You are on page 1of 17

REFERAT

MICROCIRCULATORY AND MITOCHONDRIAL DISTRESS


SYNDROME (MMDS)

PEMBIMBING

dr. Hj. Elya E, Sp.An

OLEH

Uswatun Hasanah

H1A 212 062

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN / SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2016
Referat

Microcirculatory and Mitochondrial Distress Syndrome (MMDS)

Uswatun Hasanah

Abstract

Microcirculatory and Mitochondrial Distress Syndrome (MMDS) is a disorder of tissue


oxygenation due to microcirculation distress, which is also the underlying cause of depression of
mitochondria in conditions such as sepsis and shock, although it has been a correction of
systemic oxygen delivery. Microcirculation distress marked abnormalities in the blood stream
with some capillaries with reduced perfusion, while others have a capillary perfusion is normal.
In MMDS microcirculation distress followed by distress of the mitochondria. At the cellular
level, the cell with the level of perfusion and oxygenation inadequate will experience a shortage
of substances that are required for aerobic metabolism. Conditions shock persists, the cell
membrane would lose the ability to protect its integrity, and will miss the gradient electrically
mediators proinflammatory, such as inducible nitric oxide synthase (iNOS), tumor necrosis
factor (TNF) and other cytokines are released, caused damageof end-organ and multiple organ
distress.

Key words: Microcirculatory, Mitochondrial Distress, MMDS


Abstract

Microcirculatory and Mitochondrial Distress Syndrome (MMDS) merupakan


gangguan oksigenasi jaringan disebabkan oleh disfungsi mikrosirkulasi yang juga merupakan
penyebab yang mendasari depresi mitokondria yaitu pada kondisi seperti sepsis dan syok,
walaupun telah dilakukan koreksi penghantaran oksigen secara sistemik. Disfungsi
mikrosirkulasi ditandai kelainan dalam aliran darah dengan beberapa kapiler dengan penurunan
perfusi, sementara kapiler lain memiliki perfusi yang normal. Pada MMDS kemungkinan
disfungsi mikrosirkulasi dikuti oleh kegagalan mitokondria. Pada tingkat seluler, sel dengan
tingkat perfusi dan oksigenasi yang tidak adekuat akan mengalami kekurangan zat-zat yang
diperlukan untuk metabolism aerob. Kondisi syok yang berlanjut, membrane sel akan kehilangan
kemampuan untuk mempertahankan integritasnya, dan akan kehilangan gradien elektrik
mediator proinflamasi, seperti inducible nitrit oxide synthase (iNOS), tumer necrosis factor
(TNF), dan sitokin lainnya akan dilepaskan, yang akan menyebabkan terjadiya kerusakan end-
organ dan disfungsi multiple organ.

