, khususnya dalam satu dasawarsa terakhir. Seringkali dimensi budaya hanya dijadikan
alasan menutupi alasan tekanan ekonomi.

Hal yang lebih berbeda dan menarik tampak pada akar permasalahan pernikahan dini di Donggala,
Sulawesi Tengah khususnya suku Kaili adalah di pedesaan dengan alasan ekonomi dan pengaruh
beragam kultur setempat yang masih kuat secara adat. Melepas beban tanggung jawab orang tua
merupakan salah satu alasan terjadinya pernikahan dini pada masyarakat Kaili. Hal ini dilakukan
untuk melepas tekanan ekonomi keluarga dan ketakutan mereka akan terjadinya pergaulan bebas
karena melihat anak perempuannya memiliki teman laki-laki akibat modernisasi. Pada suku Bugis,
alasan budaya dan ekonomi juga tampak. Pernikahan yang terjadi seringkali merupakan
pernikahan yang diatur secara tradisi oleh orang tua untuk menjaga pertalian keluarga. Kultur ini
masih sangat kuat dan tetap dilakukan turun temurun dalam rangka menjaga regenerasi khususnya
harta warisan keluarga.

19
Ibid Hal. 359.
Peran Kelembagaan

Dari sisi peran kelembagaan yang berpengaruh dalam pengendalian pernikahan dini,
terdapat perbedaan mendasar antar provinsi. Secara rinci, dari sisi peran kelembagaan dapat
diuraikan sebagai berikut:

I. Peran Adat dan Agama Sebagai Kontrol Sosial

Peran Kalsel Bangka Sulteng Jabar


Tokoh Adat/Agama (Banjar) (Bangka Selatan) (Donggala) (Cianjur)
Kuat Adaptif Ya - - Ya
Resisten - - Ya -
Lemah - Ya - -

Peran tokoh adat dan agama di beberapa Provinsi masih sangat kuat khususnya di Sulteng, Kalsel
dan Jawa Barat. Sementara di Bangka Belitung peran tokoh adat dan agama sudah tidak lagi
berdampak banyak pada masyarakat. Dengan adanya peran tokoh adat dan agama pada dasarnya
dapat menjadi pintu masuk bagi upaya pengendalian pernikahan dini. Namun akan menjadi
tantangan besar bila dilakukan di Sulawesi Tengah yang multikultur dan cenderung resesif. Hal ini
akan mudah dilakukan melalui tokoh adat dan agama jika dilakukan di Kalsel maupun Jawa Barat
yang cenderung lebih terbuka, sementara di Ba-Bel khususnya di Bangka Selatan, peran tokoh adat
dan agama umumnya sudah memudar sehingga perlu dilakukan terobosan lain ataupun upaya
untuk merubah mindset para tokoh adat yang berbeda-beda. harus diakui bahwa peran tokoh adat
dan agama akan sangat penting khususnya sebagai alat kontrol sosial.

Dari sisi adat dan agama di Kalsel pada dasarnya tokoh agama setempat merupakan tokoh adat, dan
mereka berpengaruh penting dalam pengambilan keputusan keluarga. Tokoh agama setempat juga
memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam mempengaruhi massa. Orang tua dalam keluarga pun
sangat mengikuti arahan para tokoh agama panutannya. Selain itu para tokoh agama ini tidak sulit
untuk didekati namun pendekatan yang dilakukan selama ini dirasakan masih sangat kurang. Dari
sisi kelembagaan adat dan agama, di Bangka Selatan pada umumnya budaya setempat sudah sangat
cair. Peran lembaga budaya, agama ataupun adat tradisi masyarakat lokal di Bangka Selatan nyaris
tidak tampak. Ketidakhadiran peran lembaga tersebut berpengaruh besar pada lemahnya kontrol
sosial di dalam masyarakat Bangka. Peran lembaga budaya, agama maupun adat di Bangka Belitung
lebih kuat terjadi di komunitas keturunan Cina maupun komunitas transmigran. Menurut salah
seorang tokoh agama Budha setempat mengakui bahwa pernah terjadi tingkat pernikahan dini
yang cukup signifikan di komunitas tersebut. Namun seiring dengan meningkatnya peran tokoh
agama hal ini dapat ditekan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kontrol sosial masyarakat
secara kuat sebenarnya dapat mengendalikan pernikahan dini di Bangka Belitung.