Kata Kunci: mikrosirkulasi, distress mitokondria, MMDS


BAB I

PENDAHULUAN

Microcirculatory and Mitochondrial Distress Syndrome (MMDS) merupakan


gangguan oksigenasi jaringan disebabkan oleh disfungsi mikrosirkulasi yang mendasari depresi
mitokondria yaitu terjadi pada kondisi seperti sepsis dan syok, walaupun telah dilakukan koreksi
oksigenasi secara sistemik. 1
Mikrosirkulasi terdiri dari pembuluh darah sempit yang menghubungkan arteri dan
vena, dengan diameter <100 m yang merupakan tempat oksigen dikeluarkan ke jaringan.
Mikrosirkulasi terdiri atas arteriol, kapiler, dan venula postkapiler. Fungsi mikrosirkulasi adalah
syarat utama untuk oksigenasi jaringan yang adekuat yang berkaitan dengan fungsi organ.
Tujuan dari jaringan mikrosirkulasi adalah untuk memberikan nutrisi penting dan oksigen ke sel
dan membuang produk sisa hasil metabolisme dari jaringan, fungsi imunologi yang memadai
serta pada penyakit, bertujuan untuk memberikan obat terapi pada sel target. 2,3
Disfungsi mikrosirkulasi ditandai kelainan dalam aliran darah yaitu beberapa kapiler
mengalami penurunan perfusi, sementara kapiler lain memiliki perfusi yang normal. Pada
MMDS kemungkinan disfungsi mikrosirkulasi dikuti oleh kegagalan mitokondria. Pada tingkat
seluler, sel dengan tingkat perfusi dan oksigenasi yang tidak adekuat akan mengalami
kekurangan zat-zat yang diperlukan untuk metabolisme aerob normal serta produksi energi yang
adekuat. Pada awal terjadinya keadaan patologis yaitu penurunan perfusi dan oksigenasi ke
jaringan, akan terjadi kompensasi yaitu melalui perubahan metabolisme aerob menjadi
metabolisme anaerob yang berakibat pada pembentukan asam laktat dan terjadinya asidosis
metabolik. Bila kondisi syok berlanjut dan penghantaran substrat untuk pembentukan ATP tidak
adekuat, membrane sel akan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan integritasnya, dan
akan kehilangan gradien elektrik mediator proinflamasi, seperti inducible nitrit oxide synthase
(iNOS), tumor necrosis factor (TNF), dan sitokin lainnya akan dilepaskan, yang akan
menyebabkan terjadiya kerusakan end-organ dan disfungsi multiple organ.4
Deteksi secara cepat dan tepat serta koreksi disoksia jaringan dapat mengurangi
disfungsi organ dan meningkatkan hasil. Namun, disoksia jaringan sangat sulit untuk dideteksi
karena tidak ada tanda-tanda klinis yang spesifik, ataupun tes laboratorium sederhana yang dapat
dilakukan.
BAB II

ISI

A. Mikrosirkulasi
Mikrosirkulasi terdiri dari pembuluh darah sempit yang menghubungkan arteri dan
vena, dengan diameter <100 m yang merupakan tempat oksigen dikeluarkan ke jaringan.
Mikrosirkulasi terdiri atas arteriol, kapiler, dan venula postkapiler. Jenis sel utama pada
mikrosirkulasi adalah sel-sel endotel yang melapisi bagian dalam pembuluh darah kecil, sel-sel
otot polos (terutama di arteriol), sel darah merah, leukosit, dan komponen plasma dalam darah.
Struktur dan fungsi mikrosirkulasi sangat berbeda pada setiap sistem organ yang berbeda.
Fungsi mikrosirkulasi adalah prasyarat utama untuk oksigenasi jaringan yang adekuat yang
berkaitan dengan fungsi organ. Tujuan dari jaringan mikrosirkulasi adalah untuk memberikan
nutrisi penting dan oksigen ke sel dan membuang produk sisa hasil metabolisme dari jaringan,
fungsi imunologi yang memadai serta pada penyakit, bertujuan untuk memberikan obat terapi
pada sel target. Darah yang mengalir akan dikumpulkan oleh venula postkapiler yang pada
akhirnya akan menyatu ke dalam venula besar. 2,3,6

Gambar 1. Komponen mikrosirkulasi (Trzeciak et al, 2008)

Mekanisme regulasi yang mengendalikan perfusi mikrosirkulasi terdiri atas miogenik,


metabolik (meregulasi O2, CO2, laktat, dan H +), dan neurohumoral. Sistem kontrol ini
menggunakan mekanisme autokrin dan parakrin untuk mengatur aliran darah pada mikrosirkulasi
untuk memenuhi kebutuhan oksigen sel-sel jaringan. Sel-sel endotel yang melapisi bagian dalam
pembuluh darah kecil memainkan peran sentral dalam sistem kontrol ini yaitu melalui sinyal dari
aliran darah, metabolik, dan zat pengatur lainnya untuk meregulasi tonus sel otot polos arteriol.
Sinyal dari sel ke sel endothelial mentransmisikan informasi tentang kondisi hemodinamik.
Endotelium juga penting dalam mengontrol koagulasi dan fungsi imun, kedua hal tersebut secara
langsung mempengaruhi dan menentukan fungsi mikrosirkulasi. 3
Mikrosirkulasi dari masing-masing organ berbeda beda baik dalam hal anatomi
maupun fungsi. Selain kepadatan kapiler dan reseptor yang berbeda, terdapat berbagai jenis
kapiler yang berbeda yang terdiri atas sinusoidal, fenestrated, serta yang memiliki membran
continuous atau discontinuous. Perbedaan anatomi pada kapiler menjelaskan tingkatan filtrasi
yang berbeda dari mikrosirkulasi pada sistem organ yang berbeda. Setiap organ tentu memiliki
konsumsi oksigen tersendiri serta memiliki aliran darah tergantung pada kebutuhan metabolisme
regional. Regulasi aliran darah ke organ-organ dan distribusi transportasi oksigen dalam organ
diatur dengan baik dalam kondisi yang fisiologis, namun dalam keadaan patologis, regulasi
mikrosirkulasi akan terganggu. Oksigen yang dipasok oleh kapiler ke salah satu jaringan
mungkin merupakan sisa oksigen yang terdapat pada arteriol setelah dipasok ke jaringan lain.
Penggunaan fraksi oksigen dalam jaringan arteriol diperkirakan tergantung pada aktivitas
metabolik dari organ yang terlibat, jaringan arteriol menjadi tempat utama pengiriman dalam
jaringan dengan aktivitas metabolik yang rendah. Sebaliknya, jaringan dengan tingkat aktifitas
metabolisme dan aliran darah yang tinggi, akan terjadi penurunan kadar oksigen dalam kapiler.2,3

Gambar 2. Skema sirkulasi sistemik dan aliran darah mikrosirkulasi dalam sistem organ yang berbeda (Spronk, et al,
2007)
Disfungsi mikrosirkulasi ditandai kelainan dalam aliran darah yaitu beberapa kapiler
mengalami penurunan perfusi, sementara kapiler lain memiliki perfusi yang normal. Pada tingkat
seluler, sel dengan tingkat perfusi dan oksigenasi yang tidak adekuat akan mengalami
kekurangan zat-zat yang diperlukan untuk tercapainya metabolism aerob normal serta produksi
energi yang adekuat. Pada awal terjadinya keadaan patologis yaitu penurunan perfusi dan
oksigenasi ke jaringan, akan terjadi kompensasi yaitu melalui perubahan metabolism aerob
menjadi metabolism anaerob yang berakibat pada pembentukan asam laktat dan terjjadinya
sidosis metabolik. Bila kondisi syok berlanjut dan penghantaran substrat untuk pembentukan
ATP tidak adekuat, membran sel akan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
integritasnya, dan akan kehilangan gradien elektrik mediator proinflamasi, seperti inducible
nitrit oxide synthase (iNOS), tumer necrosis factor (TNF), dan sitokin lainnya akan dilepaskan,
yang akan menyebabkan terjadiya kerusakan end-organ dan disfingsi multiple organ. 2,4