Dari sisi kelembagaan Adat dan Agama di masyarakat Kaili dan Bugis di Sulteng, peran tokoh adat
seringkali merangkap sebagai tokoh agama dan pada umumnya masih sangat kuat baik pada
berbagai suku mayoritas yang ada. Nilai-nilai tersebut masih dianut oleh masyarakat setempat
dengan kuat termasuk pada suku Kaili maupun suku Bugis sebagai pendatang. Adalah lazim di bila
terdapat permasalahan rumit dalam keluarga dilaporkan kepada tokoh adat khususnya dalam
memberi persetujuan atas berbagai permasalahan yang dilaporkan kepadanya. Tidak seluruh
kelompok adat di daerah Donggala maupun Sulawesi Tengah telah terpengaruh nilai agama,
khususnya pada kelompok komunitas adat terpencil (KAT) yang masih banyak terdapat di Sulawesi
Tengah. Banyak suku KAT yang masih menganut animisme. Pada kelompok adat ini, pernikahan
dini sulit untuk terhindarkan karena pernikahan dilakukan dengan para tokoh adat setempat.
II. Peran Orang Tua dan Keluarga Sangat Dominan

Peran Orang Tua Kalsel Bangka Sulteng Jabar


dalam keputusan (Banjar) (Bangka Selatan) (Donggala) (Cianjur)
pernikahan dini
Modernisasi Takut/tidak Permisif Takut/tidak Takut/tidak
permisif permisif permisif
Pendidikan Bukan Prioritas Bukan Prioritas Bukan Bukan
Prioritas Prioritas
Tekanan Tidak berpengaruh berpengaruh Berpengaruh
Ekonomi/kemiskinan pengaruh
Sosial Budaya Berpengaruh Tidak berpengaruh berpengaruh Berpengaruh

Dalam kelembagaan keluarga, pada umumnya orang tua masih memegang kendali pengambilan
keputusan pernikahan dini. Terlepas dari tekanan ekonomi, dampak modernisasi menjadi
ketakutan dalam benak orang tua setidaknya di provinsi Kalsel, Sulteng maupun Jabar sehingga
mereka ingin segera menikahkan anaknya. Dalam kelembagaan keluarga di Banjar, faktor orangtua
pada dasarnya masih sangat kuat dalam menentukan pilihan bagi sang anak. nilai agama
merupakan hal utama yang dijadikan landasan para orang tua dalam menikahkan anaknya di usia
dini. Selain nilai agama, alasan lain orang tua menikahkan adalah mereka tidak ingin malu dan
menanggung beban kalau anak perempuan mereka belum menikah, baik dari sisi kemapanan
(selagi mereka mampu) maupun akan terlibat pergaulan bebas.

Dalam kelembagaan orang tua dan keluarga di Bangka Selatan, lemahnya kontrol sosial di
masyarakat berdampak pada peran orang tua dan keluarga. Orang tua cenderung bersikap
permisif, mereka beranggapan bahwa menikah itu learning process, tanpa menyadari bahwa
seringkali setelah menikahkan malah menimbulkan masalah baru dalam keluarga. faktor orang tua
sangat menentukan anak akan masuk ke sekolah atau tidak. Keengganan untuk bersekolah ini dari
sisi ekonomi dikarenakan remaja laki-laki lebih memilih bekerja dan menikah dengan remaja
perempuan yang juga lebih memilih menikah dan keinginan ini pun disetujui pula oleh orang tua.
Peran kelembagaan orang tua dan keluarga di Donggala meskipun tetap terikat dengan adat dan
agama, sangat kuat dalam menentukan terjadinya pernikahan dini, khususnya karena tekanan
ekonomi, seringkali orang tua ingin menikahkan anaknya pada usia dini karena keinginan untuk
menggeser beban tekanan ekonomi atau menjaga harta warisan keluarga dan keinginan tersebut
seringkali didukung secara adat maupun agama. Peran orang tua dalam keluarga di Cianjur sangat
besar. Orang tua sangat mengatur hubungan sang anak. Sering terjadi pernikahan dengan alasan
orang tua takut melihat pergaulan anaknya termasuk ketika melihat anaknya berpacaran. Namun
sama dengan wilayah lainnya, banyak terdapat kasus orang tua yang menikahkan anaknya dengan
alasan ekonomi, khususnya untuk mengurangi beban keluarga.