B. Mitokondria
Mitokondria merupakan organel berukuran 110 mm. mitokondria memiliki dua
membran, yaitu membran luar dan membran dalam, ruang antarmembran, serta matriks. Matriks
merupakan ruang yang terdiri atas beberapa protein dan makromolekul, mengandung enzim yang
digunakan dalam siklus TCA (tricarboxylic acid). Substrat yang digunakan pada siklus TCA
adalah asetil CoA yang merupakan derivat dari karbohidrat, rantai panjang asam lemak, dan
protein dalam sitosol pada sel. Fungsi paling utama dari mitokondria adalah menyediakan energi
yang dapat digunakan oleh sel dalam bentuk ATP (adenosine trifosfat). Seluruh sel dalam tubuh
manusia mengandung organel mitokondria, walaupun dalam jumlah yang berbeda tergantung
pada kebutuhan metabolik, kecuali pada sel darah merah yang kehilangan seluruh organelnya
sesuai dengan maturasi yang dialami. Mitokondria memiliki fungsi seluler yang penting seperti
metabolisme lemak, homeostasis kalsium, sintesis steroid, dan merupakan unsur dalam
meregulasi apoptosis5,6
Bahan utama sel dalam pembentukan energi adalah oksigen dan satu atau lebih jenis
makanan yang dapat bereaksi dengan oksigen (karbohidrat, lemak, protein). Molekul oksigen
mengalami disosiasi dari hemoglobin sel darah merah pada kapiler kedalam sel yang akan masuk
ke dalam mitokondria melalui proses difusi. Perjalanan oksigen mengikuti gradient konsentrasi,
bebas berdifusi melintasi membrane sel alveolar kedalam darah. Sebanyak >99% oksigen terikat
pada hemoglobin yaitusetiap gram hemoglobin membawa 1,39 ml molekul oksigen. (konstanta
Huffners). Pada individu non anemia (Hb > 15 g/dL), terdapat 1000 ml gas oksigen pada darah
sirkulasi 5 liter. Oksigen yang akan dihantarkan pada sel, terikat pada hemoglobin (HbO2), akan
mengalami disosiasi karena perubahan affinitas (struktur molekuler hemoglobin berubah dengan
adanya asam, perubahan pada affinitas oksigen). Bohr effect, sejak terjadinya respirasi sel, akan
dihasilkan CO2, asam terlarut dalam bentuk asam karbonat. 5,6

Gambar 3. Transport oksigen ke jaringan (Boxel et al, 2012)

Karbohidrat dalam tubuh manusia akan diubah menjadi glukosa oleh saluran pencernaan
dan hati sebelum mencapai sel. Protein diubah menjadi asam amino dan lemak diubah menjadi
asam lemak. Bahan- bahan berupa glukosa, asam amino, dan protein akan akan masuk kedalam
sel dan akan bereaksi secara kimiawi dengan oksigen dibawah pengaruh berbagai enzim yang
mengontrol kecepatan reaksi dan kemudian juga menyalurkan energi yang dilepaskan dalam arah
yang tepat. Hampir semua reaksi oksidasi berlangsung dalam organel sel yaitu mitokondria dan
energi yang dilepaskan terutama akan digunakan untuk membentuk senyawa yang berenergi
sangat tinggi adenosine trifosfat (ATP). ATP kemudian digunakan oleh sel untuk menggerakkan
hampir seluruh reaksi metabolisme intraseluler. Proses kimiawi dalam pembentukkan ATP
berawal dari masuknya glukosa kedalam sel yang kemudian akan diubah oleh enzim menjadi
asam piruvat melalui suatu proses yang disebut glikolisis. Selain glukosa, Asetil ko-A juga
berasal dari asam amino dan asam lemak. Asetil ko-A yang dihasilkan akan melalui suatu proses
yang bersifat enzimatis didalam matriks mitokondria, sehinggamengalami pengenceran dalam
suatu rangkaian reaksi kimia yang disebut siklus asam sitrat atau siklus krebs. Dalam siklus
krebs Asetil ko-A dipecah menjadi komponen-komponennya, yaitu atom hidrogen dan
karbondioksida yang selanjutnya akan dikeluarkan dari mitokondria serta sel. Atom hidrogen
yang sangat aktif akan bergabung dengan oksigen yang juga telah berdifusi ke dalam
mitokondria. Kedaan tersebut akan melepaskan energi yang sangat besar yang yang akan
digunakan oleh mitokondria untuk mengubah ADP menjadi ATP. Proses reaksi ini sangat
kompleks, yang diawali oleh pemindahan sebuah electron dari atom hidrogen, sehingga
mengubah atom hidrogen menjadi ion hidrogen bergabung dengan oksigen membentuk air. 6

Gambar 4. Proses pembentukan ATP (Boxel et al, 2012; Guyton and Hall)