III.Peran Pemerintah: Lemahnya Koordinasi dan Perencanaan Kebijakan

Peran Pemerintah Kalsel Bangka Sulteng Jabar


pernikahan dini (Banjar) (Bangka Selatan) (Donggala) (Cianjur)
Pemahaman Aparat Cukup Kurang Cukup Cukup
Perencanaan Kebijakan Tidak ada Tidak ada Tidak Ada Ada, lemah
Koordinasi Kebijakan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada, Lemah
Sosialisasi & Advokasi Ada, Lemah Ada, Lemah Ada, Lemah Ada, Kuat
Dari sisi peran pemerintah, pada umumnya upaya sosialisasi ataupun advokasi ke masyarakat
masih sangat terbatas dilakukan dan tanpa perencanaan kebijakan yang memadai sehingga pada
akhirnya upaya sosialisasi dan advokasi seringkali terhenti dan tidak berkelanjutan. Advokasi
terhadap lembaga pendidikan seperti SMP, SMA dan pesantren oleh pemerintah pun masih minim
terjadi padahal peran lembaga pendidikan baru dapat berjalan baik bila terdapat koordinasi
langsung dari pemerintah. Tampak bahwa hampir seluruh Kabupaten masih sangat lemah dalam
hal koordinasi kebijakan khususnya secara lintas sektor, hal ini menyebabkan sinergi sulit tercapai
karena ego sektoral yang tinggi di masing-masing sektor.

Selaku penentu dan pelaksana kebijakan pada dasarnya di Kabupaten Banjar, Donggala dan Cianjur,
aparat pada umumnya sudah memiliki pemahaman yang cukup mengenai isu pernikahan dini.
Namun hal tersebut tidak tampak dalam perencanaan kebijakan dimana isu pernikahan dini
dimana isu ini belum menjadi prioritas perhatian baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten.

Upaya koordinasi kebijakan untuk isu pernikahan dini, stakeholders di tingkat provinsi telah
melakukan upaya-upaya advokasi lintas sektor khususnya melalui upaya fasilitasi Kantor
Perwakilan BKKBN Provinsi. Namun hal serupa tidak terjadi di tingkat Kabupaten. Stakeholders di
tingkat Kabupaten mengakui bahwa koordinasi lintas sektor belum dilakukan secara khusus untuk
isu ini. Nuansa ego sektoral sangat terasa terjadi ditingkat kabupaten. Dampak nyata yang terjadi
dari lemahnya kelembagaan ini adalah hampir tidak berjalannya sosialisasi di masyarakat
termasuk pada tokoh agama.

Pada dasarnya isu pernikahan dini sama sekali belum menjadi perhatian pemerintah setempat baik
provinsi maupun Kab/kota, Belum ada upaya perencanaan maupun koordinasi yang melibatkan
lintas sektor secara spesifik untuk pengendalian pernikahan dini. Di tingkat Kabupaten, beberapa
Dinas setempat pada dasarnya telah memulai kegiatan namun koordinasi belum dilakukan.
Masalah penganggaran dan regulasi pun menjadi kendala besar di tingkat Kabupaten. Hal ini
berdampak pada fungsi penyuluhan yang masih dilakukan secara sangat terbatas. Koordinasi
secara sinergis menjadi sangat urgen untuk dilakukan mengingat cepatnya terjadi pergeseran nilai
melalui modernisasi dimana pengaruhnya sudah masuk hingga ke pelosok wilayah pedesaan.

Kesadaran stakeholders pada umumnya sudah tampak, hanya tinggal bagaimana memastikan
komitmen stakeholders dalam isu pernikahan usia dini. Persoalannya terletak pada bagaimana
memprioritaskan isu ini secara berkelanjutan dan menjadi prioritas lintas sektor sehingga dapat
dilakukan koordinasi secara sinergis.

KESIMPULAN

Akar masalah utama pernikahan dini di beberapa Provinsi di Indonesia pada umumnya
adalah disebabkan beberapa dimensi antara lain: modernisasi, pendidikan, tekanan ekonomi
maupun sosial budaya. Secara rinci dapat disimpulkan sebagai berikut:

Gejala Modernisasi dan Perubahan Perilaku konsumsi masyarakat merupakan isu utama
yang dihadapi dalam mengatasi pernikahan dini. Arus modernisasi dalam masyarakat
ditunjukkan oleh pola konsumsi dan pola pemakaian jasa arus informasi dengan sangat pesat
dan menyebabkan terjadinya culture shock pada masyarakat.
Rendahnya minat masyarakat atas pendidikan dimana peningkatan kesejahteraan akibat
pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak dibarengi dengan peningkatan minat masyarakat
secara nyata terhadap peningkatan kualitas hidup di bidang pendidikan. Banyak pelaku
pernikahan dini yang keluar sekolah justru masih di usia SMP.
Tekanan Ekonomi dan Kemiskinan di Tingkat Keluarga. Peningkatan kebutuhan konsumsi
yang semakin tinggi satu dasawarsa terakhir malah mendorong tekanan ekonomi yang
semakin tinggi pada keluarga. Hal ini pada akhirnya menyebabkan keluarga baik orang tua
maupun anak lebih memilih bekerja untuk segera memperoleh pendapatan dan memenuhi
kebutuhannya ataupun menikahkan segera anak untuk mengurangi beban keluarga (tekanan
ekonomi).
Budaya sebagai alasan dasar pernikahan dini. Dimensi budaya memang masih kuat terjadi
sejak dulu hingga saat ini, namun yang menarik, dimensi budaya semakin memupus
pengaruhnya pada beberapa Provinsi dan bahkan menghilang di Provinsi Bangka Belitung,
khususnya dalam satu dasawarsa terakhir. Seringkali dimensi budaya hanya dijadikan alasan
menutupi alasan tekanan ekonomi.