ATP yang baru terbentuk ditranspor keluar dari mitokondria ke dalam semua sitoplasma
sen dan nukleoplasma, yang merupakan tempat energi digunakan untuk menggerakan fungsi sel.
ATP digunakan dalam meningkatkan tiga kategori utama fungsi sel, yaitu6:
1. Transport membran untuk menyuplai energi bagi keperluan transport protein melalui
membran
2. Sintesis senyawa kimia untuk meningkatkan sintesis protein oleh ribosom
3. Kerja mekanis untuk menyuplai energi yang dibutuhkan selama kontraksi otot
Gambar 5. Penggunaan ATP dalam tubuh (Guyton and Hall)

Gangguan fungsi mitokondria salah satunya dapat terjadi pada pasien dengan sepsis.
Peningkatan PO2 jaringan pada organ hewan dan pasien dengan sepsis bersamaan dengan
terjadinya penurunan VO2 namun tidak terjadi kematian sel, menimbulkan sebuah hipotesis
bahwa pada sepsis oksigen tersedia tetapi tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu, terdapat
mekanisme biokimia yang berbeda atau mediator yang dianggap dapat menjelaskan disfungsi
seluler dan hipoksia sitopatik in vitro dan pada hewan percobaan, yaitu termasuk inaktivasi
piruvat dehidrogenase, inhibisi reversibel sitokrom oksidase oleh NO, penghambatan kompleks
respirasi mitokondria oleh peroxinitrite dan aktivasi enzim poli (ADP-ribosyl) polymerase
(PARP). Rantai respirasi termasukempat kompleks enzim dapat dihambat oleh reaksi oksigen
dan nitrogen, salah satu jenisnya adalah NO. Proses ini difasilitasi oleh penipisan sistem anti
oksidatif seperti glutathione. 3
Dalam penelitian terbaru, Brealey et al. menyelidiki apakah perubahan dalam status
bioenergi pada sepsis berat berhubungan dengan peningkatan produksi NO, disfungsi
mitokondria, dan deplesi antioksidan, dan apakah kelainan ini berhubungan dengan kegagalan
organ atau akibat dari kegagalan organ tersebut. Peneliti ini melakukan biopsi otot rangka pada
28 pasien sepsis kritis dalam 24 jam masuk ke ICU dan sembilan pasien kontrol menjalani
operasi pinggul elektif. Sampel biopsi dianalisis untuk aktivitas rantai pernapasan (kompleks I-
IV), konsentrasi ATP, penurunan glutathione, dan konsentrasi nitrit-nitrat. Dalam penelitan
tersebut ditemukaan penurunan yang signifikan konsentrasi ATP pada pasien sepsis yang
meninggal dibandingkan dengan yang masih hidup. Terdapat korelasi positif yang signifikan
antara konsentrasi nitrit / nitrat jaringan terhadap keparahan penyakit. Mereka menyimpulkan
bahwa pada pasien dengan sepsis terdapat hubungan antara konsentrasi NO yang berlebihan,
pengurangan antioksidan, disfungsi mitokondria, dan penurunan konsentrasi ATP dengan
kegagalan organ. Data ini menunjukkan bahwa kegagalan bioenergi merupakan patofisiologi
penting serta merupakan mekanisme yang menyumbang terjadinya disfungsi multiorgan pada
sepsis. Namun, hal ini tidak dapat mengesampingkan perubahan pada aliran mikrovaskular, pada
sepsis. Jadi, masih belum jelas apakah disfungsi mitokondria dapat terjadi pada jumlah oksigen
yang cukup. Juga sebuah gangguan kontrol mikrosirkulasi dapat mengakibatkan hipoksia
sitopatik.3

C. Microcirculatory and Mitochondrial Distress Syndrome (MMDS)


Gangguan oksigenasi jaringan disebabkan oleh disfungsi mikrosirkulasi merupakan
penyebab yang mendasari terjadinya depresi mitokondria yaitu pada kondisi seperti sepsis dan
syok, walaupun telah dilakukan koreksi oksigenasi secara sistemik, disoksia regional dan defisit
ekstraksi oksigen menetap. Kondisi tersebut disebut dengan Microcirculatory and Mitochondrial
Distress Syndrome (MMDS). Deteksi secara cepat dan tepat serta koreksi disoksia jaringan
dapat mengurangi disfungsi organ dan meningkatkan hasil. Namun, disoksia jaringan sangat sulit
untuk dideteksi karena tidak ada tanda-tanda klinis yang spesifik, ataupun tes laboratorium
sederhana yang dapat dikerjakan. Kita terjebak dengan tanda-tanda klinis sederhana disfungsi
organ seperti hipotensi, oliguria, perubahan status mental, gangguan keseimbangan asam-basa,
atau laktat yang tinggi. Namun tidak semua tanda-tanda tersebut terdapat pada pasien septik, atau
tanda tersebut terlihat, kemungkinana telah terjadi disfungsi organ. Bahkan, kemungkinan
resusitasi pasien menjadi terlambat, karena kemungkinan telah memasuki fase refraktori syok.
Beberapa metode yang lebih invasif seperti pengukuran cardiac output atau saturasi oksigen vena
(SvO2) mendapat kritikan, karena langkah-langkah pengukuran hemodinamik dan oksigen
transport termasuk curah jantung, SVR, MAP, konsumsi dan ekstraksi oksigen memberikan
informasi status kardiovaskular dari seluruh tubuh tetapi tidak dapat menilai tingkat
mikrosirkulasi. Penilaian mengenai tingkatan laktat dianggap mencerminkan metabolisme
anaerobik terkait dengan disoksia jaringan dan kemungkinan dapat memprediksi respon terhadap
terapi dan prognosis. Keseimbangan produksi laktat yang dapat disebabkan oleh penyebab global
(shock, hipoksia), lokal (jaringan iskemia), dan seluler (disfungsi mitokondria). Selain itu,
tingkat laktat juga dipengaruhi oleh fungsi metabolik hati yang membuat interpretasi tingkat
laktat tidak spesifik dan sulit. 1,3
Pasien dengan syok septik menunjukkan tanda-tanda dan gejala yang berbeda tergantung
pada waktu munculnya serta terapi mana yang telah diberikan. Pada tahap awal, syok septik
ditandai dengan curah jantung rendah dan SVR yang tinggi atau normal. Dengan resusitasi
cairan, baik hewan dan manusia menunjukkan keadaan hiperdinamik, ditandai dengan SVR
rendah dengan atau tanpa hipotensi, curah jantung yang tinggi, DO2 meningkat, peningkatan
VO2, dan kapasitas ekstraksi oksigen terganggu. Meskipun transportasi oksigen meningkat,
terdapat tanda-tanda disosia jaringan seperti laktat tinggi dan gangguan asam-basa. Berdasarkan
data percobaan dan klinis MMDS merupakan kondisi yang mencerminkan buruknya
hemodinamik dan oksigenasi sistemik. Pada MMDS kemungkinan disfungsi mikrosirkulasi
dikuti oleh kegagalan mitokondria. Sepsis dan gejala sisa sepsis berat, syok septik dan kegagalan
multi-organ merupakan tahap progresif penyakit yang sama, sehingga MMDS juga merupakan
suatu spektrum penyakit. Perubahan mikrosirkulasi terjadi pada tahap awal sepsis dan terapi
awal diharapkan dapat memperbaiki mikrosirkulasi. Jika penyakit ini tidak dikoreksi tepat
waktu, dapat terjadi disfungsi mitokondria. 3

Gambar 6. Terjadinya MMDS (Spronk et al, 2007)