Dari sisi peran kelembagaan yang berpengaruh dalam pengendalian pernikahan dini,
terdapat perbedaan mendasar antar provinsi. Secara rinci, dari sisi peran kelembagaan dapat
disimpulkan sebagai berikut:

Peran Adat dan Agama sangat penting dan harus segera ditingkatkan sebagai
Kontrol Sosial. Peran tokoh adat dan agama di beberapa Provinsi masih sangat kuat
khususnya di Sulteng, Kalsel dan Jawa Barat. Sementara di Bangka Belitung peran
tokoh adat dan agama sudah tidak lagi berdampak banyak pada masyarakat. Dengan
adanya peran tokoh adat dan agama pada dasarnya dapat menjadi pintu masuk bagi
upaya pengendalian pernikahan dini. Perlu diakui bahwa peran tokoh adat dan agama
akan sangat penting khususnya sebagai alat kontrol sosial terutama bagi generasi
muda.
Peran orang tua dalam keluarga dalam pengambilan keputusan pernikahan dini
sangat dominan. Dalam kelembagaan keluarga, peran orang tua masih sangat
dominan pada pengambilan keputusan dalam pernikahan dini. Disisi lain pada
umumnya orang tua masih memegang adat tradisi dan agama. Dampak modernisasi
juga seringkali menjadi ketakutan tersendiri dalam benak orang tua dan menjadi
alasan untuk segera menikahkan anaknya. Peran penting orang tua dan keluarga
dalam pengendalian pernikahan dini sayangnya tidak dibarengi dengan pemahaman
mengenai pernikahan dini secara baik.
Lemahnya Koordinasi dan Perencanaan Kebijakan Pemerintah dalam
pengendalian pernikahan dini. Peran pemerintah daerah pada umumnya masih
sangat terbatas. Pada umumnya upaya ini diabtasi oleh ketiadaan perencanaan
kebijakan maupun anggaran serta lemahnya koordinasi antar lembaga di lapangan
sehingga upaya sosialisasi dan advokasi seringkali terhenti dan tidak berkelanjutan.
Salah satu penyebab sinergi sulit tercapai adalah ego sektoral yang tinggi di masing-
masing instansi di daerah.

REKOMENDASI

Atas dasar kesimpulan diatas maka perlu direkomendasikan Pendekatan kebijakan pengendalian
pernikahan dini sebagai berikut :