Mekanisme terjadinya MMDS

1. Waktu (time)
Tahap 1 Pasien mengalamai SIRS (systemic inflammatory response syndrome) atau
penurunan fungsi organ vital. Tahap ini seringkali sulit untuk dikenali. Orang akan
menyadari masalah ketika terjadi suhu perifer rendah, munculnya bintik-bintik pada kulit
atau setelah terjadi perubahan pada pola pernapasan. Jika permasalahan ini dapat
dideteksi sejak awal, tatalaksana dapat diberikan dengan tepat.
Tahap 2 Pasien mengalami sepsis berat atau syok sepsis dan resusitasi harus
dilaksanakan sesegera mungkin. Data terbaru oleh Rivers et al. menunjukkan bahwa
optimasi awal DO2 secara sistemik akan memberikan hasil yang lebih baik.
Permasalahannya adalah berkaitan dengan waktu, seringnya klinisi tidak menyadari
permasalahan tepat waktu, yang berarti bahwa disfungsi seluler dan kegagalan organ
sudah terjadi.
2. Aliran darah pada mikrosirkulasi
Pada tahapan awal syok, fungsi mikrosirkulasi digunakan untuk menjaga sirkulasi
sistemik dengan mengalihkan aliran darah ke organ paling vital seperti jantung dan otak
serta mengurangi aliran darah seperti pada kulit dan usus menurun. Jika DO2 lokal turun
di bawah tingkat kritis, disoksia dapat terjadi fungsi. Pada awalnya, organ dapat
mengompensasi namun, jika disoksia terjadi berkelanjutan, organ akan mengalami
disfungsi.
3. Disfungsi mitokondria
Disfungsi mitokondria merupakan kenjutan terjadinya disoksia seluler. Masih belum
jelas sejauh mana disfungsi mitokondria tersebut dapat reversibel. Reversibilitas ini akan
bergantung pada waktu.
4. Modalitas terapi
Ketika keadaan syok terjadi, pemberian cairan, antibiotik yang tepat harus dilakukan.
Ketika tekanan arteri yang memadai dan perfusi organ tidak dapat dijangkau oleh
pemberian cairan, terapi dengan agen vasoaktif harus dimulai. Terapi menggunakan
vasopressor diperlukan sementara untuk mempertahankan perfusi dalam keadaan
hipotensi yang terjadi. Perlu juga disadari mengenai indikator disoksia sistemik, yaitu,
oksigen vena campuran (S (c) VO2) dan laktat. Hematokrit dan cardiac output harus
dioptimalkan, dengan memperhatikan karakteristik masing-masing pasien, misalnya
dengan menggunakan vasodilator seperti ketanserin atau nitrogliserin. Pengobatan awal
dengan deksametason dosis tinggi, yang berkaitan dengan memblokir produksi iNOS.
Pendekatan integratif yang kurang seperti menggunakan tekanan darah sebagai satu-
satunya target, akan menyebabkan MMDS semakin sulit untuk dideteksi.

D. Pengobatan MMDS
MMDS terdiri dari spektrum gejala dan tanda-tanda yang berkaitan dengan
mikrosirkulasi dan gangguan fungsi mitokondria dan bermanifestasi walaupun setelah dilakuan
resusitasi pada makrosirkulasi. Oleh karena itu, pemulihan fungsi dan perfusi mikrosirkulasi
sangat penting. Data terbaru mengindikasikan bahwa perfusi mikrosirkulasi mungkin masih
mengalami gangguan setelah cardiac output dioptimalkan. Hal ini menggarisbawahi bahwa
terapi yang diberikan adalah langsung pada mikrosirkulasi. 3,8

Gambar 7. kerangka konseptual tentang pentingnya mikrosirkulasi pada syok septik dan resusitasi (Trzciak et al,
2008)
Resusitasi konvensional memiliki target optimalisasi '' hulu '' (yaitu, makosirkulasi)
dengan parameter hemodinamik (misalnya, tekanan arteri, curah jantung), dengan pemantauan
''hilir'' dengan penanda perfusi jaringan (misalnya, asidosis, fungsi organ) untuk menentukan
efektivitas upaya resusitasi. Mikrosirkulasi merupakan perantara penting. Meskipun
makrosirkulai berfungsi mengedarkan darah ke seluruh tubuh, sebuah mikrosirkulasi utuh dan
fungsional diperlukan untuk aliran darah yang efektif untuk jaringan. Oleh karena itu, kegagalan
mikrosirkulasi dapat berkontribusi untuk hipoperfusi jaringan. aliran darah mikrosirkulasi
sublingual sekarang dapat divisualisasikan secara langsung dalam penelitian klinis sepsis
menggunakan Hand-held videomicroscope. Pemberian agen baru (misalnya, oksida nitrat [NO]
eksogen) dalam mengurangi disfungsi mirosirkulasi dan meningkatkan aliran darah
mikrosirkulasi. NO mempertahankan homeostasis mikrosirkulasi dengan mengatur tonus
mikrovaskuler, adhesi leukosit, agregasi platelet, pembentukan mikrotrombi, dan permeabilitas
mikrovaskuler.8

Gambar 8. Alur resusitasi dan penggunaan Novel agent dalam perbaikan perfusi mikrosirkulasi (Trzciak et al, 2008)
Pertimbangan bahwa disfungsi mitokondria merupakan penunjang terjadinya MODS,
memberikan peluang pengobatan yang potensial. agen terapi ditargetkan pada jalur khusus
ataupun fungsi mitokondria, substrat mitokondria dan penyediaan co-faktor, antioksidan, ROS,
stabilisator membran. Perbaikan pada fungsi mitokondria, diukur dengan produksi ATP dan
reduksi dari penanda stres oksidatif, yang umumnya terkait dengan perbaikan dalam parameter
hemodinamik, fungsi organ. Sejauh ini, meskipun telah banyak agen yang menunjukkan
manfaat dalam model hewan MODS, tetapi belum menjadi bagian dari standar pengobatan atau
pencegahan MODS. Penggunaan sitokrom c pada hewan telah terbukti memperbaiki beberapa
kelainan pada rantai elektron mitokondria dengan peningkatan fungsi jantung menyebabkan
penurunan angka kematian. Sesuai dengan Penggabungan pedoman Sepsis, pemberian antibiotik
harus diberikan sejak awal untuk sepsis yang diinduksi oleh bakteri. Namun, peran antibiotik
pada sepsis yang menginduksi MODS perlu diperhatikan, seperti antibiotik bakteriostatik
tertentu (misalnya kloramfenikol) dapat menghambat regenerasi mitokondria. 5,8
DAFTAR PUSTAKA

1. Ince C., The Microcirculatory And Mitochondrial Distress Syndrome (MMDS): A


New Look At Sepsis. 2007: 17-18
2. Ince C., Review The Microcirculation Is The Motor Of Sepsis. Critical Care 2005,
1-7
3. P. E. Spronk, V. S. Kanoore-Edul, And C. Ince, Microcirculatory And Mitochondrial
Distress Syndrome (MMDS): A New Look At Sepsis. 2007:1-21
4. American college of Surgeon Committee on Trauma. Advance Trauma Life Support.
2014
5. Boxel V., Doherty WL., Parmar M., Cellular Oxygen Utilization In Health And
Sepsis. Critical Care & Pain J. 2012. 12:1-6
6. Guyton A.C., Hall J.E., Text Book Of Medical Physiology. 11th Edition.
Philladelphia: Elsevier Saunders
7. Protti A., Singer M., Review Bench-To-Bedside Review: Potential Strategies To
Protect Or Reverse Mitochondrial Distress In Sepsis-Induced Organ Failure. Critical
Care 2006, 5:1-7
8. Trzeciak S., Cinel I., Dellinger P.,Shapiro N., Arnold R., Parillo J., Hollenberg S.,
Resuscitating The Microcirculation In Sepsis: The Central Role Of Nitric Oxide,
Emerging Concepts For Novel Therapies, And Challenges For Clinical Trials.
Academic Emergency Medicine 2008; 15:399413

You might also like