Harus dilakukan sosialisasi dan advokasi secara langsung dan intensif di lapangan
sebagai antisipasi terhadap pesatnya gejala Modernisasi dan perubahan perilaku
masyarakat. Sosialisasi tidak lagi hanya bisa sebatas promosi media, namun perlu diberikan
penjelasan secara lebih rinci pada masyarakat.
Penguatan peran tokoh Adat dan Tokoh Agama sebagai Kontrol Sosial. Hal ini
mengingat seringkali budaya dan agama dijadikan alasan dasar pernikahan dini. Peran
tokoh agama pada umumnya responsif terhadap berbagai isu, namun justru pendekatan
terhadap para tokoh adat dan agama masih terbatas dilakukan di daerah.
Peningkatan kapasitas orang tua khususnya dalam meningkatkan minat atas
pendidikan dan mengurangi tekanan ekonomi di Tingkat Keluarga. Orang tua masih
memiliki peran yang sangat kuat dan dominan dalam keluarga khususnya dalam
pengambilan keputusan pernikahan dini.
Penguatan peran lembaga sekolah khususnya di tingkat SMP. Banyak pasangan
pernikahan dini yang menikah memiliki tingkat pendidikan sebatas drop out sekolah
menengah pertama sehingga pencegahan pada lembaga pendidikan menjadi penting
dilakukan.
Penguatan peran Pemerintah Daerah dalam hal pengendalian pernikahan dini
melalui perencanaan kebijakan dan koordinasi lintas sektor secara lebih intensif.
Kelemahan terbesar di daerah adalah hampir tidak adanya koordinasi dalam pengendalian
pernikahan dini dan lemahnya perencanaan kebijakan sehingga berdampak pada tidak
adanya anggaran dan regulasi yang diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Act of The Parliament of The Republic of Ghana Entitled The Childrens Act, 1998, diakses melalui
http://www.law.yale.edu /rcw/rcw/jurisdictions/a fw/ghana/Ghana_Childrens_Act.pdf
pada 30 Mei 2012.
Balitbang Kesehatan Kemkes RI, (2011) Riset Kesehatan Dasar, Kementerian Kesehatan.
Boserup, Ester (1990), Population, the Status of Women, and Rural Development in McNicoll, G.
and Mead Cain (1990), Rural Development and Population: Institutions and Policy, New York:
Oxford University Press.
Choe, Kim; Thapa; dan Achmad (2001), Early Marriage and Childbearing in Indonesia and Nepal
in East-West Center Working Papers: Population Series No. 108-15, November 2001. East
West Center (2001)
Convention on the Elimination on All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tahun 1979.
Daulay, Harmona (2001), Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran: Studi Kasus TKIW di
Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang Jawa Barat, Yogyakarta: Galang Press dan Ford
Foundation.
Elizabeth Warner, Behind the Wedding Veil: Child Marriage as a form of Trafficking in Girls, 12 AM,
U.J. Gender Social Policy & L.
European Union, Parliamentary Assembly Resolution 1468 (2005) Forced Marriages and Child
Marriages, diakses melalui
http://assembly.coe.int/Main.asp?link=/Documents/AdoptedText/ta05/ERES1468.htm
pada 31 Mei 2012
Field, Erica (2004), Consequences of Early Marriage for Women in Bangladesh, Harvard University.
Goonesekere, Savitri & De Silva de-Alwis, Rangita, Womens and Childrens Rights in a Human Rights
Based Approach to Development, Working Paper, Division of Policy Planning UNICEF, 2005.
Goonesekere, Savitri (1997), Children, Law, and Justice: A South Asian Perspective, 1997.
IPPF (2006), Ending Child Marriage: A Guide for Global Policy Action, International Planned
Parenthood Federation and the Forum on Marriage and the Rights of Women and Girls.
Jones & Gubhaju, (2008), Trends in Age at Marriage in Provinces of Indonesia, in Asia Research
Institute Working Paper no 105: 2008, Asia Research Institute NUS - Singapore
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI (2002), Analisis dan Pengkajian Penjabaran Kebijakan
Perencanaan Pembangunan Daerah yang Berperspektif Gender, Jakarta: Kementerian
Pemberdayaan Perempuan RI.
Klasen, S., Wink, C. A Turning Point in Gender Bias in Mortality? An Update on the Number of
Missing Women in Population and Development Review 28 (2) : 285-312 (June 2002).
McDonald, Peter (2000), Gender Equity in Theories of Fertility Transition in Population and
Development Review 26 (3) : 427-439 (September 2000).
Moeljarto, Vidhyandika (1997), Gender dan Kemiskinan : menelaah posisi perempuan dalam
pembangunan pertanian, dalam Analisa CSIS XXVI (4) : 372-385.
Plan-UK (2012), Early and Forced Marriage facts, figures, and what you can do, diakses melalui
http://www.plan-uk.org/early-and-forced-marriage/ pada 28 Mei 2012.
Rahman, Lupin, Rao, V. (2004), The Determinants of Gender Equity in India: Examining Dyson and
Moores Thesis with New Data in Population and Development Review 30 (2) : 239-268 (June
2004).
Sen, Amartya (1990), Cooperation, Inequality, and the Family in McNicoll, G. and Mead Cain
(1990), Rural Development and Population: Institutions and Policy, New York: Oxford
University Press.
Sentika, Tb. Rachmat, Dr. (2003), Gender dan Pengentasan Kemiskinan, dipresentasikan dalam
Rakornas Pemberdayaan Perempuan 2003, Jakarta
Spicker, Paul, (2002), Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths, A Catalyst Working Paper,
London: Catalyst.
The Inter-African Committee, Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children
(1993), Newsletter, Desember 1993.
Toffler, Alvin, (1971), Future Shock, Bantam Books, New York .
United Nations, (1994) General Recommendations Made by the Committee on the Elimination of
Discrimination Against Women, General Recommendation No. 21, sesi ke-tiga belas.
Convention on the Right of a Child (CRC), (1989).
UNICEF, (2006), Child Marriage in Child Protection information Sheet, The Unicef
UNICEF (2008), Child Marriage and the Law, Working Document of UNICEF.

You might also like